Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HIRSCHPRUNG

Disusun Oleh:
Kelompok 8
1. Aryanti Dwi Safitri
2. Jinni Simamora (201941028)
3. Iwing Suci Wuan Astuti (202041007)
4. Lydia Anggraini
5. Juliana Dewi (202041008)
6. Winda Nur Madinah (202041018)

Dosen Pembimbing:
Ns. Oryza Intan Suri M, Kep.

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ICHSAN MEDICAL CENTRE
BINTARO

Jl. Jombang Raya No.56, Pd. Pucung, Kec. Pd. Aren, Kota Tangerang Selatan,
Banten 15229

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah yang berjudul “HIRSCHPRUNG ”.


Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusid dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Sebagai penyusun, saya merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 14 Juni 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................3
A. Definisi...................................................................................................................3
B. Etiologi...................................................................................................................3
C. Patogenesis.............................................................................................................3
D. Patofisiologi...........................................................................................................4
E. Tanda dan Gejala....................................................................................................5
F. Faktor Resiko Hirschprung.....................................................................................6
G. Diagnose Hirschprung............................................................................................6
1. Anamnesis..............................................................................................................6
2. Pemeriksaan Fisik..................................................................................................7
3. Pemeriksaan Radiologi...........................................................................................7
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi..............................................................................8
5. Pemeriksaan Manometri.........................................................................................9
H. Pencegahan Hirschprung......................................................................................10
J. PENATALAKSANAAN HIRSCHPRUNG.............................................................10
BAB III.....................................................................................................................13
PENUTUP................................................................................................................13
A. Kesimpulan......................................................................................................13
B. Saran................................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Insiden penyakit hirschprung di Indonesia belum begitu
jelas. Jika diperkirakan angka insiden 1 diantara 5000 kelahiran
hidup, maka dapat diprediksi dengan jumlah penduduk 220 juta
dan tingkat kelahiran 35 per juta kelahiran, akan lahir
1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschprung.
Di RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40
penderita penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya.
Penyakit hirschprung dianggap sebagai kasus
kegawatdaruratan bedah yang perlu penanganan segera. Jika
tanpa penanganan segera, maka mortalitas dapat mencapai
80% pada bulan-bulan pertama kehidupan. Dengan
penanganan yang tepat angka kematian dapat di tekan. Menurut
Swenson (2002) jika dilakukan tindakan bedah angka kematian
bisa ditekan hingga 2,5%.
Penyakit hirschprung merupakan salah satu penyakit kongenital
saluran cerna yang sering terjadi pada bayi dengan insidensi 1 dari 1500-
7000 kelahiran hidup di seluruh dunia. Kejadian pada bayi laki-laki lebih
banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan
insidensi pada kasus- kasusdengan faktor risiko familial yang rata-rata
mencapai 6% (Kapur, 2009).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hirschprung?
2. Apa Etiologi Hirschprung?
3. Apa Patogenesis Hirschprung?
4. Apa Patofisiologi Hirschprung?
5. Sebutkan Tanda dan gejala Hirschprung?
6. Apa Faktor resiko Hirschprung?

1
7. Apa Diagnosa Hirschprung?
8. Apa Pencegahan Hirschprung?
9. Apa Pengobatan Hirschprun?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Hirschprung?
2. Mengetahui etiologi Hirschprung?
3. Mengetahui patogenesis Hirschprung?
4. Mengetahui patofisiologi Hirschprung?
5. Mengetahui tanda dan gejala Hirschprung?
6. Mengetahui faktor resiko Hirschprung?
7. Mengetahui diagnosa Hirschprung?
8. Mengetahui pencegahan Hirschprung?
9. Mengetahui pengobatan Hirschprung?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit Hirschprung atau megakolon aganglionik adalah anomali
kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak
adakuatan motilitas sebagian dari usus (Imseis dan Gariepy, 2012).
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan perkembangan dari sistem saraf
enterik dengan karakteristik tidak adanya sel ganglion kolon dan kolon
tidak bisa mengembang. Pada kondisi klinik penyakit Hirschprung lebih
dikenal dengan megakolon kongenital. Pada tahun 1886, Harold
Hirschprung pertama kali mendeskripsikan penyakit Hirschprung sebagai
penyebab konstipasi pada awal masa bayi (Mustaqqin dan Sari, 2011).

B. Etiologi
Tidak adanya pleksus myenteric (Aurbach) dan pleksus submukosa
(Meissner). Sampai tahun 1930-an etiologi Penyakit Hirschprung belum
jelas diketahui. Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin,
Chandler, dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon
pada penyakit Hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristalsis
usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal. Sebelum tahun 1948
belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek ganglion pada kolon
distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung ataukah defek ganglion
pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon.

C. Patogenesis
Penyakit Hirschprung dapat terjadi dibagian kolon ascending
ataupun sigmoid. Tidak adanya ganglion penting seperti myenteric
(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) sehingga mengurangi
peristaltik usus dan fungsinya.Sel ganglion enterik berasal dari puncak

3
saraf. Selama perkembangan normal, neuroblasts ditemukan di usus kecil
pada minggu ke-7 kehamilan dan akan mencapai usus besar pada minggu
ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan penyebab penyakit Hirschprung
adalah kecacatan dalam migrasi neuroblast sehingga menyebabkan
kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di usus
besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup,
berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya neuroblast turun
kearah usus besar. Segmen yang agangloinik terbatas pada rektosigmoid
pada 75 % penderita, 10% seluruh kolonnya tanpa sel-sel ganglion (Imseis
dan Gariepy, 2012).
Tiga saraf pleksus usus seperti pada bagian submukosa (Meissner)
pleksus intermuskuler (Auerbach) pleksus mukosa pleksus kecil. Semua
pleksus ini terintegrasi dan halus terlibat dalam semua aspek fungsi usus,
termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas yang
normal terutama di bawah kendali neuron intrinsic meskipun kehilangan
persarafan ekstrinsik. Ganglia ini mengontrol kontraksi dan relaksasi otot
polos, dengan relaksasi yang mendominasi. Pada pasien dengan penyakit
Hirschprung, sel ganglion tidak hadir, yang mengarah ke peningkatan
dalam usus yaitu persarafan ekstrinsik. Bertambah banyaknya ujung-ujung
saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase
tinggi.
Persarafan dari kedua sistem kolinergik dan sistem adrenergik
menjadi 2-3 kali dari persarafan normal. Adrenergik (rangsang) sistem
diperkirakan mendominasi atas kolinergik (penghambatan) sistem, yang
menyebabkan peningkatan tonus otot polos. Dengan hilangnya saraf
intrinsik enterik penghambatan, menyebabkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi
fungsional (Lee, 2012).
D. Patofisiologi
Tidak adanya ganglion meliputi pleksus auerbach yang
terletak pada lapisan otot dan pleksus meissner pada
submukosa, mengakibatkan hipertrofi pada serabut saraf dan
terjadinya kenaikan kadar asetilkolinesterase. Enzim ini

4
merupakan produksi serabut saraf secara spontan dari saraf
parasimpatik ganglia otonom dalam mencegah akumulasi
neurotransmiter asetilkolin pada neuromuskular junction.
Ganguan inervasi parasimpatis ini akan menyebabkan
incoordinate peristalsis, sehingga mengganggu propulsi isi usus.
Obstruksi yang terjadi secara kronik akan menyebabkan distensi
abdomen yang dapat beresiko terjadinya enterokolitis.

E. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis penyakit hirschprung yang khas biasanya
terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan
evakuasi mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi
abdomen dan muntah hijau atau fekal, mirip tanda-tanda
obstruksi usus setinggi ileum atau lebih distal. Pada lebih dari
90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalam usia 24 jam
pertama, namun pada lebih dari 90% kasus penyakit
Hirschprung mekonium keluar setelah 24 jam. Berdasarkan
hasil penelitian, dari 123 pasien penyakit hirschprung hanya
pada 8 pasien (6,5%) mekonium keluar dalam 24 jam pertama.
Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket
dan dalam jumlah cukup.
Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya.
Swenson pada tahun 1973 mendapatkan tanda distensi abdomen
pada 87.1% kasus penyakit hirschprung neonatal. Distensi
abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah
dan dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum
dan Iain-lain.
Muntah yang berwarna hijau sering terjadi pada penyakit
hirschprung. Penyakit hirschprung dengan komplikasi
enterokolitis menampilkan distensi abdomen, demam dengan
disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau

5
busuk, dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna
kecoklatan atau tengguli.

F. Faktor Resiko Hirschprung


Ada banyak faktor risiko untuk Hirschprung, yaitu:
 Memiliki saudara kandung yang memiliki penyakit Hirschprung: Penyakit
Hirschprung dapat menurun. Jika memiliki seorang anak yang memiliki
kondisi ini, anak biologis selanjutnya dapat memiliki risiko.
 Laki-laki: Penyakit Hirschprung lebih umum terjadi pada laki-laki.
 Memiliki kondisi turunan lainnya: Penyakit Hirschprung terkait dengan
kondisi menurun lainnya, seperti Down syndrome dan kelainan lain yang
muncul sejak lahir, seperti penyakit jantung kongenital.

G. Diagnose Hirschprung
Diagnosis penyakit Hirchprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiologi, serta
pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum dan manometri,
diagnosis penyakit Hirschprung pada sebagian besar kasus dapat
ditegakkan (Kartono, 2010).
1. Anamnesis
a. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, yang
pada keadaan normal keluar dalam 24 jam.
b. Adanya muntah berwarna hijau.
c. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih
besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan
terhambat.
d. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita
keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal
sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi dan

6
kesulitan untuk buang gas (flatus) (Hidayat, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Bayi yang baru lahir jarang dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi sehingga pemeriksaan
fisik pada kasus penyakit Hirschpung sering dilakukan setelah beberapa
jam kemudian, pada penilaian inspeksi (melihat) sering terlihat perut
buncit yang membesar tanpa diketahui sebelumnya. Pemeriksaan
perkusi dan auskultasi pada pasien penyakit Hirschprung sering di
dengar suara berisi suatu masa ataupun kontraksi usus yang meningkat,
penurunan bising usus, dan suara timpani akibat abdominal mengalami
kembung. Pada palpasi akan teraba dilatasi kolon pada abdominal.
Namun pada anak-anak, perut buncit dan di tambah tidak mengeluarkan
mekonium (kotoran pertama) dapat dipertimbangkan bahwa
penyebabnya adalah penyakit Hirschprung (Lee, 2012; Mustaqqin dan
Sari, 2011). Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar
maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan
kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi (Mustaqqin dan Sari,
2011).

3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschprung. Biasanya gambaran foto polos abdomen
menggambarkan distensi lipatan usus dengan sedikit udara pada rectum.
Dan diagnosis didasarkan pada adanya bagian transisi antara usus
bagian proksimal yang melebar dan kolon bagian distal yang mengecil
karena disebabkan oleh nonrelaxation dari usus aganglionik. Bagian
transisi ini biasanya tidak terjadi pada 1-2 minggu kelahiran (Kartono,
2010). Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan
diagnosa penyakit Hirschprung adalah foto dengan barium enema,
dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal

7
yang panjangnya bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Foto radiografi diambil segera setelah injeksi kontras dan 24 jam
selanjutnya.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
bercampur dengan feses kearah proksimal kolon (Trisnawan dan
Darmajaya, 2009).

Gambar 2.2 Radiografi abdomen menunjukkan loop melebar usus.


Kontras enema menunjukkan karakteristik "zona transisi" yaitu transisi
antara recto menyempit.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Diagnosa histopatologi penyakit Hirschprung didasarkan atas absennya
sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-
mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak
penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan

8
semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut
syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai asetilkolinesterase,
juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-
antiperoksidase dan pewarnaan enolase. (Trisnawan dan Darmajaya,
2009). Hanya saja pengecatan imunohistokimia memerlukan ahli
patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat
memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya
perdarahan (Kartono, 2010).
Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat
penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa. Biasanya
biopsi isap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal
verge. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi
diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada spesimen, tempat
spesimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian
dari spesialis patologi anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi
akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7% (Rahman, Hannan dan
Islam, 2010).
Apabila hasil biopsi isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi
otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Biopsi otot rektum, yakni
pengambilan lapisan otot rektum. Di samping itu teknik ini dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum,
dan infeksi (Kartono, 2010).

5. Pemeriksaan Manometri
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis
meragukan (Trisnawan dan Darmajaya, 2009). Beberapa hasil

9
manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschprung adalah :
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik
c. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum
akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Pensabene
et al., 2003)

H. Pencegahan Hirschprung
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit Hirschprung
adalah:
1. Lakukan kontrol rutin ke dokter kandungan selama masa kehamilan.
2. Konsumsi makanan yang bergizi, dan minum air putih 2 - 2,5L perhari.
3. Hindari rokok dan alkohol.
4. Hati hati dalam konsumsi obat saat kehamilan.
5. Cukupi kebutuhan asamfolat dan zat besi selama masa kehamilan.

J. PENATALAKSANAAN HIRSCHPRUNG
Tujuan umum dalam penatalaksaan penyakit Hirchprung meliputi: (1)
untuk memperbaiki gejala klinis dan komplikasi yang tidak teratasi, (2)
untuk memonitor tindakan sementara sampai bedah rekonstruksi, dan (3)
untuk menjaga fungsi usus pasca pembedahan (Kartono, 2010).
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschprung
hanya dapat dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat
dilakukan tetapi hanya untuk sementara dimaksudkan untuk menangani
distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa
lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk
pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya
sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita
serta untuk menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tubuh
(Pieter, 2005).

10
Pilihan bedah bervariasi tergantung pada usia pasien, status mental,
kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari, panjang segmen
aganglionik, derajat dilatasi kolon, dan kehadiran enterokolitis. Pilihan
bedah kolostomi termasuk pada tingkat usus normal, irigasi rektal diikuti
oleh reseksi usus dan prosedur kolostomi (Mustaqqin dan Sari, 2011).
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan
operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat
untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan
kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan
memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan
operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dan
kemudian melakukan anastomosis antara usus yang ganglionik
dengan dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson,
prosedur Duhamel, prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi
anterior, prosedur Laparoscopic Pull-Through, prosedur Transanal
Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorektal (Hidayat,
2009).
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.
Manfaat lain dari kolostomi adalah: menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada
penderita penyakit Hirschprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomose. Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara
medic berhasil dan direncanakan bedah definitif langsung.
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi
kolostomi adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk

11
bedah reseksi usus pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah
reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal. Kolostomi dapat
berupa stoma ikat atau stoma ujung. Kolostomi dikerjakan pada:
1. Pasien neonatus.
Tindakan bedah definitif langsung tanpa kolostomi menimbulkan
banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai 28,6%,
sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran
anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis.
Kelompok pasien ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang
terlalu besar untuk dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah
definitif. Dengan tindakan kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil
kembali setelah 3 sampai 6 bulan pascabedaah, sehingga anastomosis
lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang lebih baik.
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang
buruk. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pasca
bedah, dengan kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan
keadaan umum. Pada pasien yang tidak termasuk dalam kategori 1, 2,
dan 3 tersebut dapat langsung dilakukan tindakan bedah definitif
(Kartono, 2010).
Kolostomi merupakan sebuah lubang yang dibuat oleh dokter ahli bedah
pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses (Bouwhuizen, 1999 dalam
Murwani, 2009). Lubang kolostomi yang muncul dipermukaan abdomen yang
berupa mukosa kemerahan disebut dengan stoma. Kolostomi dapat dibuat
secara permanen ataupun temporer (sementara) yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien (Murwani, 2009). Pada bayi, kolostomi dipertahankan sampai
anak cukup umur untuk dilakukan tindakan koreksi. Sebagian besar bayi dengan
penyakit hirschsprung mengalami pembedahan koreksi dan penutupuan kolostomi
pada usia antara 10 dan 20 bulan (Sodikin, 2011). Pembedahan repair ditunda
sampai berat anak 8 sampai 10 kg (James & Ashwill, 2007; Hockenberry &
Wilson, 2007).

12
Komplikasi pada stoma yang dapat terjadi jika tidak dilakukan perawatan
adalah dapat terjadi obstruksi atau penyumbatan karena adanya perlengketan
usus atau adanya pergeseran feses yang sulit dikeluarkan, stenosis akibat
penyempitan lumen, prolaps pada stoma akibat kelemahan otot abdomen,
perdarahan stoma akibat tidak adekuatnya homeostasis dari jahitan batas
mucocutaneus, edema jaringan stoma akibat tekanan hematoma peristomal dan
pengkerutan dari kantong kolostomi, nekrotik stoma akibat cedera pada
pembuluh darah stoma, dan retraksi atau pengkerutan stoma akibat kantong stoma
yang terlalu sempit atau tidak pas untuk ukuran stoma dan akibat jaringan scar
disekitar stoma (Blackley, 2003).
Kolostomi bisa memberikan kesempatan pada pasien untuk hidup dan
beraktivitas layaknya manusia normal (Wong et al., 2009). Namun tidak menutup
kemungkinan dampak dari pemasangan kolostomi tersebut dapat memengaruhi
kualitas hidup pasien. Anak yang terpasang stoma akan mengalami perubahan dari
segi fisik dan psikososial hal ini memengaruhi proses tumbuh kembang anak,
anak akan merasa terbatas dalam melakukan aktivitas. Franz & Wright (2004
dalam Sodikin, 2011) menjelaskan adanya komplikasi psikologi karena
pembedahan kolostomi yaitu perasaan takut terhadap stigma sosial yang dirasakan
terkait penggunaan kantong kolostomi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit hirschprung dan malformasi anorektal merupakan
penyakit kelainan kongenital yang masih menjadi masalah yang cukup
serius di Indonesia. Penatalaksanaan operasi malformasi anorektal ada 3
tahap yaitu pembuatan kolostomi, pembuatan saluran anus atau PSARP
(paskaerior sagital ano recto plasty), dan yang terakhir tutup kolostomi

13
(Betz & Sowden, 2009). Pentalaksanaan pada penyakit hirschprung terdiri
dari tindakan non bedah dan bedah. Tindakan non bedah dilakukan untuk
perawatan penyakit hirschprung ringan bertujuan untuk menghilangkan
konstipasi kronik dengan pelunak feses dan irigasi rektal. Hirschprung
sedang sampai berat dilakukan tindakan pembedahan.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu
tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahap ini dilakukan kolostomi, sehingga
akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi
pasien. Tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Ada beberapa
prosedur tindakan definitif yaitu membuang bagian aganglionik usus yang
dilanjutkan dengan proses anastomosis bagian proksimal dan distal yang bersifat
ganglionik, serta mempertahankan fungsi kanal dan sfingter anus ( Prosedur
Swenson's :2007; Hockenberry & Wilson, 2007).
B. Saran
Disarankan pada Ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya
secara rutin untuk deteksi dini adanya kelaian kongenital seperti penyakit
Hirschprung dan menjaga konsumsi nutrisi dengan seimbang sampai anak
dilahirkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suryandari Eka Artathi. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Hirschrprung


di Rumah Sakit Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto. Seminar Nasional
dan Presentasi Hasil- Hasil Penelitian Pengabdian Masyarakat. ISBN 978-
602-50798-0-1. Tahun 2013.
2. Nurhayati Dede, dkk. Kualitas Hidup Anak Usia Toddler Paska Kolostomi di
Bandung. Nurse of Journa. Vol. 2 No. 2 Nopember 2017 p-ISSN 2540-7937
e-ISSN 2541-464 X.

14
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.01/07/MENKES/474/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Penyakit Hirschprung.
4. https://www.halodoc.com/kesehatan/hirschprung
5. https://www.alodokter.com/komunitas/topic/bagaimna-cara-pencegahan-
penyakit-hisprung-

15

Anda mungkin juga menyukai