Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR BASIS CRANII

Di Susun
Oleh: KELOMPOK I

KHOIRUR ROZIQIN NIM : 2020206203417P


LARAS WULANDARI NIM : 2020206203216P
WIJIANTO NIM : 2020206203198P
ANDI PRIAWAN NIM : 2020206203187P
JOKO AJI WIDYANTO NIM : 2020206203184P
TRI SUMARNI NIM : 2020206203176P
VITA VERIA EKA PUTRI NIM : 2020206203221P
INDRI JUNIARTI NIM : 2020206203181P
WAYAN SUPRIYANI NIM : 2020206203180P
HETI RAHMAWATI NIM : 2020206203212P
RUDIYANTO NIM : 2020206203201P
FAJAR MIFTA FAUZI NIM : 2020206203231P

PROGRAM STUDI S 1 KEPERAWATAN KONVERSI


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2021
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Basis Cranii


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio
temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fossa cranii anterior, fossa cranii
media dan fossa cranii posterior.
1. Fossa crania anterior
Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh
permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar
fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os
etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius,
dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan
ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat
mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam
hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan
subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda
klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior (Khlilullah, 2011).
2. Fossa cranii media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis
dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian
posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars
squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os
sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n.
abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan
tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh
banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis
merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah
dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat
cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI
dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek (Khlilullah, 2011).
3. Fossa cranii posterior
Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan
medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal
dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa
cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars
mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh
medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n.
accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot
otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot
trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat
robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X
dan XI dapat cedera (Khlilullah, 2011).

B. Definisi Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada
dasar tengkorak yang tebal. Fraktur ini sering disertai dengan robekan
ada duramater. Fraktur basis crania sering terjadi ada 2 lokasi anatomi
tertentu yaitu region temporal dan region occipital condylar
(Kowalak, 2011).
Fraktur basis cranii yaitu rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang disebabkan oleh
trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa adanya kerusakan otak. Adanya fraktur tulang
tengkorak (cranium) biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. (Brunner &
Suddarth, 2010).
Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai benturan pada kepala (“gelombang tekanan”)
yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak) (Corwin, 2009).
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior dan
fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang paling serius terjadi karena
melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan serebrosinal (
cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah suatu
kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya
benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang
tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada
wajah atau mandibula.

C. Klasifikasi Fraktur Basis Cranii


Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai berikut:

1. Fraktur petrosa os temporal

Fraktur petrous os temporal ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap
piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini
sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial.
Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan saraf
fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal.

2. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen
timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior
menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen
spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan
memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%).
Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.
3. Fraktur transversal os temporal
Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari piramida
petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal. Fraktur ini
melibatkan dari foramen magnum melalui fosa posterior, melalui pyramid petrosa,
termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius
internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat peningkatan
tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi perenggangan kapsul otik
(otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik (otic capsule disrupting/OCD), yang
menunjukkan korelasi lebih baik terhadap sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur
OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya
insidensi cedera saraf fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4
kali lebih tinggi daripada OCS).

D. Etiologi Fraktur Basis Cranii


Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :

1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.


2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

E. Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii


Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan klasifikasi
sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisipatologis
intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan
ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 – 7 minggu.
Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7 minggu disebabkan
karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany. Facial palsy, nygtagmus, dan
facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent
neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.Sebagian besar
pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan
koma dan terkait cedera tulang belakang serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera
lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

F. Patofisiologi Fraktur Basis Cranii


Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada
paremkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung
saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan
primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan
yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu.
Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan
umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia,
iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral
Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan
sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan
cerebral. Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan
oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan
disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr
jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output. Trauma kepala menyebabkan
perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P
dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar
tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula; atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang
dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen
magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit
biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering
dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak
disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering
disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek
misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada
area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula (Khlilullah,
2011).
G. Pathway

Kecelakaan
Pathway kendaraan/transportasi Kecelakaan
Kecelakaan terjatuh Kejahatan/tindak
olahraga kekerasan
Fraktur Basis Cranii

Fraktur Petrosa os Fraktur Longitudinal Fraktur Transversal os Fraktur Condylar os


Temporal os temporal temporal temporal

Menembus kulit kepala

Tulang tengkorak

B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Bradikardi Kekuatan dari coup Asupan cairan Meningen


Keadaan stasioner Aliran
Patah Tersisa Darah
Jaringan kranial tulang Hipotensi Otak
Kerusaka Jumlah urin menurun
tengkorak Mendorong otak n meatus
Dekat tempat Penurunan acusticus Turgor kulit Menunjukkan
benturan curah jantung lubang Sianosis
Rhinorhoe Menghantarkan
isi tengkorak Gangguan
Kusmaul Ottorhoe TIK Otot
Gangguan Edema pupil Eliminasi Urine
penglihatan Benturan
Sesak TIK Mual/muntah Hemiparas
Cedera ea
Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Gangguan Rasa sekunder Perfusi Jaringan Kekurangan Intoleransi
pola napas Nyaman (Nyeri) Kesadaran Otak Volume Cairan Aktivitas
H. Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii
1. Medis (Kowalak, 2011)
a. ABC
1) Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
2) Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating, Bag-
Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
3) Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain
oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan
bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian
cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari.
b. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah reboun
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit

2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama


(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum
Mannitol

3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada kejang


bisa diulang sampai 3 kali
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi demam
setiap 3 atau 4 jam, 650 serta mengatasi nyeri
(asetaminofen)
mg setiap 4-6 jam, 1000 ringan sampai sedang
akibat sakit kepala
mg setiap 6

5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri


(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah

6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah


(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi

7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat


antibiotic setelah 24 jam pertama,lalu penting sebagai usaha
2 jam pertama, dan 4 jam untuk mencegah
berikutnya terjadinya infeksi pasca
Operasi

c. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing dan
jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut akibat fraktur
dapat dikurangi.
d. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan servical
colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk leher. Alat ini
digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat memperparah
kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala. Alat ini hanya
membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

2. Keperawatan (Kowalak, 2011)


a. Pengendalian tekanan Intra Cranial
Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
b. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk meningkatkan
MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.

c. Mengontrol hematocrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat sebanding
dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran
darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan meningkat dengan
tingkat hematocrit di bawah 30.

d. Pengaturan suhu

Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.

e. Kontrol cairan

NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan dalam
manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan 4 kali
volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik

f. Posisi kepala

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30° dapat menurunkan TIK


danmeningkatkan venous return ke jantung.

I. Komplikasi Fraktur Basis Cranii


Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :

1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)


2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan serebrospinal (CSS)
dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang terkait dengan
gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak terhadap
nervus IX, X, dan XII.
J. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii
Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :

1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,


pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi
biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami
benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan servikal untuk
mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam,
rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika terdapat lesi yang
luas.

K. Prognosis Fraktur Basis Cranii


Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital
dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila
ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan
fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak (Corwin, 2009).
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII
A. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di
persulit oleh cedera tambahan pada organ vital.
1. Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun, dan
lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongandarah,
no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala.

b. Riwayat Kesehatan Sekarang

Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya


akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.
3. Pemeriksaan Primer
a. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:

1)Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien tidak
sadar).
2)Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (padapasien
tidak sadar).
3)Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
4)Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
5)Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
b. Breathing/pernapasan:
1) Kaji pemberian O2.
2) Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
3) Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
c. Circulation/sirkulasi:

1)Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi


jantung/bukti hilangnya darah.

2)Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.


3) Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi,
takikardi, takipnea,hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik,
penurunan produksi urin.

4. Pemeriksaan Sekunder
a. Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
b. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
c. Tanda-Tanda Vital

1) Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan


(Normalnya 36,5-37,5°C)

2) Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak


dengan tekanandarah sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)

3) Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan


dan TIKmeningkat (Normalnya 60-100 x/menit)

4) RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya


16-22)
d. Pemeriksaan Nervus Cranial

1) Nervus I : Penurunan daya penciuman.


2) Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatankarena edema pupil.
3) Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex
cahaya menurun,perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
4) Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi
anastesi daerahdahi.
5) Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata,
hilangnya rasa pada2/3 anterior lidah.
6) Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan
tubuh.
7) Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
8) Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan
disartia.
e. Pemeriksaan Head to Toe

1) Pemeriksaan Kepala

Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada deformitas,


ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (ada nyeri
tekan, ada robekan)

Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)

Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan simetris,
tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)

Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)

Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor,
reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya,
gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi (bola mata normal, tidak ada
nyeri tekan)

Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar


dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum) Palpasi
sinus (ada nyeri tekan)

Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum (perdarahan di daerah
membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada lipatan,ada nyeri)

Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih, gigi atas
dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan, tonsil ukuran
normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi, lidah tidak ada
massa)

Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak ada
pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan kaku kuduk)

2) Pemeriksaan Dada dan Thorak


 Paru-paru :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.

Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.

Perkusi : Sonor pada kedua paru.

Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.

 Jantung :

Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia

Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas
kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan

Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun

3) Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal

Auskultasi : Bising usus normal

Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik
Mc. Burney.

Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup

4) Pemeriksaan Genetalia

Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan

5) Pemeriksaan Ekstremitas

Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya


sianosis

Palpasi : Turgor buruk, kulit kering


5. Pengkajian Tambahan
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah, kaku hilang keseimbangan
Tanda :
1) Perubahan kesadaran, letargi
2) Hemiparese
3) ataksia cara berjalan tidak tegap
4) masalah dlm keseimbangan
5) cedera/trauma ortopedi
6) kehilangan tonus otot
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yg diselingi bradikardia disritmiac.
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresid.
d. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi.
e. Makanan/cairan
Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : muntah, gangguan
menelan.
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan
penciuman.
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan
pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tidak simetris, Genggaman lemah tidak
seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuhg.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada ransangan nyeri yghebat, merintih
h. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengii.
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
j. Kulit
Laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda battle di sekitar telinga, Raccon eyes, adanya
aliran cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak,
Demam.
6. Pemeriksaan Penunjang

a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,


determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan
tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).

d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis


(perdarahan/edema), fragmen tulang.

e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah


pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.

f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrkranial.

g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera sekunder.

2. Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis. Fraktur basis cranii).

3. Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.

4. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.

5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.

6. Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.

7. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen


C. Intervensi Keperawatan

Diagnose Rencana keperawatan


No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi Tujuan: Manajemen Edema Serebral
jaringan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda vital
otak b.d cedera keperawatan selama 2x24 2. Monit

sekunder diharapkan aliran darah or adanya


melalui pembuluh darah otak kebingungan, perubahan
untuk mempertahankan pikiran, keluhan pusing,
fungsi otak tercukupi pinsan
Dengan KH: 3. Monitor status neurologi
 Tekaran intracrania dalam dengan ketat dan bandingkan
kisaran normal dengan nilai normal
 Tekanan darah sistolik
4. Monitor karakteristik cairan
dalam kisaran normal
serebrospinal : warna,
 Tekanan darah diastolic
kejernihan, konsistensi
dalam kisaran normal
5. Monitor TIK
 Tidak ada sakit kepala
6. Posisikan tinggi kepala
 Tidak ada penurunan
tempat tidur 30 derajat atau
tingkat kesadaran
lebih
7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
penting untuk bicara pada
pasien
9. Kolaborasi pemberian obat
2 Ketidakefektifan Tujuan: Manajemen jalan napas
1. Observasi TTV
pola napas b.d Setelah dilakukan tindakan
2. Monitar aliran oksigen
gangguan keperawatan selama 2x24
3. Buka jalan napas dengan
neurologis (mis. diharapkan pola napas
tekhnik chin lift atau jaw
trauma kepala) kembali efektif
Dengan KH: thrust
 Kedalaman inspirasi 4. Posisikan pasien untuk
dalam kisaran normal memaksimalkan ventilasi
(RR: 16-24 x/menit) 5. Masukkan alat
 Kepatenan jalan napas nasoparyngeal airway atau
dalam kisaran normal, oropharyngeal airway
klien tidak merasa 6. Informasikan pada pasien
tercekik, tidak ada suara dan keluarga tentang teknik
nafas abnormal relaksasi untuk memperbaiki
 Frekuensi dan irama pola nafas
pernapasan dalam 7. Kolaborasi dengan dokter
keadaan normal dalam pemberian terapi obat
dan pemberian oksigen

3 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan


volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Obsersavi TTV

b.d gangguan keperawatan selama 1x24 2. Monitor status


jam diharapkan kekurangan hidrasi(mis. Membrane
mekanisme
volume cairan teratasi. mukosa lembab denyut nadi
regulasi

Dengan KH: adekuat, dan tekanan darah

 Mempertahankan urine ortostatik)

output sesuai dengan usia 3. Berikan cairan IV


4. Pertahankan catatan intake
dan BB
dan output yang akurat
 Tidak
5. Dorong pasien dan keluarga
ada tanda-tanda dehidrasi,
untuk menambah intake oral
elastisitas turgor kulit baik,
misalnya minum
membran mukosa lembab,
6. Kolaborasi pemberian cairan
tidak rasa haus yang
IV
berlebihan
 TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
1. Monitor EKG, adakah
jantung b.d keperawatan selama ….
perubahan segmen ST
perubahan diharapkan penurunan
2. Monitor TTV
frekuensi jantung curah jantung teratasi
3. Atur periode latihan dan
Dengan KH:
istirahat untuk menghindari
 Tekanan darah sistol dan
kelelahan
diastol dalam kisaran
4. Evaluasi adanya nyeri dada
normal (110/70- 120/80
5. Anjurkan untuk menurunkan
mmHg)
stress
 Denyut nadi perifer
dalam kisaran normal (60- 6. Kolaborasi untuk

100 x/menit) menyediakan terapi

 Denyut jantung apikal antiaritmia sesuai kebijakan

dalam kisaran normal (16- unit (mis., obat antiaritmia,

24 x/menit) kardioversi, atau defibrilasi)

 Tidak ada penurunan


Kesadaran

5 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri


1. Lakukan pengkajian nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama ….
secara komprehensif
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman
2. Tingkatkan istirahat
penyakit kembali
3. Kontrol lingkungan yang
Dengan KH:
 Meng dapat mempengaruhi nyeri
ontrol nyeri (mengetahui seperti suhu ruangan,
penyebab nyeri, pencahayaan, dan
mengetahui cara kebisingan
mengurangi nyeri) 4. Ajarkan tentang teknik non

 Rasa farmakologi
nyaman tidak terganggu 5. Beri kenyamanan seperti suhu
 Mengontrol gejala nyeri ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan
6. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
7. Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgetik

4.
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
eliminasi urine keperawatan selama ….
1. Lakukan penilaian kemih
b.d penyebab diharapkan gangguan
yang komprehensif
multipel eliminasi urine teratasi
2. Siapkan peralatan irigasi
Dengan KH:
yang steril, dan pertahankan
 Jumlah urin tidak tekhnik steril setiap kali
terganggu tindakan
 Warna urin tidak 3. Bersihkan sambungan
terganggu kateter atau ujung Y dengan
 Tidak ada darah dalam kapas alcohol
urin 4. Catat jumlah cairan yang
 Intake cairan dalam digunakan, karakteristik
rentang normal cairan, jumlah cairan yang
keluar
5. Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat
urin
6. Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat

7 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas


aktivitas b.d keperawatan selama …. 1. Monitor respon fisik, emosi,
ketidakseimbang diharapkan intoleransi social dan spiritual
an antara suplai aktivitas teratasi 2. Bantu klien untuk
dan kebutuhan Dengan KH:
mengidentifikasi aktivitas
 Berpartisipasi
oksigen yang mampu dilakukan
dalamaktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan ttv 3. Bantu pasien dan keluarga

 Hemoglobin, untuk mengidentifikasi


hematocrit, glukosa darah, kekurangan dalam
serumelektrolit darah beraktivitas
tidakterganggu 4. Kolaborasi dengan Tenaga
 Mampu Rehabilitasi Medik dalam
melakukan aktivitas merencanakan program terapi
sehari-hari secara mendiri yang tepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang
biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan
langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy
yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular. Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu
Kecelakaan kendaraan atau transportasi, Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan
dengan olahraga, Kejahatan dan tindak kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii
yang umum yaitu terjadi penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang
dapat terjadi diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi
(trauma terbuka), Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk mempertahankan
jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan, dan immobilisasi.
Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya perdarahan, riwayat
cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian sekunder, dan
pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan dilanjut dengan
intervensi keperawatan.

B. Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah agar dapat
membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan dengan
penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii karena di dalam makalah ini
penatalaksaannya masih banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.

Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.

Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3. Jakarta:
Salemba Medika.

Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:


EGC.

Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC. Wilkinson, J.


M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.


Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Smelzer, Suzanne. C. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Ed.
8 Vol. 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai