f. Klasifikasi Asma
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, asma diklasifikasikan dari yang
ringan sampai berat sebagai asma persisten ringan, sedang dan berat. Derajat
beratnya asma dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Keterangan:
a. Force vital capacity (FVC) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran
kapasitas vital yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin.
b. Peak expiratory flow (PEF) adalah kecepatan hembusan maksimum
(dinyatakan dalam liter/ menit) yang diukur pada 10 detik pertama ekspirasi
c. Forced expiratory Volume (FEV) atau volume ekspirasi paksa adalah volume
udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. FEV umumnya
diukur pada detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan sering disebut nilai
FEV1. Nilai yang kurang dari 1 liter selama detik pertama menunjukkan
gangguan fungsi yang berat. 1) FEV1 /FVC, nilai 60-75% = ringan 2) FEV1
/FVC, nilai 40-59% = sedang 3) FEV1 /FVC, nilai < 40% = berat (Priyanto,
2009). Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obatobatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur.
2. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti
udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi.
3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Tanjung, 2003).
g. Terapi Asma
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan
yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan
penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan
jangka panjang untuk mengontrol gejala asma dan pengobatan cepat (quick
relief medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang
digunakan untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2
agonis aksi panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier
leukotrien dan golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat
sering digunakan suatu bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik,
metilksantin) dan kortikosteroid oral (sistemik).obat-obat asma dapat dijumpai
dalam bentuk oral, larutan nebulizer, dan metered-dose inhaler (Ikawati, 2006).
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan berat asma dibagi menjadi
4, yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat (Gambar 2).
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama yaitu edukasi pada pasien
atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma dan control terhadap
faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain debu,
polusi, merokok, olahraga, perubahan temperature secara ekstrim, dll.
Termasuk penyakit-penyakit yang sering mempengaruhi kejadia asma seperti
rhinitis, sinusitis, gastro esophageal refluks disease (GERD), dan infeksi virus
(Ikawati, 2006).
Prosedur yang dilakukan untuk mengatasi kegawatan dalam asma dibagi
menjadi :
1. Pemberian oksigen, baik melalui kanula maupun melalui masker dengan
kecepatan yang disesuaikan dengan tingkat intensitas asma. Biasanya
dibutuhkan antara 1-15 liter per menit tergantung PaO2.
2. Pemberian bronkodilator Pemberian ini dibagi dalam 2 tahap yaitu 250 mg
aminofilin dalam bentuk bolus dalam glukosa 40%, kemudia dilanjutkan
dengan pemberian dosis pemeliharaan per infus 250 mg.
3. Kortikosteroid Dosis kortikosteroid bervariasi, tetapi sebagai pegangan dapat
diberikan hidrokortison 4mg/kg BB/jam, dapat pula diberikan mukolitik dan
ekspektoransia.
4. Bila pengeluaran cairan tinggi atau terjadi dehidrasi maka dapat dikontrol
dengan pemberian cairan. (Rab, 2000)
2. OBJECTIF
Ada 4 parameter
a. Data laboratorium
b. Data tanda tanda vital
c. Pemeriksaan fisik
d. Diagnose
e. medication
a. Data laboratorium
HB : 10 gr/Dl ( P : 14 – 17 , W : 12-15)
Hematocrit : 30 % ( P: 41- 50%, Wanita 36-44%)
Eritrosit : 4 juta / mm (P :5-6 Juta sel , wanita : 4-5 juta)
Leukosit : 12.600/ mm( 4500-10.000)
Hitung Jenis Sel : eosinophil 4 % ( 0,0%-0,6%) Eusinofil tinggi
> 350 sel / mm: infeksi.
GDP 130 mg/ dl, GD 2 Jam PP 200 mg/dl,
HbA1C 7%
Nilai Spirometri : variabilitas APE 40 (>30% ), VEP 50<60 %)
nilai prediksi.APE 50 (< 60%) nilai terbaik
b. Data tanda tanda vital
Nadi : 108/menit , regular
TD : 150/90 mmHg
Pernafasan : 32x/menit
Suhu : 37 ˚C
Pemeriksaan Fisik
KU : Tampak sakit
KS : Tampak sakit sedang
Kesadaran : normal
c. Diagnose
Diagnose kerja : asma
Diagnosa banding : serangan asma, bronchitis akut, pneumonia.
d. Medication
Oksigen 2-4 l/ menit
Ventolin secara nebulizer
Ambroksol sir 3x1 CTH
3. ASSESMENT
a. Penilaian terhadap data lab
1. 50 HB : 10 gr/Dl ( P : 14 – 17 , W : 12-15)
Nilai hemoglobin pasien abnormal nilainya rendah
2. Nilai hematocrit : 30 % ( P: 41- 50%, Wanita 36-44%)
Nilainya rendah
3. Eritrosit : 4 juta / mm ( P : 5-6 Juta sel , wanita : 4-5 juta ),
Eritrosit nilainya normal
4. Leukosit : 12.600/ mm( 4500-10.000)
Nilainya tinggi mengindikasikan terjadi infeksi
5. Hitung jenis sel : eosinophil 4 % ( 0,0%-0,6%)
Nilai eusinofilnya tinggi, mengindikasikan pasien terkena infeksi
Eusinofil tinggi > 350 sel / mm: infeksi .
6. GDP 130 mg/ dl, GD 2 Jam PP 200 mg/dl, HbA1C 7%
- GDP nilainya disisni tinggi abnormal karena nilai normalnya kurang dari
100 mg/dl
- GD 2 jam PP sangat tinggi , karena nilai normalnya kurang dari 140 mg/dl
- NILAI HbA1c nya tinggi
- Tingginya nilai GD dalam P, GD 2 Jam PP, Dan HbA1c, itu wajar masuknya
kondisi pasien dalam kategori critical ilnes, dimana critical ilnes itu
merupakan suatu kondisi tingginya beberapa parameter darah seperti TD
tingginya kadar gula pada pasien kritis karena penyakit akut, dan hal ini
akan kembali normal ketika kondisi pasien telah stabil .
7. Nilai spirometri : variabilitas APE 40 (>30% ), VEP 50<60 %) nilai nya
normal. nilai prediksi . APE 50 (< 60%) nilai terbaik
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan
(Tabel 1), dan umumnya, interaksi antara risiko ini mengarah pada ekspresi
penyakit. Faktor host, seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dapat
dimodifikasi namun penting untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
tinggi terkena penyakit ini. Faktor lingkungan, seperti asap tembakau, debu dan
bahan kimia kerja, merupakan faktor yang dapat dihindari, sehingga
mengurangi risiko perkembangan penyakit. Paparan lingkungan yang terkait
dengan PPOK adalah partikel yang dihirup oleh individu dan mengakibatkan
peradangan serta cedera sel. Paparan beberapa racun lingkungan meningkatkan
risiko PPOK (Dipiro et al, 2008).
f. Diagnosis
Diagnosis kegagalan pernafasan akut didasarkan pada penurunan akut
PaO2 10- 15 mm Hg atau peningkatan akut pada PaCO2 yang menurunkan pH
serum menjadi kurang dari atau sama dengan 7,3. b. Manifestasi akut meliputi
kegelisahan, kebingungan, takikardia, diaforesis, sianosis, hipotensi,
pernapasan tidak teratur, miosis, dan ketidaksadaran. c. Penyebab paling umum
dari kegagalan pernafasan akut adalah eksaserbasi akut bronkitis dengan
peningkatan volume sputum dan viskositas. Hal ini memperburuk
penyumbatan dan selanjutnya mengganggu ventilasi alveolar, sehingga
memperburuk hipoksemia dan hiperkapnia (Barbara et al, 2012)
g. Manifestasi Klinik PPOK
Gejala Klinis dari PPOK eksaserbasi akut adalah memburuknya pernapasan,
peningkatan jumlah sputum dan peningkatan purulen dahak. Manifestasi klinis
tambahan dari kegagalan pernapasan termasuk kegelisahan, kebingungan,
takikardia, diaforesis, sianosis, hipotensi, pernapasan tidak teratur, miosis, dan
ketidaksadaran (Dipiro, 2008)
h. Pentalaksanaan
Tujuan terapi untuk pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK adalah
- Pencegahan rawat inap atau pengurangan tinggal di rumah sakit,
- Pencegahan kegagalan pernapasan akut dan kematian, dan
- Resolusi gejala eksaserbasi dan kembalinya status klinis awal dan kualitas
hidup.
Eksaserbasi akut dapat berkisar dari ringan hingga berat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keparahan, dan selanjutnya tingkat perawatan yang
diperlukan, termasuk tingkat keparahan keterbatasan aliran udara, adanya
komorbiditas dan riwayat eksaserbasi sebelumnya (Dipiro et al, 2008). Terapi
farmakologis yang digunakan untuk pasien penderita PPOK eksaserbasi akut
adalah:
a. Bronkodilator Pada eksaserbasi bronkodilatol digunakan untuk penanganan
yang cepat yaitu sering digunakan short-acting β2-agonists dosis tinggi dan
dapat dikombinasi dengan antikolinergik. Bronkodilator digunakan dengan
MDI atau dengan nebulasi untuk pasien dengan gejala sesak nafas yang parah
(Dipiro et al, 2008)
b. Kortikosteroid Kortikosteroid oral atau intravena digunakan untuk terapi
PPOK eksaserbasi akut dalam jangka yang pendek (9 hingga 14 hari) untuk
meminimalkan risiko efek samping yang ditimbulkan. Dosis dapat diturunkan
secara bertahap untuk pemakaian kortikosteroid lebih dari 2 minggu dan
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien (Dipiro et al, 2008).
c. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia).
d. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronchitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).
Antibiotik Antibiotik diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala di
bawah ini :
A. Peningkatan sesak nafas
B. Peningkatan jumlah sputum
C. Sputum berubah menjadi purulen (perubahan warna sputum) Pemilihan
antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi antibiotik
yang mutakhir. Antibiotik bermanfaat untuk pasien PPOK eksaserbasi
dengan tanda klinis infeksi saluran napas. Pemeriksaan bakteriologi sputum
pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011).
Berdasarkan penelitian Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi tahun 2007-2008, sebagian besar pasien PPOK eksaserbasi memiliki
pola kuman gram negatif (dengan prognosis resiko buruk) dengan pengobatan
oral dan parenteral adalah seperti pada Tabel 2 kelompok B (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011).
1. Jelaskan tentang etiologi, patofisiologi/patogenesis, manifestasi klinik dari
PPOK?
a. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit
atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi
ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau
gas yang berbahaya.
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru
yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi
dinding alveolar.
b. Etiologi PPOK
Meskipun merokok merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi
untuk perkembangan PPOK, penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi
faktor risiko yang menyebabkan cedera paru-paru dan kerusakan jaringan.
Perokok 12- sampai 13 kali lebih mungkin meninggal akibat PPOK daripada
bukan perokok. Sedangkan untuk eksaserbasi akut kematian lebih tinggi untuk
pasien yang di rawat di rumah sakit. angka kematian di rumah sakit adalah 6%
sampai 8% (Dipiro et al, 2008).
c. Patifisiologi PPOK
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya
peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang
meningkat sesuai beratsakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh
gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan
sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya
faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor
necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive
oxygen species(ROS).
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease
yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan
dinding alveolar danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan
menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti
proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil
akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima
elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah
menjadi anion hipohalida (HOCl).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok
D. Klasifikasi PPOK
1. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala yaitu, sesak bertambah,
produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi
purulent)
2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi yaitu sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum
menjadi purulent)
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline,
atau frekuensi nadi > 20% baseline (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011).
E. Faktor Resiko
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan
(Tabel 1), dan umumnya, interaksi antara risiko ini mengarah pada ekspresi
penyakit. Faktor host, seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dapat
dimodifikasi namun penting untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko
tinggi terkena penyakit ini. Faktor lingkungan, seperti asap tembakau, debu
dan bahan kimia kerja, merupakan faktor yang dapat dihindari, sehingga
mengurangi risiko perkembangan penyakit. Paparan lingkungan yang terkait
dengan PPOK adalah partikel yang dihirup oleh individu dan mengakibatkan
peradangan serta cedera sel. Paparan beberapa racun lingkungan
meningkatkan risiko PPOK (Dipiro et al, 2008).
F. Diagnosis
Diagnosis kegagalan pernafasan akut didasarkan pada penurunan akut
PaO2 10- 15 mm Hg atau peningkatan akut pada PaCO2 yang menurunkan pH
serum menjadi kurang dari atau sama dengan 7,3. b. Manifestasi akut meliputi
kegelisahan, kebingungan, takikardia, diaforesis, sianosis, hipotensi, pernapasan
tidak teratur, miosis, dan ketidaksadaran. c. Penyebab paling umum dari
kegagalan pernafasan akut adalah eksaserbasi akut bronkitis dengan peningkatan
volume sputum dan viskositas. Hal ini memperburuk penyumbatan dan
selanjutnya mengganggu ventilasi alveolar, sehingga memperburuk hipoksemia
dan hiperkapnia (Barbara et al, 2012)
G. Manifestasi Klinik PPOK
Gejala Klinis dari PPOK eksaserbasi akut adalah memburuknya pernapasan,
peningkatan jumlah sputum dan peningkatan purulen dahak. Manifestasi klinis
tambahan dari kegagalan pernapasan termasuk kegelisahan, kebingungan,
takikardia, diaforesis, sianosis, hipotensi, pernapasan tidak teratur, miosis, dan
ketidaksadaran (Dipiro, 2008)
H. Pentalaksanaan
Tujuan terapi untuk pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK adalah
- Pencegahan rawat inap atau pengurangan tinggal di rumah sakit,
- Pencegahan kegagalan pernapasan akut dan kematian, dan
- Resolusi gejala eksaserbasi dan kembalinya status klinis awal dan
kualitas hidup.
Eksaserbasi akut dapat berkisar dari ringan hingga berat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat keparahan, dan selanjutnya tingkat perawatan yang
diperlukan, termasuk tingkat keparahan keterbatasan aliran udara, adanya
komorbiditas dan riwayat eksaserbasi sebelumnya (Dipiro et al, 2008). Terapi
farmakologis yang digunakan untuk pasien penderita PPOK eksaserbasi akut
adalah:
a. Bronkodilator Pada eksaserbasi bronkodilatol digunakan untuk penanganan
yang cepat yaitu sering digunakan short-acting β2-agonists dosis tinggi dan
dapat dikombinasi dengan antikolinergik. Bronkodilator digunakan dengan
MDI atau dengan nebulasi untuk pasien dengan gejala sesak nafas yang
parah (Dipiro et al, 2008)
b. Kortikosteroid Kortikosteroid oral atau intravena digunakan untuk terapi
PPOK eksaserbasi akut dalam jangka yang pendek (9 hingga 14 hari) untuk
meminimalkan risiko efek samping yang ditimbulkan. Dosis dapat
diturunkan secara bertahap untuk pemakaian kortikosteroid lebih dari 2
minggu dan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien (Dipiro et al, 2008).
c. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia).
d. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronchitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai
pemberian rutin (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia).
e. Antibiotik Antibiotik diberikan bila terdapat 2 atau lebih dari gejala di
bawah ini : a) Peningkatan sesak nafas b) Peningkatan jumlah sputum c)
Sputum berubah menjadi purulen (perubahan warna sputum) Pemilihan
antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
antibiotik yang mutakhir. Antibiotik bermanfaat untuk pasien PPOK
eksaserbasi dengan tanda klinis infeksi saluran napas. Pemeriksaan
bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Berdasarkan penelitian Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi tahun 2007-2008, sebagian besar pasien PPOK eksaserbasi memiliki
pola kuman gram negatif (dengan prognosis resiko buruk) dengan pengobatan
oral dan parenteral adalah seperti pada Tabel 2 kelompok B (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011).
2. Lakukan analisa SOAP terhadap data subjektif, objektif dan obat yang
digunakan?
A. SUBJECTIF
Pasien 25 tahun batuk berdahak, sesak, lemah, , mual, muntah, pusing
B. OBJEKTIF
1. Parameter data lab
hemoglobin : 11 g/dl
hematocrit : 31,9 %
eritrosit : 3,84 10 pangkat 6 /UL
leukosit : ( 20,10 ̑3/ul, kolesterol 150 mg/ dl ,
TG 150 mg/ dl
GDP : 150 mg/dl
Serum creatinin : 20 mg/dl
Hasil pemeriksaan : + kliebsiella pneumonia, + sputum BTA (-)
Spirometer : FEV 1 60 % ( 95-97%)
Pemeriksaan lab AGD ( analisis gas darah )
PH : 7,359 ( 7, 35-7, 45 )
PCO 2 : 46,0 ( 35-45 )
PO2 : 115 ( 80 – 104 )
HCO 3 : 25
Spirometri
VEP 1KVP < 70 VEP 1 : 210 % (< 30) Prediksi atau VEP 1 40 %
(> 30 %) Dengan gagal nafas kronik
2. Parameter tanda tanda vital
TD : 139 / 89
RR : 30X/menit
Suhu : 38 ˚
HR : 120/menit
3. Diagnose
Penyakit paru obstruktif Kronik
4. Medication
Levofloxaxin 500 mg po 1x 500 mg
Omeprazole inj 40 mg IV 2 x 40 mg
Simvastatin 20 mg po 1x20 mg
Valsartan 1x 80 mg
Asam folat tab. 2x5 mg
Nerodex tab 2x1 tab
C. ASSESMENT
DRP’s
1. Indikasi tidak diobati
- Pasien mengeluhkan batuk berdahak , namun tidak di beri terapi
mukolitik
- pasien mengalami demam namun tidak mendapatkan terapi antipiretik
2. Obat tanpa indikasi
- Penggunaan valsartan pada kondisi prehipertensi , treatmen dengan
perbaikan pola hidup
3. Obat tidak tepat
- Valsartan (ARB) kurang tepa. Untuk pra hipertensi lebih tepat untuk
membenahi life style.
4. Underdose (-)
5. Overdosis (-)
6. Efek samping
- Naucea (mual-muntah), sakit kepala efek samping dari levofloxacin
dan omeprazole.
7. Interaksi obat
- Omeprazole – Simvastatin Moderate meningkatkan
konsentrasi simvastatin plasma dan terkait resiko miopati
mekanisme : penghambatan p-glikoprotein usus sehingga sekresi obat
di usus menurun dan meningkatkan bioavailabilitas obat. Mekanisme
yang lain karena penghambatan metabolisme CYP450 3A4.
- Omeprazole – cyanocobalamin (B12) Minor pengurangan
sekresi asam lambung, antagonis reseptor H2 dan PPI dapat
mengurangi absorpsi Vit B12 oleh pencernaan (proses ini tergantung
pada keberadaan asam lambung dan pepsin).
- Simvastatin – Makanan Major kontraindikasi dengan jus
jeruk bali karena dapat meningkatkan konsentrasi simvastatin.
Mekanismenya yaitu terjadi penghambatan metabolisme CYP450 3A4
oleh senyawa yang ada di jeruk bali.
- Levofloxacin – makanan Moderate makanan dapat
mengurangi absorpsi dan Bioavailabilitasnya sehingga harus di
gunakan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan
- Valsartan – makanan Moderate tidak boleh digunakan dengan
kalium pengganti garam karena dapat meningkatkan resiko
hiperkalemia
D. PLANNING
Secara non farmakologi :
1. pasien di sarankan untuk memperbaiki life style nya terlebih dahulu
2. tanyakan nilai Hba1c pasien untuk kekuratan diagnosa diabetes militus
3. hindari makanan mengandung banyak garam
4. di sarankan untuk memulai rutinitas olahraga ringan, minimal 15 menit
sehari
Secara farmakologi :
1. Merekomendasikan terapi cifroploxacin 500mg karena obat ini
dieksresikan melalui feses 15-43% dan urin 30-50%, di karenakan pasien
ini memiliki nilai serim kreatinin yang tinggi sehingga meminimalisir
penggunaan obat yang di ekresikan melalui ginjal
2. Perlu di lakukan pemantauan serum kreatinin dalam penggunaan
simvastatin jangka panjang
3. Adanya pemberian obat mukolitik sebagai pengencer dahak kasih
ambroxol 3x1
4. Valsartan dihentikan karena pasien masih dalam kondisi pre hipertensi
5. Pemberian obat penurun demam paracetamol 500 mg 3x1
6. Pemberian oksigen 3-4 l/menit.
REFERENSI
BNF staff. 2011, British National Formulary 61, Pharmaceutical Press, London,
UK, p. 346.
Departemen Kesehatan RI., 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma.
Departemen Kesehatan RI., 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma
Dipiro, J.T., Talbert, H.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G. and Posey, L.M.
2011, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 8 th ed, The McGraw-
Hill companies, New York, USA, chapter 116.
Dipiro, J.T.,Wells, B.G., andSchwinghammer, T.L., 2008, Pharmacotherapy: A
Patophysiologic Approach,7th edition, Mc. Graw Hill Medical, New York.
DiPiro, J.T., Wells, B.G., andSchwinghammer, T.L., 2015, Pharmacotherapy:
A Patophysiologic Approach (9th edition),Mc.Graw Hill, New York.
Drug interaction checker, terdapat di: http://www.drugs.com
Drug interaction checker, terdapat di: http://www.medscape.com
Gabay M., 2015, The Clinical Practice of Drug Information, Jones and Bartlett
Publisher, Chicago, United States of America.
Kepmenkes. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta:
Depkes RI; 2008.
PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2011
PDPI. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011.
Peraturan Pemerintah., 2008. Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 47 Tahun
2008 Tentang Wajib belajar.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia., 2006. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Asma di Indonesia
Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., Kusnandar,
2008, Iso Farmakoterapi, P.T. ISFI Penerbitan, Jakarta.