Asma Ekstrinsik
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
(Medicafarma,2008)
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
a. Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1
Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85%
kasus timbul sebelum usia 30 tahun
Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda
Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya
gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai
dengan gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek.
Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan
tubuh pada IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan
cenderung berkurang di kemudian hari
Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
Ada riwayat keluarga yang menderita asma
Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat
(Medicafarma,2008)
Asma Intrinsik
Intrinsik/idiopatik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien
akan mengalami asma gabungan. (Medicafarma,2008)
Sifat dari asma intrinsik :
o Alergen pencetus sukar ditentukan
o Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil
negatif
o Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda
o Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun
dan disebut juga late onset asma
o Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
o Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak
dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
o Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
o Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya
sel LE
o Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48%
o Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
(Medicafarma,2008)
Namun klasifikasi diatas pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua
sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3
kategori, yaitu :
1) Asma ekstrinsik
2) Asma intrinsik
3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik.
(sundaru dan sukamto, 2009)
Dalam GINA (Global Initiative for Asma) 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi,
derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi spesifik dari sekitar pasien.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaranklinis, jumlah
pengunaan antagonis - 2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien.
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermiten
- Gejala kurang dari 1 kali/minggu
- Serangan singkat
- Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan ( 2 kali)
o FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada
detik pertama) 80% predicted atau PEF (Peak Expiratory Flow) 80%
nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF (Peak Expiratory Flow) atau FEV1 20 %
2. Persisten ringan
- Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
- Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
- Gejala nokturnal > 2 kali/bulan
o FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada
detik pertama) 80% predicted atau PEF (Peak Expiratory Flow) 80%
nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
- Gejala terjadi setiap hari
- Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
- Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu
- Menggunakan agonis - 2 kerja pendek setiap hari
o FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
4. Persisten berat
- Gejala terjadi setiap hari
- Serangan sering terjadi
- Gejala asma nokturnal sering terjadi
o FEV1 60% predicted atau PEF 60% nilai terbaik untuk individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dan Konsensus
Pediatri Internatiol III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3, yaitu
sebagai berikut :
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode < 1x tiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala diantara episode serangan,
dan fungsi paru normal di antara serangan. Tetapi profilaksis tidak dibutuhkan pada
kelompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemebrian
agonis-2.Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru diantara serangan
normal antagonis atau hampir normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asam persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivitas ringan, dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis-2 lebih dari
3x/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.
Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia membagi asma menjadi 3 derajat penyakit.
Variabilitas faal Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
paru (bila ada
serangan)
Jika terdapat keraguan antara derajat penyakit yang satu dengan yang lainnya maka
tatalaksana diberikan sesuai dengan derajat yang lebih berat.
(Rahajoe et al, 2008)
LI . 4 : Memahami dan menjelaskan Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak
4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita
yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat
sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000)
terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat
pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak
pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di
Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat
Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian
anak akibat asma pada tahun 1998
Dapat dilihat peranan berbagai sel pada reaksi asma. Reaksi asma ada dua macum yaitu
reaksi asma awal (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma
reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10–15
menit seteluh rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin
yang bekerja langsung pada otot poles bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini mudah
diatasi dengan beta-2 agonis. Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam
rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 16–24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beherapa minggu. Fase ini disertaidengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga
timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, inflamasi
netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran
spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis.
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya,
berupa :
• Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke
dinding dan lumen bronkus.
• Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan eosinofil.
• Edema mukosa dan eksudasi plasma.
• Hipersekresi lendir yang kental Jail kelenjar submukosa yang mengalami hipertroli.
Pada Gambar 2
Dapat dilihat face obstruksi jalan napas pada asma. Pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf.
Rangsang ujung saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus
merupakan ciri khas penyakit asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara
tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya
hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Gambar 2 Gambar 3
Neutrofil Kinin
Platelet Adenosin
Endotelin
Oksigen reaktif
Sitokin
Kemokin
Sel inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang
tepat belum pasti. Gambar menunjukkan berbagai macam sel dan mediator yang terlibat
pada asma.
1. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan
pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding
alveolus dan membran basalis.1,4,5,7,22,24,25 Sel mast melepaskan berbagai mediator
seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN-γ dan TNF-α.
Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular,
bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang
merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen
penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme
antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin
menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR.
2. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE
afinitas rendah.4,24 Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang
diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi.
Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2 α, tromboksan A2, PAF,
IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF α, reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag
berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan
sebagai APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit T.
3. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan
GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan
membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan
menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil
darah tepi dan cairan BAL dengan AHR.
Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan
oksigen radikal bebas.4 Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas
oksigen, MBP, eosinophyl cationic protein (ECP) dan eosinophyl derived neurotoxin
(EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel
mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.
4. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan
kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan
kationik.
Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan
PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik
dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL
menunjukkan bahwa neutrofil merupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan
yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.
5. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang
dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil
mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang
mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi
produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang
masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
6. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan
histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada
saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen.
Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang
peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil
alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodilokal yang akan
menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di
sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan
limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.
Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas
merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada
respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah miofibroblas di bawah membran basal
retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan
membran basal retikular.
Mediator inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mempunyai pengaruh pada saluran
napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF , leukotrien dan sitokin
yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran
mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai
mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.
1. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil.
Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada
reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan
meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan
meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang
saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi
histamin dari sel mast.
2. Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin
E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan
bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran
napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara
mengaktifkan reseptor tromboksan-prostaglandin.
4. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting
dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat
menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme nonhistamin dan terdiri atas LTA4,
LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi
eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel
pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.
5. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan
bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik.1,2,4
Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi.
Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas.
Interleukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13
akan merangsang limfosit B membentuk IgE.
6. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator
peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1
meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel
otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi
kronik asma.
9. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan
kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro
merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf
sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi
plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat
merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
10. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan
bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP
menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.
11. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma.
Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan
histamin dari sel mast.
Mekanisme saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu
mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada
saluran napas sangat kompleks.
1. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang
dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui
neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi
seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
2. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak
langsung yaitu melalui katekolamin/ epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik
meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor α adrenergik dan reseptor β
adrenergik. Perangsangan pada reseptor α adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan
perangsangan reseptor β adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.
¤ Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas
penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada
asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi
lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.
¤ Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat
pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun
radiologi.
¤ Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor
penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter)
seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer)
seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas
oleh virus.
¤ Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi
eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus.
Kesimpulan
1. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hambatan
aliran udara dan peningkatan AHR.
2. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast,
makrofag dan limfosit T di lumen danmukosa saluran napas.
3. Kontrol saraf kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik ikut berperan dalam
AHR.
4. Remodelling diduga merupakan penyebab obstruksi saluran napas yang ireversibel pada
penderita asma.
LI . 6 : Memahami dan menjelaskan Diagnosis Asma
A. Manisfestasi klinis
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang
waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya
rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Penderita asma akan mengeluhkan
sesak nafas karena udara pada waktu bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar
pada saluran nafas yang sempit dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi
ngik-ngik pada saat bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan
yang terjadi dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang
diproduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk
mengeluarkan dahak tersebut. Gambar dibawah ini adalah gambar penampang paru
dalam keadaan normal dan saat serangan asma.
Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan di luar serangan. Artinya, pada saat
serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk, sesak napas
hebat dan bahkan sampai seperti tercekik), tetapi di luar serangan dia sehat-sehat saja
(bisa main tenis 2 set, bisa jalan-jalan keliling taman, dan lain-lain). Inilah salah satu
hal yang membedakannya dengan penyakit lain (keluhan sesak pada asma adalah
revesibel, bisa baik kembali di luar serangan).
Klasifikasi Asma
Parameter Asma Episodik Asma Asma Persisten
klinis, Jarang Episodik
kebutuhan Sering
obat, dan faal
paru
1. Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan sering
serangan
2. Lama <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
serangan tahun, tidak ada
periode bebas serangan
3. Intensitas biasanya ringan biasanya biasanya berat
serangan sedang
4. Di antara tanpa gejala sering ada gejala siang dan malam
serangan gejala
5. Tidur dan Tidak terganggu sering sangat terganggu
aktivitas terganggu
6. Pemeriksaan normal (tidak mungkin tidak pernah normal
fisik di luar ditemukan terganggu
serangan kelainan) (ditemukan
kelainan)
7. Obat Tidak perlu perlu perlu
pengendali
(anti
inflamasi)
8. Uji faal PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60- PEF/FEV1<60%
paru (di luar 80%
serangan) variabilitas 20-30%
9. Variabilitas variabilitas >15% variabilitas variabilitas >50%
faal paru (bila >30%
ada serangan)
Keterangan:
FEV1 : forced expiratory volume in 1 second (volum ekspirasi paksa dalam 1 detik).
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya
serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila
mungkin analisis gas darah.
Petanda inflamasi biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar ksida nitrit pada ekspirasin
Pada sputum didapatkan :
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil
.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
(Medicafarma,2008)
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
♆ Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
♆ Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
♆ Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
♆ Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
♆ Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
(Medicafarma,2008)
E. Kriteria Diagnosis
Munculnya gejala pada malam hari atau pagi (lebih sering pada subuh) biasanya
sesak nafas dan batuk (baik produktif maupun tidak) khususnya pada :
Setelah paparan alergen
Selama, atau setelah penggunaan energi berlebih misalnya saat olahraga
Pemaparan pada rangsangan termal, misalnya pada udara dingin
Pemaparan pada asap dan debu
Riwayat keluarga (alergi dan atau asma)
Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume
in 1 second) ≥15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam
satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang
pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu.
Penurunan ≥20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus
dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena
selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Pada anak
dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik
sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
LI . 7 : Memahami dan menjelaskan Diagnosis Banding Asma (DD)
Penyakit Keterangan
Infeksi
Anatomik Kongenital
Lain-lain
d. Ekspektoran
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran
pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus
diencerkan dan dikeluarkan.
Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian
yang ada di Puskesmas adalah :
– Obat Batuk Hitam (OBH)
– Obat Batuk Putih (OBP)
– Glicseril guaiakolat (GG)
e. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi
saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Antibiotika yang efektif untuk saluran pernafasan dan ada di Puskesmas adalah :
2. PENGOBATAN PROFILAKSIS
b. Disodium Cromolyn
c. Ketotifen
d. Tranilast.
LI . 9 : Memahami dan menjelaskan Komplikasi Asma
Pneumothorax ialah kondisi dimana ditemukannya udara di cavum pleura. pada asthma
hal ini disebabkan oleh rupturnya alveolus akibat alveoli berkembang berlebihan, dapat
mengakibatkan nyeri dada
Batuk berat dapat terjadi pada pasien asthma, dan saat ini ini terjadi kemungkinan dapat
menimbulkan komplikasi lanjutan seperti fraktur pada vertebra
status asthamticus ialah kondisi dimana serangan asthma tidak bisa/ tidak merespon
pada pengobatan asthma biasa, tidak ada perubahan pada manifestasi asthma, namun hal ini
dapat menyebabkan kematian
1. Akut :
- Dehidrasi
- Gagal nafas
- Infeksi saluran nafas
2. Kronis :
- Kor-pulmonale
- PPO kronis
- Pneumotorak.
Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale.Diakses 03 Maret 2011 dari Medicafarma:
http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-bronkiale.html
Rahajoe N.N, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2008. p : 108-109
Sudoyo A.w, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
penyakit Dalam. 2009. p : 404
Indah Rahmawati, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia SMF Paru. RSUP
Persahahatan, Jakarta
Dieter Ukena, Liat Fishman, et al (2008). Bronchial Asthma: Diagnosis and Long-Term
Treatment in Adults. Diakses melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2696883/ pada 4 Maret 2011
Renggais Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Diakses melalui
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/581108444453.pdf pada 4 Maret 2011
http://www.docstoc.com/docs/36660900/Asma-pada-Anak
http://www.ebooklibs.com
http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-asma-bronkial.html