GAMBARAN RADIOLOGI
TRAUMA KEPALA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNYA saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Gambaran Radiologi Trauma Kepala.” Tugas referat ini saya buat dengan tujuan
selain sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi serta
bertujuan agar para dokter muda mengetahui dan memahami tentang gambaran
radiologi trauma kepala dan penerapannya.
Saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan referat ini, khususnya Dr. Pherena Amalia Rohani Siregar, Sp.Rad
yang telah berkenan membimbing dan menguji referat ini.
Akhir kata saya mohon kritik dan saran yang membangun demi kemajuan kita
bersama, khususnya mengenai referat ini.
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. ANATOMI
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
3
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramenmonro menuju ventrikel III kemudian
melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.
5
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
C. FISIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai
200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
6
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi
penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75
ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke
dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat.
Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi
tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal (Lombardo, 2003).
7
akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk,
2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio
di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear
dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.
Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak.
8
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala
berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera kepala dengan nilai
GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak
sebagai berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
9
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
10
di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi
di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
11
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
CT SCAN
CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih
informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas
untuk mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan
cedera kepala harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan
sebagai risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis
pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak,
alkohol atau keracunan obat, atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan
mendeteksi intra serebral hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1
dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera halus otak, terutama
untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk evaluasi darurat
kecuali dengan cepat dan mudah tersedia gambar CT harus dinilai untuk bukti
adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid atau intraventricular,
memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan memar berhubungan
dengan diffuse axonal injury.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa
sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk
menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan sistematis.
Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma
kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat
menyelamatkan + 60 – 70 %. Bila lebih 4 jam tingkat kematian melebihi
sekitar 90%. Hal ini dapat dapat dilakukan setelah adanya penegakan
diagnosa trauma kepala dengan pemeriksaan klinis awal yang ditunjang
dengan diagnosa imajing (khususnya CT-Scan Kepala).
Pemeriksaan CT – Scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala
untuk menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala
berat.
12
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT – Scan pada
kasus trauma adalah :
a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur > 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alkohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.
13
Pada pemeriksaan CT Scan kepala tidak ada persiapan khusus. Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh radiographer adalah :
* Pastikan di ruangan ada emergency kit.
* Identitas pasien secara lengkap.
* Universal precaution ( minimal unsteril glove pada saat memindahkan
dan mengatur posisi pasien pada kasus trauma dengan luka terbuka ).
* Pastikan tidak ada benda-benda yang menyebabkan artefact pada gambar.
* Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah terpasang.
* Bila pasien anak-anak sebaiknya ada anggota keluarga yang
mendampingi dengan memperhatikan proteksi radiasi ( Berikan apron ).
* Lakukan fiksasi kepala pasien dan organ lainnya secara maximal.
14
1. Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi
ventrikellateral dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari
5 mm indikasi operasi)
2. Sulcus gyrus (mengabur/tidak?)
3. Sisterna Ambiens (mengabur/tidak?)
4. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan / pergeseran)
5. Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari
potonganaxial yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2
kalikan dengan jumlah slice yang ada massa)
6. Bone defect (ada/tidak ada? Fraktur linear/depressed, diastase,
kommunitif)
7. Soft Tissue edema/subgaleal hematom (ada/tidak? Pada regio mana?)
15
16
17
MRI
Magnetic Resonancy Imaging ( MRI ) suatu alat kedokteran di bidang
pemeriksaan diagnostik radiologi , yang menghasilkan rekaman gambar
potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan
magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan
resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihan
yang dimilikinya, terutama kemampuannya membuat potongan koronal,
sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien
sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak. Teknik
penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan
tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut
tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh
manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi
18
jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran
MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostik, maka harus
memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran
MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang
baik, ; b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak
pada gambar, dan cara mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap
keadaan darurat.
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik
(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lainnya dari keadaan patologis.
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi
gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung pada
letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis pemeriksaan MRI
sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya :
1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary,
lubang telinga dalam , rongga mata , sinus ;
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi
otak, pendarahan, infeksi; tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh
darah seperti aneurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi;
3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi (HNP),
tumor, infeksi, trauma, kelainan bawaan.
4. Pemeriksaan Musculoskeletal untuk organ : lutut, bahu , siku,
pergelangan tangan, pergelangan kaki , kaki , untuk mendeteksi
robekan tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain
lain;
5. Pemeriksaan Abdomen untuk melihat hati,ginjal,kantong dan saluran
empedu, pakreas, limpa, organ ginekologis, prostat, buli-buli
6. Pemeriksaan Thorax untuk melihat : paru –paru, jantung
19
1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan
lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi,
perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan.
4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa
merubah posisi pasien.
5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion.
20
Gb MRI Otak Normal
Gambaran Foto Polos Kepala, CT Scan kepala normal, dan MRI sudah dijelaskan
di atas beserta dengan cara pembacaannya.
Berikut akan dijelaskan gambaran radiologis dari beberapa kasus Trauma Kepala
dan keterangannya.
1. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater
dan tulang tengkorak.
Gejala klinis : penurunan kesadaran, penglihatan kabur, susah bicara,
nyeri kepala hebat, keluar cairan dari hidung atau telinga, Nampak
luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pupil anisokor.
21
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteriameningea media.
22
Gb Gambaran CT-Scan Epidural Hematoma
23
Gb MRI Hematoma Epidural
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan
laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin
ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma
subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih
buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut
dan kronis.
24
Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai
subdural hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film, bertujuan untuk mencari adanya
fraktur tulang pada daerah frontoparietotemporal.
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan
sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi.
Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium
juga menunjukan adanya hematom subdural. Menekan dan
mengkompresi otak (Bernath, 2009).
Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).
Gb . MRI Otak pada SDH akut Gb. CT – Scan pada SDH akut
25
oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan
tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga
terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali,
2007).
c. Perdarahan Subarakhnoid
Pada CT-Scan,perdarahan subarachnoid (SAH) terlihat mengisi
ruangan subarachnoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSS di
sekitar otak. Rongga subarachnoid yang biasanya hitam mungkin
26
tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat
dalam rongga subarachnoid yang besar.
Ketika CT-Scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah
perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih
darah dan bekuan cenderung menurun dan tampak sebagai abu-abu.
Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT-Scan berguna
untuk melokalisir sumber perdarahan. Hal ini sangat penting dalam
kasus- kasus aneurisma intracranial ganda, yang terjadi pada 20%
pasien. Lokalisasi SAH pada CT-Scan berkorelasi dengan lokasi dari
pecahnya aneurisma. Kehadiran darah dalam celah interhemisfer
anterior atau lobus frontal yang berdekatan menunjukkan pecahnya
aneurisma arteri anterior. Bekuan fisura Sylvian berkorelasi dengan
aneurisma arteri serebral tengah ipsilateral. Jika darah terdapat di
fossa posterior, hal ini menunjukkan perdarahan dari aneurisma
sirkulasi posterior.
27
Gb. MRI dan CT-Scan Perdarahan Subarakhnoid
e. Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
29
diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih
kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera
aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan .
30
Gb. MRI & CT-Scan pada Cedera Aksonal Difus
Angiografi
Selain daripada Foto Polos Kepala, CT-Scan dan MRI, trauma kapitis pada
angiografi dapat diperlihatkan terutama pada kasus hematoma subdural dan
hematoma epidural.
Hematoma Subdural
Trauma ini menunjukkan pendesakan arteri dan vena berbentuk konveks
sesuai dengan lengkung hemisfer serebri. Sesuai dengan lokalisasi
perdarahan, akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebeli
media maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi
pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media dan vena serebri
interna sangat sedikit (tidak seimbang), maka harus dilakukan angiografi sisi
kontralateral karena kemungkinan adanya hematom subdural di sisi
kontralateral tersebut.
31
Hematoma Epidural
Membedakan hematom epidural dan hematom subdural pada angiogram
sering sulit. Jika arteri meningea media terdesak kea rah median ( ke dalam ),
maka diagnosis hematom epidural bias ditegakkan. Jika hematom epidural
masuk ke dalam sinus venosus, maka sinus venosus ini akan terpisah dari
tabula interna.
32
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent.
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial
merupakan beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh
dari kasus lesi intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma,
perdarahan subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus
pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut
adalah foto polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri
khas yang dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada
penderita trauma kepala. Salah satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma
epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan kepala memberikan gambaran densitas
darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks dan sering pada daerah
temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural memberikan
gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan
diagnosis, juga dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya
yang akan dilakukan terhadap pasien trauma kepala.
33
DAFTAR PUSTAKA
34