Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

MORBUS HIRSCHSPRUNG

Disusun oleh
Shafiya Fatiha Rahmi
41211396100027

Pembimbing
dr. Nanok Edi Susilo, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK
BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERIODE 23 MEI-29 JULI 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama:
Shafiya Fatiha Rahmi
(41211396100027)

Judul Referat:
Morbus Hirschsprung

Telah menyelesaikan tugas ini sebagai syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan
klinik pada bagian Bedah Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di RSUP Fatmawati tahun 2022.

Jakarta, Juni 2022

dr. Nanok Edi Susilo, Sp.B, Sp.BA


Pembimbing

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbila’lamin. Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. karena


berkat, rahmat, karunia-Nya, nikmat kesehatan dan kemudahan senantiasa mengiringi
penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat dan salam penulis
ucapkan kepada Rasulullah SAW. beserta keluarga dan para sahabat beliau karena
kisah semangat dan perjuangannya telah menjadi tauladan bagi penulis.

Selama proses penyusunan makalah dengan judul “Morbus Hirschsprung” ini,


banyak pihak yang memberi arahan dan bimbingan. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada:

1. dr. Nanok Edi Susilo, Sp.B, Sp.BA selaku pembimbing dalam penyusunan
makalah ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.

3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Bedah Rumah Sakit Umum Pusat


Fatmawati Jakarta.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima kritik dan saran dari para pembaca. Demikian makalah ini dibuat,
semoga dapat memberikan manfaat di dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Juni 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii


DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
2.1 Embriologi Usus Besar ............................................................................... 3
2.2 Anatomi Usus Besar ................................................................................... 3
2.3 Histologi Usus Besar .................................................................................. 5
2.4 Fisiologi Usus Besar................................................................................... 6
2.5 Morbus Hirschsprung ................................................................................. 6
2.5.1 Definisi ............................................................................................... 6
2.5.2 Epidemiologi ....................................................................................... 7
2.5.3 Etiologi ............................................................................................... 7
2.5.4 Patofisiologi ........................................................................................ 8
2.5.5 Manifestasi Klinis ............................................................................... 8
2.5.6 Klasifikasi ......................................................................................... 10
2.5.7 Diagnosis .......................................................................................... 11
2.5.8 Diagnosis Banding ............................................................................ 15
2.5.9 Tatalaksana ....................................................................................... 17
2.5.10 Komplikasi........................................................................................ 22
2.5.11 Prognosis .......................................................................................... 23
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 24
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1886, morbus Hirschsprung ditemukan untuk pertama kalinya
oleh Harold Hirschsprung. Saat itu Harold menjelaskan bahwa penyakit tersebut
menyebabkan konstipasi yang berkaitan dengan adanya hipertrofi dan distensi
usus. Patofisiologi penyakit Hirschsprung belum diketahui secara pasti hingga
tahun 1901 dimana Tittel mengemukakan bahwa anak dengan penyakit
hirschsprung tidak memiliki sel ganglion di distal usus besar.1

Morbus Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan yang terjadi


akibat tidak adanya sel ganglion pada pleksus submukosa (Meissner) dan
mienterikus (Auerbach) usus besar, mulai dari sfingter ani interna ke arah
proksimal. Bagian usus besar yang terkena sekitar 80% pada rektum atau kolon
rektosigmoid, 10% pada usus besar yang lebih proksimal, dan 5-10% lainnya
melibatkan distal usus halus. Sel ganglion memiliki fungsi sebagai sel saraf usus
yang mengendalikan otot. Kondisi tidak adanya sel ganglion menyebabkan
gangguan motilitas usus besar sehingga terjadi obstruksi usus fungsional.
Adanya obstruksi pada usus dapat menyebabkan distensi bagian usus besar yang
lebih proksimal.1,2

Insiden morbus Hirschsprung yang terjadi di Indonesia sekitar 1 di antara


5000 kelahiran hidup bayi aterm. Lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki
dibandingkan bayi perempuan dengan perbandingan 4:1. Riwayat keluarga
dengan morbus Hirschsprung dan pasien mengalami down syndrome menjadi
faktor risiko utama terjadinya penyakit ini. Kasus down syndrome terjadi sekitar
2-10% pada bayi dengan kasus penyakit Hirschsprung, sedangkan kasus
penyakit Hirschsprung dapat berisiko 100 kali lipat lebih tinggi terjadi pada bayi
dengan down syndrome dibandingkan bayi yang normal.1,3

1
Morbus Hirschsprung menjadi salah satu kasus kegawatdaruratan bedah
yang perlu penanganan segera. Penanganan yang cepat dan tepat dapat terwujud
apabila pasien terdiagnosis sedini mungkin. Diagnosis dapat dilakukan mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Jika pasien
dengan penyakit Hirschsprung tidak segera ditangani akan terjadi peningkatan
mortalitas hingga 80% pada bulan-bulan pertama kehidupan dan dapat
menimbulkan komplikasi seperti enterokolitis yang disebabkan oleh infeksi
sekunder karena adanya obstruksi fungsional pada usus besar.1,3

Di Indonesia, pasien dengan penyakit Hirschsprung sering terlambat


diberikan tatalaksana yang tepat karena kurangnya pemahaman mengenai
penyakit ini. Kondisi tersebut sangat berdampak pada peningkatan morbiditas
dan mortalitas serta biaya pengobatan. Keterlambatan diagnosis dan terapi akan
menyebabkan tahapan terapi menjadi lebih lama, pasien yang seharusnya
sembuh dari penyakit Hirschsprung dengan operasi definitif satu tahap menjadi
perlu beberapa tahap operasi untuk kesembuhannya.3

Salah satu bentuk upaya untuk mencegah terjadinya peningkatan


morbiditas dan mortalitas serta komplikasi pada penyakit Hirschsprung adalah
dengan melakukan penegakkan diagnosis sedini mungkin di fasilitas kesehatan
primer sehingga pasien dapat segera diberikan penanganan. Oleh karena itu,
diharapkan klinisi dapat memahami dan melakukan penegakkan diagnosis
morbus Hirschsprung secara tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Usus Besar


Pembentukan primordial usus yang berasal dari lapisan endoderm dimulai
saat usia gestasi minggu ke-4. Primordial usus terdiri atas 3 bagian, yaitu foregut,
midgut, dan hindgut. Sekum dan kolon asenden merupakan derivat dari midgut,
sedangkan kolon transversum, kolon desenden, dan rektum berasal dari hindgut.4
Sel ganglion yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung merupakan
derivat dari krista neuralis. Pada proses perkembangan embriologi normal, sel-
sel saraf saluran pencernaan (neuroenterik) akan bermigrasi dari krista neuralis
ke esofagus pada usia gestasi minggu ke-5, kemudian sel saraf sampai di midgut
pada usia gestasi minggu ke-7, dan mencapai distal kolon saat usia gestasi
minggu ke-13. Sel-sel krista neural yang sampai di kolon akan bermigrasi ke
dalam pleksus Auerbach, kemudian menuju pleksus submukosa. Saat
bermigrasi, sel-sel saraf tersebut dibantu oleh glikoprotein neural berupa
fibronektin dan asam hialuronik yang sudah terbentuk lebih awal daripada sel-
sel krista neural. Glikoprotein tersebut membantu membentuk jalan untuk sel-
sel neural bermigrasi.1,4

2.2 Anatomi Usus Besar


Usus besar merupakan tabung muskular berongga yang terbentang dari
ujung distal ileum sampai anus dengan panjang sekitar 1,5 m pada orang dewasa.
Usus besar memiliki beberapa bagian, yaitu sekum, kolon, dan rektum. Mulai
dari sekum yang berhubungan dengan katup ileosekal dan apendiks, dilanjutkan
dengan usus besar memanjang ke atas sebagai kolon asenden, kemudian tepat di
bawah hepar, usus besar membelok ke kiri membentuk fleksura koli dekstra
(fleksura hepatika). Selanjutnya, kolon transversum menyebrangi abdomen dari
regio hipokondrium dekstra menuju hipokondrium sinistra. Pada posisi tepat di
bawah lien, usus besar akan membelok ke bawah membentuk fleksura koli
sinistra (fleksura lienalis) dan berlanjut menjadi kolon desenden. Setelah kolon

3
desenden memanjang ke bawah, setinggi krista iliaka akan menjadi kolon
sigmoid, kemudian rektum akan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus.
Pada bagian distal rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh otot sfingter

ani interna dan eksterna.5

Gambar 2.1: Anatomi Usus Besar Manusia.5

Usus besar diperdarahi oleh beberapa arteri. Cabang arteri mesenterika


superior yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media
memperdarahi sekum sampai 2/3 proksimal kolon transversum, sedangkan
cabang arteri mesenterika inferior yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemoroidalis
superior, dan arteri sigmoidea memperdarahi 1/3 distal kolon transversum
sampai proksimal rektum. Bagian distal rektum diperdarahi oleh arteri
hemoroidalis media dan inferior serta arteri sakralis media. Selain arteri,
pembuluh darah vena juga berperan dalam vaskularisasi usus besar. Vena
mesenterika superior dan inferior serta vena hemoroidalis superior menjadi
pembuluh darah yang mengalirkan aliran balik vena dari kolon dan rektum ke
hepar. Vena hemoroidalis media dan inferior termasuk bagian dari sirkulasi
sistemik yang mengalirkan darah ke vena iliaka. 5

4
Gambar 2.2: Vaskularisasi Usus Besar.5

Persarafan usus besar diatur oleh sistem saraf otonom. Nervus vagus
merupakan serabut saraf parasimpatis yang menginervasi area tengah kolon
transversum, sedangkan nervus pelvikus yang berasal dari daerah sakral
menginervasi bagian distal. Selain serabut saraf parasimpatis, usus besar juga
diinervasi oleh serabut simpatis, yaitu serabut simpatis yang meninggalkan
medulla spinalis melalui nervus splangnikus menuju kolon. Kontraksi usus
dirangsang oleh serabut saraf parasimpatis, sedangkan relaksasi usus dirangsang
oleh serabut saraf simpatis. Sistem saraf otonom di usus besar terdiri atas 3
pleksus, yaitu Pleksus Auerbach, Henle, dan Meissner. Pleksus Auerbach
terdapat di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal, Pleksus Henle di
sepanjang batas dalam otot sirkuler, dan Pleksus Meissner di lapisan
submukosa.5,6

2.3 Histologi Usus Besar


Usus besar memiliki beberapa lapisan. yaitu mukosa, submukosa,
muskularis ekstrena, dan serosa. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dan lebih
banvak mengandung sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Pada lapisan
muskularis eksterna otot longitudinal kolon membentuk taenia coli.

5
Gambar 2.3: Histologi Usus Besar.7

2.4 Fisiologi Usus Besar


Usus besar tidak mensekresi enzim pencernaan, tetapi mensekresi larutan
mukus basa (NaHCO3) yang dapat melindungi usus besar dari cedera mekanis
dan kimiawi dengan menetralkan asam-asam iritan yang diproduksi oleh
fermentasi bakteri lokal. Motilitas yang terjadi di usus besar dipicu oleh saraf
otonom otot polos kolon yang menyebabkan kontraksi haustra. Kontraksi
haustra tidak mendorong isi kolon, tetapi mengaduk maju-mundur hingga isi
kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Usus besar menyerap garam dan air untuk
membentuk feses. Jika feses sampai di rektum, reseptor regang rektum memicu
terjadinya refleks defekasi. Refleks defekasi terjadi saat sfingter ani internus
relaksasi, rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Apabila sfingter
ani ekstrenus juga berelaksasi, maka terjadi defekasi. 8

2.5 Morbus Hirschsprung


2.5.1 Definisi
Morbus Hirschsprung merupakan kelainan bawaan dengan gangguan
perkembangan komponen sistem saraf enterik berupa kondisi aganglionik
di pleksus submukosa (Meissner) dan mienterikus (Auerbach) distal usus
besar. Kondisi aganglionik menyebabkan gangguan peristaltik usus besar

6
sehingga terjadi obstruksi fungsional. Adanya obstruksi menyebabkan
distensi dinding usus besar yang lebih proksimal.1

2.5.2 Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi sekitar 1 dari 5000 kelahiran hidup.
Bagian usus besar yang terkena sekitar 80% pada rektum atau kolon
rektosigmoid, 10% pada usus besar yang lebih proksimal, dan 5-10%
lainnya melibatkan distal usus halus. Sangat jarang kasus dimana bayi
mengalami aganglionosis di seluruh bagian usus besar. Kasus penyakit
Hirschsprung lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki dibandingkan bayi
perempuan dengan perbandingan 4:1. Riwayat penyakit Hirschsprung di
keluarga dan riwayat Down Syndrome pada pasien merupakan risiko
tertinggi terjadinya penyakit Hirschsprung.1,3

2.5.3 Etiologi
Aganglionosis pada distal usus besar terjadi karena sel-sel ganglion
gagal bermigrasi dari proksimal ke distal saluran pencernaan pada minggu
ke-13 usia gestasi. Terdapat 2 teori yang dijadikan dasar mengapa kondisi
tersebut terjadi. Teori yang pertama dan paling sering digunakan yaitu sel-
sel krista neuralis tidak pernah mencapai distal usus besar karena sel-sel
tersebut mengalami pematangan atau berdiferensiasi menjadi sel ganglion
lebih awal dari yang seharusnya. Teori yang kedua adalah aganglionosis
terjadi karena sel-sel ganglion gagal untuk bertahan hidup dan berkembang
biak setelah mencapai tujuannya yaitu distal usus besar.1,2,9

Penyakit Hirschsprung banyak dikaitkan dengan mutasi gen. Gen yang


pertama dan paling umum diketahui terlibat adalah RET proto-onkogen
yang mengkode reseptor tirosin kinase. Mutasi gen ini berhubungan
dengan mutasi gen lain, seperti neurturin dan glial cell line-derived
neurotrophic factor (GDNF). Mekanisme terjadinya aganglionosis akibat
adanya mutase gen masih belum dapat dijelaskan. Namun, terdapat bukti
bahwa pada proses tersebut terjadi kematian sel saraf yang lebih awal.

7
Mutasi gen RET banyak ditemukan pada kasus dengan riwayat penyakit
Hirschsprung di keluarga.1,2,9

Selain RET proto-onkogen, gen reseptor endotelin-3 dan endotelin-B


juga terlibat karena diperlukan untuk diferensiasi sel-sel krista neuralis.
Mutasi gen endotelin dan SOX-10 menstimulasi terjadinya pematangan
dan diferensiasi sel krista neuralis lebih awal sehingga menurunkan jumlah
dan mencegah sel krista neuralis untuk migrasi ke distal usus besar. Gen
lain yang terkait dengan penyakit Hirschsprung adalah gen ZFHX1B,
Phox2B, dan Hedgehog-Notch complex.1,2,9

2.5.4 Patofisiologi
Pada penyakit Hirschsprung, aganglionik dapat menyebabkan gerakan
peristaltik abnormal, konstipasi, dan obstruksi fungsional. Tidak adanya
sel-sel ganglion di distal usus besar menyebabkan rangsangan saraf
parasimpatis yang menstimulasi kontraksi otot polos untuk gerakan
peristaltik tidak terjadi. Tidak adanya gerakan peristaltik di distal usus
besar menyebabkan area tersebut tidak dapat dilewati oleh tinja, sehingga
tinja yang terbentuk akan terakumulasi di usus besar yang lebih proksimal.
Akumulasi tinja yang terus menerus akan menyebabkan usus besar yang
lebih proksimal mengalami penebalan dan pelebaran dinding sehingga
membentuk megakolon.1,2

2.5.5 Manifestasi Klinis


a. Periode Neonatus
Terdapat trias gejala klinis yang biasa ditemukan pada bayi
yang baru lahir, yaitu pengeluaran mekonium yang terlambat,
muntah bilious (hijau), dan perut membuncit. Pengeluaran mekonium
yang terlambat merupakan gejala yang paling signifikan mengarah
pada penyakit Hirschsprung di antara trias gejala tersebut. Terdapat
90% lebih kasus bayi dengan penyakit ini tidak dapat mengeluarkan
mekonium pada 24 jam pertama, biasanya akan mengeluarkan
mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Gejala muntah

8
bilious (hijau) dan perut membuncit dapat berkurang apabila
mekonium segera dikeluarkan. Perut membuncit terjadi karena
adanya obstruksi usus letak rendah akibat kondisi aganglionik pada
rektosigmoid. Muntah bilious (hijau) juga terjadi akibat adanya
obstruksi pada usus, dapat terjadi juga pada gangguan pasase usus
lainnya, seperti atresia ileum, enterokolitis nekrotikans neonatal, atau
peritonitis intrauterin 1,2,10,11
Obstruksi yang terjadi di usus dapat menyebabkan kondisi
obstipasi. Obstipasi adalah keluhan susah buang air besar yang
disebabkan adanya obstruksi intestinal. Obstipasi kronik yang
diselingi oleh diare berat dengan feses cair bercampur mukus dan
berbau busuk, dapat menjadi tanda adanya komplikasi berupa
enterokolitis Enterokolitis biasa terjadi 2-4 minggu pertama setelah
lahir dan dapat meningkatkan mortalitas penyakit Hirschsprung
sehingga termasuk ke dalam kondisi gawat darurat. Enterokolitis
disebabkan oleh bakteri Clostridium difficile atau Rotavirus yang
dapat berkembangbiak pada usus besar yang mengalami iskemik
akibat distensi dinding usus yang berlebihan. Selain itu, dapat terjadi
juga karena gangguan produksi mucin mukosa intestinal yang
menyebabkan gangguan fungsi pertahanan intestinal sehingga terjadi
invasi dan perkembangbiakan bakteri.10
Selain enterokolitis, komplikasi yang dapat terjadi adalah
peritonitis. Kemungkinan terjadinya peritonitis dapat dilihat melalui
tanda-tanda yang muncul, yaitu tanda edema, bercak-bercak
kemerahan di sekitar umbilikus, punggung, dan sekitar genitalia. 11

b. Periode Anak dan Remaja


Selain pada neonatus, anak dan remaja juga dapat mengalami
penyakit Hirschsprung. Pasien anak biasanya datang dengan keluhan
konstipasi kronik, konstipasi sering terjadi pada anak-anak sehingga
sulit membedakan penyakit Hirschsprung dengan penyebab yang

9
lebih umum. Selain konstipasi kronik, manifestasi yang menonjol
adalah gagal tumbuh (failure to thrive) dan malnutrisi.1,2,10

2.5.6 Klasifikasi
Klasifikasi Morbus Hirschsprung dibagi berdasarkan panjang bagian
usus yang mengalami kondisi aganglionik, yaitu:

A. Aganglionik Rektosigmoid
Aganglionik terjadi di rektum sampai sigmoid (penyakit
Hirschsprung klasik)
B. Segmen Pendek
Aganglionik terjadi di distal rektum sekitar sfingter ani
C. Segmen Panjang
Aganglionik terjadi meluas lebih tinggi dari sigmoid
D. Aganglionik Total
Aganglionik terjadi di seluruh bagian kolon
E. Aganglionik Universal
Aganlionik terjadi di seluruh bagian kolon dan mengenai hampir
seluruh ileum.1,2,11

Gambar 2.4: Klasifikasi Morbus Hirschsprung.

10
2.5.7 Diagnosis
Anamnesis

Keluhan yang biasanya didapatkan pada neonatus adalah


pengeluaran mekonium yang terlambat (> 24 jam), muntah berwarna
hijau, dan perut yang membuncit. Pada anak yang lebih besar keluhan
yang sering terjadi adalah obstipasi kronik, perut kembung dan
pertumbuhan yang terhambat seperti berat badan yang tidak berubah
bahkan cenderung menurun dan nafsu makan yang menurun. Pada
kasus dengan komplikasi enterokolitis juga terjadi demam dan diare
berat dengan feses cair bercampur mukus, berbau busuk, dengan atau
tanpa darah, dan berwarna kecoklatan atau tengguli. Selain keluhan
yang dirasakan, perlu ditanyakan mengenai riwayat keluarga
sebelumnya apakah pernah mengalami keluhan serupa, karena morbus
Hirschsprung merupakan kelainan kongenital yang berkaitan dengan
mutasi gen.1,2

Pemeriksaan Fisik

Pada inspeksi dapat ditemukan distensi abdomen di seluruh


regio. Saat keadaan sudah parah, akan tampak pergerakan usus pada
dinding abdomen. Pada auskultasi bising usus akan terdengar melemah
atau menurun. Selain pemeriksaan abdomen, dapat dilakukan
pemeriksaan rectal touche untuk membantu diagnosis penyakit
Hirschsprung. Pada rectal touche akan terasa sfingter ani yang kaku
dan sempit dan ketika jari ditarik dari anus akan keluar feses yang
menyemprot (explosive stool). 1,2,3

11
Gambar 2.5: Distensi Abdomen Pada Morbus Hirschsprung.11

Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos Abdomen
Pada foto polos abdomen tampak gambaran tanda-tanda
obstruksi usus letak rendah, bayangan distensi usus, garis-garis
permukaan udara-cairan, dan area pelvis yang kosong tidak
terisi udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah tidak
signifikan terjadi pada penyakit Hirschsprung karena dapat
ditemukan pada penyakit lain, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, dan enterokolitis nekrotikans neonatal.
Gambaran bayangan distensi usus halus dan distensi usus besar
pada foto neonatus sulit dibedakan. Pada foto bayi dan anak
gambaran distensi kolon dan massa feses lebih jelas terlihat.3,11

Gambar 2.6: Foto Polos Abdomen Morbus


Hirschsprung.3,11

2. Foto Barium Enema


Pada neonatus gambaran distensi usus besar dan distensi
usus halus sulit dibedakan sehingga perlu pemeriksaan
menggunakan kontras, yaitu foto barium enema yang
menggunakan kontras enema larut air. Penggunaan kontras
larut air penting karena enema dapat menjadi terapi definitif
bagi diagnosis banding penyakit Hirschsprung, seperti

12
meconium ileus dan meconium plug syndrome. Pada
pemeriksaan ini tampak gambaran patognomonik penyakit
Hirschsprung, yaitu zona transisi antara usus besar yang normal
dan usus besar yang mengalami aganglionik.1
Berikut tanda khas yang ditemukan pada foto barium
enema:
1. Bagian yang mengalami penyempitan di sfingter anal
dengan segmen panjang tertentu
2. Zona transisi tampak di proksimal bagian yang
mengalami penyempitan ke arah bagian yang berdilatasi
3. Bagian yang melebar di proksimal zona transisi.11

Gambar 2.7: Foto Barium Enema Morbus


Hirschsprung.1

Gambaran zona transisi dapat dijumpai pada foto barium


enema dengan 3 tipe, yaitu Abrupt (perubahan mendadak),
Cone (seperti corong atau kerucut), dan Funnel (seperti
cerobong).11

Gambar 2.8: 3 Tipe Gambaran Zona Transisi.11

13
3. Foto Retensi Barium
Kondisi tidak adanya gambaran zona transisi pada foto tidak
menyingkirkan diagnosis morbus Hirschsprung, 10% neonatus
yang mengalami penyakit Hirschsprung tidak memiliki
gambaran zona transisi pada fotonya. Pada kondisi tersebut

dapat dilakukan foto polos 24 jam kemudian setelah pemberian


kontras untuk melihat adanya retensi kontras.
Gambar 2.9: Foto Retensi Barium.2

B. Pemeriksaan Anorectal Manometry


Pada anak yang normal, saat distensi usus terjadi akan timbul
Recto-Anal Inhibitory Reflex (RAIR) yaitu relaksasi sfingter ani
interna. Namun, pada anak dengan penyakit Hirschsprung, refleks
tersebut tidak terjadi. Kondisi ini dapat dilihat menggunakan
manometri anorektal dengan menggembungkan balon di rektum
dan mengukur tekanan sfingter interna. Metode ini sering
digunakan untuk mengevaluasi anak yang lebih besar dibandingkan

14
neonatus yang mengalami konstipasi kronik, apabila hasil RAIR
normal, maka penyakit Hirschsprung dapat disingkarkan dan
mencegah dilakukannya biopsi rektum.2
Gambar 2.10: A: Normal B: Morbus Hirschsprung
C. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi rektum merupakan pemeriksaan gold standard untuk
morbus Hirschsprung. Sampel diambil ≥1-1,5 cm di atas linea
dentata. Gambaran histologis yang di dapat adalah tidak adanya sel-
sel ganglion di pleksus submukosa dan mienterikus serta hipertrofi
nerve trunks pada sebagian kasus. Pewarnaan histologi yang
digunakan biasanya pewarnaan Hematoxylin & Eosin (HE),
Cholinesterase, dan Calretinin.2

Gambar 2.11: A: Aganglionik Pleksus Mienterikus B: Hipertrofi


Nerve Trunks.2

2.5.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding morbus Hirschsprung terdiri atas penyakit-penyakit
dengan gejala dan tanda obstruksi usus letak rendah akibat hambatan
mekanik, seperti atresia ileum dan ileus mekonium dan akibat gangguan
fungsi motilitas usus, seperti prematuritas, enterokolitis nekrotikans, dan
sepsis.2,11

1. Atresia Ileum
Pada anamnesis ditemukan keluhan seluruh regio perut
membuncit mirip penyakit Hirschsprung. Biasanya mekonium tidak
keluar spontan, karena terperangkap di dalam ileum di distal atresia dan

15
di kolon. Apabila dilakukan irigasi untuk mengusahakan mekonium
keluar, akan tampak mekonium yang keluar dengan jumlah sedikit,
kering, berbutir-butir dan berwarna hijau muda. Pada foto polos
abdomen sama seperti morbus Hirschsprung tampak tanda-tanda
obstruksi usus letak rendah, sedangkan pada foto barium enema akan
tampak gambaran kolon mikro.11

2. Meconium Plug Syndrome / Sumbatan Mekonium


Penyakit ini terjadi akibat mekonium yang terlalu lengket di
distal kolon, kekurangan tripsin, atau kelainan mobilitas usus tanpa
kelainan sel ganglion. Pasien datang dengan keluhan yang sama dengan
morbus Hirschsprung, yaitu keterlambatan pengeluaran mekonium.
Namun, setelah dilakukan colok dubur, mekonium bisa keluar, maka
defekasi selanjutnya akan menjadi normal. Pada foto polos abdomen
tampak dilatasi seluruh usus tanpa disertai bayangan kalsifikasi dan
tanpa bayangan busa sabun dalam lumen usus-usus seperti pada ileus
mekonium atau enterokolitis nekrotikans.11

3. Enterokolitis Nekrotikans Neonatal (ENN)


Gejala dan tanda penyakit ini mirip dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya terjadi pada neonatus prematur dengan stres
perinatal. Saluran sistem pencernaan mengalami hipoksia, ulserasi, dan
gangguan fungsi, sehingga neonatus mengalami gangguan peristaltik
usus.11
Keadaan umum tampak letargik dan septik. Berbeda dengan
penyakit Hirschsprung, mekonium atau feses pada penyakit ini masih
bisa keluar dan sering bercampur dengan darah. Pada abdomen dapat
dijumpai tanda-tanda peritonitis, seperti kemerahan, udem di punggung
dan di daerah genital. Pemeriksaan foto polos terlihat gambaran
pneumointestinalis. ENN ini dapat bermula dari sepsis atau berakhir
dengan sepsis.11

16
4. Sepsis pada Neonatus
Sepsis sering terjadi pada neonatus dengan riwayat persalinan
lama atau dengan ketuban pecah dini. Seperti pada morbus
Hirschsprung, evakuasi mekonium mengalami keterlambatan bahkan
bisa tidak terjadi dalam 24 – 48 jam setelah kelahiran. Pasien tampak
apatis dan letargik, Selain itu, pasien menolak minum, kemudian diikuti
dengan distensi abdomen yang dimulai dari regio epigastrium akibat
distensi lambung (gastric ileus). Terdapat juga keluhan muntah berupa
cairan lambung yang putih kemudian muntah berwarna hijau atau
kemerahan akibat perdarahan lambung. Perut terasa kembung terbatas
di regio epigastrium atau menyeluruh. Pada foto polos abdomen
tampak distensi lambung dengan atau tanpa disertai kembung usus-
usus secara keseluruhan.11

2.5.9 Tatalaksana
Penyembuhan penyakit Hirschsprung dapat dicapai dengan tindakan
operasi. Tindakan-tindakan konservatif dapat dilakukan tetapi hanya untuk
sementara menangani gejala yang dirasakan, seperti pemasangan pipa anus
atau pipa lambung dan irigasi rektum untuk menangani distensi abdomen,
pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi terutama enterokolitis dan
mencegah terjadinya sepsis, cairan infus untuk menjaga keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam basa tubuh pasien.1,2

Tindakan Preoperatif

1. Dekompresi
Saat perut kembung dan muntah hijau dekompresi dapat
dilakukan dengan pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa
rektum serta dilakukan irigasi feses dengan menggunakan NaCl 0.9%
10-20 cc/kgBB, bila irigasi efektif dapat dilanjutkan sampai cairan
yang keluar relatif bersih.1,2

2. Perbaikan Keadaan Umum

17
a. Resusitasi Cairan dan Koreksi Elektrolit
Rehidrasi cairan isotonik untuk resusitasi cairan. Koreksi
gangguan elektrolit diberikan setelah dipastikan fungsi ginjal
baik.1,2
b. Antibiotik Spektrum Luas
Antibiotik spektrum luas diberikan untuk mencegah terjadinya
infeksi terutama enterokolitis dan sepsis, juga sebagai profilaksis
untuk mencegah morbus Hirschsprung rekuren. Antibiotik dapat
menekan perkembangbiakan dan translokasi bakteri-bakteri di
usus ke pembuluh darah melalui dinding usus. Saat ada demam
dan leukositosis, pasien mulai diberikan antibiotik. Pasien morbus
Hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis atau HAEC dan
sepsis ini membutuhkan penanganan yang lebih intensif, perlu
pengontrolan kondisi hemodinamik, pemberian antibiotik
spektrum luas yang dimulai dengan ampisilin, gentamisin dan
metronidazole.1,2
c. Rehabilitasi Nutrisi
Setelah tindakan dekompresi berhasil pasien boleh segera
diberikan diet per oral sesuai dengan usianya. 1,2

Tindakan Operatif
Pada dasarnya penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat
dicapai ketika dilakukan pengangkatan segmen usus aganglion yang
diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus melalui tindakan operasi.
Terapi konservatif hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur
bedah pada penyakit Hirschsprung merupakan bedah sementara dan bedah
definitif. Prosedur operasi 1 tahap dapat dilakukan jika diagnosis
ditegakkan lebih awal sebelum terjadi dilatasi kolon pada penyakit
Hirschsprung segmen pendek, sedangkan untuk penyakit Hirschsprung
segmen panjang dan total kolon aganglionosis memerlukan 2 tahap
operasi.1,2

18
1. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan ini dapat dilakukan melalui operasi elektif atau
emergensi. Dilakukan secara elektif apabila tindakan dekompresi
berhasil untuk persiapan operasi definitif. Namun, jika dekompresi
rektum tidak berhasil, maka diperlukan tindakan bedah sementara
emergensi.1,2

2. Tindakan Bedah Definitif


Bedah definitif dapat dikerjakan dengan atau tanpa tindakan
bedah sementara sebelumnya. Tindakan bedah definitif yang
dikerjakan tanpa bedah sementara dilakukan pada penderita yang
berhasil didekompresi dengan menggunakan pipa rektum dengan
penilaian kaliber kolon normal. Kaliber kolon yang mengalami distensi
dan hipertrofi dapat menjadi normal dengan irigasi rektum reguler
sehingga dapat mencegah pembuatan stoma dan pasien mempunyai
kesempatan melalui operasi dengan satu tahap.1,2
Pada kondisi aganglionik bentuk segmen pendek, tipikal, dan
panjang dapat dilakukan pembuatan kolostomi terlebih dahulu dan
beberapa bulan kemudian dapat dilakukan operasi definitif dengan
metode Swenson, Duhamel ataupun Soave.1,2
Prosedur operasi dilakukan dengan operasi terbuka atau
bantuan laparoskopi.
a. Prosedur Swenson
Tujuan prosedur ini adalah mengangkat seluruh kolon
aganglionik, kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di atas
sfingter ani. Operasi dilakukan secara laparotomi. Anastomosis
akan dilakukan setelah eversi rektum aganglion. Prosedur tersebut
akan dikerjakan melalui pendekatan intra abdomen, melakukan

19
eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik
dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum.1,2,9

Gambar 2.12: Prosedur Swenson.

b. Prosedur Duhamel
Duhamel memperkenalkan prosedur ini tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prosedur ini dilakukan dengan menarik kolon proksimal yang
ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik untuk menyatukan dinding posterior rektum yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomosis
end to side.1,2,9
Meskipun prosedur Swenson dan Duhamel sangat efektif,
keduanya dibatasi oleh kemungkinan terjadinya kerusakan saraf
parasimpatis yang berdekatan dengan dubur. Untuk menghindari
kemungkinan tersebut, dapat dilakukan prosedur Soave yang
prosedurnya dilakukan seluruhnya di dalam rektum.1,2,9

Gambar 2.13: Hasil Prosedur Duhamel.9

20
c. Prosedur Soave
Prosedur ini pertama kali diperkenalkan oleh Soave tahun 1966
untuk mengatasi kesulitas diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Dilakukan dengan diseksi endorektal dan pengangkatan mukosa
segmen distal aganglionik, kemudian menarik terobos kolon
proksimal yang ganglionik masuk ke dalam lumen rektum.
Prosedur Soave dapat menyebabkan konstipasi jangka panjang
akibat dari eksisi inkomplit pada rektum aganglion. 1,2,9

Gambar 2.14: Hasil Prosedur Soave.9

d. Prosedur Reihbein
Pada prosedur ini dilakukan deep anterior resection yang
diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan sebagian besar
rektum, kemudian dilakukan anastomosis end to end di antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani. Setelah
operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna
mencegah stenosis.1,2

e. Transanal endorectal pull-through


Prosedur ini mulai diperkenalkan pada tahun 1998. Banyak
diminati karena menurunkan morbiditas, tanpa kolostomi, tanpa
membuka perut, dan invasif minimal. Pada teknik ini pasien dalam
posisi litotomi, kemudian dilakukan mukosektomi distal rektum
melalui anus sampai pada segmen yang normal. Setelah itu,
dianastomisis ke anus. Kekurangan prosedur ini tidak bisa

21
dilakukan pada kasus yang enterokolitis berulang dan segmen
panjang. Pada pasien-pasien segmen panjang penyakit
Hisrchsprung, tindakan ini dilakukan dengan bantuan
laparoskopi.1,2

f. Laparoscopic assisted pull through


Prosedur dilakukan dengan memasukkan kamera 4-5 mm sudut
300 pada kuadran kanan atas abdomen tepat dibawah batas hepar.
Setelah dilakukan pengangkatan segmen aganglionik kolon dan
rektum prosedur dilanjutkan dengan diseksi transanal mukosa
rektum dengan cara yang sama seperti metode Transanal Endo
Rectal Pull Through (TERPT). Keuntungan utama dari pendekatan
laparoskopik adalah memungkinkan untuk melakukan biopsi
seromuskular sebagai penanda kolon dengan ganglion yang
normal. Teknik ini juga memudahkan diseksi distal aganglionik
kolon dan rektum dengan visualisasi secara langsung. 1,2

Tindakan Post Operatif

Setelah dilakukan Primary Endorectal Pullthrough (PERPT),


pemberian makanan melalui oral dapat dipindahkan dalam waktu 24-48
jam. Orangtua perlu diberikan edukasi mengenai perlindungan pada area
bokong anak menggunakan krim untuk mencegah kulit perianal
terkelupas. Selain itu, edukasi juga mengenai gejala dan tanda terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa, yaitu enterokolitis pasca operasi. 1,2

2.5.10 Komplikasi
Komplikasi morbus Hirschsprung terbagi menjadi dua, yaitu
komplikasi pra operatif dan pasca operatif. Komplikasi pra operatif yang
sering terjadi adalah HAEC (Hirschsprung Associated Entero colitis).
HAEC merupakan perburukan dari morbus Hirschsprung berupa inflamasi
pada usus yang ditandai secara klinis dengan adanya demam, distensi
abdomen, diare dan sepsis. Saat ini HAEC merupakan penyebab morbiditas

22
tertinggi dan bertanggung jawab atas 50% mortalitas terkait morbus
Hirschsprung. Secara umum, komplikasi yang timbul pasca tindakan
operatif terdiri atas, kebocoran anastomosis, stenosis, enterokolitis dan
gangguan fungsi sfingter. Apabila diagnosis dan pengobatan dilakukan
sedini mungkin dan adekuat, maka dapet memperkecil kemungkinan
terjadi komplikasi.1,2,11

2.5.11 Prognosis
Secara umum, ad vitam, ad sanationam, dan ad functionam dari morbus
Hirschsprung dapat dikatakan bonam atau baik karena 90% pasien yang
mendapatkan tatalaksana tindakan bedah mengalami penyembuhan, hanya
sekitar 10% yang memang mempunyai masalah dengan saluran
gastrointestinal sehingga perlu dipasang kolostomi permanen. 1,2

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Morbus Hirschsprung merupakan suatu kelainan bawaan dengan kondisi
aganglionik pada pleksus submukosa (Meissner) dan mienterikus (Auerbach)
usus besar. Insiden penyakit ini terjadi di Indonesia sekitar 1 di antara 5000
kelahiran hidup bayi aterm. Sekitar 80% terjadi pada rektum atau kolon
rektosigmoid. Trias gejala yang ditemukan adalah pengeluaran mekonium
terhambat (>24 jam), muntah hijau, dan perut membuncit. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Penegakkan diagnosis perlu dilakukan sedini mungkin untuk
menghindari terjadinya komplikasi enterokolitis yang mengancam jiwa.
Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan tindakan konservatif yang
dilanjutkan dengan tindakan pembedahan.1,2

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Langer JC. Hirschsprung Disease. In: Holcomb and Ashcraft’s Pediatric


Surgery. Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 557–76.

2. Langer JC. Hirschsprung Disease. In: Coran AG, editor. Pediatric Surgery. 7th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012. p. 1265–78.

3. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana


Penyakit Hirschprung. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2017. 1–31 p.

4. Sadler TW. Gastrointestinal System. In: Langman’s Medical Embryology. 12th


ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012. p. 208–31.

5. Drake RL, Vogl AW. Gray’s Basic Anatomy. 2nd ed. Elsevier. Philadelphia:
Elsevier; 2018. 159–165 p.

6. Netter FH. Atlas Of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2014.

7. Mescher AL. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas. 14th ed. New York:
McGraw-Hill Education; 2016.

8. Sherwood L. Human Physiology, From Cells to Systems. 9th ed. Boston:


Cengage Learning; 2016.

9. Hackam DJ, Upperman J, Grikscheit T, Wang K, Ford HR. Pediatric Surgery.


In: Bruniacardi FC, editor. Schwartz’s Principles of Surgery. 11th ed. United
States: McGraw-Hill Education; 2019. p. 1705–54.

10. Chung DH. Pediatric Surgery. In: Sabiston Textbook of Surgery. 21st ed.
Philadelphia: Elsevier; 2022. p. 1844–82.

11. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: SubBagian Ilmu Bedah Anak,


Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.

25
26

Anda mungkin juga menyukai