Disusun Oleh:
Dwi Fitri Handayani Friska
M. Noor Fadilah
Muthia Umara
Nurul Ayu Pratiwi
Vivin Leovani
Pembimbing :
Dr. dr. Harry Mangunsong, Sp.A
ii
DAFTAR ISI (BELUM DIEDIT)
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... iv
iii
2.3.1.4 Hiponatremia.............................................................. 27
2.3.1.5 Syndrome of Inappropriate ADH Secretion (SIADH) 28
2.3.1.6 Cerebral Salt-Wasting (CSW) ................................... 29
2.3.2 Kalium ....................................................................... 30
2.3.2.1 Fisiologi Kalium ....................................................... 31
2.3.2.2 Hiperkalemia .............................................................. 31
2.3.2.3 Hipokalemia ............................................................... 32
2.3.3 Kalsium ....................................................................... 33
2.3.3.1 Fisiologi Kalsium ....................................................... 33
2.3.3.2 Hiperkalsemia ............................................................ 34
2.3.3.3 Hipokalsemia ............................................................. 35
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Delirium merupakan salah satu jenis Gangguan Mental Organik yang
penting dan sering dijumpai pada pasien di rumah sakit maupun klinik. Sindrom
ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat
kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat
darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan salah
satu penyebabnya. Setidaknya 32%-67% dari sindrom ini tidak dapat terdiagnosis
oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature lain menyebutkan bahwa
70% dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi oleh dokter.
Sindrom delirium sering muncul dalam keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang
berfluktuasi. Keadaan yang terakhir ini tentu jika tidak ada keterangan yang
memadai dari dokter-dapat disalahartikan keluarga pasien sebagai kesalahan
pengelola di rumah sakit.1
1
pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi penurunan kadar glukosa darah
(hipoglikemia) atau sebaliknya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)6.
Glukosa merupakan sumber utama energi untuk menjalankan fungsi organ
sebagaimana mestinya. Walaupun semua organ tubuh menggunakan glukosa, otak
manusia menggunakannya hampir secara eksklusif sebagai substrat untuk
metabolisme energi. Oleh karena penyimpanan glikogen otak terbatas, pengiriman
glukosa yang adekuat ke otak merupakan fungsi fisiologis tubuh yang esensial.
Sekitar 90 % dari glukosa darah total dikonsumsi oleh otak. Meskipun bahan
bakar lain seperti asam laktat dan badan keton dapat digunakan sebagai substrat
untuk memproduksi energi, akan tetapi respon yang masih imatur dari neonatus
membuat penggunaan dari molekul-molekul tersebut tidak memungkinkan.
Dengan demikian, neonatus sangat rentan terhadap kondisi-kondisi yang
mengganggu pemeliharaan homeostasis glukosa selama masa transisi dari
intrauterin ke kehidupan mandiri di luar rahim.7
Hipoglikemia erat kaitannya dengan kelompok usia tertentu dan tahap
perkembangannya. Berbagai sindrom hipoglikemik ada kecenderungan terdapat
pada umur-umur khusus.5 Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan
metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak.5,8,9 Dalam perbandingannya,
hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus daripada anak yang lebih besar.6
Meskipun hipoglikemia merupakan gangguan yang paling sering terjadi, namun
belum ada definisi yang diterima secara universal untuk gangguan ini.5,8,9
Kerancuan timbul berdasarkan fakta bahwa rentang normal glukosa darah pada
setiap neonatus berbeda dan bergantung pada beberapa faktor yaitu berat badan
lahir, usia gestasi, body stores, riwayat makan, dan juga ada tidaknya penyakit
lain.9 Hipoglikemia dapat berdiri sendiri atau disertai oleh kelainan endokrin
misalnya diabetes melitus.5 Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut
yang paling sering terjadi pada diabetes tipe I.10
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, dengan perkiraan sekitar
50-60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan tubuh dibagi dalam dua
kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan intrasel (40%). Cairan
ekstrasel dapat dibagi lagi menjadi dua subkompartemen antara lain cairan
interstitial (30%) dan cairan intravaskuler (10%). Membran sel lipid-soluble yang
2
membatasi cairan ekstra- dan intrasel bersifat semipermeabel yang bebas dilewati
air, namun tidak bebas dilewati oleh solut yang ada pada kedua kompartemen
tersebut.11,12
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa elektrolit
(kation dan anion) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi
sel. Natrium pada cairan ekstrasel dan kalium pada cairan intrasel merupakan dua
kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan dan langsung
berhubungan dengan fungsi sel. Kation lain yang terdapat pada cairan ekstrasel
adalah kalium, kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas atau
elektronetral, di dalam cairan intrasel terdapat anion fosfat, sedangkan anion
ekstrasel berupa klorida, bikarbonat, dan albumin.11-14
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Delirium
2.1.1 Definisi
Delirium adalah suatu sindromgangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Delirium mempunyai
onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan
berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan
dihilangkan.17
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-
56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien
geriatri pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif.
Delirium dijumpai pada hingga 60% pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan
pasca-akut, dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya.18 Prevalensi delirium
pada anak-anak cukup tinggi, dimana kejadian delirium sekitar 10% sampai 44%
pada pasien rawat inap dan sampai 30% pada pasien di unit perawatan intensif
anak (PICU).2
Pada orang dewasa, delirium dikaitkan dengan penurunan kognitif,
kehilangan kebebasan, dan peningkatan angka kematian pada tahun setelah
dikeluarkan dari rumah sakit.Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang
delirium pada bayi dan anak-anak, menunjukkan hubungan positif antara tingkat
keparahan penyakit dan delirium. Kejadian delirium pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun sama banyak dengan prevalensi deliriumpada anak di bawah 2
tahun yaitu sebesar 56% dan 35% pada anak-anak 2 sampai 5 tahun. Kejadian
delirium juga tinggi pada anak-anak yang pernah dirawat di ICU, yaitu sebanyak
30% anak yang bertahan di ICU.3
4
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V
(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Klasifikasi
delirium berdasarkan DSM V tahun 2013 adalah sebagai berikut:4,19
a. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari .
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU
Kondisi Medis Umum
Kondisi Medis umum yang melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal
atau sistemik, misalnya:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, hematoma,
abses,nonhemoragik stroke, transien iskemia, kejang dan migrain, dan lain-
lain).
2. Penyakit sistemik (misalnya, infeksi, perubahan status cairan tubuh,
defisiensi nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke akibat
panas, dan di tempat tinggi (> 5000 meter)
3. Penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, aritmia, infark jantung, bedah
jantung)
4. Gangguan metabolik (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit,diabetes,
hipo/hiperglikemia)
5. Paru (misalnya, COPD, hipoksia, gangguan asam basa)
6. Obat yang digunakan (misalnya, steroid, medikasi jantung,antihipertensi,
antineoplasma, antikolinergik, SNM, sinromserotonin)
7. Endokrin (misalnya, kegagalan adrenal, abnormalitas tiroidatau paratiroid)
5
8. Hematologi (misalnya, anemia, leukemia, diskrasia)
9. Renal (misalnya, gagal ginjal, uremia)
10. Hepar (misalnya, gagal hepar, sirosis, hepatitis)
b. Delirium Akibat Kondisi Intoksikasi Zat
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadaplingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
sebagai berikut:
a) Simptom 1 dan 2 terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan
medikasi
b) Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium
c. Delirium Akibat Putus Zat
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai
berikut:
a) Simptom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat
6
d. Delirium Akibat Etiologi Beragam
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa:
a) Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu
KMU, KMU + intoksikasi zat, atau efek samping obat.
2.1.4 Etiologi
Kemungkinan penyebab dari delirium di singkat dengan akronim I WATCH
DEATH
Tabel2.1Kemungkinan penyebab delirium2
I Infections Encephalitis, meningitis, urinary tract
infection, pneumonia
W Withdrawal Alcohol, barbiturates, benzodiazepines
A Acute metabolic Electrolyte imbalance, hepatic or renal failure
T Trauma Head injury, postoperative
C CNS pathology Stroke, haemorrhage, tumour, seizure disorder
H Hypoxia Anaemia, cardiac failure, pulmonary embolus
D Deficiencies Vitamin B12, folic acid, thiamine
E Endocrinopathies Thyroid, glucose, parathyroid, adrenal
A Acute vascular Shock, vasculitis, hypertensive
encephalopathy
T Toxic or drugs Toxins, substance intoxication, medications
(alcohol, anaesthetics, anticholinergics,
narcotics etc.)
H Heavy metals Arsenic, lead, mercury
7
Tabel 2.2. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium20
Iatrogenik Pembedahan, kateterisasi, urin, psysical restraints
Obat-obatan Psikotropika
Gangguan metabolic/ Insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,
cairan hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia
Penyakit psikis/ Demam, infeksi, stres, alcohol, putus obat (tidur),
psikiatrik fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur
Overstimulation Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang rawat
2.1.5 Patofisiologi
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa delirium terjadi karena terdapat kerusakan
metabolisme oksidatif serebral dan abnormalitas pada beberapa neurotransmitter.
Berikut terdapat beberapa hipotesis mengenai delirium.21
a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang
mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab
keadaan bingung. Pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga
muncul gejala ini dan pada pasien post operatif delirium serum antikolinergik juga
meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Gejala
simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan
obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encephalopati hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric
acid); pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA
juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic
encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan
8
glutamine (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level
GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami
gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6, dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi
dan paparan toksik dalam tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1
dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium, dihubungkan dengan hubungan respon otak yang dimediasi oleh
interleukin-1 dan interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari
bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation
retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat
pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan
delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam
DSM IV digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan dengan Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari
oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi
menakutkan di malam hari dan kegelisahan.20
A. Kesadaran
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan
delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien
delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium
hiperaktif yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan
kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil dilatasi, mual, muntah, dan hipertermia.
9
Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang
depresi atau katatonik.20
B. Orientasi
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium
yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang
lain (sebagai contohnya dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat. Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya
sendiri.20
C. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa
seperti melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Tetapi DSM IV tidak lagi memerlukan
adanya kelainan bahasa untuk diagnosis, karena kelainan tersebut tidak mungkin
untuk mendiagnosis pasien yang bisu.20
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium
adalah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun
kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga mempunyai
gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham
yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.20
D. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum
untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi
sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Dengan demikian, pasien
seringkali tertarik oleh stimuli yang tidak relevan atau menjadi teragitasi jika
dihadapkan oleh informasi baru. Halusinasi juga relatif sering pada pasien
delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris, walaupun
halusinasi juga dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering
pada delirium.20
E. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood.
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak
10
beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah
apati, depresi, dan euforia. Beberapa pasien dengan cepat berpindah-pindah di
antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.20
F. Gejala Penyerta
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik terganggu. Pasien
seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di
tempat tidunya atau di ruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir
selalu singkat dan terputus-putus. Seringkali keseluruhan siklus tidur bangun
pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien seringkali mengalami
eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis yang dikenal luas
sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di malam hari dan
mimpi yang mengganggu pada pasien delirium terus berlangsung ke keadaan
terjaga sebagai pengalaman halusinasi.20
G. Gejala Neurologis
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai gejala neurologis yang
menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinesia urin.
Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan
delirium.20
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis delirium dibagi dalam dua proses:20
1. Deteksi delirium, melalui pemeriksaan riwayat dan status mental yang
terfokus pada kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-IV.
2. Identifikasi penyebab dari delirium. Karena manifestasi klinis hanya
memberikan sedikit petunjuk untuk kausa, sehingga penting untuk
dilakukan anamnesis terhadap riwayat umum, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan sesegera mungkin
ditentukan penyebabnya. Kriteria diagnostik untuk delirium yaitu :20
1. Kemampuan terbatas untuk mempertahankan daya perhatian terhadap
rangsang dari luar (misalnya pertanyaan harus diulang karena daya
perhatian melantur) dan secara wajar dapat mengalihkan ke arah rangsang
eksternal yang baru.
11
2. Alam pikiran yang kacau, yang ditujukan oleh cara bicara yang ngawur
dan tak jelas( asal bersuara), soalnya tidak relevan, atau daya bicara
inkoheren.
3. Sedikitnya dua dari yang tercantum di bawah ini :
a. Kesadaran yang menurun (contoh : sulit mempertahankan kesadaran
saatpemeriksaan)
b. Gangguan persepsi: misinterpretasi, ilusi, atau halusinasi
c. Gangguan siklus tidur dengan insomnia atau mengantuk di siang hari
d. Kegiatan psikomotor meningkat atau menurun
e. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang
f. Gangguan daya ingat (contoh : tidak mampu belajar materi baru, seperti
namaberaneka ragam benda yang tak terkait setelah 5 menit, atau untuk
mengingatperistiwa yang telah lalu, seperti riwayat dari episode
gangguan sekarang)
4. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang dalam waktu yang singkat
(biasanyadalam jam atau hari) dan cenderung untuk naik turun dalam
sehari.
5. Salah satu dari poin di bawah ini :
a. Terbukti dari riwayat, pemeriksan fisik, atau uji laboratorik tentang satu
ataubeberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai
penyebab yangterkait dengan gangguan itu.
b. Bila tidak adanya bukti ini, faktor penyebab organik yang dapat diduga
bilagangguannya tidak dapat diperkirakan adalah disebabkan oleh
gangguan mental nonorganik (contoh : episode manik yang merupakan
sebab untuk menjadi agitatif dan gangguan tidur).
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :15
a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan
obat-obatan atau medikasi.
b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien
yang rawat inap.
12
c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan (sensasi),
berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif
mencakup :
- Tingkat kesadaran
- Kemampuan berbahasa
- Memori
- Apraksia
- Agnosia dan gangguan citra tubuh
Pemeriksaan penunjang berupa :20
a. Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan
metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang
harus dilakukan termasuk :
a. Pemeriksaan darah lengkap
b.Urea dan elektrolit
c. Uji fungsi tiroid
d.Uji fungsi hati
e. Kadar vitamin B12 dan asam folat
f. Serologi sifilis
b. Uji urin
Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk memeriksa
penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.
c. Elektroensefalogram (EEG)
d. X-ray dada
e. CT scan kepala
f. MRI scan Kepala
g. Analisis cairan serebrospinal (CSF)
h. Kadar obat, alkohol (toksikologi)
i. Uji genetik
Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik kedua
yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji ini
13
terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar (retardasi
mental).
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders IV dibedakan berdasarkan etiologinya.20
1. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat kondisi medis tertentu
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan gangguan fisiologis yang berkonsekuensi pada terjadinya
delirium
2. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat intoksikasi zat tertentu
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan: (1) Gejala kriteria A dan B terjadi selama intoksikasi zat
tertentu, (2) Penggunaan obat sebagai etiologi dari delirium
14
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan bahwa kriteria A dan B terjadi selama atau seketika setelah
obat dihentikan (withdrawal sindrom)
4. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat etiologi multipel
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan bahwa delirium memiliki lebih dari 1 etiologi
5. Kriteria diagnostik untuk delirium yang tidak spesifik
Kategori ini digunakan apabila tidak tergolongkan pada kriteria-kriteria
delirium spesifik.
1. Delirium yang diperkirakan akibat kondisi medis tertentu, atau intoksikasi
namun bukti-bukti yang didapatkan tidak cukup
2. Delirium yang disebabkan oleh suatu penyebab yang tidak tercantum
(seperti kekurangan stimulus sensorik)
15
fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin
memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang
terpilih untuk psikosis adalah haloperidol ( Haldol ), suatu obat antipsikotik
golongan butirofenon, dosis awal antara 2 - 10 mg IM, diulang dalam satu jam
jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam
cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral kira kira 1,5 kali
lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5
- 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu
butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif, monitoring
EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnya, hidroksizine (Vistaril)
dosis 25 - 100 mg.4
Selain itu penatalaksanaan lain dari pasien dengan delirium yaitu:
a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu
agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila
perlu diberi stimulansia.
c. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati
dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang
tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak
menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.
d. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya
untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan
sebagainya) ataupun untuk orang lain.
e. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya
menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat
melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan
terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.
f. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan
neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.
16
2.1.9 Prognosis
Delirium hampir selalu merupakan kondisi sementara yang sembuh
apabila penyebab yang mendasarinya berhasil diatasi. Akan tetapi, pada beberapa
kasus yang penyebab deliriumnya, seperti cedera kepala atau ensefalitis, dapat
menyebabkan klien mengalami gangguan kognitif, perilaku, atau emosional,
bahkan setelah penyebab yang mendasarinya diatasi. Semakin tua pasien maka
semakin lama waktu yang dibutuhkan delirium untuk mereda. Mengingat kembali
apa yang terjadi saat delirium, saat sudah reda, biasanya seorang pasien akan
menyebut episode tersebut sebagai mimpi buruk yang terkadang hanya dapat
diingat secara samar-samar. Terjadinya delirium dengan tingkat kematian yang
tinggi pada tahun berikutnya merupakan akibat sifat serius kondisi medis yang
menyebabkan delirium. 20
17
Penderita yang asimtomatis dengan adanya peningkatan kadar glukosa
plasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar
glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu.
Diagnosis tidak ditegakkan hanya dengan satu kali pemeriksaan.
Penilaian glukosa plasma puasa :
-Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
-Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =
(IFG): 100125 mg/dL (5.66.9 mmol/L)
Diabetes :126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral :
-Normal : <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
-Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance =IGT) :
140200 mg/dL (7.8<11.1 mmol/L)
Diabetes :200 mg/dL (11.1 mmol/L)
2.2.3 Epidemiologi
Berbagai macam Insidens DM tipe-1 baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Kasus DM tipe-1 terjadi 5-10% dari seluruh jumlah penderita
diabetes di beberapa negara barat, dan penderita diabetes pada anak dan remaja
adalah DM tipe-1 yang mencapai lebih dari 90%. Finlandia merupakan negara
dengan insidens paling tinggi yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah di
Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih
tinggi pada ras Kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. Diperkirakan diseluruh
dunia 80.000 anak-anak berusia kurang dari 15 tahun akan berkembang menjadi
DM tipe-1. Data registri nasional DM tipe-1 pada anak dari PP IDAI hingga tahun
2014 didapatkan 1021 kasus. Terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak
yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut diketahui bahwa lebih dari 50%
penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. 21
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe
1. Walaupun hampir 80% penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam
patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi
sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada
18
patogenesis DM tipe-1. Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibiity gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari
lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1
pada seseorang yang rentan. Dikaitkan dengan HLA, diperkirakan 10%
mempunyai riwayat keluarga diabetes. Risiko pada kembar identik adalah kurang
dari 40%, sedangkan pada saudara kandung diperkirakan 4% pada usia 20 tahun,
dan 9,6% pada usia 60 tahun dibandingkan 0,5% pada seluruh populasi.21
2.2.4 Gambaran klinis
Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat badan yang
cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis ditegakkan, kadang-kadang disertai
polifagia dan gangguan penglihatan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai
dengan hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi. Sering terjadi
kesalahan dan keterlambatan diagnosis DM tipe-1. Pada beberapa anak mulai
timbulnya gejala sampai menjadi ketoasidosis dapat terjadi sangat cepat,
sedangkan pada anak yang lain dapat timbul secara lambat dapat dalam beberapa
bulan. Akibat keterlambatan diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase
ketoasidosis yang dapat berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat
juga terjadi karena penderita disangka menderita bronkopneumonia dengan
asidosis atau syok berat.21
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan
ketoasidosis diabetik.
a. Hipoglikemia22
Hipoglikemia pada umumnya terjadi karena ada ketidakseimbangan antara
dosis insulin, makanan yang dikonsumsi, dan olahraga yang baru saja dilakukan,
atau kadang-kadang karena suatu kejadian spontan. Hipoglikemia merupakan
salah satu faktor kegagalan utama dalam mencapai kadar gula darah mendekati
normal, karena hipoglikemia dapat disertai gejala yang tidak menyenangkan,
memalukan, dan berbahaya, sehingga menimbulkan kecemasan dan ketakutan
pada pasien dan orangtuanya. Selain itu hipoglikemia yang berat dapat
menyebabkan kerusakan otak menetap dan bahkan kematian. Untuk itu perlu
diupayakan agar hipoglikemia berat tidak terjadi. Dengan memahami bagaimana
19
mengatur keseimbangan insulin, makanan, dan olahraga/ aktivitas fisik untuk
mencapai normoglikemia sambil menjaga agar hipoglikemia tidak terjadi
merupakan hal penting dalam kehidupan semua pasien diabetes dan keluarganya.
Batasan hipoglikemia masih menjadi perdebatan karena masing-masing
individu merasakan dampaknya pada kadar gula darah yang berbeda-beda.
Demikian juga dengan faktor-faktor penyebab hipoglikemia, pada anak yang lebih
muda (prasekolah) faktor penyebab dan dampaknya mungkin akan berbeda dari
anak yang lebih tua atau remaja. Akibat kerja insulin yang berlebihan, dapat
terjadi hipoglikemia berat dengan gejala kejang, koma, bahkan kematian.
a. Gejala hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejalaneurogenik
dan gejala neuroglikopenia seperti dibawah ini:
Tabel 6. Gejala-gejala hipoglikemia
Gejala neurogenik Gejala neuroglikopenia
berkeringat, lapar, Pusing, iritabel, lemah, mengantuk, sakit
parestesia di sekitar kepala,
mulut, tremor, gangguan penglihatan, bicara lamban dan
takikardi, pucat, pelo,
palpitasi, lemas, vertigo dan dizziness, kesulitan berpikir,
gelisah, mual. lelah,
perubahan afektif (depresi, marah), bicara
ngaco, kejang, penurunan kesadaran, koma.
20
kesulitan bicara, takikardi, snack.
pucat, berkeringat,
dilatasi pupil.
Berat Disorientasi berat, Bila jauh dari pertolongan
penurunan kesadaran, medis:
koma, kejang. bila tersedia glukagon, berikan
injeksi
glukagon (SC, IM atau IV)
untuk
usia <5 tahun berikan 0,5 mg
dan
usia >5 tahun 1,0 mg. Bila tak
ada
respon dalam 10 menit ulangi
sekali
lagi. Kemudian diikuti dengan
makan
dan monitoring berkala. Bila
tidak
ada glukagon, oleskan selai
atau madu
kebagian dalam mulut sambil
segera
membawa pasien ke rumah
sakit.
Di rumah sakit: berikan
dekstrose
10% intravena dengan dosis 2
mL/kgBB diikuti infus
dekstrose
untuk menstabilkan kadar
glukosa
darah antara 90-180 mg/dL (5-
10
mmol/L)
b. Derajat Hipoglikemi23
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT)
mendefinisikanhipoglikemia berat sebagai hipoglikemia yang memerlukan
bantuanorang lain untuk mengatasinya, misalnya penderita dengan
penurunankesadaran. Hipoglikemia dapat simptomatik atau
asimptomatik.Hipoglikemia simptomatik dibagi dalam 3 tingkat berdasarkan
kriteriadibawah ini:
a. Derajat I
Bila anak dapat mendeteksi dan mengobati sendiri
hipoglikemianya.Hipoglikemia pada anak dibawah 5 tahun tidak dapat
diklasifikasikan sebagai derajat I karena mereka belum dapat mengobati sendiri.
b. Derajat II
21
Bila membutuhkan pertolongan orang lain untuk dapat
mengatasihipoglikemia ini, tetapi pengobatan masih dapat dilakukan secara oral.
c. Derajat III
Bila anak pingsan, tak sadar, kejang dan tak dapat diatasi dengan glukosa
secaraoral. Terapi dilakukan dengan injeksi glukagon atau glukosa
intravena.Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:
Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunankesadaran
Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunankesadaran
atau kejang
c. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetek terjadi akibat penurunan konsentrasi insulin yang
efektifdan dapat dikaitkan dengan resistensi insulin dan peningkatan produksi
hormon penghambat regulasi seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan
ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan
keadaan hiperglikemia dan hiperosmolardan ketidakseimbangan elektrolit.
Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan ketonakan menyebabkan ketonemia
dan asidosis metabolik.23
Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah
> 11 mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan
ketonemia.Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan,
sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH serum.24-26
Kriteria untuk definisi dan klasifikasi KAD meliputi plasma kadar glukosa
darah, pH dan bikarbonat (Tabel 1).
Tabel 2.2 Klasifikasi ketoasidosis diabetik
Blood glucose(mmol/L) VenouspH Bicarbonate(mmol/L)
Mild >11 <7.3 <15
Moderate >11 <7.2 <10
Severe >11 <7.1 <5
22
2.3 Gangguan Elektrolit
2.3.1 Natrium
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus
dan reabsorpsi tubulus ginjal. Laju filtrasi glomerulus akan meningkat pada
hipervolemia serta peningkatan asupan natrium, dan begitu pula sebaliknya.
Perubahan yang terjadi pada laju ini akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di
tubulus. Sebanyak 60-65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus
proksimal, 25-30% di lengkung Henle, 5% di tubulus distal, dan 4% di duktus
kolingentes.11,15,16
2.3.1.2 Hipernatremia
23
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah hipernatremia oleh karena
rangsangan rasa haus yang timbul akan dijawab dengan peningkatan asupan
air.22,23,27 Adapun penyebab hipernatremia antara lain:11
24
1. Operasi trans-spenoidal atau pengangkatan kraniofaringioma terkadang
menyebabkan kerusakan pada pituitari posterior dengan tiga pola gejala
yang mungkin muncul.
c. Triphasic response
25
Penanganan untuk DI neurogenik dapat dibagi menjadi tiga menurut kondisi
pasien:15,27
2. Pasien rawat jalan dengan gangguan mekanisme rasa haus; kondisi ini
meningkatkan resiko dehidrasi atau overhidrasi. Penanganannya berupa
monitor cairan masuk dan cairan keluar, catat perubahan berat badan,
dan pemberian antidiuretik jika diperlukan. Pemeriksaan laboratorium
mingguan juga diperlukan, yaitu natrium serum dan BUN.
3. Pasien rawat inap, stupor, koma, atau mati otak; monitor yang penting
dari pasien tersebut yaitu keseimbangan cairan setiap jam, specific
gravity urin setiap empat jam, serta elektrolit serum dan osmolaritas
setiap enam jam. Sebagai terapi cairan IV diberikan basal IV rate D5
NS + KCl 20 mEq/L dengan kecepatan 75-100 mL/jam, plus NS
sebanyak produksi urin. Jika pasien mendapat cairan yang sigifikan
selama operasi, maka wajar apabila pasien mengalami diuresis, untuk
itu diberikan NS hanya dua pertiga total produksi urin. Arginin
vasopresin 5 U IV/IM setiap 4-6 jam atau vasopresin IV kecepatan 0,2
U/menit dengan titrasi (maksimal 0,9 U/menit) atau desmopresin 2-4 g
IV setiap 12 jam diberikan ketika terapi cairan tidak bisa
menyeimbangkan pengeluaran urin.
26
2.3.1.4 Hiponatremia
27
mmol/jam) atau akut dapat menyebabkan eksitabilitas neuromuskuler, edema
otak, mual/muntah, kejang, sampai henti nafas, cedera otak permanen, koma,
bahkan kematian. Pasien dengan hiponatremia yang belum diketahui durasinya
kemungkinan sudah bersifat kronis jika gejalanya masih minimal, dan ditangani
secara gradual khususnya dengan terapi cairan. Hiponatremia simtomatik akut
harus ditangani segera karena edema otak yang terjadi meningkatkan resiko
herniasi dan gagal jantung-nafas.11,12,15
4. Anemia
28
7. Klorpropramid (SIADH relatif dengan meningkatkan
sensitivitas ginjal terhadap ADH), oksitosin (cross-activity
dengan ADH), hidroklorotiazid, dan karbamazepin.
29
hipovolemia seperti CSW.11,12,28 Dua perbedaan terpenting CSW dan SIADH
yaitu volume ekstrasel dan keseimbangan garam, seperti yang tercantum pada
tabel 2.11
2.3.2 Kalium
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah besar dalam tubuh dan
mayoritas berada pada intrasel. Elektrolit ini berfungsi dalam sintesis protein,
30
kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, dan
perkembangan janin. Dalam menjaga kestabilan kadar kalium diperlukan
keseimbangan antara kemampuan muatan negatif intrasel untuk mengikat kalium
dan kemampuan kekuatan kimiawi mendorong kalium ke ekstrasel.
Keseimbangan ini menghasilkan kadar kalium yang tetap antara 3-3,5
mEq/L.11,12,14,15
2.3.2.2 Hiperkalemia
31
2. Memacu Pemasukan Kalium ke Dalam Sel
2.3.2.3 Hipokalemia
32
hiperaldosteronisme, poliuria, salt-wasting nephropathy), atau sweat-loss.
Alkalosis akut memicu pertukaran ion hidrogen intrasel dengan ion kalium
ekstrasel, dan menurunkan kadar kalium darah. Pemberian insulin, pemakaian -
agonis, dan hipotermia juga dapat menigkatkan pemasukan kalium ke dalam
sel.11,12,15,30
Koreksi kalium harus segera diberikan jika hipokalemia berat (<2 mEq/L),
terdapat kelemahan otot pernafasan, disertai ketoasidosis diabetikum, atau pasien
sedang dalam pengobatan digitalis. Hipokalemia ringan dapat diberikan kalium
dalam sediaan oral 40-60 mg (meningkatkan kalium 1-1,5 mEq/L) atau 135-160
mg (meningkatkan kalium 2,5-3,5 mEq/L). Pemberian kalium IV dalam bentuk
larutan KCl 10-20 mEq per jam, sedangkan pada aritmia atau kelumpuhan otot
pernafasan dapat diberikan 40-100 mEq/jam. Hindari pemberian glukosa pada
pasien hipokalemia.11,12,15
2.3.3 Kalsium
33
Keseimbangan kalsium diatur oleh absorbsi usus, ekskresi ginjal, dan
faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus, terutama duodenum dan
jejunum proksimal. Vitamin D dibutuhkan dalam absorbsi kalsium. Ekskresi
kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus
(ultrafilterable calcium) dan kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus. Asupan dan
ekskresi natrium juga mempengaruhi kadar kalsium; ekskresi natrium yang
meningkat pada peningkatan volume cairan ekstrasel memicu ekskresi kalsium.
Faktor hormonal yang mempengaruhi yaitu vitamin D dengan metabolit aktifnya
kalsitriol (1,25-dihidroksikolekalsiferol) dan hormon paratiroid. Kalsitriol
merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus dan juga meningkatkan
reabsorbsi kalsium di ginjal. Kadar kalsium serum diatur oleh hormon paratiroid
melalui feedback mechanism. Hormon paratiroid dapat merangsang pembentukan
kalsitriol di ginjal, sedangkan kalsitriol dapat menurukan sekresi hormon
paratiroid.14,31,31,32
2.3.3.2 Hiperkalsemia
34
3. Mengurangi absorbsi kalsium di usus dapat dilakukan dengan
pemberian prednison 20-40 mg/hari, yang mana kan mengurangi
produksi kalsitriol.
4. Kelasi kalsium terionisasi dengan Na-EDTA atau fosfat IV.
5. Pemberian diuretik maupun hemodialisis merupakan pilihan untuk
hiperkalsemia berat, terutama apabila disertai insufisiensi ginjal atau
gagal jantung yang membatasi pemberian cairan.
2.5.3 Hipokalsemia
Idealnya, terapi harus didasari oleh kadar kalsium yang terionisasi. Pada
keadaan asimtomatik, pasien dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam
makanan sebesar 1000 mg/hari. Hipokalsemia simtomatik akut adalah suatu
kegawatdaruratan medis, dikoreksi dengan pemberian 100-200 mg kalsium
elemental IV (10 mL kalsium glukonas 10% setara 93 mg kalsium) dalam 10-20
menit, dan dilanjutkan dengan infus 0,5-1,5 mg/kgBB/jam dalam dekstrosa atau
NaCl 0,9%. Serum kalsium akan kembali normal 1-2 jam setelah pemberian
regimen ini, setelahnya dosis pemeliharaan diturunkan menjadi 0,3-0,5
mg/kgBB/jam. Preparat vitamin D seperti ergokalsiferol 50.000 U/hari,
35
dihidrotakisterol 100-400 g/hari, atau kalsitriol 0,25-1 g/hari bisa diberikan,
namun perlu diingat bahwa pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan
hiperkalsemia.11,12
36
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AP
No MR : 548412
Agama : Islam
Suku : Batak
Ayah : Tn. DP
Ibu : Ny. A
ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu pasien
Keluhan utama : Penurunan kesadaran sejak tiga jam sebelum masuk rumah
sakit
Riwayat penyakit sekarang
Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengeluhkan anaknya
kejang, kejang sebanyak lebih dari 5 kali, durasi kejang 3-5 menit, diantara kejang
pasien sadar. Kejang diawali dengan pasien melamun, mata melihat ke atas,
tangan dan kaki kelonjotan.Demam sebelum kejang tidak ada.Sebelumnya sejak
tahun 2012 orangtua pasien mengatakan anaknya banyak makan namun berat
badan tidak bertambah.Pasien juga banyak minum, sering buang air kecil pada
37
malam hari dan pasien dikatakan oleh dokter terkena penyakit diabetes mellitus
tipe 1.Pasien juga mengeluhkan kaki terasa kebas dan kaku serta nyeri saat
berjalan.Pasien sering mengompol.Pasien dirawat di RSUD Arifin Achmad
selama satu minggu.
Empat jam sebelum masuk rumah sakit ibu pasien mengeluhkan anaknya
kejang lebih dari tiga kali, diantara kejang pasien sadar. Kejang diawali melamun,
setelah itu mata melihat ke atas dan tidak tentu arah, tangan di kepal, kaki melipat
ke bawah dan kaku.Kejang terjadi lebih dari tiga kali.Durasi tiap kejang selama 3-
5 menit.Diantara kejang pasien sadar.Dan ibu pasien memeriksakan gula darah
didapatkan gula darah 56 g/dl.Kemudian, ibu pasien memberikan air yang
dicampur gula kepada pasien. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit ibu pasien
mengeluhkan kembali anaknya kejang sebanyak lebih dari dua kali, diantara
kejang. Namun, setelah kejang yang ke tiga pasien tidak sadar.Sebelumya, pasien
mengeluhkan mual (+) muntah (+) setiap kali makan volume muntah gelas
aqua, berisi makanan dan minuman yang dimakan, darah (-).Setiap sehabis makan
pasien selalu buang air besar.Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya tidak mau
makan dan sulit menelan.Pasien sulit berjalan.Lalu pasien dibawa ke RSUD Arifin
Achmad.Di perjalanan ke RSUD ibu mengeluhkan anaknya muntah satu
kali.Muntah berisi makanan yang di makan dan sebanyak setengah gelas
belimbing, muntah tidak ada darah.
Riwayat penyakit dahulu
Sejak tahun 2012 pasien didiagnosa DM tipe 1 terkontrol
Konsumsi insulin Levemir dan Novorapid)
Riwayat kejang tanpa demam ada sejak tahun 2012.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga lainnya yang menderita keluhan yang sama
Kakek pasien dari pihak ibu ada riwayat diabetes mellitus
Riwayat orang tua
Ayah bekerja sebagai buruh bangunan
Ibu bekerja sebagai penjahit
Riwayat kehamilan dan kelahiran
Pasien lahir cukup bulan
38
Lahir normal ditolong oleh bidan kampung, langsung menangis
Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara
Selama hamil ibu ANC ke bidan tiap bulan, USG tidak pernah. Riwayat HT,
DM keputihan tidak ada. Konsultasi gizi, periksa lab, imunisasi tetanus saat
hamil tidak pernha. Konsumsi vitamin dan zat besi dari bidan ada. Berat
badan saat hamil lupa. Tekanan darah saat hamil normal 120/70 mmHg. Jarak
fasilitas kesehatan dari rumah 50 meter (rumah bidan), 5 km (puskesmas).
Berat lahir : 3300 gram
Panjang lahir : 50 cm
39
Berdiri : Umur 8 bulan
Berjalan : Umur 11 bulan
Bicara satu kata : Umur 11 bulan
Keadaan perumahan dan tempat tinggal
Pasien tinggal di rumah semi permanen yang dihuni oleh 6 orang
Ventilasi dan pencahayaan cukup
Lingkungan bersih
Sumber air minum : air galon
Sumber mandi cuci kakus : air sumur bor
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Apatis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Laju nadi : 110x/menit
Laju napas : 24x/menit
Suhu : 36,8 oC
Gizi
Tinggi badan : 120 cm
Berat badan : 16 kg
Lingkar lengan atas : cm
Lingkar kepala : cm
Status gizi : (16/48)x 100% = 33,3% ( gizi buruk)
Kepala
Mikrocephal
Rambut
Rambut tipis, berwarna hitam, distribusi tidak merata.
Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-), pupilisokor,diameter pupil2
mm/2mm, refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
40
Telinga
Dalam batas normal
Hidung
Dalam batas normal
Mulut
Bibir : basah, tidak pucat
Selaput lendir : basah
Palatum : utuh
Lidah : tidak kotor, tidak hiperemis
Gigi : tidak ada karies
Leher
Tidak ada pembesaran KGB
Kaku kuduk (-)
DADA
Inspeksi : Gerakan dada simetris, tidak ada retraksi,
ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Vokal fremitus simetris kiri dan kanan,
iktuskordis teraba di spasi interkostal V linea
midklavikula sinistra
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas
jantung kanan di linea parasternal dekstra
dan batas jantung kiri di linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),wheezing (-/-),
bunyi jantung I dan II reguler, murmur
tidak ada, gallop tidak ada
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris, venektasi tidak ada, scar
tidak adsa
Auskultasi : Bising usus 9x/menit
Palpasi : Supel, hepatosplenomegali tidak ada.
Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada
41
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Alat kelamin : Perempuan, dalam batas normal, tidak
ditemukan kelainan kongenital
Ekstremitas :Akral hangat, capillary refill time (CRT)
kurang dari 2 detik, edema tidak ada,
kekuatan otot :
555 555
333 333
Status neurologis : Reflek fisiologis (+/+) normal, reflek
patologis (-/-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin (06/09/2017)
Hemoglobin : 11,1 g/dL
Hematokrit : 29,0 %
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Glukosa darah : 56 mg/dl
Ureum : 14 U/L
Creatinin : 0,32 U/L
Pemeriksaan Elektrolit (06/09/2017)
Na : 100
K : 3,1
Cl : 68
Rontgen Thorax (06/09/2017)
- Cor : dalam batas normal
- Pulmo : Tidak tampak kelainan
CT Scan kepala tanpa kontras (06/09/2017)
- Tidak tampak kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras saat ini
42
- Pasien kejang lebih dari 3x durasi 3-5 menit, diantara kejang pasien sadar namun
setelah kejang ke tiga pasien tidak sadar sebelumnya ibu pasien mengatakan
anaknya tidak mau makan.
- Pasien riwayat DM sejak 2012. Ibu pasien memeriksakan gula darah didapatkan
gula darah 56 g/dl.
- Sejak tahun 2012 orangtua pasien mengatakan anaknya banyak makan namun
beratnya tidak bertambah. Pasien juga banyak minum dan sering buang air kecil
pada malam hari.Pasien juga mengeluhkan kaki terasa kebas dan kaku serta nyeri
saat berjalan.
- Pasien mengeluhkan mual (+) muntah (+) setiap kali makan volume muntah
gelas aqua, berisi makanan dan minuman yang dimakan, darah (-). Setiap sehabis
makan pasien selalu buang air besar.
- Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya tidak mau makan dan sulit menelan
43
DIAGNOSIS KERJA
- Sindrom delirium akut et causa hiponatremia berat
- DM Tipe 1
PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan elekrolit ulang
TERAPI
Medikamentosa
IVFD D 5 % NS -- NaCl 3% 20 cc NS 100 cc habis 1 jam
Lanjut 2A 20 tpm
Ceftriaxone 2 x 750 mg
Novorapid 7 9 8 IU
Levemir 12 IU
Omeprazole 1 X 10 mg
Dexamethasone 5 mg / 12 jam
PIP V
Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad fungsionam :dubia
44
Follow Up
Kamis, 07-09-2017
S Pasien masih ada kejang lebih dari 3 kali, seluruh ekstremitas kelonjotan, durasi
kejang 1-2 menit, diantara kejang sadar, demam tidak ada, makan minum sedikit,
kaki tangan masih lemah, pandangan kabur tidak ada, batuk ada tidak berdahak
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,6C Hb : 11,1 g/dL
RR: 22x/i Hematokrit : 29 %
HR: 96x/menit
Leukosit : 13.410/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Trombosit : 480.000/L
444 444 Elektrolit (7/9/2017)
Na : 111 mmol/l
333 333 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l
Jumat, 08-09-2017
S Pasien masih ada kejang, 2 kali, durasi kejang 1-2 menit, kejang seluruh
ekstremitas kelonjotan, diantara kejang sadar, demam tidak ada, makan minum
sedikit, kaki tangan masih lemah, batuk ada tidak berdahak
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 37,1C Hb : 11,1 g/dL
RR: 23 x/i Hematokrit : 29 %
HR: 94x/menit
Leukosit : 13.410/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Trombosit : 480.000/L
444 444 Elektrolit (7/9/2017)
Na : 111 mmol/l
333 333 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l
Sabtu, 09-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, pasien mengeluhkan
mual dan muntah tiap kali makan, kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL
45
RR: 24x/i Hematokrit : 29 %
HR: 96x/menit Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Elektrolit (7/9/2017)
Ekstremitas : kekuatan otot : Na : 111 mmol/l
445 445 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l
333 333
GDS pagi 61 mg/dl
GDS post koreksi : 174mg/dl
A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD 2A 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - PIP V 4x1
- Levemir 12 IU - Dexametason 5 mg/12 jam IV
- Omeprazole 10 mg/24 jam
Minggu, 10-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, mual dan muntah
sudah berkurang, kaki masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,5C Hb : 11,1 g/dL
RR: 22x/i Hematokrit : 29 %
HR: 90x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (7/9/2017)
555 555 Na : 111 mmol/l
K : 3,2 mmol/l
334 334 Cl : 78 mmol/l
Senin, 11-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, mual dan muntah
sudah berkurang, kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 37,4C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (7/9/2017)
555 555 Na : 111 mmol/l
K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l
46
444 444
GDS pagi 131 mg/dl
A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD Nacl 0,9% 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg
intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - Levemir 12 IU
- Dexametason 5 mg/24 jam IV - Omeprazole 10 mg/24 jam
- PIP V 4x1
Selasa, 12-09-2017
S Batuk ada tidak berdahak,kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (11/9/2017)
555 555 Na : 133 mmol/l
K : 2,3 mmol/l
444 444 Ca : 0,41 mmol/l
Rabu, 13-09-2017
S Batuk ada tidak berdahak,kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (11/9/2017)
555 555 Na : 133 mmol/l
K : 2,3 mmol/l
444 444 Ca : 0,41 mmol/l
47
Novorapid 5-7-6 IU - Levemir 10 IU
Dexametason 5 mg/24 jam IV - Omeprazole 10 mg/24 jam
PIP V 4x1
Pasien boleh pulang
Obat pulang :
Novorapid 5-7-6 IU - Levemir 10 IU
PIP V 3x1 - KSR 2x250 mg
48
BAB IV
PEMBAHASAN
49
makanan yang dimakan dan minuman dengan volume muntah sebanyak gelas
aqua.
Tatalaksana gangguan elektrolit adalah dengan .. Pada pasien ini
tatalaksana gangguan elektrolit dilakukan dengan ..
akhirnya pasien mengalami hipoglikemia yang ditandai dengan penurunan
kesadaran, serta hasil pemeriksaan glukosa darah dirumah 56 mg/dl. Gejala klinis
hipoglikemia yang terjadi pada pasien ini sesuai dengan gejala neuroglikopenia
dan derajat hipoglikemia pada pasien ini menurut DCCT adalah derajat III,
dimana GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan kesadaran atau kejang. 10
Pasien memiliki riwayat kejang, mual muntah dan kelemahan anggota
gerak. GDS di rumah 56 g/dl, serta pada pemeriksaan glukosa darah di IGD
RSUD Arifin Achmad didapatkan hasil 90 g/dl, hasil pemeriksaan elektrolit
didapatkan Na+ 100 mmol/L, K+ 3,1 mmol/L, Cl- 68 mmol/L.
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat
penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah
pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan
pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak
bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk melihat anion gap).
Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal
hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino (kuantitatif).
Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien ini selain disebabkan oleh
hipoglikemia juga dapat disebabkan oleh gangguan elektrolit.
Hipoglikemia pada diabetes melitus dapat terjadi karena kelebihan
obat/dosis obat (terutama insulin atau obat hipoglikemik oral), kebutuhan tubuh
akan insulin relatif yang menurun (gagal ginjal kronik, paska persalinan), asupan
makanan yang tidak adekuat dimana jumlah kalori atau waktu makan yang tidak
tepat, dan kegiatan jasmani yang berlebihan.Pada kasus ini, pasien merupakan
penderita diabetes melitus tipe 1 yang selama ini mendapat terapi insulin. Insulin
yang digunakan pasien merupakan golongan Rapid-acting yang sering
menimbulkan hipoglikemia. Selain penggunaan insulin, kurangnya asupan
makanan menyebabkan hipoglikemia terjadi pada pasien ini.
50
Pada pasien diberikan infus dekstrose 5% NS danNaCl 3% 20 cc NS
100 cc yang habis dalam 1 jam. Injeksi bolus D5% ml sebanyak flakon yang
meningkatkan GDS dari 90 mg/dl menjadi 198mg/dl dan gejala-gejala
hipoglikemia menghilang. Untuk gejala hiponatremi dan hipokalemi juga sudah
mulai teratasi yang dibuktikan dengan hasil Na+ 111, K+ 3,2 yang sudah
menunjukkan peningkatan disbanding sebelumnya.
Pada pasien, perlu tetap dilakukan pengawasan kadar glukosa darah dan
elektrolit karena penggunaan insulin dapat menyebabkan episode hipoglikemia
berulang, dan pada DM juga dapat terjadi hipokalemi dan hiponatremi.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Harold I. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. 2010; hal. 519-528
2. Schieveld JNM, Ista E, Knoester H, Molag ML. Pediatric delirium: A
practical approach. In Rey JM (ed), IACAPAP e-Textbook of Child and
Adolescent Mental Health. Geneva: International Association for Child
and Adolescent Psychiatry and Allied Professions. 2015; 1-17.
3. BettencourtA, Mullen J. Delirium in Children: Identification, Prevention,
and Management. Critical Care Nurse. 2017; 37 : 9-10.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing;
2013.
5. Nurdin Badollah, Satriono. Hipoglikemia Pada Anak. Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSU
Ujungpandang, Ujungpandang. Cermin Dunia Kedokteran No. 75.
1992;27-32.
6. Batubara,Jose. Buku Ajar Endokrinologi Anak Jilid I. IDAI. Jakarta :
2010. Hal 195.
7. McGowan, Jane E. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review.
American Academy of Pediatrics. 1999;20;e6.
8. Susanto, Rudi. Hipoglikemia Pada Bayi dan Anak. Bagian IKA FK
Universitas Dipenogoro/ RS. dr. Karyadi Semarang. Diajukan pada PKB
Palembang 10-11 November 2007. Diunduh pada tanggal 10 Januari 2012.
9. Shankar Narayan, Rajiv Aggarwal, Ashok K Deorari, Vinod K Paul.
Hypoglycemia in the Newborn. Division of Neonatology, Department of
52
Pediatrics. All India Institute of Medical Sciences. Diunduh pada tanggal
10 Januari 2012.
10. Pudjadi, Antonius.Dkk. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid I. 2010 : IDAI. Jakarta.
11. Greenberg MS, dkk. Fluids and Electrolytes. Dalam: Greenberg MS, dkk.
Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme; 2001. Hal14-25.
12. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam:
Tjokroprawiro A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.
Surabaya: FK Unair; 2007. Hal175-89.
13. Guyton AC, dkk. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel dan
Konsentrasi Natrium. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
14. Guyton AC, dkk. Pengaturan Ginjal terhadap Kalium, Kalsium, Fosfat,
dan Magnesium; Integrasi Mekanisme Ginjal untuk Pengaturan Volume
Darah dan Volume Cairan Ekstrasel. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
15. Promes S, Wang NE. Management of Electrolyte Emergencies. Hospital
Physician Emergency Medicine Board Review Manual. 2006;8(3):1-12.
16. Lobo DN, dkk. Disorders of Sodium, Potassium, Calcium, Magnesium,
and Phosphate. Dalam: Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic
Concepts of Fluid and Electrolyte Therapy. Melsungen: Bibliomed; 2013.
Hal101-11.
17. Harold K. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
2010; 519-28 .
18. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman
Med J. 2008; 23(3): 150-7
19. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 Tahun
2015. Tentangpedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa. Jakarta: 2015.
5-7.
20. Maslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III, Jakarta, 2001: 27-8.
53
21. World Diabetes Foundation, UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. hlm. 1-7
22. World Diabetes Foundation, UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. hlm. 736.
23. Ikatan Dokter Anak Indonesia.Konsensus nasional pengelolaan diabetes
mellitus tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2009. hlm. 448.
24. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas
kedokteranUniversitasSumateraUtara,Medan: 2003. 1-14.
25. Lamb WH. Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. Dikutip
dari www.eMedicine.com.
26. Australian Paediatric Endocrine Group A. Guidelines on the management
ofdiabetes in children and adolescents. National Health and Research
Councilof Australia, 2005. Dikutip dari www.nhmrc.gov.
27. Makaryus AN, McFarlane SI. Diabetes Insipidus: Diagnosis and
Treatment of a Complex Disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine.
2006;73(1):65-71.
28. Zomp A, Alexander E. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
and Cerebral Salt Wasting in Critically Ill Patients. AACN Advanced
Critical Care. 2012;23(3):233-9.
29. Balasubramanian A, Flareau B, Sourbeer JJ. Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone Secretion. Hospital Physician. 2007:33-39.
30. Hoskote SS, Joshi SR, Ghosh AK. Disorders of Potassium Homeostasis:
Pathophysiology and Management. JAPI. 2008;56:685-93.
31. Soares MJ, Pathak K, Calton EK. Calcium and Vitamin D in the
Regulation of Energy Balance: Where Do We Stand? Int J Mol Sci.
2014;15:4938-45.
32. Peacock M. Calcium Metabolism in Health and Disease.
CJASN. 2010;5:23-30.
54