Anda di halaman 1dari 30

CASE REPORT

“Lumbar Spinal Canal Stenosis”

Oleh:
Evaldo Wiyoko Wibisono (1902612054)

Penguji:
Dr. K. G. Mulyadi Riadi, Sp.OT(K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka Case Report dengan topik “Lumbar Spinal Canal Stenosis” ini
dapat selesai pada waktunya.
Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Orthopedi dan Traumatologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan ini.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. K.G. Mulyadi Ridia, Sp.OT (K) selaku Ketua Departemen/KSM Orthopedi
dan Traumatologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
2. dr. I Wayan Subawa, Sp.OT (K) selaku koordinator pendidikan profesi dokter
di Departemen/KSM Orthopedi dan Traumatologi FK UNUD/ RSUP Sanglah
Denpasar.
3. Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan case report ini.
Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan penulisan case report ini. Semoga dapat
bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 09 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... 2


DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1 Anatomi............................................................................................. 6
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 7
2.3 Klasifikasi ......................................................................................... 7
2.4 Patoanatomi ....................................................................................... 8
2.5 Patofisiologi .................................................................................... 10
2.6 Diagnosis......................................................................................... 11
2.6.1 Anamnesis............................................................................... 11
2.6.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................... 12
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 12
2.7 Manajemen ...................................................................................... 16
2.8 Komplikasi ...................................................................................... 19
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................... 20
3.1 Identitas Pasien ................................................................................ 20
3.2 Anamnesis ....................................................................................... 20
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 21
3.4 Pemeriksaan Penunjang.................................................................... 24
3.5 Diagnosis......................................................................................... 27
3.6 Penatalaksanaan ............................................................................... 28
BAB IV SIMPULAN ...................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri punggung menjadi penyebab utama disabilitas secara global. Lumbar


Spinal Stenosis (LSS), penyebab tersering pada nyeri punggung bawah dan kaki,
diasosiasikan dengan disabilitas keterbatasan fungsional yang signifikan. Pada
kasus spinal stenosis, lokasi lumbar menjadi lokasi tersering terjadinya spinal
stenosis. Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering
ditemukan, yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada
populasi usia lanjut. Perkiraan rata-rata prevalensi LSS berdasarkan diagnosis
klinis atau radiologis bervariasi antara 11-38% (usia rata-rata 62, rentang usia 19-
93). Penelitian lain menunjukkan prevalensi sekitar 5 dari 1000 orang diatas usia
50 tahun. Lumbar spinal stenosis merupakan penyakit terbanyak yang
menyebabkan bedah pada tulang belakang pada usia lebih dari 60 tahun. Pria lebih
tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras,
jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5
dan lumbar ke-3 ke-4.1,2,3
Lumbar spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis
spinalis atau foramen intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan
penekanan akar saraf yang secara progresif menekan struktur neurovaskular di
kanal tulang belakang atau foramen. Stenosis menyebabkan penyempitan pada
kaliber orifisium tuba, yang menyebabkan penurunan aliran cairan atau gas
disertai penekanan pada komponen struktur saraf, bila tidak terjadi penekanan
maka kanalnya dikatakan mengalami penyempitan namun bukan stenosis. Pada
level vertebra yang sama, penyempitan tersebut bisa mempengaruhi keseluruhan
kanal dan bagian lain dari kanal tersebut. Kanal lumbalis terdiri dari bagian
central, dua bagian lateral, dan bagian posterior yang berhubungan dengan sudut
interlaminar. Bagian central disebut central spinal canal dan masing- masing
bagian lateral disebut akar saraf atau radicular canal. 1,2 Beberapa faktor yang
dapat menyebabkan penyempitan pada spinal canal adalah herniasi disk
intervertebra, hipertrofi ligamentum flavum, hipertrofi facet joint, dan
spondylolisthesis.4

4
Pasien dengan stenosis tulang belakang lumbal dapat menunjukkan gejala
seperti nyeri punggung, nyeri yang menjalar, dan klaudikasio neurogenik.
Meskipun hasil perawatan jangka panjang menunjukkan hasil yang serupa untuk
perawatan non-operatif dan operatif, efek positif seperti perbaikan jangka pendek
dalam gejala dan penurunan risiko jatuh dapat diharapkan dengan tindakan
operatif. Perawatan operatif pada dasarnya adalah dekompresi, dan kombinasi
perawatan dapat ditambahkan tergantung pada tingkat dekompresi dan
ketidakstabilan yang menyertainya. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
operasi minimal invasif menghasilkan hasil yang sangat baik dalam pengobatan
LSS.5

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya,
vertebra dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra terdiri dari
corpus vertebra dan arkus vertebra. Corpus vertebra adalah bagian ventral yang
memberi kekuatan pada columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus
vertebra, terutama dari vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur bertambah besar
supaya dapat memikul beban yang makin berat. Arkus vertebra adalah bagian
dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan lamina arkus
vertebra. Pediculus arcus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan
menghubungkan lengkung pada corpus vertebra, insisura vertebralis merupakan
torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura vertebralis superior dan incisura
vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertangga membentuk sebuah
foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebra menjorok ke arah dorsal untuk
bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng yakni lamina arcus
vertebra. Arcus vertebra dan permukaan dorsal corpus vertebra membatasi
foramen vertebrale. Foramen vertebrale berurutan pada columna vertebra yang
utuh, membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens,
jaringan lemak, akar saraf dan pembuluh darah. 2
Vertebra lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebra pejal, jika dilihat
dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga, lebih besar
dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan ramping,
prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus, prosesus
articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior mengarah ke
ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap prosesus
articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh. Struktur lain yang tidak kalah
penting dan menjadi istimewa adalah sendi lengkung vertebra articulation
zygapophysealis (facet joint), letaknya sangat berdekatan dengan foramen
intervertebrale yang dilalui saraf spinal untuk meninggalkan canalis vertebralis.
Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara prosesus articularis (zygoapophys is)

6
vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak luncur antara vertebra. Jika
sendi ini mengalami cidera atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut terlibat.
Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan pola susunan
dermatom, dan kejang pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai.2

2.2 Epidemiologi
Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan,
yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia
lanjut. Perkiraan rata-rata prevalensi LSS berdasarkan diagnosis klinis atau
radiologis bervariasi antara 11-38% (usia rata-rata 62, rentang usia 19-93).
Penelitan lain menunjukkan prevalensi sekitar 5 dari 1000 orang diatas usia 50
tahun di Amerika. Lumbar spinal stenosis merupakan penyakit terbanyak yang
menyebabkan tindakan operatif pada spina pada populasi usia lebih dari 60 tahun.
Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal
stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak
berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak
mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.1,2,3

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan etiologi
dan anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi
menjadi stenosis primer dan sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi: defek
kongenital dan perkembangan. Defek kongenital dibagi menjadi (1) Disrapismus
spinalis; (2) Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan; (3) Stenosis
intermiten (d’Anquin syndrome). Perkembangan dibagi menjadi: kegagalan
pertumbuhan tulang dan idiopatik. Kegagalan pertumbuhan tulang dibagi menjadi:
(1)Akondroplasia; (2) Morculo disease; (3) Osteopetrosis; (4) Eksostosis herediter
multipel. Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis. Sedangkan
stenosis sekunder menurut sifatnya dibagi menjadi (1) Degeneratif yaitu
degeneratif spondilolistesis; (2) Iatrogenik yaitu post-laminektomi, post-
artrodesis, post-disektomi; (3) Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget
diseases, fluorosis, ankylosing spondylitis; (4) Post-fraktur; (5) Penyakit tulang

7
sisitemik; (7) Tumor baik primer maupun sekunder.2
Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi
sentral stenosis, lateral stenosis , foraminal stenosis dan ekstraforaminal stenosis.
Central stenosis biasanya terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari
pertumbuhan berlebih sendi facet terutama aspek inferior prosesus articularis
vertebra yang lebih ke cranial serta penebalan dan hipertrofi ligamentum falvum.
Lateral stenosis dapat mengenai daerah resesus lateralis dan foramen
intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang terjadi sebagai akibat dari
perubahan degeneratif sama halnya dengan central spinal stenosis, mempengaruhi
kanal akar saraf pada tingkat diskus dan aspek superior pedikel. 2

Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya dimulai


dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting secara klinis
walaupun hanya melibatkan aspek superiornya saja pada level intermediet, karena
pada level ini akar saraf keluar dari bagian lateral, sebelah inferior pedikel dimana
dia bisa ditekan oleh material diskus atau tulang yang mengalami hipertrofi yang
membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra chepalis atau dari prosesus
artikularis superior vertebra caudalis. Ekstraforaminal stenosis kebanyakan karena
akar saraf pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus, prosesus transversus, atau
articulatio sacroilliacal. 2

2.4 Patoanatomi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal
adalah struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab
tersering), penebalan lamina, osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun
dislokasi sendi facet (spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali
sendi facet kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum
flavum (penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus,
penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi
facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan
beberapa kondisi yang mendasari terjadinya lumbar spinal canal stenosis yaitu:
1. Degenerasi Diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi

8
pada proses degenerasi spinal, walaupun artritis pada sendi facet juga bisa
mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50 tahun terjadi
degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5, dan L5-S1.
Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek. Penonjolan
annulus, herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa diamati. Sequela
dari perubahan ini meningkatkan stres biomekanik yang ditransmisikan ke
posterior yaitu ke sendi facet. Perubahan akibat arthritis terutama instabilita s
pada sendi facet. Sebagai akibat dari degenerasi diskus, penyempitan ruang
foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa terjebak, kemudian menghasilkan
central stenosis maupun lateral stenosis. 2
2. Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spina dengan diskus, sendi facet dan ligamen
yang normal membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan angulasi
dengan halus dan simetris tanpa perubahan ruang dimensi pada kanal dan
foramen. Degenerasi sendi facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas
segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya
gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh
kolapsnya ruang diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial apsek dari prosesus articularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan flexi akan
membagi tekanan ke arah anterior. 2
Degenerasi pergerakan segmen dengan penyempitan ruang diskus
menyebabkan pemendekan relatif pada kanal lumbalis, dan penurunan
volume ruang yang sesuai untuk cauda equina. Pengurangan volume
diperparah oleh penyempitan segmental yang disebabkan oleh penonjolan
diskus dan melipatnya ligamentum flavum. Pada kaskade degenerative
kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi kurang terakomodasi pada
gerakan rotasi karena perubahan pada diskus dan sendi facet sama halnya
dengan penekanan saraf pada gerakan berputar, kondisi ini bisa menimbulka n
inflamasi pada elemen saraf cauda equina kemudian mengahasilkan nyeri. 2
3. Hiperekstensi Segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-

9
otot abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan kelemahan otot
abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi facet
posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami subluksasi ke arah
posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang.2

2.5 Patofisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen,
dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam
lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra.
Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan
mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks
diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya
bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan pada segment tersebut.
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus
pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan tekanan
berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen memberikan kemampuan
peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II,
yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara
cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan dan deformitas. Annulus
terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah yang sama, namun
pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua dari 50 tahun kolagen tipe -
I meningkat jumlahnya pada diskus. 2
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding
pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan
kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan
proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan
penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus
tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi
perbatasannya dengan nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan
nukleus pulposus. Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh
kompresi akar saraf spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan
bahwa nyeri diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan

10
iritasi pada akar saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah. Kompresi pada
akaf saraf normal memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan
motorik, dan reflex abnormal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan
inflamasi bisa juga terjadi selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat
saraf dipaksa untuk memanjang dan menyimpang dari posisi istirahatnya.2

2.6 Diagnosis
Sampai saat ini, ada beberapa ambiguitas dalam diagnosis klinis kriteria
untuk stenosis tulang belakang lumbal degeneratif. Menurut sebuah penelitian yang
dilakukan pada tahun 2016, konsensus para ahli tentang gejala klinis meliputi (1)
nyeri pada ekstremitas bawah atau bokong saat berjalan, (2) gejala membaik akibat
menekuk punggung bawah ke depan, (3) gangguan sensorik saat berjalan, (4)
melemah ekstremitas bawah, dan (5) nyeri punggung bawah. Pasien dengan lumbar
spinal stenosis umumnya menunjukkan hasil tes negatif dalam tes SLR, dan temuan
motorik gangguan neurologis jarang terjadi. Nyeri yang menjalar sering terjadi pada
akses lateral dan stenosis foraminal, dan neurologis L5 gejala yang paling umum.
Pada pemeriksaan neurologis, defisit motorik dapat diamati karena kompresi akar
saraf L5 pada stenosis berat atau spondilolistesis degeneratif. Jika terjadi parestesia,
neuropati perifer yang disebabkan oleh diabetes, alkoholisme, atau penggunaan
obat harus dicurigai.4, 5

2.6.1 Anamnesis
Gejala klinis biasanya muncul pada dekade ke-6 atau ke-7, kebanyakan
pasien mengeluh nyeri punggung (95%) selama satu tahun. Nyeri pada ekstremitas
bawah (71%) berupa rasa terbakar hilang timbul, kesemutan, berat, geli di
posterior atau posterolateral tungkai atau kelemahan (33%) yang menjalar ke
ekstremitas bawah, memburuk dengan berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi
lumbar, gejala tersebut membatasi pasien untuk berjalan (neurogenik klaudikasi
94%, bilateral 69%). Nyeri pada ektemitas bawah biasanya berkurang pada saat
duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbar. Bedanya gejala sentral stenosis dengan
lateral stenosis adalah, pada sentral stenosis, fleksi pergelangan kaki dan lutut
berkurang atau timbul nyeri, pada lateral stenosis pasien masih bisa berjalan

11
normal dan tidak nyeri hanya saja nyeri timbul pada saat istirahat dan malam hari. 2
Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan distribusi
stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada satu level. Misalnya
akar saraf L5 pada level L4-L5, atau beberapa akar saraf pada beberapa level dan
sering tidak jelas tipenya dan gejalanya kadang tidak sesuai dengan akar saraf yang
terkena. Walaupun nyerinya menyebar ke arah caudal namun tidak semua area
merasakan gejala seperti yang disebut di atas. Gejalanya bisa asimetris, dan tidak
konsisten, bervariasi setiap hari dan tidak sama dari sisi ke sisi. Bisa kram, nyeri
tumpul, dan paraestesia difus. Penemuan klinis yang berkaitan dengan lumbal
stenosis adalah gejala bertambah saat spina ekstensi dan berkurang saat spina
fleksi. Karena pada saat ektensi. kanalis spinalis akan berkurang kapasitasnya. 2

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik meliputi penilaian gaya berjalan (normal atau lebar),
manuver Romberg yang dimodifikasi (kaki pasien disatukan dengan mata tertutup
selama sekitar 10 detik dan diamati apa ada ketidakseimbangan), tidak ada rasa
sakit dengan fleksi, kekuatan fleksor dan ekstensor lutut, dorsifleksor pergelangan
kaki dan fleksor plantar, sensasi tusukan jarum dan refleks achilles. Gaya berjalan
pasien dengan lumbar stenosis cenderung stopped forward, mula- mula pasien bisa
berjalan, namun lama kelamaan timbul nyeri dan kelemahan, setelah istirahat
(duduk) pasien bisa berjalan kembali dengan kekuatan normal, namun lama
kelamaan timbul kelemahan lagi. Kekuatan otot pada tungkai bawah akan
menurun, gejala ini bisa saja spesifik bila ada keterlibatan akar saraf pada lumbar
dan sakral. Otot-otot yang dipengaruhi antara lain: gluteus medius, hamstring
(semimembraneus, semitendinous, bisep femoris), gastrocnemius, dan soleus.
Sensorisnya bisa berkurang pada tes pinprick dan sentuhan ringan mengikuti pola
dermatom, juga menunjukkan ketrlibatan akar saraf, termasuk saddle anesthesia
(kadang melibatkan gland penis dan klitoris).2, 4

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto polos x-ray Lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat

12
dalam posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut
lumbosacral junction, dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi, diharapkan
untuk mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun deformitas.
Penemuan radiografi yang mengarahkan kecurigaan kepada lumbal stenosis
degeneratif adalah pada keadaan spondilolistesis degeneratif dan skoliosis
degeneratif. Untuk pasien dengan spondilolistesis degeneratif foto polos
posisi lateral dibuat dengan pasien dalam posisi berbaring dan spina dalam
keadaan fleksi dan ektensi, bending kanan kiri, bertujuan untuk melihat
pergeseran abnormal pada segmen yang terlibat. Untuk skoliosis degenerative
foto polos AP/lateral dibuat pada plat yang panjang, pasien dalam posisi
berdiri, bertujuan untuk menentukan rentangan kurva S, dan keseimbangan
antara bidang coronal dan sagital, karena ketidakseimbangan di tiap segmen
menjadi tujuan terapi operatif. 2
Meskipun menegakkan diagnosis stenosis menggunakan pemeriksaan
radiografi sederhana tidak konfirmatif, faktor-faktor berikut dapat membantu
mendiagnosis stenosis: pedikel vertebra pendek yang ditunjukkan pada
gambar lateral, jarak interpedikel yang sempit ditunjukkan di anteroposterior
gambar, kalsifikasi ligamen atau intervertebralis diskus, penyempitan
foramen, dan hipertrofi sendi posterior. Dimungkinkan untuk menentukan
apakah fusi diperlukan dengan memeriksa keberadaan ketidakstabilan
segmental yang ditunjukkan pada gambar lateral fleksi-ekstensi. Translasi
>4–5 mm atau perubahan gerak sudut >10°-15° menunjukkan ketidakstabilan
segmental.5
Spondylolisthesis dapat diamati dari radiografi polos gambar, tetapi
tidak semua spondylolisthesis akan menyebabkan LSS. Beberapa tanda lain
dari LSS termasuk ketinggian yang menyempit foramen intervertebralis dan
ruang diskus intervertebralis, jendela interlaminar kecil, hipertrofi sendi faset,
pendek pedikel, lamina tebal, dan cekungan posterior dalam badan vertebra.
Gambar radiografi polos hanya membantu untuk beberapa stenosis atau
spondylolisthesis yang jelas. 4

13
2. CT-Scan
CT-Scan sangat bagus untuk mengevaluasi tulang, khususnya di aspek
resesus lateralis. Selain itu dia bisa juga membedakan mana diskus dan mana
ligamentum flavum dari kantongan tekal (thecal sac). Memberikan
visualisasi abnormalitas facet, abnormalitas diskus lateralis yang
mengarahkan kecurigaan kita kepada lumbar stenosis, serta membedakan
stenosis sekunder akibat fraktur. Harus dilakukan potongan 3 mm dari L3
sampai sambungan L5-S1. Namun derajat stenosis sering tidak bisa
ditentukan karena tidak bisa melihat jaringan lunak secara detail.2
CT, setelah myelogram, memberikan informasi yang lebih akurat.
Mielografi, diikuti oleh CT, adalah pendekatan yang paling cocok untuk
pasien dengan stenosis dinamis, nyeri kaki pasca operasi, parah skoliosis atau
spondylolisthesis, implan logam, kontraindikasi untuk MRI, dan gejala
ekstremitas bawah di tidak adanya temuan pada MRI. Selain itu, karena CT
memberikan informasi lebih lanjut mengenai anatomi tulang, seperti
pengapuran taji tulang atau cakram intervertebralis, daripada MRI, informasi
yang penting untuk operasi dekompresi sebenarnya dapat diperoleh. Selain
itu, CT adalah metode pencitraan alternatif yang lebih baik untuk pasien
dengan alat pacu jantung yang tidak dapat menjalani MRI untuk tujuan
diagnostik.4, 5

3. MRI
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan
perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen
yang terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai. Selain
itu bisa membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis.
Bisa mendefinisikan flavopathy, penebalan kapsuler, abnormalitas sendi
facet, osteofit, herniasi diskus atau protrusi. Ada atau tidaknya lemak
epidural, dan kompresi teka dan akar saraf juga bisa dilihat dengan baik.
Potongan sagital juga menyediakan porsi spina yang panjang untuk mencari
kemungkinan tumor metastase ke spinal. Kombinasi potongan axial dan
sagital bisa mengevaluasi secara komplit central canal dan neural foramen.

14
Namun untuk mengevaluasi resesus lateralis diperlukan pemeriksaan
tambahan myelografi lumbar dikombinasi dengan CT scan tanpa kontras. 2
MRI berguna untuk mendiagnosis stenosis tulang belakang lumbal dan
mengidentifikasi tingkat perubahan degeneratif dan ukuran kanal tulang
belakang. Ada korelasi yang rendah antara tingkat stenosis morfologis yang
diamati pada MRI dan gejala klinis. MRI dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis pada pasien dengan neurologis persisten
klaudikasio atau nyeri yang menjalar, tetapi sebaiknya tidak digunakan untuk
tujuan skrining karena proporsi pasien yang tinggi tidak menunjukkan gejala
bahkan ketika stenosis dikonfirmasi di MRI. Meskipun tidak ada kriteria
kuantitatif standar emas di MRI untuk mendiagnosis LSS, saat ini, beberapa
parameter: digunakan secara klinis, yang paling umum untuk pusat LSS
adalah diameter saluran anteroposterior, penampang daerah; untuk LSS
lateral, yang paling umum adalah tinggi dan kedalaman reses lateral dan reses
lateral sudut; untuk stenosis foraminal, mereka adalah diameter foraminal dan
tinggi badan, degenerasi sendi faset hipertrofik, dan pelampiasan akar saraf
foraminal.4, 5

4. Myelografi
Myelography memiliki akurasi sedikit lebih tinggi dalam mendiagnosis
LSS dari CT. Bell et al. melaporkan bahwa akurasi myelography adalah 93%
vs. 89% oleh CT. MRI dan myelography mungkin memiliki kesamaan akurasi
dalam mendiagnosis stenosis kanal lumbal. Hasil penelitian dari Bischoff
dkk, mereka menemukan bahwa myelography adalah metode diagnostik yang
paling spesifik (dengan spesifik 88,9%) bila dibandingkan dengan CT dan
MRI dalam diagnosis stenosis kanalis lumbalis. Namun, karena myelogram
merupakan tindakan invasif dan dapat disertai dengan efek samping seperti:
sakit kepala, mual, dan kejang, frekuensi penggunaannya telah menurun
dalam beberapa tahun terakhir. Menggunakan myelography, dinamis gambar
dapat diperoleh melalui gambar lateral, sedangkan fleksi dan ekstensi
dilakukan dalam posisi berdiri, yang tidak tersedia dalam kasus pemeriksaan
MRI.4

15
2.7 Manajemen
1. Terapi Konservatif
Terapi konservatif dilakukan apabila gejalanya ringan dan durasinya
pendek selain itu kondisi umum pasien tidak mendukung dilakukan terapi
operatif (misalnya pasien dengan hipertensi atau diabetes melitus). Modalitas
utama meliputi edukasi, penentraman hati, modifikasi aktivitas termasuk
mengurangi mengangkat beban, membengkokan badan, memelintir badan,
latihan fisioterapi harus menghindari hiperekstensi dan tujuannya adalah
untuk menguatkan otot abdominal fleksor untuk memelihara posisi fleksi,
penggunaan lumbar corset-type brace dalam jangka pendek, analgesik
sederhana (misal acetaminofen), NSAIDs, kalsitonin nasal untuk nyeri
sedang, injeksi steroid epidural untuk mengurangi inflamasi, golongan
narkotika bila diperlukan, penggunaan akupuntur dan TENS masih
kontroversi. Latihan juga sangat penting antara lain bersepeda, treadmill,
hidroterapi misalnya berenang dapat memicu pengeluaran endorphin dan
meningkatkan suplai darah ke elemen saraf, serta membantu memperbaiki
fungsi kardiorespirasi. 2
Perawatan non-bedah sesuai untuk pasien dengan gejala ringan
sampai sedang. Perawatan yang umum digunakan seperti tirah baring untuk
waktu yang singkat kira-kira 1 minggu, obat-obatan (obat anti inflamasi, oral)
kortikosteroid adrenal, relaksan otot, prostaglandin. Analog E1, antidepresan,
dan antikonvulsan seperti: gabapentin), latihan lumbar (latihan fleksi
isometrik) dan latihan hiperekstensi), terapi fisik, orthosis penggunaan, terapi
termal, ultrasound, pijat, listrik stimulasi, dan terapi traksi.5
Injeksi steroid epidural adalah langkah perantara antara perawatan
konservatif dan bedah. Stenosis tulang belakang dapat mengakibatkan edema
saraf karena stimulasi struktural dan kimia akar saraf yang disebabkan oleh
kompresi fisik dari jaringan saraf dan peradangan akar saraf karena iskemia
lokal yang disebabkan oleh kongesti darah vena sekitar akar saraf, yang dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase atau leukotrien B, memperburuk
inflamasi reaksi, dan edema. Tujuan injeksi steroid epidural untuk stenosis
adalah untuk menginduksi anti-inflamasi yang kuat tindakan untuk

16
mengurangi respon inflamasi dan edema melalui pengurangan migrasi
leukosit, penghambatan produksi dan pelepasan sitokin, dan membran sel
stabilisasi. Dalam beberapa penelitian, injeksi steroid epidural pengobatan
ditemukan untuk menghasilkan bantuan jangka pendek dari gejala pada
sekitar 50% -87% kasus. Indikasi untuk injeksi steroid epidural meliputi:
nyeri akut yang menjalar dan klaudikasio neurologis yang mengganggu
kehidupan sehari-hari, meskipun pemberian rasa sakit pereda nyeri dan
istirahat, yang diharapkan dapat meningkatkan gejala. Ada juga laporan studi
terbaru menggunakan neuroplasti epidural dan kombinasi obat lain seperti:
sebagai ropivacaine dan dexmedetomidine terkait dengan thoracolumbar
operasi.5

2. Terapi Operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit
neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari
dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang
gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi
dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan
berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala pada tungkai
bawah dan bukan untuk mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca
operasi gejala LBP akan berkurang secara tidak signifikan.2

a. Dekompresi
Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi
dekompresi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan
ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi
dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus.
Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar setengah cranial
dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranial prosesus spinosus
dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam garis tengah

17
dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke cranial
menggunakan Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan osteotome
atau drill berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral dari
pedicle.4, 5
Facetotomy dilakukan dengan osteotome untuk dekompresi akar saraf
di resesus lateralis. Dekompresi komplit saat pulsasi dural sac kembali dan
venous refilling akar saraf terlihat di foramen dan akar saraf kembali mobile.
Ruang pada jalan keluar kanal bisa juga diakses menggunakan kanula tumpul
atau bila ada lebih baik menggunakan umbilical catheter. Laser kanula
Doppler berguna untuk menilai kembalinya aliran darah ke akar saraf. Diskus
harus dibiarkan intak walaupun bisa menyebabkan penekanan pada akar saraf
yang menetap yang diikuti juga penekanan oleh tulang dan jaringan lunak,
karena resiko terjadinya instabilitas pasca operasi dan pengambilan diskus
juga lebih sulit dikerjakan. 4, 5

Teknik alternatif lain yang bisa dikerjakan adalah laminektomi sudut


dengan reseksi sudut hanya pada porsi anterior aspek lateral lamina,
laminektomi selektif single atau multiple unilateral atau bilateral, dan
laminoplasti lumbar. Multiple laminotomi dikerjakan pada level sendi facet
dengan memotong lebih sedikit pada seperempat sampai setengah facet
dilanjutkan dengan membuang porsi lateral ligementum flavum. Dengan
kemajuan perencanaan preopertif menggunakan MRI, laminectomy di
Negara-negara maju menjadi semakin jarang dilakukan dan para dokter bedah
spine lebih senang mengerjakan selective spinal decompression dengan
mempertahankan struktur garis tengah.4, 5
Kebanyakan kasus spinal stenosis melibatkan segmen pergerakan
seperti diksus dan sendi facet dan bukan segmen yang kokoh (corpus
vertebra, pedicle dan lamina). Hal ini membuat kemungkinan melakukan
dekompresi segmen yang mengalami stenosis dengan tetap mempertahankan
struktur arkus vertebra. Keuntungannya adalah proses penyembuhan menjadi
lebih singkat, mempertahankan ketinggian canal dan mengurangi insiden
back pain post operatif, mengurangi imobilisasi terlalu lama dan tidak
membutuhklan fusi. 4, 5

18
b. Fusion
Tujuan dilakukan fusion adalah untuk mengkoreksi instabilitas pada
segmen yang dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang
bergerak dan mencegah spondylolisthesis dan scoliosis kedepannya. Indikasi
fusi tergantung pada keadaan pada keadaan spina sebelum dan setelah
dilakukan operasi, bila dekompresi mengakibatkan segmen tersebut menjadi
tidak stabil maka diperlukan fusi dengan intrumentasi, misalnya pada
pengambilan 50% kedua sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja
(facetectomy) dan ligamen longitudinal posterior atau diskus mengalami
kerusakan (discectomy), maka fusion harus dipertimbangkan untuk
dikerjakan. Namun pada prosedur laminectomy yang deformitasnya stabil
dan pada pasien yang memiliki penyakit komorbid yang bila dilakukan fusion
akan meningkatkan resiko komplikasi, maka fusi tidak dikerjakan. 4, 5

Fusion adalah operasi yang kompleks dibandingkan dengan


dekompresi saja, dan karena itu berpotensi meningkatkan komplikasi peri-
operatif atau kematian, dan biaya. Karena kurangnya bukti untuk keuntungan
fusion, teknik ini harus dibatasi untuk mereka yang memiliki kelainan tulang
belakang ketidakstabilan, kelainan bentuk tulang belakang, atau kerusakan
tulang belakang disebabkan oleh trauma, tumor dan infeksi. 4, 5

2.8 Komplikasi
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka
kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang
lebih muda, selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia
yang akan mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi
menjadi empat grup, infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian
berkorelasi dengan usia dan penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikas i
yang berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau
emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada
instrumen. Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar,
spondilolistesis postoperatif.2

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Imam Budijono
Tanggal Lahir : 30 Mei 1950
Umur : 70 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. RM : 01377585
Alamat : Br. Kerta Pura, Kesiman, Dentim
MRS : 09 Agustus 2021

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri pinggang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri pinggang sejak 9 tahun terakhir (2012) dan
memburuk sejak 1 tahun terakhir (Januari 2020). Rasa sakit terutama dirasakan di
sisi kanan. Sakit punggungnya semakin parah ketika dia duduk atau berdiri untuk
waktu yang lama dan berkurang ketika dia membungkukkan punggungnya ke
depan. Pasien mengatakan bahwa saat ini hanya dapat berjalan selama 30 menit,
namun masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan alat bantu jalan.
Kesemutan pada ekstremitas bawah dirasakan di kedua kaki.
Riwayat penurunan berat badan, batuk berkepanjangan, keringat malam,
benjolan, demam, atau nyeri di bagian lain tubuhnya disangkal. Riwayat trauma
disangkal. Kelemahan pada ekstremitas bawah juga disangkal. Buang air besar dan
buang air kecil dalam kondisi normal. Pasien dirujuk dari Rumah Sakit Siloam oleh
Ahli Bedah Ortopedi dengan diagnosa Lumbal Canal Stenosis L2-5 dan Scoliosis
De Novo
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit lainnya seperti hipertensi, diabetes, jantung, ginjal, maupun
stroke disangkal oleh pasien.

20
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal
pada keluarga pasien disangkal. Riwayat keluhan serupa pada keluarga juga
disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah mendapatkan pengobatan terhadap keluhan yang diderita oleh
pasien.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Kondisi umum : Sakit sedang
GCS : E4V5M5, kompos mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 kali/menit, teratur
Suhu Aksila : 36oC
SpO2 : 94% pada suhu ruangan
VAS : 4/10

Status General
Kepala : Normosefali, Cephalhematome (-)
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), reflek pupil (+/+), edema palpebra (-/-)
THT : Rhinorrhea -/-, otorrhea -/-
Bibir : Sianosis (-/-)
Maksilofasial : Memar (-), swelling (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
tenderness (-), memar (-), deviasi trakea (-)
Thoraks : Bentuk simetris, pergerakan dinamis, tenderness (-)
Cor
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

21
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 5 MCL sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung ICS 4 PSL dekstra
Batas kiri jantung ICS 5 MCL sinistra
Auskultasi : S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus teraba normal simetris
Perkusi : Sonor +|+
+|+
+|+
Auskultasi : Vesikuler +|+ , ronki -|- , wheezing -|-
+|+ -|- -|-
+|+ -|- -|-
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), tenderness (-)
Perkusi : Timfani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : Akral hangat +|+ , edema -|- , CRT < 2 detik
+|+ -|-

Status Lokalis

Look : Deformitas (-), bengkak (-), memar (-)


Feel : Midline tenderness (-), hypoesthesia (+) at level L4, anesthesia (-)
Move : Flexion: 80o (NR: 80o)

22
Extension: 20o (NR: 30o)
Lateral Flexion: 35o (NR: 45o)
Rotation: 70o (NR: 80o)

Neurologic Examination

 Physiological Reflex ++/++


 Pathological Reflex -/-
 Clonus: -/-
 SLR +/-
 Patrick -/-
 Contra-Patrick -/-

23
Motor Grading System

Motoric Evaluation Motoric Evaluation

Right Muscles Left Right Muscles Left

5 Shoulder Abd (C5) 5 5 Hip flexor (L2) 5

5 Wrist Extensor (C6) 5 5 Knee extensor (L3) 5

5 Elbow extensor (C7) 5 5 Ankle dorsoflexor 5

5 Finger flexor (C8) 5 (L4)

5 Finger abductor (T1) 5 5 Toe extensor (L5) 5

5 Ankle Plantarflexor 5
(S1)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


X-Ray Thoraks AP View (09/08/21)

Soft tissue: Tak tampak kelainan


Tulang-tulang: Tampak multiple osteophyte pada CV thoracalis
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Cor: Besar dan bentuk kesan normal, CTR 54%, Kalsifikasi aortic knob (+)

24
Trachea: Letak di tengah, airway patent
Pulmo: Tak tampak konsolidasi/nodul. Corakan bronchovaskuler normal
Kesan:
Aortosclerosis
Pulmo tak tampak kelainan
Spondylosis thoracalis

X-Ray Lumbosacral AP/Lateral View (09/08/21)

Alignment baik, curve kifotik


Tampak kompresi anterior pada CV Th12 dan L1
Tak tampak fraktur/listhesis
Trabekulasi tulang normal
Tampak sclerosis pada superior dan inferior end plate CV Th11-S1
Tampak penyempitan spatium intervertebralis L2-3, L3-4, dan L4-5, vacuum
phenomenon pada CV L4-5
Tampak bridging osteophyte pada CV Th12-L4 dan lipping osteophyte pada CV
L4-5
Pedicle tampak baik, spatium intervertebralis diluar lesi tampak baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang

25
Tak tampak soft tissue swelling
Kesan:
Kompresi anterior pada CV Th12 dan L1
Mengesankan gambaran degenerative spine dan disc disease
Lumbal kifosis

X-Ray Thoracolumbal AP/Lateral View (09/08/21)

Skoliosis thoracolumbalis ringan, curve melurus


Tak tampak kompresi/ fraktur/ listhesis
Trabekulasi tulang normal
Tampak subchondral sclerosis pada superior dan inferior end plate CV
thoracolumbalis
Tampak penyempitan spatium intervertebralis L2-3
Tampak bridging osteophyte pada CV Th6-L4 dan lipping osteophyte pada CV Th5
Pedicle tampak baik, spatium intervertebralis diluar lesi tampak baik
Tak tampak erosi/ destruksi tulang
Tak tampak soft tissue swelling

26
Kesan:
Mengesankan gambaran degeneratine spine dan disc disease dengan skoliosis
thoracolumbalis ringan
Tak tampak kompresi/ fraktur/ listhesis pada tulang-tulang regio lumbosacral yang
tervisualisasi
Paravertebral muscle spasm

Pemeriksaan Laboratorium (09/08/21)

3.5 Diagnosis
Lumbal Spinal Canal Stenosis at level L2-L3, L3-L4, L4-L5
Scoliosis De Novo

27
3.6 Penatalaksanaan
1. Decompression
2. Stabilization
3. Fusion

28
BAB IV
SIMPULAN

Pasien dengan stenosis tulang belakang lumbal mungkin menunjukkan gejala


seperti nyeri punggung, nyeri yang menjalar, dan neurogenic klaudikasio.
Meskipun hasil pengobatan jangka panjang memanifestasikan hasil yang serupa
untuk non-bedah dan bedah perawatan, efek positif seperti perbaikan jangka pendek
dalam gejala dan penurunan risiko jatuh mungkin diharapkan dengan pembedahan.
Perawatan bedah pada dasarnya adalah dekompresi, dan kombinasi perawatan
dapat ditambahkan, tergantung pada tingkat dekompresi dan yang menyertainya
ketidakstabilan. Baru-baru ini, operasi invasif minimal telah dilaporkan sangat baik
dalam pengobatan stenosis tulang belakang. Oleh karena itu, efek pengobatan yang
lebih baik dapat diharapkan dengan pendekatan yang bertujuan untuk memahami
patofisiologi dan metode pengobatan secara keseluruhan stenosis tulang belakang.
LSS memiliki prevalensi tinggi pada populasi usia lanjut, dan alasan paling
umum bagi pasien tua untuk menjalani operasi tulang belakang. Tidak ada kriteria
diagnostik standar emas untuk LSS, diagnosis LSS perlu komprehensif
pertimbangan riwayat pasien, fisik, pemeriksaan, gambar radiografi (CT atau MRI),
terkadang membutuhkan elektromiografi atau akar saraf blok untuk membantu
diagnosis. Berbagai opsi non-operasi untuk sebagian besar primer pasien LSS tetapi
tidak ada bukti yang menunjukkan yang mana lebih unggul dari yang lain. Pasien
dengan gejala persisten dianjurkan untuk menjalani perawatan operasi, dekompresi
sendiri atau ditambah dengan fusi adalah tua dan gigih kontroversi, dengan lebih
banyak bukti yang menunjukkan fusi harus digunakan dalam indikasi terbatas, dan
interspinous spacer harus digunakan dengan hati-hati.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Bussieres A, Cancelliere C, Ammendolia C et al. Non-surgical interventions for


lumbar spinal stenosis leading to neurogenic claudication: a clinical practice
guideline. Journal of Pain. 2018;19(2): 1-78
2. Budi A, Suyasa IK, Maliawan S, Kawiyana S. Lumbar spinal canal stenosis:
diagnostic and management. Jurnal Medika Udayana. 2013;2(9):1-18
3. Andaloro A. Lumbar spinal stenosis. Journalof the American Academy. 2019;
32(8):49-50
4. Wu A, Zou F, Cao Y et al. Lumbar spinal stenosis: an update on the
epidemiology, diagnosis, and treatment. AME Medical Journal. 2017;2(63) :1-
14
5. Lee BH, Moon SH, Suk KS et al. Lumbar spinal stenosis: pathophysiology and
treatment principle. 2020;14(5):682-93

30

Anda mungkin juga menyukai