Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang [CITATION Nur \l
1033 ]. Salah satu fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur basis cranii. Fraktur
basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak.
Fraktur ini sering kali disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat
pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
rhinorrhea dan racun eyes sign (fraktur basis krani fossa anterior), atau othorhea
dan battle sign (fraktur crani fossa media) [ CITATION Jen113 \l 1033 ].
Cedera pada susunan saraf pusat masih merrupakan penyebab utama
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia.
Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di amerika meninggal akibat berbagai
jenis cedera.Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian.Insiden rata-rata
(gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus
per 100.000 penduduk.Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat
cederannya.Sekitar 10.000 – 20.000 kejadian medulla spinalis setiap tahunnya
[ CITATION Kow112 \l 1033 ].
Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus
fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama
pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari
seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis crani sebesar 19-
21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital
(5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi
merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata
1 dari 6.413 penduduk (0,02%), atau 42.409 orang setiaptahunnya. Sejauh ini
fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5
tahun amerika serikat.
Akibat dari fraktur basis cranii akan menimbulkan beberapa masalah,
salah satunya perdarahan otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus dapat

1
mengkaji secara adekuat pasien fraktur basis cranii dan memulai tindakan
keperawatannya. Meskipun peran perawat dalam program pencegahan amat
penting, perannya dalam mengenali dan merawat pasien fraktur basis cranii juga
tidak kalah pentingnya [ CITATION Kat08 \l 1033 ].
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk
menyusun makalah tentang konsep fraktur basis cranii untuk mengetahui lebih
dalam tentang karakteristik fraktur basis cranii serta bagaimana penatalaksanaan
keperawatan yang tepat. Sehingga kejadian yang tidak diinginkan seperti adanya
komplikasi lebih lanjut seperti angka kesakitan dan angka kematian akibat
fraktur ini dapat dikurangi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang disebut dengan fraktur basis cranii ?
2. Apa penyebab terjadinya fraktur basis cranii ?
3. Apa jenis-jenis fraktur basis cranii ?
4. Bagaimana manifestasi fraktur basis carnii ?
5. Menjelaskan anatomi fisiologi fraktur basis carnii ?
6. Menjelaskan patofisiologi fraktur basis carnii ?
7. Bagaimana pathway fraktur basis carnii ?
8. Bagaimana penatalaksanaan fraktur basis carnii ?
9. Menjelaskan komplikasi fraktur basis carnii ?
10. Bagaimana askep teoritis fraktur basis carnii ?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui definisi fraktur basis cranii
2. Untuk mengetahui etiologi fraktur basis cranii
3. Untuk mengetahui jenis-jenis fraktur basis cranii
4. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis fraktur basis cranii
5. Untuk mengetahui anatomi fisiologi fraktur basis cranii
6. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway fraktur basis cranii
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur basis cranii

2
8. Untuk mengetahui komplikasi fraktur basis cranii
9. Untuk mengetahui askep teoritis fraktur basis cranii

3
10.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tengkorak
yang tebal. Fraktur ini sering disertai dengan robekan ada duramater. Fraktur
basis crania sering terjadi ada 2 lokasi anatomi tertentu yaitu region temporal
dan region occipital condylar [ CITATION Kow112 \l 1033 ].
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa
anterior dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang aling
serius terjadi karena melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan
komplikasi otorrhea cairan serebrosinal ( cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea.
(Engram,2007)
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah
suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi
karena adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan
langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita)
transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibula.

B. Etiologi
Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

C. Jenis-jenis Dislokasi Sendi


Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai
berikut :
1. Fraktur petrosa os temporal

4
Fraktur petrous os temporal ini meluas dari bagian skuamosa tulang temporal
terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi temporomandibular.
Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat
dislokasi incudostapedial. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada
fraktur oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur
transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau

5
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa
kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf
fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih
tinggi daripada OCS).

D. Manifestasi Klinis
Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 –
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7

6
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.

E. ANATOMI & FISIOLOGI


Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii
posterior
Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior
oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis
spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan
oleh lamina cribiformis os etmoidalis di. Permukaan atas lamina cribiformis
menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa
dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.
Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars

7
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior. 1,2

Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica,
sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral
terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os
sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan
n. abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan
tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan
oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus
sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF
dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N.
craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os
temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus
cavernosus robek.

Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons
dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa
os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os
occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n.
accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot
otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot

8
otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring
dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen
jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

F. Patofisiologi
Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy
yang berasal dari benturan pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai
benturan pada kepala (“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak) [ CITATION Eli08 \l 1033 ].
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord
lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang
otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi
seketika kamu cedera batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari
pembuluh darah besar pada dasar tengkorak [ CITATION Eli08 \l 1033 ].
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban
inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara
mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar.
Kemudian secara tiba – tiba mengalami percepaatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan kearah acciput atau mandibular.

9
Pathway

Kecelakaan kendaraan/transportasiB1 (Breathing) B4


B6B5
(Bladder)
(Bone)
B2
(Bowel)
B3(Blood)
(Brain)

Kecelakaan olahraga
Kecelakaan terjatuh Kekuatan Kejahatan/tindak kekerasan
dari coup
Keadaan stasioner Meningen
Aliran Darahcairan
Asupan menurun

Patah tulang tengkorak


Bradikardi
Tersisa
Jaringan kranial Otak
Kerusakan meatus acusticus
Fraktur Basis Cranii

Mendorong otak
Jumlah urin
Dekat tempat benturan Menunjukkan lubang
Hipotensi
Sianosis
Fraktur Petrosa os Temporal Fraktur isi
Transversal Fraktur Condylar os temporal
Rhinorhoe
Fraktur Longitudinal Menghantarkan
os temporal tengkorakos temporal

Turgor kulit
Kusmaul OtotTIK
Ottorhoe
Edema pupil
Gangguan penglihatan
Benturan
Penurunan curah jantung
Sesak Mual/muntah
Hemiparasea
TIK
Menembus kulit kepala
Gangguan Eliminasi Urine
Cedera sekunder
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak

Ketidakefektifan
Gangguan pola Kekurangan
Rasa Nyaman
Intoleransi Aktivitas
napas
(Nyeri)
Volume Cairan

Kesadaran
Tulang tengkorak
10
G. Penatalaksanaan
Medis [ CITATION Kow112 \l 1033 ]
1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan bisa Diberikan bila ada kejang
diulang sampai 3 kali bila

11
masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg demam serta mengatasi
setiap 4-6 jam, 1000 mg nyeri ringan sampai
setiap 6 sedang akibat sakit kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan setelah Tindakan yang sangat
antibiotic 24 jam pertama, lalu 2 jam penting sebagai usaha
pertama, dan 4 jam untuk mencegah
berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing
dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut
akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

I.1.1 Keperawatan [ CITATION Kow112 \l 1033 ]

1. Pengendalian tekanan IntraCranial


Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak

12
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
3. Mengontrol hematocrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline
membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter
hemodinamik
6. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30° dapat menurunkan TIK
danmeningkatkan venous return ke jantung.

H. Komplikasi
Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran

13
7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan
serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.

a. Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan
kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas.

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Anamnesis
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar
daripada risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15
hingga 24 tahun, dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, golongan darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka
dikepala.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi,
adanya akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis,
takipnea.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya.

i. Pemeriksaan Primer

1. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:


a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien
tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).

15
e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

B. Pemeriksaan Sekunder
1. Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
karena edema pupil.
c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.

16
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah
dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil
anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi
(bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar
dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum)
Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada
lipatan, ada nyeri)
Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih,

17
gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan,
tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi,
lidah tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak
ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan
kaku kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan

18
e. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah
otak sekunder edema serebri, hematom
2. Tidak efektifnya pola napas berhubungan kerusakan neuromuskular, kontrol
mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru – paru

B. Intervensi
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kerusakan aliran darah
otak sekunder edema serebri, hematom
Kriteria hasil :

19
a. Tingkat kesadaran kompos mentis : orientasi orang, tempat dan memori baik
b. Tekanan perfusi serebral > 60 mmHg, tekanan intrakranial < 15 mmHg
c. Fungsi sensori utuh / normal

Rencana tindakan rasional


1. Kaji tingkat kesadaran dengan 1. Tingkat kesadaran
GCS merupakan indikator terbaik
2. Kaji pupil, ukuran, respon adanya perubahan neurologi
terhadap cahaya, gerakan mata 2. Mengetahui fungsi N,II dan
3. Kaji refleks kornea dan refleks III
gag 3. Menurunnya refleks kornea
4. Evaluasi keadaan motorik dan dan refleks gag indikasi
sensori pasien kerusakan pada batang otak
5. Monitor tanda vital setiap 1 jam 4. Gangguan motorik dan
6. Observasi adanya edema sensori dapat terjadi akibat
periorbita, ekomosis di atas os edema otak
matoid, rhinorrhea, otorrhea 5. Adanya perubahan tanda
7. Pertahankan kepala tempat tidur vital seperti respirasi
30 – 45 derajat dengan posisi menunjukkan kerusakan pada
leher tidak menekuk batang otak
8. Anjurkan pasien untuk tidak 6. Indikasi adanya fraktur
menekuk lututnya / fleksi, basilar
batuk, bersin, feses yang keras 7. Memfasilitasi drainasi vena
9. Pertahankan suhu normal dari otak
10. Monitor kejang dan berikan 8. Dapat meningkatkan tekanan
obat anti kejang intra kranial
11. Lakukan aktivitas keperawatan 9. Suhu tubuh yang meningkat
dan aktivitas pasien seminimal akan meningkatkan aliran
mungkin darah ke otak sehingga
12. Pertahankan kepatenana jalan meningkatkan TIK
napas, suction jika perlu, 10. Kejang dapat terjadi akibat
berikan oksigen 100 % sebelum iritasi serebral dan keadaan
suction dan suction tidak lebih kejang memerlukan banyak

20
dari 15 detik oksigen
13. Monitor AGD, PaCO2 antara 11. Meminimalkan stimulus
35 – 45 mmHg dan PaCO2 > 80 sehingga menurunkan TIK
mmHg 12. Mempertahankan adekuatnya
14. Berikan obat sesuai program oksigen, suction dapat
dan monitor efek samping meningkatkan TIK
13. Karbondioksida
menimbulkan vasolilatasi,
adekuatnya oksigen sangat
penting dalam
mempertahankan
metabolisme otak
14. Mencegah komplikasi lebih
dini

2. Tidak efektifnya pola napas berhubungan kerusakan neuromuskular,


kontrol mekanisme ventilasi, komplikasi pada paru – paru

Rencanakan tindakan Rasional


1. Kaji frekwensi napas, 1. Pernapasan yang tidak
kedalaman, irama setiap 1-2 teratur, seperti apnea,
jam pernapasan cepat atau lambat
2. Auskultasi bunyi napas setiap kemungkinan adanya guan
1-2 jam pada pusat pernapasan pada
3. Pertahankan kebersihan jalan otak.
napas, suction jika perlu, 2. Salah satu komplikasi cedera
berikan oksigen sebelum kepala adalah adanya
suction gangguan pada paru- paru
4. Berikan posisi semifowler 3. Mempertahankan adekuatnya
5. Monitor AGD suplay oksigen ke otak
6. Berikan oksigen sesuai 4. Memaksimalkan ekspensi
program paru
5. Mempertahankan kadar

21
PaO2 dan paCO2 dalam
batas normal
6. Meningkatkan surplay
oksigen ke otak

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang
tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan

22
fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular.
Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi,
Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak
kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi
penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi
(trauma terbuka), Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan,
dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya
perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian
sekunder, dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan
dilanjut dengan intervensi keperawatan.

I.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan
dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii karena di dalam
makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002


Mansyur arif, dkk (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi III jilid II. Penerbit Buku
Aesculapius Fakultas Kedokteran IV, Jakarta
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.

23
Volume 2. Jakarta: EGC
NANDA NIC NOC International. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC, 2013
Arif Muttaqin. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskululoskeletal.
Jakarta : EGC, 2008
Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002
Arif Muttaqin. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta : EGC, 2011
https://www.scribd.com/doc/249352807/askep-dislokasi-sendi (diakses tanggal 23
September 2017 jam 21.53 WIB)

24

Anda mungkin juga menyukai