Anda di halaman 1dari 34

FARMAKOTERAPI

RHINITIS ALERGI

NAMA : SITI AISYAH


NIM
: 1401124
KELAS : S1 V B

DOSEN PEMBIMBING :
Husnawati,M.Si,Apt
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
2016

Definisi Rhinitis

Rhinitis berarti inflamasi membran mukosa hidung. Berdasarkan penyebabnya, ada 2


golongan rhinitis :
Rhinitis alergi , disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung
Rhinitis non-alergi, disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu :
- rhinitis vasomotor : idiopatik; sensitif terhadap fumes, odors, temperature
& perubahan cuaca, irritant
- rhinitis medicamentosa
- rhinitis struktural : abnormalitas struktural

Definisi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi adalah inflamasi pada membran mukosa nasal
yang disebabkan oleh paparan material alergenik yang terhirup
yang kemudian memicu serangkaian respon imunologik spesifik
diperantarai IgE (Bousquetet al, 2008).

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on


Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.

Klasifikasi Rhinitis Alergi

Etiologi Rhinitis Alergi


Allergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik di antaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca (Becker et al., 1994).

Etiologi Rhinitis Alergi


Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan : yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari
bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan,: yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan : yang masukmelalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau
perhiasan

Patofisiologi Rhinitis Alergi

Patofisiologi Rhinitis Alergi

Tanda dan Gejala Rhinitis


Alergi
Serangan bersin berulang
Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat,
Hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Diagnosis Rhinitis Alergi


Diagnosis asma berdasarkan :

Anamnesis
: Riwayat perjalanan penyakit, faktor faktor yang
berpengaruh terhadap asma , riwayat keluarga, riwayat alergi, dan gejala
klinis.
Pemeriksaan fisik THT
Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan mikroskopik dan Uji
radioallergosorbent (RAST)
Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal , sering digunakan untuk
penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi persisten.

Diagnosis Rhinitis Alergi


Skin test
Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergenspesific IgE
dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami bersifat persisten
dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh.
Nasal challenge test
Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe
occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien terhadap
faktor pemicu tertentu secara spesifik.

Diagnosis Rhinitis Alergi

PenatalaksanaanRhinitis Alergi
1. Terapi Farmakologi
Obat-obat penyakit asma yang dapat digunakan yaitu :
a.

Oral antihistamin (H1-blocker)


H1-blocker atau H1-antihistamin adalah senyawa yang memblokir
histamin pada reseptor H1. H1-antihistamin oral efektif mengatasi gejalagejala rinitis yang diperantarai oleh histamin, seperti rinore, bersin,
hidung gatal dan gejala-gejala pada mata, tapi kurang efektif untuk
mengatasi hidung tersumbat.

Terapi Farmakologi
b. Lokal H1 antihistamin
(intranasal,intraokular)
Intranasal H1-antihistamin beraksi efektif di tempatnya
diadministrasikan dalam mengatasi gejala hidung gatal,
kemerahan, tersumbat dan bersin-bersin.
Intraokular H1-antihistamin efektif dalam mengurangi gejala alergi
di mata. Aksi obat golongan ini adalah sekitar 20 menit, dengan
aturan pakai dua kali sehari (ARIA, 2008).
Contoh obat golongan ini adalah azelastin, levocabastin dan
olopatadin.

Terapi Farmakologi
c. Lokal
glukokortikosteroid
Intranasal glukokortikosteroid adalah obat dengan efikasi paling baik dalam
penanganan rinitis alergi maupun non-alergi.
Keuntungan menggunakan intranasal glukokortikosteroid untuk penanganan rinitis
alergi adalah konsentrasi obat yang tinggi pada nasal mukosa dapat tercapai tanpa
adanya efek sistemik yang tidak diinginkan.
Obat golongan ini efektif memperbaiki semua gejala rinitis alergi maupun gejala-gejala
pada mata. Bila gejala hidung tersumbat dan gejala-gejala lain sering diderita pasien,
maka obat golongan ini adalah first line therapy yang direkomendasikan di atas obat
golongan lain.
Melihat dari mekanisme aksinya, efek obat ini baru muncul 7-8 jam setelah pemakaian,
namun efikasi maksimum kemungkinan baru tercapai dalam 2 minggu (Bousquet et al.,
2008).
Contoh obat golongan ini adalah metilprednisolon, flutikason, mometason, dan lain
sebagainya.

Terapi Farmakologi
d. Oral/intramuskular
glukokortikosteroid
Pada beberapa kasus, pasien dengan gejala yang parah dan
tidak merespon terhadap obat-obatan lain atau intoleran
terhadap sediaan intranasal, perlu ditangani dengan
glukokortikosteroid sistemik (misal: prednisolon) jangka
pendek.
Glukokortikosteroid dapat diberikan dalam sediaan oral
ataupun depot-injection (misal: metilprednisolon). Pemberian
jangka panjang yaitu selama beberapa minggu, dapat
menimbulkan efek samping sistemik yang bermakna.

Penggunaan intramuskular glukokortikosteroid tidak


disarankan (Bousquet et al.,2008).

Terapi Farmakologi
e. Kromolin Sodium dan Nedokromil

Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi.
Kromolin tidak mempunyai aktifitas intrinsik
bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor
atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin
dan SRS-A (Slow Reacting Substance
Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru
tempat obat diberikan.

Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi
inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
akan menghambat aktivasi secara in vitro dan
pembebasan mediator dari berbagai tipe sel
berhubungan
dengan
asma
termasuk
eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast,
monosit
dan
platelet.
Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko
konstriksi baik awal dan maupun lanjut
terhadap antigen terinhalasi.

Terapi Farmakologi
f. Dekongestan
Obat golongan ini merupakan golongan simpatomimetik yang beraksi
pada reseptor -adrenergik pada hidung yang menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernapasan.
Penggunaan agen topical yang lama dapat menyebabkan rinitis
medicamentosa, oleh karena itu durasi terapi dengan dekongestan topikal
sebaiknya dibatasi 3-5 hari.
Sedangkan dekongestan oral secara umum tidak direkomendasikan,
karena efek klinisnya masih meragukan dan banyak memiliki efek
samping (Ikawati, 2011).
Contoh obat golongan ini antara lain adalah pseudoefedrin dan
oxymetazolin (intranasal).

Terapi Farmakologi
f. Dekongestan

Terapi Farmakologi
g. Antikolinergik

Obat golongan ini beraksi dengan memblokir saraf


kolinergik
Efektif untuk pasien rinitis alergi maupun non-alergi,
yang menderita gejala rinore.
Efek samping topikal jarang ditemui, dan intensitasnya
bersifat dose-dependent (Bousquet et al., 2008).
Contoh obat golonga nini adalah ipratropium.

Terapi Farmakologi
g. Antikolinergik

b. Tiotropium Bromida
a. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah
suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang
akan menghambat refleks vagal dengan cara
mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi
yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat
tertentu dan tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung)
mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan
lokal dapat menghambat sekresi kelenjar
serosa dan seromukus mukosa hidung.

Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja
diperlama yang biasanya digunakan sebagai
antikolinergik. Pada saluran pernapasan,
tiotropium menunjukkan efek farmakologi
dengan cara menghambat reseptor M3 pada
otot polos sehingga terjadi bronkodilasi.
Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi
tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi
tertentu.

Terapi Farmakologi
h. Antagonis Reseptor Leukotrien

Obat ini bekerja dengan memblokir reseptor leukotrien.


Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat ini lebih
efektif ketimbang placebo dan setara dengan oral H1antihistamin, tetapi kurang unggul dibanding intranasal
glukokortikosteroid dalam menangani rinitis alergi
seasonal
Contoh obat golongan ini adalah montelukast,
pranlukast dan zafirlukast.

Terapi Farmakologi
h. Antagonis Reseptor Leukotrien

Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor
leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan
kompetitif, komponen anafilaksis reaksi
lambat (SRSA - slow-reacting substances of
anaphylaxis). Produksi leukotrien dan
okupasi reseptor berhubungan dengan edema
saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan
dengan proses inflamasi, yang menimbulkan
tanda dan gejala asma.

Montelukast Sodium

Mekanisme Kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor
leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan
oral, yang menghambat reseptor leukotrien
sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk
metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan
dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien
dan okupasi reseptor berhubungan dengan
edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos
dan
perubahan
aktifitas
selular
yang
berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.

Terapi Farmakologi
i. Imunoterapi
Imunoterapi atau terapi desensitisasi juga bermanfaat dalam terapi
rinitis alergi. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya
diketahui.
Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen yang dianggap dapat
memicu timbulnya gejala alergi.
Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap
farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran
allergen,dan telah tersedia ekstrak allergen yang sesuai.
Imunoterapi dikontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma
yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat,
penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko
menyebabkan reaksi anafilaksis sistemik pada janinnya (Ikawati,
2011).

Terapi Farmakologi

Terapi Non-Farmakologi

Pencegahan terhadap paparan / alergan


Rumah harus sering dibersihkan
tidak boleh memelihara binatang
sebaiknya tidak menggunakan bantal atau kasur kapuk (diganti
dengan busa atau springbed)
sebaiknya tidak menggunakan karpet.
Jika memungkinkan, perlu digunakan penyaring udara berupa
Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air
(HEPA) filter.
Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada musim
penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun
(Ikawati,2011).

Algoritma Evaluasi Dan Pengobatan Rinitis Alergi

1/11/2009

Zullies Ikawati's Lecture Notes

15

Penyelesaian Kasus
Pasien datang ke poliklinik dengan keluhan ingus encer
sejak 1 hari ini . Hidung tersumbat (+) , gatal dihidung(+),
bersin-bersin (+). Batuk (-), demam (-). Keluhan muncul setelah
pasien membersihkan lemari bukunya.
Riwayat keluhan serupa (+) terutama jika terpapar debu.
Riwayat alergi makanan dan obat tidak ada. Dari pemeriksaan
ditemukan kemerahan dihidung, suara nafas normal.
Pasien didiagnosa : Rinitis Alergi
Terapi : Rhinos 2x1

Penyelesaian Kasus
S: Subjectif

Nama
: Tn. X
Umur
: Jenis kelamin : Keluhan Utama
: Keluhan ingus encer sejak 1 hari ini . Hidung tersumbat
(+) ,
gatal dihidung(+), bersin-bersin (+). Keluhan muncul setelah
pasien membersihkan lemari buku.

Penyelesaian Kasus
O: Objektif

Pemeriksaan Fisik
Kemerahan dihidung
Suara nafas normal.

A: Assasment
Pasien didianognis mengalami rinitis
alergi, dilihat dari Riwayat keluhan
serupa (+) terutama jika terpapar debu

Penyelesaian Kasus
P: Planning

Terapi Farmakologi:Rhinos 2x1

Rhinos mengandung loratadin, merupakan


antihistamin untuk menangani arelgi.
Dimana antihistamin merupakan lini
pertama untuk rinitis alergi. Kemudian
rhinos juga mengandung pseudoephedrin
HCl, adalah golongan simpatomimetik
yang memiliki efek langsung pada reseptor
adrenergik sehingga memberikan efek
dekongestan atau pelega hidung tersumbat.

Terapi Non Farmakologi :


Pencegahan terhadap paparan / alergan
Rumah harus sering dibersihkan
Tidak boleh memelihara binatang
Sebaiknya tidak menggunakan bantal atau
kasur kapuk (diganti dengan busa atau
springbed)
Sebaiknya tidak menggunakan karpet.
Jika memungkinkan, perlu digunakan
penyaring udara berupa Air Conditioner
(AC) atau High Efficiency Particulate Air
(HEPA) filter.
Hindarkan berada dekat bunga-bunga pada
musim penyerbukan, dan gunakan masker
pada saat berkebun (Ikawati,2011).

Penyelesaian Kasus
P: Planning
Setelah diberikan terapi farmakologi dan non-farmakologi, lakukan
monitoring!!
Monitoring kondisi pasien, apakah telah ada perbaikan klinis atau
belum?

Anda mungkin juga menyukai