Anda di halaman 1dari 14

Radioterapi, Teknologi yang terus Berkembang

Oncologi radiasi adalah gabungan antara disiplin ilmu kedokteran/ klinis


dan sain yang dicurahkan untuk me-manage pasien-pasien dengan kanker. Tujuan
radioterapi adalah memberikan dosis radiasi yang mematikan tumor pada daerah
yang telah ditentukan (volume target) sedangkan jaringan normal sekitarnya
mendapat dosis seminimal mungkin dengan demikian akan dicapai rasio terapi
yang optimal dengan tingkat efek samping yang minimal yang dikenal dengan
“Therapeutic ratio“ Semakin tinggi therapeutic ratio semakin baik hasil yang di
peroleh, hal tersebut dapat ditingkatkan dengan upaya-upaya,  perkembangan ilmu
Radiobiologi, Perkembangan teknologi dari peralatan radioterapi, Kompetensi
dari Sumber Daya Manusia (SDM), Perlengkapan Sarana dan Fasilitas, Quality
assurance Fisika.
Keberhasilan radioterapi tersebut tidak terlepas dari dukungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi dasar ilmu onkologi
radiasi, yaitu Radiobiologi, Fisika radiasi, Onkologi dan Teknologi peralatan 
radiasi yang berbasis komputer. Dan sejalan pula dengan kemajuan dalam
teknologi pencitraan. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan planning
dengan peralatan yang baik dan tenaga yang terlatih. Hal ini sangat ditunjang
dengan kemajuan teknologi dari alat-alat radioterapi dan kemajuan dari komputer.
Perkembangan teknologi di dunia kedokteran tidak dapat dipungkiri telah
membantu penderita penyakit untuk sembuh dari sakit yang dideritanya dan/atau
meningkatkan kualitas hidup penderita tersebut. Salah satu perkembangan
teknologi yang sedang diperhatikan dan terus diikuti oleh kalangan praktisi dunia
kedokteran adalah kemajuan di bidang yang berkaitan dengan perang terhadap
penyakit yang digolongkan sebagai penyakit mematikan dan telah menelan
banyak korban di seluruh dunia, kanker.            
Beberapa metode dapat diterapkan dalam penanganan penyakit keganasan
ini, atau yang lebih dikenal dengan penyakit tumor ganas atau kanker, yaitu
operasi, kemoterapi, dan radioterapi. Metode-metode tersebut dapat diberikan
secara mandiri atau dikombinasikan dengan metode yang lain seperti kemo-radiasi
yaitu kombinasi kemoterapi dan radioterapi, metode penanganan yang akan
dilakukan ditentukan oleh dokter berdasarkan jenis kanker dan stadium (tingkat
keganasan) yang diderita. Metode penanganan kanker yang sarat dengan teknologi
canggih yang sedang dan terus berkembang secara pesat adalah radioterapi.
Radioterapi (atau juga dikenal dengan istilah terapi radiasi) menggunakan radiasi
untuk mematikan sel-sel kanker atau melukai sel-sel tersebut sehingga tidak dapat
membelah atau memperbanyak diri. Radioterapi dapat digunakan untuk meradiasi
kanker primer dan/atau gejala-gejala yang diakibatkan oleh kanker yang telah
meluas (metastasis).
Radioterapi dalam sejarahnya diawali dengan ditemukannya sinar-x oleh
Roentgen pada tahun 1895 dan radioaktifitas oleh Becquerel di tahun berikutnya.
Perkembangan revolusioner radioterapi dimulai sekitar tahun 1940.
Perkembangan teknologi karena aktifitas perang dunia kedua yang sedang terjadi
saat itu merupakan cikal bakal perkembangan pesat di bidang radioterapi.
Produksi radionuklida baru dari reaktor dan pemercepat partikel pada mulanya
digunakan untuk penelitian teknologi nuklir dan fisika energi tinggi, namun hal
tersebut juga memberikan manfaat dalam dunia kedokteran yaitu penggunaan
beberapa radionuklida baru yang dihasilkan untuk radioterapi, Co60 adalah salah
satu sumber yang paling umum digunakan untuk terapi berkas eksternal.
Perkembangan revolusioner berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah linear
accelerator atau pemercepat partikel linier, hal tersebut dimungkinkan karena
adanya pengembangan teknologi radar.            
Ada tiga prinsip dasar yang merupakan bagian dari radioterapi. Pertama,
terapi berkas eksternal, terapi ini merupakan metode yang paling umum
digunakan pada radioterapi. Terapi ini biasanya menggunakan modalitas berkas
foton atau sinar-x energi tinggi yang dihasilkan oleh pemercepat partikel linier,
sinar gamma yang dihasilkan oleh unit Co60 atau sinar-x energi yang lebih rendah
dengan rentang energi 50-300 kV juga dapat digunakan. Sebagai tambahan,
berkas elektron megavolt dapat juga digunakan untuk meradiasi tumor-tumor atau
kanker yang letaknya di permukaan. Selain itu partikel bermuatan seperti proton
dan pion juga sudah dan terus dikembangkan untuk keperluan radioterapi. Prinsip
yang kedua adalah brakiterapi yaitu terapi dengan menggunakan bahan radioaktif
tertutup yang diletakkan dekat atau pada tumor untuk memberikan dosis radiasi
terlokalisasi sehingga dosis pada jaringan normal di sekitarnya dapat
diminimalisasi, metode ini sangat terbatas penggunaannya dan sangat tergantung
pada letak serta ukuran tumor. Dan metode yang sangat jarang digunakan adalah
terapi sumber radioaktif terbuka.
Perkembangan teknologi radioterapi khususnya terapi radiasi ekternal
yang pesat terjadi karena didukung oleh perkembangan di dunia komputerisasi.
Perkembangan tersebut juga seiring dengan perkembangan dalam teknik
pencitraan (radiodiagnostik) seperti computed tomography (CT), kedokteran
nuklir (gamma camera), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasonografi
(USG), dan computed radiography. Keseleruhan teknik pencitraan tersebut
memberikan peranan penting dalam penentuan letak maupun ukuran tumor
dengan presisi tinggi. Beberapa rumah sakit di Indonesia telah melengkapi
peralatan medisnya untuk memerangi kanker di negeri ini khususnya dengan
metode radioterapi, salah satu rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP).
Kontribusi RSPP dalam layanan radioterapi bagi bangsa ini sudah dimulai
sejak tahun 1971, sejak RSPP pertama kali dibuka. Pada saat itu RSPP memiliki
pesawat Co60 yang dilengkapi dengan pesawat simulator untuk perencanaan.
Sebagai informasi, pesawat Co60 dipasang pertama kali tahun 1951 di London,
dan menyebar ke seluruh dunia dan merupakan sumber radiasi utama dalam
radioterapi sampai dengan sekitar tahun 1971.1. Sehingga RSPP pada saat itu
memiliki pesawat Co60 termasuk masih sesuai dengan perkembangan dunia pada
saat itu. Sampai tahun 1976 survei IAEA (International Atomic Energy Agency)
menunjukkan bahwa di seluruh dunia baru ada 336 linac, yang 161 di antaranya
berada di Amerika Serikat.2 Di dunia hanya ada beberapa vendor linac, sejauh ini
yang terkenal adalah Varian, Siemens, dan Philips/Elekta. Rumah Sakit Pusat
Pertamina tahun lalu (2006) telah memasang pesawat linac Siemens Primus 2D
Plus. Pesawat yang ada dilengkapi dengan berbagai peralatan antara lain moving
laser yang ditempatkan pada pesawat CT multislice yang bertindak sebagai
simulator, TPS (treatment planning system) yang mampu untuk perencanaan 3D
(dimensi), sistem pembuatan blok pembentuk berkas, beberapa alat fiksasi pasien,
dosimeter absolut maupun relatif. Dengan semua perlengkapan yang ada tersebut
RSPP sudah dapat mulai memberi layanan radioterapi dengan perencanaan 3D.
Perencanaan 2 dan 3 dimensi Sebelum ada CT, perencanaan radioterapi 2D
dilakukan secara manual, dengan cara meletakkan kurva isodose standard pada
kontur tubuh pasien yang diambil langsung dari pasien menggunakan kawat
timbal yang lentur atau dengan gips.
Cara ini dilakukan di RSPP pada saat menggunakan pesawat Co60 yang
lalu. Setelah ada CT dan komputer, dasar perencanaan 2D menjadi lebih mudah.
Perencanaan tetap didasarkan pada anggapan bahwa pasien dapat diandaikan
sebagai suatu bidang yang berisi sumbu berkas utama. Informasi data pasien
diperoleh dari citra CT yang akan dipakai sebagai acuan perencanaan, dan semua
berkas utama yang akan dipakai diletakkan pada bidang tersebut. Distribusi dosis
dihitung pada satu bidang dan dapat dilihat dalam displai distribusi dosis dalam
2D, yang selanjutnya dipakai sebagai pemandu penyinaran. Padahal berbagai
struktur yang perlu diperhatikan dapat berada di luar bidang acuan perencanaan,
sehingga diperlukan pula informasi distribusi pada bidang lain. Seringkali
tambahan data pasien diambil dari satu atau lebih bidang lain yang sejajar dengan
bidang acuan, dan selanjutnya pada bidang tersebut dilakukan kalkulasi dosis
maupun distribusinya. Perencanaan demikian sering disebut perencanaan 2.5 D.
Perhitungan dosis tetap menggunakan algoritma 2D. Geometri berkas dan
pembobotan berkas tetap dilakukan pada bidang acuan, jarang dilakukan pada
bidang lainnya. Dengan perkembangan komputer, perencanaan 3D umumnya saat
ini sudah dapat dilakukan dengan semua TPS. Dalam perencanaan ini semua
sumbu utama berkas tidak harus berada dalam satu bidang. Dasar tujuan
perencanaan 3D adalah untuk memberikan dosis tumor tidak pada bidang tetapi
dalam volume. Data pasien diperoleh dari banyak irisan citra CT yang selanjutnya
diperoleh informasi dalam bentuk volume. Geometri berkas dan portal perlakuan
ditentukan berdasarkan penyinaran volume target dengan menghindari struktur
anatomi kritis yang harus dilindungi. Perencanaan 3D memungkinkan untuk
membuat simulasi akurat penyinaran dengan menggunakan berbagai geometri
berkas yang dimodifikasi. Distribusi dosis ditampilkan dalam volume, yang
tentunya dapat pula ditampilkan dalam bidang yang didasarkan pada distribusi
volume pada target maupun struktur normal kritis di sekelilingnya. Selain
distribusi dalam bentuk volumetrik, dalam perencanaan 3D juga dapat diperoleh
informasi histogram volume dosis kumulatif yang biasa disebut DVH (dose-
volume histogram). Informasi DVH ini memberi informasi fraksi volume struktur
kritis yang menerima dosis lebih besar dari suatu dosis tertentu. Informasi ini
penting untuk mengambil keputusan secara cepat dalam memilih perencanaan
yang tepat. Unit Radioterapi RSPP telah memiliki fasilitas TPS Pinnacle3 (Versi
terbaru V7.6c) dengan keunggulan simulasi maya atau virtual simulation, fasilitas
ini memungkinkan untuk melakukan perencanaan penyinaran dan akurasi yang
lebih tinggi dalam penempatan arah sinar sehingga jaringan sehat sekitarnya dapat
dilindungi secara optimal tanpa mengurangi dosis radiasi yang harus diterima oleh
tumor. Fasilitas ini juga meningkatkan kenyamanan pasien, setelah pasien di-
scanning di ruang CT scan maka pasien diperbolehkan untuk kembali ke rumah
atau ruang tempat pasien dirawat, dan keseluruhan proses perencanaan
selanjutnya dilakukan di komputer TPS. Hal tersebut sangat berbeda dengan
simulator konvensional.
Pada simulator konvensional pasien harus tetap berada di ruangan
simulator hingga tercapai hasil optimal perencanaan. Secara umum, pasien yang
direncanakan untuk radioterapi menggunakan fasilitas virtual simulator akan
berada pada ruangan simulator dengan waktu yang relatif lebih singkat
dibandingkan dengan simulator konvensional. Selain fasilitas virtual simulation,
TPS di Unit Radioterapi RSPP juga memiliki fasilitas Digital Reconstructed
Radiograph (DRR), fasilitas ini memungkinkan hasil CT scan biasa direkonstruksi
menjadi hasil radiografi biasa, dan juga Digital Composite Radiograph (DCR)
yang dapat menampilkan daerah pada tubuh yang menjadi perhatian dokter secara
khusus (region of interest) misalnya tulang, paru-paru, jaringan lunak, dan lain
sebagainya. Perencanaan juga dapat dioptimalkan dengan menggunakan beberapa
percobaan (trial) hingga mencapai hasil yang paling optimal, salah satu indikator
optimalisasi perencanaan tersebut menggunakan Dose Volume Histogram (DVH),
yaitu grafik perhitungan untuk membandingkan dosis yang diterima oleh volume
target tumor/kanker dengan dosis yang diterima oleh volume jaringan sehat
sekitarnya. Fasilitas-fasilitas tersebut digunakan dalam proses perencanaan yang
dilakukan oleh dokter ahli radiasi onkologi, dosimetris dan fisikawan medis
secara komprehensif untuk pencapaian hasil perencanaan optimal, dan jika pasien
membutuhkan alat-alat bantu radiasi seperti blok atau alat immobilisasi maka alat-
alat tersebut dapat dibuat di ruangan mould (mould room). Hasil perencanaan
yang telah dilakukan kemudian akan diproses melalui sistem jaringan informasi
terpadu ke sebuah sistem penunjang lainnya yaitu sistem pencatatan dan verifikasi
(record and verify system / R&V system). Sistem tersebut juga turut mengambil
bagian dalam menunjang keseluruhan proses radioterapi di Unit Radioterapi
RSPP.
Lantis R&V system merupakan salah satu sistem pencatatan dan verifikasi
yang sudah dikenal oleh masyarakat radioterapi di seluruh dunia, dan sistem ini
pula lah yang dimiliki oleh Unit Radioterapi RSPP (Versi 6.1). Sistem ini
langsung terhubung dengan beberapa sistem lainnya seperti TPS dan kontrol panel
pada mesin radioterapi sehingga sistem ini dapat mengkonfigurasi parameter-
parameter mesin secara otomatis sesuai dengan perencanaan dari komputer TPS,
hal tersebut dapat mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh
penata radioterapi (human error), setelah parameter-parameter tersebut
terkonfigurasi secara otomatis maka R&V system akan melakukan verifikasi ulang
terhadap parameter-parameter tersebut terhadap perencanaan yang telah
dilakukan. Keunggulan lain sistem ini adalah sistem pencatatan yang teratur dan
sangat mudah dioperasikan (operator friendly) tetapi tetap memperhatikan tingkat
proteksi yang tinggi terhadap keamanan data pasien. Secara keseluruhan, sistem
ini memungkinkan penggunanya untuk beralih ke teknologi paperless atau sistem
tanpa menggunakan pencatatan manual dengan kertas. Selain hal-hal di atas,
perencanaan 3D juga telah berkembang dengan berbagai teknik baru seperti
conformal planning. Beberapa perkembangan revolusioner lainnya adalah
Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT), Image-Guided Radiation
Therapy (IGRT), dan stereotactic surgery. Peralatan Dosimetri dan QA (Quality
Assurance). Radioterapi dengan linac berkaitan dengan dosis tinggi.
Dosis pada target memerlukan ketelitian tinggi, demikian pula distribusi
spasial dalam volume target serta struktur lain disekilingnya. Oleh karenanya
pengukuran dosis dan penentuan distribusi dosis spasial sangat penting dan
menentukan keberhasilan perlakuan radioterapi. Untuk pengukuran keduanya
diperlukan dosimeter absolut dan dosimeter relatif. Peralatan dosimeter absolut
diperlukan untuk untuk mengukur output pesawat yang sering disebut dengan
kalibrasi. Dosimeter relatif digunakan untuk mengukur distribusi dosis spasial
dalam medium, terutama dalam air yang dianggap simulasi jaringan lunak. Linac
di RSPP dilengkapi dengan dosimeter absolut maupun dosimeter relatif, dan hasil
pengukuran dengan dosimeter memenuhi ketelitian yang diperlukan klinis sesuai
dengan rekomendasi berbagai badan internasional seperti IAEA (International
Atomic Energy Agency) dan AAPM (American Association of Physicists in
Medicine). Quality assurance peralatan radioterapi merupakan salah satu
komponen penting dalam QA komprehensif onkologi radiasi. Tujuan utama QA
peralatan radioterapi adalah menjamin bahwa kinerja semua peralatan mempunyai
kinerja prima, berada dalam batas yang ditentukan. Hasil tes penerimaan dan
komisioning digunakan sebagai acuan untuk menentukan batas kinerja suatu
peralatan. Setiap peralatan didesain memiliki karakter kinerja fungsional yang
berpengaruh pada ketelitian geometri dan dosimetri dalam pemberian dosis pada
pasien. Pelaksanaan QA terutama merupakan evaluasi terus menerus karakter
kinerja peralatan. Rumah Sakit Pusat Pertamina memiliki berbagai peralatan QA
dan beberapa diantaranya buatan sendiri. Ada beberapa rekomendasi protokol
pelaksanaan QA yang diberikan oleh berbagai badan international. Salah satu
diantaranya yang digunakan oleh RSPP adalah rekomendasi QA oleh AAPM.3
Penemuan sinar X oleh Prof. Willem Conrad Roentgen pada penghujung
tahun 1895 telah membuka cakrawala kedokteran dan dianggap sebagai salah satu
tonggak sejarah yang paling penting untuk saat itu. Berbasis dengan penemuan ini
segera saja ilmu radiologi berkembang pesat ke seluruh dunia. Berbagai
pemeriksaan dengan menggunakan sinar pengion ini telah berhasil menguak
berbagai jenis penyakit yang saat itu dianggap masih merupakan misteri.
Perkembangan selanjutnya membuktikan bahwa sinar X ini bukan hanya
bermanfaat untuk mendiagnosis penyakit (disebut radiodiagnostik, yang kemudian
menjadi diagnosis imejing) tetapi juga dapat digunakan sebagai pengobatan
penyakit kanker (radioterapi, onkologi radiasi).
Dengan perkembangan teknologi maka saat ini diagnosis imejing
mencakup pemeriksaan dengan sinar X konvensional seperti pemeriksaan paru
(toraks), tulang, ginjal dan saluran kemih, saluran cerna dan sebagainya;
kemudian pemeriksaan intervensional untuk mendeteksi kelainan organ melalui
penilaian pembuluh darah yang dimasuki bahan kontras seperti angiografi otak,
hati, jantung dan sebagainya, serta mielografi untuk menilai keadaan sumsum
tulang belakang (medula spinalis). Memasuki era komputer maka pemeriksaan
tadi, terutama yang sifatnya invasif, segera saja dilengkapi oleh pemeriksaan non-
invasif seperti CT scan (Computerized Tomography Scanning) dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Ini bukan berarti kedua metode pemeriksaan
terakhir ini mengambil alih pemeriksaan pemeriksaan radiografi konvensional
lainnya. Tercatat pula perkembangan di bidang radiologi ini penggunaan
instrumen bukan pengion seperti ultrasonografi yang menggunakan gelombang
suara, MRI yang menggunakan enersi magnet.
PET scan merupakan pemeriksaan pencitraan (imejing) menggunakan
radionuklida (radioisotop) yang diberikan kepada pasien. Radionuklida ini akan
diakumulasi pada jaringan tubuh yang tidak normal. Adanya akumulasi
radionuklida ini akan mengakibatkan peningkatan kenaikan aktifitas radiasi yang
dapat ditangkap dengan alat monitor. Kenaikan aktifitas radionuklida ini berkaitan
dengan perbedaan aktifitas metabolisme dibandingkan dengan jaringan normal
sekitarnya. Dalam keadaan normal radionuklida ini akan tersebar merata pada
seluruh jaringan. Kelainan fungsional ini menjadi lebih bermanfaat manakala
dapat dilakukan penggabungan dengan CT scan, sehingga dapat diketahui lokasi
anatomis, yang disebut sebagai PET-CT scan. Kelainan tersering yang dicoba
untuk dideteksi adalah adanya tumor ganas di dalam otak atau jaringan lain yang
sulit untuk dideteksi dengan metode lain. Kegunaannya selain untuk membantu
diagnosis juga untuk mengikuti perkembangan tumor tersebut pada saat
memperoleh terapi misalnya radioterapi ataupun khemoterapi. Imejing
Diagnostik: 1. Pemeriksaan konvensional
 Tanpa kontras: Paru paru, tulang dan sendi, jaringan lunak
 Dengan kontras: saluran kemih, saluran cerna, saluran lain seperti sialografi,
duktulografi payudara, fistulografi, histerosalfingografi
2. Pemeriksaan intervensional
 Arteriografi, pemeriksaan pembuluh darah otak, hati, koroner jantung,
pembuluh balik (varises kaki). Pemeriksaan ini dapat diikuti dengan
tindakan terapi seperti pemasangan stent untuk mengatasi stenosis
pembuluh darah kecil. Juga dapat digunakan sebagai sarana pemberian
khemoterapi atau materi radioaktif ke dalam lesi ganas dalam hati.
 Mielografi, pemeriksaan sumsum tulang belakang (mielografi), limfografi
pemeriksaan saluran limfatik,
3. Pemeriksaan non-invasif (sebagai alternatif atau pelengkap tindakan intervensi)
 Computerized Tomography Scanning (CT Scan)
 MRI (Magnetic Resonance Imaging) 􀃆 bukan sinar pengion
 USG (ultrasonografi) 􀃆 bukan sinar pengion
4. Pemeriksaan dengan radionukleida (kedokteran nuklir)
 Bone scanning (pemindaian tulang), ginjal, tiroid (kelenjar gondok)
 PET Scan (Positron Emission Tomography) PET scan merupakan
pemeriksaan pencitraan (imejing) menggunakan radionuklida (radioisotop)
yang diberikan kepada pasien. Radionuklida ini akan diakumulasi pada
jaringan tubuh yang tidak normal. Adanya akumulasi radionuklida ini akan
mengakibatkan peningkatan kenaikan aktifitas radiasi yang dapat ditangkap
dengan alat monitor.
Kenaikan aktifitas radionuklida ini berkaitan dengan perbedaan aktifitas
metabolism dibandingkan dengan jaringan normal sekitarnya. Dalam keadaan
normal radionuklida ini akan tersebar merata pada seluruh jaringan. Kelainan
fungsional ini menjadi lebih bermanfaat manakala dapat dilakukan
penggabungan dengan CT scan, sehingga dapat diketahui lokasi anatomis, yang
disebut sebagai PET-CT scan. Kelainan tersering yang dicoba untuk dideteksi
adalah adanya tumor ganas di dalam otak atau jaringan lain yang sulit untuk
dideteksi dengan metode lain.
Kegunaannya selain untuk membantu diagnosis juga untuk mengikuti
perkembangan tumor tersebut pada saat memperoleh terapi misalnya radioterapi
ataupun khemoterapi. SPECT Scan (Single Photon Emision Computed
Tomography) mempunyai tujuan pemeriksaan yang sama dengan menggunakan
sarana dan radionuklida yang berbeda
Radioterapi Onkologi Radiasi: Pengobatan tumor ganas menggunakan sinar
pengion. Sinar pengion yang digunakan di dunia medis dapat berupa isotop: sinar
gamma yang diperoleh dari unsur radium, kobalt, sesium, iridium atau sinar yang
dibangkitkan seperti sinar X, elektron, atau berupa partikel proton, neutron.
Belakangan di negara maju digunakan heavy ions karbon.
Pada awalnya, tidak lama setelah penemuan sinar X, diketahui bahwa sinar
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan manusia. Karena itu
mulailah dilakukan pengobatan kanker dengan sinar X tanpa dasar pengetahuan
patologi onkologi serta radiobiologi. Pada sebagian besar pasien terjadi kematian
jaringan kanker, namun tidak lama kemudian timbul anak sebar di kelenjar getah
bening regional atau bahkan di tempat jauh. Selain itu jaringan sehat juga
mengalami kerusakan yang cukup hebat sehingga tidak jarang mengakibatkan
kematian pasien. Juga saat itu belum diketahui jenis kanker apa saja yang dapat
diatasi dengan pengobatan sinar dan mana yang tidak dapat.
Demikian pula tidak diketahui dosis radiasi yang diberikan, namun
sebagian besar memberikan dalam jangka waktu yang panjang sekali pemberian.
Dengan lebih banyaknya kerugian yang didapat dibandingkan dengan keuntungan
nya maka secara pelahan radioterapi mulai ditinggalkan oleh para dokter. Namun
demikian penelitian terus berlangsung sampai akhirnya diketahui berbagai macam
fakta yang merupakan dasar dasar pengobatan radiasi sampai saat ini.
Dimulai dengan pengetahuan mengenai adanya perbedaan kepekaan antara
jaringan yang berbeda berdasarkan jenis dan asal jaringan kanker, jenis
diferensiasi tumor serta kadar oksigen dalam jaringan. Demikian pula diketahui
bahwa pemberian radiasi harus dilakukan dengan metode fraksinasi, yakni dosis
yang diberikan sebanyak 180 – 200 rad (sekarang menjadi cGy) perkali pemberian
yang rata rata diberikan sebanyak 5 kali dalam seminggu dengan jumlah total 25
sampai 30 kali. Ini merupakan dasar pemberian radiasi konvensional. Pada
perkembangan selanjutnya metode pemberian ini dapat dimodifikasi menjadi 10
kali per minggu dengan dosis perkali lebih rendah atau tetap. Modifikasi ini
disebut sebagai hiperfraksinasi. Perubahan ini dilakukan setelah diketahui bahwa
sel (sehat maupun kanker) mempunyai daur normal yang terbagi atas fase fase
G1,2,M dan S. Diketahui bahwa sel akan menjadi sensitif terhadap radiasi pada
fase M.
Perkembangan metode radiasi banyak dipengaruhi oleh kemajuan
teknologi, baik dari segi mekanik, elektronik dan terutama komputer. Radiasi
eksterna yang tadinya diberikan dengan lapangan sederhana seperti 1 atau 2
lapangan saat ini dimungkinkan untuk diberikan lapangan multipel tanpa atau
dengan alat bantu, dalam keadaan statis atau dinamis. Semua ini bertujuan untuk
memperoleh hasil pengobatan yang optimal berupa penghancuran jaringan kanker
semaksimal mungkin dan kerusakan jaringan sehat seminimal mungkin. Dengan
demikian akan diperoleh kesintasan hidup jangka panjang dengan
mempertahankan fungsi organ normal. Pasien akan hidup dengan kwalitas hidup
yang tinggi.
Untuk memperoleh hasil ini semua maka pengobatan radiasi seringkali
dikombinasikan antara radiasi eksterna dengan brakhiterapi. Pemberian
brakhiterapi metode afterloading dengan sumber isotop laju dosis tinggi
merupakan perkembangan terkini, yang sekalipun telah dilakukan sejak 25 tahun
lalu, yang masih banyak memberi manfaat pada berbagai jenis kanker.
Brakhiterapi dapat dilakukan dengan metode intrakaviter, intraluminal ataupun
dengan cara mengimplantasikan jarum jarum radioaktif ke dalam jaringan tumor
dan jaringan sehat sekitarnya.
Dengan berkembangnya metode radiasi IMRT (Intensity Modulated Radio
Therapy) dapat menggantikan brakhiterapi pada beberapa jenis keganasan. dan
pemberian brakhiterapi menjadi dianggap terlalu invasif. Perkembangan ini juga
membuahkan metode radiasi yang terarah pada satu titik (pin point) seperti
kelainan pada jaringan otak seperti tumor primer otak, metastasis atau kelainan
non maligna seperti arterio venous malformation (AVM) dengan menggunakan
radiasi stereotaktik. Dengan radiasi stereotaktik akan diperoleh daerah radiasi
yang terbatas hanya pada kelainan dan tidak pada jaringan otak yang sehat. Alat
yang dikenal untuk melakukan ini dikenal sebagai Gamma Knife (apabila
digunakan sumber kobalt) atau X-knife bila digunakan sinar X.
Sebelum melakukan radiasi definitif pada pasien maka seluruh data data,
baik jenis sinar yang digunakan, daerah target penyinaran serta anatomi potongan
lintang dengan CT scan, daerah organ kritis yang sepatutnya dihindari
dimasukkan ke dalam computerized treatment planning system (TPS).
Keluarannya berupa arah sinar yang dianjurkan dengan jumlah lapangan radiasi,
dosis persentasi serta dosis pada beberapa lokasi seperti tumor primer serta organ
kritis. Salah satu keluaran dari TPS digunakan untuk aplikasi pada daerah yang
akan diradiasi dengan menggunakan simulator. Simulator merupakan sarana
dengan menggunakan sinar-X yang bertujuan menetapkan daerah radiasi baik
pada tumor primer dan dapat pula pada kelenjar getah bening setempat. Simulator
ini menjadi lebih kompleks, manakala digunakan secara online dengan pesawat
CT scan. Dengan CT simulator ini maka akan diperoleh bukan hanya data data
yang diperlukan untuk menetapkan daerah radiasi sederhana tetapi juga mampu
untuk memberikan distribusi dosis secara merata pada berbagai bentuk tumor
yang ireguler.
Perkembangan pengetahuan mengenai khemoterapi serta antibody
monoklonal sebagai kombinasi radiasi, baik sebagai neo ajuvan, konkomitan serta
ajuvan telah memberikan tempat tersendiri bagi pengobatan penyakit kanker
secara terintegrasi. Pemberian khemoterapi digunakan antara lain untuk
memperkecil tumor sedemikian rupa sehingga lapangan radiasi menjadi lebih
kecil yang memberi keuntungan rendahnya efek samping lokal akibat radiasi.
Apabila khemoterapi ini diberikan bersamaan maka diharapkan terjadi efek
sinergi dari metode radiasi dan khemoterapi yang mengakibatkan tumor menjadi
lebih peka terhadap radiasi ketimbang apabila radiasi diberikan secara mandiri.
Khemoterapi ini juga memberikan keuntungan karena kemampuannya mencegah
terjadinya metastasis jauh, karena radiasi sifatnya hanya membunuh jaringan
kanker yang tercakup dalam lapangan radiasi.
Dalam bidang radioterapi untuk pengobatan kanker. Sekitar tahun 1951
usaha peningkatan kualitas radiasi dari sinar X kilovolt menjadi radiasi gamma Co
60 dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan era sinar X megavolt yang dimulai
pada tahun 1970 an. Saat ini di negara maju sinar X megavolt telah menggusur
radiasi gamma Co 60. Dalam bidang radioterapi, selain radioterapi eksternal
dikenal pula brakhiterapi dan radioterapi internal. Keduanya memanfaatkan
radiasi pengion yang diproduksi oleh sumber radioaktif. Brakhiterapi
menggunakan sumber radioaktif tertutup dengan cara implantasi atau dengan
meletakkannya dekat tumor. Peningkatan optimasi terfokus untuk memberikan
dosis radiasi tinggi pada tumor dan dosis rendah pada jaringan tetangga sekitar
tumor. Di lain pihak, radioterapi internal menggunakan sumber radioaktif terbuka
yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui injeksi ataupun secara oral, melalui
proses metabolisme diarahkan pada organ tertentu. Kemajuan brakhiterapi
maupun radioterapi internal seiring dengan peningkatan penemuan berbagai
material radioaktif buatan. 
Terapi radiasi ini lelah dilakukan tidak lama setelah Rontgen menemukan
sinar X pada Nopember 1895 iebih dari 1 abad yang lalu. Tidak lama kemudian
Curie menemukan suatu zat radioaktif yaitu Radium pada tahun 1898 yang
kemudian dipergunakan sebagai bentuk terapi radiasi dan menjadi petopor
brachytherapy. Sejalan dengan penemuan-penemuan tersebut, berkembang pula
pengetahuan di bidang Radiofisika dan Radiobtologi, yang menjadi dasar
pengetahuan dan penerapan dalam bidang ilmu Radioterapi. Perkembangan
selanjutnya adalah berkembang pula cabang i!mu yang mempelajari keganasan
yang disebut Onkologi pada berbagai cabang ilmu yang lain antara lain, Onkologi
Dasar, Histopatologi Onkologi, Onkoiogi Medfk, Onkologi Bedah, Onkologi
Ginekologi, Onkologi Radiasi, dtl; yang mempelajan secara mendalam mengenai
keganasan.
Perkembangan radioterapi juga ditentukan dengan diciptakannya aiat-alat
canggih berupa pesawat radiasi eksternaf, brakiterapi. Treatment Planning System,
Simulator, CT Scan Simulator, yang keseluruhannya telah terkomputerisasi.
Sejalan dengan itu juga dikembangkan teknik-teknik radiasi, sehingga radiasi
dapat diberikan dengan akurat dan aman, Oleh karena itu pendekatan penanganan
keganasan saat ini, baik untuk Diagnostik maupun untuk Terapi adalah
pendekatan Multi Disiplin, sehingga pasien tidak ditangani secara sendiri-sendiri
di tiap disiplin ilmu.
Onkologi Radiasi sendrri adalah cabang ilmu klinik yang mengobati
kanker dan penyakit lain dengan sinar pengion, baik radioterapi saja maupun
kombinasi dengan bentuk pengobatan lain, mengadakan penelitian di bidang
fisika radiasi dan radiobiologidan pendidikan di bidang profesi. Radiation therapy
adalah cabang ilmu yang hanya mengobati pasien dengan keganasan dan bukan
keganasan dengan sinar pengion.
1. Karyanto, Bambang Dwi. 2010. “Radioterapi, Teknologi yang Terus
Berkembang”
https://cafe-radiologi.blogspot.com/2010/10/artikel-radioterapi.html
2. Susworo. 2007. “Perkembangan Ilmu Radiologi : Diagnostik(imejing),
Terapi(onkologi radiasi), Kedokteran Nuklir
https://radiologitop.wordpress.com/2013/12/28/perkembangan-ilmu-radiologi-
diagnostik-terapi-kedokteran-nuklir/
3. No Name. 2014. “Radioterapi”
https://cahayarontgen.blogspot.com/2014/05/radioterapi.html
4. No Name. 2011. “Perkembangan Ilmu Radiologi”
https://radiograferatrosumbar.blogspot.com/2011/05/perkembangan-ilmu-
radiologi.html
5. No Name. 2016. “Perkembangan Ilmu Radiologi”
https://www.rsmargono.go.id/penunjang/radioterapi

Anda mungkin juga menyukai