Anda di halaman 1dari 20

Nama : Firani Amazona NPM : 108170008 Fakultas Kedokteran Universitas Swadya Gunung Jati FARMAKOTERAPI Ilustrasi Kasus Anamnesis

Seorang wanita umur 29 tahun bernama Ny. I datang seorang diri ke Puskesmas Perumnas Utara dengan keluhan sesak nyeri saat buang air kecil 2 hari, nyeri saat buang air kecil seperti rasa anyang-anyangan sehingga agak susah untuk dikeluarka dan pasien mengeluhkan ada rasa terbakar disekitar kemaluannya disampig itu juga pasien mengeluhkan ketika pasien buang air kecil terkadang keluar cairan berwarna putih susu konsistensi agak encer namun tidak ada darah, pasien tidak

mengeluhkan adanya luka disekitar alat kemaluannya, pasien tdiak mengulhkan badan demam, mual-muntah dan alin-lain. Pasien mengaku bahwa suaminya 5 bulan terakhir bekerja diluar kota dan baru pulang kerumah 1 minggu yang lalu, pasien melakukan hubungan suami istri 2 hari sebelum keluhan muncul. Pemeriksaan Fisik Tampak sakit ringan TD 110/80 mmHg, RR 20x/menit, N 86 x/menit, Suhu afebris Diagnosis : suspek Gonorrhe Terapi :

TINJAUAN PUSTAKA Asma Bronkial A. Definisi Menurut asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis yang terjadi di salur pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada salur pernafasan tersebut. Asma merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan B. Etiologi/Faktor Pencetus Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan oleh alergen tertentu. Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah : 1. Faktor Lingkungan a. Alergen dalam rumah b. Alergen luar rumah 2. Faktor Lain a. Alergen makanan b. Alergen obat obat tertentu c. Bahan yang mengiritasi d. Ekspresi emosi berlebih e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan C. Faktor risiko Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor Genetik a. Atopi/alergi

Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 2. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3. Faktor lain a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang

sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif. Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca. Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). i. Status ekonomi D. Klasifikasi Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut) : 1. Asma saat tanpa serangan Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat (Tabel.1) Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang dewasa7

2. Asma saat serangan Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

E. Patogenesis Asma secara konsistennya berhubungan dengan lokus yang pro-alergik dan proinflamatori. Sel inflamatori bisa menginflitrasi dan menyumbat salur pernafasan sehingga mengakibatkan kerusakan pada epitel dan deskuamasi pada lumen salur pernafasan. Inflamasi yang terjadi menyebabkan salur pernafasan menjadi hiperresponsif yaitu cenderung untuk berkonstriksi apabila terpapar kepada alergen. Batuk, rasa sesak di dada dan mengi adalah akibat dari obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus. Penyempitan saluran napas yang terjadi pada pasien asma merupakan suatu hal yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran basal.

Bermacam faktor pencetus dapat mengaktifkan sel mast. Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien. Tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus (Nelson, 2007). F. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid.

Pemeriksaan Klinis Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Darah : (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot Leyden) 2. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. 3. Uji Provokasi Bronkus. Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis

yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin. 4. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 5. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma 6. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). G. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankan kualiti hidup

agar penderita asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise Menghindari efek samping obat Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan pengobatan medikamentosa : Pengobatan non-medikamentosa Penyuluhan Menghindari faktor pencetus Pengendali emosi Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa Obat asma dapat dbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengobatan (controller). Kelompok pertama adalah oabat pereda atau pelega atau obata serangan. Obata pelega (reliever) asma ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gelaja lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, sering disebut sebagai obat pencegah atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratorik kronik. Obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti oral, inhakasi atau injeksi. Keuntungan utama obat inhalasi adalah menghasilkan efek langsung ke saluran nafas yang menghasilkan konsentrasi lokal tinggi dengan resiko sistemik yang kurang

o o o o o o o

Controller Kortikosteroid (inhalasi, sistemik) Leucotriene modifeier Long acting -2 agonist ( SABA ) Chromolin : sodium cromoglycate dan Nedocromil Sodiem Teofilin lepas lambat Anti IgE Antikolinergik : Tiotropium

o Short ( SABA ) o Kortikosteroid sistemik o Antikolinergik : ipratopium bromide, axitropium o teofilin

Reliever acting -2 agonist

10

Pemberian Obat Asma berdasarkan Tingkat Keparahan : Tahap 1 : Intermiten Controller : tidak diperlukan. Reliever : SABA : agonis 2 inhalasi bila perlu tapi kurang dari sekali seminggu. Intensitas pengobatan tergantung kepada berat ringannya serangan. Inhalasi agonis 2 atau kromolin atau nedokromil sebelum exercise atau paparan terhadap alergen. Tahap 2 : Persisten Ringan : Controller : Obat harian :, 200 500 mcg, atau kromolin, atau nedokromil, atau teofilin lepas lambat. Kortikosteroid inhalasi Jika perlu, tingkatkan dosis kortikosteroid inhalasi. Kalau dosis yang sedang dipakai 500 mcg tingkatkan sampai 800 mcg, atau tambahkan bronkodilator aksi lama (terutama untuk serangan asma malam) : agonis 2 inhalasi aksi lama atau teofilin lepas lambat, atau agonis 2 oral. Reliever : SABA : agonis 2 inhalasi bila perlu,tidak lebih dari 3 4 kali sehari. Tahap 3 : Persisten Sedang : Controller : Obat harian : Kortikosteroid inhalasi, 800 2000 mcg dan LABA, terutama untuk asma malam : agonis 2 inhalasi aksi lama atau teofilin lepas lambat atau agonis 2 aksi lama oral. Reliever : SABA : agonis 2 inhalasi bila perlu, tidak lebih dari 3 4 kali sehari. Tahap 4 : Persisten Berat : Controller : Obat harian : Kortikosteroid inhalasi, 800 2000 mcg atau lebih dan LABA : Agonis 2 aksi lama atau teofilin lepas lambat, dan/atau agonis 2 aksi lama oral dan Kortikosteroid oral jangka lama. Reliever : SABA : agonis 2 inhalasi bila perlu BRONKODILATOR Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan

11

golongan xanthin. Ketiga golongan ini memiliki cara kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran nafas. 1. Agonis adrenergik Agonis adrenergik atau simpatomimetik diberikan untuk terapi pada ashma, bronkitis, empisema dan berbagai penyakit paru obstruksi lainnya. Obat simpatomimetik terdiri dari dua cara kerja yaitu short-acting (salbutamol, terbutalin sulfat, bambuterol hidroklorida, fenoterol hidrobromida) dan longacting (formeterol fumarat, salmeterol). Efek karakteristik terbaik dari agobis adrenergik pada jalan napas adalah relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan bronkodilatasi Beta adrenergik dapat diberika secara oral, subkutan, intravena atau secara inhalasi. Pemberian terapi sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi oleh karena penyerapan akan lebih baik dan tepat sasaran dan juga untuk meminimalisir efek samping Agonis adrenergik merupakan obat utama pada penyakit asma dan PPOK. Pada asma, short acting agonis adrenergik digunakan sebagai terapi pada gejala akut dan untuk mencegah spasme bronkus. Sedangkan long acting agonis adrenergik digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan asma yang sedang hingga berat dimana biasanya diberikan bersamaan dengan inhalasi kortikosteroid Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b2 di trachea (batang tenggorok) dan bronkus, yang menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclicadenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mast cells Salbutamol dan terbutalin dapat digunakan oleh wanita hamil, begitu pula fenoterol dan heksoprenalin setelah minggu ke-16. salbutamol. Terbutalin, dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari obat lainnya belum terdapat cukup data untuk menilai keamanannya. Pada binatang percobaan, salmoterol ternyata merugikan janin(5).

12

Obat-obat beta adrenergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator adalah : Efedrin Epinefrin sangat poten, kerjanya cepat secara parenteral. Efek terapeutiknya pendek. Pemberian secara subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg berat badan. Pemakaian epnefrin harus dibatasi pada usia tua, terutama yang menderita penyakit jantung iskemik. Karena obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti iskemia miokard, aritmia dan hipertensi sistemik. Salbutamol Dosis : 3-4 dd 2-4 mg. Inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2 puff yang dapat diulang setelah 15 menit. Pemberian i.m atau s.c 250-500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam. Efek samping : jarang terjadi, biasanya biasanya berupa nyeri kepala, mual dan tremor tangan. Pada overdosis dapat terjadi stimulasi reseptor 1dengan efek kardiovaskular : takikardi, palpitasi, aritmia dan hipotensi. Oleh karena itu jangan memberikan inhalasi dalam waktu yang terlalu singkat karena dapat terjadi takifilaksis yaitu efek obat menurun dengan pesat pada penggunaan yang terlalu sering Terbutalin Pemberian per oral kerjanya sesudah 1-2 jam sedangkan lama kerjanya 6 jam. Dosisnya : 2-3 dd 2,5-5 mg, inhalasi 4 dd 1-2 semprotan dari 250 mcg. Maksimal 16 puff per hari, s.c 250 mcg maksimal 4 kali sehari SALBUTAMOL Generik = salbutamol Dagang = Bromosal, Ventolin, Lasal, Ventab, Bromosal, Venterol, Volmax, Butasal Mekanisme kerja :. Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor 2 adregenik terutama pada otot bronkus. Golongan 2 agonis merangsang produksi AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil siklase. Efek utama setelah pemberian per oral adalah efek bronku-dilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi otot bronkus. Dibandingkan dengan isoprenalin, salbutamol bekerja lebih lama dan lebih aman Karena efek stimulasi pada jantung lebih kecil, maka bias digunakan

13

pada pengobatan kejang bronkus pada pasien dengan penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Indikasi Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi saluran nafas yang reversibel Kontra indikasi Hipertiroidisme, insufisiensi miokard, aritmia, hipertensi Bentuk sediaan, Dosis, Dan Aturan Pakai

4 mg 3-4xsehari (usia lanjut dan pasien yang sensitif dosis awal 2 mg) Dosis tunggal max 8mg <2th: 100mcg/kg 4xsehari, 2-6th: 1-2mg 3-4xsehari, 6-12tth: 2mg 3-4xsehari : 500mcg diulang tiap 4 jam bila perlu : 250mcg diulang bila perlu : 5mcg/menit lalu disesuaikan dengan respon dan denyut jantung, lazimnya antara 3-20mcg/menit, atau bila perlu : 100-200mcg (1-2 hisapan), untuk gejala persisten 3-4 kali sehari, anak 100mcg (1 hisapan) dapat dinaikkan menjadi 200mcg bila perlu Efek Samping Tremor halus terutama tangan, ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, takikardi (jarang pada pemberian aerosol), hipokalemia sesudah dosis tinggi, reaksi hipersensitif termasuk bronkospasma paradoks, urtkaria, dan angio edema. Sedikit rasa sakit pada tempat injeksi intramuskular Resiko Khusus Wanita hamil dan menyusui, pasien usia lanjut, pemberian intravena pada pasien diabetes. 2. Antikolinergik Atropin, prototipe antikolinergik. Atropin diserap tubuh melewati mukosa. Namun obat sintetiknya banyak dipakai pada pengobatan penderita penyakit paru obstruktif menahun yaitu ipratropium bromida dengan nama dagang atroven dan

14

robinul. Merupakan obat yang mempunyai kemampuan bronkodilatasi dua kali lipat dengan waktu kerja yang jauh lebih lama dibandingkan dengan atropin sendiri. Antikolinergik alkaloid sudah digunakan sebagai terapi pada penyakit saluran pernapasan. Diantaranya ipatropine yang bersifat lambat diabsorbsi, tidak melewati sawar darah otak dan memiliki sedikit efek samping Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi. Antikolimengika memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan takikardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin, seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi. Atropin aman untuk dikonsumsi bagi wanita hamil dan menyusui Ipratropium bromida sangat efektif untuk terapi terhadap COPD. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti beta-2 agonis dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, dimana derivat dari adrenegik yang bersifat sebagai adenilsiklase dan derivate xanthin yang bersifat sebagai penghambat fosfodiesterase. Efek maksimalnya dicapai setelah 1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam. Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 mcg. 3. Xhantin Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat sebgai bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh umur, merokok, gagal jantung dan infeksi bakteri

15

Teopilin dan aminopilin merupakan derivat xanthin yang digunakan sebagai terapi asma dan COPD. Memberikan efek terapeutik berupa relaksasi otot bronkial, menurunkan hipertensi pulmonal, memperbaiki kontraktilitas diafragma,

peningkatan cardiac output dan menghambat pelepasan mediator Daya bronkorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin. Reseptor-reseptor tersebut memodulasi aktivitas adenylyl cyclase dan adenosine, yang telah terbukti dapat meyebabkan kontraksi otot polos jalan nafas dan menyebabkan keluarnya histamine dari sel-sel mast jalan napas. Teopilin melawan efek tersebut dengan menyekat reseptor adenosine permukaan sel. Selain itu, teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hiperaktivitas dan berdasarkan ini bekerja profilaksi. Penggunaanya secara terus-menerus pada terapi pemeliharaan ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada keadaan akut dapat dikombinasi dengan obat asam lainnya, tetapi kombinasi dengan b2-mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati berhubungan kedua jenis obat saling memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (Asmadex, Asmasolon) praktis tidak memperbesar efek bronkodilatasi, sedangkan efeknya terhadap jantung dan efek sentralnya amat diperkuat. Oleh karena ini, sediaan kombinasi demikian tidak dianjurkan, terutama bagi para manula Pada keadaan akut dapat diberikan injeksi aminopilin yang dapat dikombinasikan dengan obat-obat asma lainnya. Tetapi kombinasi dengan 2 mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati berhubung kedua jenis obat saling berhubungan dengan efek terhadap jantung. Aminofilin adalah garam yang dalam darah membebaskan teofilin kembali. Garam ini bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara oral sering mengakibatkan gangguan lambung (mual,muntah). Teopilin dimetabolisme di hati sehingga pada dosis terapi dapat menimbulkan toksik pada pasien dengan penyakit hati. Dosis : oral 2-4 dd 175-350 mg. pada serangan hebat (eksaserbasi) i.v 240 mg, rectal 2-3 dd 360 mg. dosis maksimal 1,5 g perhari (5).

16

PEMBAHASAN Seorang wanita umur 50 tahun bernama Ny.Y datang seorang diri dengan dibantu jalan oleh petugas Puskesmas Perumnas Utara dengan keluhan sesak napas 1 minggu, sesak napas timbul setelah pasien mandi di pagi hari, awal sesak bisa ditahan samapi pasien mampu berjalan dan menaiki sebuah motor namun lama kelamaan sesak napas semakin berat, disamping itu juga pasien merasa nyeri dada sebelah kanan ketika bernapas menurut pasien dia sudah meminum obat asma yaitu salbutamol tablet namun sesak napas tidak kunjung reda, pasien mengaku sudah pengobatan penyakit asma sejak tahun..... dan sering mendapatkan pengobatan nebulizer dari rumah sakit. Disamping itu juga pasien mengeluhkan batuk tidak berdahak sejak 1 minggu yang lalu dan sudah mendapatkan obat batuk yaitu Ambroxol. Riwayat penyakit dahulu pasien sudah menderita asma dan sedang melakukan pengobatan rutin bila serangan datang. Pemeriksaan Fisik Tampak sakit berat, napas cepat. Status lokalis : Thorak inspeksi : kesan takipneu, perkusi : redup di ICS 4-5 dextra anterior, auskultasi : rh basah (+/+), wh (+/+). Oleh dokter didiagnosa pasien mengalami asma akut serangan sedang-berat . Terapi farmakologi pada pasien ini bersifat simtomatik untuk mengatasi berbagai keluhan pasien terkait penyakit yang dialami, kausatif untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas. Pada pasien ini diberikan terapi farmakologik berupa pemberian reliever : Agonis adrenergik short-acting inhalasi. Controller : Agonis adrenergik short-acting oral, kortikosteroid oral Reliever : Agonis adrenergik short-acting inhalasi yang diberikan pada pasien ini adalah salbutamol, indikasi pemberian pada pasien ini adalah Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor 2 adregenik terutama pada otot bronkus sehingga menyebabkan relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan bronkodilatasi. Diberikan secara inhalasi karena pasien mengalami asma akut serangan sedang-berat yang memerlukan onset obat yang cepat ke saluran napas walaupun lama kerjanya hanya sebentar, salbutamol adalah Agonis adrenergik yang paling aman dan efek terhadap jantung minimal dibandingkan Agonis adrenergik short acting lainnya. Pemakaian 2-3 x/sehari untuk diulang bila serangan masih ada, salbutamol inhalasi diberikan dosis 2 mg

17

Controller : salbutamol oral dipilih karena Agonis adrenergik long acting sediaanya inhalasi sedangkan harga inhalasi masih mahal, derivat Xantin tidak dipilih karena efek bronkodilator yang lebih rendah dan dipengaruhi faktor umur, sedangkan pada pasien ini habis mengalami asma akut serangan sedang-berat yang memerlukan bronkodilator yang kuat dan umur pasien sudah 50 tahun. Kortikosteroid oral yang diberikan pada pasien ini adalah dexametason, indikasi pemberian pada pasien ini adalah Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast. Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi eksaserbasi. Pemilihan kortikosteroid oral karena kortikosteroid inhalasi masih mahal dan memerlukan teknik penggunaan tersendiri yang harus dikuasai oleh pasien ada walaupun Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik. Dexametason diberikan dosis 0,5 mg 3 x sehari

18

RESEP

UPTD PUSKESMAS PERUMNAS UTARA


JL. ELANG RAYA NO. 1 PERUMNAS KOTA CIREBON TELP. (0231) 203363

Dr. Firani Amazona

Cirebon, 27 Februari 2014

R/ Salbutamol 2 mg amp No. I R/ Salbutamol 2 mg tab No. IX S 3 dd 1 tab R/ Dexametason 0,5 mg tab no. IX

S 3 dd I tab

Nama pasien : Ny. Y Umur Alamat : 50 tahun : jl. Elang Raya

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Majalah Kedokteran Indonesia. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Volum: 58, Nomor: 11. Diakses 28 februari 2014 2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2001. h 477 82. 3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. Diakses 1 Februari 2014 4. National Institutes of Health.2007. Global strategy for asthma management and prevention 5. Nelson WE, ed. 2007. Ilmu kesehatan anak. 15 th ed. Alih bahasa. Samik Wahab. Jakarta : EGC: (1): 561-3. 6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. h 73-5 7. Tabrani R. 2010. Terapi Dan Penyakit Paru. Ilmu penyakit paru. Jakarta. Trans info media. hal 601-616 8. Sjabana D, Raharjo, Sastrowardoyo W, Hamzah, Isbandiati E, Uno I, Purwaningsih S. 2001. Farmakologi Dasar Dan Klinik (Obat-obat Asma). Salemba Mediaka. Jilid I. Jakarta. Hal 590-599.

20

Anda mungkin juga menyukai