Anda di halaman 1dari 36

SKENARIO 3

(surat kepada dokter pada kolom konsultasi di majalah wanita X)

Dokter yang terhormat,


Saya memiliki seorang anak berusia 6 tahun yang selama tiga bulan terakhir batuk
berkepanjangan. Setiap bulan anak saya hanya bebas dari batuk selama seminggu sampai
sepuluh hari saja kemudian mulai batuk kembali. Anak saya hanya batuk pada dini hari saja
sehingga tidurnya menjadi terganggu. Pada siang hari anak saya jarang batuk. Saya sudah
membawanya ke dokter dan anak saya dicurigai menderita asma. Tidak ada seorangpun di
rumah yang menderita asma. Saya menderita eksim ketika masih kecil dan suami saya sering
pilek yang menurut dokter adalah pilek karena alergi. Menurut dokter yang memeriksa anak
saya, kami berdua membawa sifat atopi yang menyebabkan anak kami menderita asma.
Kata orang penderita asma biasanya sesak napas. Anak saya tidak pernah sesak napas.
Bagaimana menurut dokter? Apa yang perlu saya lakukan agar anak saya tidak batuk-batuk
lagi?
LI . 1 : Memahami dan menjelaskan definisi Asma
Asma merupakan penyakit dengan karateristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkuus oleh
berbagasi macam pencetus disertau dengan timbulnya penyempitan luas saluran napas
bagian bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan.
LI . 2 : Memahami dan menjelaskan etiologi
Diduga yang memegang peranan utama ialah reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus
(hipereaktivitas bronkus). Hipereaktivitas bronkus ini diduga karena adanya hambatan
sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim adenil siklase dan meningginya tonus
parasimpatis sehingga terjadi spasme bronkus.
Faktor-faktor yang menentukan derajat reaktivitas atau iritabilitas:
1. Faktor genetik
2. Faktor biokimiawi
3. Faktor saraf otonom
4. Faktor imunologis
5. Faktor infeksi
6. Faktor endokrin
7. Faktor psikologis
8. Faktor lingkungan lainnya
- Bahan-bahan di dalam ruangan :

a. Tungau debu rumah


b. Binatang, kecoa

- Bahan-bahan di luar ruangan :

c. Tepung sari bunga


d. Jamur

- Makanan-makanan tertentu, bahan pengawet, penyedap, pewarna makanan


- Obat-obatan tertentu
- Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
- Ekspresi emosi yang berlebihan
- Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
- Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
- Infeksi saluran napas
- Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas fisik tertentu
- Perubahan cuaca
LI . 3 : Memahami dan menjelaskan Klasifikasi Asma

 Asma Ekstrinsik
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
(Medicafarma,2008)
Asma Ekstrinsik dibagi menjadi :
a. Asma ekstrinsik atopik
Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut:
 Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1
 Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehdupan, 85%
kasus timbul sebelum usia 30 tahun
 Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda
 Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya
gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai
dengan gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek.
 Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan
tubuh pada IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan
cenderung berkurang di kemudian hari
 Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
 Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
 Ada riwayat keluarga yang menderita asma
 Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat
(Medicafarma,2008)

b. Asma ekstrinsik non atopik


Memiliki sifat-sifat antara lain :
 Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen
yang spesifik
 Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap
alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif
 Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
 Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau di
kemudian hari (Medicafarma,2008)

 Asma Intrinsik
Intrinsik/idiopatik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien
akan mengalami asma gabungan. (Medicafarma,2008)
Sifat dari asma intrinsik :
o Alergen pencetus sukar ditentukan
o Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil
negatif
o Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda
o Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun
dan disebut juga late onset asma
o Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid.
o Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak
dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
o Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik
o Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya
sel LE
o Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48%
o Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
(Medicafarma,2008)

Namun klasifikasi diatas pada prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua
sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3
kategori, yaitu :
1) Asma ekstrinsik
2) Asma intrinsik
3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik.
(sundaru dan sukamto, 2009)
Dalam GINA (Global Initiative for Asma) 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi,
derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Walaupun berbagai
usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi spesifik dari sekitar pasien.
Derajat penyakit asma ditentukan berdasarkan gabungan penilaian gambaranklinis, jumlah
pengunaan antagonis - 2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi
awal pasien.
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :
1. Intermiten
- Gejala kurang dari 1 kali/minggu
- Serangan singkat
- Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan ( 2 kali)
o FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada
detik pertama)  80% predicted atau PEF (Peak Expiratory Flow)  80%
nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF (Peak Expiratory Flow) atau FEV1  20 %
2. Persisten ringan
- Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
- Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
- Gejala nokturnal > 2 kali/bulan
o FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada
detik pertama)  80% predicted atau PEF (Peak Expiratory Flow)  80%
nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%
3. Persisten sedang
- Gejala terjadi setiap hari
- Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
- Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu
- Menggunakan agonis - 2 kerja pendek setiap hari
o FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
4. Persisten berat
- Gejala terjadi setiap hari
- Serangan sering terjadi
- Gejala asma nokturnal sering terjadi
o FEV1  60% predicted atau PEF  60% nilai terbaik untuk individu
o Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dan Konsensus
Pediatri Internatiol III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3, yaitu
sebagai berikut :
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode < 1x tiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala diantara episode serangan,
dan fungsi paru normal di antara serangan. Tetapi profilaksis tidak dibutuhkan pada
kelompok ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering
dan timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemebrian
agonis-2.Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru diantara serangan
normal antagonis atau hampir normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asam persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivitas ringan, dan diantara interval gejala dibutuhkan agonis-2 lebih dari
3x/minggu karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.
Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia membagi asma menjadi 3 derajat penyakit.

Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten


kebutuhan obat jarang (asma sering (asma (asma berat)
dan faal paru ringan) sedang)

Frekuensi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering


Lama serangan < 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisis Normal (tidak Mungkin terganggu Tidak pernah
diluar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan normal
kelainan)
Obat pengendali Tidak perlu Non steroid/steroid Steroid hirupan /
(anti inflamasi) hirupan dosis rendah oral
Uji faal paru PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan) Variabilitas 20-30%

Variabilitas faal Variabilitas > 15% Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
paru (bila ada
serangan)

Jika terdapat keraguan antara derajat penyakit yang satu dengan yang lainnya maka
tatalaksana diberikan sesuai dengan derajat yang lebih berat.
(Rahajoe et al, 2008)
LI . 4 : Memahami dan menjelaskan Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak
4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita
yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO memperkirakan terdapat
sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2000)
terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka kesakitan.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional Amerika Serikat
pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak
pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di
Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat
Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta
kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian
anak akibat asma pada tahun 1998

LI . 5 : Memahami dan menjelaskan patogenesis dan patofisiologi Asma


Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama
selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel
chest.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di
permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal. Berbagai
faktur pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast sel lain yang juga dapat
melepaskan mediatoradalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil,
platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktitkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervusvagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk kedalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi
secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektur
sekunder sepertieosinofil. netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga
mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis
yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hipereaktivitas bronkus.

Dapat dilihat peranan berbagai sel pada reaksi asma. Reaksi asma ada dua macum yaitu
reaksi asma awal (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma
reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10–15
menit seteluh rangsangan dan menghilang secara spontan. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator-mediator sel mast terutama histamin
yang bekerja langsung pada otot poles bronkus atau melalui refleks vagal. Keadaan ini mudah
diatasi dengan beta-2 agonis. Pada reaksi asma lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam
rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 16–24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beherapa minggu. Fase ini disertaidengan reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga
timbul inflamasi akut berupa edema mukosa, hipersekresi lendir, inflamasi
netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus dan spasme bronkus. Pada fase ini peran
spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis.
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya,
berupa :

• Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke
dinding dan lumen bronkus.
• Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan eosinofil.
• Edema mukosa dan eksudasi plasma.
• Hipersekresi lendir yang kental Jail kelenjar submukosa yang mengalami hipertroli.

Pada Gambar 2

Dapat dilihat face obstruksi jalan napas pada asma. Pada beberapa keadaan reaksi asma
dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi
udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf.
Rangsang ujung saraf eferen vagal (c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptid inilah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus
merupakan ciri khas penyakit asma, besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara
tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya
hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.

Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalamiperubahan pada beberapa dekade


terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi
bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien
sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma
merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran
napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi
mukus dan stimulasi refleks saraf. Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas
yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode
mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini
berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi
derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Proses
inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta
limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang
asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.
Inflamasi saluran napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks,
melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator
yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.

Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas


Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral
ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular
diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan
proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi
berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1
mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor
(GMCSF), interferon-γ (IFN-γ) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2
mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF.5,9,11,15,16 Respons imun
dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal
antigen primer ( primary antigen presenting cells/APC).

Mekanisme limfosit T - IgE


Setelah APC mempresentasikan alergen / antigen kepadasel limfosit T dengan bantuan
major histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik,
teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan
produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi
imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan
menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang
sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan
dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag
dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan
berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi.

Mekanisme limfosit T – nonIgE


Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13
dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga
terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein
toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab
hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR).
Gambaran Histopatologis
Hasil pemeriksaan histopatologi penderita yang meninggal karena serangan asma
menunjukkan gambaran inflamasi saluran napas. Lumen saluran napas tertutup oleh
sumbatan mukus lengket yang terdiri atas protein plasma berasal dari pembuluhdarah saluran
napas dan glikoprotein mukus berasal dari sel epitel permukaan. Terjadi pelepasan sel epitel,
penebalan lapisan subepitel, penebalan lapisan otot polos karena hipertrofi dan hiperplasi sel
goblet dan kelenjar mukus. Kurasan (lavage) bronkoalveolar penderita asma menunjukkan
kenaikan jumlah limfosit, sel mast dan eosinofil serta aktivasi makrofag sedangkan biopsi
bronkus menunjukkan infiltrasi eosinofil, pelepasan epitel dan fibrosis subepitel. Gambar 2
memperlihatkan gambaran saluran napas pada orang normal dan pada penderita asma yang
menunjukkan penyempitan saluran napas. Gambar 3 menunjukkan gambaran mukosa
normal dan pada penderita asma.

Gambar 2 Gambar 3

Hiperesponsivitas saluran napas


Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons
inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di
dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas.Hubungan antara AHR
dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan
permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat edema mukosa
sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel
otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi
hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrien (LT), IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan
melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan eosinophyl
chemotactic factor (ECF)
Sel inflamasi Sel struktural Mediator Efek
Sel mast Sel epitel Histamin Bronkokonstriksi

Makrofag Sel otot polos Leukotrien Eksudasi plasma

Limfosit T Sel endotel Prostaglandin Hipersekresi mukus

Eosinofil Fibroblas Tromboksan AHR

Basofil Sel saraf PAF Perubahan struktural

Neutrofil Kinin

Platelet Adenosin

Endotelin

Oksigen reaktif

Sitokin

Kemokin

Sel inflamasi

Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang
tepat belum pasti. Gambar menunjukkan berbagai macam sel dan mediator yang terlibat
pada asma.

1. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan
pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding
alveolus dan membran basalis.1,4,5,7,22,24,25 Sel mast melepaskan berbagai mediator
seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN-γ dan TNF-α.
Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular,
bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang
merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen
penting granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme
antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin
menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR.

2. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE
afinitas rendah.4,24 Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang
diaktivasi oleh mekanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses inflamasi.
Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2 α, tromboksan A2, PAF,
IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF α, reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag
berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan
sebagai APC yang akan menghantarkan alergen pada limfosit T.

3. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan
GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan
membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan
menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil
darah tepi dan cairan BAL dengan AHR.
Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan
oksigen radikal bebas.4 Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas
oksigen, MBP, eosinophyl cationic protein (ECP) dan eosinophyl derived neurotoxin
(EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel
mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan
permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.

4. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan
kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan
kationik.
Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan
PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik
dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan BAL
menunjukkan bahwa neutrofil merupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan
yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.

5. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang
dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil
mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang
mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi
produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang
masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.
6. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan
histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada
saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen.

Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang
peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil
alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodilokal yang akan
menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari sel progenitor di
sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan
limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.

Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas
merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada
respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah miofibroblas di bawah membran basal
retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan
membran basal retikular.

Mediator inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mempunyai pengaruh pada saluran
napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF , leukotrien dan sitokin
yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran
mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai
mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.

1. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil.
Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada
reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan
meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan
meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang
saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi
histamin dari sel mast.

2. Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D2 dan PGF2 merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin
E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan
bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran
napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara
mengaktifkan reseptor tromboksan-prostaglandin.

3. Platelet activating factor (PAF)


Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan
oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak
menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo
merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular yang
disebabkan rangsangan PAF.1,10 Platelet activating factor juga dapat merangsang
akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel,
merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE
terhadap eosinofil dan monosit.

4. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting
dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien dapat
menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme nonhistamin dan terdiri atas LTA4,
LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi
eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi dan perpindahan sel
pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.

5. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan
bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik.1,2,4
Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi.
Sitokin IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas.
Interleukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13
akan merangsang limfosit B membentuk IgE.

6. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator
peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1
meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel
otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi
kronik asma.

7. Nitric oxide (NO)


Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf,
diproduksi oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator,
neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang
dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal.

8. Radikal bebas oksigen


Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen
peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid
peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang
percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita
asma. Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan
bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta peningkatan
respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebabkan
pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor β
adrenergik saluran napas.

9. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan
kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro
merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator saraf
sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi
plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin dapat
merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.

10. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan
bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP
menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.

11. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma.
Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan
histamin dari sel mast.

Mekanisme saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu
mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada
saluran napas sangat kompleks.

1. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang
dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui
neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi
seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.

2. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak
langsung yaitu melalui katekolamin/ epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik
meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor α adrenergik dan reseptor β
adrenergik. Perangsangan pada reseptor α adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan
perangsangan reseptor β adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.

3. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)


Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang
menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas,
diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan
neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC
menyebabkanpemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide
(VIP).
PATOFISIOLOGI ASMA
Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Kelainan
patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas,
kontraksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel,
eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah.

¤ Obstruksi saluran napas


Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan
pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di
dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebabnya
multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh
mediator yang dilepaskan sel inflamasi.

¤ Hiperesponsivitas saluran napas


Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga
karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip
kontraktilitas.
Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah
penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran
napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus.

¤ Konstraksi otot polos bronkus


Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat
kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan
aparatus kontraksi.

¤ Hipersekresi mukus
Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas
penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada
asma yang fatal. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi
lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.
¤ Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik remodelling yang terdapat
pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun
radiologi.

¤ Eksaserbasi
Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor
penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter)
seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (inducer)
seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas
oleh virus.

¤ Asma malam
Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menunjukkan akumulasi
eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus.

¤ Analisis gas darah


Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hipoksemia berkorelasi
dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi.

Remodelling saluran napas


Gambaran utama penderita asma adalah radang saluran napas; ditemukan pula kelainan
saluran napas ireversibel seperti hipertrofi otot polos saluran napas, hiperplasia kelenjar
mukosa, proliferasi pembuluh darah dan deposisi kelenjar pada membran subbasalis.
Remodelling merupakan reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat
inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan ireversibel pada asma. Fibroblas berperan
penting dalam remodelling dan proses inflamasi. Fibroblas menghasilkan kolagen, serat
elastik dan retikular, proteoglikans dan glikoproteindari matriks ekstraselular ( ECM ).

Kesimpulan
1. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hambatan
aliran udara dan peningkatan AHR.
2. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast,
makrofag dan limfosit T di lumen danmukosa saluran napas.
3. Kontrol saraf kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik ikut berperan dalam
AHR.
4. Remodelling diduga merupakan penyebab obstruksi saluran napas yang ireversibel pada
penderita asma.
LI . 6 : Memahami dan menjelaskan Diagnosis Asma

A. Manisfestasi klinis
Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari menjelang
waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon kortisol yang kadarnya
rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya. Penderita asma akan mengeluhkan
sesak nafas karena udara pada waktu bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar
pada saluran nafas yang sempit dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi
ngik-ngik pada saat bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan
yang terjadi dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang
diproduksi secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk
mengeluarkan dahak tersebut. Gambar dibawah ini adalah gambar penampang paru
dalam keadaan normal dan saat serangan asma.

Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan di luar serangan. Artinya, pada saat
serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk, sesak napas
hebat dan bahkan sampai seperti tercekik), tetapi di luar serangan dia sehat-sehat saja
(bisa main tenis 2 set, bisa jalan-jalan keliling taman, dan lain-lain). Inilah salah satu
hal yang membedakannya dengan penyakit lain (keluhan sesak pada asma adalah
revesibel, bisa baik kembali di luar serangan).

Klasifikasi Asma
Parameter Asma Episodik Asma Asma Persisten
klinis, Jarang Episodik
kebutuhan Sering
obat, dan faal
paru
1. Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan sering
serangan
2. Lama <1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
serangan tahun, tidak ada
periode bebas serangan
3. Intensitas biasanya ringan biasanya biasanya berat
serangan sedang
4. Di antara tanpa gejala sering ada gejala siang dan malam
serangan gejala
5. Tidur dan Tidak terganggu sering sangat terganggu
aktivitas terganggu
6. Pemeriksaan normal (tidak mungkin tidak pernah normal
fisik di luar ditemukan terganggu
serangan kelainan) (ditemukan
kelainan)
7. Obat Tidak perlu perlu perlu
pengendali
(anti
inflamasi)
8. Uji faal PEF/FEV1>80% PEF/FEV1 60- PEF/FEV1<60%
paru (di luar 80%
serangan) variabilitas 20-30%
9. Variabilitas variabilitas >15% variabilitas variabilitas >50%
faal paru (bila >30%
ada serangan)

Keterangan:

PEF : peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak)

FEV1 : forced expiratory volume in 1 second (volum ekspirasi paksa dalam 1 detik).
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya
serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE, dan bila
mungkin analisis gas darah.

Ringan Sedang Berat


Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan

Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk


membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu
Frekuensi napas Meningkat Meningkat Sering > 30
kali/menit
Retraksi otot- Umumnya tidak Kadang kala ada Ada
otot bantu ada
napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi nadi < 100 100-120 > 120
Pulsus Tidak ada (< 10 Mungkin ada (10- Sering ada (> 25
paradoksus mmHg) 25 mmHg) mmHg)
APE sesudah > 80% 60-80% < 60%
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg < 45 mmHg
SaO2 > 95% 91-95% < 90%

Keterangan : Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.7


B. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien yaitu :
& Riwayat hidung mampat, atau berair (ingusan)  rhinitis alergi
& Mata merah, gatal dan berair  konjungtivis alergi
& Eksim atopi
& Batuk sering kambuh disertai mengi
& Flu berulang
& Adanya hambatan pernafasan saat beraktifitas terutama saat berolahraga
& Sering terbangun pada malam hari
& Adanya riwayat keluarga
& Memelihara binatang dalam rumah
& Banyak kecoa
& Kebiasaan merokok pada pasien atau keluarga pasien
C. Pemeriksaan Fisik
 Ronki (suara tambahan pada pernafasan)
 Takipnea (pernafasan cepat)
 Rales/ crackles (ronki basah)  terputus-putus terdengar saat inspirasi
 Fases ekspirasi memanjang
 Orthopnea  sulit bernafas kecuali dengan keadaan tegak
 Penyempitan dada
D. Pemeriksaan Penunjang
 Menggunakan spirometri  mengukur kapasitas volume ekspirasi paksa dalam 1
detik (FEV1), kapasitas vital paksa (FVC) dan parameter Tiffeneau (FEV1/VC)
 Peak Flow Meter / PFM  alat pengukur faal paru yang sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Spirometer lebih
diutamakn dibanding PFM karena PFM kurang sensitif

 X-ray dada / thorax


 Pemeriksaan IgE  Skin prick test (Uji tusuk kulit)  menunjukkan adanya
antibodi spesifik pada kuit  untuk mencari faktor pencetus, bila uji tusuk tidak
dapat dilakukan (pada dermographism) mengunakan Radioallergosorbent test
(RAST)

Skin prick test


RAST

 Petanda inflamasi  biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar ksida nitrit pada ekspirasin
 Pada sputum didapatkan :
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinofil

.
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.

 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.


 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
(Medicafarma,2008)
 Uji hipereaktifias bronkus / HRB  tes provokasi bronkial spesifik (droplet
ekstrak alergen spesifik), dan tes provokasi nonspesifik (latihan jasmani, inhalasi
udara dingin atau kering, histamin dan metakolin)

 Pemeriksaan darah
 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
(Medicafarma,2008)

 Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
♆ Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
♆ Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
♆ Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
♆ Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
♆ Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
(Medicafarma,2008)


E. Kriteria Diagnosis
 Munculnya gejala pada malam hari atau pagi (lebih sering pada subuh) biasanya
sesak nafas dan batuk (baik produktif maupun tidak) khususnya pada :
 Setelah paparan alergen
 Selama, atau setelah penggunaan energi berlebih misalnya saat olahraga
 Pemaparan pada rangsangan termal, misalnya pada udara dingin
 Pemaparan pada asap dan debu
 Riwayat keluarga (alergi dan atau asma)

 Obstruksi (FEV1/VC<70%) dan FEV1 meningkat >15% (minimal 200ml)


 Peningkatan FEV1 >15% selama atau 30 menit setelah latihan fisik (asma
exertional)
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah
anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat
diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul. Asma sulit didiagnosis
pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan
faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan
NaCl hipertonis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3
cara, yaitu didapatkannya :

 Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume
in 1 second) ≥15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam
satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang
pemeriksaannya berlangsung ≥ 2 minggu.

 Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ≥15%


Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.

 Penurunan ≥20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus
dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena
selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Pada anak
dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik
sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.
LI . 7 : Memahami dan menjelaskan Diagnosis Banding Asma (DD)

Penyakit Keterangan

Infeksi

Bronkiolitis (RSV) Individu atopikmungkin mempunyai kecendrungan


untuk mengi dengan RSV

Pneumonia Penyakit demam akut

Croup Batuk menggonggong, stridor, lebih daripada mengi

Tuberkulosis, Limfadenopati menekan bronkus dengan mengi


Histoplasmosis

Bronkiektasis Konginetal, didapat, infeksi tingkat pertama kedua

Bronkiolitis Obliterans Proses pascainfeksi (influenza, adenovirus, campak)

Bronkitis Kemungkinan asna

Anatomik Kongenital

Kistik Fibrosis Cincin Gejala0gejala menetap, jari tabuh, streptococcus


Vaskuler aureus, Pseudomonas aeruginosa, P. Cepacia

Diskinisia Siliaris Kelainan yang terkait esophagus

Cacati Imun Limfosit B Infeksi kronis, berulang-ulang situs invertus

Gagal Jantung Infeksi sinopulmonal berulang


Kongestif

Laringotrakeomalasia Bising, shunt yang besar dari kiri ke kanan

Tumor, Limfoma Stridor, pernafasan yang berisik sejak lahir

Fisula Trakeoesofagus Obstruksi bronchial


tipe-H

Fistula Trakeoesofagus Jarang, sukar didiagnosis, [neumonia aspirasi


yang diperbaiki berulang sejak lahir

Refluks Gastroesofagus Penderita mempunyai resiko bertambahnya refluks


dan mengi, kemungkinan asma. Dapat juga
memperburuk asma sebenarnya
Vaskulitis,
Hipersensitivitas

Aspergilosis Eosinofilia mencolok, kadar IgE serum tinggi,


Bronkopumonal sputum positif untuk aspergilosis
Alergika

Alveolitis Alergika, Reaksi terhadap antigen asing (jamur, protein


Pneuminitis burung, tumbuh-tumbuhan), pekerjaan
Hipersensitivitas

Sindrom Churgg- Angiitis dan granulomatosis laergika, eosinofilia


Strauss

Periarteritis Nodosa Mutisistem (ginjal, paru, saraf), eosinofilia

Lain-lain

Aspirasi Benda Asing

Tromboemboli Paru Batuk berdahak, menyesakkan nafas, mengi


setempat dan suara pernafasan berkurang

Batuk Psikogenik Nyeri dada akut, hipoksia

Sarkoidosis Tidak batuk selama tidur

Displasia Penyumbatan paru akibat limfadenopati


Bronkopulmonal Riwayat prematuritas, dapat member kecendrungan
pada asma

LI . 8 : Memahami dan menjelaskan Penatalaksanaan Asma


1. PENGOBATAN SIMPTOMATIK

Tujuan Pengobatan Simpatomimetik adalah :

a. Mengatasi serangan asma dengan segera.

b. Mempertahankan dilatasi bronkus seoptimal mungkin.

c. Mencegah serangan berikutnya.

Obat pilihan untuk pengobatan simpatomimetik di Puskesmas adalah :

a. Bronkodilator golongan simpatomimetik (beta adrenergik / agonis beta)


– Adrenalin (Epinefrin) injeksi.
Obat ini tersedia di Puskesmas dalam kemasan ampul 2 cc
Dosis dewasa : 0,2-0,5 cc dalam larutan 1 : 1.000 injeksi subcutan.
Dosis bayi dan anak : 0,01 cc/kg BB, dosis maksimal 0,25 cc.
Bila belum ada perbaikan, bisa diulangi sampai 3 X tiap15-30 menit.
– Efedrin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 25 mg.Aktif dan efektif diberikan
peroral.
– Salbutamol
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet kemasan 2 mg dan 4 mg.
Bersama Terbutalin (tidak tersedia di Puskesmas) Salbutamol merupakan
bronkodilator yang sangat poten bekerja cepat dengan efek samping minimal.
Dosis : 3-4 X 0,05-0,1 mg/kg BB
b. Bronkodilator golongan teofilin
– Teofilin
Obat ini tidak tersedia di Puskesmas.
Dosis : 16-20 mg/kg BB/hari oral atau IV.
– Aminofilin
Obat ini tersedia di Puskesmas berupa tablet 200 mg dan injeksi 240 mg/ampul.
Dosis intravena : 5-6 mg/kg BB diberikan pelan-pelan. Dapat diulang 6-8 jam
kemudian , bila tidak ada perbaikan.
Dosis : 3-4 X 3-5 mg/kg BB
c. Kortikosteroid
Obat ini tersedia di Puskesmas tetapi sebaiknya hanya dipakai dalam keadaan :
– Pengobatan dengan bronkodilator baik pada asma akut maupun kronis tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
– Keadaan asma yang membahayakan jiwa penderita (contoh : status asmatikus)
Dalam pemakaian jangka pendek (2-5 hari) kortikosteroid dapat diberikan dalam
dosis besar baik oral maupun parenteral, tanpa perlu tapering off.
Obat pilihan :
– Hidrocortison
Dosis : 4 X 4-5 mg/kg BB
– Dexamethason

d. Ekspektoran
Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam saluran
pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus
diencerkan dan dikeluarkan.
Sebaiknya jangan memberikan ekspektoran yang mengandung antihistamin, sedian
yang ada di Puskesmas adalah :
– Obat Batuk Hitam (OBH)
– Obat Batuk Putih (OBP)
– Glicseril guaiakolat (GG)

e. Antibiotik
Hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh rangsangan infeksi
saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Antibiotika yang efektif untuk saluran pernafasan dan ada di Puskesmas adalah :

2. PENGOBATAN PROFILAKSIS

Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang paling rasional,


karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada faktor-faktor yang menyebabkan
bronkospasme.
Pada umumnya pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan cara kerja
obat sebagai berikut :

a. Menghambat pelepasan mediator.

b. Menekan hiperaktivitas bronkus.

Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :

a. Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.

b. Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.

c. Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.


d. Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekwensi serangan dan meringankan
beratnya serangan.

Obat profilaksis yang biasanya digunakan adalah :

a. Steroid dalam bentuk aerosol

b. Disodium Cromolyn

c. Ketotifen

d. Tranilast.
LI . 9 : Memahami dan menjelaskan Komplikasi Asma

Pneumothorax ialah kondisi dimana ditemukannya udara di cavum pleura. pada asthma
hal ini disebabkan oleh rupturnya alveolus akibat alveoli berkembang berlebihan, dapat
mengakibatkan nyeri dada

Batuk berat dapat terjadi pada pasien asthma, dan saat ini ini terjadi kemungkinan dapat
menimbulkan komplikasi lanjutan seperti fraktur pada vertebra

status asthamticus ialah kondisi dimana serangan asthma tidak bisa/ tidak merespon
pada pengobatan asthma biasa, tidak ada perubahan pada manifestasi asthma, namun hal ini
dapat menyebabkan kematian

Komplikasi terjadi akibat :


1. Keterlambatan penanganan.
2. Penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :

1. Akut :
- Dehidrasi
- Gagal nafas
- Infeksi saluran nafas

2. Kronis :
- Kor-pulmonale
- PPO kronis
- Pneumotorak.

LI . 10 : Memahami dan menjelaskan Prognosis Asma

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik


ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderitaringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma
penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
DAFTAR PUSTAKA

Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale.Diakses 03 Maret 2011 dari Medicafarma:
http://medicafarma.blogspot.com/2008/05/asma-bronkiale.html
Rahajoe N.N, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak edisi 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2008. p : 108-109
Sudoyo A.w, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
penyakit Dalam. 2009. p : 404
Indah Rahmawati, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono
Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

Faisal Yunus
Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia SMF Paru. RSUP
Persahahatan, Jakarta

DUDUT TANJUNG, S.Kp.


Fakultas Kedokteran. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Sumatera Utara

Dieter Ukena, Liat Fishman, et al (2008). Bronchial Asthma: Diagnosis and Long-Term
Treatment in Adults. Diakses melalui
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2696883/ pada 4 Maret 2011

2009. Asma Bronkial. Diakses melalui http://www.scribd.com/doc/12896544/Asma-Bronkial


pada 4 Maret2011

Renggais Iris. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Diakses melalui
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/581108444453.pdf pada 4 Maret 2011

http://www.docstoc.com/docs/36660900/Asma-pada-Anak

http://www.ebooklibs.com
http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan-asma-bronkial.html

Anda mungkin juga menyukai