RHINITIS ALERGI
DOSEN PEMBIMBING :
Husnawati,M.Si,Apt
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
2016
Definisi Rhinitis
Anamnesis
: Riwayat perjalanan penyakit, faktor faktor yang
berpengaruh terhadap asma , riwayat keluarga, riwayat alergi, dan gejala
klinis.
Pemeriksaan fisik THT
Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan mikroskopik dan Uji
radioallergosorbent (RAST)
Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal , sering digunakan untuk
penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi persisten.
PenatalaksanaanRhinitis Alergi
1. Terapi Farmakologi
Obat-obat penyakit asma yang dapat digunakan yaitu :
a.
Terapi Farmakologi
b. Lokal H1 antihistamin
(intranasal,intraokular)
Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya
diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal,
kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin.
Intraokular H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi
di mata. Aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan
aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).
Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan
olopatadin.
Terapi Farmakologi
c. Lokal
glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi.
Keuntungan menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis
alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa
adanya efek sistemik yang tidak diinginkan.
Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-gejala
pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien,
maka obat golongan ini adalah first line therapy yang direkomendasikan di atas obat
golongan lain.
Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian,
namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al.,
2008).
Contoh obat golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain
sebagainya.
Terapi Farmakologi
d. Oral/intramuskular
glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan
tidak merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran
terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan
glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka
pendek.
Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral
ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian
jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat
menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna.
Terapi Farmakologi
e. Kromolin Sodium dan Nedokromil
Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi.
Kromolin tidak mempunyai aktifitas intrinsik
bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor
atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin
dan SRS-A (Slow Reacting Substance
Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru
tempat obat diberikan.
Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi
inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
akan menghambat aktivasi secara in vitro dan
pembebasan mediator dari berbagai tipe sel
berhubungan
dengan
asma
termasuk
eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast,
monosit
dan
platelet.
Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko
konstriksi baik awal dan maupun lanjut
terhadap antigen terinhalasi.
Terapi Farmakologi
f. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi
pada reseptor -adrenergik pada hidung yang menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernapasan.
Penggunaan agen topical yang lama dapat menyebabkan rinitis
medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal
sebaiknya dibatasi 3-5 hari.
Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan,
karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek
samping (Ikawati, 2011).
Contoh obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan
oxymetazolin (intranasal).
Terapi Farmakologi
f. Dekongestan
Terapi Farmakologi
g. Antikolinergik
Terapi Farmakologi
g. Antikolinergik
b. Tiotropium Bromida
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah
suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang
akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi
yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat
tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung)
mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan
lokal dapat menghambat sekresi kelenjar
serosa dan seromukus mukosa hidung.
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja
diperlama yang biasanya digunakan sebagai
antikolinergik. Pada saluran pernapasan,
tiotropium menunjukkan efek farmakologi
dengan cara menghambat reseptor M3 pada
otot polos sehingga terjadi bronkodilasi.
Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi
tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi
tertentu.
Terapi Farmakologi
h. Antagonis Reseptor Leukotrien
Terapi Farmakologi
h. Antagonis Reseptor Leukotrien
Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor
leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan
kompetitif, komponen anafilaksis reaksi
lambat (SRSA - slow-reacting substances of
anaphylaxis). Produksi leukotrien dan
okupasi reseptor berhubungan dengan edema
saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan
dengan proses inflamasi, yang menimbulkan
tanda dan gejala asma.
Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor
leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan
oral, yang menghambat reseptor leukotrien
sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk
metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan
dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien
dan okupasi reseptor berhubungan dengan
edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos
dan
perubahan
aktifitas
selular
yang
berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
Terapi Farmakologi
i. Imunoterapi
Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi
rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya
diketahui.
Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat
memicu timbulnya gejala alergi.
Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap
farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran
allergen,dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai.
Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma
yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat,
penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko
menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati,
2011).
Terapi Farmakologi
Terapi Non-Farmakologi
1/11/2009
15
Penyelesaian Kasus
Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan ingus encer
sejak 1 hari ini . Hidung tersumbat (+) , gatal dihidung(+),
bersin-bersin (+). Batuk (-), demam (-). Keluhan muncul setelah
pasien membersihkan lemari bukunya.
Riwayat keluhan serupa (+) terutama jika terpapar debu.
Riwayat alergi makanan dan obat tidak ada. Dari pemeriksaan
ditemukan kemerahan dihidung, suara nafas normal.
Pasien didiagnosa : Rinitis Alergi
Terapi : Rhinos 2x1
Penyelesaian Kasus
S: Subjectif
Nama
: Tn. X
Umur
: Jenis kelamin : Keluhan Utama
: Keluhan ingus encer sejak 1 hari ini . Hidung tersumbat
(+) ,
gatal dihidung(+), bersin-bersin (+). Keluhan muncul setelah
pasien membersihkan lemari buku.
Penyelesaian Kasus
O: Objektif
Pemeriksaan Fisik
Kemerahan dihidung
Suara nafas normal.
A: Assasment
Pasien didianognis mengalami rinitis
alergi, dilihat dari Riwayat keluhan
serupa (+) terutama jika terpapar debu
Penyelesaian Kasus
P: Planning
Penyelesaian Kasus
P: Planning
Setelah diberikan terapi farmakologi dan non-farmakologi, lakukan
monitoring!!
Monitoring kondisi pasien, apakah telah ada perbaikan klinis atau
belum?