Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

ILMU PENYAKIT THT-KL


BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)

Pembimbing :
dr. Deksa Muhammad Nurfitrian Widiastu, Sp.THT-KL

Penyusun :
Salma Inas Konitatunisa 20210420155

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS HANG TUAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOHAMAD SOEWANDHIE
SURABAYA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT ILMU PENYAKIT THT-KL

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO (BPPV)

Referat ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan kami sebagai Dokter Muda di bagian
Ilmu Penyakit THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah dr Mohamad Soewandhie
Surabaya

Surabaya, 19 Mei 2023

Pembimbing

dr. Deksa Muhammad Nurfitrian Widiastu, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan berkah yang telah dilimpahkan-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV)”. Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
kelulusan pada progam pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum
Daerah dr Mohamad Soewandhie Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan
sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun
pembaca.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dokter pembimbing referat ini,
dr. Deksa Muhammad Nurfitrian Widiastu, Sp.THT-KL dan seluruh dokter di
Rumah Sakit Umum Daerah dr Mohamad Soewandhie Surabaya yang senantiasa
membimbing kami agar dapat menyelesaikan studi dengan baik, serta semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya referat ini.
Referat ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dengan segenap
kerendahan hati, kami sebagai penulis memohon maaf apabila ada yang kurang
berkenan dan kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat
menjadi lebih baik lagi kedepannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.

Surabaya, 19 Mei 2023


Penulis

Salma Inas Konitatunisa

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
2.1 Anatomi Telinga...................................................................................2
2.1.1 Telinga dalam..............................................................................2
2.2 Fisiologi Organ Vestibular....................................................................5
2.3 Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)...................................8
2.3.1 Definisi........................................................................................8
2.3.2 Epidemiologi...............................................................................8
2.3.3 Etiologi........................................................................................9
2.3.4 Patofisiologi...............................................................................10
2.3.4.1 Teori Cupulolithiasis.....................................................11
2.3.4.2 Teori Canalithiasis........................................................11
2.3.5 Gejala dan pemeriksaan fisik.....................................................12
2.3.5.1 Anamnesis......................................................................12
2.3.5.2 Pemeriksaan fisik...........................................................12
2.3.6 Kriteria diagnosis.......................................................................16
2.3.6.1 BPPV tipe kanal posterior.............................................16
2.3.6.2 BPPV tipe kanal lateral..................................................18
2.3.6.3 BPPV Tipe Kanal Anterior dan Tipe Polikanalikular. . .18
2.3.7 Tatalaksana................................................................................19
2.3.7.1 Farmakologi...................................................................19
2.3.7.2 Non farmakologi............................................................20
2.3.7.3 Tindakan operasi............................................................23
2.3.8 Prognosis...................................................................................23
KESIMPULAN....................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................25
iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior...........................17

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi telinga (Sherwood, 2019)......................................................2


Gambar 2.2 Telinga dalam (Tortora & Nielsen, 2017)............................................4
Gambar 2.3 Organ Corti (Dhingra, 2018)................................................................4
Gambar 2.4 Aparatus vestibularis (Wackym & Snow, 2017).................................6
Gambar 2.5 Cupulolithiasis dan Canalithiasis (Palmeri & Kumar, 2022). ..........12
Gambar 2.6 Tes Dix-Hallpike (Teixeira and Machado, 2006)..............................14
Gambar 2.7 Tes Kalori (Source: Google)..............................................................15
Gambar 2.8 Tes supine roll (Bhattacharyya et al., 2017)......................................16
Gambar 2.9 Manuver epley (Bittar et al., 2010)....................................................21
Gambar 2.10 Manuver semont (Bittar et al., 2010)...............................................21
Gambar 2.11 Manuver lempert (Bittar et al., 2010)..............................................22
Gambar 2.12 Brandt-Daroff exercise (Bittar et al., 2010).....................................23

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Pusing, vertigo, dan gangguan keseimbangan adalah masalah umum namun


mencolok di antara orang dewasa yang lebih tua. Pusing dilaporkan terjadi pada
sekitar 30% hingga 40% orang yang lebih tua dari 70 tahun dengan frekuensi
meningkat dengan bertambahnya usia (Lindell, Karlsson, et al., 2021a). Pusing
mungkin memiliki beberapa etiologi, tetapi penyebab vestibular sangat umum
(Lindell, Kollén, et al., 2021).

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah penyebab vertigo yang


paling umum di seluruh dunia (Kim et al., 2021a). Manifestasi klinis BPPV yang
khas terdiri dari serangan vertigo yang berulang dan singkat yang umumnya
dipicu oleh perubahan posisi kepala, seperti melihat ke atas, membungkuk,
berbaring, atau berguling-guling di tempat tidur (van Dam et al., 2021).
Mayoritas kasus BPPV bersifat idiopatik. Kondisi ini semakin sering terjadi
dengan bertambahnya usia dan lebih sering terlihat di kalangan wanita, terutama
setelah menopause (Lindell, Karlsson, et al., 2021a).

Istilah 'jinak' umumnya menyiratkan bahwa suatu penyakit atau kondisi tidak
berbahaya dalam efeknya, tetapi meskipun istilah ini ada di dalam BPPV, beban
penyakit yang dialami oleh penderita menunjukkan sebaliknya (Power et al.,
2020). Penyakit Meniere, migrain, dan operasi telinga bagian dalam juga terbukti
sangat terkait dengan BPPV (Türk et al., 2021). Diagnosis BPPV dilakukan
melalui tes, khususnya tes Dix-Hallpike untuk BPPV posterior (pBPPV) dan
supine roll-test untuk BPPV horizontal (hBPPV), dan kriteria diagnostik termasuk
pusing dan nistagmus kanal spesifik yang didapatkan selama pengujian (Lindell,
Karlsson, et al., 2021b).

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2.1 Anatomi telinga (Sherwood, 2019)

Telinga diatur menjadi tiga struktur anatomi yang berbeda: telinga


luar, tengah, dan dalam. Telinga luar terdiri dari pinna, saluran pendengaran
eksternal, dan membran timpani dan bertanggung jawab untuk transmisi
gelombang suara dari lingkungan luar. Telinga tengah adalah ruang berisi
udara yang berisi tiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes),
yang merupakan tulang yang bertanggung jawab untuk mentransmisikan
getaran dari membran timpani ke telinga bagian dalam. Getaran
ditransmisikan dari maleus melalui inkus ke stapes, yang bersentuhan
dengan jendela oval koklea. Telinga tengah adalah rongga kecil berisi udara
di bagian petrosa dari tulang temporal yang dilapisi oleh epitel. Telinga
bagian dalam terletak di dalam labirin tulang tulang temporal dan berisi
koklea, kanalis semisirkularis, utrikulus, dan sakulus. (Ekdale, 2016).

2.1.1 Telinga dalam

Telinga bagian dalam terdiri dari dua divisi utama: labirin bertulang
di bagian luar yang membungkus labirin membranosa di bagian dalam.
Labirin bertulang dilapisi dengan periosteum dan mengandung perilimfe.

2
Cairan perilimfe yang secara kimia mirip dengan cairan serebrospinal
mengelilingi labirin membranosa. Labirin membranosa mengandung cairan
endolimfe di dalamnya, yang memainkan peran penting dalam eksitasi sel-
sel rambut yang bertanggung jawab untuk transmisi suara dan vestibular.
Tingkat ion kalium dalam endolimfe sangat tinggi untuk cairan
ekstraseluler, dan ion kalium berperan dalam pembentukan sinyal
pendengaran. Neuron sensorik membawa informasi sensorik dari reseptor,
dan neuron motorik membawa sinyal umpan balik ke reseptor. Badan sel
neuron sensorik terletak di ganglia vestibular (Tortora & Nielsen, 2017).

Koklea adalah organ berisi cairan berbentuk spiral yang terletak di


dalam saluran koklea telinga bagian dalam. Koklea mengandung tiga
kompartemen anatomi yang berbeda: skala vestibuli, skala media (juga
disebut sebagai duktus koklea), dan skala timpani. Skala vestibuli dan skala
timpani mengandung perilimfe dan mengelilingi skala media yang
mengandung endolimfe. Endolimfe dalam skala media berasal dari cairan
serebrospinal (CSF) dan disekresikan oleh stria vascularis, yang merupakan
jaringan kapiler yang terletak di ligamen spiral. Perilimfe pada skala
vestibuli berasal dari plasma darah, sedangkan perilimfe pada skala timpani
berasal dari CSF.

Organ Corti, yang terletak di atas membran basilaris di seluruh


panjangnya, mengandung sel rambut auditorik sebanyak 15.000 di dalam
koklea tersusun menjadi empat baris sejajar di seluruh panjang membrane
basilaris, satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar. Setiap
sel rambut memiliki 100 stereocillia di bagian ujung apikal. Sel rambut
bagian dalam bersinergi dengan 90-95% dari neuron sensorik di saraf
koklearis yang menyampaikan informasi pendengaran ke otak, sedangkan
sel rambut luar secara aktif dan cepat berubah panjang sebagai respons
terhadap perubahan potensial membran, suatu perilaku yang dikenal
sebagai elektromotilitas. Sel rambut luar memendek pada depolarisasi dan
memanjang pada hiperpolarisasi. Perubahan panjang ini memperkuat atau
menegaskan Gerakan membran basilaris (Sherwood, 2019).

3
Gambar 2.2 Telinga dalam (Tortora & Nielsen, 2017)

Gambar 2.3 Organ Corti (Dhingra, 2018)

Osikulus (tulang – tulang pendengaran) juga disokong oleh ligamen


dan otot yang menempel pada struktur tersebut. M. tensor timpani, yang
disuplai oleh cabang mandibular dari N. trigeminalis (V), membatasi
gerakan dan meningkatkan ketegangan pada gendang telinga untuk
mencegah kerusakan pada telinga dalam dari suara keras. M. stapedius,
yang disuplai oleh N. fasialis (VII), adalah otot rangka terkecil di tubuh
manusia. M. tensor timpani dan stapedius memerlukan waktu sepersekian

4
detik untuk berkontraksi, mereka dapat melindungi telinga bagian dalam
dari suara keras yang berkepanjangan, tetapi tidak dengan suara keras yang
singkat seperti suara tembakan (Tortora & Nielsen, 2017).
Dinding anterior telinga tengah berisi lubang yang mengarah
langsung ke tuba auditorik (pharyngotympanic), umumnya dikenal sebagai
tuba eustachius. Tuba eustachius adalah saluran dinamis yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring. Ukuran saluran ini pada
orang dewasa sekitar 36 mm yang biasanya dicapai pada usia 7 tahun
(Valentine & Wright, 2019). Tuba eustachius dalam keadaan normal
tertutup, tetapi dapat membuka oleh gerakan menguap, mengunyah, dan
menelan. Pembukaan ini memungkinkan tekanan udara di telinga tengah
menyamai tekanan atmosfer sehingga tekanan di kedua sisi membran
timpani setara (Sherwood, 2019).

2.2 Fisiologi Organ Vestibular

Selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea,


telinga dalam memiliki komponen khusus lain, aparatus vestibularis, yang
memberi informasi esensial bagi sensasi keseimbangan dan untuk
koordinasi gerakan kepala dengan gerakan mata dan postur tubuh. Aparatus
vestibularis terdiri dari dua set struktur di dalam bagian terowongan tulang
temporal dekat koklea, yaitu kanalis semisirkularis dan organ otolit, yaitu
utrikulus dan sakulus.

Aparatus vestibularis mendeteksi perubahan posisi dan gerakan


kepala. Seperti di koklea, semua komponen aparatus vestibularis
mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Serupa dengan organ
corti, komponen-komponen vestibularis masing-masing mengandung sel
rambut yang berespons terhadap deformasi mekanis yang dipicu oleh
gerakan spesifik endolimfe. Dan seperti sel rambut auditorik, reseptor
vestibularis dapat mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi, bergantung
pada arah gerakan cairan. Tidak seperti informasi dari sistem pendengaran,

5
sebagian informasi yang dihasilkan oleh aparatus vestibularis tidak
mencapai tingkat kesadaran (Sherwood, 2019).

Gambar 2.4 Aparatus vestibularis (Wackym & Snow, 2017)

Sistem vestibuler dapat diumpamakan sebagai sebuah giroskop


yang merasakan atau berpengaruh terhadap percepatan linier dan anguler.
Pada mamalia, makula utrikulus dan sakulus berespons terhadap percepatan
linier. Secara umum, utrikulus berespons terhadap percepatan horizontal
dan sakulus terhadap percepatan vertikal. Otolit bersifat lebih padat
daripada endolimfe dan percepatan dalam semua arah menyebabkannya
bergerak dengan arah berlawanan sehingga menyebabkan distorsi tonjolan
sel rambut dan mencetuskan aktivitas serabut saraf. Makula juga
melepaskan muatan secara tonik walaupun tidak terdapat gerakan kepala,
karena gaya tarik bumi pada otolit. Impuls yang dihasilkan oleh reseptor
reseptor ini sebagian berperan pada refleks menegakkan kepala dan
penyesuaian postur penting lain.

Walaupun sebagian besar respons terhadap rangsangan pada makula


bersifat refleks, impuls vestibular juga mencapai korteks serebri. Impuls-
impuls ini diperkirakan berperan dalam persepsi gerakan yang disadari dan
memberi sebagian informasi yang penting untuk orientasi dalam ruang.
Vertigo adalah sensasi berputar tanpa ada gerakan berputar yang

6
sebenarnya dan merupakan gejala yang menonjol apabila salah satu labirin
mengalami inflamasi.

Percepatan anguler atau percepatan rotasi pada salah satu bidang


kanalis semisirkularis tertentu akan merangsang kristanya. Endolimfe,
karena kelembamannya, akan bergeser ke arah yang berlawanan terhadap
arah rotasi. Cairan ini mendorong kupula sehingga menyebabkan
perubahan bentuk. Hal ini membuat tonjolan sel rambut menjadi menekuk.
Jika telah tercapai kecepatan rotasi yang konstan, cairan berputar dengan
kecepatan yang sama dengan tubuh dan posisi kupula kembali tegak.
Apabila rotasi dihentikan, perlambatan akan menyebabkan pergeseran
endolimfe searah dengan rotasi, dan kupula mengalami perubahan bentuk
dalam arah yang berlawanan dengan arah saat percepatan. Kupula kembali
ke posisi di tengah dalam 25-30 detik. Pergerakan kupula pada satu arah
biasanya menimbulkan lalu lintas impuls di setiap serabut saraf dari
kristanya, sementara pergerakan dalam arah berlawanan umumnya
menghambat aktivitas saraf.

Rotasi menyebabkan perangsangan maksimum pada kanalis


semisirkularis yang paling dekat dengan bidang rotasi. Karena kanalis di
satu sisi kepala merupakan bayangan cermin dari kanalis di sisi lain,
endolimfe akan bergeser menuju ampula di satu sisi dan menjauhinya di
sisi yang lain. Dengan demikian, pola rangsangan yang mencapai otak
beragam, sesuai arah serta bidang rotasi. Percepatan linier mungkin tidak
dapat menyebabkan perubahan kupula sehingga tidak dapat menyebabkan
rangsangan pada krista. Terdapat banyak bukti bahwa apabila salah satu
bagian labirin rusak, bagian lain akan mengambil alih fungsinya. Dengan
demikian, lokalisasi fungsi labirin secara eksperimental sulit dilakukan.

Nukleus vestibularis terutama berperan mempertahankan posisi


kepala dalam ruang. Jalur yang turun dari nukleus-nukleus ini
memeperantarai penyesuaian kepala terhadap leher dan kepala terhadap
badan. Hubungan asendens ke nukleus saraf kranialis sebagian besar
berkaitan dengan pergerakan mata (Ganong et al., 2014).
7
2.3 Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

2.3.1 Definisi

Vertigo Posisi Paroksimal Jinak (VPPJ) atau Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV) merupakan bentuk dari vertigo posisional.
Definisi vertigo posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh
perubahan posisi kepala. Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan
yang terjadi di telinga dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi
secara berulang-ulang dengan tipikal nistagmus paroksimal (Bhattacharyya
et al., 2017a).

Benign dan paroksimal biasa digunakan sebagai karakteristik dari


vertigo posisional. Benign pada BPPV secara historikal merupakan bentuk
dari vertigo posisional yang seharusnya tidak menyebabkan gangguan
susunan saraf pusat yang serius dan secara umum memiliki prognosis yang
baik. Sedangkan paroksimal yang dimaksud adalah onset vertigo yang
terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung cepat biasanya tidak lebih dari satu
menit, yang dipengaruhi oleh perubahan posisi sehingga mengakibatkan
BPPV. Benign Paroxysmal Positional Vertigo memiliki beberapa istilah
atau sering juga disebut dengan benign positional vertigo, vertigo
paroksimal posisional, vertigo posisional, benign paroxymal nystagmus,
dan dapat disebut juga paroxymal positional nystagmus (Bhattacharyya et
al., 2017a).

2.3.2 Epidemiologi

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah jenis vertigo


vestibular yang paling umum, dengan perkiraan kejadian 64 kasus per
100.000 orang per tahun dan prevalensi seumur hidup 2,4% (van Dam et
al., 2021). Dari kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di
United State dengan keluhan pusing didapatkan prevalensi 17% - 42%
pasien didiagnosis BPPV. Di Indonesia, BPPV merupakan vertigo perifer
yang paling sering ditemui, yaitu sekitar 30% (Purnamasari, 2010).
Proporsi kejadian pada wanita lebih sering terpengaruh daripada pria,
8
dengan rasio perempuan dibanding laki-laki 2,2 : 1,5 (Bhattacharyya et al.,
2017a). Biasanya, episode pertama BPPV terjadi antara usia 49 dan 60
tahun. Terlepas dari dampak parah BPPV pada kualitas hidup individu yang
lebih tua dan risiko jatuh yang lebih tinggi (Müller et al., 2022).

2.3.3 Etiologi

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) terjadi karena


perpindahan kristal kalsium-karbonat atau otokonia di dalam kanalis
semisirkularis berisi cairan di telinga bagian dalam. Otokonia ini sangat
penting untuk berfungsinya utrikulus membran otolitik dengan membantu
membelokkan sel-sel rambut di dalam endolimfe, yang menyampaikan
perubahan posisi kepala, termasuk memiringkan, memutar, dan percepatan
linier (Palmeri & Kumar, 2022).

Sekitar 50% sampai 70% kasus BPPV terjadi tanpa diketahui


penyebabnya dan disebut sebagai BPPV primer atau idiopatik. Kasus yang
tersisa disebut BPPV sekunder dan sering dikaitkan dengan patologi yang
mendasarinya, seperti trauma kepala, neuronitis vestibular, labirinitis,
penyakit Ménière, migrain, iskemia, dan penyebab iatrogenik. Penyebab
paling umum dari BPPV sekunder adalah cedera kepala, terhitung 7%
sampai 17% dari kasus BPPV. Trauma pada kepala dapat menyebabkan
pelepasan banyak otokonia ke dalam endolimfe. Viral labirinitis atau
vestibular neuronitis menyumbang hingga 15% kasus BPPV (Palmeri &
Kumar, 2022).

Penyakit Ménière diperkirakan terkait dengan BPPV pada 0,5%


hingga 31% kasus. Gross dan rekan mengamati bahwa 5,5% dari kasus
penyakit Ménière memiliki BPPV kanal posterior. Ini bisa menjadi
konsekuensi dari cedera yang diinduksi secara hidropik pada utrikulus atau
obstruksi labirin membran (Palmeri & Kumar, 2022).

Migrain juga ditemukan memiliki hubungan yang erat dengan BPPV.


Ishiyama dkk. mengamati peningkatan kejadian migrain pada pasien yang
menderita BPPV dan kekambuhan BPPV yang lebih tinggi setelah berhasil
9
melakukan posisi pada pasien dengan migrain. Telah dipostulasikan bahwa
spasme arteri telinga bagian dalam mungkin merupakan mekanisme
penyebab yang mendasarinya, karena vasospasme sering terlihat pada
migrain (Palmeri & Kumar, 2022).

BPPV sekunder juga dilaporkan setelah operasi telinga bagian


dalam. Mekanisme yang mendasari mungkin terkait dengan kerusakan
utrikulus yang menyebabkan pelepasan otokonia (Palmeri & Kumar,
2022).

2.3.4 Patofisiologi

Untuk memahami etiologi BPPV, pemahaman tentang anatomi dan


fisiologi kanalis semisirkularis (SCC) sangat penting. Setiap telinga bagian
dalam terdiri dari tiga SCC yang terletak di tiga bidang tegak lurus. Setiap
kanal memiliki lengan tubular (crura) yang berasal dari kompartemen besar
seperti tabung. Di ujung masing-masing lengan ini, terdapat bagian yang
melebar yang disebut ampulla. Di sinilah crista ampullaris dengan reseptor
saraf hadir. Untuk mendeteksi aliran cairan di SCC, setiap crista ampullaris
berisi struktur seperti Menara yaitu, cupula. Jika ada gerakan tiba-tiba ke
arah kanan, cairan di kanal horizontal sisi kanan tertinggal, membuat
cupula dibelokkan ke kiri. Sinyal saraf dihasilkan dari defleksi ini,
mengkonfirmasi rotasi kepala ke kanan. Dengan cara ini, cupula bekerja
sebagai sistem tiga arah yang secara tepat menginformasikan tubuh tentang
sensasi gerak. Posisi netral tidak menimbulkan gerakan (Palmeri &
Kumar, 2022).
Dalam kasus vertigo, partikel di kanal melambat dan bahkan
mungkin membalikkan gerakan saklar cupula, menciptakan sinyal yang
tidak koheren dengan gerakan kepala yang sebenarnya. Perbedaan
informasi sensorik ini menyebabkan sensasi vertigo (Palmeri & Kumar,
2022).
Dengan BPPV, otokonia (juga dikenal sebagai "otoliths" atau
"canaliths") terlepas dan menetap di dalam endolimfe pada SCC. Saat
kepala tetap statis, tidak ada rangsangan. Namun, dengan gerakan,
10
perpindahan otokonia bergeser di dalam cairan, dan rangsangan berikutnya
tidak seimbang sehubungan dengan telinga yang berlawanan, menyebabkan
gejala pusing, berputar, dan/atau bergoyang secara tidak tepat. Oleh karena
itu, gejala BPPV sangat mendalam dengan Gerakan (Palmeri & Kumar,
2022).
Berdasarkan patofisiologi yang mendasarinya, BPPV dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan dua teori yang berbeda:

2.3.4.1 Teori Cupulolithiasis

Pada tahun 1962, Harold Schuknecht mengusulkan teori 'heavy


cupula' ini dalam upaya untuk menjelaskan patologi yang mendasari
BPPV. Dengan bantuan fotomikrograf, partikel basofilik terlihat
melekat pada cupula. Dia mengemukakan teori bahwa partikel-partikel
ini berperan dalam membuat kanal setengah lingkaran posterior (PSC)
responsif terhadap gravitasi. Hal ini membuat cupula menjadi berat, dan
begitu posisi tertentu tercapai, berat partikel padat ini membuat cupula
tidak bergerak, menjaganya agar tidak kembali ke posisi netral. Inilah
sebabnya mengapa ada nistagmus dan pusing yang terus-menerus saat
pasien bersandar ke belakang (Palmeri & Kumar, 2022).

2.3.4.2 Teori Canalithiasis

Pada tahun 1980, Epley mengusulkan teorinya berdasarkan


canalithiasis. Dia menganjurkan bahwa penyajian BPPV tidak konsisten
dengan gagasan kerapatan tetap yang melekat pada cupula. Dia
berpendapat bahwa kepadatan yang bergerak bebas di SCC posterior
dapat menjelaskan gejala BPPV jauh lebih baik. Dia menyebut
kerapatan ini sebagai kanalit. Saat kepala dalam posisi tegak, partikel
mengendap di PSC pada posisi yang paling bergantung pada gravitasi.
Saat kepala disandarkan ke belakang, partikel-partikel ini berputar ke
atas kira-kira 90 derajat di sepanjang PSC. Setelah jeda singkat karena
inersia, gravitasi menarik partikel-partikel ini menyebabkan endolimfe
11
meluncur menjauh dari ampula. Ini, pada gilirannya, menyebabkan
kupula membelok, yang menghasilkan nistagmus. Pembalikan rotasi
primer (duduk kembali dalam kasus ini) menyebabkan pembalikan
defleksi cupula. Akibatnya pusing dengan nistagmus terjadi karena
pemukulan yang sekarang terjadi berlawanan arah (Palmeri & Kumar,
2022).

Gambar 2.5 Cupulolithiasis dan Canalithiasis (Palmeri & Kumar, 2022).

2.3.5 Gejala dan pemeriksaan fisik

2.3.5.1 Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-
20 detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah
berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur,
melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti
dengan mual (Parnes & Nabi, 2009a).

2.3.5.2 Pemeriksaan fisik

Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus


spontan, dan pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik standar
untuk BPPV adalah : Dix Hallpike dan Tes kalori.

12
a. Dix-Hallpike Test

Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah
dengan leher danpunggung. Tujuannya adalah untuk mem provokasi
serangan vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus. Cara
melakukannya sebagai berikut :

1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur


pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang
setelah beberapa detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga
ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30o-40o,
penderita diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus
yang muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan 45o (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi
otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis
semisirkularis posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet” (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah
berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi
kiri 45o dan seterusnya.

13
Gambar 2.6 Tes Dix-Hallpike (Teixeira and Machado, 2006)

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan


provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak
tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan
nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian nistagmus
menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada
kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya
serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus (Teixeira
& Machado, 2006).

b. Tes kalori
Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini
dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30oC,
sedangkan suhu air panas adalah 44oC. Volume air yang dialirkan ke
dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah
air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri
diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin
juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan. Pada
tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau

14
air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan
pusingnya) (Teixeira & Machado, 2006).

Gambar 2.7 Tes Kalori (Source: Google)

c. Tes supine roll


Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes
Dix-Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk
memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau
disebut juga BPPV kanal horisontal adalah BPPV terbanyak kedua.
Pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni adanya
vertigo yang diakibatkan perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi
kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya
BPPV kanal lateral.
Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini
bersifat provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing
yang berat selama beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan
pasien dalam posisi supinasi atau berbaring terlentang dengan kepala
pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90o dengan cepat ke satu
sisi dan dokter mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya
nistagmus. Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus),
kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah
nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 o ke sisi
yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada
tidaknya nistagmus (Bhattacharyya et al., 2017a).

15
Gambar 2.8 Tes supine roll (Bhattacharyya et al., 2017)

2.3.6 Kriteria diagnosis

Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan


pemeriksaan fisik (Fife, 2009a). Pasien biasanya melaporkan episode
berputar ditimbulkan oleh gerakan-gerakan tertentu, seperti berbaring atau
bangun tidur, berguling di tempat tidur, melihat ke atas atau meluruskan
badan setelah membungkuk. Episode vertigo berlangsung 10 sampai 30
detik dan tidak disertai dengan gejala tambahan selain mual pada beberapa
pasien. Beberapa pasien yang rentan terhadap mabuk (motion sickness)
mungkin merasa mual dan pusing selama berjam-jam setelah serangan
vertigo, tetapi kebanyakan pasien merasa baik-baik saja di antara episode
vertigo (Bhattacharyya et al., 2017b). Jika pasien melaporkan episode
vertigo spontan, atau vertigo yang berlangsung lebih dari 1 atau 2 menit,
atau jika episode vertigo tidak pernah terjadi di tempat tidur atau dengan
perubahan posisi kepala, maka kita harus mempertanyakan diagnosis dari
BPPV (Fife, 2009b).

2.3.6.1 BPPV tipe kanal posterior

Dokter dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika


nistagmus posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-
Hallpike. Manuver ini dilakukan dengan memeriksa pasien dari posisi
berdiri ke posisi berbaring (hanging position) dengan kepala di posisikan 45
16
derajat terhadap satu sisi dan leher diekstensikan 20 derajat. Manuver Dix-
Hallpike menghasilkan torsional upbeating nystagmus yang terkait dalam
durasi dengan vertigo subjektif yang dialami pasien, dan hanya terjadi
setelah memposisikan Dix-Hallpike pada sisi yang terkena. Diagnosis
presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi nistagmus posisional
paroksismal menegaskan diagnosisnya (Fife, 2009b).

Nistagmus yang dihasilkan oleh manuver Dix-Hallpike pada BPPV


kanal posterior secara tipikal menunjukkan 2 karakteristik diagnosis yang
penting. Pertama, ada periode latensi antara selesainya manuver dan onset
vertigo rotasi subjektif dan nistagmus objektif. Periode latensi untuk onset
nistagmus dengan manuver ini tidak spesifik pada literatur, tapi berkisar
antara 5 sampai 20 detik, walaupun dapat juga berlangsung selama 1 menit
pada kasus yang jarang. Yang kedua, vertigo subjektif yang diprovokasi
dan nistagmus meningkat, dan kemudian mereda dalam periode 60 detik
sejak onset nistagmus.

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior


(Bhattacharyya et al., 2017b).
Riwayat Pasien melaporkan episode berulang dari vertigo yang
terjadi karena perubahan posisi kepala.
Pemeriksaan fisik Setiap kriteria berikut terpenuhi:
- Vertigo berkaitan dengan nistagmus diprovokasi
oleh tes Dix-Hallpike
- Ada periode laten antara selesainya tes Dix-
Hallpike dengan onset vertigo dan nistagmus
- Vertigo dan nistagmus yang diprovokasi
meningkat dan kemudian hilang dalam periode
waktu 60 detik sejak onset nistagmus.

Komponen nistagmus yang diprovokasi oleh manuver Dix-


Hallpike menunjukkan karakteristik campuran gerakan torsional dan
vertikal (sering disebut upbeating-torsional). Dalam sekejap, nistagmus
biasanya mulai secara lembat, meningkat dalam hal intensitas, dan
kemudian berkurang dalam hal intensitas ketika ia menghilang. Ini disebut
sebagai crescendo-decrescendo nystagmus. Nistagmus sekali lagi sering
17
terlihat setelah pasien kembali ke posisi kepala tegak dan selama bangun,
tetapi arah nystagmus mungkin terbalik. Karakteristik lain dari nistagmus
pada BPPV kanal posterior adalah nistagmusnya dapat mengalami
kelelahan (fatigue), yakni berkurangnya keparahan nistagmus ketika
manuver tersebut diulang-ulang. Tetapi karakteristik ini tidak termasuk
kriteria diagnosis (Bhattacharyya et al., 2017a).

2.3.6.2 BPPV tipe kanal lateral

BPPV tipe kanal lateral (horizontal) terkadang dapat ditimbulkan


oleh Dix-Hallpike maneuver. Namun cara yang paling dapat diandalkan
untuk mendiagnosis BPPV horisontal adalah dengan supine roll test atau
supine head turn maneuver (Pagnini McClure maneuver) (Parnes & Nabi,
2009b). Dua temuan nistagmus yang potensial dapat terjadi pada manuver
ini, menunjukkan dua tipe dari BPPV kanal lateral.

a. Tipe Geotrofik. Pada tipe ini, rotasi ke sisi patologis menyebabkan


nistagmus horisontal yang bergerak (beating) ke arah telinga paling
bawah. Ketika pasien dimiringkan ke sisi lain, sisi yang sehat, timbul
nistagmus horizontal yang tidak begitu kuat, tetapi kembali bergerak
ke arah telinga paling bawah.
b. Tipe Apogeotrofik. Pada kasus yang lebih jarang, supine roll test
menghasilkan nistagmus yang bergerak ke arah telinga yang paling
atas. Ketika kepala dimiringkan ke sisi yang berlawanan, nistagmus
akan kembali bergerak ke sisi telinga paling atas (Bhattacharyya et
al., 2017a). Pada kedua tipe BPPV kanal lateral, telinga yang terkena
diperkirakan adalah telinga dimana sisi rotasi menghasilkan
nistagmus yang paling kuat (Fife, 2009b). Di antara kedua tipe dari
BPPV kanal lateral, tipe geotrofik adalah tipe yang paling banyak
(Bhattacharyya et al., 2017c).

2.3.6.3 BPPV Tipe Kanal Anterior dan Tipe Polikanalikular

Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe kanal anterior berkaitan


dengan paroxysmal downbeating nystagmus, kadang-kadang dengan
18
komponen torsi minor mengikuti posisi Dix-Hallpike. Bentuk ini mungkin
ditemui saat mengobati bentuk lain dari BPPV. Benign Paroxysmal
Positional Vertigo kanal anterior kronis atau persisten jarang. Dari semua
tipe BPPV, BPPV kanal anterior tampaknya tipe yang paling sering sembuh
secara spontan. Diagnosisnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati
karena downbeating positional nystagmus yang berhubungan dengan lesi
batang otak atau cerebellar dapat menghasilkan pola yang sama.

Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe polikanalikular jarang,


tetapi menunjukkan bahwa dua atau lebih kanal secara bersamaan terkena
pada waktu yang sama. Keadaan yang paling umum adalah BPPV kanal
posterior dikombinasikan dengan BPPV kanal horizontal. Nistagmus ini
bagaimanapun juga tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal,
meskipun pengobatan mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam
beberapa kasus (Fife, 2009b).

2.3.7 Tatalaksana

2.3.7.1 Farmakologi

Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin


dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek
untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi
pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM (Particle
Repositioning Maneuver). Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga
pengobatan suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine (diazepam, clonazepam) dan antihistamine (meclizine,
dipenhidramin). Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar
namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada kondisi vestibular
perifer. Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat muntah
sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena motion sickness.
Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga
penggunaannya diminimalkan (Bhattacharyya et al., 2017a).

19
2.3.7.2 Non farmakologi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu


penyakit yang ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa
bulan. Namun telah banyak penelitian yang membuktikan dengan
pemberian terapi dengan manuver reposisi partikel/ Particle Repositioning
Maneuver (PRM) dapat secara efektif menghilangkan vertigo pada BPPV,
meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh pada pasien.
Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari 70%-
100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya
debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit
misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah
melakukan manuver, hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk
minimal 10 menit untuk menghindari risiko jatuh.

Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan


partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada lima manuver
yang dapat dilakukan tergantung dari varian BPPV nya.

a) Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal
vertikal. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar
45o , lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2
menit. Lalu kepala ditolehkan 90o ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi
berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu
pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk
secara perlahan.

20
Gambar 2.9 Manuver epley (Bittar et al., 2010)

b) Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanal
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu
kepala dimiringkan 45o ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke
posisi berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan
vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di
sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.

Gambar 2.10 Manuver semont (Bittar et al., 2010)

21
c) Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360o , yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 90o ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan
tubuh ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90o
dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi
supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk
migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.

Gambar 2.11 Manuver lempert (Bittar et al., 2010)

d) Forced Prolonged Position


Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya
adalah untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada
sisi telinga yang sakit dan dipertahankan selama 12 jam.

e) Brandt-Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan
dapat dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien
yang tetap simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini
juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan (Bittar et al., 2010).

22
Gambar 2.12 Brandt-Daroff exercise (Bittar et al., 2010)

2.3.7.3 Tindakan operasi

Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi


kronik dan sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan
setelah melakukan manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari
literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi adalah pada
intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi
vestibular, tidak seperti BPPV biasa.

Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat


dipilih, yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan
oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan
oklusi karena teknik neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran
yang tinggi (Leveque et al., 2007).

2.3.8 Prognosis

BPPV memiliki onset akut dan remisi lebih dari beberapa bulan.
Pasien akan mengalami rekuren dan remisi yang tidak dapat diprediksi, dan
angka terjadinya rekurensi dapat 10-15% per tahun. Namun, pada pasien
dengan vertigo tipe perifer vestibular umumnya baik. Penyakit ini
merupakan self-limiting yang kebanyakan pasien dapat membaik dengan
manuver reposisi. Dengan demikian, program rehabilitasi vestibular
termasuk dapat mengurangi tingkat kekambuhan BPPV (Kim et al., 2021b).

23
KESIMPULAN

Vertigo Posisi Paroksimal Jinak (VPPJ) atau Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV) merupakan bentuk dari vertigo posisional. Definisi
vertigo posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh perubahan
posisi kepala. Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di
telinga dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-
ulang dengan tipikal nistagmus paroksimal.

Di Indonesia, BPPV merupakan vertigo perifer yang paling sering


ditemui, yaitu sekitar 30%. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan
dengan pria yaitu 2,2 : 1,5. Biasanya, episode pertama BPPV terjadi antara usia
49 dan 60 tahun. Terlepas dari dampak parah BPPV pada kualitas hidup
individu yang lebih tua dan risiko jatuh yang lebih tinggi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah suatu penyakit yang dapat


sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah banyak penelitian
yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi partikel/
Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif menghilangkan
vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari
70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya debris
otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bashir, K., Irfan, F. and Cameron, P.A. (2014) ‘Management of benign


paroxysmal positional vertigo (BPPV) in the emergency department’,
Journal of Emergency Medicine, Trauma and Acute Care. Available at:
https://doi.org/10.5339/jemtac.2014.3.

Bhandari, A., Kingma, H. and Bhandari, R. (2021) ‘BPPV Simulation: A


Powerful Tool to Understand and Optimize the Diagnostics and Treatment
of all Possible Variants of BPPV’, Frontiers in Neurology [Preprint].
Available at: https://doi.org/10.3389/fneur.2021.632286.

Bhattacharyya, N. et al. (2017) ‘Clinical Practice Guideline: Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (Update)’, Otolaryngology - Head and Neck Surgery
(United States) [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1177/0194599816689667.

Bittar, R.S.M. et al. (2010) ‘Benign paroxysmal positional vertigo: Diagnosis and
treatment’, International Tinnitus Journal [Preprint].

Fife, T.D. (2009) ‘Benign paroxysmal positional vertigo’, Seminars in Neurology


[Preprint]. Available at: https://doi.org/10.1055/s-0029-1241041.

Ganong, W.F. et al. (2014) Ganong Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 24,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kim, H.J., Park, J.H. and Kim, J.S. (2021) ‘Update on benign paroxysmal
positional vertigo’, Journal of Neurology [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1007/s00415-020-10314-7.

Leveque, M. et al. (2007) ‘Surgical therapy in intractable benign paroxysmal


positional vertigo’, Otolaryngology - Head and Neck Surgery [Preprint].
Available at: https://doi.org/10.1016/j.otohns.2006.04.020.

Lindell, E. et al. (2021) ‘Benign paroxysmal positional vertigo and vestibular


impairment among older adults with dizziness’, Laryngoscope

25
Investigative Otolaryngology [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1002/lio2.566.

Lindell, E. et al. (2021) ‘Benign paroxysmal positional vertigo, dizziness, and


health-related quality of life among older adults in a population-based
setting’, European Archives of Oto-Rhino-Laryngology [Preprint].
Available at: https://doi.org/10.1007/s00405-020-06357-1.

Meyerhoff, W.L. (1987) ‘Anatomy and Physiology of the Peripheral Auditory


Mechanism’, Ear and Hearing [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1097/00003446-198712000-00021.

Mu’jizatillah, M., Risa, A.N. and Fauziah, E. (2021) ‘PENATALAKSANAAN


FISIOTERAPI UNTUK MENGURANGI VERTIGO PADA
PENDERITA BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO
(BPPV) DENGAN TEKNIK SEMONT LIBERATORY MANEUVER DI
KELURAHAN SUNGAI ANDAI KOTA BANJARMASIN’, Jurnal
Kajian Ilmiah Kesehatan dan Teknologi [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.52674/jkikt.v3i1.42.

Müller, R. et al. (2022) ‘Dizziness and benign paroxysmal positional vertigo


among retirement home residents: a cross-sectional descriptive and
interventional study’, BMC Geriatrics [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1186/s12877-022-02818-w.

Parnes, L.S. and Nabi, S. (2009) ‘The diagnosis and management of benign
paroxysmal positional vertigo’, Seminars in Hearing [Preprint]. Available
at: https://doi.org/10.1055/s-0029-1241129.

Power, L., Murray, K. and Szmulewicz, D.J. (2020) ‘Characteristics of assessment


and treatment in Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)’, Journal
of Vestibular Research: Equilibrium and Orientation [Preprint]. Available
at: https://doi.org/10.3233/VES-190687.

26
Purnamasari, P. (2010) ‘Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV)’, Bagian Ilmu Penyakit Saraf Universitas
Udayana Denpasar.

Sherwood, L. (2019) Human Physiology: From cells to systems, 9th revised ed.,
The Neuroscientist.

Teixeira, L.J. and Machado, J.N.P. (2006) ‘Maneuvers for the treatment of benign
positional paroxysmal vertigo: a systematic review’, Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1016/s1808-8694(15)30046-x.

Tortora, G.J. and Nielsen, M. (2017) Principles of Human Anatomy 14th Edition,
Journal of Chemical Information and Modeling.

Türk, B. et al. (2021) ‘Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Comparison of


Idiopathic BPPV and BPPV Secondary to Vestibular Neuritis’, Ear, Nose
and Throat Journal [Preprint]. Available at:
https://doi.org/10.1177/0145561319871234.

Valentine, P. and Wright, T. (2019) ‘Anatomy and Embryology of the External


and Middle Ear’, in Scott-Brown’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Available at: https://doi.org/10.1201/9780203731017-46.

van Dam, V.S. et al. (2021) ‘Two Symptoms Strongly Suggest Benign
Paroxysmal Positional Vertigo in a Dizzy Patient’, Frontiers in Neurology
[Preprint]. Available at: https://doi.org/10.3389/fneur.2020.625776.

Wackym, P.A. and Snow, J.B. (2017) Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and
neck surgery, Handbook of Clinical Anaesthesia, Fourth Edition.

Walter, J. et al. (2021) ‘Prevalence of Reversal Nystagmus in Benign Paroxysmal


Positional Vertigo’, Journal of the American Academy of Audiology
[Preprint]. Available at: https://doi.org/10.1055/s-0040-1718894.

27

Anda mungkin juga menyukai