Anda di halaman 1dari 95

GIZI BURUK TIPE MARASMUS

DENGAN BRONKOPNEUMONIA

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

disusun oleh :

MUHAMMAD RIZKI RAMADANA


NIM. 1207101030080

Pembimbing:
dr. MARS NASRAH ABDULLAH, M. Ked (Ped)., Sp. A

SMF/ BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA/
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Gizi Buruk Tipe Marasmus dengan Bronkopneumonia”. Shalawat dan salam
penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing umat
manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
dr. Mars Nasrah Abdullah, M. Ked (Ped)., Sp. A yang telah bersedia
meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan
yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat
selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, Agustus 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ...........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1

BAB II PRESENTASI KASUS


2.1 Identitas Pasien .................................................................... 3
2.2 Anamnesis ........................................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................... 7
2.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 11
2.5 Diagnosa .............................................................................. 17
2.6 Terapi .................................................................................. 17
2.7 Planning .............................................................................. 17
2.8 Prognosis ............................................................................. 18
2.9 Foto Klinis ........................................................................... 18
2.10 Divisi yang merawat ......................................................... 18
2.11 Follow Up harian .............................................................. 19

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi ................................................................................. 24
3.2 Klasifikasi ............................................................................. 24
3.2.1 Klasifikasi berdasarkan buku WHO-NCHS ............... 24
3.2.2 Klasifikasi menurut kementerian RI ........................... 24
3.2.3 Klasifikasi menurut gomez (1956) ............................. 25
3.2.4 Klasifikasi menurut McLaren (1967) ......................... 25
3.2.5 Klasifikasi menurut wellcome trust party (1970) ....... 25
3.2.6 Klasifikasi menurut waterlow (1973) ......................... 26
3.2.7 Klasifikasi menurut jelliffe ......................................... 27
3.3 Epidemiologi ....................................................................... 28
3.4 Etiologi ................................................................................. 29
3.5 Patogenesis .......................................................................... 33
3.6 Manifestasi Klinis ................................................................ 22
3.7 Penatalaksanaan .................................................................... 43
3.8 Pencegahan ........................................................................... 59
3.8.1 Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi ..... 59
3.8.2 Pendekatan ekonomi ................................................... 60
3.9 Komplikasi .......................................................................... 61
3.10 Prognosis ........................................................................... 61
BAB IV ANALISA KASUS
4.1 Analisa Kasus ...................................................................... 62

BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73


BAB I
PENDAHULUAN

Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau


ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi pada tubuh1. Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian
yaitu undernutrisi dan overnutrisi. Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari
marasmus, kwashiorkor, serta marasmic – kwashiorkor.
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di
dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk
adalah marasmik-kwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta
orang yang menderita gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya
hidup di negara berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun (balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di
Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat
76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan Ekonomi
Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%.
Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa
propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat.1,2
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka
kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan
indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang
ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka
gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu
2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006
yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding
dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12%
bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%.
Pada tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya
mengalami kurang gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju
Sehat hasil pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa

1
untuk Kota Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi.
Pada tahun 2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi
gizi buruk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8
kasus (33,3%). Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan
prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1
sebanyak 143 kasus.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak
kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak
menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan
akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk
yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang
memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan
kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.3
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala
klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
tuberculosis (TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan
bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare,
19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.4

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien.


Nama : M. A.
Tanggal Lahir : 21 Februari 2013.
Umur : 02 Tahun 06 Bulan.
Jenis Kelamin : Laki – Laki.
Suku : Aceh.
Agama : Islam.
Alamat :Gampoeng Peuneulet Tunong, Kecamatan Simpang
Mamplam, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh.
No CM : 1 – 05 – 91 – 23.
Tanggal Masuk : 25 Juli 2015.
Tanggal Pemeriksaan : 01 Agustus 2015.
Tanggal Keluar : 22 Agustus 2015.

2.2 Anamnesa.
Autoanamnesa (dengan ibu kandung dan tante pasien).
 Keluhan Utama : Demam naik turun.

 Keluhan Tambahan : Lemas, muntah, benjolan di leher kiri, batuk


berdahak, sesak nafas sesekali.

 Riwayat Penyakit Sekarang.


Pasien dibawa berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh dengan keluhan demam. Keluhan ini sudah dialami pasien semenjak
1 bulan yang lalu. Demam yang muncul tidak terlalu tinggi. Demam yang pasien
rasakan hilang timbul, demam reda biasanya dengan obat penurun panas yang ibu
pasien peroleh dari manteri di gampoeng setempat pasien domisili. Demam
kadang kala disertai dengan menggigil. Demam dirasakan memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit dan kemudian ibu pasien membawa pasien berobat ke

3
salah satu rumah sakit swasta (RS Bunda) di Bireuen. Kemudian dari rumah sakit
tersebut pasien di rujuk ke RSUDZA Banda Aceh.
Pasien juga mengelami batuk yang hilang timbul. Batuk dirasakan secara
terus menerus dan tidak reda dengan pemberian obat batuk. Keluhan ini sudah
pasien alami semenjak usia pasien 1 minggu stelah lahir. Keluhan ini muncul
secara hilang timbul. Batuk mengeluarkan dahak, kadang – kadang bewarna putih
dan kadang – kadang bewarna kekuningan. Batuk darah disangkal. Batuk
dirasakan semakin lama semakin memberat. Pasien mempunyai riwayat
mengalami riwayat kontak dengan penderita demam dan batuk lama, yakni paman
pasien.
Pasien juga mengalami keluhan sesak yang sudah dialami pasien 1 bulan
Sebelum Masuk Rumah Sakit. Keluhan ini semakin memberat 3 hari SMRS.
Tidak ada riwayat sesak sebelumnya. Bersin – bersin dipagi hari disangkal.
Pasien juga mengalami keluhan mencret yang sudah dialami 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Frekuensi Buang Air Besar 3-4 kali per hari. BAB yang
keluar bukan berupa ampas (-), tidak ada lendir (-), akan tetapi yang keluar berupa
air yang lebih banyak, tidak adanya keluar darah (-), volume BAB kira-kira 50
cc/x BAB.
Pasien juga mengalami keluhan muntah (+) yang sudah pasien alami sejak 3
hari yang lalu, volume muntah lebih kurang 50 cc/x muntah. Isi muntah yang
keluar berupa makanan yang dimakan pasien.
Pasien juga mengalami keluhan munculnya benjolan di leher kiri pasien.
Keluhan ini sudah pasien alami semenjak usia pasien 6 hari. Keluhan ini muncul
setelah pasien mengalami batuk-batuk dari kecil. Awalnya berukuran kecil,
namun lama-kelamaan semakin membesar. Bentuk benjolan bulat dengan
diameter kira-kira cm. Tidak ada keluhan nyeri pada benjolan tersebut.
Ibu pasien juga menyampaikan bahwa pasien mengalami penurunan berat
badan. Keluhan ini pasien alami dalam 3 bulan ini. Berat badan pasien tertinggi
lebih kurang 7 Kg saat usia pasien < 1 tahun. Pasien juga mengalami masalah
dalam nafsu makan sehari-hari. Dimana pasien agak susah untuk makan. Jikapun
makan pasien biasaya hanya memakan nasi putih saja dengan frekuensi kira-kira
sedikit sekali. Kadang kala jika ditawarkan snack atau sejenisnya oleh ibu pasien,

4
pasien biasanya mencium makanan tersebut dulu dan kemudian hanya melihatnya
saja dan menolak, jikapun dimakan paling hanya sedikit saja. Tidak ada
permasalahan jika dalam minum. Pasien minum dengan baik.
Kebiasaan bermain pasien dirumah dilantai. Jikapun dilepas pasien biasanya
hanya duduk saja dan jarang merangkak atau bergerak. Pasien lebih sering duduk
saja, jika dirangsang untuk bergerak pasien biasanya akan rewel dan menangis.
Pasein juga mengalami keterlambatan dalam hal bergerak dan berbicara
dibandingkan ke 3 kakak kandung pasien. Dimana menurut cerita ibu pasien, ke 3
kakak kandung pasien dulunya saat seusia pasien sudah bisa berjalan dan
berbicara yang jelas, namun pasien tidak demikian. Jikapun pasien berjalan, dia
hanya bisa berjalan secara tertatih-tatih saja.
Tidak ada keluhan dalam hal buang air kecil pasien, dalam batas normal.

 Riwayat Penyakit Dahulu.


Pasien sudah mengalami sakit semenjak usia 5 hari, yakni demam yang
hilang timbul.

 Riwayat Penggunaan Obat.


Ada mengonsumsi obat yang diberikan oleh mantri yakni paracetamol syr,
dan beberapa obat lainnya namun ibu pasien lupa nama obatnya.

 Riwayat Penyakit Keluarga.


Hipertensi Disangkal, Diabetes Mellitus disangkal, Asma disangkal.

 Riwayat Kehamilan.
Ibu kandung pasien teratur ANC di bidan. Namun tidak pernah USG di
dokter.

 Riwayat Persalinan.
Pasien merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Ibu pasien mengalami pecah
ketuban selama 2 hari sebelum pasien lahir. Ibu pasien juga mengaku lupa
pastinya usia kehamilan pasien cukup atau kurang bulan. Pasien lahir secara Per

5
Vaginam yang ditolong oleh bidan, Berat Badan Lahir 2600 gr, Panjang Pasien
ibunya lupa, pasien juga menangis kuat saat lahir. Ibu kandung pasien
mempunyai 4 orang anak, yakni:
1. Laki-laki, 22 tahun, lahir pervaginam, BBL (ibu pasien tidak ingat),
ditolong oleh dukun kampung.
2. Laki-laki, 17 tahun, lahir pervaginam, BBL (ibu pasien tidak ingat),
ditolong oleh dukun kampung.
3. Laki-laki, 12 tahun, lahir pervaginam, BBL (ibu pasien tidak ingat),
ditolong oleh dukun kampung.
4. Laki-laki, 02 tahun, lahir pervaginam, BBL 2600 gr, PB (ibu pasien
lupa), ditolong oleh Bidan.

 Riwayat Tumbuh Kembang.


Pasien mengalami keterlambatan dalam hal bicara dan berjalan
dibandingkan ke 3 kakak kandung pasien sebelumnya. Pasien hanya bisa bicara
sepatah kata dan hanya bisa berjalan secara tertatih-tatih saja.

 Riwayat Imunisasi.
Menurut penjelasan ibu pasien, pasien pernah mendapatkan imunisasi
beberapa kali di posyandu. Adapun imunisasi yang sudah pasien peroleh menurut
ibu pasien berupa Imunisasi Polio dan Campak. Selebihnya tidak ada, karena
waktu itu saat ada posyandu di gampoeng pasien ibu pasien mengaku bahwa
anaknya lagi demam sehingga ibu pasien tidak pernah lagi membawanya ke
posyandu untuk memperoleh imunisasi karena ibu pasien khawatir anaknya
tambah sakit karena imnunisasi tersebut.

 Riwayat Makanan.
Usia 0 – 3 bulan : pasien mendapatkan asi dan nasi yang bercampur
pisang.
Usia 3 – 12 bulan : pasien masih mendapatkan asi dan nasi yang
bercampur dengan pisang.

6
Usia 1 tahun – sekarang: pasien juga masih meminum asi dengan disertai
nasi putih dan beberapa sayur dan ikan.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Heart rate : 106 x / menit
Respiratory rate : 54 x / menit
Temperatur : 37,2 ˚C

b. Antropometri
U : 30 bulan.
BB : 07 Kg.
PB : 79 cm.

Status gizi
BB/U : < - 3 SD.
TB/U : < - 3 SD.
BB/ TB : < - 3 SD (Gizi Buruk).

Kebutuhan Cairan: 100 ml/ Kg/ Hari.


= 100 x 7 ml/ hari
= 700 ml/ hari
Parenteral : 490 cc
Enteral : 210 cc (kalau bisa minum 30%)

Kebutuhan Kalori: = Gizi Buruk 80 – 100 KgKal/ BB/ hari


= (80-100) x 7
= 560-700 Kkal/ Hari.

7
Kebutuhan Protein: HA x Protein (RDA).
= 1,6 x 7 gr/ Hari.
= 11,2 gr/ Hari.

Kebutuhan Energi : (1-1,5) x 7 g/ hari


= 7-10,5 g/ hari ~ 10 gr/ hari.

c. Status General
1. Kulit.
Warna : kuning langsat.
Turgor : cepat kembali.
Sianosis : tidak ada.
Ikterus : tidak ada.
Oedema : tidak ada.
Anemia : tidak ada.

2. Kepala.
Bentuk : normocephali.
Rambut : hitam, distribusi normal dan tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris, edema dan deformitas tidak dijumpai
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3 mm/ 3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan
refleks cahaya tidak langsung (+/+).
Telinga : daun telinga normal, tidak ditemukan adanya tanda – tanda
peradangan, serumen minimal (-/-).
Hidung : bentuk normal, sekret tidak ada (-/-).
Mulut : bibir pucat dan kering tidak dijumpai, sianosis tidak
dijumpai, lidah tremor dan hiperemis tidak dijumpai,
mukosa pipi licin dijumpai, tremor tidak ada.
Tonsil : hiperemis (-/-), T1 /T1.
Faring : hiperemis tidak dijumpai, gerakan arkus faring tampak
simetris.

8
3. Leher.
Inspeksi : ada pembesaran di leher kiri dan kanan, bentuk mengikuti
anatomi leher kiri dan kanan, ukuran ± 5 cm, konsistensi
kenyal, tidak terfiksir, nyeri tekan (+).
Palpasi : TVJ (N) R-2 cm H2O.

4. Thoraks.
Inspeksi Statis : simetris, bentuk normochest
Dinamis : simetris, pernafasan abdominothorakal,
retraksi suprasternal dan retraksi interkostal
tidak dijumpai.
Paru Depan.
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada
Kanan Kiri
Palpasi Stem fremitus normal, nyeri Stem fremitus normal, nyeri
tekan tidak ada, tekan tidak ada
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal (+) Vesikuler Normal (+),
Ronki (+), wheezing (-) Ronki (+), wheezing (-)

Paru Belakang.
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada
Kanan Kiri
Palpasi Stem fremitus normal, nyeri Stem fremitus normal, nyeri
tekan tidak ada, tekan tidak ada
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal (+), Vesikuler Normal (+),
Ronki (+), wheezing (-) Ronki (+), wheezing (-)

9
5. Jantung.
Inspeksi : Iktus kordis terlihat di ICS V.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.
Perkusi : batas jantung atas : ICS III sinistra.
batas jantung kiri : ICS V satu jari di dalam linea
midklavikula sinistra.
batas jantung kanan : ICS IV di linea parasternal dekstra.
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, murmur tidak terdengar.

6. Abdomen.
Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tampak pembesaran pada
perut dan menonjol serta membuncit, keadaan di dinding
perut: sikatrik, striae alba, kaput medusa, pelebaran vena,
kulit kuning, gerakan peristaltik usus, dinding perut tegang,
darm steifung, darm kontur, dan pulsasi pada dinding perut
tidak dijumpai.
Auskultasi : Peristaltik usus normal, bising pembuluh darah tidak
dijumpai.
Palpasi : Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai.
 Hepar : Tidak teraba.
 Lien : Tidak teraba.
 Ginjal : Ballotement tidak teraba.
Perkusi : Batas paru-hati relatif di ICS V, batas paru-hati absolut di
ICS VI, suara timpani di semua lapangan abdomen.
Pinggang: nyeri ketok kostovertebrae tidak ada.

f. Genitalia : Tidak diperiksa.

g. Anus : Tidak diperiksa.

h. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-).

10
i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB tidak dijumpai kecuali di leher.

j. Ekstremitas : Akral hangat.

2.4 Pemeriksaan Penunjang.


2.4.1 Foto Thorax AP.

Gambar 2.1 Foto Thorax AP


Cor : besar dan bentuk normal.
Pulmo : tampak patchy infiltrat di paru kanan. Sinus phrenicocostalis kiri
dan kanan tajam.
Kesimpulan : Bronchopneumonia.

11
2.4.2 Foto Cervical AP/ Lateral.

Gambar 2.2 Foto Cervical AP/ Lateral


Ekspertasinya:
- Aligment tulang normal.
- Processus spinosus normal.
- Procesus tranversus normal.
- Curve normal.
- Tak tampak fraktur.
- Tampak soft tissue swelling regio colli kanan dan kiri.
- Kesimpulan: soft tissue swelling regio colli dextra dan sinistra.

2.4.3 Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi Klinik.


03 Agustus 2015
Sampel : Darah.
Jenis permintaan : biakan mikroorganisme + resistensi
Diagnosa : bronchopeunomia
Hasil : tidak ada pertumbuhan bakteri setelah 5 hari.

12
2.4.4 Pemeriksaan Patologi Anatomi.
05 Agustus 2015.
Lokalisasi : dilakukan FNAB pada kelenjar getah bening colli
sinistra didapatkan aspirat 1 tetes darah.
Diagnosa klinik : Limphadenopathy + Tumor colli.
Mikroskopis : pada sediaan apus tampak sebaran sel-sel radang
limfosit. Latar belakang sediaan terdiri dari sel-sel
darah merah. Tidak dijumpai tanda keganasan pada
sediaan ini.
Kesimpulan : C2, Proses radang kronis non spesifik.

2.4.5 Pemeriksaan Laboratorium.


24 Juli 2015
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 7,6 g/dL 12,0-14,5
Hematokrit 26 % 45-55
Eritrosit 4,8 106/mm3 4,7-6,1
Trombosit 467 103/mm3 150-450
Leukosit 23,3 103/mm3 4,5-10,5
MCV 55 fL 80-100
MCH 15 pg 27-31
MCHC 27 % 32-36
Hitung Jenis
Eosinofil 0% 0-6
Basofil 0% 0-2
Netrofil Segmen 40 % 50-70
Limfosit 20 % 20-40
Monosit 40 % 2-8
Morfologi Darah
Tepi

13
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Kesimpulan
Saran
Kimia Klinik
Diabetes
Glukosa Darah 83 mg/dL <200
Sewaktu
Ginjal Hipertensi
Ureum 14 mg/dL 13-43
Kreatinin 0,14 mg/dL 0,67-1,17

29 Juli 2015
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Kimia Klinik
Elektrolit
Natrium (Na) 126 mmol/L 135-145
Eritrosit 3,9 mmol/L 3,5-4,5
Trombosit 101 mmol/L 90-110

30 Juli 2015
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 6,0 g/dL 12,0-
14,5
Hematokrit 22 % 45-55
Eritrosit 4,0 106/mm3 4,7-6,1
Trombosit 549 103/mm3 150-450

14
Leukosit 14,9 103/mm3 4,5-10,5
MCV 55 fL 80-100
MCH 15 pg 27-31
MCHC 27 % 32-36
LED 85 mm/jam < 15
Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6
Basofil 0% 0-2
Netrofil Segmen 49 % 50-70
Limfosit 38 % 20-40
Monosit 12 % 2-8
Retikulosit 0,4 % 0,5-1,5
Morfologi Darah
Tepi
Eritrosit Hiupokrom
Anisopoikilositosis (Burr Cell
Ovalosit Mikrosit)
Leukosit Jumlah meningkat
Monositosis
Trombosit Jumlah meningkat
Kelompok Trombosit (+)
Bentuk Normal
Kesimpulan Hipokrom Mikrositer
Lekositosit
Trombositosis
Saran
Imunoserologi
Ferritin 244,60 ng/mL 70-435

15
01 Agustus 2015
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 6,9 g/dL 12,0-
14,5
Hematokrit 25 % 45-55
Eritrosit 4,1 106/mm3 4,7-6,1
Trombosit 557 103/mm3 150-450
Leukosit 14,7 103/mm3 4,5-10,5
MCV 55 fL 80-100
MCH 15 pg 27-31
MCHC 27 % 32-36

Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6
Basofil 0% 0-2
Netrofil Segmen 63 % 50-70
Limfosit 23 % 20-40
Monosit 14 % 2-8

05 Agustus 2015
Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 9,9 g/dL 12,0-
14,5
Hematokrit 32 % 45-55
Eritrosit 4,9 106/mm3 4,7-6,1
Trombosit 525 103/mm3 150-450
Leukosit 19,4 103/mm3 4,5-10,5

16
MCV 80-100
MCH 27-31
MCHC 32-36

Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6
Basofil 0% 0-2
Netrofil Segmen 60 % 50-70
Limfosit 25 % 20-40
Monosit 14 % 2-8

2.5 Differential Diagnosa.


1. Gizi buruk dd/
a. Tipe marasmus.
b. Tipe kwashiorkor.
2. Bronkopneumonia.

f. Diagnosa Kerja.
1. Gizi Buruk tipe marasmus + bronkopneumonia.

g. Terapi.
1. Asam folat 1 x 1 mg
2. Lactu B 2 x 1 mg
3. Inj. Zinc 1 x 20 mg
4. Multivitamin syr 1 x cth 1
5. Diet LLM 80 cc/ 3 jam/ NGT
6. Resomal 50-100 cc/ x mencret

2.7 Planning
- Foto rotgen Thorax AP
- EKG
- Pemeriksaan Laboratorium darah

17
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo Sanactionam :dubia ad bonam

2.9 Foto Klinis.

2.10 Divisi Yang Merawat


1. Divisi Nutrisi
2. Divisi HOM
3. Divisi GEH
4. Divisi Respi

18
2.11 Follow Up Harian
Hasil
Tanggal Profesi/ Bagian Intruksi
Pemeriksaan
31.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (+) 1 Th/ -Lactu B 2x1 sachet
x, Muntah (-), -Asam folat 1x1 mg
sesak nafas -Zinc syr 1x20 mg
menurun. -Multivitamin syr 1x cth 1
-Diet LLM 80 cc/3
O/ HR: 104 x/i jam/NGT
RR: 38 x/i -Resomal 50-100 cc/ x
T: 36,40C mencret

A/ Gizi buruk tipe


marasmus + diare
kronik tanpa
dehidrasi dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
01.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (+) 2 Th/ -Lactu B 2x1 sachet
x, muntah (-), -Asam folat 1x1 mg
sesak nafas (+) -Zinc syr 1x20 mg
menurun, rewel. -Multivitamin syr 1x cth 1
-Diet LLM 80 cc/3
O/ HR: 106 x/i jam/NGT
RR: 54 x/i -Resomal 50-100 cc/ x
T: 37,80 C mencret

A/ Gizi buruk tipr


marasmus
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A

19
02.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (+) 2 Th/ -Asam folat 1 x 1 mg
kali, muntah (-), -Lacto B 2x1
sesak nafas (-). -Zinc syr 1x1 cth 1
-Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
O/ HR: 112 x/i NGT
RR: 28 x/i -Resomal 50-100 cc/ x
T: 37,1 0C mencret
-Tim sari biasa 3x200 kkal
A/ Gizi Buruk
Tipe Marasmus
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
03.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (+) Th/ Th/ -Asam folat 1 x 1
masih ada, mg
muntah (-), sesak -Lacto B 2x1
nafas (-). -Zinc syr 1x1 cth 1
-Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
O/ HR: 109 x/i NGT
RR: 29 x/i -Resomal 50-100 cc/ x
T: 36,7 0C mencret
-Tim sari biasa 3x200 kkal
A/ Gizi Buruk
Tipe Marasmus dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
04.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (+), Th/ - Th/ -Asam folat 1 x 1
muntah (+), mg
kembung (+) -Lacto B 2x1
-Zinc syr 1x1 cth 1
O/ HR: 110 x/i -Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
RR: 24 x/i NGT
T: 36,8 0C -Resomal 50-100 cc/ x
mencret

20
A/ Gizi buruk tipe -Tim sari biasa 3x200 kkal
marasmus
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
05.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (-), Th/ -Asam folat 1 x 1 mg
sesak nafas (+). -Lacto B 2x1
-Zinc syr 1x1 cth 1
O/ HR: 96 x/i. -Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
RR: 42 x/i. NGT
T: 36,8 0C -Diet MII 3x150 kkal

A/ Gizi buruk tipe


marasmus dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
06.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Mencret (-), Th/ -Asam folat 1 x 1 mg
sesak nafas (+) -Lacto B 2x1 shacet
menurun. -Zinc syr 1x1 cth 1
-Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
O/ HR: 104 x/i NGT
RR: 40x/i -Diet MII 3x150 Kkal
T: 36,8 0C

A/ Gizi buruk tipr dr. Mars Nasrah Abdullah,


marasmus M. Ked (Ped)., Sp. A
07.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Toleransi diet Th/ -Asam folat 1 x 1 mg
baik, mencret (+), -Lacto B 2x1
sesak nafas -Zinc syr 1x1 cth 1
menurun. -Diet LLM 100 cc/ 3 jam/
oral
O/ HR: 100 x/i -Diet MII 3x150 Kkal
RR: 42 x/i
T: 36,5 0C P/ Aff NGT

21
A/ Gizi buruk tipe
marasmus dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
08.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Toleransi diet Th/ -Asam folat 1x1 mg
baik, mencret -Lacto B 2x1 sachet
berkurang (-), -Zinc syr 1x1 cth
sesak nafas -Diet LLM 100 cc/
menurun. 3jam/oral
-Diet MII 3x150 kkal
O/ HR: 120 x/i -Diet MII oral  hati-hati
RR: 58 x/i aspirasi.
T: 36,6 0C

A/ Gizi buruk tipe


marasmus
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
09.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Toleransi diet Th/ -Asam folat 1x1 mg
baik, mencret -Lacto B 2x1 sachet
berkurang (-), -Zinc syr 1x cth 1
sesak nafas (-), -Diet LLM 100 cc/
observasi 3jam/oral
pemberian diet -Diet MII 3 x 150 kkal 
tanpa NGT. hati-hati aspirasi.

O/ HR: 139 x/i


RR: 44 x/i
T: 36,6 0C

A/ Gizi buruk tipe


marasmus

22
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
10.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ sesak Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
berkurang, 12 J
mencret masih -Asam folat 1x1 mg
ada sesekali. -Lacto B 2x1 sachet
-Zinc Syr 1x cth 1
O/ HR: 116 x/i -Susu formula LLM 60 cc/
RR: 26 x/i 3 jam
T: 36,50 C -Diet M II 3x15 kkal
-Snac/ makanan ringan
A/ Gizi buruk tipe
marasmus dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
11.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Sesak masih Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
ada. 12 J
-Asam folat 1x1 mg
O/ HR: 118 x/i -Lacto B 2x1 sachet
RR: 24 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
T: 36,50 C -Susu formula LLM 60 cc/
3 jam
A/ Gizi buruk tipe -Diet M II 3x15 kkal
marasmus -Snac/ makanan ringan

dr. Mars Nasrah Abdullah,


M. Ked (Ped)., Sp. A
12.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ diare sudah Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
berkurang. 12 J
-Asam folat 1x1 mg
O/ HR: 114 x/i -Lacto B 2x1 sachet
RR: 24 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
T: 36,50 C -Susu formula LLM 60 cc/

23
3 jam
A/ Gizi buruk tipe -Diet M II 3x15 kkal
marasmus -Snac/ makanan ringan

dr. Mars Nasrah Abdullah,


M. Ked (Ped)., Sp. A
13.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Masih rewel, Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
sesak nafas masih 12 J
ada. -Asam folat 1x1 mg
-Lacto B 2x1 sachet
O/ HR: 108 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
RR: 28 x/i -Susu formula LLM 60 cc/
T: 36,50 C 3 jam
-Diet M II 3x15 kkal
A/ Gizi buruk tipe -Snac/ makanan ringan
marasmus
dr. Mars Nasrah Abdullah,
M. Ked (Ped)., Sp. A
14.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Makan sudah Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
mulai membaik. 12 J
-Asam folat 1x1 mg
O/ HR: 111 x/i -Lacto B 2x1 sachet
RR: 24 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
T: 36,50 C -Susu formula LLM 60 cc/
3 jam
A/ Gizi buruk tipe -Diet M II 3x15 kkal
marasmus -Snac/ makanan ringan

dr. Mars Nasrah Abdullah,


M. Ked (Ped)., Sp. A
15.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Batuk masih Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
ada sesekali. 12 J

24
-Asam folat 1x1 mg
O/ HR: 113 x/i -Lacto B 2x1 sachet
RR: 25 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
T: 36,80 C -Susu formula LLM 60 cc/
3 jam
A/ Gizi buruk tipe -Diet M II 3x15 kkal
marasmus -Snac/ makanan ringan

dr. Mars Nasrah Abdullah,


M. Ked (Ped)., Sp. A
16.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Toleransi diet Th/ -Inj. Ranitidin 10 mg/
melalui oral, NGT 12 J
aff. -Asam folat 1x1 mg
-Lacto B 2x1 sachet
O/ HR: 118 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
RR: 24 x/i -Susu formula LLM 60 cc/
T: 36,50 C 3 jam
-Diet M II 3x15 kkal
A/ Gizi buruk tipe -Snac/ makanan ringan
marasmus +
Bronkopneumonia dr. Mars Nasrah Abdullah,
+ Diare kronik M. Ked (Ped)., Sp. A
(perbaikan)
17.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Muntah (+) 4x, Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
kembung (+) 12 J
-Asam folat 1x1 mg
O/ HR: 117 x/i -Lacto B 2x1 sachet
RR: 40 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
T: 36, 5 C -Susu formula LLM 60 cc/
3 jam
A/ Gizi buruk tipe -Diet M II 3x15 kkal
marasmus + -Snac/ makanan ringan

25
Bronkopneumonia -Inj. Ondansetron 1,5 mg/
+ Diare kronik 8j
(perbaikan) +
Obserfasi dr. Mars Nasrah Abdullah,
vomitus. M. Ked (Ped)., Sp. A
18.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Muntah sudah Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
berkurang, sesak 12 J
nafas (-). -Asam folat 1x1 mg
-Lacto B 2x1 sachet
O/HR: 116 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
RR: 25 x/i. -Susu formula LLM 60 cc/
T: 36,8’ C 3 jam
-Diet M II 3x15 kkal
A/ Gizi buruk tipe -Snac/ makanan ringan
marasmus +
Bronkopneumonia dr. Mars Nasrah Abdullah,
+ Diare kronik M. Ked (Ped)., Sp. A
(perbaikan).
19.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Muntah (+) 1x, Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
kembung (+) 12 J
menurun, -Asam folat 1x1 mg
toleransi diet. -Lacto B 2x1 sachet
-Zinc Syr 1x cth 1
O/ HR: 118 x/i -Susu formula LLM 60 cc/
RR: 32 x/i 3 jam
T: 37,5 C -Diet M II 3x15 kkal
-Snac/ makanan ringan
A/ Gizi buruk tipe -Inj. Ondansetron 1,5 mg/
marasmus + 8j
Bronkopneumonia
+ Diare kronik dr. Mars Nasrah Abdullah,
(perbaikan) + M. Ked (Ped)., Sp. A

26
Obserfasi
vomitus.
20.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Muntah (-), Th/-Inj. Ranitidin 10 mg/
kembung (+) 12 J
menurun. -Asam folat 1x1 mg
-Lacto B 2x1 sachet
O/ HR: 110 x/i -Zinc Syr 1x cth 1
RR: 57 x/i -Susu formula LLM 60 cc/
T: 36, 70 C 3 jam
-Diet M II 3x15 kkal
A/ Gizi buruk tipe -Snac/ makanan ringan
marasmus + -Inj. Ondansetron 1,5 mg/
Bronkopneumonia 8 j
+ Diare kronik
(perbaikan) + dr. Mars Nasrah Abdullah,
Limfadenitis. M. Ked (Ped)., Sp. A
21.08.2015 Dokter/ Nutrisi S/ Muntah (-),
kembung (-)
menurun,
toleransi diet
melalui NGT
makan melalui
oral.

O/ HR: 130 x/i


RR: 57 x/i
T: 36, 70 C

A/ Gizi buruk tipe


marasmus +
Bronkopneumonia
+ Diare kronik +

27
Obserfasi vomitus

28
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gizi Buruk.

3.1 Definisi.

Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat
kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh
tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot
mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis / kemerahan. Marasmik-
kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari
marasmus dan kwashiorkor.1
Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen
Kesehatan RI 2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran
klinik yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus dengan BB/U < 60 % baku median WHO-NHCS disertai edema yang
tidak mencolok.5

3.2 Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya
KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:

3.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS.6


Klasifikasi KEP BB/U BB/TB
Ringan 70-80% 80-90%
Sedang 60-70% 70-80%
Berat <60% <70%
Table 3.1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS6

3.2.2 Klasifikasi Menurut Kementerian Kesehatan RI.


Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan
(TB), dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut :6

29
BB/TB TB/U
(berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)
Mild 80 – 90 % 90 – 94%
Moderate 70 – 79 % 85 – 89 %
Severe < 70 % <85 %
Table 3.2. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI6

3.2.3 Klasifikasi Menurut Gomez (1956)


Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan berat
badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.6
Derajat KEP Berat badan % dari baku*
0 (normal) ≥90%
1 (ringan) 89-75%
2 (sedang) 74-60%
3 (berat) <60%
Table 3.3 Klasifikasi KEP menurut Gomez6

3.2.4 Klasifikasi Menurut McLaren (1967)


McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut
tipenya. Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan
pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin
atau total protein serum.6

30
Gejala klinis / laboratoris Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total serum/g %
<1,00 <3,25 7
1,00-1,49 3,25-3,99 6
1,50-1,99 4,00-4,74 5
2,00-2,49 4,75-5,49 4
2,50-2,99 5,50-6,24 3
3,00-3,49 6,25-6,99 2
3,50-3,99 7,00-7,74 1
>4,00 >7,75 0
Tabel 3.4. Klasifikasi KEP menurut McLaren6

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap
penderita:
0-3 angka = marasmus
4-8 angka = marasmic-kwashiorkor
9-15 angka = kwashiorkor
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan
cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan
bantuan laboratorium.

3.2.5 Klasifikasi Menurut Wellcome Trust Party (1970).

Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini
diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat
pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnose yang salah. Seperti pada
penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang

31
lain) yang sudah dirawat selama satu minggu, edema pada tubuh pasien sudah
tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang
seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.6

Berat badan % Edema


dari baku Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwashiorkor
<60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor
Tabel 3.5. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust Party6

3.2.6 Klasifikasi Menurut Waterlow (1973).

Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan


menahun. Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan
akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.6

Gangguan Derajat Stunting (BB/U) Wasting(BB/TB)


0 >95% >90%
1 95-90% 90-80%
2 89-85% 80-70%
3 <85% <70%
Tabel 3.6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow6

3.2.7 Klasifikasi menurut Jelliffe.


Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut:6

32
Kategori BB/U (% baku)
KEP I 90 – 80
KEP II 80 – 70
KEP III 70 – 60
KEP IV <60
Tabel 3.7. Klasifikasi KEP menurut Jelliffe6

3.3 Epidemiologi.

Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi
buruk pada tahun 2000 – 2002, dengan 815 juta orang yang hidup di negara
berkembang. Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005
diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan menurut
umur), 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi
buruk tersebut ada 150.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut
marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor, yang memerlukan
perawatan kesehatan yang intensif di Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi
kurang dan gizi buruk terjadi hampir di semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini
masih terdapat 110 Kabupaten / Kota dari 440 Kabupaten / Kota di Indonesia
yang mempunyai prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Menurut
WHO keadaan ini masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan hasil surveilans
Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember
2005, total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita.
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka
kejadian gizi kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan
indikator berat badan per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang
ada dalam profil kesehatan Kota Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka
gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun bila dibanding tahun 2006 yaitu
2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat dibanding tahun 2006
yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun dibanding
dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12%
bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%.
Pada tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya

33
mengalami kurang gizi atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju
Sehat hasil pantauan di 889 posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
untuk Kota Palembang, angka kurang gizi pada balita juga masih tegolong tinggi.
Pada tahun 2010, angka kejadian gizi buruk berjumlah 24 kasus dengan prevalensi
gizi buruk tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Seberang Ulu 1 sejumlah 8
kasus (33,3%). Angka kejadian gizi kurang berjumlah 876 kasus, dengan
prevalensi gizi kurang tertinggi terjadi di wilayah Kecamatan Ilir Timur 1
sebanyak 143 kasus.

3.4 Etiologi.

Penyebab KEP berdasarkan / bagan sederhana yang disebut sebagai “model


hirarki” yang akan terjadi setelah melalui lima level seperti yang tertera sebagai
berikut:7

Gambar 3.1. Model Hirarki penyebab KEP7

34
UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro (Bagan 2)
sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam
kerangka tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh:7
1. Penyebab langsung.
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang.
Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang,
tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering
menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula
pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya
akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

2. Penyebab tidak langsung


Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
 Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu
gizinya.
 Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap
anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan
sosial.
 Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih
dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap
keluarga yang membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga
yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.

35
3. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan
sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung
maupun tidak langsung.

4. Akar Masalah.
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya
pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis
ekonomi, politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak
tahun 1997. Keadaan tersebut telah memicu munculnya kasus-kasus gizi
buruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak
memadai.

36
Gambar 3.2. Etiologi Gizi Buruk

Hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa banyak faktor


resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin,
umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak
lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota
keluarga yang besar dan lain- lain.8

37
Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai
berikut:
 Penyakit Infeksi
 Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah
 Konsumsi Energi yang kurang
 Perolehan Imunisasi yang kurang
 Konsumsi Protein yang kurang
 Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.

Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa


faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan
kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara
pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan
segala tabu-tabunya. Salah satu penyebab malnutrisi (kurang gizi) diantaranya
karena faktor ekonomi yaitu daya beli yang rendah dari para keluarga yang kurang
mampu. Nampaknya ada hubungan yang erat antara pendapatan keluarga dan
status gizi anak-anaknya. Pengetahuan ibu juga merupakan salah satu faktor
terjadinya kurang gizi pada balita, karena masih banyak orang yang beranggapan
bahwa bila anaknya sudah kenyang berarti kebutuhan mereka terhadap gizi sudah
terpenuhi.9

3.5 Patogenesis.

Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai


cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka
kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3
SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut / ”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan.
Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat

38
teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/ compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat
terjadi gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum,
penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai
sintesa enzim.10
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari
normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi
cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.11,12
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai
asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan
akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis
glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori
dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Ha
ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada
awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup,
jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang
diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri
sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi.
Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya
lemak dan otot sehingga tampak edema.11,12

39
Gambar 3.3. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor

40
3.6 Manifestasi Klinis.

Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik


kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS
disertai edema yang tidak mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seperti
orang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian
besar lemak dan otot-ototnya, iga gambang, bokong baggy pant, perut cekung,
wajah bulat sembab. Perubahan mental adalah anak mudah menangis, walapun
setelah mendapat makan karena anak masih merasa lapar. Kesadaran yang
menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. Kelainan pada kulit
tubuh yaitu kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkankehilangan
banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kelainan pada rambut kepala
walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak
rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak subkutan menghilang hingga
turgor kulit mengurang. Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas.
Pada saluran pencernaan, penderita marasmus lebih sering menderita diare atau
konstipasi. Tidak jarang terdapat bradikardi, dan pada umumnya tekanan darah
penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat seumur. Terdapat pula
frekuensi pernafasan yang mengurang dan ditemukan kadar hemoglobin yang agak
rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi yang umumnya kronis berulang
akibat defisiensi imunologik.6
Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang gemuk
(sugar baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan
protein, walaupun dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya
atrofi. Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari baku Harvard
persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika
KEP sudah berlangsung lama.Perubahan mental sangat mencolok. Pada umumnya
mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan

41
kelainan mental tersebut menandakan suksesnya pengobatan. Edema baik yang
ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita kwashiorkor.
Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga
penderita tampak lemah dan berbaring terusmenerus, walaupun sebelum menderita
penyakit demikian sudah dapat berjalan-jalan. Gejala saluran pencernaan
merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat penderita menolak segala
macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui
sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang
cair dan mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase
dan enzim disaharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh
cacing dan parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai
bangunnya (texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor
ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan di daerah temporal
menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita. Pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering,
halus, jarang, dan berubah warnanya.
Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat kelabu, maupun putih.
Rambut aslipun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian
dengan rambut matanya yang justru memanjang. Perubahan kulit yang oleh
Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor,
diberi namacrazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi
penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai petehia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam.
Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah
dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering
membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus
mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti di
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat
ditemui, seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang
mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat
lanjut ditemui petehia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si
penderita.6

42
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-
kadangbatas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar denganmudah dapat
dirabah dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaanyang licin dan pinggir
yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan,
bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan
infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kirnan, lebih berat penyakitnya
lebih banyak sel hatiyang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat
perlemakanterdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya
fibrinosis dan nekrosis hati. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
demikian. Bilamana kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama
ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada
kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik
hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada
kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi
kekurangan protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga,
insufisiensi hormon, dan sebagainya. Macam anemiayang terjadi menunjukkan
faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering
ditemukan mengurangnya sel sistem eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum
tulang demikian disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi
menahun.6

43
Marasmus Kwshiorkor Obesitas

 Pertumbuhan berkurang  Perubahan mental  Wajah bulat


atau berhenti. sampai apatis. dengan pipi
 Terlihat sangat kurus.  Anemia. tembem dan dagu
 Penampilan wajah  Perubahan warna dan rangkap.
seperti orangtua. tekstur rambut, mudah  leher relatif
 Perubahan mental. dicabut / rontok. pendek.
 Cengeng.  Gangguan sistem  dada membusung
 Kulit kering, dingin, gastrointestinal. dengan payudara
mengendor, keriput.  Pembesaran hati. membesar
 Lemak subkutan  Perubahan kulit.
- perut membuncit
menghilang hingga  Atrofi otot.
dan striae
turgor kulit berkurang.  Edema simetris pada
abdomen.
 Otot atrofi sehingga kedua punggung kaki,
- pada anak laki-
kontur tulang terlihat dapat sampai seluruh
laki : Burried
jelas. tubuh.
penis,
 Vena superfisialis
gynaecomastia
tampak jelas.
- pubertas dini.
 Ubun – ubun besar
- genu valgum
cekung.
(tungkai berbentuk
 Tulang pipi dan dagu
X) dengan kedua
kelihatan menonjol.
pangkal paha
 Mata tampak besar dan
bagian dalam
dalam.
saling menempel
 Kadang terdapat
dan bergesekan
bradikardi.
yang dapat
 Tekanan darah lebih
menyebabkan
rendah dibandingkan
laserasi kulit.
anak sebaya.

*Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala

44
marasmus dan kwashiorkor

Tabel 3.7 Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor.

a. Marasmus4
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
- Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori
yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan
akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak.
- Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai hubungan
orang tua – anak terganggu.
- Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia,
galactosemia, lactose intolerance.
- Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit
Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus,
hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.

b. Kwashiorkor.5
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara lain.
1. Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang
cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai.
Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang
diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-
sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan
penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.

4 Faktor sosial.

45
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk menggunakan
makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.

5 Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.

6 Faktor infeksi dan penyakit lain.


Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya
MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap
infeksi.

c. Marasmic – kwashiorkor6
Penyebab marasmic – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu
malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan
kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak
adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan
yang meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan protein
maupun energi dari tubuh.

46
Gambar 1. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor.

6.1 Diagnosis.

Diagnosis untuk marasmus-kwashiorkor dapat ditegakkan berdasarkan


manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.13,14
1. Manifestasi klinis.
Anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang, serta penyakit
yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang umumnya timbul
adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih
manifestasi klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya.
2. Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan laboratorium darah tepi yaitu Hb memperlihatkan anemia
ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar, kadar albumin serum
sedikit menurun.Kadar elektrolit seperti Kalium dan Magnesium rendah,
bahkan K mungkin sangat rendah, sedangkan kadar Natrium, Zinc, dan
Cuprum bisa normal atau menurun. Kadar glukosa darah umumnya rendah,

47
asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai β-lipoprotein dapat rendah
ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino esensial
plasma menurun. Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi hormon
pertumbuhan dapar normal, rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati hanya
tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan
yang berat. Pada pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang
yang terlambat dan terdapat osteoporosis ringan.
3. Antropometrik.
Ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang / tinggi badan,
lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis ditegakkan
dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat
badan menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar
lengan atas menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan),
LLA/TB (lingkar lengan atas menurut tinggi badan). Dari pemeriksaan
antropometrik dapat diklasifikasikan menurut Wellcome Trust Party, klasifikasi
menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan klasifikasi berdasarkan WHO dan
Depkes RI.

3.7 Penatalaksanaan.
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk:4

48
49
Gambar 3.4. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk4

Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat


berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang
dikelompokkan menjadi 5, yaitu:4
 Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.
Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT

 Kondisi II.
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:4

50
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 Berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :
5ml/kgBB setiap pemberian
 Catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30
menit

 Kondisi III.
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III,
dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

 Kondisi IV.
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:4
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
dengan berat badan (NGT)
 catat nadi, frekuensi nafas

 Kondisi V.
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:4

51
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran

Menurut Kemenkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4


faseyang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14),
faserehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana
tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb: 4

*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala
(1 minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit
Gambar 3.5. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk.

52
A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah
utama).
1. Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia.
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali
sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (
suhu ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering penting
untuk mencegah kedua kondisi tersebut.4,15

Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan:


1. 50 ml “bolus” (pemberian sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% (1
sdt gula dalam 5 sdm air) secara oral atau pipa naso-gastrik.
2. Selanjutnya berikan larutan tsb. setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali
berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam).
3. Berikan antibiotika (lihat langkah 5).
4. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam (lihat langkah 6).

Pemantauan:
 Bila kadar glukosa darah rendah, ulangi pemeriksaan gula darah dengan darah
dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam.
 Sekali diobati, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit.
 Bila gula darah turun lagi sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus)
larutan glukosa 10% atau sukrosa, dan teruskan pemberian setiap 30 menit
sampai stabil.
 Ulangi pemeriksaan gula darah bila suhu aksila <36C dan/atau kesadaran
menurun.
Pencegahan :
 Mulai segera pemberian makan setiap 2 jam (langkah 6), sesudah dehidrasi
yang ada dikoreksi.
 Selalu memberikan makanan sepanjang malam.
Catatan :

53
Bila tidak dapat memeriksa kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak
KEP berat/gizi buruk menderita hipoglikemia dan atasi segera dengan
ditatalaksana seperti tersebut di atas.

2. Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia.

Bila suhu ketiak <36C :


Periksalah suhu dubur dengan menggunakan termometer suhu rendah. Bila
tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak sangat rendah pada
pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita hipotermia.4,15
Bila suhu dubur <36C :
 Segera beri makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila perlu).
 Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala, letakkan
dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau peluk anak di
dada ibu, selimuti (metoda kanguru).
 Berikan antibiotika (lihat langkah 5).

Pemantauan:
 Periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai suhu mencapai >36,5C, bila memakai
pemanas ukur setiap 30 menit.
 Pastikan anak selalu terbungkus selimut sepanjang waktu, terutama malam
hari.
 Raba suhu anak.
 Bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.

Pencegahan:
 Segera beri makan / formula khusus setiap 2 jam (lihat langkah 6).
 Sepanjang malam selalu beri makan.
 Selalu diselimuti dan hindari keadaan basah (baju, selimut, alas tempat tidur).
 Hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau pemeriksaan medis terlalu
lama).

54
3. Langkah Ke-3: Pengobatan/Pencegahan Dehidrasi.
Jangan menggunakan “jalur intravena/ i.v.” untuk rehidrasi kecuali pada
keadaan syok/renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan
perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. (Lihat penanganan
kegawatan).4,15
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium
dan kurang kalium untuk digunakan pada penderita KEP berat/gizi buruk. Sebagai
pengganti, berikan larutan garam/elektrolit khusus yaitu Resomal. Tidaklah
mudah untuk memperkirakan status dehidrasi pada KEP berat/gizi buruk dengan
menggunakan tanda-tanda klinis saja. Jadi, anggap semua anak KEP berat/gizi
buruk dengan diare encer mengalami dehidrasi sehingga harus diberi:4,15
 Cairan Resomal / pengganti sebanyak 5 ml/KgBB setiap 30 menit selama 2 jam
secara oral atau lewat pipa nasogastrik.
 Selanjutnya beri 5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat yang
harus diberikan tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan
banyaknya kehilangan cairan melalui tinja dan muntah.
 Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10 dengan formula
khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
 Selanjutnya mulai beri formula khusus (langkah 6).
 Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak
mulai kencing.

Pemantauan
Lakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-1 jam selama 2
jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya.dengan memantau:
denyut nadi, pernafasan, frekwensi kencing, frekwensi diare / muntah.
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang
berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah
berlangsung, tetapi pada KEP berat/gizi buruk perubahan ini seringkali tidak
terlihat, walaupun rehidrasi sudah tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang

55
cepat dan menetap selama rehidrasi menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan
cairan.4,15
Tanda kelebihan cairan: frekwensi pernafasan dan nadi meningkat, edema
dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda tersebut,
hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.

Pencegahan:
 Bila diare encer berlanjut:Teruskan pemberian formula khusus (langkah 6) .
 Ganti cairan yang hilang dengan Resomal / pengganti (jumlah + sama).
 Sebagai pedoman, berikan Resomal/pengganti sebanyak 50-100 ml setiap kali
buang air besar cair.
 Bila masih mendapat ASI, teruskan.

4. Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit.


Pada semua KEP berat terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun
kadar Na plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering
terjadi dan paling sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan.Ketidakseimbangan
elektrolit ini ikut berperan pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan
pemberian diuretikum). 4,15
Berikan :
 Tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari).
 Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari).
 Untuk rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal/pengganti).
 Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam.
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang
ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan tersebut pada 1
liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg. (Lihat lampiran 6 untuk cara
pembuatan larutan).

56
5. Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi.
Pada KEP berat / gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya
infeksi seperti demam seringkali tidak tampak.Karenanya pada semua KEP
berat/gizi buruk beri secara rutin:4,15
 Antibiotik spektrum luas.
 Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan belum pernah diimunisasi
(tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah keadaan gizi anak
menjadi baik.

Catatan:
Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg, setiap 8 jam selama 7
hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna mempercepat
perbaikan mucosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan infeksi
sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus.
Pilihan antibiotik spektrum luas:
1. Bila tanpa komplikasi: Kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2
x/hari selama 5 hari (2,5 ml bila berat badan < 4 Kg), Atau.
2. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi (hipoglikemia:
hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing), beri :
 Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan
dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari.
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam
secara oral, dan
 Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari.
3. Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25
mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hari.
4. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik yang
sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria
positif.
5. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.

57
6. Bila masih tetap ada, nilai kembali kadaan anak secara lengkap, termasuk
lokasi infeksi, kemungkinan adanya organisme yang resisten serta apakah
vitamin dan mineral telah diberikan dengan benar.

6. Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan.


Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-nati karena
keadaan faali anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian
rupa sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal.4,15
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
 Porsi kecil tapi sering dengan formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar.
 Berikan secara oral/nasogastric.
 Energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari.
 Protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari .
 Cairan : 130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema).
 Bila masih mendapat ASI, tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula.
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut di
atas: (lihat tabel 2 halaman 24). Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak
terlalu lemah, berikan dengan sendok / pipet.4,15
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari
untuk setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg
BB/hari, berikan sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan
lebih 100 Kkal/kgBB/hari pada fase stabilisasi ini.4,15
Pantau dan catat:Jumlah yang diberikan dan sisanya, Muntah, Frekwensi
buang air besar dan konsistensi tinja, BB (harian).
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan BB mulai naik,
tetapi pada penderita dengan edema BB-nya akan menurun dulu bersamaan
dengan menghilangnya edema, baru kemudian BB mulai naik.

58
Bila diare berlanjut atau memburuk walaupun pemberian nutrisi sudah
berhati-hati, lihat bab diare persisten.

7. Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar.


Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar
tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan
50g/minggu. Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan,
biasanya 1-2 minggu setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk
menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi
bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.4,15
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari
formula khusus awal ke formula khusus lanjutan :4,15
 Ganti formula khusus awal (energi 75 Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml)
dengan formula khusus lanjutan (energi 100 Kkal dan protein 2.9 gram per 100
ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat
digunakan asalkan dengan kandungan energi dan protein yang sama.
 Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit formula
tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari).

Pemantauan pada masa transisi: frekwensi nafas, frekwensi denyut


nadi. Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi
>25x/menit dalam pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume
pemberian formula.Setelah normal kembali, ulangi menaikkan volume
seperti di atas.
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi:
 Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.
 Energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari.
 Protein 4-6 gram/kgBB/hari.
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar.

59
Pemantauan setelah periode transisi: kemajuan dinilai berdasarkan
kecepatan pertambahan berat badan: timbang anak setiap pagi sebelum diberi
makan, evaluasi kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan BB:
 Kurang ( <50 g/minggu ), perlu re-evaluasi menyeluruh : cek apakah asupan
makanan mencapai target atau apakah infeksi telah dapat diatasi.
 Baik (  50 g/minggu ), lanjutkan pemberian makanan

8. Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien.


Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi
tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah
minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan
infeksinya. Berikan setiap hari:4,15
 Suplementasi multivitamin.
 Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama).
 Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari.
 Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari.
 Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10 mg/kgBB/hari.
 Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan : 100.000
SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah mendapat
suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda / gejala defisiensi
vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.

9. Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan


Emosional.
Pada KEP berat terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan: 4,15
 Kasih saying.
 Lingkungan yang ceria.
 Terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari.

60
 Aktifitas fisik segera setelah sembuh.
 Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb).

10. Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah.


Bila gejala klinis sudah tidak ada dan BB anak sudah mencapai 80% BB/U,
dapat dikatakan anak sembuh.Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan.Peragakan kepada
orangtua tentang pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan
nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur.4,15
Nasehatkan kepada orang tua untuk :
 Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di
Puskesmas.
 Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-
Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5)
dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu /
puskesmas.
 pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat.
 penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu.
 Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau
100.000 SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus.

B. Pengobatan Penyakit Penyerta

1. Defisiensi vitamin A.
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan14
atau sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis
diberikan vitamin A dengan dosis:4,15
 Umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali.
 umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali.
 umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali.

61
Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin, 1
tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan
garam faal.4,15

2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo / hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida.4,15
Tatalaksana :
a. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4
(Kpermanganat) 1% selama 10 menit.
b. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor).
c. usahakan agar daerah perineum tetap kering.
d. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral

3. Parasit / Cacing.
Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antihelmintik lain.4,15

4. Diare Melanjut.
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum.
Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan
giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin,
lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap
8 jam selama 7 hari.4,15

5. Tuberkulosis.
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin / Mantoux (sering kali
anergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai
pedoman pengobatan TB.4,15

62
C. Kegagalan Pengobatan.

Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat


badan:4,15
1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi
kematian.
 Dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis
yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
 Dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau
pemilihan formula tidak tepat.
 Malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu
cepat.
2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian
kenaikan BB:
Baik : 50 gram/kgBB/minggu
Kurang: <50 gram/kgBB/minggu.
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain:
 Pemberian makanan tidak adekuat.
 Defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral.
 infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
 Masalah psikologik.

D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas.

Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis
sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB mencapai minimal
80%.4,15
Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus
diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6
gram/kgBB/hari):

63
 Beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling sedikit
5 kali sehari.
 Beri makanan selingan di antara makanan utama.
 Upayakan makanan selalu dihabiskan.
 Beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit.
 Teruskan ASI.

E. Tindakan Kegawatan.
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan membaik
dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada sepsis tanpa
dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.4,15
Pedoman pemberian cairan :
a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan
kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama. Evaluasi
setelah 1 jam.
b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan status
hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas
untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal /
pengganti, peroral / nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam, selanjutnya
mulai berikan formula khusus (F-75 / pengganti).
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal ini,
berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah
sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)

2. Anemia berat.
Transfusi darah diperlukan bila:Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai
distress pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah :
 Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.

64
 Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi
dengan jumlah yang sama.
 Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai. Perhatikan
adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak
dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl,
jangan diulangi pemberian darah.

3.8 Pencegahan KEP.

Prevalensi KEP ringan seperti pendek dan kurus kering adalah 40-50 %
sementara KEP berat mencapai 5-10 % pada negara yang sedang berkembang.
Jika kasus KEP ini bisa dideteksi awal dengan pengukuran berat badan dan tinggi
badan serta langkah yang tepat maka KEP berat dapat dicegah dengan mudah.
Tidaklah bijaksana jika hanya mengobati malnutrisi berat yang datang ke sarana
layanan kesehatan. Seolah-olah seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu
diperulkan pendekatan kepada masyarakat terutama masyarakat level ekonomi
menengah ke bawah. Di bawah ini adalah beberapa pendekatan penanganan
nutrisi yang bisa dilakukan di masyatakat:

3.8.1 Penganekaragaman makanan dan pendidikan gizi.


Pendekatan ini difokuskan kepada pendidikan ibu / pengasuh terhadap
pentingnya makanan seimbang melalui penganekaragaman makanan. Ini
juga ditujukan agar ibu bisa mengolah bahan makanan dari kebun dan hasil
pertanian. Pendidikan gizi ini berfokus pada :
 Mengubah pola pikir ibu yang salah tentang pemberian makan dan
proses menyusui, serta paparan sinar matahari, yang sering dipengaruhi
oleh budaya dan kepercayaan yang keliru.
 Memperbaiki kesalahan pembagian jatah makanan di rumah
antaranggota keluarga yang dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin.
 Menumbuhkan kesadaran terhadap status gizi anak serta penanganan
praktis dan tepat jika terjadi gangguang status gizi pada anak.
 Pentingnya ASI eksklusif.
 Meningkatkan higiene (hygiene personal, makanan, dan lingkungan).

65
 Pentingnya imunisasi.
 Pentingnya menanam buah-buahan dan sayur-sayuran yang bisa
dikonsumsi oleh anggota kelarga di pekarangan rumah.
 Pentingnya memantau pertumbuhan anak dengan membawanya ke
pusat pelayanan kesehatan.

3.8.2 Pendekatan Ekonomi.


Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan komunitas
target sebagai solusi terhadap masalah gizi mereka. Beberapa metode yang
bisa digunakan adalah :
 Food for work.
Menawarkan sejumlah pekerjaan kepada masyarakat miskin atau
yang membutuhkan dan membayarnya dengan makanan.
 Food subsidy.
Metode ini berupa pemberian makanan jadi atau bahan makanan
oleh pemerintah.
 Income generating project.
Metode ini telah dipraktikkan di beberapa daerah di Ethiopia dengan
menggunakan cara mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dibelikan
makanan. Metode ini melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

3.9 Komplikasi.

Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain:
 Masalah pada mata.
 Anemia berat.
 Lesi kulit pada kwashiorkor.
 Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa,
diare osmotik)

Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:

66
- Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler.
- Diabetes Mellitus tipe-2.
- Obstruktive sleep apnea.
- Gangguan ortopedik.
- Pseudotumor serebri

3.10 Prognosis.
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian
sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara
kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari
stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun
kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat
dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh
akibat under nutrition maupun overnutrition.

B. Bronkopneumonia.

3.1. Definisi.

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau
tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara klinis
pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi,
obat-obatan dan lain-lain. Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis tidak termasuk. Sedang keradangan paru yang disebabkan oleh
penyebab non infeksi (bahan kimia, radiasi, obat-obatan dan lain- lain) lazimnya
disebut pneumonitis.16, 17
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi
pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan tersebut
tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-bercak
konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder yang
biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann Pernapasan Atas), demam

67
infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh. Sebagai infeksi
primer biasanya hanya dijumpai pada anak-anak dan orang tua. 16, 17
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu :
a. Pneumonia lobaris;
b. Pneumonia intertitialis (bronkiolitis); dan
c. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia).
WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :
1. Usia kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat:
- Chest indrawing (subcostal retraction).
- Bila ada napas cepat (> 60 x/menit).
b. Pneumonia sangat berat:
- Tidak bisa minum.
- Kejang.
- Kesadaran menurun.
- Hipertermi / hipotermi.
- Napas lambat / tidak teratur.
2. Usia 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia.
- Bila ada napas cepat.
b. Pneumonia Berat.
- Chest indrawing.
- Napas cepat dengan laju napas.
 > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1
tahun.
 > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun.
c. Pneumonia sangat berat.
- Tidak dapat minum.
- Kejang.
- Kesadaran menurun.
- Malnutrisi.16,17

68
3.2. Etiologi.

Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan


sampai 2 tahun, . Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai
dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan
penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman atipik
Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.17
Umur Bakteri Patogen
Neonatus E. Coli, Streptococcus group B, Listeria monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae
1-3 bulan Chlamydia trachomatis

Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae


prasekolah Haemophillus influenzae B, Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus
Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae
sekolah Streptococcus pneumoniae9

3.3. Manifestasi Klinis.

Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa sangat
berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda
pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam, menggigil, sefalgia,
rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.17
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-tanda itu
tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas cuping
hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas interkosta dan
abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi
pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan
frekuensi nafas), perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas melemah dan
ronkhi.16

69
Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau
tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang
atau tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik karena umumnya kelainan
patologisnya menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi
pleura.16
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut :17
- Usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit
- Usia 2 bulan -1 tahun : ≥ 50 kali per menit
- Usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali per menit.

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi


basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada
bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara
nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.17

3.4. Patogenesis Dan Patofisiologi.

Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,


aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi
infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-
lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari
darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara
progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh
perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus
bahkan seluruh paru menjadi padat (consolidated) yang berarti bahwa paru terisi
cairan dan sisa-sisa sel.17
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan
bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus
akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi
sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus

70
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema
dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.17
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti).
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya).
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari).
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa

71
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari).
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.17

Gambar. 3. Patofisiologi Bronkopneumonia.

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau


penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,

72
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.16,17
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :

 Filtrasi partikel di hidung.


 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis.
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk.
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar.
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar.
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal.
 Drainase melalui sistem limfatik.17

3.5. Diagnosis.

1. Anamnesis.

Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului


dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,
demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil
(pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen
disertai muntah.17,18

2. Pemeriksaan Fisik.
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi
dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar
jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu,
retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.17

73
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi.17,18

3. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi
netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil
mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas
untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada
infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya
positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.17

4. Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan radiologis.
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,
terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat
didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya
disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.18

74
Gambar 3. Foto toraks PA pada pneumonia lobaris.

3.6. Kriteria Diagnosis.

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada.
b. panas badan.
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles).
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus.
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).18

3.7. Penatalaksanaan.

Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.


Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :

75
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.
Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin
diperlukan terutama dalam 24-48 jam.
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana
rutin yang harus diberikan. 17
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak
memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri.17
Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen
0-2 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Gentamisin - Streptococcus B
2. Ampisillin + - Nosokomial
Cefotaksim enterobacteria
>2-4 minggu 1. Ampisillin + - E. Coli
Cefotaksim atau - Nosokomial
Ceftriaxon Enterobacteria
2. Eritromisin - Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + - E. Coli and other
Gentamisin Enterobacteria
2. Cefotaksim atau - H. influenza
Ceftriaxon - S. pneumonia
- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 1. Ampisillin - H. influenza
2. Sefuroksim 2. Ampisillin + - S. pneumonia
sefiksim Kloramfenikol
Sefuroksim
Ceftriaxon
>5 tahun 1. Penisillin A 1. Penisillin G - S. pneumonia
2. Amoksisilin 2. Sefuroksim - Mycoplasma 9
Eritromisin Seftriakson,
Vankomisin

76
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi
terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama
pengobatan untuk stafilokokkus adalah 3-4 minggu.17

3.8. Komplikasi.

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam


rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.

3.9. Diagnosa Banding.


a. Bronkiolitis
b. Aspirasi pneumonia
c. Tb paru primer

3.10. Prognosis.

Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil
berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai
5%.13 Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi energi protein
dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.17

3.11. Pencegahan.

Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian


imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis
vaksinnya. Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah
pneumonia:

77
1. Vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia
adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia.
2. Vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b.
3. Vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertussis.
4. Vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak.
5. Vaksin influenza untuk mencegah influenza.

78
BAB IV
ANALISA KASUS

Dari hasil autoanamnesa (dengan ibu kandung dan tante pasien) pasien
mengalami demam. Pasien dibawa berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh dengan keluhan demam. Keluhan ini sudah dialami
pasien semenjak 1 bulan yang lalu. Demam yang muncul tidak terlalu tinggi.
Demam yang pasien rasakan hilang timbul, demam reda biasanya dengan obat
penurun panas yang ibu pasien peroleh dari manteri di gampoeng setempat pasien
domisili. Demam kadang kala disertai dengan menggigil. Demam dirasakan
memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan kemudian ibu pasien membawa
pasien berobat ke salah satu rumah sakit swasta (RS Bunda) di Bireuen.
Kemudian dari rumah sakit tersebut pasien di rujuk ke RSUDZA Banda Aceh.
Pasien juga mengelami batuk yang hilang timbul. Batuk dirasakan secara
terus menerus dan tidak reda dengan pemberian obat batuk. Keluhan ini sudah
pasien alami semenjak usia pasien 1 minggu stelah lahir. Keluhan ini muncul
secara hilang timbul. Batuk mengeluarkan dahak, kadang – kadang bewarna putih
dan kadang – kadang bewarna kekuningan. Batuk darah disangkal. Batuk
dirasakan semakin lama semakin memberat. Pasien mempunyai riwayat
mengalami riwayat kontak dengan penderita demam dan batuk lama, yakni paman
pasien.
Pasien juga mengalami keluhan sesak yang sudah dialami pasien 1 bulan
Sebelum Masuk Rumah Sakit. Keluhan ini semakin memberat 3 hari SMRS.
Tidak ada riwayat sesak sebelumnya. Bersin – bersin dipagi hari disangkal.
Pasien juga mengalami keluhan mencret yang sudah dialami 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Frekuensi Buang Air Besar 3-4 kali per hari. BAB yang
keluar bukan berupa ampas (-), tidak ada lendir (-), akan tetapi yang keluar berupa
air yang lebih banyak, tidak adanya keluar darah (-), volume BAB kira-kira 50
cc/x BAB.
Pasien juga mengalami keluhan muntah (+) yang sudah pasien alami sejak 3
hari yang lalu, volume muntah lebih kurang 50 cc/x muntah. Isi muntah yang
keluar berupa makanan yang dimakan pasien.

79
Pasien juga mengalami keluhan munculnya benjolan di leher kiri pasien.
Keluhan ini sudah pasien alami semenjak usia pasien 6 hari. Keluhan ini muncul
setelah pasien mengalami batuk-batuk dari kecil. Awalnya berukuran kecil,
namun lama-kelamaan semakin membesar. Bentuk benjolan bulat dengan
diameter kira-kira cm. Tidak ada keluhan nyeri pada benjolan tersebut.
Ibu pasien juga menyampaikan bahwa pasien mengalami penurunan berat
badan. Keluhan ini pasien alami dalam 3 bulan ini. Berat badan pasien tertinggi
lebih kurang 7 Kg saat usia pasien < 1 tahun. Pasien juga mengalami masalah
dalam nafsu makan sehari-hari. Dimana pasien agak susah untuk makan. Jikapun
makan pasien biasaya hanya memakan nasi putih saja dengan frekuensi kira-kira
sedikit sekali. Kadang kala jika ditawarkan snack atau sejenisnya oleh ibu pasien,
pasien biasanya mencium makanan tersebut dulu dan kemudian hanya melihatnya
saja dan menolak, jikapun dimakan paling hanya sedikit saja. Tidak ada
permasalahan jika dalam minum. Pasien minum dengan baik.
Kebiasaan bermain pasien dirumah dilantai. Jikapun dilepas pasien biasanya
hanya duduk saja dan jarang merangkak atau bergerak. Pasien lebih sering duduk
saja, jika dirangsang untuk bergerak pasien biasanya akan rewel dan menangis.
Pasein juga mengalami keterlambatan dalam hal bergerak dan berbicara
dibandingkan ke 3 kakak kandung pasien. Dimana menurut cerita ibu pasien, ke 3
kakak kandung pasien dulunya saat seusia pasien sudah bisa berjalan dan
berbicara yang jelas, namun pasien tidak demikian. Jikapun pasien berjalan, dia
hanya bisa berjalan secara tertatih-tatih saja.
Tidak ada keluhan dalam hal buang air kecil pasien, dalam batas normal.
Pasien sudah mengalami sakit semenjak usia 5 hari, yakni demam yang hilang
timbul. Riwayat mengonsumsi obat yang diberikan oleh mantri yakni paracetamol
syr, dan beberapa obat lainnya namun ibu pasien lupa nama obatnya. Riwayat
penyakit keluarga yakni Hipertensi Disangkal, Diabetes Mellitus disangkal, Asma
disangkal. Riwayat kehamilan pasien, ibu kandung pasien teratur ANC di bidan.
Namun tidak pernah USG di dokter. Riwayat persalinan pasien merupakan anak
ke 4 dari 4 bersaudara. Ibu pasien mengalami pecah ketuban selama 2 hari
sebelum pasien lahir. Ibu pasien juga mengaku lupa pastinya usia kehamilan
pasien cukup atau kurang bulan. Pasien lahir secara Per Vaginam yang ditolong

80
oleh bidan, Berat Badan Lahir 2600 gr, Panjang Pasien ibunya lupa, pasien juga
menangis kuat saat lahir. Ibu kandung pasien mempunyai 4 orang anak.
Riwayat tumbuh kembang pasien mengalami keterlambatan dalam hal
bicara dan berjalan dibandingkan ke 3 kakak kandung pasien sebelumnya. Pasien
hanya bisa bicara sepatah kata dan hanya bisa berjalan secara tertatih-tatih saja.
Riwayat imunisasi pasien, menurut penjelasan ibu pasien, pasien pernah
mendapatkan imunisasi beberapa kali di posyandu. Adapun imunisasi yang sudah
pasien peroleh menurut ibu pasien berupa Imunisasi Polio dan Campak.
Selebihnya tidak ada, karena waktu itu saat ada posyandu di gampoeng pasien ibu
pasien mengaku bahwa anaknya lagi demam sehingga ibu pasien tidak pernah lagi
membawanya ke posyandu untuk memperoleh imunisasi karena ibu pasien
khawatir anaknya tambah sakit karena imnunisasi tersebut.
Sedangkan untuk riwayat makanan pasien sendiri, yaitu:
Usia 0 – 3 bulan : pasien mendapatkan asi dan nasi yang bercampur
pisang.
Usia 3 – 12 bulan : pasien masih mendapatkan asi dan nasi yang
bercampur dengan pisang.
Usia 1 tahun – sekarang : pasien juga masih meminum asi dengan disertai
nasi putih dan beberapa sayur dan ikan.
Dari tinjauan pustaka disebutkan bahwa, Marasmus adalah keadaan gizi
buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung,
wajah seperti orang tua dan kulit keriput. Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk
yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah
membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan
rambut tipis / kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk
dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.1
Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen
Kesehatan RI 2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran
klinik yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus dengan BB/U < 60 % baku median WHO-NHCS disertai edema yang
tidak mencolok.5

81
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka
kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi
protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3
SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut / ”decompensated
malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan.
Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisikronik/ compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat
terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum,
penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai
sintesa enzim.10
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari
normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi
cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.11,12
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam
amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan
akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis
glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori
dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Ha

82
ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada
awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup,
jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang
diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri
sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi.
Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya
lemak dan otot sehingga tampak edema.11,12
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS
disertai edema yang tidak mencolok. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Penampilan muka seorang penderita marasmus menunjukkan wajah seperti
orang tua. Anak terlihat sangat kurus (vel over been) karena hilangnya sebagian
besar lemak dan otot-ototnya, iga gambang, bokong baggy pant, perut cekung,
wajah bulat sembab.Perubahan mental adalah anak mudah menangis, walapun
setelah mendapat makan karena anak masih merasa lapar. Kesadaran yang
menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat. Kelainan pada kulit
tubuh yaitu kulit biasanya kering, dingin, dan mengendor disebabkankehilangan
banyak lemak di bawah kulit serta otot-ototnya. Kelainan pada rambut kepala
walaupun tidak sering seperti pada penderita kwashiorkor, adakalanya tampak
rambut yang kering, tipis dan mudah rontok. Lemak subkutan menghilang hingga
turgor kulit mengurang. Otot-otot atrofis, hingga tulang-tulang terlihat lebih jelas.
Pada saluran pencernaan, penderita marasmus lebih sering menderita diare atau
konstipasi. Tidak jarang terdapat bradikardi, dan pada umumnya tekanan darah
penderita lebih rendah dibandingkan dengan anak sehat seumur. Terdapat pula
frekuensi pernafasan yang mengurang dan ditemukan kadar hemoglobin yang agak
rendah. Selain itu anak mudah terjangkit infeksi yang umumnya kronis berulang
akibat defisiensi imunologik.6

83
Gejala klinis kwashiorkor yaitu penampilannya seperti anak yang gemuk
(sugar baby) bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan
protein, walaupun dibagian tubuh lainnya, terutama di pantatnya terlihat adanya
atrofi. Pertumbuhan terganggu, berat badan dibawah 80% dari baku Harvard
persentil 50 walaupun terdapat edema, begitu pula tinggi badannya terutama jika
KEP sudah berlangsung lama.Perubahan mental sangat mencolok. Pada umumnya
mereka banyak menangis, dan pada stadium lanjut bahkan sangat apatis. Perbaikan
kelainan mental tersebut menandakan suksesnya pengobatan. Edema baik yang
ringan maupun berat ditemukan pada sebagian besar penderita kwashiorkor.
Walaupun jarang, asites dapat mengiringi edema. Atrofi otot selalu ada hingga
penderita tampak lemah dan berbaring terusmenerus, walaupun sebelum menderita
penyakit demikian sudah dapat berjalan-jalan. Gejala saluran pencernaan
merupakan gejala penting. Pada anoreksia yang berat penderita menolak segala
macam makanan, hingga adakalanya makanan hanya dapat diberikan melalui
sonde lambung. Diare tampak pada sebagian besar penderita, dengan feses yang
cair dan mengandung banyak asam laktat karena mengurangnya produksi laktase
dan enzim disaharidase lain. Adakalanya diare demikian disebabkan pula oleh
cacing dan parasit lain.Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai
bangunnya (texture) maupun warnanya. Sangat khas bagi penderita kwashiorkor
ialah rambut yang mudah dicabut. Misalnya tarikan ringan di daerah temporal
menghasilkan tercabutnya seberkas rambut tanpa reaksi si penderita. Pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala yang kusam, kering,
halus, jarang, dan berubah warnanya.
Warna rambut yang hitam menjadi merah, coklat kelabu, maupun putih.
Rambut aslipun menunjukkan perubahan demikian, akan tetapi tidak demikian
dengan rambut matanya yang justru memanjang. Perubahan kulit yang oleh
Williams, dokter wanita pertama yang melaporkan adanya penyakit kwashiorkor,
diberi namacrazy pavement dermatosis merupakan kelainan kulit yang khas bagi
penyakit kwashiorkor. Kelainan kulit tersebut dimulai dengan titik-titik merah
menyerupai petehia, berpadu menjadi bercak yang lambat laun menghitam.
Setelah bercak hitam mengelupas, maka terdapat bagianbagian yang merah
dikelilingi oleh batas-batas yang masih hitam. Bagian tubuh yang sering

84
membasah dikarenakan keringat atau air kencing, dan yang terus-menerus
mendapat tekanan merupakan predeleksi crazy pavement dermatosis, seperti di
punggung, pantat, sekitar vulva, dan sebagainya. Perubahan kulit lainpun dapat
ditemui, seperti kulit yang kering dengan garis kulit yang mendalam, luka yang
mendalam tanpa tanda-tanda inflamasi. Kadang-kadang pada kasus yang sangat
lanjut ditemui petehia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si
penderita.6
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-
kadangbatas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar denganmudah dapat
dirabah dan terasa kenyal pada rabahan dengan permukaanyang licin dan pinggir
yang tajam. Sediaan hati demikian jika dilihat dibawah mikroskop menunjukkan,
bahwa banyak sel hati terisi dengan lemak. Pada kwashiorkor yang relatif ringan
infiltrasi lemak itu terdapat terutama di segi tiga Kirnan, lebih berat penyakitnya
lebih banyak sel hatiyang terisi dengan lemak, sedangkan pada yang sangat berat
perlemakanterdapat pada hampir semua sel hati. Adakalanya terlihat juga adanya
fibrinosis dan nekrosis hati. Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
demikian. Bilamana kwashiorkor disertai oleh penyakit lain, terutama
ankylostomiasis, maka dapat dijumpai anemia yang berat. Jenis anemia pada
kwashiorkor bermacam-macam, seperti normositik normokrom, mikrositik
hipokrom, makrositik hiperkrom, dan sebagainya. Perbedaan macam anemia pada
kwashiorkor dapat dijelaskan oleh kekurangan berbagai faktor yang mengiringi
kekurangan protein, seperti zat besi, asam folik, vitamin B12, vitamin C, tembaga,
insufisiensi hormon, dan sebagainya. Macam anemiayang terjadi menunjukkan
faktor mana yang lebih dominan. Pada pemeriksaan sumsum tulang sering-sering
ditemukan mengurangnya sel sistem eripoitik. Hipoplasia atau aplasia sumsum
tulang demikian disebabkan terutama oleh kekurangan protein dan infeksi
menahun.6
Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat
berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang
dikelompokkan menjadi 5, yaitu:4

85
 Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi.
Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:4
5. Pasang O2 1-2L/menit
6. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
7. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
8. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT

 Kondisi II.
Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan
Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:4
4. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
5. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
6. 2 jam pertama
 Berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis :
5ml/kgBB setiap pemberian
 Catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30
menit

 Kondisi III.
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III,
dengan tindakan segera, yaitu:4
3. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
4. 2 Jam pertama
 berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis
5ml/kgBB setiap pemberian
 catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

86
 Kondisi IV.
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera,
yaitu:4
4. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
5. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
6. 2 jam pertama
 berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai
dengan berat badan (NGT)
 catat nadi, frekuensi nafas

 Kondisi V.
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:4
3. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
4. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran

Menurut Kemenkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 faseyang
harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14),
faserehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26). Dimana
tindakan pelayanan terdiri dari 10 tindakan pelayanan sbb: 4

87
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1 minggu/kali)
berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit.
Gambar 7.1. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk.

88
BAB V
KESIMPULAN

Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di


dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang
diakibatkan defisiensi protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain
hambatan pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot,
perubahan tekstur dan warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang
tegas dalam, pembesaran hati, anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik (gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan
laboratorium yang memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa,
gangguan keseimbangan elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien
yang penting bagi tubuh.
Diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
tepat sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan marasmus secara optimal.
Penanganan penyakit ini harus dilakukan dengan tepat dalam waktu sedini
mungkin untuk mencegah komplikasi yang menurunkan kualitas hidup bahkan
kematian.

89
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina


Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI,
2008.
2. Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries.
CMAJ 173:279-86.
3. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005.
http://www.gizi.net/busung-
apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-Final.pdf. Diakses
dari pada tanggal 3 Agustus 2015.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2007.
5. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan
Informasi Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
6. Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis
pada Anak. Edisi 4 2000. Hal 97-190.
7. Admin.Program Perbaikan Gizi Makro. Diakses dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc, 2004.
8. Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota
Medan. Diakses dari
http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com
_journalreview&id=3197&task=view, 2008.
9. Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang
Energi Protein (KEP) Pada Balita Di URJ RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Diakses dari http://ojs.lib.unair.ac.id/index.
php/bprsuds/article/view/1439/1438.
10. Boerhan H, Roedi. Kurang Energi Protein (KEP). Diakses dari:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori
=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.

90
11. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook
of Pediatrics, 19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.
12. Shetty, P. Malnutrition and Undernutrition. Medicine, 2006. 34:524-29.
13. Gulden, MHN. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2004. USA: Taylor and Franchis. P.489-523.
14. Braun TV, McComb J, et al. Urban Food Inseconts and Malnutrition in
Developing Countries. 1993. USA: International Food Policy Research
Institute. P. 12-16.
15. World Health Organization. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2009. Hal 193-222.
16. Alberta Medical Association. 2001. Guideline for The Diagnosa

and Management of Community Acquired Pneumonia Pediatric.


http:/www.albertadoctor.org.
17. Alsagaff, Hood dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian

Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Napas FK Unair : Surabaya.


18. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. 2006. Pedoman

Diagnosis dan Terapi. Surabaya.

91

Anda mungkin juga menyukai