Pendahuluan
1
negara yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara. Secara konseptual,
SANKRI yang diungkap dalam makalah ini identik dengan Sistem Penyelenggaraan
Kebijakan Negara, karena berkenaan dengan kewenangan lembaga-lembaga
negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 1 Mengingat dalam realita
lembaga eksekutif (Pemerintah) lebih banyak berperan dalam pelaksanaan kegiatan
pemerintahan, maka secara silih berganti SANKRI disebut juga sebagai Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, yang dalam praktek tidak dapat
mengesampingkan tata hubungannya dengan kewenangan Lembaga Negara
sebagaimana dimaksud UUD 1945. Dalam rangka penerapan konsep sistem
administrasi negara dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara, pada
makalah ini dirumuskan pengertian SANKRI dan unsur-unsur pokoknya termasuk
interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan strategis. Deskripsi ini dimaksudkan
untuk memperjelas posisi dan peran SANKRI sebagai dasar pijakan dalam
menguraikan berbagai landasan penyelenggaraan SANKRI, yang meliputi landasan
idiil Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan sebagai landasan operasional
pengembangannya adalah Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
yang ditetapkan dalam UU No.25 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya.
Cakupan deskripsi substantif mengenai SANKRI dalam makalah ini beranjak dari
konsep administrasi negara sebagai administrasi mengenai negara, yang mempunyai
dua unsur pokok, yaitu organisasi dan manajemen. Atas dasar itu, deskripsi
substantifmakalah ini meliputi: pertama organisasi penyelenggara negara yang
meliputi tatanan organisasi lembaga Negara dan organisasi pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun daerah; dan kedua manajemen pemerintahan (dalam konteks
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945). Unsur
pokok terakhir ini dirinci dalam deskripsi dimensi-dimensi Manajemen Kebijakan
Publik, Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Manajemen Keuangan Negara,
Manajemen Pelayanan, dan Akuntabilitas. Pada bagian terakhir dikemukakan upaya
untuk memproyeksikan arah pengembangan SANKRI dalam kerangka
pembangunan penyelenggaraan negara, yang meliputi deskripsi Kebijakan
Penyelenggaraan Negara, Rencana Program Penyelenggaraan Negara berdasarkan
SPPN dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) Nasional
2
Tahun 2010-2014 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun
2010 serta dimensi-dimensi pengembangan SANKRI tetap berdasarkan dan
mengacu pada unsur-unsur pokok sebagaimana diuraikan di atas.
3
BAB II
Pembahasan
Selain itu, bangsa Indonesia tidak diberi kesempatan untuk ikut terlibat dalam praktek
administrasi negara. Sehingga karenanya tidak ada pengalaman sama sekali untuk
mempraktekkan ilmu administrasi negara. Di samping itu, sifat adminstrasi ketika itu
sama dengan sifat-sifat yang mempengaruhi ilmu administrasi di daratan Eropa.
Pengaruh konsep kontinental yang menganggap pendidikan hukum sebagai
persiapan utama malah kadang-kadang sebagai satu-satunya syarat untuk
membentuk seorang administrator, sangat menonjol saat itu. Sifat ini membuat
administasi saat itu sangat legalitik dan normatif, yang pada gilirannya menumbuhkan
suatu birokrasi yang steril.
Dalam perkembangan administrasi di Indonesia, tidak terlepas dari para penjajah
yang telah mendiami Indonesia selama berabad-abad. Orang Belanda yang pertama
kali meletakkan dasar-dasar administrasi Negara modern di Indonesia adalah
Gubernur Jenderal Daendels, yang berupa:
• Dengan menciptakan jabatan-jabatan kenegaraan (ambten, publik of fices) untuk
pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, dengan rumusan tugas, fungsi, wewenang,
4
dan tanggung jawab masing-masing jabatan, dengan gaji (salaris, salary) menurut
skala gaji tertentu yang dibayarkan dari Kas Negara.
• Dengan membentuk suatu kas negara (Fiskus) yang diisi melalui pemungutan pajak,
be dan cukai secara resmi melalui Pejabat-pejabat Perpajakan yang resmi pula.
Pola pikir dan pola organisasi kenegaraan Daendels berasal dari Prancis di bawah
kaisar Napoleon, yang sesuai dengan zamannya pada waktu itu memang bewarna
organisasi militer. Apa yang terbentuk kemudian di Indonesia merupakan
pengembangan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, namun
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Daendels antara tahun 1808-1811. Banyak
infrastruktur-infrastrktur yang dibangun oleh rakyat Indonesia atas perintah Daendels.
Seperti Jalan Raya Pos dan Pertahanan dari Anyer sampai Banyuwangi, sistem pipa
dari keramik untuk distribusi air. Peninggalan lain dari pada Administrasi Daendels
adalah Gedung Departemen Keuangan pada Lapangan Benteng Jakarta.
Selain Daendels, periode pemerintahan di Indonesia juga dipimpin oleh Raffles (1811-
1816). Selama periode pemerintahan Raffles, tidak banyak perubahan pada sistem
pemerintahan yang dibangun oleh Daendels. Yang banyak diubah oleh Raffles adalah
5
nama-nama sebutan. Yang diubah secara radikal oleh Raffles adalah jiwa
pemerintahannya, yakni dari jiwa otokratis menjadi jiwa demokratis sipil.
Raffles ingin meletakkan sistem titik berat sistem pemerintahannya pada Village
Administration (Administrasi Desa), dan tidak lagi pada Administrasi Bupati yang
dianggap Raffles sebagai sumber korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan terhadap
rakyat kecil. Raffles ingin memberikan hak tanah yang jelas kepada warga desa
dengan “sertifikat” resmi. Berdasarkan hak tanah resmi tersebut, setiap pemegang
hak-tanah harus membayar sewa (rent) kepada Pemerintah sebagai pengurus tanah
negara, setiap tahun.
Berdasarkan keinginan dan rencana tersebut di atas, maka lahirlah Sistem Sewa
Tanah (Landrent System dari Raffles, yang oleh pemerintahan Belanda kemudian
dijaidkan Landrentstesel (Sistem Landrente) dan berubah menjadi Sistem Pajak
Tanah. Sistem ini masih ada hingga sekarang berupa Pajak Bumi dan bahkan
diperluas menjadi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Perubahan yang paling banyak
sejak 1816 hingga kini adalah Sistem Pemerintahan dan Sistem Administrasi
Pemerintahan, Sistem Peradilan dan Sistem Administrasi Pengadilan, serta Sistem
Administrasi Keuangan. Perubahan tersebut berlangsung secara bertahap.
6
50an pandangan mulai tertuju kepada ilmu administrasi Negara sebagai ilmu yang
berdiri sendiri. Pada tahun 1951 sampai 1955 inilah pengertian administrasi maupun
administrasi publik berkembang dalam arti yang modern dengan tokohnya antara lain:
Woodrow Wilson,Dimock & Dhimock,Jhon M.Pfiffner,Herbert Simon dan Bintoro
Tjokroamidjoyo.Perkembangan lebih lanjut bagi Administrasi Negara di Indonesia
adalah didirikannya Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) pada
tanggal 5 mei 1957 dengan peraturan pemerintah nomor 30 Tahun
1957. Kemudian disempurnakan dengan peraturan pemerintah nomor 5 tahun
1971. Seperti halnya di Amerika dan Perancis tempat lahirnya ilmu administrasi dan
administrasi Negara para pelopornya adalah orang teknik seperti Taylor dan
Fayol. Orang teknik di Indonesia yang dijadikan pelopor administrasi Negara adalah
Ir. Djuanda yang berdirinya lembaga administrasi Negara di Indonesia dengan
dukungan Mr.Sumarman yang pada waktu itu Menteri dalam Negeri dan mengangkat
Direktur LAN-RI yang pertama (1958) yaitu Prajudi Atmosudirdjo.
7
Pada masa awal kemerdekaan pengembangan administrasi negara lebih
diarahkan pada upaya memenangkan dan mempertahankan kemerdekaan sebagai
suatu bentuk upaya membangun pemerintahan yang berdaulat. Jadi terlihat bahwa
sistem administrasi negaranya lebih memperlihatkan atau menonjolkan pada aspek
manajerial, legal dan politik. Pada saat itu, belum terlihat kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada penyempurnaan administrasi negara. Sebagai konsekuensi
logisnya, pada saat itu banyak terjadi kepincangan-kepincangan yang dialami dalam
mengelola administrasi negara baik berkenaan dengan bidang legislatif, eksekutif
maupun judisialnya. Namun, perjuangan para pemimpin bangsa pada awal
kemerdekaan berhasil dengan diakuinya kedaulatan negara Indonesia pada Tahun
1949 bukan saja oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, tetapi juga oleh dunia
internasional. Segera setelah perang kemerdekaan, yaitu pada Tahun 1951,
dimulailah usaha-usaha pengembangan administrasi negara karena dipengaruhi
oleh semakin besarnya peranan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia seiring dengan timbulnya permintaan bagi perbaikan disegala sektor
kehidupan sesuai dengan harapan terhadap Negara Indonesia yang sudah merdeka.
Namun, rekruitmen pegawai negeri pada waktu itu cenderung banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan spoils system, seperti faktor loyalitas kepada penguasa saat itu
maupun faktor nepotisme dan patronage, seperti hubungan keluarga, suku, daerah
dan sebagainya. Di lain pihak, mulai disadari perlunya peningkatan efisiensi
administrasi pemerintahan, kemudian berkembang usaha-usaha perencanaan
program di sektor tertentu dan akhirnya menjurus ke arah perencanaan dan
pembangunan ekonomi dan sosial.
Administrasi negara yang ada pada waktu itu dirasakan sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan pembangunan nasional karena terikat oleh berbagai ketentuan
perundangan yang berlaku, administrasi negara didesain hanya untuk kegiatan rutin
pelayanan masyarakat (Tjokroamidjojo, 1984). Secara teori, sebenarnya sejak
ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, proses untuk mengembangkan
sistem administrasi negara Indonesia sudah dapat dimulai, sebab dasar-dasar
aktivitas yang harus dilakukan telah diletakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasannya. Tetapi sejarah
8
mencatat bahwa yang terjadi adalah setelah diakui kedaulatan negara Republik
Indonesia pada Tahun 1949, pada Tahun-Tahun selanjutnya, misalnya periode
Tahun 1950-1959, Indonesia masuk pada suatu sistem yang lain dengan apa yang
digariskan dalam UUD 1945. Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 melaksanakan
konsep multi partai yang bertolak dari paham liberalisme parlementer. Pengaruhnya
terhadap pembangunan sistem administrasi negara ternyata tidak kondusif.
Beberapa implikasi negatif tersebut adalah berikut ini:
9
mengurus kegiatan rutin pelayanan masyarakat dengan administrasi pembangunan
yang mengurusi proyek-proyek pembangunan terutama pembangunan fisik. Prioritas
pembiayaan ditekankan pada administrasi pembangunan. Sedangkan kegiatan
administrasi negara yang bersifat rutin kurang mendapat perhatian. Pemerintah
sampai akhir Repelita V masih beranggapan perlunya trade off (memilih) antara
kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Penambahan anggaran untuk kegiatan
rutin dianggap berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan pembangunan
nasional. Apabila terjadi gangguan terhadap penerimaan pemerintah, seperti pada
waktu terjadinya penurunan harga minyak mentah di pasaran Internasional maka
penghematan terutama ditujukan pada anggaran rutin. Misalnya, dengan
menangguhkan kenaikan gaji pegawai negeri meskipun laju inflasi cukup tinggi, dan
anggaran operasional, seperti untuk gedung dan sebagainya dianggap tidak penting,
hampir dalam setiap penyusunan anggaran selalu di bawah angka 7%.
10
disentralisasikan. Proses perencanaan pembangunan nasional bersifat dua arah,
dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up).
11
anggaran rutin. Ada program pembangunan yang berjangka panjang dan mencakup
semua kegiatan operasional, seperti dalam program keluarga berencana yang
termasuk entry point keberhasilan pada zaman orde baru sehingga pembiayaan
operasionalnya tidak menjadi masalah besar karena anggaran dan unit cost untuk
kegiatan operasionalnya jauh di atas standar kegiatan rutin. Tetapi kebanyakan
proyek pembangunan fisik berjangka pendek, setelah selesai pembangunannya
maka biaya operasionalnya (termasuk kepegawaian dan perlengkapan) menjadi
bahan anggaran rutin yang sudah ada dan dananya sangat terbatas. Apalagi
mekanisme penambahan pegawai baru di sentralisasi secara nasional dan jumlah
formasi yang dialokasikan tidak didasarkan kepada kebutuhan riel, tetapi didasarkan
pada alokasi anggaran rutin untuk keperluan kepegawaian.
Dengan lebih kuatnya aspek politis maka aspirasi dan eksistensi serta
manajemen sumber daya manusia belum mendapatkan porsi yang sepantasnya.
Aspek sumber daya manusia secara terperinci dibahas dalam manajemen. Oleh
karena itu, tanpa pemahaman yang komprehensif secara manajerial tentang sumber
daya manusia dalam organisasi yang di sebut negara maka pembangunan nasional
pun akan tetap mengalami banyak hambatan karena manusia dalam organisasi
merupakan sumber daya yang paling penting sebagai subjek dan objek
pembangunan. Pemahaman yang komprehensif tersebut di antaranya membahas
eksistensi, perilaku, sikap, kebutuhan-kebutuhan pengembangan, motivasi,
pemberdayaan kinerja, serta perlakuan-perlakuan yang diaspirasikannya baik
sebagai individu ataupun sebagai anggota organisasi.
12
perizinan dilakukan di tingkat daerah. Sejalan dengan itu, usaha disentralisasi
pemerintahan dengan pemberian otonomi kepada daerah terutama kabupaten dan
kota mulai dilakukan, yaitu dengan menyerahkan lebih banyak urusan ke daerah
otonom. Dalam kenyataannya, penyerahan lebih banyak urusan ini tidak diikuti oleh
penyerahan lebih banyak sumber pembiayaan kepada daerah. Kebanyakan daerah
seperti kabupaten dan kota di Indonesia masih rendah untuk mengurus rumah
tangganya sebab kurangnya sumber pendapatan serta lemahnya administrasi
pemerintahan daerah Menurut Djabar (2003), apabila aspek manajerial dalam
administrasi negara membahas manusia secara detail baik fisik, mental maupun
spiritualnya maka aspek legal dalam administrasi negara, memberikan orientasi
keadilan dalam pencapaian tujuan negara melalui pemerintahannya. Tanpa orientasi
keadilan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan pembayar pajak yang
setia, akan merasa dicederai, dan tak mempercayai lagi para pemimpin dan wakilnya
baik dalam lembaga eksekutif, legislatif maupun judikatif. Harus disadari bahwa di
setiap usaha penyempurnaan administrasi negara dapat mempengaruhi
kepentingan banyak pihak (stakeholders). Oleh karena itu, dalam setiap pembuatan
kebijakan publik harus diperhitungkan dampaknya termasuk dampak yang tidak
diinginkan (externalities). Dari kurun waktu pertama penerapan administrasi negara
yang kental diwarnai oleh nuansa politik dapat ditarik pelajaran betapa pentingnya
dimensi ekonomi oleh karena pengaruh belum majunya pembangunan negara,
menjadi penghambat pengembangan sumber daya manusia secara utuh.
13
kedua tersebut sangat diwarnai oleh pembangunan fisik, infrastruktur-infrastruktur
perekonomian, sosial dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Jika diperhatikan, di era
70 an sampai 90 an pembangunan nasional sudah berlandaskan pada prinsip-prinsip
managerial, legal, dan judisial.
14
kepemerintahan yang baik (good governance). Tantangan ini bercirikan moral dan
etika, bukan fisik. Tantangan ini timbul bukan karena pengaruh ketiadaan sarana dan
prasarana pembangunan, seperti pada era awal kemerdekaan, tetapi karena
kelemahan manusia dalam mengelola dirinya sendiri. Jadi, pembangunan nasional
pada masa ini, yaitu yang bersifat lintas sektoral di hampir semua dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tampaknya masih menyisakan dimensi
spiritual, etika dan moral sebagai ranah-ranah pembangunan mental yang belum
tergarap secara saksama. Djabar (2003) mempertanyakan, apakah kelemahan-
kelemahan moral dan etika yang dihadapi di era pembangunan nasional sekarang
ini disebabkan oleh ketiadaan prinsip-prinsip peri kehidupan beragama di negeri ini?
Apabila ini benar bukanlah sudah banyak masjid, gereja, dan rumahrumah
peribadatan yang telah didirikan dalam pembangunan di era 70-an sampai 90 an?
Apakah tidak ada kaitan antara pembangunan fisik keagamaan tersebut dengan
kearifan yang seharusnya muncul dari para pemeluknya dan memberikan inspirasi
bagi para pemimpin bangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut di kemukakan
kepada seluruh anggota masyarakat dan etnis dan kebudayaan apa pun karena
dalam kehidupan berbangsa yang multi kompleks ini semua golongan berkewajiban
dan bertanggung jawab dalam pembangunan moral dan etika bangsa Indonesia.
Mungkin para pemimpin bangsa pada waktu itu sangat akrab dan memahami benar
pemeo stomach can not wait. Bahkan banyak juga para pakar nasional yang
memperdebatkan pemberian prioritas ini sebagai langkah yang kurang bijaksana.
Namun, apabila ditinjau dari sudut manajemen pembangunan, proses administrasi
negara tersebut dapat dibenarkan karena tanpa supra struktur pembangunan dan
infra struktur perekonomian yang dapat diandalkan, serta fondasi-fondasi dasar
kehidupan masyarakat yang mendesak perlu prioritas bagi pemenuhannya.
15
gradasi kedalaman hakikatnya (internalisasinya), faktor perubahan dan tuntunan
zaman turut menentukan sifat dan karakteristik pembangunan nasional tersebut.
16
maka kedua orang tua biasanya mencurahkan sebagian besar energinya untuk
membangun anak ini. Padahal, masih ada anak-anak lain yang mempunyai potensi
yang luar biasa. Sering kali karena yang lain terbengkalai maka sumber daya yang
lebih kuat dikesampingkan. Kesalahannya menurut Nugroho D, bukan kepada
pemberian perhatian kepada anak yang paling lemah tersebut, namun terlalu
memberi perhatianlah yang salah karena dengan demikian ia menganggap bahwa
anak tersebut tidak memiliki kemampuan yang sama dengan yang lain. Ini berakar
dari cara pengukuran seolah kata kemampuan itu tunggal. Padahal, bisa saja yang
bersangkutan tidak begitu bagus nilai sekolahnya, namun ia memiliki keterampilan
musik yang justru perlu dikembangkan. Bisa jadi apabila kemampuan dasarnya itu
yang dikembangkan, pada suatu saat ia akan menjadi ahli musik yang mumpuni, dan
bukan hanya menjadi kebanggaan keluarganya, tetapi akan menjadi administrator
seni di daerahnya. Dari analogi tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa pengelolaan
administrasi negara yang efektiflah yang akan ke luar sebagai pemenang karena
hanya administrasi negara yang efektif yang mampu menghasilkan kebijakan publik
yang efektif dalam membangun iklim the effective culture bagi organisasi publik itu
sendiri maupun organisasi bisnis dan nirlaba.
17
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia yang cepat. Rendahnya tingkat
produktivitas Bangsa Indonesia memberikan implikasi rendahnya daya saing bangsa
yang pada gilirannya memicu tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya
kesejahteraan masyarakat. Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan
ketimpangan sosial.
18
Di sinilah kita sampai pada makna hakiki perlunya penyelenggara sistem
administrasi negara yang berkemampuan dan matang dalam bertindak. Tindakan
yang harus dilakukan oleh penyelenggara administrasi negara dalam meningkatkan
produktivitas tersebut adalah menjalankan prinsip-prinsip good governance, seperti
transparency, responsiveness, accountability, dan equity.
19
yang penuh keraguan dalam mengambil keputusan tampak dalam kasus kebijakan
terhadap ojek online (ojol) pada masa pandemi Covid-19. Menteri Perhubungan
(Menhub) mengeluarkan Peraturan Menhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 yang
memperbolehkan sepeda motor mengangkut penumpang dengan ketentuan
tertentu. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Menkes Nomor 9
Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-
19 yang melarang ojol beroperasi mengangkut orang, hanya boleh mengangkut
barang (newsdetik.com, 16 April 2020). Kebijakan yang ragu-ragu telah
mengakibatkan birokrat di lapangan juga ragu-ragu dalam melakukan penindakan.
Ada yang membiarkan dan ada yang melarang.
Pada akhirnya, birokrasi yang berbelit, lamban dalam merespons, dan ragu-
ragu telah berakibat pada efektivitas penanganan Covid-19. Kondisi ini berakibat
pada sulitnya menekan angka positif Covid-19 di Indonesia, bahkan angka kematian
akibat Covid-19. Oleh karena itu, DPR perlu menjalankan fungsi pengawasannya
terhadap pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan tidak berbenturan satu dengan
yang lainnya serta memastikan masyarakat terpenuhi hak-hak kesehatannya pada
masa Covid-19. Tantangan dalam Mewujudkan Agilitas Birokrasi Persoalan yang
timbul dari sisi birokrasi selama masa pandemi Covid-19 harus segera direspons,
karena berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan percepatan penanganan Covid-19
ditentukan oleh birokrasi. Hal ini senada dengan pidato Presiden China Xi Jinping
yang mengatakan bahwa musuh terbesar dalam melawan Covid-19 adalah birokrasi
(Kompas,16 April 2020: 6). Birokrasi dalam penanganan Covid-19 dirasakan seperti
‘tulang punggung’, yang menopang segala upaya penanganan Covid-19. Namun,
birokrasi Indonesia tampaknya masih memperlihatkan perilaku birokrasi Weberian
yang terpaku pada regulasi dan prosedur hierarki. Akibatnya birokrasi Indonesia
terkesan lamban dan tidak cekatan dalam menghadapi persoalan pandemi Covid-
19.
20
birokrasi di Indonesia tidak mudah diwujudkan karena pola birokrasi di Indonesia
sedikit banyak masih terpengaruh oleh budaya organisasi yang dibawa pada masa
Orde Baru yang cenderung bersifat vertikal (top down) daripada horizontal (bottom
up) sehingga kepekaan birokrasi dalam merespons perkembangan di masyarakat
masih rendah. Kondisi saat ini, dimana pemerintah dihadapkan berbagai opsi yang
sama buruknya dan berimplikasi pada munculnya ego sektoral, mewujudkan agilitas
birokrasi hanya bisa terwujud dengan kemauan birokrasi untuk berubah dan
bergerak (Purwanto,2019). Birokrasi harus bersama-sama menyadari bahwa
pandemi ini harus segera ditangani karena tidak lagi berbicara angka melainkan
nyawa, sehingga persoalan dualisme kebijakan seperti pada Kemenhub dan
Kemenkes terkait kebijakan ojol tidak terjadi. Selain birokrasi yang harus berubah,
hal yang diperlukan dalam 27 mewujudkan agilitas birokrasi adalah fleksibilitas.
Fleksibilitas birokrasi membutuhkan adanya diskresi (keleluasaan). Hal ini
dikarenakan pada masa sekarang ini pemerintah berhadapan kondisi yang penuh
dengan ketidakpastian.
21
Permasalahan yang saat ini terjadi adalah adanya simpang-siur informasi
terkait jumlah kasus Covid-19, yaitu adanya perbedaan jumlah kasus antara
pemerintah pusat dan daerah. Adanya ketidakjelasan informasi berdampak pada
ambiguitas birokrasi dalam memutuskan kebijakan yang tepat dan akhirnya dapat
merugikan banyak pihak serta mengancam jiwa. Pemerintah harus transparan dan
akurat dalam memberikan informasi terkait Covid-19 dengan selalu melakukan
sinkronisasi data antara pemerintah pusat dan daerah sehingga tidak terjadi
informasi yang simpangsiur di masyarakat. Informasi tersebut harus mudah diakses
oleh masyarakat. Metode yang dapat digunakan untuk mewujudkan agilitas birokrasi
yaitu dengan mengubah upfront planning menjadi incremental planning (Dhir dan
Sushil dalam Purwanto, 2019). Hal tersebut dilakukan dengan cara pemerintah harus
menetapkan kualitas produk layanan di awal dan memastikan kualitas layanan
terjaga melalui serangkaian proses serta mulai mengidentifikasi dan mengatasi
berbagai risiko teknis yang muncul sejak awal, sehingga dapat meminimalisasi
dampak yang muncul akibat perubahan. Itu sebabnya agar birokrasi berjalan baik
dalam masa pandemi Covid-19, kebijakan yang dibuat sudah harus ajeg, tidak
raguragu dan berdasarkan analisis yang mendalam.
Kebijakan yang baik adalah apabila kriteria kebijakan dan indikator keberhasilan
kebijakan sudah jelas. Kinerja birokrasi untuk menjalankan kebijakan pemerintah
mengatasi Covid-19 juga tidak boleh kendor. Dalam masa PSBB, dimana bekerja
dilakukan di rumah, birokrat juga harus dapat menyesuaikan kondisi tersebut.
Working from Home (WFH) yang diterapkan dalam birokrasi tidak boleh menghambat
pelayanan publik. Oleh karena itu e-government (e-gov) harus sudah menjadi
sebuah kebijakan dalam 28 tata kelola pemerintahan Indonesia. Sebuah kebijakan
yang sudah lama terhambat pembentukannya, padahal e-gov sudah menjadi salah
satu pilar reformasi birokrasi di Indonesia. WFH yang diberlakukan saat ini telah
memperlihatkan birokrasi Indonesia yang belum siap sepenuhnya dengan e-gov.
Selanjutnya, peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agilitas
birokrasi, khususnya kesiapannya dalam menghadapi setiap kondisi yang tidak
menentu dan tidak dapat diprediksi. Diperlukan karakter servant leadership yang
memiliki visi yang jelas, mampu mendengarkan, dan mengakomodasi suara
22
bawahan dan rakyatnya serta mampu menggerakkan bawahannya menjadi lebih
adaptif dan gesit dalam menghadapi berbagai kondisi yang tidak dapat diprediksi.
23
BAB III
Penutup
Kesimpulan
24