Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

SEJARAH SISTEM ADMINISTRASI NEGARA


DI INDONESIA

Nama: Sri Yanti


NPM: CA201120230
Kelas: A1-05-20-SH1

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN MANAJEMEN STIAMI KAMPUS BEKASI B
CIKARANG
2019
Daftar Isi

BAB I Pendahuluan ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1


1.2 Ruang Lingkup SANKRI ......................................................................................... 1
1.3 Maksud dan Tujuan SANKRI ................................................................................. 3

BAB II Pembahasan ..................................................................................................... 4

2.1 Masa Penjajahan Belanda ..................................................................................... 4


2.2 Masa Penjajahan Jepang ....................................................................................... 6
2.3 Masa Awal Kemerdekaan Sampai Orde Baru ........................................................ 7
2.4 Masa Reformasi dan Seterusnya ........................................................................... 16
2.5 Masa Pandemic Covid-19 ...................................................................................... 19
BAB III Penutup ............................................................................................................ 24
BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Upaya pembangunan administrasi negara yang pada hakekatnya merupakan
penyempurnaan sistem dan proses dalam penyelenggaraan kebijakan negara,
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas administrasi negara, untuk mendukung
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan negara. Melalui pengkajian dan
penelitian dilaksanakan pula pengembangan keilmuan administrasi negara
disesuaikan dengan perkembangan lingkungan stratejik dan nilai-nilai yang
terkandung dalam peraturan perundangan yang berlaku. Dinamika perubahan
kebijakan negara yang termuat dalam berbagai bentuk dan tingkatan peraturan
perundangan, akan berimplikasi pada sistem administrasi negara di Indonesia.
Perubahan tersebut perlu terus dipantau dan didokumentasikan secara sistematis
dan terintegrasi dalam sebuah dokumen kebijakan sebagai acuan bagi
Penyelenggara Negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah, yang tugasnya
berkaitan dengan penyelenggaraan dan pengembangan Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Atas dasar tuntutan kebutuhan tersebut,
Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyusun makalah ini untuk melaksanakan
salah satu fungsinya membina dan mengembangkan SANKRI.

1.2 Ruang Lingkup Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia


(SANKRI)
Dalam rangka penyelenggaraan dan pengembangan administrasi negara sebagai
sistem yang dipraktekkan dalam penyelenggaraan negara, secara substantif tidak
dapat mengesampingkan hal-hal yang bersifat konseptual tentang makna dan
hakekat administrasi negara sebagai disiplin dan sistem yang dipraktekkan di manca
negara dengan berbagai sudut pandang yang melahirkan paradigma tentang
administrasi negara itu sendiri. Oleh sebab itu pada makalah ini disamping sarat akan
deskripsi realita, juga terdapat sentuhan-sentuhan konseptual yang dipandang
signifikan untuk memberikan justifikasi terhadap eksistensi sistem administrasi

1
negara yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara. Secara konseptual,
SANKRI yang diungkap dalam makalah ini identik dengan Sistem Penyelenggaraan
Kebijakan Negara, karena berkenaan dengan kewenangan lembaga-lembaga
negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara. 1 Mengingat dalam realita
lembaga eksekutif (Pemerintah) lebih banyak berperan dalam pelaksanaan kegiatan
pemerintahan, maka secara silih berganti SANKRI disebut juga sebagai Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, yang dalam praktek tidak dapat
mengesampingkan tata hubungannya dengan kewenangan Lembaga Negara
sebagaimana dimaksud UUD 1945. Dalam rangka penerapan konsep sistem
administrasi negara dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara, pada
makalah ini dirumuskan pengertian SANKRI dan unsur-unsur pokoknya termasuk
interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan strategis. Deskripsi ini dimaksudkan
untuk memperjelas posisi dan peran SANKRI sebagai dasar pijakan dalam
menguraikan berbagai landasan penyelenggaraan SANKRI, yang meliputi landasan
idiil Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan sebagai landasan operasional
pengembangannya adalah Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
yang ditetapkan dalam UU No.25 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya.
Cakupan deskripsi substantif mengenai SANKRI dalam makalah ini beranjak dari
konsep administrasi negara sebagai administrasi mengenai negara, yang mempunyai
dua unsur pokok, yaitu organisasi dan manajemen. Atas dasar itu, deskripsi
substantifmakalah ini meliputi: pertama organisasi penyelenggara negara yang
meliputi tatanan organisasi lembaga Negara dan organisasi pemerintahan, baik di
tingkat pusat maupun daerah; dan kedua manajemen pemerintahan (dalam konteks
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945). Unsur
pokok terakhir ini dirinci dalam deskripsi dimensi-dimensi Manajemen Kebijakan
Publik, Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Manajemen Keuangan Negara,
Manajemen Pelayanan, dan Akuntabilitas. Pada bagian terakhir dikemukakan upaya
untuk memproyeksikan arah pengembangan SANKRI dalam kerangka
pembangunan penyelenggaraan negara, yang meliputi deskripsi Kebijakan
Penyelenggaraan Negara, Rencana Program Penyelenggaraan Negara berdasarkan
SPPN dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) Nasional

2
Tahun 2010-2014 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun
2010 serta dimensi-dimensi pengembangan SANKRI tetap berdasarkan dan
mengacu pada unsur-unsur pokok sebagaimana diuraikan di atas.

1.3 Maksud dan Tujuan SANKRI


Penyelenggaraan dan Pengembangan Sistem Administrasi Negara, untuk
disesuaikan dengan perubahan kebijakan negara yang tercantum dalam berbagai
peraturan perundangan yang berlaku, dan hasil studi empirik berkenaan dengan
penyelenggaraan dan pengembangan SANKRI. Dengan demikian, setiap dinamika
kebijakan dan pelaksanaannya di lapanganmengenai hal-hal yang berkenaan
dengan pembangunan sistem administrasi negara dapat terdokumentasi secara
memadai.

3
BAB II

Pembahasan

2.1 Masa Penjajahan Belanda


Negara Indonesia kesatuan modern yang dilihat dari segi wilayah dan organisasi
pemerintahan, dapat dikatakan lahir secara formal pada tanggal 1 Januari 1800 dan
sacara kenyataan baru pada tahun 1824 dengan suatu traktat antara Negeri Belanda
dan Inggris. Selama tiga setengah abad Indonesia dijajah oleh Belanda, selama itu
pula administrasi dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Pada masa ini, administrasi
diartikan secara sempit yaitu sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan
ketatausahaan dalam bahasa Belanda dikenal sebagai “Administrasi”. Oleh karena
itu, administrasi secara nyata berupa pengarsipan, ekspedisi, pengetikkan, surat
menyurat, registrasi dan herregasi yang kesemuanya bersifat tulis menulis yang
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Clerical Work”.

Selain itu, bangsa Indonesia tidak diberi kesempatan untuk ikut terlibat dalam praktek
administrasi negara. Sehingga karenanya tidak ada pengalaman sama sekali untuk
mempraktekkan ilmu administrasi negara. Di samping itu, sifat adminstrasi ketika itu
sama dengan sifat-sifat yang mempengaruhi ilmu administrasi di daratan Eropa.
Pengaruh konsep kontinental yang menganggap pendidikan hukum sebagai
persiapan utama malah kadang-kadang sebagai satu-satunya syarat untuk
membentuk seorang administrator, sangat menonjol saat itu. Sifat ini membuat
administasi saat itu sangat legalitik dan normatif, yang pada gilirannya menumbuhkan
suatu birokrasi yang steril.
Dalam perkembangan administrasi di Indonesia, tidak terlepas dari para penjajah
yang telah mendiami Indonesia selama berabad-abad. Orang Belanda yang pertama
kali meletakkan dasar-dasar administrasi Negara modern di Indonesia adalah
Gubernur Jenderal Daendels, yang berupa:
• Dengan menciptakan jabatan-jabatan kenegaraan (ambten, publik of fices) untuk
pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, dengan rumusan tugas, fungsi, wewenang,

4
dan tanggung jawab masing-masing jabatan, dengan gaji (salaris, salary) menurut
skala gaji tertentu yang dibayarkan dari Kas Negara.

• Dengan membentuk suatu kas negara (Fiskus) yang diisi melalui pemungutan pajak,
be dan cukai secara resmi melalui Pejabat-pejabat Perpajakan yang resmi pula.

• Dengan membentuk suatu direktorat Jenderal Keuangan yang menyusun Anggaran


dan mengelola keuangan negara hasil pungutan-pungutan pajak, bea, dan cukai
resmi.

• Dengan membentuk suatu Badan Pemeriksa Keuangan (Generale Rekenkamer)


yang bertugas memeriksa semua penerimaan dan pengeluaran uang negara.

• Dengan membentuk Inspeksi-inspeksi Pajak di berbagai tempat yang dianggap


penting.

• Dengan membentuk sistem pemerintahan wilayah: propinsi, keresidenan, kabupaten,


distrik, kecamatan, dan kemantren, masing-masing dikepalai oleh seorang Pejabat
Negeri resmi.

• Dengan membentuk sistem kepolisian, sistem kejaksaan, dan sistem peradilan


modern.

Pola pikir dan pola organisasi kenegaraan Daendels berasal dari Prancis di bawah
kaisar Napoleon, yang sesuai dengan zamannya pada waktu itu memang bewarna
organisasi militer. Apa yang terbentuk kemudian di Indonesia merupakan
pengembangan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, namun
dasar-dasarnya telah diletakkan oleh Daendels antara tahun 1808-1811. Banyak
infrastruktur-infrastrktur yang dibangun oleh rakyat Indonesia atas perintah Daendels.
Seperti Jalan Raya Pos dan Pertahanan dari Anyer sampai Banyuwangi, sistem pipa
dari keramik untuk distribusi air. Peninggalan lain dari pada Administrasi Daendels
adalah Gedung Departemen Keuangan pada Lapangan Benteng Jakarta.

Selain Daendels, periode pemerintahan di Indonesia juga dipimpin oleh Raffles (1811-
1816). Selama periode pemerintahan Raffles, tidak banyak perubahan pada sistem
pemerintahan yang dibangun oleh Daendels. Yang banyak diubah oleh Raffles adalah

5
nama-nama sebutan. Yang diubah secara radikal oleh Raffles adalah jiwa
pemerintahannya, yakni dari jiwa otokratis menjadi jiwa demokratis sipil.

Raffles ingin meletakkan sistem titik berat sistem pemerintahannya pada Village
Administration (Administrasi Desa), dan tidak lagi pada Administrasi Bupati yang
dianggap Raffles sebagai sumber korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan terhadap
rakyat kecil. Raffles ingin memberikan hak tanah yang jelas kepada warga desa
dengan “sertifikat” resmi. Berdasarkan hak tanah resmi tersebut, setiap pemegang
hak-tanah harus membayar sewa (rent) kepada Pemerintah sebagai pengurus tanah
negara, setiap tahun.

Berdasarkan keinginan dan rencana tersebut di atas, maka lahirlah Sistem Sewa
Tanah (Landrent System dari Raffles, yang oleh pemerintahan Belanda kemudian
dijaidkan Landrentstesel (Sistem Landrente) dan berubah menjadi Sistem Pajak
Tanah. Sistem ini masih ada hingga sekarang berupa Pajak Bumi dan bahkan
diperluas menjadi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Perubahan yang paling banyak
sejak 1816 hingga kini adalah Sistem Pemerintahan dan Sistem Administrasi
Pemerintahan, Sistem Peradilan dan Sistem Administrasi Pengadilan, serta Sistem
Administrasi Keuangan. Perubahan tersebut berlangsung secara bertahap.

2.2 Masa Penjajahan Jepang


Masa penjajahan Jepang dalam system pemerintahan dimulai dengan
memperkenalkan organisasi pertahanan Sipil,begitu juga kursus kursus
ketataprajaan mulai di rintis meskipun dengan persyaratan peserta kursus sangat
ketat dan sepenuhnya untuk kepentingan penjajahan semata mata.Masa
kemerdekaan Pada masa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus 1945 ditandai
dengan dibukanya beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Yogyakarta. Pada masa
itu ilmu administrasi ataupun administrasi Negara belum mendapat tempat yang baik
sebagai disiplin ilmu. Dengan demikian ilmu administrasi dan administrasi Negara
masih merupakan bagian dari mata kuliah yang di anggap pokok pada waktu itu
antara lain ilmu pemerintahan dan ilmu hukum. Pada awalnya fakultas sosial politik
merupakan ilmu administrasi Negara merupakan bagian dari ilmu politik. Pada tahun

6
50an pandangan mulai tertuju kepada ilmu administrasi Negara sebagai ilmu yang
berdiri sendiri. Pada tahun 1951 sampai 1955 inilah pengertian administrasi maupun
administrasi publik berkembang dalam arti yang modern dengan tokohnya antara lain:
Woodrow Wilson,Dimock & Dhimock,Jhon M.Pfiffner,Herbert Simon dan Bintoro
Tjokroamidjoyo.Perkembangan lebih lanjut bagi Administrasi Negara di Indonesia
adalah didirikannya Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) pada
tanggal 5 mei 1957 dengan peraturan pemerintah nomor 30 Tahun
1957. Kemudian disempurnakan dengan peraturan pemerintah nomor 5 tahun
1971. Seperti halnya di Amerika dan Perancis tempat lahirnya ilmu administrasi dan
administrasi Negara para pelopornya adalah orang teknik seperti Taylor dan
Fayol. Orang teknik di Indonesia yang dijadikan pelopor administrasi Negara adalah
Ir. Djuanda yang berdirinya lembaga administrasi Negara di Indonesia dengan
dukungan Mr.Sumarman yang pada waktu itu Menteri dalam Negeri dan mengangkat
Direktur LAN-RI yang pertama (1958) yaitu Prajudi Atmosudirdjo.

2.3 Masa Awal Kemerdekaan Sampai Orde Baru


Menurut Sadly Abdul Djabar (2003) pada masa awal kemerdekaan, orientasi
administrasi negara masih pekat dengan nuansa politis, memperkokoh argumentasi
eksistensi bagi republik yang baru merdeka, baik di dalam maupun ke luar negeri. Di
dalam negeri, pemerintah sangat sibuk dengan upaya-upaya mengkonsolidasikan
potensi-potensi nasional dalam situasi perekonomian, baik mikro maupun makro
dalam keadaan serba kekurangan. Tetapi dengan kepemimpinan Bung Karno,
bangsa Indonesia pada waktu itu berhasil dipersatukan dengan semboyan-
semboyan filosofisnya, seperti yang sering dikemukakannya dengan mengutip
penuturan-penuturan Ki Dalang yang berbunyi Kita akan menciptakan negara yang
adil dan makmur tata tenteram kerja raharja. Visi nasional yang dibangun dengan
kandungan filosofis ini menjadi motivasi sangat kuat bagi seluruh warga bangsa,
sejalan dengan pembangunan politik pada masa tersebut, yaitu untuk meningkatkan
semangat warga bangsa dan negara untuk merdeka serta mempertahankan
kemerdekaan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7
Pada masa awal kemerdekaan pengembangan administrasi negara lebih
diarahkan pada upaya memenangkan dan mempertahankan kemerdekaan sebagai
suatu bentuk upaya membangun pemerintahan yang berdaulat. Jadi terlihat bahwa
sistem administrasi negaranya lebih memperlihatkan atau menonjolkan pada aspek
manajerial, legal dan politik. Pada saat itu, belum terlihat kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada penyempurnaan administrasi negara. Sebagai konsekuensi
logisnya, pada saat itu banyak terjadi kepincangan-kepincangan yang dialami dalam
mengelola administrasi negara baik berkenaan dengan bidang legislatif, eksekutif
maupun judisialnya. Namun, perjuangan para pemimpin bangsa pada awal
kemerdekaan berhasil dengan diakuinya kedaulatan negara Indonesia pada Tahun
1949 bukan saja oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, tetapi juga oleh dunia
internasional. Segera setelah perang kemerdekaan, yaitu pada Tahun 1951,
dimulailah usaha-usaha pengembangan administrasi negara karena dipengaruhi
oleh semakin besarnya peranan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia seiring dengan timbulnya permintaan bagi perbaikan disegala sektor
kehidupan sesuai dengan harapan terhadap Negara Indonesia yang sudah merdeka.
Namun, rekruitmen pegawai negeri pada waktu itu cenderung banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan spoils system, seperti faktor loyalitas kepada penguasa saat itu
maupun faktor nepotisme dan patronage, seperti hubungan keluarga, suku, daerah
dan sebagainya. Di lain pihak, mulai disadari perlunya peningkatan efisiensi
administrasi pemerintahan, kemudian berkembang usaha-usaha perencanaan
program di sektor tertentu dan akhirnya menjurus ke arah perencanaan dan
pembangunan ekonomi dan sosial.

Administrasi negara yang ada pada waktu itu dirasakan sudah tidak mampu
memenuhi kebutuhan pembangunan nasional karena terikat oleh berbagai ketentuan
perundangan yang berlaku, administrasi negara didesain hanya untuk kegiatan rutin
pelayanan masyarakat (Tjokroamidjojo, 1984). Secara teori, sebenarnya sejak
ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara, proses untuk mengembangkan
sistem administrasi negara Indonesia sudah dapat dimulai, sebab dasar-dasar
aktivitas yang harus dilakukan telah diletakkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasannya. Tetapi sejarah

8
mencatat bahwa yang terjadi adalah setelah diakui kedaulatan negara Republik
Indonesia pada Tahun 1949, pada Tahun-Tahun selanjutnya, misalnya periode
Tahun 1950-1959, Indonesia masuk pada suatu sistem yang lain dengan apa yang
digariskan dalam UUD 1945. Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 melaksanakan
konsep multi partai yang bertolak dari paham liberalisme parlementer. Pengaruhnya
terhadap pembangunan sistem administrasi negara ternyata tidak kondusif.
Beberapa implikasi negatif tersebut adalah berikut ini:

1. Silih bergantinya kabinet yang menyebabkan inkonsistensi dan inkontinuitas


pelaksanaan roda pembangunan baik ditinjau dari sisi perumusan kebijakan
maupun operasionalnya.
2. Perangkat administratif sebagai pelaksana kegiatan pembangunan tidak stabil,
hal ini diakibatkan oleh kuatnya hegemoni partai yang larut dan menyetir
pengaturan jalannya sistem administrasi negara.
3. Pegawai negeri diseret dalam kegiatan dan orientasi politik dari partaipartai yang
berkuasa, jadi pegawai negeri pada saat itu tidak netral.
4. Organisasi-organisasi pemerintahan menjadi perebutan dan ajang pertarungan
politik sehingga tidak dapat melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya.
5. Kriteria yang dipergunakan untuk menilai keberhasilan pegawai negeri
melaksanakan tugasnya, bukan prestasi kerja dan sistem karier sebagaimana
dianut dalam sistem administrasi negara yang sehat dan rasional, akan tetapi
mempergunakan ukuran lain yang lebih menjurus.

Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada spoils sistem,


likes and dislikes, menurut selera penguasa dan sesuai dengan garis partai yang
diwakilinya. Contoh-contoh implikasi negatif di atas, menunjukkan pada kurun waktu
1950-1959, situasi dan kondisinya tidak mendorong pertumbuhan dan
pengembangan sistem administrasi negara sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945. Perlu diketahui pada kurun waktu inilah, pemerintah membentuk Lembaga
Administrasi Negara (LAN) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
30 Tahun 1957 pada Tanggal 5 Mei 1957. Perkembangan administrasi negara di
Indonesia selanjutnya mengarah pada pembedaan antara administrasi negara yang

9
mengurus kegiatan rutin pelayanan masyarakat dengan administrasi pembangunan
yang mengurusi proyek-proyek pembangunan terutama pembangunan fisik. Prioritas
pembiayaan ditekankan pada administrasi pembangunan. Sedangkan kegiatan
administrasi negara yang bersifat rutin kurang mendapat perhatian. Pemerintah
sampai akhir Repelita V masih beranggapan perlunya trade off (memilih) antara
kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Penambahan anggaran untuk kegiatan
rutin dianggap berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan pembangunan
nasional. Apabila terjadi gangguan terhadap penerimaan pemerintah, seperti pada
waktu terjadinya penurunan harga minyak mentah di pasaran Internasional maka
penghematan terutama ditujukan pada anggaran rutin. Misalnya, dengan
menangguhkan kenaikan gaji pegawai negeri meskipun laju inflasi cukup tinggi, dan
anggaran operasional, seperti untuk gedung dan sebagainya dianggap tidak penting,
hampir dalam setiap penyusunan anggaran selalu di bawah angka 7%.

Administrasi negara di Indonesia selama periode pembangunan jangka panjang


tahap I (PJPT I) telah berkembang menjadi besar dan kompleks. Beban yang dipikul
oleh administrasi negara (termasuk administrasi pembangunan) tiap Tahun
bertambah berat dan jenis kegiatannya mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Sudah banyak hasil yang dicapai meskipun belum sempurna.
Administrasi negara di Indonesia menghadapi beberapa masalah, seperti adanya
kepincangan (perbedaan) antara administrasi untuk kegiatan rutin dengan
administrasi pembangunan, antara administrasi program dengan administrasi
sumber daya (dana, sumber daya manusia dan perlengkapan), antara apa yang
dikehendaki (intended performance) dengan kenyataan praktik sehari-hari (actual
performance) dengan kenyataan praktik sehari-hari (actual performance). Hal ini
menjadi lebih rumit karena nilai-nilai yang dominan adalah yang menganggap kinerja
administrasi negara berdasarkan besarnya inputs, seperti jumlah pegawai,
anggaran, peraturan perundangan; dan bukan pada outcomes, seperti efisiensi,
manfaat hasil yang dicapai bagi pencapaian masyarakat yang adil dan makmur
(Kasim, 1993). Kesulitan pengintegrasian kedua bidang administrasi negara (rutin
dan pembangunan) antara lain disebabkan oleh sistem perencanaan yang sangat

10
disentralisasikan. Proses perencanaan pembangunan nasional bersifat dua arah,
dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up).

Proses dari atas mencakup operasionalisasi dari strategi dan kebijakan


nasional, mulai dari pusat (Bappenas, Departemen Keuangan, dan Departemen
teknis yang terkait) ke bawah ke tingkat provinsi selanjutnya ke kabupaten dan kota.
Dalam praktiknya, titik temu antara proses perencanaan dari atas dan proses
perencanaan dari bawah sulit dicapai karena keputusan dibuat pada tingkat nasional,
sedangkan jumlah usulan yang harus dievaluasi sangat banyak dan waktu yang
tersedia relatif singkat serta adanya persepsi bahwa keputusan dibuat pada tingkat
nasional tersebut berdasarkan jumlah alokasi anggaran secara sektoral baik untuk
anggaran rutin maupun pembangunan tanpa memperhatikan prioritas proyek
menurut usulan dari bawah. Apalagi ada anggapan bahwa usulan dari bawah sering
tidak didasarkan pada kebutuhan riel serta tidak jelas skala prioritasnya. Daftar
usulan lebih bersifat daftar keinginan untuk memperoleh dana semaksimal mungkin
dengan cara memperbesar jumlah anggaran yang diusulkan dengan harapan kalau
dipotong (tidak disetujui seluruhnya) jumlahnya masih cukup memadai. Usulan dari
bawah biasanya hanya merupakan kompilasi usulan-usulan dengan rekapitulasi
yang sangat umum sehingga menjadi kabur maknanya. Contohnya, suatu proyek
fisik disetujui, tetapi usulan penambahan pegawai, perlengkapan dan biaya
operasionalnya ditolak. Hal ini mengakibatkan proyek baru tersebut tidak dapat
dioperasikan serta menjadi terbengkalai dan tidak terawat.

Program pembangunan ternyata banyak konsekuensinya terhadap kegiatan


rutin. Beban kegiatan rutin menjadi semakin besar, sedangkan pembiayaannya
sangat minim. Administrasi program pembangunan tidak terintegrasi dengan
administrasi sumber daya pendukung operasional selanjutnya karena program (yang
terdiri dari proyek-proyek) pembangunan tidak sinkron dengan administrasi
kepegawaian, keuangan dan perlengkapan yang juga dibutuhkan bagi operasional
program. Biasanya sumber daya Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia pendukung program hanya terbatas dalam periode/jangka waktu proyek,
setelah periode tersebut selesai maka program tersebut akan menjadi beban

11
anggaran rutin. Ada program pembangunan yang berjangka panjang dan mencakup
semua kegiatan operasional, seperti dalam program keluarga berencana yang
termasuk entry point keberhasilan pada zaman orde baru sehingga pembiayaan
operasionalnya tidak menjadi masalah besar karena anggaran dan unit cost untuk
kegiatan operasionalnya jauh di atas standar kegiatan rutin. Tetapi kebanyakan
proyek pembangunan fisik berjangka pendek, setelah selesai pembangunannya
maka biaya operasionalnya (termasuk kepegawaian dan perlengkapan) menjadi
bahan anggaran rutin yang sudah ada dan dananya sangat terbatas. Apalagi
mekanisme penambahan pegawai baru di sentralisasi secara nasional dan jumlah
formasi yang dialokasikan tidak didasarkan kepada kebutuhan riel, tetapi didasarkan
pada alokasi anggaran rutin untuk keperluan kepegawaian.

Dengan lebih kuatnya aspek politis maka aspirasi dan eksistensi serta
manajemen sumber daya manusia belum mendapatkan porsi yang sepantasnya.
Aspek sumber daya manusia secara terperinci dibahas dalam manajemen. Oleh
karena itu, tanpa pemahaman yang komprehensif secara manajerial tentang sumber
daya manusia dalam organisasi yang di sebut negara maka pembangunan nasional
pun akan tetap mengalami banyak hambatan karena manusia dalam organisasi
merupakan sumber daya yang paling penting sebagai subjek dan objek
pembangunan. Pemahaman yang komprehensif tersebut di antaranya membahas
eksistensi, perilaku, sikap, kebutuhan-kebutuhan pengembangan, motivasi,
pemberdayaan kinerja, serta perlakuan-perlakuan yang diaspirasikannya baik
sebagai individu ataupun sebagai anggota organisasi.

Sistem administrasi negara yang sangat sentralisasi ternyata menambah


koordinasi karena prosedur pembuatan keputusan menjadi panjang sampai ke
tingkat pusat dan akibatnya pelayanan masyarakat menjadi tidak efektif. Kesulitan
perekonomian pada awal 1980-an karena merosotnya harga minyak bumi telah
mendorong pemerintah melakukan deregulasi kehidupan perekonomian, seperti
sektor moneter, perpajakan dan perbankan, dan yang terakhir adalah deregulasi
sektor riel, khususnya yang menyangkut perizinan investasi di daerah untuk
merangsang industri dan ekspor nonmigas. Lebih banyak pembuatan keputusan

12
perizinan dilakukan di tingkat daerah. Sejalan dengan itu, usaha disentralisasi
pemerintahan dengan pemberian otonomi kepada daerah terutama kabupaten dan
kota mulai dilakukan, yaitu dengan menyerahkan lebih banyak urusan ke daerah
otonom. Dalam kenyataannya, penyerahan lebih banyak urusan ini tidak diikuti oleh
penyerahan lebih banyak sumber pembiayaan kepada daerah. Kebanyakan daerah
seperti kabupaten dan kota di Indonesia masih rendah untuk mengurus rumah
tangganya sebab kurangnya sumber pendapatan serta lemahnya administrasi
pemerintahan daerah Menurut Djabar (2003), apabila aspek manajerial dalam
administrasi negara membahas manusia secara detail baik fisik, mental maupun
spiritualnya maka aspek legal dalam administrasi negara, memberikan orientasi
keadilan dalam pencapaian tujuan negara melalui pemerintahannya. Tanpa orientasi
keadilan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dan pembayar pajak yang
setia, akan merasa dicederai, dan tak mempercayai lagi para pemimpin dan wakilnya
baik dalam lembaga eksekutif, legislatif maupun judikatif. Harus disadari bahwa di
setiap usaha penyempurnaan administrasi negara dapat mempengaruhi
kepentingan banyak pihak (stakeholders). Oleh karena itu, dalam setiap pembuatan
kebijakan publik harus diperhitungkan dampaknya termasuk dampak yang tidak
diinginkan (externalities). Dari kurun waktu pertama penerapan administrasi negara
yang kental diwarnai oleh nuansa politik dapat ditarik pelajaran betapa pentingnya
dimensi ekonomi oleh karena pengaruh belum majunya pembangunan negara,
menjadi penghambat pengembangan sumber daya manusia secara utuh.

Pada gilirannya keterlambatan pengembangan sumber daya manusia yang


kodratnya memerlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti
sandang, pangan, papan, menghambat pula pengembangan daya pikir, nalar dan
pemahamannya akan makna pentingnya inisiatif, kreasi serta inovasi untuk
mendapatkan terobosan-terobosan teknologi bagi pembangunan administrasi
negara. Jika dicermati, berbagai kasus dalam proses pengembangan sistem
administrasi negara, seperti keterlambatan pengembangan sumber daya manusia di
awal masa kemerdekaan, ternyata mendapatkan jawaban pada fase kedua
pembangunan nasional, yaitu antara Tahun 1970-an sampai akhir Tahun 1990 an,
sekalipun belum dilaksanakan secara terfokus. Fenomena pembangunan pada fase

13
kedua tersebut sangat diwarnai oleh pembangunan fisik, infrastruktur-infrastruktur
perekonomian, sosial dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia Jika diperhatikan, di era
70 an sampai 90 an pembangunan nasional sudah berlandaskan pada prinsip-prinsip
managerial, legal, dan judisial.

Seperti tampak dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik


Indonesia dengan sistem pembangunan nasional berdasar Repelita (rencana
pembangunan lima Tahun) di hampir semua sektor pembangunan. Hasil yang telah
diperoleh bangsa ini dalam kurun waktu tiga dasawarsa tersebut sungguh luar biasa
manfaatnya dan sekaligus dampaknya baik positif maupun negatif terhadap tahap-
tahap pembangunan nasional selanjutnya.

Dengan pembenahan-pembenahan di bidang politik, pemerintahan Orde Baru


telah berhasil menyusun suatu sistem administrasi negara yang mampu mendorong
terciptanya sinergi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Meskipun terciptanya
sinergi antara legislatif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah telah menimbulkan
ekses terjadinya penyimpanganpenyimpangan yang akhirnya menjadikan birokrasi
pemerintahan dengan tanpa beban melanggar etika-etika politik, ekonomi dan
manajemen. Sukses pembangunan nasional hanya terasa di pusat saja yang
akhirnya menimbulkan kecemburuan daerah-daerah yang merasa kurang
diperhatikan. Pada gilirannya kecemburuan-kecemburuan tersebut sukar
dikendalikan sehingga ketika tercetus daerah yang merupakan lisensi pembenaran
bagi upaya-upaya daerah melalui proses demokratisasi, oleh daerah dijadikan
peluang sebagai kesempatan terbaik untuk membangun daerahnya, meningkatkan
kualitas sumber daya aparaturnya, sekalipun bersamaan dengan itu muncul berbagai
permasalahan yang sesungguhnya tidak seharusnya terjadi.

Kemajuan dalam perekonomian bangsa Indonesia di era 70 an sampai 90 an


telah menciptakan tantangan baru dalam pembangunan nasional di Indonesia.
Tantangan-tantangan tersebut berbeda ciri-ciri dan sifatnya dibandingkan dengan
tantangan-tantangan di era pembangunan pada awal kemerdekaan. Tantangan yang
dihadapi adalah ketidakmampuan birokrasi pemerintahan dalam menciptakan

14
kepemerintahan yang baik (good governance). Tantangan ini bercirikan moral dan
etika, bukan fisik. Tantangan ini timbul bukan karena pengaruh ketiadaan sarana dan
prasarana pembangunan, seperti pada era awal kemerdekaan, tetapi karena
kelemahan manusia dalam mengelola dirinya sendiri. Jadi, pembangunan nasional
pada masa ini, yaitu yang bersifat lintas sektoral di hampir semua dimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tampaknya masih menyisakan dimensi
spiritual, etika dan moral sebagai ranah-ranah pembangunan mental yang belum
tergarap secara saksama. Djabar (2003) mempertanyakan, apakah kelemahan-
kelemahan moral dan etika yang dihadapi di era pembangunan nasional sekarang
ini disebabkan oleh ketiadaan prinsip-prinsip peri kehidupan beragama di negeri ini?
Apabila ini benar bukanlah sudah banyak masjid, gereja, dan rumahrumah
peribadatan yang telah didirikan dalam pembangunan di era 70-an sampai 90 an?
Apakah tidak ada kaitan antara pembangunan fisik keagamaan tersebut dengan
kearifan yang seharusnya muncul dari para pemeluknya dan memberikan inspirasi
bagi para pemimpin bangsa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut patut di kemukakan
kepada seluruh anggota masyarakat dan etnis dan kebudayaan apa pun karena
dalam kehidupan berbangsa yang multi kompleks ini semua golongan berkewajiban
dan bertanggung jawab dalam pembangunan moral dan etika bangsa Indonesia.
Mungkin para pemimpin bangsa pada waktu itu sangat akrab dan memahami benar
pemeo stomach can not wait. Bahkan banyak juga para pakar nasional yang
memperdebatkan pemberian prioritas ini sebagai langkah yang kurang bijaksana.
Namun, apabila ditinjau dari sudut manajemen pembangunan, proses administrasi
negara tersebut dapat dibenarkan karena tanpa supra struktur pembangunan dan
infra struktur perekonomian yang dapat diandalkan, serta fondasi-fondasi dasar
kehidupan masyarakat yang mendesak perlu prioritas bagi pemenuhannya.

Dalam perkembangannya, ternyata arah dan proses pembangunan nasional di


Indonesia jika dicermati dimulai dari pembangunan mental kebangsaan di era Bung
Karno mengarah pada pembangunan serba fisik. Dari kedua kurun waktu
pembangunan nasional tersebut di atas dapat dipahami bahwa dalam pembangunan
kehidupan nasional Indonesia yang serba kompleks, baik lintas sektor maupun

15
gradasi kedalaman hakikatnya (internalisasinya), faktor perubahan dan tuntunan
zaman turut menentukan sifat dan karakteristik pembangunan nasional tersebut.

2.4 Masa Reformasi dan Seterusnya


Di era reformasi, bangsa dan negara kita ditentang dengan adanya dampak
perubahan paradigma berpikir dalam pembangunan nasional. Ada tantangan
terhadap penegakan supremasi hukum. Ada tantangan pemerataan kesejahteraan
sosial. Ada pula tantangan terhadap pemberdayaan masyarakat, dan yang paling
sukar diterima oleh para pimpinan negara adalah tantangan untuk menegakkan nilai-
nilai demokrasi serta integritas pribadi. Tantangan-tantangan tersebut timbul sejalan
dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan termasuk institusi-institusi ilmu
administrasi di seluruh pelosok tanah air. Hal tersebut dirasakan dalam tuntunan
untuk meningkatkan sumber daya manusia di daerah-daerah yang kini memiliki
kekuasaan mengelola pemerintahan secara lebih profesional. Oleh karena itu,
penguasaan elektronik administration serta kompetensi-kompetensi manajerial guna
mencapai produktivitas yang optimal, tak terlepas dari perkembangan teknologi guna
memantapkan perkembangan birokrasi di masa-masa yang akan datang.

Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sistem administrasi negara masa kini


menuntut pemahaman makna profesi yang dimiliki oleh seseorang, apalagi apabila
ia adalah seorang tokoh atau pemimpin bangsa. Pemahaman serta penghayatan
terhadap berbagai tantangan tugas yang diemban oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan akan menghindarkannya dari pengaruh-pengaruh negatif yang dapat
menggodanya dalam menjalankan tugas kesehariannya, dan pada gilirannya
perilaku mereka akan mengarah menjadi negarawan yang akan mengutamakan
kepentingan negara dan bangsa.

Menurut Nugroho D (2003), sistem administrasi negara (publik) yang efektif


adalah administrasi negara yang mengembangkan efektivitasnya dengan
mengembangkan kemampuan intinya (core competence). Menurutnya masalah ini
dapat disetarakan dengan pengelolaan keluarga dalam keluarga umumnya di
Indonesia. Di Indonesia, jika ada satu anak dalam keluarga yang kurang pandai

16
maka kedua orang tua biasanya mencurahkan sebagian besar energinya untuk
membangun anak ini. Padahal, masih ada anak-anak lain yang mempunyai potensi
yang luar biasa. Sering kali karena yang lain terbengkalai maka sumber daya yang
lebih kuat dikesampingkan. Kesalahannya menurut Nugroho D, bukan kepada
pemberian perhatian kepada anak yang paling lemah tersebut, namun terlalu
memberi perhatianlah yang salah karena dengan demikian ia menganggap bahwa
anak tersebut tidak memiliki kemampuan yang sama dengan yang lain. Ini berakar
dari cara pengukuran seolah kata kemampuan itu tunggal. Padahal, bisa saja yang
bersangkutan tidak begitu bagus nilai sekolahnya, namun ia memiliki keterampilan
musik yang justru perlu dikembangkan. Bisa jadi apabila kemampuan dasarnya itu
yang dikembangkan, pada suatu saat ia akan menjadi ahli musik yang mumpuni, dan
bukan hanya menjadi kebanggaan keluarganya, tetapi akan menjadi administrator
seni di daerahnya. Dari analogi tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa pengelolaan
administrasi negara yang efektiflah yang akan ke luar sebagai pemenang karena
hanya administrasi negara yang efektif yang mampu menghasilkan kebijakan publik
yang efektif dalam membangun iklim the effective culture bagi organisasi publik itu
sendiri maupun organisasi bisnis dan nirlaba.

Efektivitas berkenaan dengan produktivitas. Dalam hal ini Porter (1998)


menyatakan: “...hanya satu kata yang paling baik untuk menjelaskan sejauh mana
daya saing suatu negara yaitu sejauh mana produktivitas dari negara tersebut”.
Mengapa harus efektif, bukannya efisien? Drucker (1993) mengajarkan, dalam kerja
manual, memang yang diperlukan adalah efisien, tetapi dalam kerja intelektual
dengan muatan pengetahuan, seperti aktivitas administrasi negara, yang diperlukan
adalah efektivitas. Efektivitas menyangkut kompetensi; dalam hal ini efektif
menyangkut 5 hal pokok, yaitu (a) keunggulan manajemen waktu; (b) kontribusi
kepada lingkungan; (c) membangun berdasar kekuatan; (d) memberikan konsentrasi
kepada beberapa hal tertentu, biasa disebut prioritas, dan dalam memilih prioritas
ini, tepat guna dan bermanfaat untuk publik dan diperlukan warga negara, dan ( (e)
efektif berarti membuat keputusan. Keputusan untuk meningkatkan produktivitas.
Peningkatan produktivitas merupakan salah satu faktor utama untuk mencapai
sasaran pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan seiring dalam era

17
globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia yang cepat. Rendahnya tingkat
produktivitas Bangsa Indonesia memberikan implikasi rendahnya daya saing bangsa
yang pada gilirannya memicu tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya
kesejahteraan masyarakat. Hal ini sangat berpotensi untuk menimbulkan
ketimpangan sosial.

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara administrasi


negara mencakup masalah internal dan eksternal. Kendala internal meliputi masih
adanya ketidakpastian hukum dan peraturan, sistem pengelolaan sumber daya, dan
masalah keamanan. Tantangan dan permasalahan eksternal meliputi lemahnya
perekonomian global, tingginya dan tidak stabilnya harga minyak dunia,
meningkatnya persaingan dalam menarik investasi asing. Semua hal tersebut
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat dan
tingkat kesempatan kerja. Guna memulihkan kegiatan ekonomi Indonesia sekaligus
menghadapi tantangan dan permasalahan tersebut maka sistem administrasi negara
perlu terus dilakukan dan diarahkan pada program peningkatan produktivitas secara
terintegrasi, komprehensif dan sinergis baik oleh pemerintah (pusat, daerah dan
sektor), dunia usaha dan masyarakat, dengan program pengembangan budaya
produktif, etos kerja, manajemen, inovasi dan teknologi. Tingkat daya saing dan
produktivitas nasional masih rendah jika dibandingkan dengan tingkat daya saing
dan produktivitas negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan,
dan Taiwan. Pada kenyataannya negara-negara tersebut aktif melakukan gerakan
produktivitas secara serius yang didukung penuh oleh pemerintahnya, antara lain
dengan membentuk lembaga produktivitas nasional yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden atau Perdana Menteri sehingga lembaga tersebut
memiliki akses operasional secara luas ke masyarakat, perusahaan, dan pemerintah.
Dengan dibentuknya salah satu sistem administrasi negara, yaitu Lembaga
Produktivitas Nasional (LPN) melalui Perpres No. 50 Tahun 2005, diharapkan
lembaga ini dapat mempercepat action plan gerakan peningkatan produktivitas yang
dapat dilakukan secara nyata dan komprehensif di seluruh sektor pembangunan
nasional.

18
Di sinilah kita sampai pada makna hakiki perlunya penyelenggara sistem
administrasi negara yang berkemampuan dan matang dalam bertindak. Tindakan
yang harus dilakukan oleh penyelenggara administrasi negara dalam meningkatkan
produktivitas tersebut adalah menjalankan prinsip-prinsip good governance, seperti
transparency, responsiveness, accountability, dan equity.

2.5 Masa Pandemic Covid-19


Persoalan Birokrasi dalam Penanganan Covid-19 Pelaksanaan berbagai
kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Presiden dalam upaya penanganan Covid-19
tampaknya masih mengalami permasalahan, terutama disebabkan oleh birokrasi
yang berbelit, lamban dalam merespons, dan ragu-ragu yang berakibat tidak
efektifnya penanganan Covid-19, sehingga sulit untuk menekan angka positif.

Adanya ego sektoral antarkementerian/lembaga dan daerah menjadi salah satu


penyebab lambannya birokrasi dalam merespons penanganan Covid-19. Birokrasi
yang berbelit tampak pada saat daerah hendak memberlakukan PSBB di daerahnya.
Persetujuan PSBB dari Menkes dianggap pemerintah kabupaten/kota sebagai
sebuah birokrasi yang berbelit karena dianggap terlalu jauh jarak antara pemerintah
kabupaten/kota ke pemerintah pusat. Demikian pula persyaratan dokumen yang
menurut daerah cukup banyak dan sulit untuk dipenuhi pemerintah daerah,
merupakan sebuah peristiwa birokrasi berbelit. Beberapa daerah yang ditolak
pengajuan pemberlakuan PSBB di daerahnya ada yang disebabkan karena
dokumen yang kurang, misalnya data peningkatan kasus dan waktu kurva
epidemiologi yang membutuhkan waktu dari pemerintah daerah untuk melakukan
kajian. Beberapa daerah yang ditolak antara lain Kota Gorontalo, Kabupaten Rote
Ndao, Kota Sorong, Kota Palangkaraya, dan Kabupaten Fak-Fak dengan alasan
tidak memenuhi aspek epidemologi. Birokrasi yang lamban dalam merespons situasi
penanganan Covid-19 menurut penilaian Ikatan Dokter Indonesia tampak pada saat
Pemerintah Indonesia lamban mengumumkan Covid-19 sebagai wabah nasional
yang jarak waktunya sangat jauh dari saat virus ini terungkap di Wuhan. Hal ini telah
mengakibatkan tingginya angka 26 kematian akibat Covid-19 di Indonesia. Birokrasi

19
yang penuh keraguan dalam mengambil keputusan tampak dalam kasus kebijakan
terhadap ojek online (ojol) pada masa pandemi Covid-19. Menteri Perhubungan
(Menhub) mengeluarkan Peraturan Menhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 yang
memperbolehkan sepeda motor mengangkut penumpang dengan ketentuan
tertentu. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Menkes Nomor 9
Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-
19 yang melarang ojol beroperasi mengangkut orang, hanya boleh mengangkut
barang (newsdetik.com, 16 April 2020). Kebijakan yang ragu-ragu telah
mengakibatkan birokrat di lapangan juga ragu-ragu dalam melakukan penindakan.
Ada yang membiarkan dan ada yang melarang.

Pada akhirnya, birokrasi yang berbelit, lamban dalam merespons, dan ragu-
ragu telah berakibat pada efektivitas penanganan Covid-19. Kondisi ini berakibat
pada sulitnya menekan angka positif Covid-19 di Indonesia, bahkan angka kematian
akibat Covid-19. Oleh karena itu, DPR perlu menjalankan fungsi pengawasannya
terhadap pemerintah agar kebijakan yang dikeluarkan tidak berbenturan satu dengan
yang lainnya serta memastikan masyarakat terpenuhi hak-hak kesehatannya pada
masa Covid-19. Tantangan dalam Mewujudkan Agilitas Birokrasi Persoalan yang
timbul dari sisi birokrasi selama masa pandemi Covid-19 harus segera direspons,
karena berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan percepatan penanganan Covid-19
ditentukan oleh birokrasi. Hal ini senada dengan pidato Presiden China Xi Jinping
yang mengatakan bahwa musuh terbesar dalam melawan Covid-19 adalah birokrasi
(Kompas,16 April 2020: 6). Birokrasi dalam penanganan Covid-19 dirasakan seperti
‘tulang punggung’, yang menopang segala upaya penanganan Covid-19. Namun,
birokrasi Indonesia tampaknya masih memperlihatkan perilaku birokrasi Weberian
yang terpaku pada regulasi dan prosedur hierarki. Akibatnya birokrasi Indonesia
terkesan lamban dan tidak cekatan dalam menghadapi persoalan pandemi Covid-
19.

Dalam situasi darurat, birokrasi seharusnya mempraktikkan paradigma agilitas


birokrasi sehingga mampu menghadapi perkembangan baru. Paradigma agilitas

20
birokrasi di Indonesia tidak mudah diwujudkan karena pola birokrasi di Indonesia
sedikit banyak masih terpengaruh oleh budaya organisasi yang dibawa pada masa
Orde Baru yang cenderung bersifat vertikal (top down) daripada horizontal (bottom
up) sehingga kepekaan birokrasi dalam merespons perkembangan di masyarakat
masih rendah. Kondisi saat ini, dimana pemerintah dihadapkan berbagai opsi yang
sama buruknya dan berimplikasi pada munculnya ego sektoral, mewujudkan agilitas
birokrasi hanya bisa terwujud dengan kemauan birokrasi untuk berubah dan
bergerak (Purwanto,2019). Birokrasi harus bersama-sama menyadari bahwa
pandemi ini harus segera ditangani karena tidak lagi berbicara angka melainkan
nyawa, sehingga persoalan dualisme kebijakan seperti pada Kemenhub dan
Kemenkes terkait kebijakan ojol tidak terjadi. Selain birokrasi yang harus berubah,
hal yang diperlukan dalam 27 mewujudkan agilitas birokrasi adalah fleksibilitas.
Fleksibilitas birokrasi membutuhkan adanya diskresi (keleluasaan). Hal ini
dikarenakan pada masa sekarang ini pemerintah berhadapan kondisi yang penuh
dengan ketidakpastian.

Diskresi menjadi opsi penting bagi birokrasi untuk menyelamatkan dan


melindungi masyarakat dengan berpegang bahwa ada urgensi dan kedaruratan di
lapangan guna mengantisipasi terjadinya kejadian-kejadian serta konsekuensi yang
tidak diinginkan (Hamzah, 2014). Namun tampaknya kata-kata diskresi masih
menjadi momok bagi birokrat karena ketakutan berhadapan dengan hukum. Padahal
dalam kondisi bencana seperti saat ini diskresi bisa jadi diperlukan karena belum
tersedianya petunjuk teknis dan pelaksanaan misalnya. Birokrasi juga tidak perlu
takut melakukan diskresi karena dilindungi oleh UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Menurut UU tersebut, pejabat pemerintahan dapat
melakukan diskresi asal memiliki tujuan, memenuhi persyaratan, dan mematuhi
prosedur yang telah diatur dalam UU. Putusan MK No.25/PUUXIV/2016 juga telah
mempertegas bahwa UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan perlindungan
terhadap pejabat pemerintah apabila yang bersangkutan diduga melakukan
penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara (akibat tindakan
diskresi yang dilakukannya). Hal lain yang diperlukan untuk mewujudkan agilitas
birokrasi dalam rangka mempercepat penanganan Covid-19 adalah informasi.

21
Permasalahan yang saat ini terjadi adalah adanya simpang-siur informasi
terkait jumlah kasus Covid-19, yaitu adanya perbedaan jumlah kasus antara
pemerintah pusat dan daerah. Adanya ketidakjelasan informasi berdampak pada
ambiguitas birokrasi dalam memutuskan kebijakan yang tepat dan akhirnya dapat
merugikan banyak pihak serta mengancam jiwa. Pemerintah harus transparan dan
akurat dalam memberikan informasi terkait Covid-19 dengan selalu melakukan
sinkronisasi data antara pemerintah pusat dan daerah sehingga tidak terjadi
informasi yang simpangsiur di masyarakat. Informasi tersebut harus mudah diakses
oleh masyarakat. Metode yang dapat digunakan untuk mewujudkan agilitas birokrasi
yaitu dengan mengubah upfront planning menjadi incremental planning (Dhir dan
Sushil dalam Purwanto, 2019). Hal tersebut dilakukan dengan cara pemerintah harus
menetapkan kualitas produk layanan di awal dan memastikan kualitas layanan
terjaga melalui serangkaian proses serta mulai mengidentifikasi dan mengatasi
berbagai risiko teknis yang muncul sejak awal, sehingga dapat meminimalisasi
dampak yang muncul akibat perubahan. Itu sebabnya agar birokrasi berjalan baik
dalam masa pandemi Covid-19, kebijakan yang dibuat sudah harus ajeg, tidak
raguragu dan berdasarkan analisis yang mendalam.

Kebijakan yang baik adalah apabila kriteria kebijakan dan indikator keberhasilan
kebijakan sudah jelas. Kinerja birokrasi untuk menjalankan kebijakan pemerintah
mengatasi Covid-19 juga tidak boleh kendor. Dalam masa PSBB, dimana bekerja
dilakukan di rumah, birokrat juga harus dapat menyesuaikan kondisi tersebut.
Working from Home (WFH) yang diterapkan dalam birokrasi tidak boleh menghambat
pelayanan publik. Oleh karena itu e-government (e-gov) harus sudah menjadi
sebuah kebijakan dalam 28 tata kelola pemerintahan Indonesia. Sebuah kebijakan
yang sudah lama terhambat pembentukannya, padahal e-gov sudah menjadi salah
satu pilar reformasi birokrasi di Indonesia. WFH yang diberlakukan saat ini telah
memperlihatkan birokrasi Indonesia yang belum siap sepenuhnya dengan e-gov.
Selanjutnya, peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agilitas
birokrasi, khususnya kesiapannya dalam menghadapi setiap kondisi yang tidak
menentu dan tidak dapat diprediksi. Diperlukan karakter servant leadership yang
memiliki visi yang jelas, mampu mendengarkan, dan mengakomodasi suara

22
bawahan dan rakyatnya serta mampu menggerakkan bawahannya menjadi lebih
adaptif dan gesit dalam menghadapi berbagai kondisi yang tidak dapat diprediksi.

23
BAB III

Penutup

Kesimpulan

Penjelasan di atas kiranya telah memberikan informasi tentang model perubahan


administrasi yang dipilih pemerintah-pemerintah di Nusantara untuk merespon
perkembangan lingkungan sosial, politik dan ekonominya. Perubahan administrasi dapat
dikatakan dimulai pada awal abad ke-19, ketika pemerintahan Raffles berusaha
memodernisasikan administrasinya sesuai dengan semangat zaman: munculnya negara
bangsa dan terjadinya revoluasi industri di Eropa dengan segenap nilainya yang rasional,
analitik, serba tertulis dan efisien.

Ketika kemerdekaan melepaskan keterkekangan yang lama, mekarlah demokrasi politik


yang ironisnya melahirkan nepotisme. Ini direspons dengan rasionalisasi administrasi.
Ketika kemudian pemerintah berhasil menguasai sistem politik, mereka mengundang
masuknya modal asing dan melancarkan program pengurangan kemiskinan dan
peningkatan kesejahteraan. Untuk itu digunakanlah model administrasi pembangunan.
Namun ketika dana pemerintah berkurang, mereka mengurangi perannya melalui proses
deregulasi dan debirokratisasi. Ini berlanjut terus hingga ketika dirasakan perlunya
mempersiapkan diri menghadapi globalisasi perdagangan dan melesatnya teknologi
informasi dirasakan perlunya mempertegas modernisasi administrasi lagi. Terakhir,
ketika demokrasi “terbatas” selama pemerintahan pembangunan mulai dirasakan terlalu
pengap, diusulkanlah perubahan administrasi dalam bentuknya reformasi administrasi.

24

Anda mungkin juga menyukai