Anda di halaman 1dari 59

Laporan Kasus

SINDROM DELIRIUM AKUT

Disusun Oleh:
Dwi Fitri Handayani Friska
M. Noor Fadilah
Muthia Umara
Nurul Ayu Pratiwi
Vivin Leovani

Pembimbing :
Dr. dr. Harry Mangunsong, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul SINDROM DELIRIUM AKUT.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
turut membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terima kasih
ini penulis sampaikan kepada:
1. Dr. dr. Harry Mangunsong, Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan
waktu, ilmu, pikiran, serta membimbing dengan penuh kesabaran dari awal
hingga selesainya penulisan laporan kasus ini.
2. dr. Riza Yefri, Sp.A, Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A(K), IBCLC, dr.Elmi
Ridar, Sp.A selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan bagi
kelancaran dan kesempurnaan laporan kasus ini.
3. Teman teman seperjuangan terima kasih atas motivasi dan perhatian kepada
penulis.
Setelah berusaha maksimal untuk memberikan yang terbaik, penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan
kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pekanbaru, September 2017

ii
DAFTAR ISI (BELUM DIEDIT)

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ............................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 4


2.1. Sindrom Delirium .......................................................... 4
2.1.1 Definisi ......................................................................... 4
2.1.2 Epidemiologi ................................................................. 4
2.1.3 Klasifikasi ..................................................................... 5
2.1.4 Etiologi .......................................................................... 7
2.1.5 Patofisiologi .................................................................. 8
2.1.6 Manifestasi Klinis ......................................................... 9
2.1.7 Diagnosis....................................................................... 11
2.1.8 Penatalaksanaan ............................................................ 15
2.1.9 Prognosis ....................................................................... 17
2.2 Diabetes Melitus (DM) Tipe 1 ........................................ 17
2.2.1 Definisi ......................................................................... 17
2.2.2 Kriteria Diagnostik........................................................ 17
2.2.3 Epidemiologi ................................................................. 18
2.2.4 Gambaran Klinis ........................................................... 19
2.2.5 Komplikasi .................................................................... 19
2.3 Gangguan Elektrolit ........................................................ 23
2.3.1 Natrium ......................................................................... 23
2.3.1.1 Fisiologi Natrium ...................................................... 23
2.3.1.2 Hipernatremia ............................................................ 23
2.3.1.3 Diabetes Insipidus (DI) .............................................. 24

iii
2.3.1.4 Hiponatremia.............................................................. 27
2.3.1.5 Syndrome of Inappropriate ADH Secretion (SIADH) 28
2.3.1.6 Cerebral Salt-Wasting (CSW) ................................... 29
2.3.2 Kalium ....................................................................... 30
2.3.2.1 Fisiologi Kalium ....................................................... 31
2.3.2.2 Hiperkalemia .............................................................. 31
2.3.2.3 Hipokalemia ............................................................... 32
2.3.3 Kalsium ....................................................................... 33
2.3.3.1 Fisiologi Kalsium ....................................................... 33
2.3.3.2 Hiperkalsemia ............................................................ 34
2.3.3.3 Hipokalsemia ............................................................. 35

BAB III. LAPORAN KASUS.............................................................. 37

BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 51

iv
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. kemungkinan penyebab delirium .................................... 7


Tabel 2.2. Beberapa kondisi yang lazim mencetuskan kondisi delirium
......................................................................................... 8
Tabel 2.3. gejala-gejala hipoglikemia............................................... 20
Tabel 2.4. gejala hipoglikemia berdasarkan berat ringannya gejala klinis
......................................................................................... 20
Tabel 2.5. klasifikasi ketoasidosis diabetik ...................................... 22
Tabel 2.6. klasifikasi hiponatremia berdasarkan kadar ADH ........... 27
Tabel 2.7. perbandingan antara CSW dan SIADH ........................... 30

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Delirium merupakan salah satu jenis Gangguan Mental Organik yang
penting dan sering dijumpai pada pasien di rumah sakit maupun klinik. Sindrom
ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat
kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat
darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan salah
satu penyebabnya. Setidaknya 32%-67% dari sindrom ini tidak dapat terdiagnosis
oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature lain menyebutkan bahwa
70% dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi oleh dokter.
Sindrom delirium sering muncul dalam keluhan utama atau tak jarang justru
terjadi pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang
berfluktuasi. Keadaan yang terakhir ini tentu jika tidak ada keterangan yang
memadai dari dokter-dapat disalahartikan keluarga pasien sebagai kesalahan
pengelola di rumah sakit.1

Prevalensi delirium pada anak-anak cukup tinggi, dimana kejadian


delirium sekitar 10% sampai 44% pada pasien rawat inap dan sampai 30% pada
pasien di unit perawatan intensif anak (PICU).2 Beberapa penelitian yang telah
dilakukan tentang delirium pada bayi dan anak-anak, menunjukkan hubungan
positif antara tingkat keparahan penyakit dan delirium.Kejadian delirium pada
anak usia 6 bulan sampai 5 tahun sama banyak dengan prevalensi deliriumpada
anak di bawah 2 tahun yaitu sebesar 56% dan 35% pada anak-anak 2 sampai 5
tahun. Kejadian delirium juga tinggi pada anak-anak yang pernah dirawat di ICU,
yaitu sebanyak 30% anak yang bertahan di ICU.3 Kondisi Medis umum yang
melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal atau sistemik, salah satu diataranya
adalah gangguan metabolic misalnya, ketidakseimbangan elektrolit, diabetes,
hipo/hiperglikemia.4
Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah5. Kadar
glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara penyediaan
glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi gangguan

1
pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi penurunan kadar glukosa darah
(hipoglikemia) atau sebaliknya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia)6.
Glukosa merupakan sumber utama energi untuk menjalankan fungsi organ
sebagaimana mestinya. Walaupun semua organ tubuh menggunakan glukosa, otak
manusia menggunakannya hampir secara eksklusif sebagai substrat untuk
metabolisme energi. Oleh karena penyimpanan glikogen otak terbatas, pengiriman
glukosa yang adekuat ke otak merupakan fungsi fisiologis tubuh yang esensial.
Sekitar 90 % dari glukosa darah total dikonsumsi oleh otak. Meskipun bahan
bakar lain seperti asam laktat dan badan keton dapat digunakan sebagai substrat
untuk memproduksi energi, akan tetapi respon yang masih imatur dari neonatus
membuat penggunaan dari molekul-molekul tersebut tidak memungkinkan.
Dengan demikian, neonatus sangat rentan terhadap kondisi-kondisi yang
mengganggu pemeliharaan homeostasis glukosa selama masa transisi dari
intrauterin ke kehidupan mandiri di luar rahim.7
Hipoglikemia erat kaitannya dengan kelompok usia tertentu dan tahap
perkembangannya. Berbagai sindrom hipoglikemik ada kecenderungan terdapat
pada umur-umur khusus.5 Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan
metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak.5,8,9 Dalam perbandingannya,
hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus daripada anak yang lebih besar.6
Meskipun hipoglikemia merupakan gangguan yang paling sering terjadi, namun
belum ada definisi yang diterima secara universal untuk gangguan ini.5,8,9
Kerancuan timbul berdasarkan fakta bahwa rentang normal glukosa darah pada
setiap neonatus berbeda dan bergantung pada beberapa faktor yaitu berat badan
lahir, usia gestasi, body stores, riwayat makan, dan juga ada tidaknya penyakit
lain.9 Hipoglikemia dapat berdiri sendiri atau disertai oleh kelainan endokrin
misalnya diabetes melitus.5 Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi akut
yang paling sering terjadi pada diabetes tipe I.10
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, dengan perkiraan sekitar
50-60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan tubuh dibagi dalam dua
kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel (60%) dan cairan intrasel (40%). Cairan
ekstrasel dapat dibagi lagi menjadi dua subkompartemen antara lain cairan
interstitial (30%) dan cairan intravaskuler (10%). Membran sel lipid-soluble yang

2
membatasi cairan ekstra- dan intrasel bersifat semipermeabel yang bebas dilewati
air, namun tidak bebas dilewati oleh solut yang ada pada kedua kompartemen
tersebut.11,12

Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa elektrolit
(kation dan anion) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi
sel. Natrium pada cairan ekstrasel dan kalium pada cairan intrasel merupakan dua
kation utama yang mempengaruhi tekanan osmotik cairan dan langsung
berhubungan dengan fungsi sel. Kation lain yang terdapat pada cairan ekstrasel
adalah kalium, kalsium dan magnesium. Untuk menjaga netralitas atau
elektronetral, di dalam cairan intrasel terdapat anion fosfat, sedangkan anion
ekstrasel berupa klorida, bikarbonat, dan albumin.11-14

Beberapa kondisi tertentu dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara


cairan inra- dan ekstrasel. Gangguan ini selanjutnya mempengaruhi perbandingan
antara jumlah solut dan air, atau disebut dengan osmolalitas. Solut-solut yang
berperan dalam osmolalitas ini antara lain natrium, kalium, glukosa, dan urea.
Apabila keseimbangan elektrolit terganggu, maka akan terjadi gangguan
keseimbangan cairan dan sekaligus gangguan fungsi tubuh secara sistemik.12,15,16

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Delirium
2.1.1 Definisi
Delirium adalah suatu sindromgangguan kesadaran, biasanya terlihat
bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara global. Delirium mempunyai
onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan
berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan
dihilangkan.17
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi delirium pada awal rawatan rumah sakit berkisar antara 14-24%,
dan kejadian delirium yang timbul selama masa rawat di RS berkisar antara 6-
56% di antara populasi umum rumah sakit. Delirium timbul pada 15-53% pasien
geriatri pascaoperasi dan 70-87% pasien yang dirawat di ruang rawat intensif.
Delirium dijumpai pada hingga 60% pasien rumah-rawat atau kondisi perawatan
pasca-akut, dan hingga 83% pasien pada akhir hidupnya.18 Prevalensi delirium
pada anak-anak cukup tinggi, dimana kejadian delirium sekitar 10% sampai 44%
pada pasien rawat inap dan sampai 30% pada pasien di unit perawatan intensif
anak (PICU).2
Pada orang dewasa, delirium dikaitkan dengan penurunan kognitif,
kehilangan kebebasan, dan peningkatan angka kematian pada tahun setelah
dikeluarkan dari rumah sakit.Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang
delirium pada bayi dan anak-anak, menunjukkan hubungan positif antara tingkat
keparahan penyakit dan delirium. Kejadian delirium pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun sama banyak dengan prevalensi deliriumpada anak di bawah 2
tahun yaitu sebesar 56% dan 35% pada anak-anak 2 sampai 5 tahun. Kejadian
delirium juga tinggi pada anak-anak yang pernah dirawat di ICU, yaitu sebanyak
30% anak yang bertahan di ICU.3

4
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V
(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Klasifikasi
delirium berdasarkan DSM V tahun 2013 adalah sebagai berikut:4,19
a. Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari .
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa
gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU
Kondisi Medis Umum
Kondisi Medis umum yang melatar belakangi delirium dapat bersifat fokal
atau sistemik, misalnya:
1. Penyakit SSP (trauma kepala, tumor, pendarahan, hematoma,
abses,nonhemoragik stroke, transien iskemia, kejang dan migrain, dan lain-
lain).
2. Penyakit sistemik (misalnya, infeksi, perubahan status cairan tubuh,
defisiensi nutrisi, luka bakar, nyeri yang tidak dapat dikontrol, stroke akibat
panas, dan di tempat tinggi (> 5000 meter)
3. Penyakit jantung (misalnya, gagal jantung, aritmia, infark jantung, bedah
jantung)
4. Gangguan metabolik (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit,diabetes,
hipo/hiperglikemia)
5. Paru (misalnya, COPD, hipoksia, gangguan asam basa)
6. Obat yang digunakan (misalnya, steroid, medikasi jantung,antihipertensi,
antineoplasma, antikolinergik, SNM, sinromserotonin)
7. Endokrin (misalnya, kegagalan adrenal, abnormalitas tiroidatau paratiroid)

5
8. Hematologi (misalnya, anemia, leukemia, diskrasia)
9. Renal (misalnya, gagal ginjal, uremia)
10. Hepar (misalnya, gagal hepar, sirosis, hepatitis)
b. Delirium Akibat Kondisi Intoksikasi Zat
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan
terhadaplingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium,
sebagai berikut:
a) Simptom 1 dan 2 terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan
medikasi
b) Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium
c. Delirium Akibat Putus Zat
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai
berikut:
a) Simptom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat

6
d. Delirium Akibat Etiologi Beragam
1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan
demensia.
3. Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4. Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa:
a) Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu
KMU, KMU + intoksikasi zat, atau efek samping obat.
2.1.4 Etiologi
Kemungkinan penyebab dari delirium di singkat dengan akronim I WATCH
DEATH
Tabel2.1Kemungkinan penyebab delirium2
I Infections Encephalitis, meningitis, urinary tract
infection, pneumonia
W Withdrawal Alcohol, barbiturates, benzodiazepines
A Acute metabolic Electrolyte imbalance, hepatic or renal failure
T Trauma Head injury, postoperative
C CNS pathology Stroke, haemorrhage, tumour, seizure disorder
H Hypoxia Anaemia, cardiac failure, pulmonary embolus
D Deficiencies Vitamin B12, folic acid, thiamine
E Endocrinopathies Thyroid, glucose, parathyroid, adrenal
A Acute vascular Shock, vasculitis, hypertensive
encephalopathy
T Toxic or drugs Toxins, substance intoxication, medications
(alcohol, anaesthetics, anticholinergics,
narcotics etc.)
H Heavy metals Arsenic, lead, mercury

7
Tabel 2.2. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium20
Iatrogenik Pembedahan, kateterisasi, urin, psysical restraints
Obat-obatan Psikotropika
Gangguan metabolic/ Insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,
cairan hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia
Penyakit psikis/ Demam, infeksi, stres, alcohol, putus obat (tidur),
psikiatrik fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur
Overstimulation Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang rawat
2.1.5 Patofisiologi
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa delirium terjadi karena terdapat kerusakan
metabolisme oksidatif serebral dan abnormalitas pada beberapa neurotransmitter.
Berikut terdapat beberapa hipotesis mengenai delirium.21
a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang
mendukung teori ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab
keadaan bingung. Pada pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga
muncul gejala ini dan pada pasien post operatif delirium serum antikolinergik juga
meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Gejala
simptomatis membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan
obat penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan
encephalopati hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric
acid); pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA
juga ditemukan. Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic
encephalopati, yang menyebabkan peningkatan pada asam amino glutamat dan

8
glutamine (kedua asam amino ini merupakan precursor GABA). Penurunan level
GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada pasien yang mengalami
gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6, dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi
dan paparan toksik dalam tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1
dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium, dihubungkan dengan hubungan respon otak yang dimediasi oleh
interleukin-1 dan interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari
bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation
retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat
pada delirium. Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan
delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Kunci utama dari delirium adalah suatu gangguan kesadaran, yang dalam
DSM IV digambarkan sebagai penurunan kejernihan kesadaran terhadap
lingkungan dengan Keadaan delirium mungkin didahului selama beberapa hari
oleh perkembangan kecemasan, mengantuk, insomnia, halusinasi transien, mimpi
menakutkan di malam hari dan kegelisahan.20
A. Kesadaran
Dua pola umum kelainan kesadaran telah ditemukan pada pasien dengan
delirium. Satu pola ditandai oleh hiperaktivitas yang berhubungan dengan
peningkatan kesiagaan. Pola lain ditandai oleh penurunan kesiagaan. Pasien
delirium yang berhubungan dengan putus zat seringkali mempunyai delirium
hiperaktif yang juga dapat disertai dengan tanda otonomik, seperti kemerahan
kulit, pucat, berkeringat, takikardia, pupil dilatasi, mual, muntah, dan hipertermia.

9
Pasien dengan gejala hipoaktif kadang-kadang diklasifikasikan sebagai sedang
depresi atau katatonik.20
B. Orientasi
Orientasi terhadap waktu seringkali hilang, bahkan pada kasus delirium
yang ringan. Orientasi terhadap tempat dan kemampuan untuk mengenali orang
lain (sebagai contohnya dokter, anggota keluarga) mungkin juga terganggu pada
kasus yang berat. Pasien delirium jarang kehilangan orientasi terhadap dirinya
sendiri.20
C. Bahasa dan kognisi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai kelainan dalam bahasa
seperti melantur, tidak relevan, atau membingungkan (inkoheren) dan gangguan
kemampuan untuk mengerti pembicaraan. Tetapi DSM IV tidak lagi memerlukan
adanya kelainan bahasa untuk diagnosis, karena kelainan tersebut tidak mungkin
untuk mendiagnosis pasien yang bisu.20
Fungsi kognitif lainnya yang mungkin terganggu pada pasien delirium
adalah fungsi ingatan dan kognitif umum. Kemampuan untuk menyusun,
mempertahankan, dan mengingat kenangan mungkin terganggu, walaupun
kenangan yang jauh mungkin dipertahankan. Pasien delirium juga mempunyai
gangguan kemampuan memecahkan masalah dan mungkin mempunyai waham
yang tidak sistematik, kadang-kadang paranoid.20
D. Persepsi
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai ketidakmampuan umum
untuk membedakan stimuli sensorik dan untuk mengintegrasikan persepsi
sekarang dengan pengalaman masa lalu mereka. Dengan demikian, pasien
seringkali tertarik oleh stimuli yang tidak relevan atau menjadi teragitasi jika
dihadapkan oleh informasi baru. Halusinasi juga relatif sering pada pasien
delirium. Halusinasi paling sering adalah visual atau auditoris, walaupun
halusinasi juga dapat taktil atau olfaktoris. Ilusi visual dan auditoris adalah sering
pada delirium.20
E. Mood
Pasien dengan delirium juga mempunyai kelainan dalam pengaturan mood.
Gejala yang paling sering adalah kemarahan, kegusaran, dan rasa takut yang tidak

10
beralasan. Kelainan mood lain yang sering ditemukan pada pasien delirium adalah
apati, depresi, dan euforia. Beberapa pasien dengan cepat berpindah-pindah di
antara emosi tersebut dalam perjalanan sehari.20
F. Gejala Penyerta
Tidur pada pasien delirium secara karakteristik terganggu. Pasien
seringkali mengantuk selama siang hari dan dapat ditemukan tidur sekejap di
tempat tidunya atau di ruang keluarga. Tetapi tidur pada pasien delirium hampir
selalu singkat dan terputus-putus. Seringkali keseluruhan siklus tidur bangun
pasien dengan delirium semata-mata terbalik. Pasien seringkali mengalami
eksaserbasi gejala delirium tepat sebelum tidur, situasi klinis yang dikenal luas
sebagai sundowning. Kadang-kadang mimpi menakutkan di malam hari dan
mimpi yang mengganggu pada pasien delirium terus berlangsung ke keadaan
terjaga sebagai pengalaman halusinasi.20
G. Gejala Neurologis
Pasien dengan delirium seringkali mempunyai gejala neurologis yang
menyertai, termasuk disfasia, tremor, asteriksis, inkordinasi dan inkontinesia urin.
Tanda neurologis fokal juga ditemukan sebagai bagian pola gejala pasien dengan
delirium.20
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis delirium dibagi dalam dua proses:20
1. Deteksi delirium, melalui pemeriksaan riwayat dan status mental yang
terfokus pada kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-IV.
2. Identifikasi penyebab dari delirium. Karena manifestasi klinis hanya
memberikan sedikit petunjuk untuk kausa, sehingga penting untuk
dilakukan anamnesis terhadap riwayat umum, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya dan sesegera mungkin
ditentukan penyebabnya. Kriteria diagnostik untuk delirium yaitu :20
1. Kemampuan terbatas untuk mempertahankan daya perhatian terhadap
rangsang dari luar (misalnya pertanyaan harus diulang karena daya
perhatian melantur) dan secara wajar dapat mengalihkan ke arah rangsang
eksternal yang baru.

11
2. Alam pikiran yang kacau, yang ditujukan oleh cara bicara yang ngawur
dan tak jelas( asal bersuara), soalnya tidak relevan, atau daya bicara
inkoheren.
3. Sedikitnya dua dari yang tercantum di bawah ini :
a. Kesadaran yang menurun (contoh : sulit mempertahankan kesadaran
saatpemeriksaan)
b. Gangguan persepsi: misinterpretasi, ilusi, atau halusinasi
c. Gangguan siklus tidur dengan insomnia atau mengantuk di siang hari
d. Kegiatan psikomotor meningkat atau menurun
e. Disorientasi terhadap waktu, tempat atau orang
f. Gangguan daya ingat (contoh : tidak mampu belajar materi baru, seperti
namaberaneka ragam benda yang tak terkait setelah 5 menit, atau untuk
mengingatperistiwa yang telah lalu, seperti riwayat dari episode
gangguan sekarang)
4. Gambaran klinis yang timbul yang berkembang dalam waktu yang singkat
(biasanyadalam jam atau hari) dan cenderung untuk naik turun dalam
sehari.
5. Salah satu dari poin di bawah ini :
a. Terbukti dari riwayat, pemeriksan fisik, atau uji laboratorik tentang satu
ataubeberapa faktor organik yang khas yang dapat diduga sebagai
penyebab yangterkait dengan gangguan itu.
b. Bila tidak adanya bukti ini, faktor penyebab organik yang dapat diduga
bilagangguannya tidak dapat diperkirakan adalah disebabkan oleh
gangguan mental nonorganik (contoh : episode manik yang merupakan
sebab untuk menjadi agitatif dan gangguan tidur).
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan adalah :15
a. Anamnesa terutama riwayat medis menyeluruh, termasuk penggunaan
obat-obatan atau medikasi.
b. Pemeriksaan fisik lengkap terutama dilakukan secara rutin pada pasien
yang rawat inap.

12
c. Pemeriksaan neurologis, termasuk status mental, tes perasaan (sensasi),
berpikir (fungsi kognitif), dan fungsi motorik. Pemeriksaan status kognitif
mencakup :
- Tingkat kesadaran
- Kemampuan berbahasa
- Memori
- Apraksia
- Agnosia dan gangguan citra tubuh
Pemeriksaan penunjang berupa :20
a. Uji darah
Tujuannya untuk memeriksa adanya gangguan organik, memeriksa
komplikasi fisik akibat gangguan psikiatri untuk menemukan gangguan
metabolik. Uji darah serologis, biokimia, endokrin dan hematologis yang
harus dilakukan termasuk :
a. Pemeriksaan darah lengkap
b.Urea dan elektrolit
c. Uji fungsi tiroid
d.Uji fungsi hati
e. Kadar vitamin B12 dan asam folat
f. Serologi sifilis
b. Uji urin
Skrining obat terlarang dalam urine perlu dilaksanakan untuk memeriksa
penyalahgunaan zat psikoaktif yang samar.
c. Elektroensefalogram (EEG)
d. X-ray dada
e. CT scan kepala
f. MRI scan Kepala
g. Analisis cairan serebrospinal (CSF)
h. Kadar obat, alkohol (toksikologi)
i. Uji genetik
Penggolongan kariotipe merupakan pemeriksaan penunjang klinik kedua
yang bisa memastikan adanya gangguan akibat kelainan kromosom. Uji ini

13
terutama berguna untuk menyelidiki orang dengan disabilitas belajar (retardasi
mental).
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders IV dibedakan berdasarkan etiologinya.20
1. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat kondisi medis tertentu
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan gangguan fisiologis yang berkonsekuensi pada terjadinya
delirium
2. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat intoksikasi zat tertentu
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan: (1) Gejala kriteria A dan B terjadi selama intoksikasi zat
tertentu, (2) Penggunaan obat sebagai etiologi dari delirium

3. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat withdrawal


A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif

14
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan bahwa kriteria A dan B terjadi selama atau seketika setelah
obat dihentikan (withdrawal sindrom)
4. Kriteria diagnostik untuk delirium akibat etiologi multipel
A. Gangguan kesadaran dengan penurunan kemampuan untuk memfokuskan
diri
B. Perubahan fungsi kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan
bahasa)
C. Awitan yang tiba-tiba (beberapa jam atau hari), singkat dan fluktuatif
D. Bukti dari anamnesa, pemeriksaan fisik atau laboratorium yang
menunjukan bahwa delirium memiliki lebih dari 1 etiologi
5. Kriteria diagnostik untuk delirium yang tidak spesifik
Kategori ini digunakan apabila tidak tergolongkan pada kriteria-kriteria
delirium spesifik.
1. Delirium yang diperkirakan akibat kondisi medis tertentu, atau intoksikasi
namun bukti-bukti yang didapatkan tidak cukup
2. Delirium yang disebabkan oleh suatu penyebab yang tidak tercantum
(seperti kekurangan stimulus sensorik)

Bbrp instrumen utk penilaian pasien yg mengalami delirium :


1. Confusion Assesment Method (CAM)
2. Memorial Delirium Assesment Scale (MDAS)
3. Cognitive test for Delirium (CTD)
4. Delirium Rating Scale (DRS)
MetodePenilaianKebingungan(CAM) adalah alatberbasis buktistandaryang
memungkinkandokter umumterlatihuntuk mengidentifikasi dan
mengenalideliriumcepat dan akuratdi keduaklinis danpengaturan penelitian.
TheCAMmencakup empataspek ditemukan memilikikemampuan terbesaruntuk
membedakandeliriumdari jenis laingangguan kognitif.5
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama adalah mengobati gangguan dasar yang menyebabkan
delirium. Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan

15
fisik, sensorik, dan lingkungan. Dua gejala utama dari delirium yang mungkin
memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia. Obat yang
terpilih untuk psikosis adalah haloperidol ( Haldol ), suatu obat antipsikotik
golongan butirofenon, dosis awal antara 2 - 10 mg IM, diulang dalam satu jam
jika pasien tetap teragitasi, segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam
cairan konsentrat atau bentuk tablet dapat dimulai, dosis oral kira kira 1,5 kali
lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol 5
- 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium. Droperidol (Inapsine) adalah suatu
butirofenon yang tersedia sebagai suatu formula intravena alternatif, monitoring
EKG sangat penting pada pengobatan ini. Insomnia diobati dengan golongan
benzodiazepin dengan waktu paruh pendek, contohnya, hidroksizine (Vistaril)
dosis 25 - 100 mg.4
Selain itu penatalaksanaan lain dari pasien dengan delirium yaitu:
a. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu
agar tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.
b. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila
perlu diberi stimulansia.
c. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati
dengan sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang
tidak menolong, tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak
menjadi tenang, tetapi bertambah gelisah.
d. Klien harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya
untuk dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan
sebagainya) ataupun untuk orang lain.
e. Dicoba menenangkan klien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya
menurun) atau dengan kompres es. Klien mungkin lebih tenang bila ia dapat
melihat orang atau barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan
terlalu gelap , klien tidak tahan terlalu diisolasi.
f. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan
neroleptika, terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

16
2.1.9 Prognosis
Delirium hampir selalu merupakan kondisi sementara yang sembuh
apabila penyebab yang mendasarinya berhasil diatasi. Akan tetapi, pada beberapa
kasus yang penyebab deliriumnya, seperti cedera kepala atau ensefalitis, dapat
menyebabkan klien mengalami gangguan kognitif, perilaku, atau emosional,
bahkan setelah penyebab yang mendasarinya diatasi. Semakin tua pasien maka
semakin lama waktu yang dibutuhkan delirium untuk mereda. Mengingat kembali
apa yang terjadi saat delirium, saat sudah reda, biasanya seorang pasien akan
menyebut episode tersebut sebagai mimpi buruk yang terkadang hanya dapat
diingat secara samar-samar. Terjadinya delirium dengan tingkat kematian yang
tinggi pada tahun berikutnya merupakan akibat sifat serius kondisi medis yang
menyebabkan delirium. 20

2.2 Diabetes Melitus (DM) Tipe 1


2.2.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe-1 adalah suatu kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh
kerusakan sel pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga
produksi insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah
mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. 21
2.2.2 Kriteria diagnostik
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah plasma
<126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifi k untuk DM sehingga perlu
dikonfi rmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. Diagnosis DM dapat ditegakkan
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: 21
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis,
penurunan berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma sewaktu
200 mg/ dL (11.1 mmol/L).
2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7 mmol/L).
3. Kadar glukasa plasma 200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2
TTGO (Tes Tolerasansi Glukosa Oral).
4. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT)

17
Penderita yang asimtomatis dengan adanya peningkatan kadar glukosa
plasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar
glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu.
Diagnosis tidak ditegakkan hanya dengan satu kali pemeriksaan.
Penilaian glukosa plasma puasa :
-Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
-Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =
(IFG): 100125 mg/dL (5.66.9 mmol/L)
Diabetes :126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral :
-Normal : <140 mg/dL (7.8 mmol/L)
-Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance =IGT) :
140200 mg/dL (7.8<11.1 mmol/L)
Diabetes :200 mg/dL (11.1 mmol/L)
2.2.3 Epidemiologi
Berbagai macam Insidens DM tipe-1 baik antar negara maupun di dalam
suatu negara. Kasus DM tipe-1 terjadi 5-10% dari seluruh jumlah penderita
diabetes di beberapa negara barat, dan penderita diabetes pada anak dan remaja
adalah DM tipe-1 yang mencapai lebih dari 90%. Finlandia merupakan negara
dengan insidens paling tinggi yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah di
Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih
tinggi pada ras Kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. Diperkirakan diseluruh
dunia 80.000 anak-anak berusia kurang dari 15 tahun akan berkembang menjadi
DM tipe-1. Data registri nasional DM tipe-1 pada anak dari PP IDAI hingga tahun
2014 didapatkan 1021 kasus. Terdapat 2 puncak insidens DM tipe-1 pada anak
yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut diketahui bahwa lebih dari 50%
penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. 21
Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe
1. Walaupun hampir 80% penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat
keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam
patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi
sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada

18
patogenesis DM tipe-1. Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibiity gene
atau faktor kerentanan. Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari
lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1
pada seseorang yang rentan. Dikaitkan dengan HLA, diperkirakan 10%
mempunyai riwayat keluarga diabetes. Risiko pada kembar identik adalah kurang
dari 40%, sedangkan pada saudara kandung diperkirakan 4% pada usia 20 tahun,
dan 9,6% pada usia 60 tahun dibandingkan 0,5% pada seluruh populasi.21
2.2.4 Gambaran klinis
Sebagian besar penderita DM tipe-1 mempunyai riwayat perjalanan klinis
yang akut. Poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis, penurunan berat badan yang
cepat dalam 2-6 minggu sebelum diagnosis ditegakkan, kadang-kadang disertai
polifagia dan gangguan penglihatan. Apabila gejala-gejala klinis ini disertai
dengan hiperglikemia maka diagnosis DM tidak diragukan lagi. Sering terjadi
kesalahan dan keterlambatan diagnosis DM tipe-1. Pada beberapa anak mulai
timbulnya gejala sampai menjadi ketoasidosis dapat terjadi sangat cepat,
sedangkan pada anak yang lain dapat timbul secara lambat dapat dalam beberapa
bulan. Akibat keterlambatan diagnosis, penderita DM tipe-1 akan memasuki fase
ketoasidosis yang dapat berakibat fatal bagi penderita. Keterlambatan ini dapat
juga terjadi karena penderita disangka menderita bronkopneumonia dengan
asidosis atau syok berat.21
2.2.5 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan
ketoasidosis diabetik.
a. Hipoglikemia22
Hipoglikemia pada umumnya terjadi karena ada ketidakseimbangan antara
dosis insulin, makanan yang dikonsumsi, dan olahraga yang baru saja dilakukan,
atau kadang-kadang karena suatu kejadian spontan. Hipoglikemia merupakan
salah satu faktor kegagalan utama dalam mencapai kadar gula darah mendekati
normal, karena hipoglikemia dapat disertai gejala yang tidak menyenangkan,
memalukan, dan berbahaya, sehingga menimbulkan kecemasan dan ketakutan
pada pasien dan orangtuanya. Selain itu hipoglikemia yang berat dapat
menyebabkan kerusakan otak menetap dan bahkan kematian. Untuk itu perlu
diupayakan agar hipoglikemia berat tidak terjadi. Dengan memahami bagaimana

19
mengatur keseimbangan insulin, makanan, dan olahraga/ aktivitas fisik untuk
mencapai normoglikemia sambil menjaga agar hipoglikemia tidak terjadi
merupakan hal penting dalam kehidupan semua pasien diabetes dan keluarganya.
Batasan hipoglikemia masih menjadi perdebatan karena masing-masing
individu merasakan dampaknya pada kadar gula darah yang berbeda-beda.
Demikian juga dengan faktor-faktor penyebab hipoglikemia, pada anak yang lebih
muda (prasekolah) faktor penyebab dan dampaknya mungkin akan berbeda dari
anak yang lebih tua atau remaja. Akibat kerja insulin yang berlebihan, dapat
terjadi hipoglikemia berat dengan gejala kejang, koma, bahkan kematian.
a. Gejala hipoglikemia
Gejala klinis hipoglikemia bervariasi dan dibagi menjadi gejalaneurogenik
dan gejala neuroglikopenia seperti dibawah ini:
Tabel 6. Gejala-gejala hipoglikemia
Gejala neurogenik Gejala neuroglikopenia
berkeringat, lapar, Pusing, iritabel, lemah, mengantuk, sakit
parestesia di sekitar kepala,
mulut, tremor, gangguan penglihatan, bicara lamban dan
takikardi, pucat, pelo,
palpitasi, lemas, vertigo dan dizziness, kesulitan berpikir,
gelisah, mual. lelah,
perubahan afektif (depresi, marah), bicara
ngaco, kejang, penurunan kesadaran, koma.

Tabel 7. Gejala hipoglikemia berdasarkan berat ringannya gejala klinis


Tingkat Gambaran klinis Terapi
Ringan Lapar, tremor, mudah Sari buah, limun manis,
goyah, pucat, ansietas, anggur manis,
berkeringat, palpitasi, makanan ringan. Jika
takikardi, penurunan hipoglikemia
konsentrasi, dan sangat ringan dapat diatasi
kemampuan kognitif. dengan
memajukan jadwal makan,
apabila
episode terjadi dalam 15-30
menit
dari jadwal yang ditentukan.
Sedang Sakit kepala, sakit perut, 10-20 gram gula yang dapat
perubahan tingkah laku, dicerna
agresif, ganguan visus, segera, diikuti dengan
bingung, ngantuk, lemah, pemberian

20
kesulitan bicara, takikardi, snack.
pucat, berkeringat,
dilatasi pupil.
Berat Disorientasi berat, Bila jauh dari pertolongan
penurunan kesadaran, medis:
koma, kejang. bila tersedia glukagon, berikan
injeksi
glukagon (SC, IM atau IV)
untuk
usia <5 tahun berikan 0,5 mg
dan
usia >5 tahun 1,0 mg. Bila tak
ada
respon dalam 10 menit ulangi
sekali
lagi. Kemudian diikuti dengan
makan
dan monitoring berkala. Bila
tidak
ada glukagon, oleskan selai
atau madu
kebagian dalam mulut sambil
segera
membawa pasien ke rumah
sakit.
Di rumah sakit: berikan
dekstrose
10% intravena dengan dosis 2
mL/kgBB diikuti infus
dekstrose
untuk menstabilkan kadar
glukosa
darah antara 90-180 mg/dL (5-
10
mmol/L)

b. Derajat Hipoglikemi23
The Diabetes Control and Complications Trial (DCCT)
mendefinisikanhipoglikemia berat sebagai hipoglikemia yang memerlukan
bantuanorang lain untuk mengatasinya, misalnya penderita dengan
penurunankesadaran. Hipoglikemia dapat simptomatik atau
asimptomatik.Hipoglikemia simptomatik dibagi dalam 3 tingkat berdasarkan
kriteriadibawah ini:
a. Derajat I
Bila anak dapat mendeteksi dan mengobati sendiri
hipoglikemianya.Hipoglikemia pada anak dibawah 5 tahun tidak dapat
diklasifikasikan sebagai derajat I karena mereka belum dapat mengobati sendiri.
b. Derajat II

21
Bila membutuhkan pertolongan orang lain untuk dapat
mengatasihipoglikemia ini, tetapi pengobatan masih dapat dilakukan secara oral.
c. Derajat III
Bila anak pingsan, tak sadar, kejang dan tak dapat diatasi dengan glukosa
secaraoral. Terapi dilakukan dengan injeksi glukagon atau glukosa
intravena.Berdasarkan kadar gula darah derajat hipoglikemia dibagi atas:
Hipoglikemia ringan: GDS kapiler 55-70 mg/dL
Hipoglikemia sedang: GDS kapiler <55 mg/dL tanpa penurunankesadaran
Hipoglikemia berat: GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunankesadaran
atau kejang
c. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetek terjadi akibat penurunan konsentrasi insulin yang
efektifdan dapat dikaitkan dengan resistensi insulin dan peningkatan produksi
hormon penghambat regulasi seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan
ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan
keadaan hiperglikemia dan hiperosmolardan ketidakseimbangan elektrolit.
Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan ketonakan menyebabkan ketonemia
dan asidosis metabolik.23
Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah
> 11 mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15
mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan
ketonemia.Secara klinis, ketoasidosis terbagi ke dalam tiga kriteria, yaitu ringan,
sedang, dan berat, yang dibedakan menurut pH serum.24-26
Kriteria untuk definisi dan klasifikasi KAD meliputi plasma kadar glukosa
darah, pH dan bikarbonat (Tabel 1).
Tabel 2.2 Klasifikasi ketoasidosis diabetik
Blood glucose(mmol/L) VenouspH Bicarbonate(mmol/L)
Mild >11 <7.3 <15
Moderate >11 <7.2 <10
Severe >11 <7.1 <5

22
2.3 Gangguan Elektrolit

2.3.1 Natrium

2.3.1.1 Fisiologi Natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume cairan tubuh.


Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme, yaitu
kadar natrium yang sudah tetap dalam batas tertentu (set-point) serta
keseimbangan natrium yang masuk dan keluar (steady-state). Perubahan kadar
natrium intra- dan ekstrasel akan mempengaruhi kadar beberapa hormon terkait
seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA),
atrial natriuretic peptide (ANP), dan brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-
hormon tersebut akan mempengaruhi ekskresi natrium dalam urin.11,12,13

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus
dan reabsorpsi tubulus ginjal. Laju filtrasi glomerulus akan meningkat pada
hipervolemia serta peningkatan asupan natrium, dan begitu pula sebaliknya.
Perubahan yang terjadi pada laju ini akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di
tubulus. Sebanyak 60-65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus
proksimal, 25-30% di lengkung Henle, 5% di tubulus distal, dan 4% di duktus
kolingentes.11,15,16

Sumber utama ADH adalah bagian magnoseluler nukleus supraoptikus


pada hipotalamus. Stimulus berjalan sepanjang akson pada traktus supraoptikus-
hipofisis yang menuju ke kalenjar pituitari posterior (neurohipofisis), setelahnya
hormon beredar ke sirkulasi sistemik. Salah satu efek utama ADH adalah
meningkatkan permeabilitas tubulus distal ginjal yang mana akan meningkatkan
reabsorbsi air, selanjutnya mengencerkan darah yang bersirkulasi dan membuat
urin menjadi pekat. Peningkatan osmolaritas serum adalah stimulus utama
pengeluaran ADH; stimulus lainnya adalah penurunan volume intravaskuler.11

2.3.1.2 Hipernatremia

Kadar serum natrium >150 mEq/L didefinisikan sebagai hipernatremia.


Respon fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari
hipotalamus, sehingga ekskresi urin berkurang dan osmolalitas urin tinggi.

23
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah hipernatremia oleh karena
rangsangan rasa haus yang timbul akan dijawab dengan peningkatan asupan
air.22,23,27 Adapun penyebab hipernatremia antara lain:11

Ekskresi air melebihi ekskresi natrium; seperti peningkatan


insensible water-loss, diare osmotik, diabetes insipidus, diuresis
osmotik, dan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus.
Asupan natrium yang kurang
Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan; seperti koreksi
natrium bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik.
Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel; seperti peningkatan asam
laktat setelah olahraga berat yang meningkatkan osmolalitas sel.

Dalam kaitan dengan hipernatremia, harus dibedakan antara dehidrasi


dengan deplesi volume. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa natrium, yang berarti
hipotonik. Sedangkan deplesi volume adalah keluarnya air bersama natrium, yang
berarti isotonik. Pengurangan cairan intra- dan ekstrasel terjadi pada dehidrasi,
sedangkan deplesi volume hanya menyebabkan pengurangan cairan ekstrasel.12

2.3.1.3 Diabetes Insipidus (DI)

DI disebabkan oleh insufisiensi ADH dan mengakibatkan peningkatan


ekskresi air melalui ginjal. Berdasarkan etiologinya, DI dapat dibedakan menjadi
DI neurogenik akibat disfungsi aksis hipotalamus-pituitari dan DI nefrogenik
akibat resistensi relatif ginjal terhadap ADH. Adapun penyebab DI neurogenik
antara lain genetik, idiopatik, pasca-trauma, tumor, granuloma, infeksi, autoimun,
dan vaskuler. DI nefrogenik dapat disebabkan oleh kondisi genetik, hipokalemia,
hiperkalsemia, sindrom Sjgren, obat-obatan, dan gagal ginjal.11,12,27

Diperkirakan sekitar 85% kapasitas pengeluaran ADH telah menurun


sebelum diagnosis DI ditegakkan. Tanda dan gejala DI yang khas adalah poliuria
dengan osmolaritas urin rendah dan polidipsia pada pasien yang sadar.11,12,28 DI
neurogenik dapat dijumpai dalam kondisi berikut:27

24
1. Operasi trans-spenoidal atau pengangkatan kraniofaringioma terkadang
menyebabkan kerusakan pada pituitari posterior dengan tiga pola gejala
yang mungkin muncul.

a. Transient DI: poliurin dan polidipsia 12-36 jam pasca operasi.

b. Prolonged DI: poliuria dalam periode yang lebih lama sampai


berbulan-bulan bahkan permanen. Hanya sepertiga pasien yang
tidak kembali normal satu tahun pasca operasi.

c. Triphasic response

- Fase 1: kerusakan pituitari menurukan ADH selama 4-5 hari.

- Fase 2: kematian sel meningkatkan ADH selama 4-5 hari


berikutnya, menyebabkan normalisasi sementara atau SIADH-
like water retention.

- Fase 3: sekresi ADH menurun atau menghilang sama sekali


(transient atau prolonged DI).

2. Massa yang menekan hipotalamus seperti aneurisme.

3. Pasca cedera kepala, khususnya pada fraktur basis kranii.

4. Encefalitis atau meningitis.

5. Penggunaan obat-obatan contohnya etanol, fenitoin, dan steroid yang


dapat menghambat pelepasan ADH.

6. Proses inflamasi seperti hipofisitis limfositik atau infundibulo-


neurohipofisitis limfositik.

Kriteria diagnosis berikut ini biasanya cukup untuk menegakkan diagnosis


DI, khususnya apabila manifestasi klinis juga mendukung, yaitu osmolaritas urin
50-150 mOsm/L, specific gravity 1,001-1,005, produksi urin >250 mL/jam (anak:
>3 mL/kgBB/jam), normo- atau hipernatremia, dan fungsi adrenal normal. Pada
kasus yang tidak khas bisa dibuat plot urin osmolaritas urin versus osmolaritas
plasma atau water deprivation test (perlu diperhatikan bahwa tes ini dapat
menyebabkan dehidrasi).11,27

25
Penanganan untuk DI neurogenik dapat dibagi menjadi tiga menurut kondisi
pasien:15,27

1. Pasien rawat jalan; apabila DI ringan serta mekanisme rasa haus


tidak terganggu, pasien diinstruksikan untuk minum hanya ketika
haus. Hal ini biasanya dapat mengganti kehilangan cairan dan tidak
akan overhidrasi. Pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan cairannya
pada DI berat, maka dari itu diberikan desmopresin intranasal 2,5 g
dengan titrasi sampai 20 g jika diperlukan. Obat pilihan lainnya
bersifat merangsang ADH, yang mana hanya bekerja pada defisiensi
parsial ADH (bukan defisiensi total), antara lain klofibrat 500 mg PO,
klorpropramid (meningkatkan sensitivitas ginjal terhadap ADH), dan
hidroklorotiazid (meningkatkan reabsorpsi tubulus proksimal
sekaligus menggeser cairan dari tubulus distal tempat ADH bekerja).

2. Pasien rawat jalan dengan gangguan mekanisme rasa haus; kondisi ini
meningkatkan resiko dehidrasi atau overhidrasi. Penanganannya berupa
monitor cairan masuk dan cairan keluar, catat perubahan berat badan,
dan pemberian antidiuretik jika diperlukan. Pemeriksaan laboratorium
mingguan juga diperlukan, yaitu natrium serum dan BUN.

3. Pasien rawat inap, stupor, koma, atau mati otak; monitor yang penting
dari pasien tersebut yaitu keseimbangan cairan setiap jam, specific
gravity urin setiap empat jam, serta elektrolit serum dan osmolaritas
setiap enam jam. Sebagai terapi cairan IV diberikan basal IV rate D5
NS + KCl 20 mEq/L dengan kecepatan 75-100 mL/jam, plus NS
sebanyak produksi urin. Jika pasien mendapat cairan yang sigifikan
selama operasi, maka wajar apabila pasien mengalami diuresis, untuk
itu diberikan NS hanya dua pertiga total produksi urin. Arginin
vasopresin 5 U IV/IM setiap 4-6 jam atau vasopresin IV kecepatan 0,2
U/menit dengan titrasi (maksimal 0,9 U/menit) atau desmopresin 2-4 g
IV setiap 12 jam diberikan ketika terapi cairan tidak bisa
menyeimbangkan pengeluaran urin.

26
2.3.1.4 Hiponatremia

Apabila terjadi hiponatremia, tubuh normal akan merespon dengan


menekan pengeluaran ADH sehingga ekskresi urin meningkat. Hiponatremia
dapat terjadi bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi atau
ketidakmampuan menekan sekresi ADH.11,13,15,16 Berdasarkan prinsip di atas,
kondisi ini dapat disertai dengan atau tanpa peningkatan ADH.11

Tabel 1. Klasifikasi Hiponatremia Berdasarkan Kadar ADH11


Hiponatremia dengan Volume sirkulasi Peningkatan ekskresi
peningkatan ADH efektif turun natrium
- Obat diuretik
- Renal salt-wasting
- Muntah, diare
- Hipoaldosteron
Peningkatan volume air
bebas elektrolit
- Gagal jantung
- Sirosis hati
- Perdarahan
- Insufisiensi adrenal
- Hipotiroidisme
- Hipoalbuminemia
Volume sirkulasi - SIADH
efektif tetap
Hiponatremia dengan - Polidipsia primer
ADH tertekan fisiologis - Gagal ginjal

Menurut waktunya, hiponatremia dibagi menjadi hiponatremia akut (<48


jam) dan kronis (>48 jam). Gejala hiponatremia ringan atau penurunan bertahap
atau kronis meliputi anoreksia, nyeri kepala, iritabel, dan kelemahan otot.
Sedangkan pada hiponatremia berat (<120 mmol/L) atau penurunan cepat (>0,5

27
mmol/jam) atau akut dapat menyebabkan eksitabilitas neuromuskuler, edema
otak, mual/muntah, kejang, sampai henti nafas, cedera otak permanen, koma,
bahkan kematian. Pasien dengan hiponatremia yang belum diketahui durasinya
kemungkinan sudah bersifat kronis jika gejalanya masih minimal, dan ditangani
secara gradual khususnya dengan terapi cairan. Hiponatremia simtomatik akut
harus ditangani segera karena edema otak yang terjadi meningkatkan resiko
herniasi dan gagal jantung-nafas.11,12,15

Pada pasien bedah saraf, kondisi hiponatremia sering terlihat pada


Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) dan
Cerebral Salt-Wasting (CSW). Oleh karena mekanisme kompensasi yang lambat
di otak, penurunan kadar natrium yang bertahap lebih bisa ditoleransi
dibandingkan penurunan yang cepat.11,12

2.3.1.5 Syndrome of Inappropriate ADH Secretion (SIADH)

SIADH, atau sindrom Schwartz-Bartter, diakibatkan oleh pelepasan ADH


tanpa rangsangan fisiologis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan osmolalitas
urin dan peningkatan volume cairan ekstrasel, yang selanjutnya memicu
kelebihan cairan akibat hiponatremia dilusional. SIADH dapat bersifat
hipervolemia ataupun euvolemia. Edema tidak terjadi, namun hal ini masih belum
dapat dijelaskan.11,28,30 Adapun etiologi dari SIADH antara lain:11,29

1. Keganasan, khususnya bronkogenik

2. Proses intrakranial, contohnya meningitis (khususnya anak),


trauma, peningkatan tekanan intrakranial, tumor, pasca-
kraniotomi, perdarahan sub-araknoid

3. Penyakit paru, seperti keganasan, TB paru, aspergilosis

4. Anemia

5. Kondisi-kondisi yang merangsang pelepasan ADH, seperti


stres, nyeri hebat, mual, hipotensi

6. Porfiria intermiten akut

28
7. Klorpropramid (SIADH relatif dengan meningkatkan
sensitivitas ginjal terhadap ADH), oksitosin (cross-activity
dengan ADH), hidroklorotiazid, dan karbamazepin.

Tiga kriteria diagnosis SIADH adalah hiponatremia, urin pekat yang


abnormal, serta tidak ada disfungsi ginjal dan adrenal. Detailnya yaitu
hiponatremia (biasanya <134 mEq/L), penurunan osmolalitas darah (<280
mOsm/L), peningkatan natrium urin (>18 mEq/L), peningkatan rasio urin dan
osmolaritas serum (1,5-2,5:1, dapat pula 1:1), fungsi ginjal normal, fungsi adrenal
normal, tidak hipotiroid, serta tidak dehidrasi maupun overhidrasi. Penurunan
natrium yang ringan atau perlahan sering asimtomatik; gejala biasanya timbul saat
kadar natrium <120-125 mEq/L. Water load test dapat dilakukan jika diperlukan.
Pasien diminta untuk meminum air 20 mL/kgBB sampai 1500 mL. SIADH bisa
ditegakkan bila ekskresi tidak lebih dari 65% dari total air yang diminum dalam 4
jam atau 80% dalam 5 jam tanpa gangguan ginjal dan adrenal.11,28,29

Perlu dibedakan antara SIADH dan CSW sebelum melakukan koreksi.


SIADH akut yang ringan dan asimtomatik dilakukan restriksi cairan <1 L/hari
(anak: 1 L/m2/hari), sedangkan pada SIADH berat atau simtomatik digunakan
salin hipertonis dengan atau tanpa furosemid. Penanganan SIADH kronis meliputi
restriksi cairan jangka panjang (1200-1800 mL/hari), demeklosiklin 150-300 mg
PO setiap 6 jam (antagonis parsial terhadap ADH pada tubulus ginjal), furosemid
40 mg PO setiap 24 jam dengan diet tinggi natrium, dan fenitoin (menghambat
pelepasan ADH).11,28

2.3.1.6 Cerebral Salt-Wasting (CSW)

CSW merupakan kehilangan natrium melalui ginjal akibat proses


intrakranial, yang menyebabkan hiponatremia dan penurunan volume cairan
ekstrasel. Mekanisme gagalnya ginjal mengkonservasi natrium belum diketahui,
diduga melalui rangsangan faktor natriuretik yang belum diketahui atau kontrol
langsung dari susunan saraf pusat. Pemeriksaan laboratorium CSW dan SIADH
hampir sama, selain itu hipovolemia pada CSW bisa merangsang pelepasan ADH.
Yang membedakannya adalah Central Venous Pressure (CVP), Pulmonary
Capillary Wedge Pressure (PCWP), dan volume plasma rendah pada kondisi

29
hipovolemia seperti CSW.11,12,28 Dua perbedaan terpenting CSW dan SIADH
yaitu volume ekstrasel dan keseimbangan garam, seperti yang tercantum pada
tabel 2.11

Tabel 2. Perbandingan antara CSW dan SIADH11


Parameter CSW SIADH
Volume Plasma (<35 mL/kgBB)
Keseimbangan Garam - Bervariasi
Dehidrasi + -
Berat Badan atau tetap
PCWP (<8 mmHg) atau N
CVP (<6 mmHg) atau N
Hipotensi Ortostatik +
Hematokrit atau tetap
Osmolalitas Serum atau N
Rasio BUN:SC N
Protein Serum N
Natrium Urin
Kalium Serum atau tetap atau tetap
Asam Urat Serum N

Target terapi CSW adalah penggantian cairan dan keseimbangan garam


yang positif. Pasien dihidrasi dengan NaCl 0,9% atau terkadang digunakan NaCl
3%, dan garam juga bisa diganti per oral. Fludrokortison asetat 0,2 mg PO atau IV
per hari dapat meningkatkan absorpsi natrium pada tubulus ginjal. Obat ini
terbukti bermanfaat pada CSW, namun perlu diperhatikan efek sampingnya
seperti edema paru, hipokalemia, dan hipertensi.11,12,28

2.3.2 Kalium

2.3.2.1 Fisiologi Kalium

Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah besar dalam tubuh dan
mayoritas berada pada intrasel. Elektrolit ini berfungsi dalam sintesis protein,

30
kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, dan
perkembangan janin. Dalam menjaga kestabilan kadar kalium diperlukan
keseimbangan antara kemampuan muatan negatif intrasel untuk mengikat kalium
dan kemampuan kekuatan kimiawi mendorong kalium ke ekstrasel.
Keseimbangan ini menghasilkan kadar kalium yang tetap antara 3-3,5
mEq/L.11,12,14,15

2.3.2.2 Hiperkalemia

Penyebab hiperkalemia dapat digolongkan menjadi dua antara lain


keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel dan berkurangnya ekskresi kalium
melalui ginjal. Kalium dapat keluar dari sel pada kondisi asidosis metabolik,
defisiensi insulin, peningkatan katabolisme jaringan, dan obat penghambat -
adrenergik. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen masuk ke dalam sel dan
bertukar dengan kalium, yang mana menyebabkan peningkatan kadar kalium
dalam serum. Penurunan ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada
hipoaldosteronisme, gagal ginjal, atau diuretik golongan potassium-sparing.11,12

Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel, sehingga


potensial aksi lebih mudah terjadi dengan sedikit perubahan depolarisasi. Kondisi
ini menyebabkan kelemahan hingga kelumpuhan otot, disritmia, serta gangguan
transmisi impuls saraf. Gejala biasanya timbul saat kadar kalium serum >7 mEq/L
atau kenaikan yang cepat.11,12,14,30

Prinsip penanganan hiperkalemia meliputi melindungi membran sel,


memacu pemasukan kalium ke dalam sel, dan mengeluarkan kelebihan kalium
dari tubuh.11,12

1. Melindungi Membran Sel

a. Kalsium bekerja segera dalam mengobati gangguan jantung dan


neuromuskuler yang terjadi dengan melindungi membran sel. Kalsium
glukonas 10% IV diadministrasikan selama 2-3 menit disertai monitor
EKG. Pemberian dapat diulangi setelah lima menit jika EKG masih
menunjukkan adanya hiperkalemia. Efek kalsium glukonas hanya
bertahan selama satu jam.

31
2. Memacu Pemasukan Kalium ke Dalam Sel

a. Natrium bikarbonat meningkatkan pH sistemik, yang selanjutnya


merangsang ion hidrogen keluar dari sel serta ion kalium masuk ke sel
dalam 15 menit. Efek obat ini bertahan 1-2 jam. Injeksi 44 mEq HCO3
selama lima menit, dan dapat diulang 15 menit kemudian jika EKG
masih menunjukkan adanya hiperkalemia.

b. Sepuluh U insulin dalam dekstrosa 50% sebanyak 50 mL


diadministrasikan secara bolus IV, dan dilanjutkan infus dekstrosa 5%
untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Insulin memicu pompa Na-K-
ATPase untuk memasukkan kalium ke dalam sel, sedangkan dekstrosa
mimicu pengeluaran insulin endogen. Kombinasi ini menyebabkan
perpindahan kalium ke intrasel dalam 30-60 menit setelah administrasi
dan bertahan beberapa jam.

3. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh

a. Pemberian loop-diuretic (furosemid) dan/atau hidroklorotiazid.

b. Cation-exchange resin bekerja dengan mengeluarkan kalium dari tubuh


dan lebih lambat dibandingkan ketiga obat di atas. Satu gram
Kayexalate mampu mengeluarkan satu mEq K+. Sediaan oral
dikombinasikan dengan sorbitol untuk mencegah konstipasi, 20-50 g
Kayexalate dalam 100-200 mL sorbitol 20% setiap 3-4 jam (maksimal
4-5 dosis per hari). Sediaan enema bekerja lebih cepat, digunakan jika
sediaan oral tidak ditoleransi baik atau jika ileus.

c. Hemodialisis dilakukan jika terapi di atas tidak berhasil atau gejala-


gejala hiperkalemia sangat parah sehingga perlu penanganan yang
darurat.

2.3.2.3 Hipokalemia

Hipokalemia disebabkan oleh tiga kondisi berikut, yaitu asupan kalium


yang kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan, atau peningkatan pemasukan
kalium ke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan dapat berupa GI-loss
(muntah, pemakaian pipa nasogastrik, diare, obat pencahar), renal-loss (diuretik,

32
hiperaldosteronisme, poliuria, salt-wasting nephropathy), atau sweat-loss.
Alkalosis akut memicu pertukaran ion hidrogen intrasel dengan ion kalium
ekstrasel, dan menurunkan kadar kalium darah. Pemberian insulin, pemakaian -
agonis, dan hipotermia juga dapat menigkatkan pemasukan kalium ke dalam
sel.11,12,15,30

Gangguan sistem muskuloskeletal pada hipokalemia berupa kelemahan


otot, kelelahan, myalgia, dan penurunan refleks. Pada kondisi yang parah dapat
memicu disritmia (fibrilasi atrium, takikardi ventrikel) sampai asistol, dengan
gambaran EKG menunjukkan pendataran atau inversi gelombang T dan adanya
gelombang U. Hal ini disebabkan oleh perlambatan repolarisasi ventrikel yang
menimbulkan peningkatan arus re-entry. Level kalium <2 mmol/L menyebakan
peningkatan kreatinin fosfokinase (CPK) 30-300 kali yang memicu
rhabdomyolisis dan myoglobinuria. Hal ini mengakibatkan pelepasan kalium ke
darah, yang mana dapat menutupi kondisi hipokalemia yang terjadi.11,30

Koreksi kalium harus segera diberikan jika hipokalemia berat (<2 mEq/L),
terdapat kelemahan otot pernafasan, disertai ketoasidosis diabetikum, atau pasien
sedang dalam pengobatan digitalis. Hipokalemia ringan dapat diberikan kalium
dalam sediaan oral 40-60 mg (meningkatkan kalium 1-1,5 mEq/L) atau 135-160
mg (meningkatkan kalium 2,5-3,5 mEq/L). Pemberian kalium IV dalam bentuk
larutan KCl 10-20 mEq per jam, sedangkan pada aritmia atau kelumpuhan otot
pernafasan dapat diberikan 40-100 mEq/jam. Hindari pemberian glukosa pada
pasien hipokalemia.11,12,15

2.3.3 Kalsium

2.3.3.1 Fisiologi Kalsium

Komponen aktif kalsium adalah fraksi kalsium yang tidak terikat


(terionisasi); kadarnya sebesar 4-5,2 mg/dL atau 1-1,3 mmol/L dalam plasma
yaitu sekitar 45% dari total kalsium serum. Sisanya 40% diikat oleh protein
terutama albumin sedangkan 15% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat, dan
fosfat.12,14

33
Keseimbangan kalsium diatur oleh absorbsi usus, ekskresi ginjal, dan
faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus, terutama duodenum dan
jejunum proksimal. Vitamin D dibutuhkan dalam absorbsi kalsium. Ekskresi
kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus
(ultrafilterable calcium) dan kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus. Asupan dan
ekskresi natrium juga mempengaruhi kadar kalsium; ekskresi natrium yang
meningkat pada peningkatan volume cairan ekstrasel memicu ekskresi kalsium.
Faktor hormonal yang mempengaruhi yaitu vitamin D dengan metabolit aktifnya
kalsitriol (1,25-dihidroksikolekalsiferol) dan hormon paratiroid. Kalsitriol
merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus dan juga meningkatkan
reabsorbsi kalsium di ginjal. Kadar kalsium serum diatur oleh hormon paratiroid
melalui feedback mechanism. Hormon paratiroid dapat merangsang pembentukan
kalsitriol di ginjal, sedangkan kalsitriol dapat menurukan sekresi hormon
paratiroid.14,31,31,32

2.3.3.2 Hiperkalsemia

Beberapa penyakit dapat disertai dengan hiperkalsemia, seperti


hiperparatiroidisme, keganasan, intoksikasi vitamin D, sarkoidosis,
hipertiroidisme, dan insufisiensi adrenal. Kondisi ini menurunkan eksitabilitas
neuromuskuler yang menyebabkan kelemahan otot, confusion, stupor, sampai
koma. Pemeriksaan EKG akan menunjukkan pemendekan segmen Q-T.11,12,16
Adapun lima pilihan terapi hiperkalsemia adalah sebagai berikut:11,12

1. Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal dengan infus 2 L


NaCl 0,9% selama 9-12 jam. Pemberian cairan ini akan
meningkatkan volume cairan ekstrasel yang umumnya rendah akibat
pengeluaran urin berlebihan oleh karena induksi hiperkalsemia.
2. Agen penghambat resorbsi tulang, yaitu kalsitonin 4 IU/kgBB IM
atau SC setiap 12 jam yang menghambat maturasi osteoklas,
bifosfonat yang sitotoksik terhadap osteoklas, atau galim nitrat yang
menghambat pompa proton pada membran osteoklas.

34
3. Mengurangi absorbsi kalsium di usus dapat dilakukan dengan
pemberian prednison 20-40 mg/hari, yang mana kan mengurangi
produksi kalsitriol.
4. Kelasi kalsium terionisasi dengan Na-EDTA atau fosfat IV.
5. Pemberian diuretik maupun hemodialisis merupakan pilihan untuk
hiperkalsemia berat, terutama apabila disertai insufisiensi ginjal atau
gagal jantung yang membatasi pemberian cairan.

2.5.3 Hipokalsemia

Hipokalsemia dapat diakibatkan oleh defisiensi vitamin D (paparan sinar


matahari yang tidak adekuat, diet rendah lemak, malabsorbsi, gangguan
metabolisme vitamin D), hipoparatiroidisme, keganasan, hiperfosfatemia,
penyakit hati atau ginjal, kelasi kalsium (sitrat pada tranfusi darah, penggunaan
kontras), pemakaian diuretik, dan obat yang dapat menurunkan availabilitas
kalsium (-blocker, Ca-channel blocker). Gejala klinis hipokalsemia terutama
diakibatkan oleh peningkatan iritabilitas saraf, dan paling sering terlihat pada
sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, bradikardia, disritmia (pemanjangan
interval QT, inversi gelombang T, fibrilasi ventrikel), dan kegagalan respon
terhadap calcium-mediated drugs (digitalis, epinefrin, norepinefrin, dopamin).
Dari sistem saraf akan tampak gejala tetani, tanda Chvostek, tanda Trousseau,
spasme otot, parastesia, perubahan status mental, atau kejang. Spasme laring
sampai apnea dapat muncul pada hipokalsemia. Gejala-gejala tersebut biasanya
baru timbul bila kadar kalsium terionisasi <2,8 mg/dL.11,12,31,32

Idealnya, terapi harus didasari oleh kadar kalsium yang terionisasi. Pada
keadaan asimtomatik, pasien dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam
makanan sebesar 1000 mg/hari. Hipokalsemia simtomatik akut adalah suatu
kegawatdaruratan medis, dikoreksi dengan pemberian 100-200 mg kalsium
elemental IV (10 mL kalsium glukonas 10% setara 93 mg kalsium) dalam 10-20
menit, dan dilanjutkan dengan infus 0,5-1,5 mg/kgBB/jam dalam dekstrosa atau
NaCl 0,9%. Serum kalsium akan kembali normal 1-2 jam setelah pemberian
regimen ini, setelahnya dosis pemeliharaan diturunkan menjadi 0,3-0,5
mg/kgBB/jam. Preparat vitamin D seperti ergokalsiferol 50.000 U/hari,

35
dihidrotakisterol 100-400 g/hari, atau kalsitriol 0,25-1 g/hari bisa diberikan,
namun perlu diingat bahwa pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan
hiperkalsemia.11,12

36
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AP

No MR : 548412

Alamat : Jl. Kayu Manis Gg. Nusa Indah Pekanbaru

Agama : Islam

Suku : Batak

Nama Orang tua

Ayah : Tn. DP

Ibu : Ny. A

Tanggal masuk RSUD AA : 06 September 2017 pukul 22.28 WIB

Tanggal periksa : 09 September 2017

Tanggal pulang : 13 September 2017

Status pulang : Pulang hidup

ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu pasien
Keluhan utama : Penurunan kesadaran sejak tiga jam sebelum masuk rumah
sakit
Riwayat penyakit sekarang
Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengeluhkan anaknya
kejang, kejang sebanyak lebih dari 5 kali, durasi kejang 3-5 menit, diantara kejang
pasien sadar. Kejang diawali dengan pasien melamun, mata melihat ke atas,
tangan dan kaki kelonjotan.Demam sebelum kejang tidak ada.Sebelumnya sejak
tahun 2012 orangtua pasien mengatakan anaknya banyak makan namun berat
badan tidak bertambah.Pasien juga banyak minum, sering buang air kecil pada

37
malam hari dan pasien dikatakan oleh dokter terkena penyakit diabetes mellitus
tipe 1.Pasien juga mengeluhkan kaki terasa kebas dan kaku serta nyeri saat
berjalan.Pasien sering mengompol.Pasien dirawat di RSUD Arifin Achmad
selama satu minggu.
Empat jam sebelum masuk rumah sakit ibu pasien mengeluhkan anaknya
kejang lebih dari tiga kali, diantara kejang pasien sadar. Kejang diawali melamun,
setelah itu mata melihat ke atas dan tidak tentu arah, tangan di kepal, kaki melipat
ke bawah dan kaku.Kejang terjadi lebih dari tiga kali.Durasi tiap kejang selama 3-
5 menit.Diantara kejang pasien sadar.Dan ibu pasien memeriksakan gula darah
didapatkan gula darah 56 g/dl.Kemudian, ibu pasien memberikan air yang
dicampur gula kepada pasien. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit ibu pasien
mengeluhkan kembali anaknya kejang sebanyak lebih dari dua kali, diantara
kejang. Namun, setelah kejang yang ke tiga pasien tidak sadar.Sebelumya, pasien
mengeluhkan mual (+) muntah (+) setiap kali makan volume muntah gelas
aqua, berisi makanan dan minuman yang dimakan, darah (-).Setiap sehabis makan
pasien selalu buang air besar.Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya tidak mau
makan dan sulit menelan.Pasien sulit berjalan.Lalu pasien dibawa ke RSUD Arifin
Achmad.Di perjalanan ke RSUD ibu mengeluhkan anaknya muntah satu
kali.Muntah berisi makanan yang di makan dan sebanyak setengah gelas
belimbing, muntah tidak ada darah.
Riwayat penyakit dahulu
Sejak tahun 2012 pasien didiagnosa DM tipe 1 terkontrol
Konsumsi insulin Levemir dan Novorapid)
Riwayat kejang tanpa demam ada sejak tahun 2012.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga lainnya yang menderita keluhan yang sama
Kakek pasien dari pihak ibu ada riwayat diabetes mellitus
Riwayat orang tua
Ayah bekerja sebagai buruh bangunan
Ibu bekerja sebagai penjahit
Riwayat kehamilan dan kelahiran
Pasien lahir cukup bulan

38
Lahir normal ditolong oleh bidan kampung, langsung menangis
Pasien merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara
Selama hamil ibu ANC ke bidan tiap bulan, USG tidak pernah. Riwayat HT,
DM keputihan tidak ada. Konsultasi gizi, periksa lab, imunisasi tetanus saat
hamil tidak pernha. Konsumsi vitamin dan zat besi dari bidan ada. Berat
badan saat hamil lupa. Tekanan darah saat hamil normal 120/70 mmHg. Jarak
fasilitas kesehatan dari rumah 50 meter (rumah bidan), 5 km (puskesmas).
Berat lahir : 3300 gram
Panjang lahir : 50 cm

Riwayat makan dan minum


ASI : 0 - 1 tahun
Makanan pendamping : 6 bulan 10 bulan
Bubur nasi : 10 bulan 1 tahun
Nasi biasa : 1 tahun - sekarang
Riwayat Imunisasi
BCG 1x
Polio 4x
Hep B 3x
DPT 3x
Campak 1x
Riwayat Pertumbuhan Fisik
Tidak sesuai dengan usia anak
Berat lahir : 3300 gram
Berat badan sekarang : 16 kg
Panjang lahir : 50 cm
Panjang badan sekarang : 120cm
Riwayat perkembangan
Telungkup : Umur 4 bulan
Duduk : Umur 6 bulan
Merangkak : Umur 8 bulan

39
Berdiri : Umur 8 bulan
Berjalan : Umur 11 bulan
Bicara satu kata : Umur 11 bulan
Keadaan perumahan dan tempat tinggal
Pasien tinggal di rumah semi permanen yang dihuni oleh 6 orang
Ventilasi dan pencahayaan cukup
Lingkungan bersih
Sumber air minum : air galon
Sumber mandi cuci kakus : air sumur bor
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Apatis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Laju nadi : 110x/menit
Laju napas : 24x/menit
Suhu : 36,8 oC
Gizi
Tinggi badan : 120 cm
Berat badan : 16 kg
Lingkar lengan atas : cm
Lingkar kepala : cm
Status gizi : (16/48)x 100% = 33,3% ( gizi buruk)
Kepala
Mikrocephal
Rambut
Rambut tipis, berwarna hitam, distribusi tidak merata.
Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-), pupilisokor,diameter pupil2
mm/2mm, refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)

40
Telinga
Dalam batas normal
Hidung
Dalam batas normal
Mulut
Bibir : basah, tidak pucat
Selaput lendir : basah
Palatum : utuh
Lidah : tidak kotor, tidak hiperemis
Gigi : tidak ada karies
Leher
Tidak ada pembesaran KGB
Kaku kuduk (-)
DADA
Inspeksi : Gerakan dada simetris, tidak ada retraksi,
ictus cordis tidak terlihat
Palpasi :Vokal fremitus simetris kiri dan kanan,
iktuskordis teraba di spasi interkostal V linea
midklavikula sinistra
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas
jantung kanan di linea parasternal dekstra
dan batas jantung kiri di linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),wheezing (-/-),
bunyi jantung I dan II reguler, murmur
tidak ada, gallop tidak ada
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris, venektasi tidak ada, scar
tidak adsa
Auskultasi : Bising usus 9x/menit
Palpasi : Supel, hepatosplenomegali tidak ada.
Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada

41
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Alat kelamin : Perempuan, dalam batas normal, tidak
ditemukan kelainan kongenital
Ekstremitas :Akral hangat, capillary refill time (CRT)
kurang dari 2 detik, edema tidak ada,
kekuatan otot :
555 555
333 333
Status neurologis : Reflek fisiologis (+/+) normal, reflek
patologis (-/-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin (06/09/2017)
Hemoglobin : 11,1 g/dL
Hematokrit : 29,0 %
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Glukosa darah : 56 mg/dl
Ureum : 14 U/L
Creatinin : 0,32 U/L
Pemeriksaan Elektrolit (06/09/2017)
Na : 100
K : 3,1
Cl : 68
Rontgen Thorax (06/09/2017)
- Cor : dalam batas normal
- Pulmo : Tidak tampak kelainan
CT Scan kepala tanpa kontras (06/09/2017)
- Tidak tampak kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras saat ini

HAL-HAL PENTING DARI ANAMNESIS

42
- Pasien kejang lebih dari 3x durasi 3-5 menit, diantara kejang pasien sadar namun
setelah kejang ke tiga pasien tidak sadar sebelumnya ibu pasien mengatakan
anaknya tidak mau makan.
- Pasien riwayat DM sejak 2012. Ibu pasien memeriksakan gula darah didapatkan
gula darah 56 g/dl.
- Sejak tahun 2012 orangtua pasien mengatakan anaknya banyak makan namun
beratnya tidak bertambah. Pasien juga banyak minum dan sering buang air kecil
pada malam hari.Pasien juga mengeluhkan kaki terasa kebas dan kaku serta nyeri
saat berjalan.
- Pasien mengeluhkan mual (+) muntah (+) setiap kali makan volume muntah
gelas aqua, berisi makanan dan minuman yang dimakan, darah (-). Setiap sehabis
makan pasien selalu buang air besar.
- Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya tidak mau makan dan sulit menelan

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK


Rambut tipis, berwarna hitam, distribusi tidak merata.
Ektremitas :
Kekuatan otot :
444 444
333 333

HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematokrit : 29,0 % ()
Glukosa darah : 56 mg/dl ()
Ureum : 14 U/L ()
Creatinin : 0,32 U/L ()
Pemeriksaan Elektrolit (06/09/2017)
Na : 100 ()
K : 3,1 ()
Cl : 68 ()

43
DIAGNOSIS KERJA
- Sindrom delirium akut et causa hiponatremia berat
- DM Tipe 1
PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan elekrolit ulang

TERAPI
Medikamentosa
IVFD D 5 % NS -- NaCl 3% 20 cc NS 100 cc habis 1 jam
Lanjut 2A 20 tpm
Ceftriaxone 2 x 750 mg
Novorapid 7 9 8 IU
Levemir 12 IU
Omeprazole 1 X 10 mg
Dexamethasone 5 mg / 12 jam
PIP V

Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad fungsionam :dubia

44
Follow Up
Kamis, 07-09-2017
S Pasien masih ada kejang lebih dari 3 kali, seluruh ekstremitas kelonjotan, durasi
kejang 1-2 menit, diantara kejang sadar, demam tidak ada, makan minum sedikit,
kaki tangan masih lemah, pandangan kabur tidak ada, batuk ada tidak berdahak
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,6C Hb : 11,1 g/dL
RR: 22x/i Hematokrit : 29 %
HR: 96x/menit
Leukosit : 13.410/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Trombosit : 480.000/L
444 444 Elektrolit (7/9/2017)
Na : 111 mmol/l
333 333 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l

GDS 198 mg/dl


A - Kejang ec Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD 2A 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - PIP V 4x1
- Levemir 12 IU

Jumat, 08-09-2017
S Pasien masih ada kejang, 2 kali, durasi kejang 1-2 menit, kejang seluruh
ekstremitas kelonjotan, diantara kejang sadar, demam tidak ada, makan minum
sedikit, kaki tangan masih lemah, batuk ada tidak berdahak
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 37,1C Hb : 11,1 g/dL
RR: 23 x/i Hematokrit : 29 %
HR: 94x/menit
Leukosit : 13.410/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Trombosit : 480.000/L
444 444 Elektrolit (7/9/2017)
Na : 111 mmol/l
333 333 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l

GDS 269 mg/dl


A - Kejang ec Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD 2A 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - PIP V 4x1
- Levemir 12 IU

Sabtu, 09-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, pasien mengeluhkan
mual dan muntah tiap kali makan, kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL

45
RR: 24x/i Hematokrit : 29 %
HR: 96x/menit Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Elektrolit (7/9/2017)
Ekstremitas : kekuatan otot : Na : 111 mmol/l
445 445 K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l
333 333
GDS pagi 61 mg/dl
GDS post koreksi : 174mg/dl
A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD 2A 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - PIP V 4x1
- Levemir 12 IU - Dexametason 5 mg/12 jam IV
- Omeprazole 10 mg/24 jam

Minggu, 10-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, mual dan muntah
sudah berkurang, kaki masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,5C Hb : 11,1 g/dL
RR: 22x/i Hematokrit : 29 %
HR: 90x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (7/9/2017)
555 555 Na : 111 mmol/l
K : 3,2 mmol/l
334 334 Cl : 78 mmol/l

GDS pagi 118 mg/dl


A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD 2A 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - PIP V 4x1
- Levemir 12 IU - Dexametason 5 mg/12 jam IV
- Omeprazole 10 mg/24 jam - Rencana cek elektrolit ulang

Senin, 11-09-2017
S Kejang tidak ada, demam tidak ada, batuk ada tidak berdahak, mual dan muntah
sudah berkurang, kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 37,4C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (7/9/2017)
555 555 Na : 111 mmol/l
K : 3,2 mmol/l
Cl : 78 mmol/l

46
444 444
GDS pagi 131 mg/dl
A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD Nacl 0,9% 20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg
intravena
- Novorapid 7-9-8 IU - Levemir 12 IU
- Dexametason 5 mg/24 jam IV - Omeprazole 10 mg/24 jam
- PIP V 4x1

Selasa, 12-09-2017
S Batuk ada tidak berdahak,kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (11/9/2017)
555 555 Na : 133 mmol/l
K : 2,3 mmol/l
444 444 Ca : 0,41 mmol/l

GDS pagi 258 mg/dl


GDS sore 178 mg/dl
GDS malam 117 mg/dl
A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P - IVFD Nacl 0,9% + KCl 10 mEq20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg
intravena
- Novorapid 5-7-6 IU - Levemir 10 IU
- Dexametason 5 mg/24 jam IV - Omeprazole 10 mg/24 jam
- PIP V 4x1

Rabu, 13-09-2017
S Batuk ada tidak berdahak,kaki tangan masih lemah
O KU : Tampak sakit sedang Hasil darah rutin:
Kes : Composmentis (06/09/2017)
T: 36,9C Hb : 11,1 g/dL
RR: 20x/i Hematokrit : 29 %
HR: 100x/menit
Leukosit : 13.410/L
Trombosit : 480.000/L
Ekstremitas : kekuatan otot : Elektrolit (11/9/2017)
555 555 Na : 133 mmol/l
K : 2,3 mmol/l
444 444 Ca : 0,41 mmol/l

GDS pagi 109 mg/dl


A - Elektrolit imbalance
- DM tipe 1
P IVFD Nacl 0,9% + KCl 10 mEq20 tpm - Injeksi Ceftriaxone 2x750 mg
intravena

47
Novorapid 5-7-6 IU - Levemir 10 IU
Dexametason 5 mg/24 jam IV - Omeprazole 10 mg/24 jam
PIP V 4x1
Pasien boleh pulang
Obat pulang :
Novorapid 5-7-6 IU - Levemir 10 IU
PIP V 3x1 - KSR 2x250 mg

48
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan penurunan kesadaran dan berdasarkan anamnesis


diketahui bahwa pasien menderita DM sejak lima tahun terakhir dan rutin
menggunakan insulin yaitu novorapid dan levemir. Pada hari masuk rumah sakit,
pasien seperti biasa mengkonsumsi insulin, namun karena adanya mual dan
muntah pasien menjadi tidak nafsu makan sehingga pasien tidak makan sebelum
menggunakan insulin tersebut. Pasien memiliki riwayat kejang, mual muntah dan
kelemahan anggota gerak. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran
menurun (GCS 13) dan tidak ada gejala dari tanda-tanda rangsangan meningeal.
Hipoglikemia dan gangguan elektrolit merupakan penyebab terbesar terjadinya
penurunan kesadaran pada pasien DMX, maka untuk itu dibutuhkan pemeriksaan
tambahan berupa pemeriksaan GDS dan elektrolit untuk menentukan penyebab
penurunan kesadarannya. GDS di rumah 56 g/dl, serta pada pemeriksaan glukosa
darah di IGD RSUD Arifin Achmad didapatkan hasil 90 g/dl, hasil pemeriksaan
elektrolit didapatkan Na+ 100 mmol/L, K+ 3,1 mmol/L, Cl- 68 mmol/L.
Pasien dirawat di bangsal anak dengan diagnosis masuk sindrom delirium
akut et causa hiponatremia berat. Gold standar untuk mendiagnosis delirium
adalah berdasarkan DSM VA, dan pasien ini termasuk dalam kategori delirium
akibat kondisi medis umum dimana terdapat gangguan metabolik berupa
ketidakseimbangan elektrolit dan hipoglikemia.
Ketidakseimbangan elektrolit pada pasien ini didapatkan dari keluhan
mual muntah dan kelemahan anggota gerak, riwayat kejang dan penurunan
kesadaran serta ditegaskan dari hasil pemeriksaan elektrolit di IGD RSUD AA
nilai Na+ 100 mmol/L, K+ 3,1 mmol/L, Cl- 68 mmol/L. Kriteria hiponatremia pada
pasien ini menunjukkan hiponatremia berat ( <125 mmol/L) dan hipoglikemia
ringan ().B Hiponatremia dan hipokalemia pada pasien ini kemungkinan terjadi
karena penggunaan insulin dan intake sulit. Pemberian insulin dapat
meningkatkan pemasukan kalium ke dalam sel.C
Faktor risiko yang menyebabkan gangguan elektrolit pada pasien ini
disebabkan karena low intake, pasien mual dan muntah setiap setelah makan berisi

49
makanan yang dimakan dan minuman dengan volume muntah sebanyak gelas
aqua.
Tatalaksana gangguan elektrolit adalah dengan .. Pada pasien ini
tatalaksana gangguan elektrolit dilakukan dengan ..
akhirnya pasien mengalami hipoglikemia yang ditandai dengan penurunan
kesadaran, serta hasil pemeriksaan glukosa darah dirumah 56 mg/dl. Gejala klinis
hipoglikemia yang terjadi pada pasien ini sesuai dengan gejala neuroglikopenia
dan derajat hipoglikemia pada pasien ini menurut DCCT adalah derajat III,
dimana GDS kapiler <70 mg/dL disertai penurunan kesadaran atau kejang. 10
Pasien memiliki riwayat kejang, mual muntah dan kelemahan anggota
gerak. GDS di rumah 56 g/dl, serta pada pemeriksaan glukosa darah di IGD
RSUD Arifin Achmad didapatkan hasil 90 g/dl, hasil pemeriksaan elektrolit
didapatkan Na+ 100 mmol/L, K+ 3,1 mmol/L, Cl- 68 mmol/L.
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis sangat
penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan kadar gula darah
pertama yang diambil pada saat ada gejala atau kecurigaan hipoglikemia, dan
pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi butirat, asam laktat, asam lemak
bebas, asam amino (kuantitatif) dan elektrolit (untuk melihat anion gap).
Pemeriksaan hormonal: insulin, kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal
hepar. Pemeriksaan urin: keton dan asam amino (kuantitatif).
Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien ini selain disebabkan oleh
hipoglikemia juga dapat disebabkan oleh gangguan elektrolit.
Hipoglikemia pada diabetes melitus dapat terjadi karena kelebihan
obat/dosis obat (terutama insulin atau obat hipoglikemik oral), kebutuhan tubuh
akan insulin relatif yang menurun (gagal ginjal kronik, paska persalinan), asupan
makanan yang tidak adekuat dimana jumlah kalori atau waktu makan yang tidak
tepat, dan kegiatan jasmani yang berlebihan.Pada kasus ini, pasien merupakan
penderita diabetes melitus tipe 1 yang selama ini mendapat terapi insulin. Insulin
yang digunakan pasien merupakan golongan Rapid-acting yang sering
menimbulkan hipoglikemia. Selain penggunaan insulin, kurangnya asupan
makanan menyebabkan hipoglikemia terjadi pada pasien ini.

50
Pada pasien diberikan infus dekstrose 5% NS danNaCl 3% 20 cc NS
100 cc yang habis dalam 1 jam. Injeksi bolus D5% ml sebanyak flakon yang
meningkatkan GDS dari 90 mg/dl menjadi 198mg/dl dan gejala-gejala
hipoglikemia menghilang. Untuk gejala hiponatremi dan hipokalemi juga sudah
mulai teratasi yang dibuktikan dengan hasil Na+ 111, K+ 3,2 yang sudah
menunjukkan peningkatan disbanding sebelumnya.
Pada pasien, perlu tetap dilakukan pengawasan kadar glukosa darah dan
elektrolit karena penggunaan insulin dapat menyebabkan episode hipoglikemia
berulang, dan pada DM juga dapat terjadi hipokalemi dan hiponatremi.

51
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Harold I. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. 2010; hal. 519-528
2. Schieveld JNM, Ista E, Knoester H, Molag ML. Pediatric delirium: A
practical approach. In Rey JM (ed), IACAPAP e-Textbook of Child and
Adolescent Mental Health. Geneva: International Association for Child
and Adolescent Psychiatry and Allied Professions. 2015; 1-17.
3. BettencourtA, Mullen J. Delirium in Children: Identification, Prevention,
and Management. Critical Care Nurse. 2017; 37 : 9-10.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing;
2013.
5. Nurdin Badollah, Satriono. Hipoglikemia Pada Anak. Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSU
Ujungpandang, Ujungpandang. Cermin Dunia Kedokteran No. 75.
1992;27-32.
6. Batubara,Jose. Buku Ajar Endokrinologi Anak Jilid I. IDAI. Jakarta :
2010. Hal 195.
7. McGowan, Jane E. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review.
American Academy of Pediatrics. 1999;20;e6.
8. Susanto, Rudi. Hipoglikemia Pada Bayi dan Anak. Bagian IKA FK
Universitas Dipenogoro/ RS. dr. Karyadi Semarang. Diajukan pada PKB
Palembang 10-11 November 2007. Diunduh pada tanggal 10 Januari 2012.
9. Shankar Narayan, Rajiv Aggarwal, Ashok K Deorari, Vinod K Paul.
Hypoglycemia in the Newborn. Division of Neonatology, Department of

52
Pediatrics. All India Institute of Medical Sciences. Diunduh pada tanggal
10 Januari 2012.
10. Pudjadi, Antonius.Dkk. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid I. 2010 : IDAI. Jakarta.
11. Greenberg MS, dkk. Fluids and Electrolytes. Dalam: Greenberg MS, dkk.
Handbook of Neurosurgery. New York: Thieme; 2001. Hal14-25.
12. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam:
Tjokroprawiro A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.
Surabaya: FK Unair; 2007. Hal175-89.
13. Guyton AC, dkk. Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel dan
Konsentrasi Natrium. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
14. Guyton AC, dkk. Pengaturan Ginjal terhadap Kalium, Kalsium, Fosfat,
dan Magnesium; Integrasi Mekanisme Ginjal untuk Pengaturan Volume
Darah dan Volume Cairan Ekstrasel. Dalam: Guyton AC, Hall JE. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2008. Hal366-82.
15. Promes S, Wang NE. Management of Electrolyte Emergencies. Hospital
Physician Emergency Medicine Board Review Manual. 2006;8(3):1-12.
16. Lobo DN, dkk. Disorders of Sodium, Potassium, Calcium, Magnesium,
and Phosphate. Dalam: Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Basic
Concepts of Fluid and Electrolyte Therapy. Melsungen: Bibliomed; 2013.
Hal101-11.
17. Harold K. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis.
2010; 519-28 .
18. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the elderly: A review. Oman
Med J. 2008; 23(3): 150-7
19. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1438 Tahun
2015. Tentangpedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa. Jakarta: 2015.
5-7.
20. Maslim R: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ III, Jakarta, 2001: 27-8.

53
21. World Diabetes Foundation, UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. hlm. 1-7
22. World Diabetes Foundation, UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja.Konsensus nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. hlm. 736.
23. Ikatan Dokter Anak Indonesia.Konsensus nasional pengelolaan diabetes
mellitus tipe 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2009. hlm. 448.
24. Syahputra, Muhammad. Diabetik Ketoacidosis. Bagian Biokimia Fakultas
kedokteranUniversitasSumateraUtara,Medan: 2003. 1-14.
25. Lamb WH. Diabetic Ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. Dikutip
dari www.eMedicine.com.
26. Australian Paediatric Endocrine Group A. Guidelines on the management
ofdiabetes in children and adolescents. National Health and Research
Councilof Australia, 2005. Dikutip dari www.nhmrc.gov.
27. Makaryus AN, McFarlane SI. Diabetes Insipidus: Diagnosis and
Treatment of a Complex Disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine.
2006;73(1):65-71.
28. Zomp A, Alexander E. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
and Cerebral Salt Wasting in Critically Ill Patients. AACN Advanced
Critical Care. 2012;23(3):233-9.
29. Balasubramanian A, Flareau B, Sourbeer JJ. Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone Secretion. Hospital Physician. 2007:33-39.
30. Hoskote SS, Joshi SR, Ghosh AK. Disorders of Potassium Homeostasis:
Pathophysiology and Management. JAPI. 2008;56:685-93.
31. Soares MJ, Pathak K, Calton EK. Calcium and Vitamin D in the
Regulation of Energy Balance: Where Do We Stand? Int J Mol Sci.
2014;15:4938-45.
32. Peacock M. Calcium Metabolism in Health and Disease.
CJASN. 2010;5:23-30.

54

Anda mungkin juga menyukai