Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KELAINAN KONGENITAL

DIGESTIVE: HIRSCHSPRUNG & ATRESIA ANI

Mata Kuliah: Keperawatan Anak II


Dosen Pengampu: Oswati Hasanah, M.Kep., Sp.Kep.An
Disusun oleh: Kelompok 2A A 2020 2

1. Fajriyatul Kamal (2011135238)


2. Fathur Rahman (2011111504)
3. Febby Putri Ananda (2011113530)
4. Fiona Adhania (2011113268)
5. Fitrah Salam (2011125084)
6. Gesi Freona Br Satagih (2011135233)
7. Grace Sri Dewani (2011113182)
8. Haniifah Nurul Almas (2011113253)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2022
KATA PENGANTAR
.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Keperawatan Anak II dengan judul “Asuhan
Keperawatan Anak dengan Kelainan Kongenital Digestive: Hirschsprung & Atresia Ani”. Hanya
kepada-Nya penulis memohon pertolongan dan kemudahan dalam segala urusan. Salawat dan
salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad saw yang telah membimbing pada jalan yang
diridhai oleh Allah Swt. Adapun tujuan penulis dalam membuat makalah ini adalah untuk
melengkapi nilai pada mata kuliah kuliah Keperawatan Anak II program A 2020 2. Harapan dari
penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, terutama dalam meningkatkan
pemahaman tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan Kelainan Kongenital Digestive:
Hirschsprung & Atresia Ani. Adapun penyusunan makalah ini masih ada kekurangan. Untuk itu,
penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Penulis berharap kepada
pembaca makalah dapat memberikan kritik dan saran.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Pekanbaru, 24 Agustus 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4

A. LATAR BELAKANG ..................................................................................................... 4


B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................. 5
C. TUJUAN .......................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 7

A. Hirschsprung
1. Pengertian Hirschsprung .................................................................................... 7
2. Etiologi Hirschsprung.......................................................................................... 8
3. Klasifikasi Hirschsprung..................................................................................... 9
4. Manifestasi Klinis Hirschsprung ........................................................................ 9
5. Patofisiologi Hirschsprung .................................................................................. 10
6. Komplikasi Hirschsprung ................................................................................... 11
7. Pemeriksaan Diagnostik Hirschsprung ............................................................. 11
8. Penatalaksanaan Hirschsprung .......................................................................... 12
9. Askep Hirschsprung ............................................................................................ 12
B. Atresia Aini
1. Pengertian Atresia Aini ...................................................................................... 21
2. Etiologi Atresia Aini ........................................................................................... 21
3. Klasifikasi Atresia Aini ...................................................................................... 22
4. Manifestasi Klinis Atresia Aini .......................................................................... 23
5. Patofisiologi Atresia Aini .................................................................................... 23
6. Komplikasi Atresia Aini ..................................................................................... 24
7. Pemeriksaan Diagnostik Atresia Aini ............................................................... 24
8. Penatalaksanaan Atresia Aini ............................................................................ 25
9. Askep Atresia Aini .............................................................................................. 26

ii
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 32

A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 32
B. Saran................................................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hirschsprung atau mega kolon kongenital merupakan penyakit yang menyebabkan
gangguan pada saluran pencernaan, tepatnya pada usus besar. Hirschsprung atau mega kolon
congenital juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel
ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang
dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spinkter
rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan,
kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak ada ganglion
dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal. Penyakit hirschprung atau mega kolon congenital dapat terjadi pada
semua usia, namun yang paling sering pada neonatus.
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch
pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan serta mendeskripsikan mega colon
congenital pada tahun 1863 adalah Harald Hirschsprung. Namun, pada saat itu patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan
Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. Penyakit hirschprung terjadi
pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit hirschsprung. Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi
melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema,
rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu
dengan pembedahan dan colostomi.
Atresia ani merupakan salah satu kelainan kongenital yang terjadi pada anak. Atresia
ani (anus Imperforata) merupakan suatu keadaan lubang anus tidak berlubang.Atresia berasal
dari bahasa Yunani, yaitu berarti tidak ada, dan trepsis yang artinya nutrisi atau makanan.
Menurut istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya

4
lubang badan yang normal (Rizema, Setiatava P, 2012). Menurut WHO (World Healt
Organization) diperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh kematian bayi di dunia disebabkan
oleh kelainan kongenital. Di Eropa, sekitar 25% kematian neonatal disebabkan oleh kelainan
kongenital.
Di Asia Tenggara kejadian kelainan kongenital mencapai 5% dari jumlah bayi yang
lahir, sementara di Indonesia prevalansi kelainan kongenital mencapai 5 per 1.000 kelahiran
hidup. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat salah satu penyebab kematian bayi adalah
kelainan kongenital pada usia 0-6 hari sebesar 1% dan pada usia 7-28 hari sebesar 19%.
(Verawati dkk, 2015). Angka kejadian atresia ani di dunia adalah 1:5.000 kelahiran hidup
(Maryunani, Anik 2014). Populasi masyarakat Indonesia sebanyak 200 juta lebih, yang
memiliki standar angka kelahiran 35 per mil, diperkirakan akan lahir setiap tahun dengan
penyakit atresia ani sebanyak 1.400 kelahiran (Haryono, 2012). Di RSPAD khususnya di
Ruang IKA 1 penderita Atresia Ani termasuk 10 peyakit terbanyak berdasarkan data 3 bulan
terakhir yaitu bulan Oktober-Desember 2017 didapatkan jumlah total seluruh pasien yaitu 9
orang (RSPAD, 2017).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana asuhan keperawatan hirschprung?
2. Bagaimana asuhan keperawatan astresia ani?

C. TUJUAN
1. Tujuan umum: Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
keperawatan anak II dan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa/i tentang
hirschprung dan atresia Ani serta tindakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit hirschprung dan penyakit atresia ani.
2. Tujuan khusus:
1. Untuk mengetahui definisi dari hirschprung.
2. Untuk mengetahui etiologi hirschprung.
3. Untuk mengetahui klasifikasi hirschprung.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis hirschprung.

5
5. Untuk mengetahui patofisiologi hirschprung.
6. Untuk mengetahui komplikasi hirschprung.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik hirschprung.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan hirschprung.
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan hirschprung.
10. Untuk mengetahui definisi dari atresia ani.
11. Untuk mengetahui etiologi atresia ani.
12. Untuk mengetahui klasifikasi atresia ani.
13. Untuk mengetahui manifestasi klinis atresia ani.
14. Untuk mengetahui patofisiologi atresia ani..
15. Untuk mengetahui komplikasi atresia ani.
16. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik atresia ani.
17. Untuk mengetahui penatalaksanaan atresia ani..
18. Untuk mengetahui asuhan keperawatan atresia ani.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hirschsprung
1. Pengertian Hirschsprung

Penyakit Hirschprung atau megacolon kongenital adalah penyakit yang ditandai


dengan tidak adanya sel ganglion pada plexus myentericus (Aurbach) dan plexus
submucosa (Meissner) dari usus sehingga menjadi penyebab obstruksi terbanyak pada
neonates (Palissei, Wirawan, & Faruk, 2021). Sel ganglion berfungsi untuk mengontrol
kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus distal, tanpa adanya sel-sel ganglion
(aganglionosis) otot-otot dibagian usus besar tidak dapat melakukan gera peristaltik
(gerak mendorong keluar feses) (Radeanty, Ilawanda, & Anjarwati, 2020).

Pada periode bayi baru lahir, penyakit hirschprung sering datang ditandai dengan
gejala muntah-muntah, distensi abdomen, meconium keluar lebih dari 24 jam setelah
kelahiran dan muntah kehijauan. Komplikasi yang harus diwaspadai akibat penyakit
hirschprung adalah enterocolitis, perforasi usus dan sepsis yang merupakan penyebab
kematian tersering. Tanda dan gejala yang mucul yaitu berupa distensi abdomen dan
terkait dengan toksisitas sistemik yaitu demam, kegagalan pertumbuhan, periode
konstipasi yang diselingi dengan diare yang massif, dehidrasi, laterkgi dan syok (Maidah,
Ismet, & Santosa, 2020).

Pada tahun 1886, Harold Hirschsprung menemukan penyakit ini untuk pertama
kalinya. Ia menyimpulkan bahwa penyakit Hirschsprung dapat mengakibatkan nyeri
abdomen dan konstipasi pada bayi atau anak-anak, namun hal ini belum diketahui
patofisiologinya secara pasti. Hingga tahun1993, dimana Robertson dan Kermohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh
gangguan peristaltik di bagian distal akibat defisiensi sel ganglion pada organ usus
(colon) (Hidayat M, 2009).

7
2. Etiologi Hirschsprung

Penyebab belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor genetik dan
lingkungan, sering terjadi pada anak down syndrome, kegagalan sel neural pada masa
embrio pada dinding anus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada menyentrik dan
submukosa dinding plexus (Nurarif dan Kusuma, 2019).

Penyakit Hirschsprung terdapat migrasi sel neural crest, dimana proliferasi,


differensiasi, dan proses apoptosis yang berkontribusi terhadap sistem saraf enterik
menyebabkan sel ganglion tidak ditemukan dimulai dari anus, dan panjangnya
bervariasi ke proksimal. (Jiang et al., 2016)

a. Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus


myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mengemukakan bahwa hal ini disebabkan
oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke
anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. (“Grosfeld Pediatric Surgery
6thEdition.pdf,” n.d., p. 1356)

b. Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11, telah


ditemukan kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan
familial.Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular
yang diperlukan dalam pertumbuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya
yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor gene
(EDNRB) yang berlokasi pada kromosom 13q22. Sinyal dari gen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon.
(Corputty et al., 2015)

c. Kelainan Imunologi

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel
neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari

8
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada
segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease. (Butler et
al.,2013)

d. Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerakan
dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV
yang tinggi telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam
lingkungan mikro ini di dalam usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural
crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease. (Grosfeld et
al.,2006)

3. Klasifikasi Hirschsprung

Berdasarkan (Tang & Li, 2018) panjang segmen yang terkena, penyakit
hirschprung dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:

1. Penyakit hirschprung segmen pendek / short-segment HSCR (80%) segmen


aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 80% dari kasus penyakit
hirschprung dan sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan.

2. Penyakit hirschprung segmen panjang / long-segment HSCR (15%) daerah


aganglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon dan
sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan
perempuan.

3. Total colonic aganglionosis (5%) bila segmen mengenai seluruh kolon.

4. Manifestasi Klinis Hirschsprung

Manifestasi klinis penyakit hirschsprung terbagi menjadi dua periode, yaitu


periode neonatal dan periode anak-anak.

9
a. Periode Neonatal.

Trias gejala klinis yang sering ditemukan pada penyakit hirschsprung yaitu,
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat dikeluarkan segera. Pengeluaran
mekonium yang terlambat lebih dari 24 jam merupakan tanda klinis yang signifikan
pada HSCR. Namun, pengeluaran normal mekonium dalam 24 jam pertama
kehidupan didapatkan pada sebagian besar kasus TCA, yang mana tidak
menunjukkan gejala klasik seperti seharusnya sesuai dengan jenis HSCR lainnya
(Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).

b. Periode Anak-anak.

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan
gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen, jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau busuk, penderita biasanya buang air
besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi
(Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).

5. Patofisiologi Hirschsprung

Megakolon aganglionik merupakan istilah yang menggambarkan adanya


kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submucosa (Meissner) dan myenteric (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Keadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan peristaltik
yang menyebabkan penumpukkan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan
kerusakan (megacolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi
berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi
zat padat (feses), cairan dan gas.

Kegagalan migrasi kraniokaudal pada precursor sel ganglion sepanjang saluran


gastrointestinal antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12 merupakan penyebab
penyakit hirschsprung. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi
pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus

10
halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi atau anak dengan
penyakit hirschsprung (Radeanty, Ilawanda, & Anjarwati, 2020).

6. Komplikasi Hirschsprung

Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita


hisrchsprung yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai dengan demam. Swenson mencatat
hampir 1/3 kasus hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterocolitis, bahkan
dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).

7. Pemeriksaan Diagnostik Hirschsprung

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien hirschrsprung yaitu: biopsi,


kolonoskopi, radiologis dengan kontras enema (Nadya, 2019).

1) Biopsi

Biopsi digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel abnormal dan untuk membantu


mendiagnosa berbagai kondisi kesehatan yang berbeda atau untuk mengetahui jenis
penyakit tertentu atau penyebab penyakit. Dalam kasus di mana suatu kondisi yang telah
di diagnosa, biopsi dapat digunakan untuk mengukur seberapa parah kondisi
hirschrsprung.

2) Kolonoskopi

Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui terjadinya


gangguan atau kelainan pada usus besar (kolon) dan rektum yang sering menimbulkan
gejala berupa sakit perut, darah pada tinja, diare kronis, gangguan buang air besar atau
gambaran abnormal di usus pada pemeriksaan foto Rontgen dan CT scan.

3) Radiologis dengan kontras enema

Pemeriksaan radiologis untuk diagnosa lanjut pada penyakit hirschrsprung yang


akan muncul gambaran berupa transitional zone pada sebagian kasus hirschrsprung dini

11
(85-90%). namun untuk kasus pada Diagnosa terlambat gambaran megakolon lebih sering
terlihat dan biasanya diikuti dengan gejala enterocolitis

8. Penatalaksanaan Hirschsprung

Penatalaksanaan pada penyakit hirschrsprung adalah sebagai berikut:

1) Temporasi ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk


melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasi usus besar untuk
mengembalikan ukuran normalnya.

2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama. Ada
beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley &
Soave. Prosedur Soaveadalah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari
penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah
diubah. Prosedur Duhamel adalah mempertahankan kolon kearah bawah lalu rectum
dan sacrum dindingnya digabungkan menggunakan alat linear stapler, kemudian
dilakukan irisan pada bagian setengah posterior rectum tepat pada linea dentata dengan
ukuran 1,5-2,5 cm di musculocutaneus junction, kolon ditarik melalui insisi bagian
dalam anus (endoanal incision) dan ganglion sel tampak pada kolon lalu diiris
melintang dan digabungkan ke potongan ujung dari rectum menciptakan
penyambungan kolorektal (end-to-side colorectal anastomosis) (Wibowo, 2021).

9. Askep Hirschsprung
1) Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan
lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang
melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada
anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).

12
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi
sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum
terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana
menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi
dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis Pada pemeriksaan fisik
fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan
a. Inspeksi: Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum
dan fese akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.
b. Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bisng usus.
c. Perkusi: Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d. Palpasi: Teraba dilatasi kolon abdominal.
 Sistem kardiovaskuler: Takikardia.
 Sistem pernapasan: Sesak napas, distres pernapasan.

13
 Sistem pencernaan: Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang,
muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik.
Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan
diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang
menyemprot.
 Sistem saraf : Tidak ada kelainan.
 Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri
 Sistem endokrin: Tidak ada kelainan.
 Sistem integument: Akral hangat, hipertermi
 Sistem pendengaran: Tidak ada kelainan
2) Diagnosa Keperawatan
a. DX 1: Risiko konstipasi b.d penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik
b. DX 2: Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh b.d keluar cairan tubuh
dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal
c. DX 3: Risiko injuri b.d pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal
sekunder dari kondisi obtruksi usus
d. DX 4: Resiko infeksi b.d pasca prosedur pembedahan
3) Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan .
intervensi disusun berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC dan NIC.
NO Tujuan Intervensi Rasional

1. Tujuan: Setelah diberikan Mandiri  Untuk menyusun rencana


tindakan keperawatan penanganan yang efektif
 Observasi bising usus
diharapkan BAB normal dalam mencegah
dan periksa adanya
kembali konstipasi dan impaksi
distensi
Kriteria hasil: fekal
abdomen pasien,
 pasien tidak  Untuk meyakinkan terapi
Pantau dan catat
mengalami penggantian cairan dan
frekuensi dan
konstipasi hidrasi
karakteristik feses
pasien dapat  Untuk meningkatkan terapi
 Catat asupan haluaran

14
mempertahankan defekasi secara akurat penggantian cairan dan
setiap hari  Dorong pasien untuk hidrasi
mengkonsumsi cairan  Untuk membantu adaptasi
2.5 L setiap hari, bila terhadap fungsi fisiologi
tidak ada kontraindikasi normal
 Lakukan program  Untuk meningkatkan
defekasi, eliminasi feses padat atau
Letakkan pasien di atas gas dari
pispot atau commode saluran pencernaan,
pada saat tertentu setiap pantau keefektifannya
hari, sedekat mungkin
kewaktu biasa defekasi
(bila diketahui)
 Berikan laksatif,
enema, atau supositoria
sesuai instruksi

2. Tujuan: Setelah diberikan Mandiri


tindakan keperawatan  Timbang berat  Untuk membantu
diharapkan kebutuhan badan pasien setiap hari mendeteksi perubahan
cairan tubuh dapat sebelum sarapan keseimbangan cairan
terpenuhi. Kriteria hasil:  Ukur asupan cairan dan  Penurunan asupan
 Turgor kulit elastik haluaran urin untuk atau peningkatan haluaran
dan normal, CRT mendapatkan status meningkatkan defisit
< 3 detik cairan cairan
 Pantau berat jenis urin  Peningkatan berat jenis
 Periksa membran urin mengindikasikan
mukosa mulut setiap dehidrasi. Berat jenis urin
hari rendah, mengindikasikan
 Tentukan cairan apa kelebihan volume cairan

15
yang disukai pasien dan  Membran mukosa kering
simpan cairan tersebut di merupakan suatu indikasi
samping tempat tidur dehidrasi
pasien, sesuai instruksi  Untuk meningkatkan
 Pantau kadar elektrolit asupan
serum.  Perubahan nilai elektrolit
dapat menandakan awitan
ketidakseimbangan cairan

3. Tujuan: Setelah diberikan Mandiri


tindakan keperawatan  Observasi faktor-faktor  Pasca bedah terdapat
diharapkan reseksi kolon yang meningkatkan resiko rekuren dari
tidak mengalami injuri resiko injuri hernia umbilikalis
Kriteria hasil:  Monitor tanda dan gejala akibat peningkatan
 TTV normal perforasi atau peritonitis tekanan intra abdomen
 Kardiorespirasi  Lakukan pemasangan  Perawat yang
optimal, tidak selang nasogatrik mengantisipasi resiko
terjadi  Monitor adanya terjadinya perforasi
infeksi pada insisi komplikasi pasca bedah atau peritonitis. Tanda
 Pertahankan status dan gejala yang penting
hemodinamik yang adalah anak rewel tiba-
optimal tiba dan tidak bisa
 Bantu ambulasi dini dibujuk atau diam oleh
 Hadirkan orang orang tua atau perawat,
terdekat kolaborasi muntah-
 Kolaborasi pemberian muntah, peningkatan
antibiotik pasca bedah suhu tubuh dan
hilangnya bising usus.
Adanya pengeluaran
pada anus yang berupa

16
cairan feses yang
bercampur darah
merupakan tanda klinik
penting bahwa telah
terjadi peforasi. Semua
perubahan yang terjadi
didokumentasikan
oleh perawat dan
laporkan pada dokter
 Tujuan memasang
selang nasogatrik
adalah intervensi
dekompresi akibat
respon dilatasi dan
kolon obstruksi dari
kolon aganglionik.
Apabila tindakan ini
dekompresi ini optimal,
maka akan menurunkan
distensi abdominal
yang menjadi penyebab
utama nyeri
abdominal pada pasien
hirschprung
 Perawat memonitor
adanya
komplikasi pasca
bedah seperti mencret
ikontinensia fekal,
kebocoran anastomosis,
formasi striktur,

17
obstruksi usus, dan
enterokolitis
 Pasien akan
mendapatkan cairan
intravena
sebagai pemeliharaan
status hemodinamik
 Pasien dibantu turun
dari tempat tidur pada
hari pertama pasca
operasi dan disorong
untung
mulai berpartisipasi
dalam ambulasi dini
 Pada anak,
menghadirkan orang
terdekat dapat
mempengaruhi penuru
nan respon nyeri.
Sedangkan pada
dewasa merupakan
tambahan dukungan
psikologis dalam
menghadapi masalah
kondis nyeri baik
akibat kolik abdomen
atau nyeri pasca bedah
 Antibiotik menurunkan
resiko infeksi yang
menimbulkan reaksi
inflamasi lokal dan

18
dapat
memperlama proses
penyembuhan pasca
funduplikasi lambung

4. Tujuan: Setelah diberikan Mandiri


tindakan keperawatan  Minimalkan risiko  Mencuci tangan adalah
diharapkan tidak ada infeksi dengan : satu-satunya cara terbaik
tanda-tanda infeksi pada mencuci tangan sebelum untuk mencegah patogen,
klien Kriteria hasil: dan setelah sarung tangan dapat
 suhu dalam memberikan perawatan, melindungi tangan pada
rentang normal. menggunakan sarung saat memegang luka yang
 tidak ada patogen tangan untuk dibalut atau
yang terlihat dalam mempertahankan melakukan berbagai
kultur, luka dan asepsis pada saat tindakan
insisi terlihat memberikan perawatan  Suhu yang terus
bersih, merah langsung meningkat
muda, dan bebas  Observasi suhu minimal setelah pembedahan dapat
dari setiap 4 jam dan catat merupakan tanda awitan
drainase purulen pada kertas grafik. komplikasi pulmonal,
Laporkan evaluasi kerja infeksi luka atau dehisens.

4) Implementasi Keperawatan

Adalah tahap pelaksanaaan atau implementasi terhadap rencana tindakan keperawatan


yang telah di buat atau di tetapkan untuk perawat bersama klien ataupun tenaga kesehatan
lainnya guna mengatasi masalah kesehatan klien. Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan rencana
tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan kebutuhan klien.

19
5) Evaluasi

Setelah mendapat implementasi keperawatan, maka pasien dengan hisrchprung


diharapkan sebagai berikut:

 Tidak adanya konstipasi dan BABnya normal.

 Kebutuhan cairan pasien terpenuhi

 Tidak adanya injuri

 Tidak adanya tanda-tanda atau reksi infeksi.

20
B. Atresia Ani
1. Pengertian Atresia Ani

Dalam istilah kedokteran, Atresia Ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang yang normal. Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebgai anus
imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz,2015) atresia ani merupakan kelainan
bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2016). Atresia ani adalah
tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara
abnormal (Suradi, 2015).

Atresia ani atau anus imperforasi adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2016). Penulis menyimpulkan bahwa, atresia
ani adalah kelainan kongenital dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses.

2. Etiologi Atresia Ani

Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber yang
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan


pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.

c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut
penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi
penyebab atresia ani. Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini.
Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai
peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas

21
kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani
(Purwanto, 2001).

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :

a. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada


gastrointestinal.

b. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.

3. Klasifikasi Atresia Ani

Adapun klasifikasi atresia ani ialah:

a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.

c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.

d. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.

Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

a. Anomali rendah / infralevator

Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.

b. Anomali intermediet

Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.

c. Anomali tinggi / supralevator

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhubungan dengan fistula genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan).
Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm

22
4. Manifestasi Klinis Atresia Ani

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium.
Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai
fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang
pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra
dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

a. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

d. Perut kembung.

e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam (Ngastiyah, 2015)

5. Patofisiologi Atresia Ani

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga
anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang
berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.

Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia
anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa
lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:

a. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak
antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya
disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.

23
b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.

c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm.

6. Komplikasi Atresia Ani

Adapun komplikasi atresia ani menurut Betz, 2015 ialah sebagai berikut:

a. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan

b. Obstruksi intestinal

c. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

d. Komplikasi jangka panjang :

 Eversi mukosa anal.

 Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

 Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

 Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.

 Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

 Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi

7. Pemeriksaan Diagnostik Atresia Ani

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

1. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

2. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

24
3. Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari
adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

4. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

5. Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

6. Pemeriksaan fisik rektum

Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

7. Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus
urinarius.

8. Penatalaksanaan Atresia Ani

Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :

a. Pembuatan kolostomi

Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari
setelah lahir.

b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

Pada pasien dengan kolostomi, PSARP dilakukan setelah pemeriksaan distal kolostogram
untuk menentukan lokasi pasti dari fistel dan rektum. Proses PSARP pada pasien malformasi
anorektal dengan fistel rektovesika melibatkan seluruh tubuh bagian bawah dari pasien dan
operasi dilakukan dengan laparoskopi. Bidang diseksi dimulai pada peritoneum di sekitar
rektum distal untuk kemudian dilanjutkan ke arah distal.

25
c. Tutup kolostomi

Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan
mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB
berkurang frekuensinya dan agak padat

9. Askep Atresia Ani


a.) Pengkajian
1. Identitas
Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku
Bangsa Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama : Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit,
tidak bisa buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium
terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-
48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan
kelainan/ penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota
keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak
mempengaruhi kejadian atresia ani
3. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi,
termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja
dalam urin dan vagina
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.

26
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva,
tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak
pucat.
4. Hidung Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus,
tidak cheilochisis.
6. Telinga Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
7. Leher Tidak ada webbed neck.
8. Thorak Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
9. Jantung Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak
termasa/tumor, tidak terdapat perdarahan pada umbilicus
11. Getalia Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada
hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang
tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan
oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak
tangan maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat
14. Punggung Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +

27
d. Grip +
e. Plantar +

b.)Diagnosa
1. Dx pre operasi
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.

2. Dx Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
c. Resiko infeksi Berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
c.) Intervensi

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Konstipasi b/d Setelah dilakukan 1. Lakukan enema atau 1. Evaluasi bowel
aganglion. tindakan keperawatan irigasi rectal sesuai order meningkatkan
selama 1x 24 jam 2. Kaji bising usus dan kenyaman pada
Klien mampu abdomen setiap 4 jam anak
mempertahankan pol 3. Ukur lingkar abdomen 2. Meyakinkan berf
a eliminasi BAB ungsinya usus
dengan teratur 3. Pengukuran
KH : Penurunan lingkar abdomen
distensi abdomen, membantu
meningkatnya mndeteksi
kenyamanan trjadinya distensi
2. Risiko Setelah dilakukan 1. Monitor intake – 1. Dapat

28
kekurangan tindakan keperawatan output cairan mengidentifikasi
volume cairan selama 1x 24 jam 2. Lakukan pemasangan status cairan klien
b/d menurunnya Klien dapat infus dan berikan 2. Mencegah
intake, muntah. mempertahankan cairan IV dehidrasi
keseimbangan cairan 3. Observasi TTV 3. Mengetahui
KH: Output urin 1-2 4. Monitor status hidrasi kehilangan cairan
ml/kg/jam, capillary (kelembaban melalui suhu
refill 3-5 detik, trgor membran mukosa, tubuh yang tinggi
kulit baik, membrane nadi adekuat, tekanan 4. Mengetahui tanda-
mukosa lembab darah,ortostatik) tanda dehidrasi

3. Cemas orang tua Setelah dilakukan 1. Jelaskan dg 1. Agar orang tua


b/d kurang tindakan istilah yg mengerti kondisi
pengetahuan keperawatan dimengerti tentang klien
tentang penyakit selama 1x 24 jam anatomi dan 2. Pengetahuan
dan prosedur Kecemasan orang fisiologi saluran tersebut diharapkan
perawatan. tua dapat pencernaan normal. dapat membantu
berkurang 2. Gunakan alat, menurunkan
KH: Klien tidak media dan gambar kecemasan
lemas Beri jadwal studi 3. Membantu
diagnosa pada mengurangi
orang tua kecemasan klien
3. Beri informasi
pada orang tua
tentang operasi
kolostomi

d. ) Implementasi

Adalah tahap pelaksanaaan atau implementasi terhadap rencana tindakan

29
keperawatan yang telah di buat atau di tetapkan untuk perawat bersama klien ataupun
tenaga kesehatan lainnya guna mengatasi masalah kesehatan klien. Pelaksanaan
dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah divalidasi sesuai dengan
kebutuhan klien

e. ) Evaluasi
1. Dx pre operasi
Diagnosa Evaluasi
Konstipasi b/d aganglion. S : Klien mampu mempertahankan
pola eliminasi BAB dengan teratur
O : distensi abdomen menurun
A : Diagnosa keperawatan konstipasi
teratasi
P : Intervensi dihentikan
Risiko kekurangan volume cairan b/d S : Klien dapat mempertahankan
menurunnya intake, muntah. keseimbangan cairan
O : Output urin 1-2
ml/kg/jam, capillary refill 3-5
detik, turgor kulit baik, membrane
mukosa lembab
A : Diagnosa keperawatan Resiko
kekurangan volume cairan teratasi
P : Intervensi dihentikan
Cemas orang tua b/d kurang pengetahuan S : orang tua mengatakan sudah tidak cemas
tentang penyakit dan prosedur perawatan. O : klien tidak lemas
A : Diagnosa Keperawatan Cemas
orang tua Teratasi
P : Intervensi dihentikan

30
2. Dx Post Operasi
Diagnosa Evaluasi
Gangguan integritas kulit b/d kolostomi. S : integritas kulit klien dapat terkontrol
O : Temperatur jaringan dalam batas normal,
sensasi dalam batas normal, elastisitas dalam
batas normal, hidrasi dalam batas normal,
pigmentasi dalam batas normal, perfusi
jaringan baik.
A : Diagnosa Keperawatan
Gangguan integritas kulit teratasi
P : Intervensi dihentikan
Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan S : Klien sudah tidak mengalami
infeksi
O : tanda gejala infeksi tidak ada
A : Diagnosa Keperawatan Resiko
infeksi teratasi
P : Intervensi dihentikan

31
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus
besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar
tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Hirschsprung terjadi karena
adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah mulai dari anus hingga usus
diatasnya. Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan
pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum.Penyakit ini disebabkan oleh tidak adanya
sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rectum tidak mempunyai lubangkeluar
(Walley, 1996). Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun adasumber
mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan
anus dari tonjolan embriogenik. Secara fungsional, atresia ani dibagimenjadi 2 yaitu tanpa
anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalisdan tanpa anus dan tanpa
fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja.Untuk memperkuat diagnosis
sering diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan Sinar X terhadap abdomen,
Ultrasound terhadap abdomen, CT Scan danPemeriksaan fisik rektum. Penatalaksanaan Medis
yang sering dilakukan pada pasienatresia ani yaitu pada Malformasi anorektal dieksplorasi
melalui tindakan bedah yangdisebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal
posterosagital dan Colostomisementara.

B. Saran
1. Bagi petugas kesehata atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan pelayanan
kesehatan khususnya pada hisrchprung dan atresia ani untuk pencapaian kualitas
keperawatan secara optimal dan sebaiknya proses keperawatan selalu
dilaksanakan secara berkesinambungan.

32
2. Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan
karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna
maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh sebab itu perlu
adanya penjelasan pada klien dan keluarga mengenai manfaat serta pentingnya
kesehatan.
3. Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan menerapkan
asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan hirschprung dan juga pada
klien dengan atresia ani.

33
DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Q. H., Haikal, Z., & Sunanto. (2021). Total Colonic Aganglionis: Dilema
Diagnosis dan Dampak Jangka Panjang. Jurnal Kedokteran Umum, 531- 536.

Wibowo, H. (2021). Duhamel Procedure untuk Hirschrsprung Disease Anak di RS Syaiful


Anwar Malang. Jurnal Kesehatan dan Kedokteran, 91-94.

Amin, Hardi. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
NANDA NIC-NOC. Media Action Publingshing : Yogyakarta.

Mendri, Ni Ketut dan Agus S P. (2016). Asuhan keperawatan pada anak sakit dan bayi
risiko tinggi. Yogyakarta: Paper Plane

Muttaqin, Arif. 2017. Asuhan Keperawatan Nanda NIC NOC. Jakarta: EGC

Dewi, Vivian N L. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika

Okananta, Irene & Rochadi. 2014. Malformasi Anorektal. Sub Division of Pediatric
Surgery Dept, Sardjito Hospital: 1-7.

34

Anda mungkin juga menyukai