Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)


PADA BANGSAL ASTER
RUMAH SAKIT MARGONO SOEKARDJO

Disususun Oleh:
Marwatush Sholihah
2008020056
PSPA 33

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit sangat diperlukan untuk memberikan jaminan
pengobatan yang rasional kepada pasien. Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat yang
digunakan sesuai indikasi, kondisi pasien dan pemilihan obat yang tepat (jenis, sediaan, dosis,
rute, waktu dan lama pemberian), mempertimbangkan manfaat dan resiko dari obat yang
digunakan. Terapi menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau
mempertahankan hidup pasien.
Pada sekarang ini tugas dari seorang farmasis tidak hanya sekedar meyediakan obat
namun juga memberikan informasi mengenai obat kepada pasien. Hal ini dinamakan sebagai
asuhan kefarmasian yang bersifat patient oriented yang pada awalnya adalah drug oriented.
Tujuan dari asuhan kefarmasian ini adalah meningkatkan kualitas hidup pasien dimana hal ini
dilakukan melalui beberapa pelayanan kefarmasian yang mana tidak hanya mencakup terapi
obat (penyediaan obat saja) tetapi yaitu pengambilan keputusan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan obat pada seorang pasien, penilaian kerasionalan penggunaan obat mengenai
dosis, rute, dan metode pemberian, pemantauan terapi obat, penyediaan informasi obat, dan
pemberian konseling kepada pasien.
Pharmaceutical care adalah tanggung jawab langsung seorang apoteker pada pelayanan
yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan
yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi
obat tetapi juga keputusan penggunaan obat pada pasien. Konsep asuhan kefarmasian menjadi
penting karena meningkatnya biaya kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang
diresepkan. Obat menjadi lebih mahal, penggunaanya meningkat, biaya kesalahan penggunaan
obat (drug misuse) meningkat, dan efek samping obat. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang
melibatkan tanggung jawab farmasis yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien
secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat. Asuhan
kefarmasian memiliki fungsi sangat penting dalam kaitannya dengan terapi obat diantaranya,
mengidentifikasi secara aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat,
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat dan mencegah terjadinya masalah yang
berhubungan dengan obat. Dengan adanya asuhan kefarmasian, juga sangat bermanfaat dalam
dunia kesehatan diantaranya mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat,
memperbaiki komunikasi dan interaksi antara farmasis dengan profesi kesehatan lainnya,
membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat, dapat mengidentifikasi, menyelesaian dan
pencegahan masalah yang berkaitan dengan obat dan jaminan mutu dalam layanan farmasi
secara keseluruhan.
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko mengalami masalah terkait
obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat, Penggunaan obat yang tidak perlu, penggunaan
obat-obatan yang berlebihan dengan indikasi yang tidak sesuai dengan gejala pasien atau
disebut juga dengan polifarmasi. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan pemantauan
terapi obat untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian PTO
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional untuk pasien. Kegiatan
PTO ini meliputi: pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon
terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau
alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan
dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun
kegagalan terapi dapat diketahui

B. Metode SOAP dalam PTO


Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP).
S : Subjective
Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh : pusing, mual,
nyeri, sesak nafas.
O : Objective
Data objektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan. Tanda-tanda
obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan
pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessement
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai
keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan
adanya masalah baru terkait obat.
P : Plans
Setelah dilakukan SOAP maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang
dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Rekomendasi yang dapat diberikan:
 Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute
pemberian.
 Mengedukasi pasien.
 Pemeriksaan laboratorium.
 Perubahan pola makan atau penggunaan nutrisi parenteral/enteral.
 Pemeriksaan parameter klinis lebih sering

C. Bronkopneumonia
1. Pengertian
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur dan benda asing
2. Etiologi
Pada umumnya tubuh terserang Bronchopneumonia karena disebabkan oleh
penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
patogen.Penyebab Bronchopneumonia yang biasa ditemukan adalah:
a. Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus
Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni),
Mycobacterium Tuberculosis.
b. Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
c. Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices
Dermatides, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia.
Aspirasi benda asing.
d. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah
a) Faktor predisposisi
-usia /umur
-genetik
b) Faktor pencetus
-gizi buruk/kurang
-berat badan lahir rendah (BBLR)
-tidak mendapatkan ASI yang memadai
-imunisasi yang tidak lengkap
-polusi udara
-kepadatan tempat tinggal
3. Tatalaksana
- Anak dengan sesak nafas memerlukan cairan inta vena dan oksigen (1 – 2
l/mnt). Jenis cairan yang digunakan adalah campuran Glukosa 5% dan NaCl
0,9% ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml botol infus.
- Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan dan kenaikan suhu.
- Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
- Pemberian antibiotik sesuai biakan atau berikan :
a. Untuk kasus pneumonia community base :
- Ampisilin 25 mg - 200 mg/kgBB/hari
- Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari
- Gentamisin 5 – 8 mg/KgBB/hari
b. Untuk kasus pneumonia hospital base :
- Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
- Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
- Antipiretik : paracetamol 10-15 mg/kgBB/x beri
- Mukolitik : Ambroxol 1,2-1,6 mg/kgBB/2 dosis/oral
D. TBC
1. Pengertian
TBC adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh oleh Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang berbagai organ tubuh.
Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC
adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit,
tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya (Icksan dan
Luhur, 2008). Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TBC dibagi dalam: TBC
paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif, TBC paru
BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif.

2. Tipe penderita
a) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis
kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c) Kasus setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
d) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e) Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TBC lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
3. Tata laksana
Diagnosis TBC pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan
gejala utama.
Monitoring atau pemantauan kemajuan anak dengan terapi TBC dapat
dilihat dengan: peningkatan berat badan, anak lebih aktif, ada perbaikan klinis
seperti penurunan panas dan keluhan batuk. Prinsip dasar pengobatan TBC
adalah minimal 3 macam obat yakni umumnya Rifampicin 10 – 20 mg/KgBB,
Isoniazidum 5 – 15 mg/KgBB, Pirazinamid 15 – 40 mg/kgBB dan diberikan
dalam waktu 6 bulan.
Obat Anti Tuberkulosis pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Beberapa hal yang memerlukan perhatian pada pengobatan TB anak:
a. Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan
setiap hari.
b. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
E. Epilepsi
1. Pengertian
Epilepsi didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal berulang tanpa
provokasi dengan interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas. Kejang
epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi sekumpulan
neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Aktivitas berlebihan
tersebut menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak
yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), negatif
(hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara), atau gabungan keduanya.
Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked seizure)
adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut yang
terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang.
Definisi menurut ILAE (International League Against Epilepsy) Epilepsi adalah
penyakit otak yang didefinisikan oleh salah satu kondisi berikut:
a. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/bangkitan refleks.
c. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor. Epilepsi
dianggap terselesaikan bagi individu yang memiliki sindrom epilepsi tergantung usia
tetapi sekarang melewati usia yang berlaku atau mereka yang telah bebas kejang
selama 10 tahun terakhir, dengan tidak ada menggunakan obat kejang selama 5 tahun
terakhir.
2. Etiologi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE 2010,
mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi genetik,
struktural/metabolik, dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi
yang diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai
manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan
struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi,
contohnya; epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau
adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan struktur otak (tuber).
Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain: 1. Kelainan
kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett. 2. Trisomi parsial 13q22-qter
berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan leukoensefalopati.
Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:
a. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito,
sindrom Sturge-Weber.
b. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
c. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah rangkaian
sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis.
d. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi intraktabel),
hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD), heterotopia nodular
periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
e. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma, angioma
kavernosum.
f. Trauma kepala.
g. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis.
h. Kelainan metabolik bawaan.
3. Tata Laksana
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi
harus pasti. Respons individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi
dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi setiap kali kunjungan. Pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, untuk menjamin
keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien, dan
keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.
Berikut tata laksana pengobatan epilepsy:
a. Epilepsi umum
Sampai saat ini belum ada metaanalisis yang menunjukkan bahwa obat
tertentu lebih baik dibandingkan yang lain sebagai pilihan terapi pada epilepsi
umum idiopatik. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa valproat efektif
untuk tata laksana beberapa epilepsi umum idiopatik, yaitu juvenile myoclonic
epilepsy (JME), epilepsi dengan kejang tonik-klonik umum saat bangun tidur pagi
hari, dan juvenile absence epilepsy (JAE) .
Studi retrospektif yang membandingkan angka remisi pada kasus epilepsi
umum idiopatik yang diterapi dengan valproat, topiramat, dan lamotrigin,
menunjukkan bahwa angka remisi tertinggi tercapai pada kelompok valproat
disusul topiramat, dan paling sedikit pada kelompok lamotrigine. Sedangkan pada
epilepsi umum simtomatik (sindrom Lennox-Gastatut, sindrom Dravet, epilepsi
absans atipikal, dan epilepsi mioklonik yang tidak dapat diklasifikasi), pemberian
valproat, lamotrigin, dan klobazam dapat menurunkan frekuensi kejang.

b. Epilepsi fokal
Obat antiepilepsi yang digunakan ialah spektrum luas (fenitoin, valproat,
karbamazepin, klobazam, lamotrigin, topiramat, okskarbazepin, vigabatrin) efektif
sebagai monoterapi pada kejang fokal.

Pilihan OAE pertama:

Anda mungkin juga menyukai