Dosen Pembimbing:
dr. Cornelius Bambang Widhiatmoko, Sp. F
Disusun Oleh:
Kevin Dimas Setiawan 2017.04.2.0092
Kevin Octavian 2017.04.2.0093
Kevin Stefano 2017.04.2.0094
Kevin Valent Anggriyanto 2017.04.2.0095
Kezia Seraphine 2017.04.2.0096
Khaulah Robbani Dzikrullah 2017.04.2.0097
Kim Katherine Lee 2017.04.2.0098
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “FRAKTUR BASIS CRANII” dengan lancar. Referat ini disusun
sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di
bagian ForensikRS Bhayangkara H.S. Samsoeri MertojosoSurabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat
bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
a. dr. Cornelius Bambang Widhiatmoko, Sp.F selaku Pembimbing
Referat dan dokter di bagian Forensik RS Bhayangkara H.S.
Samsoeri Mertojoso,Surabaya.
b. Para perawat dan pegawai di bagian ForensikRS Bhayangkara H.S.
Samsoeri Mertojoso, Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Penyusun
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan.
Manfaat dari tulangtengkorak untuk melindungi otak terhadap
cedera.Selain dilindungi oleh tulang, otak jugatertutup lapisan keras yang
disebut meninges, dan juga terdapat cairan yang disebut cerebrospinal
fuild (CSF). Trauma dapat berpotensi menyebabkan fraktur tulang
tengkorak, perdarahan di ruang sekitar otak, memar pada jaringan otak,
atau kerusakan saraf pada otak.
Statistik negara-negara yang sudah maju bahwa trauma kapitis
mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang
mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai
selama jangka waktu panjang. Jika kita meneliti sebab dari kematian dan
cacat yang menetap akibat trauma kapitis, maka 50% ternyata disebabkan
oleh trauma secara langsung dan 50% disebabkan oleh gangguan
peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung
pada trauma. Fraktur basis kranial sekitar 21% dari semua semua patah
tulang tengkorak dan 4% dari semua kasus cedera kepala. Secara klinik,
fraktur basis kranial lebih sering diidentifikasi berdasarkan temuan klinis,
seperti kelumpuhan saraf kranial dan kebocoran CSF
Fraktur basis cranii / Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur
akibat benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada
wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala
(“tekanan gelombang” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak).
Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal)
dijumpai denganotorrhea dan memar pada mastoids (battle sign).
Penampakan fraktur basis cranii fossa anterior ditandai dengan adanya
rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangankesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi,
tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan diagnosis
1
fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,
analisis laboratorium dasar, diagnostik untuk fraktur dengan pemeriksaan
radiologik. Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan
memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman.
Banyak korban cedera kepala disertai dengan multipletrauma dan
penanganan pada pasien tersebut tidak menempatkan penanganan
kepala menjadi prioritas, resusitasi awal dilakukan secara menyeluruh
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus
olfaktorius, dan lubang lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh
nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os
ethmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan
robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat
mengalami epistaksis dan terjadi rhinorrhea, biasanya diakibatkan
oleh kebocoran CSF yang merembes. Fraktur yang mengenai pars
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon
eyes atau periorbital ekimosis).
4
C. Fossa cranii posterior
Fossa cranii posterior menampung otak belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa dibatasi
oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di posterior
dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar
fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa
dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang
meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua
a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior, darah dapat merembes ke
tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian,
darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonum posterior, dekat
prosesus mastoideus. Membran mukosa atap nasofaring dapat
robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai
foramen jugularis,N.IX, X dan XI dapat cedera.
2.2 Definisi
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi
pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai
dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering
terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan
regio occipital condylar. Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan
letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa
media, dan fraktur fossa posterior.
Dasar tengkorak merupakan bagian yang lemah bila dilihat
berdasarkan konstruksi dan bentuknya yang irregular. Bila terjadi
pukulan pada area vertex hamper seluruh dampaknya akan di
teruskan ke bagian basal tengkorak melalui bagian disekelilingnya
dan kubah tengkorak, secara anterior-posterior, posterior-anterior,
samping atau kombinasi ketiganya.
5
2.3 Epidemiologi
Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab
utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di
seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika
meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis
menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah
masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per
100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal
akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla
spinalis setiap tahunnya.
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan
kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling
umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang
temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang
tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi
antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan
pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi
merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak
rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap
tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak,
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.
2.4 Etiologi
Fraktur basis cranii biasanya disebabkan oleh adanya trauma
kapitis, dimana penyebab trauma kapitis antara lain:
Kecelakaan lalu lintas (penyebab terbanyak)
Pertengkaran
Jatuh
Kecelakaan olahraga
Tindakan kriminal
6
Biasanya trauma kapitis melibatkan kelompok usia produktif
yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih
didominasi oleh kaum laki-laki. Trauma kapitis dapat disebabkan oleh
dua hal antara lain:
Benda tajam, paling banyak menimbulkan cedera setempat.
Benda tumpul, biasanya menimbulkan cedera seluruh kerusakan
terjadi ketikaenergi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
2.5 Mekanisme
Pada umumnya mekanisme fraktur pada tulang tengkorak
dipengaruhi oleh 4 variabel yakni:
Dampak kecepatan
Dampak permukaan
Ketebalan korteks tengkorak
Densitas korteks tengkorak
Ketebalan tengkorak mempengaruhi respon dinamik dari kepala
selama dampak berlangsung. Semakin tebal tulang tengkorak,
semakin sedikit energi yang diabsorbsi sehingga deformitas yang
didapat akan lebih kecil .
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan
langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita); transmisi energi yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula; atau efek “remote” dari benturan pada
7
kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan
atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena
area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak
di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera
berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit
lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi
seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan
laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme
termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah
tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut
cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika
dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat
mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala
kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun
pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen
magnum, beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring
fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat trauma pada benturan
tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau trauma dari arah superior kemudian diteruskan ke
arah occiput atau mandibula. Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah
pandangan umum bahwa fraktur basis cranii akibat hasil dari
benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-
kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan
bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur
basis cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah
saja. Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et
al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah
mengalami benturan/trauma pada area kepala. 45 kasus skull fraktur
diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari
kasus tersebut disebabkan oleh trauma pada area frontal (5 kasus),
8
daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2
kasus) dan berbagai jenis trauma kepala lainnya (14 kasus).
2.6 Jenis
Jenis-jenis dari fraktur basis cranii dapat dibedakan
berdasarkan garis frakturnya. Garis fraktur dari fraktur hinge tipe I
berjalan dari pars petrosus, melewati sella tursica dan menuju ke
pars petrosus kontralateral. Fraktur hinge tipe II berjalan dari depan
menuju kontralateral melewati sella tursica. Fraktur hinge tipe III
berjalan dari samping bidang koronal namun tidak melewati sella
tursica. Jenis lain dari fraktur hinge adalah fraktur cincin yang
melingkar pada basis tengkorak yang mengelilingi foramen magnum.
Secara umum fraktur berjalan dari sella tursica, sebagian menuju
pars petrosus berbelok ke posterior dan bergabung di medial pada
fossa posterior dan bergabung pada foramen magnum.
Gambar 2.2 : Hinger fraktur : tipe I, II, III, dan fraktur cincin
9
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya
tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30
dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang
akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan
karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial
palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan N. V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan N. VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan
pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka
dan serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os
oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan
terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga
memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau
guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah
keterlibatan N. IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita
suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah
fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan N.IX, X, XI, dan XII.
10
Gambar 2.2 Rhinorrhea Gambar 2.3 Racoon eyes
11
2.9 Pemeriksaan Lanjutan
Studi Imaging
Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak
merujukan pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film
kurang optimal dalam menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto
x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk
membantu dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window
hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat
dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat membantu
dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3
dimensi tidak diperlukan.
MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan
suatu nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami
cedera pada ligament dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan.
Pemeriksaan lainnya Perdarahan dari telinga atau hidung pada
kasus dicurigai terjadinya kebocoran CSF, dapat dipastikan
dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan
mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan
menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari
darah, maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF
juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan
dengan mengukur transferin.
2.10 Tatalaksana
Tatalaksana dari fraktur basis cranii yang paling penting adalah
menjaga keadaan umum pasien dengan cara memeriksa :
Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal
hingga diyakini tidak ada cedera.
12
Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah
arteri.
Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah,
pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi,
pemasangan IV line.
Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)
secara rutin.
Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga
ujung kaki, dari depan dan belakang.
13
traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat
membantu pada paralisis nervusfasialis.
A. Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai
kelainan struktural neurologis tidak memerlukan intervensi apapun
bahkan pasien dapat dipulangkan untuk berobat jalan dan kembali
jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi dengan simple fraktur
linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa
memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan
fraktur basis cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara
conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os temporal juga dikelola
secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani biasanya
akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan
struktural pada neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh
harapan. Menyembuhkan fraktur depress dengan baik membutuhkan
waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat anti kejang
dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%.
Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik
disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada
kasus ini.
Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara
konservatif dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau
traksi halo.
14
antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan
resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970
dan 1989, menemukan 848 kasus dari fraktur basis cranii (519
mendapatkan antibiotic profilaksis dan 8% menjadi meningitis) dan
kesimpulannya adalah antibiotic tidak mencegah terjadinya
meningitis pada fraktur basis cranii. Studi lain juga menunjukkan
dengan menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan
fraktur basis cranii, 719 pasien diantaranya mendapat antibiotic
profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat antibiotic profilaksis.
Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic
profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur
basis cranii.
C. Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi
dan anak-anak dengan open fraktur depress memerlukan intervensi
bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka untuk mengevaluasi
fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah inner
table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur
yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan
hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy
dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan
pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan
dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah
frakturcondylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang membutuhkan
arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi dalam-
luar.
Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada
keadaan kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur
basis cranii jenis longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty
mungkin diperlukan jika kehilangan berlangsung selama lebih dari 3
15
bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh sendiri. Indikasi lain
adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah fraktur
basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran
sebelum intervensi bedah dilakukan.
2.11 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama
yang disertai dengan rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan
ossicular yang berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di
bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke
2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari
N.VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik.
Onset facila palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya
fraktur biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan
prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis
cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan
ganglion gasserian. Cedera N. VI yang terisolasi bukanlah akibat
langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena terjadinya
ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat
terlibat dalam fraktur condylar os oksipital, seperti yang dijelaskan
sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide supra).
Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi N. III, IV,dan VI dan
juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi
menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula
caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui
kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
2.12 Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi
untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung
16
pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear
pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom epidural.
Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak
memerlukan tindakan operasi.
17
Catat lokasi perdarahan tersebut, ukur luasnya dan jika berupa
bekuan usahakan untuk ditimbang.
c. Pengangkatan dan pemeriksaan otak
Jari jari tangan kiri menekan bagian frontal otak kemudian
ditarik ke arah belakang, potong pembuluh darah dan saraf
olfaktorius serta saraf okulomotorius. Dilanjutkan dengan
memotong chiasma optikum. Tarikan diperbesar dan otak
dipisahkan dari fiksasinya hingga tampak jelas basis craniinya,
foramen oksipitale magnum dan cerebellumnya. Lepaskan dan
balik pegangan tangan kiri pada otak, kemudian otak sedikit
ditarik ke arah atas belakang sehingga tampak medulla
oblongata dan bagian atas medulla spinalis. Lalu dengan pisau
yang panjang, medulla spinalis dipotong sejauh mungkin. Maka
lepaslah otak. Periksa dan timbang. Berat otak dewasa rata
rata 1250 – 1500 gram, ukuran otak besar rata rata 20 x 18 x 6
cm, otak kecil rata rata 11 x 6 x 2.5 cm. perhatikan gyri dan
sulcinya serta gambaran pembuluh darahnya. Pada kasus
asfiksia akibat penggantungan atau pencekikan maka
pembuluh darah akan tampak melebar dan ada gambaran
seperti perdarahan namun bila ditekan gambaran perdarahan
tersebut akan hilang. Sedangkan pada perdarahan yang
sesungguhnya sifatnya diffuse dan tidak hilang pada
penekanan.
Kemudian dilakukan pengirisan otak besar, caranya: irisan
dimulai dari fisura longitudinal cerebri sekitar 1 cm di atas
commusira cerebri dengan posisi pisau miring 45 o dan
dilakukan dengan satu kali irisan, jika irisan benar, maka
ventrikel lateralis akan terpotong. Lakukan hal serupa pada
hemisfer cerebri sebelahnya, periksa adanya bekuan darah.
Perdarahan di daerah ini biasanya terjadi secara spontan akibat
tekanan darah yang terlampau tinggi.
18
Pengirisan otak kecil dilakukan secara radier berupa
berlapis-lapis. Periksa tiap bagian irisan, adakah perdarahan
pada substansia otaknya.
d. Pengangkatan selaput otak dari dasar tengkorak
Selaput otak yang sudah dibuka seperti tersebut di atas
harus dilepaskan dari perlekatannya dengan dasar tengkorak,
caranya: jepit selaput otak tersebut dengan klem kemudian
putar klem terus menerus sehingga selaput otak tergulung. Lalu
lakukan tarikan hingga perlekatan selaput otak tinggal pada
foramen oksipitale magnum dan potong dis sini. Maka lepaslah
selaput otak. Periksa dasar tengkorak, adakah retak tulang, jika
ada catat lokasinya. Perlu diketahui dasar tengkorak yang
paling rapuh bila mendapat trauma adalah: di sekitar foramen
magnum, di sekitar crista galli, pars pyramidalis serta atap
orbita.
Pada pemeriksaan otopsi, fraktur basis kranii postmortem
seringkali disalah artikan sebagai fraktur basis kranii
antemortem atau sebaliknya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Liang Man et al, fraktur basis kranii postmortem
seringkali disalah artikan sebagai fraktur basis kranii atemortem
akibat perlakuan penyimpanan jenazah pada lemari pendingin.
Mekanisme fraktur basis kranii yang diinduksi oleh lemari
pendingin tak hanya bergantung struktur tulang yang tipis dan
zat tulang yang longgar namun juga jaringan biologis yang
dipengaruhi oleh fenomena fisika dimana tengkorak sebagai
wadah yang relatif kedap udara dengan kandungan air dalam
otak yang cukup tinggi, air mengembang saat didinginkan dan
berkontraksi dengan panas, terutama pada kisaran suhu 0°C
sampai 4°C artinya air dapat menunjukkan peningkatan
volume, naik sampai 1/10 dari aslinya, saat pembekuan ke es
terjadi pada suhu 0°C; Oleh karena itu, perluasan volume otak
yang signifikan dapat terjadi setelah mayat didinginkan.
19
Seiring jenazah didinginkan, tekanan intrakranial pasti
akan meningkat karena ekspansi volume otak sehingga dapat
menyebabkan fraktur basis cranii pada fosa kranial anterior
trombosit anatomis. Selain itu, penelitian lain menunjukkan
bahwa volume otak meningkat secara maksimal bila suhu
intrakranial 8°C.
Fraktur basis kranii antemortem biasanya melibatkan fosa
kranial anterior, medial, dan posterior. Pada fraktur linier
biasanya berjalan ke arah yang sama dengan dampaknya.
kontusio, gangguan atau perdarahan bisa terjadi di otak.
Sifat kasus biasanya dapat disimpulkan dari temuan
riwayat, nekropsi dan mikroskopik lalu dibandingkan dengan
dokumen sebelumnya. Bila tidak ada petunjuk yang
menunjukkan tanda kekerasan, reaksi vital di sekitar tengkorak
yang retak bisa mengindikasikan apakah fraktur tersebut
diproduksi antemortem atau postmortem. Pada fraktur
antemortem, jejak darah akan meresap dan menyusup
sepanjang garis patah tulang mikro dan membentuk apa yang
dikenal sebagai 'tulang Yam (guyin)'. Dalam fraktur postmortem,
fenomena 'Yam bone' mungkin tidak ada.
20
BAB 3
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22
Michael T, Sheaff D, Hopster J. Postmortem technique handbook, 2nded.
London: Springer-Verlag. 2005. p. 78.
Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC;2003.
Pait TG, Al-Mefty O, Boop FA, Arnautovic KI, Rahman S, Ceola W. Inside-
outside technique for posterior occipitocervical spine instrumentation
and stabilization: preliminary results. J Neurosurg. Jan 1999;90(1
Suppl):1-7.
Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P.
Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/248108-clinicalmanifestations
last update 10 mei 2011
Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P.
Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/248108-threatment last
update 10 Mei 2011
Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar
skull fracture Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.
Ruan J., Prasad P. The effects of skull thickness variations on human
head dynamic impact responses. Stapp Car Crash J. 2001;45:395–
414
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk,
penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC: 2006.740-59
Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture.
Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and
analysis report road safety research grant report 2007-03. Australia
2007
Tuli S, Tator CH, Fehlings MG, Mackay M. Occipital condyle fractures.
Neurosurgery. Aug 1997;41(2):368-76; discussion 376-7.
23
Villalobos T, Arango C, Kubilis P, and Rathore M. Antibiotic Prophylaxis
After Basilar Skull Fractures: A Meta-Analysis; a review article On
cid.oxfordjournals.org. 1998
Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health.
Available at http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?
articlekey=59402&page=1#overview last update 10 Mai 2011
Zuo ZJ, Zhu JZ. Study on the microstructures of skull fracture. Chin J
Forens Med. 1989; 4: 70-74.a
24