TINJAUAN PUSTAKA
1.
Trauma Kapitis
2.
paksa
disfungsi
sementara.Merupakan
salah
cerebral
satu
penyebab
lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif
sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius sehingga pertolongan pertama pada
penderita harus cepat dilakukan. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion
cerebri, Laceratio cerebri, fracture basis cranii.Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran
darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologis harus dilakukan secara bersamaan.
ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan
tengkorak
b.
Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah
tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum (American college of surgeon, 1997).
a. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan
sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of
surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d.
Otak
mesensefalon
(otak
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
a
Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari(Hafidh, 2007).
b.
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(japardi,2004)
c.
Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini
dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun
pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur
linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah
temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabangcabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan
terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan
daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat
hidung atau telinga).
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan
rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada
aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh
otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak
yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak),
terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau
berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun
penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi
bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi
benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi
countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul
kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap
trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan
bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang
seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala
yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval
lucid.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar
fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan
dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa 5% penderita tauma kapitis menderita
gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami fraktur
di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena
adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera
timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif
sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang
supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan
pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari
kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang
telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya
meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari
trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan
atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi
aneurisma.
hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat
dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat
membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.
1
a.
adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang
beberapa hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk
bertambah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak
terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang
mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama
gejalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen.
Jika cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
b.
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa
menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa,
depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius
daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau
bahkan koma.
c.
Perdarahan intrakranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau
diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural).
Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar
perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan
menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara
perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas
akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan
jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang
otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran
sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau
gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan,
terutama pada usia lanjut.
o Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak, yaitu arteri meningea media. Hal ini terjadi karena
patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan
lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera
timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang
menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT
scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
o
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan
bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian
setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah
luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan
pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma
subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Robek
EPIDURAL HEMATOM
SUBDURAL HEMATOM
Gejala
klinik
Letak lesi
papil
edema,
Hiperrefleks,
Ct-Scan
Kriteria cedera kepala yang digunakan untuk diagnosis, bergantung berat-ringannya cedera
otak yang terjadi, oleh sebab itu terbagai menjadi :
1.
2.
3.
GCS = 15 (normal)
Kesadaran baik
CT-Scan normal
GCS = 13 - 15
CT-Scan normal
GCS = 9 12
4.
CT-Scan abnormal
GCS = 5 8
CT-Scan abnormal
GAMBARAN KLINIS
Gejala Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
1.
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
2.
3.
4.
5.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan
menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru
pada 40% dari penderita .Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang
otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di
sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.8
C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan
CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran,
walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik .6,10
TERAPI
Tatalaksana cedera kepala, berdasarkan kriteria untuk diagnosis, sebagai berikut:
1. minimal
istirahat dirumah
terapi
khusus:
medikamentosa,
atasi
peningkatan
TIK,
rehabilitasi
Pengelolaan konservatif pada contusion cerebri dengan cedera kepala sedangberat untuk mengurangi TIK dengan cara non bedah, tindakan tersebut antara
lain :
1. Oksigen ventilasi
Dengan oksigenasi dan ventilasi diharapkan PCO2 tidak turun dibawah
25 mmHg, sehingga akan tercapai vasokontriksi pembuluh darah dan
akan menurunkan volume intracranial sehingga dapat menurunkan TIK.
2. Pemberian Manitol
Dosis yang biasa digunakan adalah 0,5-1 gram per Kg BB. Konsentrasi
cairan manitol biasanya 20% dan diberikan dengan tetesan cepat agar
tercapai keadaan hipertonis intravaskuler, sehingga tujuan sebagai
osmotic diuretic bias tercapai.
3. Balance cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala harus tercukupi, oleh
karena bila tidak dapat menyebabkan dehidrasi sistemik yang dapat
menyebabkan cedera sekunder pada jaringan otak yang mengalami
trauma. Kadar elektrolit terutama natrium dalam serum juga harus
dijaga, keadaan hiponatremia berkaitan dengan terjadinya edema otak
yang harus dicegah.
4. Meninggikan kepala
Dengan posisi kepala lebih tinggi 20 sampai dengan 30 derajat akan
memperbaiki venous out flow ke dalam aliran sistemik. Sehingga aliran
darah dari otak ke sistemik berjalan lebih lancer.
5. Pemeberian antibiotika
Terutama pada penderita yang disertai rhinore dan otore dapat terjadi
infeksi pada jaringan otak oleh karena terobeknya duramater. Juga pada
penderita cedera kepala akan lebih sering terjadi infeksi saluran nafas
yang menyebabkan hyperthermia.
6. Pemberian Nutrisi yang Adekuat
Pada cedera kepala akan meningkatkan metabolism, sehingga kebutuhan
kalori meningkat 1,5 kali dari kebutuhan normal, pemberian nutrisi
sedapat mungkin secara sentral.
7. Pemberian Phenytoin
Pada minggu-minggu pertama paska cedera kepala dengan kerusakan
jaringan otak, akan mengurangi resiko terjadi epilepsi post trauma.
Diberikan dosis 100 mg lewat injeksi, dilanjutkan 5 mg/KgBB per oral,
dengan dosis terbagi 3-4 kali per hari.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan.
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area
di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami
kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan
oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan
yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa
sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada
minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.