Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

HIRSCHSPRUNG’S DISEASE

DisusunOleh:

Nurul Ayu Pratiwi


Vivin Leovani

Pembimbing :

Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A(K), IBCLC

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan kasus yang berjudul “HIRSCHSPRUNG’S DISEASE”.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

turut membantu hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Ucapan terima kasih

ini penulis sampaikan kepada:

1. Direktur RSUD Arifin Achmad dr. H. Nuzelly Husnedi, MARS yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan

kepaniteraan klinik di RSUD Arifin Achmad.

2. Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A(K), IBCLC selaku pembimbing yang telah

memberikan waktu, ilmu, pikiran serta membimbing dengan penuh kesabaran

dari awal hingga selesainya penulisan laporan kasus ini.

3. Dr. dr. Harry Mangunsong, Sp.A, dr. Muhammad Nur, Sp.A dan dr. Cece

Alfalah, Sp.A(K), M.Biomed selaku penguji laporan kasus ini.

4. Teman-teman seperjuangan terima kasih atas motivasi dan perhatian kepada

penulis.

Setelah berusaha maksimal untuk memberikan yang terbaik, penulis

menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalam laporan kasus ini.

Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan

kasus ini bermanfaat dan menambah pengetahuan kita.

Pekanbaru, Maret 2018

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN.................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................ 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 3


2.1 Definisi Hirschsprung’s Disease..................................... 3
2.2 Epidemiologi Hirschsprung’s Disease............................. 3
2.3 Etiopatologi Hirschsprung’s Disease............................... 4
2.4 Tipe Hirschsprung’s Disease .......................................... 6
2.5 Faktor Risiko Hirschsprung’s Disease............................ 8
2.6 Manifestasi Klinis Hirschsprung’s Disease..................... 8
2.7 Diagnosis Hirschsprung’s Disease.................................. 9
2.8 Diagnosis Banding Hirschsprung’s Disease.................... 12
2.9 Tatalaksana Hirschsprung’s Disease................................ 14
2.10 Prognosis dan Komplikasi Hirschsprung’s Disease....... 16

BAB III. LAPORAN KASUS.............................................................. 17

BAB IV. PEMBAHASAN.................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 30

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Embriologi Hirschsprung’s Disease................................................... 6


2.2 Tipe Hirschsprung’s Disease ............................................................. 7
2.3 Histopatologi Hirschsprung’s Disease............................................... 10
2.4 Periksaan Barium Enema Hirschsprung’s Disease............................. 11
2.5 Pedigree Keluarga.............................................................................. 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hirschprung’s disease (HD) atau aganglionik megakolon kongenital

merupakan gangguan perkembangan pada sistem saraf enterik (neurocristophaty),

ditandai dengan tidak ditemukannya sel-sel ganglion pleksus myenterik

(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meisner) pada kolon bagian distal ke arah

proksimal.1

Insiden HD di dunia adalah 1 dari 5.000 kelahiran hidup. Rasio laki-laki

dan perempuan yaitu 4:1.1 Indonesia belum mempunyai data pasti tentang

kejadian HD, namun data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Jakarta tahun 2004 tercatat 40–60 pasien HD masuk setiap tahunnya.2 Kejadian

HD di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Riau tahun 2008–2010 menunjukkan

peningkatan. Pada tahun 2008 yaitu 8%, tahun 2009 sebanyak 10% dan tahun

2010 sebanyak 20% dari total bayi dengan kelainan kongenital yang dirawat.3

Hirschprung’s disease disebabkan oleh multifaktorial yaitu kelainan

genetik, faktor lingkungan dan faktor yang mempengaruhi penyakit tersebut

seperti sindrom down (SD). Pasien SD memiliki risiko 100 kali lipat terjadi HD,

selain faktor tersebut yang berisiko meningkatkan terjadi HD adalah ibu berusia

>35 tahun saat hamil, ibu dengan obesitas, multigravida dan bayi kurang bulan.4,5

Hasil penelitian di Iran, HD sering disertai dengan kelainan kromosom sebesar

290 kasus HD yang dilakukan kolostomi, ditemukan kelainan seperti SD (3,7%),

congenital heart disease (CHD) (2,9%), respiratory disorder (8,9%), congenital

1
anomalies of kidney (3,7%), urinary tract infection (1,5%), noonan syndrome

(0,7%), dan thyroid disorders (2,9%).6

Kematian neonatus di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital sebesar

7% dari 260.000 kasus menurut World Health Organization (WHO).7 Kematian

tersebut seringkali terjadi akibat komplikasi sebelum dan sesudah operasi. Sekitar

80% angka kematian HD disebabkan tanpa adanya penanganan, sedangkan kasus

dengan penanganan dapat menurun hingga 30%.8,9

Prognosis HD secara umum baik, apabila diagnosis dan tindakan operatif

dilakukan secara dini dan tepat serta tanpa kelainan kongenital yang menyertai.

HD yang disertai kelainan kongenital lainnya seperti CHD dapat menimbulkan

gagal tumbuh kembang dan sering ditemukan gangguan pada fungsi peristaltik

usus.10 Komplikasi paska kolostomi yang dapat terjadi pada neonatus yaitu

konstipasi, inkontinensia, enterokolitis dan diare.6,11

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hirschprung’s Disease

Hirschprung’s disease (HD) atau aganglionik megakolon kongenital

merupakan gangguan perkembangan pada sistem saraf enterik (neurocristophaty),

ditandai dengan tidak ditemukannya sel-sel ganglion pleksus myenterik

(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meisner) di kolon bagian distal ke arah

proksimal. 1

2.2 Epidemiologi Hirschprung’s Disease

Insiden HD di dunia adalah 1 dari 5.000 kelahiran hidup. Rasio laki-laki

dan perempuan yaitu 4:1.1 Indonesia belum mempunyai data pasti tentang

kejadian HD, namun data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Jakarta tahun 2004 tercatat 40–60 pasien HD masuk setiap tahunnya.2 Kejadian

HD di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Riau tahun 2008–2010 menunjukkan

peningkatan. Pada tahun 2008 yaitu 8%, tahun 2009 sebanyak 10% dan tahun

2010 sebanyak 20% dari total bayi dengan kelainan kongenital yang dirawat.3

Kematian neonatus di dunia disebabkan oleh kelainan kongenital sebesar

7% dari 260.000 kasus menurut World Health Organization (WHO).7 Kematian

tersebut seringkali terjadi akibat komplikasi sebelum dan sesudah operasi. Sekitar

80% angka kematian HD disebabkan tanpa adanya penanganan, sedangkan kasus

dengan penanganan dapat menurun hingga 30%.8,9

3
2.3 Etiopatologi Hirschprung’s Disease

Perkembangan embriologis secara normal yakni sel-sel ganglion enterik

matang (neuroblast) berasal dari neural crest akan bermigrasi ke saluran

gastrointestinal bagian atas, kemudian berlanjut ke arah distal. Neuroblast pertama

sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima. Pada minggu ketujuh

neuroblast sampai di midgut dan mencapai kolon distal pada minggu kedua belas.

Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya

neuroblast menuju ke pleksus Meisner. 11

Secara garis besar terdapat 3 teori penyebab terjadi HD yaitu sebagai

berikut:

1. Failure of migration theory. Kegagalan migrasi sel ganglion

sehingga migrasi neuroblast tidak sampai ke kolon bagian distal.


2. The hostile environment theory. Teori lingkungan yang tidak

bersahabat, neuroblast sampai dikolon distal namun tidak dapat

survive sehingga terjadi kematian neuroblast.


3. Teori mekanisme imunologis. Terjadi peningkatan ekspresi Human

Leucocyte Antigen Class II (HLA II) di daerah mukosa dan

submukosa. Abnormalitas ekspresi HLA II menyebabkan respon

imunologis melawan neuroblast, menyebabkan terjadi defek

neurologis berupa tidak ditemukan ganglion.12

Mutasi gen yang menyebabkan HD, terdapat sedikitnya 15 mutasi gen.

Gen yang sering adalah reseptor tirosine kinase (RET) sebesar 10–35%, endotelin

(EDN) 3 sebesar kurang dari 5%, dan endotelin-ß reseptor (EDNRB) sebesar 7%.

Mutasi gen yang menyebabkan aganglionosis masih belum diketahui, tetapi

kematian neuroblast diperkirakan sebagai penyebab terjadinya aganglionosis.12,13

4
Gangguan kromosom pada lokus tertentu seperti di kromatid kromosom 13 dan

21, secara biomolekuler terjadi keterlibatan RET proto-onkogen. Interaksi EDN-3

dengan EDNRB penting dalam perkembangan melanosit epidermal dan

neuroblast. Disrupsi EDNRB menyebabkan aganglionik megakolon yang

merupakan defek reseptor di kromosom 13. Fenotipenya bervariasi tergantung

dimana migrasi neuralblast berhenti. Semakin dini migrasi terhenti maka semakin

panjang segmen aganglionosis.12

Bayliss dan Starling mengatakan kontraksi peristaltik usus merupakan

refleks yang terkoordinasi murni, refleks peristaltik dimulai dari stimulasi

mekanis diusus dan dilanjutkan oleh mekanisme persarafan lokal (enteric nervous

system) yaitu pleksus Aurbach. Segmen aganglionosis menimbulkan

keabnormalan atau tidak ada gerakan peristaltik, yang menyebabkan akumulasi /

penumpukan isi usus dan distensi usus (megakolon). Kegagalan sfingter anus

internal untuk relaksasi karena adanya obstruksi, hal ini mempersulit evakuasi zat

padat (feses), cairan dan gas. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi

enterokolitis yaitu inflamasi pada usus halus dan kolon, yang merupakan

penyebab kematian pada bayi atau anak HD.14-16

Neuroblast secara normal bermigrasi dari neural crest ke saluran

gastrointestinal dari oris hingga anal. Pada HD migrasi sel neuroblast terhenti

sebelum sampai ke rektum (Gambar 2.1)

5
Gambar 2.1 Embriologi Hirschprung’s Disease
Dikutip dari: Parisi MA, Pagon RA, Bird TD, Dolan CR,
Stephens K, Adam MP 17

2.4 Tipe Hirschprung’s Disease

Hirschsprung’s disease (HD) dibedakan sesuai dengan panjang segmen

yang terkena sebagai berikut:

a. Short Segment

Daerah aganglionosis di rektosigmoid merupakan tipe HD yang paling

sering terjadi sebesar 70–80%. Tipe short segment lebih sering ditemukan pada

laki-laki dibandingkan perempuan, insidennya 5 kali lebih besar dibandingkan

perempuan dan saudara laki-laki dari pasien HD dapat mengalami HD sekitar 1

dari 20. 17-19

b. Long Segment

6
Daerah aganglionosis terdapat di atas rektosigmoid hingga kolon

descenden. Insidensi sebesar 10–25% dari total kasus HD. Laki-laki dan

perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa

membedakan jenis kelamin. 17-19

c. Total Segment

Segmen aganglionosis meliputi rektosigmoid hingga seluruh kolon.

Angka kejadiannya sebesar 3–15% dari total kasus HD yang terjadi. 17-19

d. Ultrashort Segment

Segmen aganglionosis terjadi di 1/3 distal rektum, insidensi kurang dari

1% kasus HD. 17-19

Gambar 2.2 Tipe Hirschprung’s Disease


Dikutip dari: Pena A, Bischoff A 20

2.5 Faktor Risiko Hirschprung’s Disease

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat banyak faktor yang

mempengaruhi terjadi kelainan kongenital sebagai berikut:

7
a. Umur bayi

Hirschprung’s disease sering ditemukan sejak umur 0–28 hari, karena

HD merupakan salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal.5,21

a. Riwayat sindrom down

Down syndrome adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan

kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah, cacat jantung

bawaan dan keterlambatan perkembangan anak.Sekitar 12% kejadian HD

disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang berisiko

menyebabkan terjadi HD adalah SD. Insiden pasien HD dengan SD adalah 2–

10%. 5,21

b. Faktor ibu

Umur ibu >35 tahun bila hamil meningkatkan risiko terjadinya kelainan

kongenital pada bayi. Bayi dengan SD sering ditemukan pada bayi yang

dilahirkan oleh ibu dengan umur mendekati masa menopause. 5,21

2.6 Manifestasi Klinis Hirschprung’s Disease

Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada HD dan bayi baru lahir

sebagai gejala obstruksi akut. Tiga tanda (trias) yang sering ditemukan adalah

sebagai berikut:

1. Mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam)


2. Perut kembung
3. Muntah berwarna hijau
Sering dijumpai keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari

kehidupan atau lebih pada neonatus, menandakan terdapat obstruksi rektum

dengan distensi abdomen progresif dan muntah. 15,16

8
2.7 Diagnosis Hirschprung’s Disease

Hirschsprung’s disease (HD) pada neonatus harus dibedakan dengan

penyakit obstruksi saluran cerna lainnya. Diagnosis penyakit ini ditegakkan

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta disertai dengan pemeriksaan

penunjang.

a) Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
- Keterlambatan pengeluaran mekonium pertama >24 jam.
- Muntah berwarna hijau.
- Riwayat distensi abdomen, perut kodok melebar kesamping.
- Obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi

semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.


- Riwayat keluarga sebelumnya dengan keluhan serupa, misalnya anak laki-laki

terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat

defekasi.
a) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
- Distensi abdomen, kesan perut kodok atau melebar kesamping
- Colok dubur, pada pemeriksaan didapatkan jepitan pada lumen rektum yang

menyempit, dan jika tipe ultrashort atau short sering ditemukan buang air

besarnya menyemprot. 12,15,16,19


b) Pemeriksaan penunjang
1. Biopsi rektum
Pemeriksaan histopatologi adalah diagnosis pasti (gold standart) HD.

Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara pertama biopsy rectal dengan

pengambilan sample yang tebal dan kedua biopsy rectal dengan penyedotan

sederhana. Keuntungan cara yang pertama adalah hasil patologi anatomi (PA)

yang didapatkan mempunyai gambaran yang khas namun cara ini rumit karena

sebelum biopsy dilakukan prosedur seperti operasi dengan anastesi umum, serta

risiko perdarahan lebih besar. Cara yang kedua mempunyai keuntungan prosedur

yang tidak rumit, risiko perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran PA tidak

9
khas. Hasil PA pada HD umumnya didapatkan dari lapisan mukosa sampai

muskularis dinding rektum tidak ditemukan ganglion Meisner dan Aurbach, dan

terdapat penebalan (hipertrofi) serabut saraf. 15,19

Gambar 2.3 Histopatologi Hirschprung’s Disease


Dikutip dari: Rudolph C, Benaroch L22
Keterangan Gambar 2.3:
A. Barium enema pada HD.
B. Tercampurnya acetylcholinesterase pada kolon normal yang berwarna coklat.
C. Tercampurnya acetylcholinesterase pada aganglionik dari rektum pasien HD, menunjukkan terdapat peningkatan
penyerapan di lamina propia pada aganglionik dibandingkan kolon normal.
D. Tercampurnya NADPH-diaphorase pada kolon yang normal.
E. Tercampurnya NADPH-diaphorase pada aganglionik dari rektum pasien HD menunjukkan tidak adanya penyerapan
nitric oxide synthase pada neuron.

2. Radiologi
a. Babygram

Pada obstruksi letak rendah ditemukan gambaran dilatasi usus dan

tampak gambaran air fluid level.12

b. Pemeriksaan barium enema

Barium enema merupakan standar dalam menegakkan diagnosa HD

adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya

bervariasi.
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi.
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.21

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka

dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24–48 jam

10
barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya

barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon. Sedangkan penderita

bukan HD namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat

menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.21

Gambar 2.4 Pemeriksaan Barium Enema Hirschprung’s Disease


Dikutip dari: Tosson MAF23

3. Manometri anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif

mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter

anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil

pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini

memiliki 2 komponen dasar yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan

seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau

komputer.14,21,24

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi HD adalah

sebagai berikut:

1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.

2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus

aganglionik.

3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna

setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi

spontan.

11
Pemeriksaan ini bermanfaat pada kasus HD tipe ultrashort yang biasa

disebut akalasia rektal.12,14,21,24

2.8 Diagnosis Banding Hirschsprung’s Disease

Pada neonatus, HD memiliki gejala yang sama dengan penyakit obstruksi

kolon distal lainnya yaitu:

1. Meconium plug syndrome


Meconium plug syndrome (MPS) adalah obstruksi kolon yang

menimbulkan distensi, muntah dalam 24–48 jam. Penyebab MPS masih harus

diteliti, namun diduga aktifitas tripsin menyebabkan pengenceran mekonium

berkurang, sehingga sangat mudah untuk menggumpal (inspissated). Kondisi

prematur pada saraf dikolon (pleksus mesenterik) juga disebut sebagai salah satu

penyebabnya. Penyebab MPS dapat berupa penyakit fibrosis kistik, small left

colon syndrome, Hirschsprung’s disease, intestinal neural dsplasia dan riwayat

penggunaan obat-obatan pada ibu yang hamil. Adapun diagnosis dari MPS dapat

ditemukan gejala dan tanda obstruksi letak rendah dan pada pemeriksaan radiologi

didapatkan dilatasi sistema usus yang difus dan terkadang tampak adanya air fluid

level.25
2. Meconium ileus
Meconium ileus yaitu sumbatan pada intestinal bagian distal yang

disebabkan oleh mekonium yang lengket (inspissated meconeum) pada neonatus.

Mekonium ileus adalah suatu manifestasi dini dari penyakit kistik fibrosis pada

neonatus. Diagnosis mekonium ileus dari anamnesis didapatlan gejala seperti HD

yaitu tidak ada pengeluaran mekonium pada hari pertama, distensi abdomen dan

muntah hijau. Riwayat polihidramnion pada prenatal. Keluarga dengan riwayat

penyakit kistik fibrosis sering ditemukan pada 1/3 kasus. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan perut kembung, muntah hijau dan peningkatan peristaltik. Pada

12
pemeriksaan radiologi babygram didapatkan dilatasi sistema usus, dengan

obstruksi di distal. Mekonium yang menumpuk pada ileum terminal memberikan

gambaran ground glass appearance (neuhauser’s sign) atau soap bubble

(singleton’s sign).26
3. Intestinal atresia
Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada

neonatus yang baru lahir. Atresia Atresia intestinal dapat terjadi pada berbagai

tempat pada usus halus. 50% kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum dan

46% kasus terjadi pada jejunoileal.27

2.9 Tatalaksana Hirschprung’s Disease

Setelah ditemukan kelainan histologi dari HD, selanjutnya mulai dikenal

teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitif bertujuan

menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit.28-30

1) Persiapan prabedah
Tindakan prabedah pada bayi HD sebagi berikut di bawah ini:
a. Jaga suhu pasien agat tetap hangat,jika tidak tersedia inkubator yang hangat,

bayi dapat dibungkus dengan kertas alumunium, terutama waktu transportasi.


b. Posisi tubuh bayi harus tepat agar tidak terjadi pneumonia aspirasi, dislokasi

sendi atau kesulitan bernafas.


c.Jalan napas yang baik dan tidak adanya gangguan sirkulasi.
d.Keseimbangan cairan dan elektrolit.
e.Tidak ada gangguan faktor pembekuan darah.
f.Pantau kadar gula darah.
g.Antibiotik profilaksis.31
2) Tindakan bedah

Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan

tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa

disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh digunakan

karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air, hal ini disebabkan

karena difusi cepat dari usus yang mengalami dialatasi air ke dalam sirkulasi.

13
Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah enterokolitis dapat dilakukan

dengan bilas kolon mengunakan garam faal. Cara ini efektif dilakukan pada HD

tipe segmen pendek, untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan

tindakan kolostomi di daerah ganglioner.28-30

Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus

dapat dikerjakan dengan satu atau dua tahap. Teknik ini disebut operasi definitif

yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup (lebih dari 10 kg).

Tindakan konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan gambaran pemeriksaan

barium enema yang dibuat kemudian. 28-30

1) Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan gejala

obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita

sebelum operasi definitif. Berikan dukungan pada orang tua. Karena

kolostomi sementara sukar diterima.


Pasien HD dilakukan kolostomi apabila bayi mengalami hal-hal berikut

di bawah ini:
 Pasien neonatus bila langsung dikerjakan terapi definitif banyak

menimbulkan komplikasi dan kematian.


 Pasien pada anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Pada

pasien tersebut kolon akan sangat terdilatasi.


 Pasien dengan enterokolitis berat dengan kondisi umum yang

buruk.12
2) Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang

mengalami osbtruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan dengan

teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap

kedua, dan tahap ketiga rektosigmoidoskopi didahului oleh suatu kolostomi.

Kolostomi ditutup dalam prosedur tahap kedua. Pull-through (Swenson,

14
Renbein dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan mereksesi segmen

yang menyempit dan menarik usus sehat ke arah anus. 28-30


3) Paska pembedahan

Tatalaksana pasien HD paska bedah terdiri dari beberapa hal sebagai

berikut:

a. Perawatan luka.
b. Perawatan kolostomi.
c. Peningkatan suhu.
d. Observasi terhadap distensi abdomen.
e. Fungsi kolostomi.12

2.10 Prognosis dan Komplikasi Hirschprung’s Disease

Prognosis HD secara umum baik, apabila diagnosis dan tindakan operatif

dilakukan secara dini dan tepat serta tanpa kelainan kongenital yang menyertai.

HD yang disertai kelainan kongenital lainnya seperti CHD dapat menimbulkan

gagal tumbuh kembang dan sering ditemukan gangguan pada fungsi peristaltik

usus.10

Komplikasi paska operatif yang dapat terjadi pada neonatus yaitu

konstipasi, inkontinensia, enterokolitis dan diare. 8,12 Angka kematian atau

mortalitas akibat enterokolitis, maupun komplikasi paska bedah sekitar 20%.11

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : By. AS/ Laki-laki

15
No MR : 979787

Alamat : Dusun Ujung Datar Kec. Sentajo Raya

Kab. Kuantan Singingi

Agama : Islam

Suku : Jawa

Nama Orang tua

Ayah : Tn. S

Ibu : Ny. S

Tanggal masuk RSUD AA : 25 Februari 2018 pukul 23.21 WIB (usia 9 hari)

Tanggal masuk IPN : 25 Februari 2018 pukul 24.00 WIB

Tanggal periksa : 28 Februari 2018

Tanggal pulang : 11 Maret 2018

Status pulang : Pulang hidup

ANAMNESIS

Diberikan oleh : Ibu dan ayah pasien

Keluhan utama : Neonatus sampai usia 2 hari belum buang air besar (BAB)

Riwayat penyakit sekarang :

Neonatus laki-laki lahir tanggal 16 Februari pukul 06.15 WIB di rumah

dibantu bidan secara spontan, dengan riwayat P3A1H2, usia kehamilan 37–38

minggu. Saat lahir bayi langsung menangis kuat, sianosis (-), merintih (-), retraksi

(-), letargi (-), sesak (-), akral hangat (+). Nilai APGAR 8/9. Resusitasi tidak

16
dilakukan. Kemudian bayi diberikan injeksi vitamin K1 intramuskular di paha kiri

dan diberikan salep mata, berat badan lahir 2900 gram. Sisa ketuban jernih,

inisiasi menyusui dini (IMD) tidak dilakukan karena ibu dibawa ke Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) Taluk Kuantan karena perdarahan setelah lahir akibat

perlengketan plasenta. Buang air besar (BAB) belum ada, buang air kecil (BAK)

sudah ada.

Neonatus sampai usia 2 hari belum ada BAB, perut kembung (+), kentut

tidak ada, muntah (+) setiap setelah diberi susu formula sebanyak 1 sendok

makan, keluhan demam tidak ada. Kemudian bayi dibawa ke Rumah Sakit (RS)

Taluk Kuantan dan dirawat selama 1 hari dikatakan bayi memerlukan tindakan

bedah dan bayi segera dirujuk karena tidak memiliki dokter spesialis bedah anak.

Bayi dirujuk ke RS swasta (EH) Pekanbaru karena ruang Instalasi Perawatan

Neonatus (IPN) RSUD Arifin Ahmad penuh. Bayi dirawat selama 6 hari di EH

Pekanbaru dengan diagnosa Hirschprung’s disease (HD), sindrom down (SD),

cardiac heart disease (CHD) berupa small patent ductus arteriosus (PDA),

moderate secundum atrium septal defect (ASD), bronkopneumonia duplex dan

epistaksis, kemudian bayi usia 4 hari dilakukan tindakan laparatomi eksplorasi

dan kolostomi oleh dokter spesialis bedah anak. Kemudian bayi dirujuk ke RSUD

Arifin Ahmad dengan alasan finansial.

Neonatus usia 9 hari rujukan dari EH Pekanbaru, dibawa menggunakan

inkubator transport dengan menjaga suhu tetap hangat selama perjalanan. Bayi

dirawat di ruang Special Care Neonatus II (SCN I) untuk tatalaksana perbaikan

keadaan umum setelah kolostomi.

17
Saat tiba di SCN II, bayi diletakkan di infant warmer dan hasil

pemeriksaan suhu saat tiba 36,5oC per aksila. Tatalaksana selanjutnya yaitu

mempertahankan suhu tubuh 36,5–37,5oC dan dilakukan pemasangan oral gastric

tube (OGT). Selain itu, dilakukan pengukuran gula darah sewaktu (GDS)

didapatkan hasil 62 mg/dL.

Selama minggu pertama, kesadaran bayi alert, namun suhu, frekuensi

pernapasan dan nadi tidak stabil. Pada pemeriksaan GDS didapatkan kadar gula

darah stabil yaitu 62 mg/dL, 80 mg/dL, 93 mg/dL, 128 mg/dL, 75 mg/dL, 70

mg/dL. Pada hari kelima GDS bayi mengalami penurunan yaitu 46 mg/dL,

kemudian dilakukan pengukuran GDS kembali didapatkan hasil 126 mg/dL. Sejak

hari pertama bayi mengalami muntah dan perut kembung sehingga bayi di

puasakan atau nothing per oral (NPO) dan diberikan cairan intravena N5KClCa2.

Pada akhir minggu pertama, bayi mendapatkan air susu ibu (ASI) perah secara

bertahap di mulai dari 10 cc/3 jam. Berat badan bayi mengalami peningkatan dari

2595 gram menjadi 2780 gram. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hb

13,1 mg/dL, Ht 39,2%, leukosit 31.990/uL, trombosit 22.000/uL dan CRP 192

mg/L dengan kesimpulan yaitu bayi kemungkinan mengalami sepsis neonatorum

awitan lambat (SNAL). Tatalaksana selanjutnya adalah pemberian antibiotik lini

pertama yaitu Meropenem 50 mg/8 jam, Mikasin 20 mg/12 jam serta Omeprazole

3 mg/hari. Bayi mendapatkan transfusi trombosit 50cc sebanyak 3 kali karena

trombosit bayi rendah. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil Na+ 138

mmol/L, K+ 4,2 mmol/L, Ca++ 0,32 mmol/L. Hasil pemeriksaan faktor koagulasi,

didapatkan hasil yaitu PT 31 second, INR 2,83, APTT 56,9 second.

18
Pada minggu kedua, keadaan bayi semakin membaik kesadaran bayi

alert, suhu, frekuensi pernapasan, nadi dan GDS stabil. Bayi diberikan cairan

intravena N5KClCa2. Kemudian, pemberian ASI perah dilanjutkan secara bertahap

yaitu 15 cc/3 jam, 20 cc/3jam dan 30 cc/3 jam, 40 cc/3 jam, 50 cc/3 jam, 60 cc/3

jam, 70 cc/3 jam, 80 cc/3 jam, sehingga berat badan bayi mengalami peningkatan

dari 2780 gram menjadi 2910 gram. Bayi mendapatkan transfusi trombosit 50cc

sebanyak 3 kali dan FFP 2 kali karena trombosit bayi yang rendah dan faktor

koagulasi bayi tinggi. Hasil kultur darah keluar dan ditemukan mikroorganisme

Klebsiella pneumonia ssp dengan antibiotik yang sensitif yaitu Amikasin,

Tigecycline, Nitrofurantoin dan Trimethoprim/Sulfamethoxazole. Tatalaksana

selanjutnya yaitu dengan pemberian Mikasin 20 mg/12 jam dan Natur E 0,3

ml/hari. Kemudian bayi dipindahkan ke ruangan khusus. Pada akhir minggu

kedua dilakukan pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil Hb 12,1 mg/dL, Ht

33,3%, leukosit 11.470/uL, trombosit 181.000/uL. Ibu diberikan edukasi tentang

perawatan kolostomi selama jam kunjung.

Bayi dipulangkan pada usia 23 hari dalam keadaan sadar, suhu tubuh

stabil, GDS dalam batas normal, reflek isap dan toleransi minum baik serta

mengalami peningkatan berat badan.

Riwayat kehamilan dan kelahiran :

Ibu P3A1H3 hari pertama haid terakhir (HPHT) tanggal 25 mei 2017 dan

taksiran usia kehamilan 37–38 minggu. Kelainan fisik ibu tidak ada, tekanan

19
darah 110/70 mmHg, denyut jantung 86 denyut/menit, frekuensi napas 19

kali/menit, berat badan hamil 57 kg dan tinggi badan 150 cm. Ibu melakukan ante

natal care (ANC) sebanyak 9 kali ke posyandu, 3 kali ke bidan, 1 kali ke dokter

spesialis kandungan dikatakan usia kehamilan saat itu 32 minggu dan janin dalam

keadaan baik. Ibu memiliki riwayat keputihan berwarna putih kekuningan, gatal

(-), berbau (-) dan tidak diobati sejak usia kehamilan 8 bulan selama lebih kurang

2 minggu. Ibu selalu melakukan pemeriksaan tekanan darah selama hamil di

posyandu dan didapatkan hasil yang selalu normal, tidak pernah melakukan

perawatan payudara, tidak melakukan konsultasi gizi, pernah mengikuti senam

hamil sebanyak 1 kali di posyandu, mengkonsumsi tablet zat besi sebanyak 10

tablet tiap bulan selama 9 bulan dan rutin minum vitamin yang diberikan oleh

bidan. Ibu menggunakan KB spiral selama 2 tahun, dari tahun 1991–1992, lalu

ibu mengganti KB spiral menjadi KB suntik karena mengalami infeksi. KB suntik

yang digunakan untuk tiap per 3 bulan selama 9 tahun, dari tahun 2006–2015.

Setelah bayi dilahirkan, terjadi perlengketan plasenta lalu ibu dibawa ke RSUD

Taluk Kuantan, lahir lengkap dengan monokorianamniotik dan kontraksi uterus

baik.

Riwayat orangtua :

- Ibu usia 44 tahun, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), seorang petani

sawit, penghasilan ± 500.000,- rupiah per bulan, dan asuransi BPJS.


- Ayah usia 46 tahun, pendidikan terakhir SD, seorang petani sawit,

penghasilan ± 1.000.000,- rupiah per bulan, dan asuransi BPJS.

Riwayat keluarga :

20
- Anak pertama lahir tahun 1991, perempuan, berat badan 3500 gram, lahir

secara spontan dengan dukun kampung, imunisasi yang diberikan BCG,

Hepatitis B, DPT, Polio dan Campak. (27 tahun)


- Tahun 2001 ibu pernah mengalami keguguran saat usia janin ± 2 bulan,

tidak dikuret, hanya diberi obat oleh bidan.


- Anak kedua lahir tahun 2006, perempuan, berat badan 3500 gram, lahir

secara spontan dengan bidan, imunisasi yang diberikan BCG, Hepatitis B,

DPT, Polio dan Campak. (12 tahun)

Keterangan:
= Laki-laki
= Perempuan
= Menderita Hirschsprung’s disease

Gambar 2.5 Pedigree keluarga

Hal-hal penting dari anamnesis ibu:

- Neonatus sampai usia 2 hari belum ada BAB, perut kembung (+), ketut

tidak ada, muntah (+)

- Ibu riwayat multigravida, usia tua, riwayat abortus 1 kali, riwayat

keputihan yang tidak diobati.

Hal-hal penting dari pemeriksaan bayi:

Bayi laki-laki dengan usia masuk IPN 9 hari, berat badan masuk 2595

gram, suhu 36,5oC per aksila., GDS didapatkan hasil 62 mg/dL dan tampak

kolostomi (+).

21
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Radiologi:

Foto thoraks AP (20 Februari 2018):

Hasil:
- Cor: CTR lebih dari 50 %, aorta baik
- Pulmo: kedua hilus baik, infiltrate di kedua
sisi parakardial, bronkovaskular
di sekitar lesi meningkat.
- Sinus kostofrenikus keduanya lancip
- Kedua diafragma lancip
- Jaringan lunak dan tulang baik

Kesan: bronkopneumonia duplex


suspek cardiomegali

Abdomen 2 posisi (20 Februari 2018):

Hasil:
- Peritoneal fat line baik
- Udara usus di distal minimal
- Tampak pelebaran usus tanpa
gambaran coil spring maupun hering
bone
- Tampak air fluid level pendek dengan
jumlah sedikit
- Tak tampak udara bebas sub
diafragma
- Tak tampak massa
- Tulang – tulang baik

Kesan: ileus paralitik DD/ ileus


obstruksi awal

Colon in loop (20 Februari 2018):

22
Foto polos:
- Tak tampak udara di distal
- Tampak pelebaran kolon
- Tak tampak massa

Colon in loop:
- Kontras cair dimasukkan 30 ml lancar
- Tampak pelebaran kolon dengan
dinding irreguler. Tampak
penyempitan pada distal rektum
dengan gambaran paruh burung pada
ujung distal
- Tampak transisional zone yang pendek

Kesan: sesuai megakolon congenital


(Hirschsprung’s disease) segmen
pendek.

Echocardiogram (23 Februari 2018):

23
- Atrial situs solitus
- AV – VA corcodance, normal systemic
and pulmonary venous drainage
- Dilated RV. Mild TR with PG 34
mmHg, no MR/AI/PI
- Moderate secundum ASD 5 mm
shunting L to R
- Small PDA 2,3 mm shunting L to R
- No R/LVOTO
- Qualitatively good biventricular
systolic function
- No pericardial effusion

Diagnosis bayi:

1. NCB (37–38 minggu) - SMK - BBLC (2900 gram)


2. Multiple Congenital Anomalies (MACA)
- Hirschsprung’s disease post kolostomi dan laparatomi eksplorasi dengan

perbaikan
- Down syndrome
- Small PDA moderate ASD
3. Sepsis Neonatorum Awitan Lambat (SNAL) et causa Klebsiella pneumonia

ssp dengan perbaikan

Prognosis :

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

24
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

25
Minggu I (25 Februari 2018–03 Maret 2018)

Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Penunjang Terapi
vital (TTV) Minum
Kesadaran alert, Tidak stabil Nothing per oral ASI N5KClCa2 2595 gram −> - Hb 13,1 mg/dL, Ht 39,2%, - Meropenem 50 mg/8
suhu, frekuensi 62 mg/dL, (NPO) dari usia 10 cc/3 jam 2780 gram leukosit 31.990/uL, trombosit jam, Mikasin 20 mg/12
pernapasan dan 80 mg/dL, 9-13 hari 22.000/uL jam, Omeprazole 3
- CRP 192 mg/L mg/hari
nadi tidak stabil 93 mg/dL,
- Na+ 138 mmol/L, -Tranfusi trombosit 50cc
128 mg/dL, - K+ 4,2 mmol/L, sebanyak 3 kali
46 mg/dL, - Ca++ 0,32 mmol/L.
75 mg/dL, - PT 31 second,
70 mg/Dl - INR 2,83,
- APTT 56,9 second.

Minggu II (04 Maret 2018–10 Maret 2018)


Tanda-tanda GDS Toleransi Asupan Cairan Berat Badan Pemeriksaan Penunjang Terapi
vital (TTV) Minum
Kesadaran bayi GDS stabil Baik ASI N5KClCa2 2780 gram −> - Hb 12,1 mg/dL, Ht 33,3%, -Mikasin 20 mg/12 jam
alert, namun 15 cc/3 jam, 2910 gram leukosit 11.470/uL, trombosit -Natur E 0,3 ml/hari
suhu, frekuensi 20 cc/3jam 181.000/uL -Tranfusi trombosit 50cc
- .Hasil kultur keluar sebanyak 3 kali
pernapasan, nadi 30 cc/3 jam,
yaitu Klebsiella -Tranfusi FFP 2 kali
stabil 40 cc/3 jam,

26
50 cc/3 jam, pneumonia ssp dengan
60 cc/3 jam, antibiotik yang sensitif yaitu
70 cc/3 jam, Amikasi, Tigecyclin
80 cc/3 jam Nitrofurantoin dan
Trimethoprim/Sulfamethoxazole
Bayi kemudian dipulangkan pada usia 23 hari dalam keadaan sadar, suhu tubuh, GDS dalam batas normal, refleks hisap dan toleransi minum baik serta mengalami
peningkatan berat badan.

27
BAB IV

PEMBAHASAN

Bayi laki-laki usia 9 hari dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Arifin Achmad paska rawatan di Rumah Sakit Swasta (EH) selama 7

hari, dengan diagnosa Hirschprung’s disease (HD), sindrom down (SD), cardiac

heart disease (CHD) berupa small patent ductus arteriosus (PDA) dan moderate

secundum atrium septal defect (ASD) berdasarkan hasil echocardiogram oleh

dokter spesialis anak konsultan kardiologi, bronkopneumonia duplex dan

epistaksis, post kolostomi saat usia 4 hari karena alasan financial. Bayi

menunjukkan gejala trias HD pada usia 2 hari tidak ada buang air besar (BAB),

perut kembung (+) dan muntah (+), ditegakkan dari pemeriksaan barium enema

atau colon in loop yang memberikan gambaran pelebaran kolon, tampak

penyempitan pada distal rektum dengan gambaran paruh burung pada ujung

distal, tampak zona transisi yang pendek sesuai dengan megakolon congenital

(Hirschsprung’s disease) tipe short segment.


Usia ibu berisiko terjadinya SD pada bayi, dari sindrom tersebut akan

memberikan kelainan kongenital lain berupa HD dan CHD seperti yang diderita

pasien ini.4-6
Tipe HD yang ditemukan berdasarkan segmen yang terkena yaitu short

segment. Short segment yaitu daerah aganglionosis terdapat pada rektosgmoid,

merupakan 70–80% tipe HD yang paling sering terjadi. Tipe ini lebih sering

ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, insidennya 5 kali lebih besar

dibandingkan perempuan dan saudara laki-laki dari pasien HD dapat mengalami

HD sekitar 1 dari 20.17-19

28
Riwayat keluarga pada pasien ini baik dari ibu maupun ayah dua generasi

di atasnya tidak ada menunjukkan keluhan seperti pasien sehingga kelainan

kongenital yang didapat adalah faktor usia ibu saat hamil dan faktor lingkungan

yang menyebabkan mutasi gen.12,13

Gold standart pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis HD

ini adalah pemeriksaan histopatologi pada rektal biopsi. Namun, pada pasien ini

tidak ada data, namun gambaran khas histopatologi pada HD tidak ditemukan

ganglion Meisner dan Aurbach, dan terdapat penebalan (hipertrofi) serabut saraf

yang didapat dari lapisan mukosa sampai muskularis dinding rektum. 15,19

Kolostomi merupakan tindakan yang bertujuan menghilangkan hambatan

pada segmen usus yang menyempit dan merupakan tindakan operasi darurat

untuk menghilangkan gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki

keadaan umum penderita sebelum operasi definitif. Kolostomi ditutup dalam

prosedur tahap kedua berdasarkan teori anak ten yaitu umur anak lebih dari 10

minggu (> 3 bulan), berat badan lebih dari 10 kilogram, leukosit 10.000 /uL, Hb

10 mg/dL.31 Penutupan tersebut dengan tindakan Pull-through (Swenson, Renbein

dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan mereksesi segmen yang menyempit

dan menarik usus sehat ke arah anus.11, 26-28

Selama perawatan di Instalasi Perawatan Neonatus (IPN), pasien juga

menderita sepsis yang disebabkan oleh Klebsiella pneumonia ssp yang

dikonfirmasi dari kultur darah yang diperiksa saat pasien masuk ke IPN. Dengan

hasil kultur didapatkan antibiotik yang sensitif sesuai dengan antibiotik yang

diberikan yaitu Amikasin, dengan perbaikan keadaan umum dan peningkatan

29
berat badan. Selama di IPN orang tua diberi waktu untuk melihat cara perawatan

kolostomi seperti memperhatikan adanya kemerahan, lecet, luka operasi terbuka,

cara membersihkan stoma, cara menggunakan kantong kolostomi dan cara

membuat kantong kolostomi yang dibikin dirumah.


Saat akan pulang orang tua di edukasi, selain perawatan kolostomi yaitu

asupan air susu ibu (ASI) diteruskan, melakukan vaksinasi yang dianjurkan

program Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan kontrol untuk melihat

kenaikan berat badan, hasil perawatan kolostomi, penyakit jantung yang diderita

serta rencana penutupan kolostomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fiorino K, Liacouras CA. Congenital aganglionic megacolon hirschsprung


disease. Dalam: Kliegman, Stanton, Geme ST, Schor, Behrman, editor.

30
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 2011. hlm. 1284–88.

2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung.Edisi ke-1. Jakarta: SagungSeto;2004.

3. Wisnumurti DA. Congenital malformations in the neonatal unit of Arifin


Achmad hospital, Pekanbaru: occurrence and trend. J Paediatrica Indonesia.
2012;52:284–88 .

4. Granstrom AL, Svenningsson A, Hagel E, Oddsberg J, Nordenskjold A,


Wester T. Maternal risk factor and perinatal characteristics for Hirschsprung
disease. Official Jurnal of The American Academy of Pediatrics. Sweden.
2016;1–7.

5. Verawati S, Muda S, Hiswani. Karakteristik bayi yang menderita penyakit


Hirschsprung di RSUP H. Adam Malik Kota Medan Tahun 2010–2012 .
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2013.

6. Khazdouz M, Sezavar M, Imani B, Akhavan H, Babapour A, Khademi G.


Clinical outcome and bowel function after surgical treatment in
Hirschsprung’s disease. Afr J Pediatric Surg. 2015;12(2):143–7 .

7. World Health Organization. Management of birth defects and heamoglobin


disorders: report of a joint WHO-March of dimes meeting, Switzerland. 2006.

8. Naria DL, Hingsbergen. Total colonic aganglionosis-longsegment


Hirschsprung disease. RSNA. 2000;215:391–94 .

9. Lee SM, Puapong. Hirschsprung disease. Emedicine. 2006.

10. Haserius J, Hedbys J, Graneli C, Hagelsteen K, Stenstrom P. Treatment and


patient reported outcome in children with Hirschsprung disease and
concomitant congenital heart disease. Biomed Research International.
2017;1–8.

11. Lombay B. Hirschsprung disease in Ghanaian children. Pediatric Radiology.


2000;1–3.

12. Yusriadi T. Hirschsprung disease. Dalam: Pintar bedah anak konsep praktis
ilmu bedah anak. Edisi ke-1. Sleman Yogyakarta. 2017;166–181 .

13. Jacob C. Langer. Hirschsprung disease. Dalam: Ashcraft pediatric surgery.


Edisi ke-6. Philadelphia. 2014;484–4 .

14. Kim HJ, Kim AY, Lee C, Wu CS, Kim JS, Kim PN, Lee MG, Ha HK.
Hirschsprung disease and hypoganglionosis in adults: radiologic findings and
differentiation. 2008;247(2):428–34.

31
15. Martucciello G, Pini Prato A, Puri P, Holschneider AM, Meier-Ruge W, Tovar
JA, Grosfeld JL. Controversies concerning diagnostic guidelines for
anomalies of the enteric nervous system: a report from the fourth
International symposium on Hirschsprung's disease and related
neurocristopathies. J Pediatr Surg. 2005;40(10):1527–31.

16. Martucciello G, Ceccherini I, Lerone M, Jasonni V. Pathogenesis of


Hirschsprung's disease. Journal of Pediatric surgery. 2000;35(7):1017–1025

17. Parisi MA, Pagon RA, Bird TD, Dolan CR, Stephens K, Adam MP.
Hirschsprung disease overview. GeneReviews. 2002.

18. Samuel NMD. Hirschsprung's disease in gastrointestinal disorders. Director


center for motility and functional children’s hospital. Boston. 2014.

19. Suita S, Taguchi T, Ieiri S, Nakatsuji T. Hirschsprung's disease in Japan:


analysis of 3852 patients based on a nationwide survey in 30 years. Journal of
Pediatric Surgery. 2005;40(1):197–202.

20. Pena A, Bischoff A. Hirschprung disease. Dalam: Surgical treatment of


colorectal problems in children. USA: Springer International Publishing
Switzerland; 2015.24:401.

21. Graneli C, Dahlin E, Borjesson A, Arnbjosson E, Stenstom P. Diagnosis,


symptoms, and outcomes of Hirschsprung’s disease from the perspective of
gender. Hindawi Surgery Research and Practice. Sweden: 2017.

22. Rudolph C, Benaroch L. Hirschsprung disease. Pediatric in review. Cincinati.


1995;16:5–11 .

23. Tosson MAF. Case: Hirschsprung disease. Assiut University. 2016. Available
at : https://radiopaedia.org/cases/hirschsprungs-disease.

24. Abbas K, Fausto M. Developmental anomalies in Robin Pathologic Basis of Disease.


Edisi ke-8. 2005;15:601.

25. Yusriadi T. Mekoneum plug sindrom. Dalam: Pintar bedah anak konsep
praktis ilmu bedah anak. Edisi ke-1. Sleman Yogyakarta. 2017;186–88 .

26. Yusriadi T. Mekoneum ileus. Dalam: Pintar bedah anak konsep praktis ilmu
bedah anak. Edisi ke-1. Sleman Yogyakarta. 2017;94–6 .

27. Free FA, Barry G. Duodenal obstruction in the newborn due to annular
pancreas surg. 2004;103:321–325.

28. Swenson O. My early experience with Hirschsprung's disease. J. Pediatr.


Surg.1989;24(8):839–45.

32
29. Puri, Hollwarth M. Pediatric surgery. Berlin. 2006;275.

30. Walker A. Pediatric gastrointestinal disease: Pathophysiology, diagnosis,


managemen. 2004.

31. Sunoko, Philippi B. Persiapan prabedah. Dalam: Sjamsuhidajat R,


Karnadiharja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi
ke-3. Jakarta. 2010;18:298–313.

33

Anda mungkin juga menyukai