Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. DEFINISI
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis cranii. Khusus
di region temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Lantai dasar rongga
tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa anterior, fossa media, dan fossa
posterior. Fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus
temporalis, dan fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang
otak dan otak kecil (serebelum).(1, 2)
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur
akibat benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak
(oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energi yang berasal dari benturan
pada wajah atau mandibula; atau efek “remote” dari benturan pada kepala
(“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak).(3)
Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur
maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah
cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.(3)

1.2. EPIDEMIOLOGI

Di negara berkembang seperti Indonesia, kejadian kecelakaan yang


menyebabkan penderita mengalami cedera kepala masih memiliki angka
yang cukup tinggi. Angka kejadian trauma kepala dapat mencapai 27% dari
seluruh kejadian kecelakaan yang menimpa pejalan kaki, dan didominasi
oleh anak-anak dan usia lanjut. Sedangkan pada pengendara sepeda motor,

1
angka kejadian cedera kepala dapat mencapai angka 75% yang didominasi
oleh kelompok umur remaja dan dewasa muda. (4)

Fraktur linear sederhana adalah jenis fraktur yang paling umum,


terutama pada anak-anak muda dari 5 tahun. Fraktur tulang temporal
mewakili 15-48% dari semua fraktur tengkorak. Patah tulang tengkorak
basilar mewakili 19-21% dari semua fraktur tengkorak.(5)

Kejadian cedera kepala ini menjadi salah satu yang penyebab angka
kematian yang tinggi pada kelompok umur dewasa muda, setelah gangguan
jantung dan keganasan. Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan 3
hal, berdasarkan mekanisme luka, berdasarkan derajat atau berat-rangannya
cedera dan berdasarkan morfologi. Berdasarkan mekanisme cedera kepala
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : kepala tertutup dan cedera kepala
dengan penetrasi atau luka tembus. Sedangkan berdasarkan derajatnya
cedera kepala dikategorikan berdasarkan nilai atau score yang didapatkan
dengan menggunakan GCS (Glassgow Coma Scale) yang kemudian
dikategorikan menjadi cedera kepala ringan dengan GCS 14-15, cedera
kepala sedang dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat dengan nilai GCS
≤ 8. 2). Sedangkan berdasarkan morfologinya cedera kepala dibagi menjadi
cedera kepala dengan fraktur tengkorak dan cedera kepala dengan lesi
intracranial. Fraktur tengkorak dapat terjadi pada calvaria atau tempurung
kapala maupun pada dasar tengkorak atau basis cranii. Jenis fraktur yang
terjadi dapat berupa fraktur linier, fraktur stealate, fraktur depressed
maupun fraktur diastase.(4)

1.3. ETIOLOGI

Fraktur basis cranii merupakan salah satu fraktur kepala yang sulit
untuk dievaluasi dan ditangani. Fraktur basis crania didefinisikan sebagai
fraktur linear pada dasar tulang tengkorak dan merupakan bagian dari
banyak fraktur wajah yang meluas ke dasar tengkorak. Sinus sphenoidal,
foramen magnum, dan tulang temporal merupakan bagian yang paling

2
umum terjadi kerusakan pada fraktur tersebut.(5) Beberapa penyebab
terjadinya fraktur basis cranii antara lain:(6)
1. Cedera kontak bentur
Cedera kontak bentur umumnya merupakan akibat dari adanya
suatu tenaga benturan yang mengenai kepala, dalam peristiwa jejas ini
yang terjadi hanyalah disebabkan oleh fenomena kontak bentur saja dan
sama sekali tidak berkaitan dengan guncangan atau akselerasi atau
deslerasi pada kepala. Namun dalam kejadian sehari-hari jarang sekali
dijumpai cedera kontak bentur yang murni.
2. Lesi lokal
Lesi lokal yang dapat timbul akibat benturan meliputi fraktur
linier dan depresi tulang tengkorak, hematom epidural, intraserebral
hematom dan lain-lain. Benturan pada basis cranii bisa terjadi secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa fraktur basis yang
terjadi sebagai akibat jejas lokal. Benturan langsung biasanya terjadi di
daerah ocipital dan mastoid, sedangkan yang tidak langsung biasanya
terjadi pada wajah yag selanjutnya kekuatan tenaga dihantarkan melalui
tulang-tulang wajah atau rahang bawah untuk menimbulkan fraktur
dasar tengkorak.
3. Lesi ditempat lain akibat benturan
Fenomena kontak juga bisa terjadi bukan ditempat benturan, hal
ini bisa melalui dua cara yaitu distorsi otak dan gelombang kejut (shock
waves). Kedua hal inilah yang bisa menyebabkan terjadinya fraktur
tengkorak di tempat yang jauh dari lokasi benturan. Fraktur tengkorak
ditempat lain (remote fraktur) dapat terjadi bila benturan mengenai
bagian tulang yang tebal atau bila objek pemukul relatif lebar. Dalam
hal ini, pengaruh lekukan ke dalam lebih kecil namun tengkorak
mencuat keluar disekitar lokasi benturan, sehingga lebih mencederai
daerah lokasi di seberangnya.

3
1.4. KLASIFIKASI

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis cranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior,
fossa cranii media dan fossa cranii posterior.(3)

1. Fossa Cranii Anterior


Fossa cranii anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di
anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala
minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis
frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial.
Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan
lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus
olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis
dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal
yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan
terjadi rhinnore atau kebocoran CSF (cerebrospinal fluid) yang
merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os
frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari
fraktur basis cranii fossa anterior.
2. Fossa Crania Media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh
corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk
cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di

4
anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis
opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian
posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral
terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor
dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale,
n.trochlearis, n. occulomotorius dan n. abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah
ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara
anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis
di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah
yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah
dari canalis acusticus externus sering terjadi(otorrhea). N. craniais VII
dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os
temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral
sinus cavernosus robek.

3. Fossa Cranii Posterior


Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu
cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi
oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi
oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii
posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os
occipital dan pars mastoiddeus os temporal.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan
dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya,
pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke
tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian,
darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat
prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek,

5
dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen
jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

Berdasarkan jenisnya, fraktur basis cranii dibagi menjadi :

1. Fraktur Temporal
Fraktur Temporal dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis
cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal,
transversal dan mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan type
longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini Fraktur
longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian
squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah
satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine
capsule, berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau
pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling
umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki
unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.(3)
Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah
diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous
fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang
melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan
deficit nervus cranialis.(3)
2. Fraktur condylar occipital
Fraktur condylar occipital adalah hasil dari trauma tumpul energi
tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational
pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis
berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative
membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan

6
tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial
yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan
jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan
langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera
avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi
menjadi fraktur tidak stabil.(3)
Fraktur condylar oksipital adalah cedera yang sangat jarang namun
serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur oksipital condylar,
terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan memiliki
kaitan dengan cedera tulang belakang servikal lainnya. Pasien-pasien
ini juga dapat hadir dengan cedera nervus cranialis lainnya dan
hemiplagia atau quadriplegia.(5)
3. Fraktur clivus
Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi
dalam kecelakaan kendaraan bermotor. Longitudinal, transversal, dan
tipe oblique telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal
memiliki prognosis terburuk, terutama bila melibatkan sistem
vertebrobasilar. Defisit pada nervus cranial VI dan VII biasanya
dijumpai pada fraktur tipe ini.(3)

7
BAB II

ANATOMI DAN PATOMEKANISME FRAKTUR BASIS CRANII

2.1 ANATOMI BASIS CRANII


Dasar tengkorak dibagi menjadi beberapa fossa yaitu fossa anterior,
fossa media dan fossa pasterior. Dari aspek ini tampak jelas cetakan dari
otak. Pada dasar tengkorak durameter melekat erat dan masuk kedalam
foramen-foramen.(7)

(Gambar 2.1 : Tulang Penyusun Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(8))

(Gambar 2.2 : Neovascularisasi Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(8))

8
(Tabel 2.1 : Nervus Cranialis)
(Dikutip dari kepustakaan:(9))

Fossa anterior dasar tengkorak terdiri dari :


- Lempeng cribiforme os.ethmoidal, pada bagian depannya terdapat
bagian yang menonjol keatas disebut crista gali.
- Bagian orbita os.frontal, merupakan bagian terbesar dariu fossa anterior,
pada bagian depan medial terdapat sinus frontalis, bagian belakang
berbatasan langsung dengan lesser wing of sphenoid bone.
- Os.sphenoid, terdiri dari greater dan lesser wing yang menyatu pada sisi
lateral fissure orbitalis superior
Fossa media dasar tengkorak :
- Lebih dalam dibandingkan dengan fossa anterior
- Pada bagian sentral terdapat carnalis optikus tempat lewatnya nervus
optikus, arteri ophtal milk dan meningens.
- Pada bagian depan terdapat sella tursica yang merupakan tempat
hipofisis.
- Pada sisinya terdapat fissura orbitalis superior, bagian tengah lebih lebar

9
berisi n.opticus, v.ophtalmicus, n.occulomotor, n.trochleas dan beberapa
pembuluh darah kecil.
- Foramen rotundum yang berjalan kearah depan menuju fossa pterigo
palatina dan berisi maksilaris (V 2).
- Foramen ovale, berjalan kearah bawah menuju fossa infra temporal dan
berisi n.mandibulla (V 3).
- Foramen spinosum, terletak posterolateral dari foramen ovale dan berisi
arteri meningea media.
- Foramen lacerum, terletak postero medial dari foramen ovale dan berisi
arteri carotis interna.
Fossa posterior dasar tengkorak :
- merupakan fossa yang paling besar dan dalam diantaranya fossa-fossa
lainnya berisi cerebelum, pons dan medulla oblongata.
- Foramen magnum, merupakan tempat peralihan dari medulla spinalis.
- Foramen juglare, merupakan tempat erjalannya n.glosopharingeous.
Dibagian posterior terdapat sullkus sigmoid yang berisi sinus signoid
yang berlanjut menjadi v.jugularis interna.
- Canalis hipoglossus, terletak lateral dari foramen magnum dan berisi
nervus hipoglosus.
- Meatus acusticus interna terletak bagian depan dari foramen jugulare
dan di bagian atasnya terdapat canalis fascialis yang merupakan tempat
lewatnya nervus fascialis.(7)

2.2. PATOMEKANISME FRAKTUR BASIS CRANII

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak


disebabkan oleh trauma. Meskipun tengkorak sangat sulit retak dan
memberikan perlindungan yang sangat baik untuk otak, trauma yang parah
atau pukulan dapat mengakibatkan fraktur tengkorak. Ini dapat terjadi
dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat
menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan

10
terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup
dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar
fraktur dan karena alasan kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa
pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintasi
sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang
temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau
telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak
dicurigai ketika CSF keluar dari telinga dan hidung. Patah tulang tengkorak
bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian berdarah ke dalam ruang di
sekitar jaringan otak. Patah tulang, terutama pada bagian belakang dan
bawah (dasar) dari tengkorak, bisa merobek meninges, lapisan jaringan yang
menutupi otak. Bakteri dapat masuk ke tengkorak melalui patah tulang
tersebut, menyebabkan infeksi dan kerusakan otak parah. Kadang-kadang,
potongan tulang tengkoraknya retak tekan ke dalam dan merusak otak. Jenis
patah tulang fraktur disebut depresi. Patah tulang tengkorak depresi
mungkin mengekspos otak ke lingkungan dan bahan asing, menyebabkan
infeksi atau pembentukan abses (pengumpulan nanah) di dalam otak.(10)

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana
Medulla Spinalis lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat
fatal akibat cedera batang otak. Kematian biasanya terjadi seketika karena
cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah
besar pada dasar tengkorak.(3)

11
BAB III

PENEGAKAN DIAGNOSIS

3.1. ANAMNESIS
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala
dikategorikan sebagai cedera otak ringan, penderita-penderita tersebut
sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang
dialaminya. Dapat dilakukan anamnesis berkaitan dengan identitas pasien
(nama, umur, jenis kelamin, ras dan pekerjaan), mekanisme cedera, waktu
cedera, tidak sadar segera setelah cedera, amnesia dan sifat sakit kepalanya
(ringan, sedang, berat).(11)

Hampir delalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu


lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih
terperinci meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk
estimasi berat ringannya benturan, ada tidaknya benturan kepala langsung
dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan
motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa
serta adanya nyeri kepala, mual muntah. Muntah dapat disebabkan oleh
tingginya tekanan intracranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan
kehilangan kesadaran namun dapat kelihatan bingung atau disorentasi.

3.2. PEMERIKSAAN FISIK


Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan bersama
dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan
neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf cranial, fungsi motorik,
fungsi sensorik dan reflex.

12
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi :

1) Ada tidaknya cedera luar terlihat

(Gambar 3.1 : Tanda-tanda Fraktur Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(12))
Perhatikan jejas pada kulit kepala, perdarahan hidung ataupun
telinga, hematom periorbital dan retroaurikuler. Pada fraktur basis
crania dapat terjadi tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali
memang disertai adaya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala
tergantung letak frakturnya.(10)
Fraktur basis cranii anterior :

(Gambar 3.2 : Racoon Eyes)


(Dikutip dari kepustakaan:(12))
- Unilateral/bilateral orbital hematom (raccon’s eyes)
- Gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum

13
- Perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti anosmia,
anosmia akibat trauma bisa persisten, jarang bisa sembuh
sempurna.
Fraktur basis crania media biasanya fraktur terjadi pada os
petrosum:

(Gambar 3.3 : Battle Sign and Bloody Otorrhea)


(Dikutip dari kepustakaan:(12))
- Perdarahan dari telinga dan likuorrhoe. Tampak belakang
telinga berwarna biru (battle sign)
- Parese N. VII dan VIII sering dijumpai
Fraktur basis cranii posterior biasanya menunjukkan gejala lebih
berat, kesadaran menurun.(10)
2) Tanda vital, berupa tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu.
3) Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap
penderita cedera kepala setelah resusitasi meliputi :(11)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Pemeriksaan GCS
tersebut mencakup tiga komponen yaitu reaksi membuka mata,
reaksi motorik, dan reaksi verbal, masing-masing diberi nilai
sebagai berikut:

14
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye opening, E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap Nyeri 2
Tidak ada 1

Respon motoric (M)


Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang 4
dirangsang) 3
Fleksi abnormal (dekortikasi) 2
Ekstensi abnormal (deserbasi) 1
Tidak ada (flasid)
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
(Tabel 3.1 : Glassgow Coma Scale )
(Dikutip dari kepustakaan:(6))
Untuk reaksi membuka mata (E), jika membuka mata spontan
maka nilainya 4, jika membuka mata bila ada rangsang suara/
dipanggil maka nilainya 3, jika membuka mata karena rangsangan
nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak membuka mata walau
dirangsang nyeri maka nilainya 1.
Untuk reaksi motorik (M), jika gerakan mengikuti perintah
misalnya mengangkat kaki diberi nilai 6, jika hanya mampu
melokalisasi rangsang nyeri dengan menolak rangsangan maka
nilainya 5, jika hanya mampu menarik bagian tubuhnya bila

15
dirangsang nyeri nilainya 4, jika timbul fleksi abnormal bila
dirangsang nyeri maka nilainya 3, jika timbul ekstensi abnormal
bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak ada gerakan
dengan rangsang apapun maka nilainya 1.
Untuk reaksi verbal (V), jika komunikasi verbal baik,
menjawab tepat, orientasi baik maka nilainya 5, jika bingung dan
disorientasi maka nilainya 4, jika menjawab tidak sesuai
pertanyaan, hanya berupa kata-kata maka nilainya 3, jika hanya
mengerang bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak
ada suara dengan rangsang apapun maka nilainya 1.
Hasil pemeriksaan masing-masing komponen dijumlahkan,
rentang nilainya berkisar antara 3-15. Jika nilai GCS 14-15 disebut
cedera kepala ringan, 9-13 disebut cedera kepala sedang dan 8 atau
kurang disebut cedera kepala berat. Penurunan nilai GCS 2 atau
lebih menunjukkan perburukan yang bermakna dan harus segera
dilaporkan pada dokter yang merawat.

b. Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf cranial


Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh saraf otonom,
yaitu simpatis dan parasimpatis. Pupil harus diperiksa untuk
mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan
diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 2 mm adalah
abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotorius ipsilateral. Respon yang
terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera
kepala.

c. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar


Rangsang nyeri yang diberikan antara lain: dengan
mengunakan batangan pensil, gagang reflex hammer, atau benda
tumpul yang lain, melakukan penekanan pada kuku bagian

16
proksimal, dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum,
dan dengan melakukan penekanan tumpul pada supraorbita ridge.

3.3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan lanjutan yang dapat dilakukan pada kasus fraktur basis


cranii, yaitu :(11)
1. Study Imaging, berupa :
- Radiografi
Foto x-ray skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan
fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila
tersedianya CT-scan. Jika indikasi CT-Scan sudah jelas, maka
pemeriksaan foto polos kepala tidak diperlukan lagi karena beberapa
alasan berikut :
a. Akan memperpanjang waktu pemeriksaan
b. Tidak memberikan informasi tambahan sehubungan dengan
penatalaksanaan penderita karena sudah tercakup dalam CT-
Scan.
c. Pemborosan biaya pemeriksaan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam interpretasi foto
polos kepala, antara lain :
a. Fraktur ditandai oleh garis kehitaman berbatas tegas (tajam).
Garis tersebut biasanya tidak bercabang, cenderung membentuk
garis lurus dan berhenti pada sutura, dan dapat disertai diastase
pada sutura.
b. Fraktur depressed ditandai oleh daerah dengan densitas
meningkat karena terdapat tulang yang saling tumpang tindih,
disertai oleh daerah dengan densitas menurun kerena adanya
fragmen tulang yang bergeser.

17
c. Perhatikan adanya ‘air-fluid level’ pada sinus para nasal,
merupakan suatu tanda perdarahan intra sinus akibat fraktur
maksilofasial.
d. Perhatikan adanya udara intrakranial (pneumosefalus) yang
menunjukkan adanya fraktur terbuka, terutama fraktur basis
cranii.
e. Perhatikan adanya air fluid level pada sinus spenoid merupakan
tanda fraktur basis cranii. Garis fraktur basis sendiri sulit terlihat,
kecuali dengan CT-Scan.
Pada fraktur basis cranii, gambaran X-ray yang dapat ditemukan
antara lain:

(Gambar 3.4 : Radiologi (X-Ray) Fraktur Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(13))
Bila curiga terdapat fraktur pada basis cranii, buatlah proyeksi
dengan posisi kepala seperti pada gambar diatas. Mungkin terlihat
cairan (darah atau cairan cerebrospinal) didalam sinus sphenoidalis.
Kecuali bila penderita menderita sinusitis yang berat, hal ini hanya
bisa terjadi karena adanya fraktur pada basis crania.(13)
- CT scan:
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita cedera kepala:
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama
observasi.
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang
tengkorak.
c. Adanya tanda klinis fraktur basis cranii.

18
d. Disertai dengan kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal.
f. Sakit kepala yang menetap.
Beberapa keuntungan pemeriksaan CT-Scan kepala pada trauma
kepala antara lain :
a. Merupakan pemeriksaan noninvasif dan cepat.
b. Memberikan gambaran lesi akut dengan baik (hematom,
kontusio, edema).
c. Dapat memberikan gambaran perubahan struktur anatomis dan
hidrocefalus akibat trauma.
d. Dapat memberikan informasi lokasi anatomis lesi secara akurat.
e. Dapat memperlihatkan fraktur dan perubahan pada sinus dan
jaringan lunak.
f. Lebih baik dalam pencitraan fraktur depressed dibandingkan
dengan foto polos kepala kecuali untuk fraktur depressed di
verteks.
g. Dapat memperlihatkan pneumosefalus minimal yang tidak
terlihat pada foto polos kepala.
h. Lebih baik dalam penentuan lokasi anatomis benda asing
dibandingkan dengan foto polos kepala.
Walaupun banyak keuntungan yang diberikan melalui
pemeriksaan CT-Scan kepala dibandingkan dengan pemeriksaan
lain, tetapi ada beberapa kelemahan dari pemeriksaan ini antara lain:
a. Fraktur depressed pada verteks dapat terlewatkan.
b. Fraktur depressed dapat disalahartikan dengan lesi epidural
hematoma, jika tidak dilakukan pemeriksaan bone window.
c. Kurang mampu menilai lesi vaskuler, jika tidak menggunakan
kontras.
d. Lesi aneurisma intrakranial traumatika sering terlewatkan.
e. Pada potongan dengan ketebalan > 5 mm. Lesi-lesi kecil dapat
terlewatkan.

19
f. Gerakan penderita dapat mengganggu hasil pemeriksaan
(megurangi kualitas gambar).
CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fracture.

(Gambar 3.5 : CT-Scan Fraktur Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(14))
Salah satu contoh gambaran CT-Scan pada fraktur basis cranii,
ditandai oleh hilangnya kontinuitas tulang temporal yang keras
(bilateral) pada kedua gambar diatas (panah 1 sampai 4) dan pada
tulang sinus sphenoidal (panah 5).

(Gambar 3.6 : CT-Scan Fraktur Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan:(10))
Gambaran CT scan menunjukkan adanya fraktur pada basis
cranii kanan dan kiri dan terlihat kecoboran disinus paranasal.

20
(Gambar 3.7 : CT-Scan Fraktur Basis Cranii)
(Dikutip dari kepustakaan:(12))

CT scan potongan axial menunjukkan adanya fraktur longitudinal


sebelah kiri (panah putih) dan fraktur basis cranii pada tulang
temporal terlihat pada bone window (panah kuning).

- MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu


nilai tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada
ligament dan vaskuler. Cedera pada tulang jauh lebih baik
divisualisasikan dengan menggunakan CT-scan.
2. Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu
tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan
menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah
(gambar 3.8), maka disebut “halo” atau “ring” sign.

Gambar 3.7 : CT-Scan Fraktur Basis Cranii)


(Dikutip dari kepustakaan: :(15))

21
Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa
kadar glukosa dan dengan mengukur transferring.(3) Rhinorrea
cerebrospinal adalah indikasi fistula kompartmen intrakranial melalui
duramater dan dasar tengkorak. Oleh karena itu, penting untuk
menentukan adanya rhinnore CSF ada pada pasien cedera kepala. Strip
glukosa terkenal untuk mendiagnosis rhinnore CSF sebanyak 50%. Tes
ini adalah beta-2 transferrin assay yang sensitif dan spesifik untuk CSF.
Tempat fistula yang menyebabkan CSF rhinnorrea termasuk regio
ethmoid/cribform, sinus frontal, atap orbita, dan sinus sphenoidal.(16)

22
BAB IV

TATALAKSANA

Persiapan penderita sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang


berbeda. Fase pertama adalah fase pra-rumah sakit, dimana seluruh
penanganan penderita sebaiknya terkoordinasi dengan dokter rumah sakit.
Fase kedua adalah fase rumah sakit dimana dilakukan persiapan untuk
menerima penderita, sehingga resusitasi dapat dilakukan secara cepat(11)

A. Fase Pra-Rumah Sakit

Koordinasi yang baik antara dokter dan petugas lapangan akan


mengunutngkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan
sebelum penderita diangkut dari tempat kejadian ini. Pemberitahuan ini
memungkinkan rumah sakit untuk mempersiapkan tim trauma sehingga
sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit. Pada fase rumah sakit,
titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan dan syok,
imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat yang fasilitas
cocok dan sebaiknya ke suatu pusat trauma yang diakui. Yang juga
penting diketahui adalah pengumpulan keterangan yang nanti dibutuhkan
di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, dan riwayat
penderita. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat
perlukaan.

B. Fase Rumah Sakit

Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba, sebaiknya ada


ruangan untuk resusitasi. Perlengkapan resusitasi (laringoskop,
endotrakeal tube dsb) sudah dipersiapkan, dicoba dan disimpan ditempat
yang mudah dijangkau. Juga dipersiapkan formulir rujukan ke pusat
trauma serta proses rujukannya. Semua tenaga medik yang berhubungan
dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit
menular terutama hepatitis dan AIDS. Cexnter of Disease Control (CDC)

23
dan pusat kesehatan lain sangat menganjurkan pemakaina alat proteksif
seperti masker, kaca mata, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap
air bila ada kontak dengan cairan tubuh penderita.(11)

4.1. PRIMARY SURVEY


Keterlambatan pengelolaan dini pasien trauma kepala sangat buruk
akibatnya pada kesembuhan. Hipoksia dan hipotensi menyebabkan angka
kematian dua kali lebih banyak. Keadaan-keadaan berikut ini sangat
membahayakan jiwa tetapi sulit diatasi di rumah sakit daerah. Kita harus
menangani kasus dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kemampuan,
fasilitas dan jumlah korban.
Keadaan ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena
pembedahan tidak akan membawa hasil lebih baik. Fraktura basis cranii
ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata (Racoon eyes) atau
memar diatas prosesus mastoid (Battle’s sign) dan atau kebocoran cairan
serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.(2)
Kesalahan yang sering terjadi pada waktu evaluasi trauma kepala dan
resusitasi adalah:(2)
- Kegagalan melakukan ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan
menetapkan prioritas pengelolaanf
- Kegagalan menemukan patologi lain disamping trauma kepala
- Kegagalan menilai keadaan neurologis awal
- Kegagalan evaluasi ulang kondisi pasien yang memburuk.
Penilkaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis
perlukaan, tada-tanda vital dan mekanisme traum. Pada penderita yang
terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita
harus diperiksa secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa
primary survey yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan
akhirnya terapi definitive. Proses ini merupakan ABCD-nya trauma dan
berudaha untuk mengenali keadaan yang mengancam jiwa yangbterlebih
dahulu dengan berpatoan pada urutan berikut :

24
A : Airway, menjaga airway dengan mengontrol servikal (cervical spine
control)
B : Breathing, menjaga pernapasan dengan ventilasi
C : Circulation, dengan control perdarahan (hemorrage control)
D : Disability, status neurologis
E : Exposure/environmental control, buka baju penderita tetap cegah
hipotermia.(1)

4.1.1. Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas
yang dapat disebabkan oleh obstruksi benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakeal.
Dalam hal ini dapat dimulai dengan chin lift atau jaw thrust.

(Gambar 4.1Look-Listen-Feel (LLF)


(Dikutip dari kepustakaan:(1))
1. Lihat (look)
Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun.Agitasi memberi kesan adanya hiperkarbia.Sianosis
menunjukkan hipoksemia. Lihat adanya retraksi dan
penggunaan otot-otot napas tambahan.
2. Dengar (listen)
Adanya suara-suara abnormal.Pernapasan yang berbunyi
(napas tambahan) adalah pernapasan tersumbat.Suara
mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul

25
(crowding sound, stridor) mungkin berhubungan dengan
sumbatan parsial pada faring dan laring.
3. Raba (feel)
Rasakan apakah ada hembusan udara ekspirasi atau tidak,
Obstruksi jalan napas mungkin parsial atau lengkap dan dapat
hadir dalam sadar atau korban tidak sadar.Penyebab utama
obstruksi jalan napas bagian atas adalah lidah yang jatuh ke
belakang dan menutup nasofarings. Selain itu bekuan darah,
muntahan, edem atau trauma juga dapat menyebabkan
obstruksi tersebut.
4.1.2. Breating dan ventilasi

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.


Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mngeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara
cepat. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernapasan. Dalam melakukan evaluasi pada breathing,
penyelamat harus:

1. Look, melihat gerakan dari perut bagian bawah/dada bagian atas


2. Listen, mendengar hembusan udara dari hidung dan mulut
3. Feel, untuk merasakan gerakan dari perut dan dada.

(Gambar 4.7.Look-Listen-Feel (LLF)


(Dikutip dari kepustakaan:(1))

26
Jika korban tidak sadar, tidak responsif dan tidak bernapas
normal setelah jalan napas telah dibuka dan dibersihkan,
penyelamat harus segera memulai penekanan dada dan kemudian
menyelamatkan pernapasan. Tanda-tanda distres nafas antara lain:
1) Nafas dangkal dan cepat
2) Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3) Tarikan sela iga (retraksi)
4) Tarikan otot leher (tracheal tug)
5) Nadi cepat
6) Hipotensi
7) Vena leher distensi
8) Sianosis (tanda lambat)
Penanganan kegagalan breathing antara lain :
1. Ventilasi mouth to mouth
2. Ventilasi Mouth to Nose
3. Ventilasi Mouth toMask
4.1.3. Circulation dan Kontrol Perdarahan
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca-bedah
yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat
di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma
harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang
cepat dari status hemodinamik penderita. Ada 3 penemuan
klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemo-dinamik ini, yakni tingkat kesadaran,
warna kulit dan nadi.
a. Tingkat kesadaran. Bila volume darah menurun, perfusi
otak dapat berkurang uang akan mengakibatkan penurunan
kesadaran

27
b. Warna kulit. Warna kulit dapat membantu diagnosis
hipobolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan,
terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang ada
dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat merupakan
tanda hipovelemia.
c. Nadi. Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis
dan a. Karotis (kiri dan kanan) untuk kekuatan nadi, dan
kecepatan. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur
merupakan pertanda normo-volemia. Nadi yang cepat dan
kecil merupakan tanda hipovolemia walaupun dapat
disebabkan oleh penyakit lain. Kecepatan nadi yang
normal bukan merupakan jaminan normovolemia. Nadi
yang tidak teratur merupakan gannguan penyakit jantung.
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi jantung paru (RKP)
segera. Cara melakukan RKP :

(Gambar 4.11. RKP pada orang dewasa)


(Dikutip dari kepustakaan:(1))
Pijat jantung nafas buatan 30 : 2, yang disela dengan 2 x
tiupan nafas, yaitu:
a. Lakukan 30 kali pijat jantung dengan diselingi 2 kali
nafas buatan ini berulang selama 2 menit.

28
b. Setelah 2 menit (7-8 siklus) raba nadi leher. 30 : 2
c. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan
30 x pijat jantung dan 2 x nafas buatan
d. Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan atau
ambulans.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka. Pada fraktur basis cranii, perdarahan dapat ditemukan dari
hidung (epistaksis) maupun telinga (bloody otorrhea). tujuan
penatalaksanaan epistaksis adalah mencegah komplikasi dan
berulangnya epistaksis serta mencari etiologi. Sumber
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung. Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach
atau a. Ethmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan,
mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Pada perdarahan anterior yang berat, setelah darah
dibersihkan, sumber perdarahan dapat dikaustik dengan nitrat
argenti 20-30%, asam trikloroasetat 10% atau kauter listrik.
Jika sumber perdarahan tidak ditemukan, pasanglah tampon
sementara yaitu kapas-Pantokain-adrenalin selama 5-10 menit
agar terjadi vasokontriksi.(17)
Resusitasi cairan diberikan berdasar pada derajat syok
yang terjadi. Dari derajat syok dan responnya terhadap
resusitasi cairan dapat diprediksi apakah suatu perdarahan
dalam (internal bleeding) memerlukan tindakan operatif
(surgical resusitation) atau tidak.(1)
4.1.4. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi


terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini
adalah tinggal kesadaran, ukuran retraksi pupil, tanda-tanda

29
resusitasi dan tingkat cedera spinal. GCS (glasgow Coma Scale)
adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat digunakan sebagai
pengganti AVPU. Bila belum dilakukan pada survei primer, harus
dilakukan pada secondary survey pada pemeriksaan neurologis.
Penurunan kesadaran dapat diakibatkan penurunan oksigenasi
atau/dan penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma
langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya
reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.(1)

4.1.5. Eksposure/Kontrol Lingkungan

Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya, sering dengan


cara menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah
pakaian terbuka, penting penderita diselimuti agar pasien tidak
kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup
hangat dan diberikan cairan intra-vena yang ssudah dihangatkan.
Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan rasa nyaman
petugas kesehatan.

4.2. PENANGANAN FRAKTUR BASIS CRANII :


A. Terapi Medis(11, 18)
- Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika
perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody
otorrhea/ otoliquorrhea,
- Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrhea
penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi
yang sehat.
- Observasi terutama ditujukan untuk menilai adanya perubahan
yang menandakan adanya suatu hematom intrakranial yang
berkembang. Observasi dilakukan pada 24 jam pertama sejak
trauma atau sampai GCS mencapai 15.

30
- Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal
cegah batuk, mengejan, memakan makanan yang tidak
menyebabkan sembelit.
- Untuk pencegahan peninggian tekanan intrakranial dapat dilakukan
dengan beberapa cara yaitu :

a. Menghindari terjadinya hiperkapnea dimana PaCO2 harus


dipertahankan dibawah 40 mmHg
b. Hindarkan pemberian cairan yang berlebih
c. Diuretic osmosis dalam hal ini yang paling banyak digunakan
adalah manitol
d. Menuver lain yaitu head up 30- 450
e. Berikan sedasi jika pasien gaduh gelisah. Penggunaan sedasi
dilakukan secara intermitten agar evaluasi neurologis dapat
dilakukan secara terus-menerus. Dapat diberikan morfin
intravena 0,1 mg/kgBB setiap 1-3 jam.
- Penggunaan antibiotika, secara umum penggunaan antibiotika
untuk trauma kepala mencakup dua tujuan yaitu untuk pengobatan
terhadap infeksi dan profilaksis. Sebaiknya menggunakan
antibiotika yang berspektrum luas. Pemberian antibiotika
profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis masih
controversial. Pemberian antibiotika profilaksis di batasi sampai
bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.
- Anti kejang post trauma seperti phenitoin :

a. Dosis dewasa :
1) Dosis loading 18 mg/kgBB secara iv perlahan-lahan
2) Dosis maintenance 200-500 mg perhari dalam dosis
terbagi.
b. Dosis anak :
1) Dosis loading 20 mg/kgBB diberikan secara perlahan

31
2) Dosis maintenance 4-7 mg/kgBB /hari diberikan dua kali
sehari.
- Obat-obat yang bersifat inotropik seperti dopamine, dobutamin dan
epinefrin.

B. Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Indikasi
untuk elevasi segera adalah fraktur yang terkontaminasi dural tear
dengan pneumocephalus dan hematom yang mendasarinya. Kadang-
kadang craniectomy dekompresi dilakukan jika otak mengalami
kerusakan dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini,
cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk interaksi
bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable yang
membutuhkan arthrodesisathlantoxial. Hal ini dapat dicapai dengan
fiksasi dalam luar.(18)

4.3. PROGNOSIS
Prognosis setelah cedera kepala berat mendapat perhatian besar,
terutama pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar; skor pasien 3-4 memiliki
kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif,
sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5-10%. Sindrom pascakonkusi
berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas dan perubahan kepribadian
yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala.(19)

32
BAB V

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi dari fraktur basis cranii meliputi :

1. Facial Palsy
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang
disertai dengan rhinorrhea.Facial palsy dan gangguan ossicular yang
berhubungan dengan fraktur basis cranii dibahas di bagian klinis.
Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca
trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus cranialis
VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset
facial palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur
biasanya akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis
buruk.(5)
2. Cedera Nervus Cranialis
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis
cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan
ganglion gasserian.Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah
akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin akibat skunder karena
terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan
XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital. Fraktur os
sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan
juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi
menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula
caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). cedera carotid
diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui
kanal karotid, dalam hal ini CT-angiografi dianjurkan.(5)
3. Kebocoran CSS (Cairan Serebro Spinal)
Kebocoran CSS pada cedera kepala terutama menyertai fraktur
basis cranii. Pada proses penyembuhan luka, umumnya kebocoran

33
tersebut akan berhenti. Jika robekan duramater terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu
tindakan operatif.Pengobatan non-operatif dapat dicoba hingga 2
minggu dengan berbagai manipulasi, misalnya dengan pemberian
asetazolamid untuk mengurangi produksi CSS, pemasangan ‘drain
lumbal’ untuk mengalirkan sebagian CSS, pemberian antibiotika yang
adekuat untuk mengatasi infeksi bukan untuk mencegah infeksi. Posisi
penderita head up.(5)

4. Komplikasi fraktur basis crania lainnya dapat terjadi


meningoensefalitis, abses serebri, Lesi nervii cranialis permanen,
liquorrhea, CCF (Carotis cavernous fistula). Fistel karotis-kavernosus
ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi diperlukan
untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi balon
endovaskularmerupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah
hilangnya penglihatan yang permanen).(19)
5. Kejang pasca-trauma dapat terjadi segera setelah (dalam 24 jam
pertama), dini (minggu pertama), atau lanjut (setelah satu minggu).
Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut;
kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjutan,
pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.(18)

34
BAB VI

KESIMPULAN

Fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme


termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah
lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban inersia oleh
kepala. Pasien dengan fraktur basis cranii banyak dijumpai dengan
otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur
basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale
dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk
penegakan diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan
neurologis lengkap, analisis laboratorium, dasar, diagnostic untuk fraktur
dengan pemeriksaan radiologik. Penanganan korban dengan cedera kepala
diawali dengan memastikan bahwa airway, breathing, circulation bebas
dan aman. Airway dengan menjaga dan mengontrol servikal (cervical
spine control), breathing menjaga pernapasan dengan ventilasi, circulation
dengan mengontrol perdarahan (hemorrage control), disability status
neurologis, serta exposure/environmental control dengan membuka baju
penderita tetap cegah hipotermia. Kemudian dilanjutkan pada terapi medis
dan terapi bedah dengan indikasi utama kerusakan otak.

Penanganan yang lambat dapat menyebabkan komplikasi-


komplikasi tertertentu. Komplikasi yang dapat terjadi dari fraktur basis
cranii meliputi Facial Palsy, cedera nervus cranialis, kebocoran CSS
(Cairan Serebro Spinal). Komplikasi fraktur basis crania lainnya dapat
terjadi meningoensefalitis, abses serebri, Lesi nervii cranialis permanen,
liquorrhea, CCF (Carotis cavernous fistula.

35
BAB VII

AYAT/SURAH

QS AL-AN’AM AYAT 17

ٌ ‫ْك َوإِن قَد‬


‫ُير‬ َ ‫سس‬
َ ‫ّللاُ َي ْم‬
ٍّ ‫ض ٍ ٍّر‬ َ ‫ْك َوإِن ُه َو إِالَّ لَهُ َكا ِش‬
ُ ‫ف فَالَ ِب‬ َ ‫علَى فَ ُه َو ِب َخي ٍْر يَ ْم‬
َ ‫سس‬ َ
‫ش ْيءٍ ُك ٍِّل‬
َ

“Dan jika Allah mengenakan (menimpa) engkau dengan bahaya bencana, maka
tidak ada sesiapapun yang dapat menghapusnya melainkan Dia sendiri dan jika
ia mengenakan (melimpahkan) engkau dengan kebaikan, maka ia adalah Maha
Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi


pemeluknya. Islam dalam Al-Qur’an dan hadist melarang umat untuk membuat
kerusakan jangankan kerusakan itu terjadi pada lingkungan, terhadap diri sendiri
saja Allah melarangnya.

ْ ‫َو ِإذَا َم ِر‬


ِ ‫ضتُ فَ ُه َو يَ ْش ِف‬
‫ين‬
“Dan apabila aku (Ibrahim) sakit, Dia (Allah)-lah yang menyembuhkan diriku.”
(QS asy-Syu’arâ’/26: 80).

Inilah yang oleh para pakar tafsir disebut sebagai sikap tawakkal dari
seorang hamba (yang direpresentasikan oleh Nabi Ibrahim a.s.). Ketika suatu saat
dirinya sakit, dia yakin bahwa Allah yang berkuasa untuk memberikan
kesembuhan. Sehingga, semua obat (penawar) tidak akan bermakna apa pun
tanpa ridha Allah.

36

Anda mungkin juga menyukai