Anda di halaman 1dari 51

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kehendak-
Nyalah laporan Praktikum Farmakologi ini dapat diselesaikan secara sistematis.
Laporan ini membahas segala hal yang berkaitan dengan mempelajari cara pemberian
obat dengan berbagai rute serta pengaruhnya terhadap efek obat, hubungan dosis dengan
respon, dan berbagai mekanisme kerja obat dan efek farmakologi terhadap hewan uji.
Semoga dengan adanya laporan ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
mekanisme kerja obat dan efek farmakologi yang ditimbulkan terhadap hewan uji.
Penyusun juga menyadari bahwa di dalam laporan ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab, itu kami mengharapkan adanya kritik
dan saran demi perbaikan laporan yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Penyusun juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Praktikum Farmakologi yaitu ibu Putu Rika
Veryanti,S.Farm.M.Farm,Apt dan ibu Teodhora,S.Farm,M.Farm,Apt yang telah membimbing
dan memberikan kesempatan kepada penyusun untuk menyusun laporan ini dengan baik.
Akhir kata penyusun ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa menyertai kita.
Jakarta, Juni 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK.1

HUBUNGAN DOSIS OBAT VS RESPON............................................................7

UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI KIMIA DENGAN


METODE GELIAT................................................................................................14

PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK


TERHADAP KELENJAR SALIVA DAN MATA...............................................19

METODE ANASTESI LOKAL............................................................................28

PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN DAN KULIT MUKOSA.........34

UJI KADAR GLUKOSA DAN ANTIDIABETES...............................................40

ii
EKSPERIMEN DASAR
(PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP OBAT SEDATIF HIPNOTIK)

Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Melakukan cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat pada
mencit.
2. Mengamati pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul.
3. Mengetahui respon sedasi dan mencit.
4. Memahami awal mula kerja dan durasi efek sedasi.

Teori Dasar
Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi yang berbeda pada daerah
kontak mula obat dan tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang
berbeda, struktur anatomi dari lingkungan kontak antara obat-tubuh yang berbeda, enzim-
enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal ini
menyebabkan jumlah obat yang dapat mencapai kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan
berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Meskipun rute pemberian obat secara oral
merupakan cara yang paling lazim, seringkali rute ini tidak digunakan mengingat hal-hal
yang dikemukakan, mengingat kondisi penerima obat dan didasarkan juga oleh sifat-sifat
obat itu sendiri.
Obat-obat hipnotik sedative adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi
sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktivitas moderate yang
memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan
efek mengantuk dan dapat memberikan onset serta mempertahanlan tidur. Efeknya
bergantung dosis, mulai dari ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan,
hingga berat yaitu kehilangan kesadaran, keadaan anastesi, koma dan mati (Tjay, 2002).
Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan uji yang sering digunakan. Mencit
memiliki sifat mudah marah, penakut, mudah bersembunyi dan berkumpul, aktif pada malam
hari, mudah terganggu oleh manusia. Pengambilan mencit dari kandang dapat dilakukan
dengan cara mengambil ekornya, kemudia mencit ditaruh di kawat kasa dan ekornya ditarik,
cubit bagian belakang kepala dan jepit ekornya dengan jari kelingking dan jari manis
(Syamsudin, 2011).
1
Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Mencit putih (jumlah 5 ekor), bobot tubuh 27 - 41 g

Obat : Diazepam 5 mg / 70 kg BB manusia

Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, bejana untuk pengamatan,
timbangan hewan, stop watch, kandang restriksi.

Prosedur :
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing
mencit selama 10 menit.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
3. Berikan larutan Diazepam 5 mg / 70 kg BB manusia secara PO, IV, IP, IM dan
SC; catat waktu pemberiannya.
4. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
5. Catat dan tabelkan pengamatan masing-masing kelompok. Bandingkan hasilnya.

Pengamatan

Waktu Waktu Onset Durasi


Waktu
Hilang Kembali Kerja Kerja
Hewan Obat Dosis Rute Pemberian
Rightin Rightin Obat Obat
Obat
g Reflex g Reflex (menit) (menit)
(menit)
(menit) (menit)

Mencit Diazepam 5 mg/ PO 14.55 15.08 16.22 13 74


70 kg
BB
Manusia

Mencit Diazepam 5 mg/ SC 14.34 15.13 15.57 39 44


70 kg
BB
Manusia

2
Mencit Diazepam 5 mg/ IV 14.54 15.07 15.58 13 51
70 kg
BB
Manusia

Mencit Diazepam 5 mg/ IP 15.04 15.08 15.54 4 46


70 kg
BB
Manusia

Mencit Diazepam 5 mg/ IM 14.46 15.11 15.56 25 45


70 kg
BB
Manusia

Mencit yang mengantuk akan tampak diam (umumnya di sudut ruang) dan tampak lunglai.
Mencit dikatakan tidur atau mengalami efek sedasi, apabila tubuhnya di balik dan berada
pada posisi terlentang maka tidak akan kembali tertelungkup. Jadi, untuk melihat kapan
tepatnya terjadi respon awal sedasi maka harus sering membalikkan badan mencit pada posisi
terlentang.

Righting reflex adalah reflex mencit yang apabila tubuhnya di balik dan berada pada posisi
terlentang, maka akan kembali tertelungkup.
Onset kerja adalah mula kerja obat (diamati waktu antara pemberian obat sampai hilangnya
righting reflex hingga tidur)
Durasi kerja adalah lama kerja obat (diamati waktu antara hilangnya righting reflex hingga
tidur, sampai kembalinya efek tersebut)

Perhitungan Dosis
Faktor konversi manusia 70 kg  mencit 20 gram = 0,0026
1) Mencit 1, beratnya 41 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 41/20 x 0,013 mg
= 0,027 mg

3
Volume pemberian = 0,027 mg/5 mg x 2 ml
= 0,0107 ml
2) Mencit 2, beratnya 32 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 32/20 x 0,013 mg
= 0,021 mg
Volume pemberian = 0,021 mg/5 mg x 2 ml
= 0,008 ml
Pengenceran 10 ml = 0,08 ml
3) Mencit 3, beratnya 29 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 29/20 x 0,013 mg
= 0,019 mg
Volume pemberian = 0,019 mg/5 mg x 2 ml
= 0,008 ml
Pengenceran 10 ml = 0,08 ml
4) Mencit 4, beratnya 32 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 32/20 x 0,013 mg
= 0,019 mg
Volume pemberian = 0,019 mg/5 mg x 2 ml
= 0,008 ml
Pengenceran 10 ml = 0,08 ml
5) Mencit 5, beratnya 27 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 27/20 x 0,013 mg
= 0,018 mg
Volume pemberian = 0,018 mg/5 mg x 2 ml
= 0,007 ml
Pengenceran 10 ml = 0,07 ml
4
Pembahasan
Pada percobaan ini, pemberian obat melalui rute PO mengalami onset kerja pada
menit ke-13 dengan durasi kerja selama 74 menit, pemberian obat merlalui rute SC
mengalami onset kerja pbat pada menit ke-39 dengan durasi kerja selama 44 menit,
pemberian obat melalui rute IV mengalami onset kerja pada menit ke-13 dengan durasi kerja
selama 51 menit, pemberian obat melalui rute IP mengalami onset kerja pada menit ke-4
dengan durasi kerja selama 46 menit, sedangkan pada pemberian obat melalui rute IM
mengalami onset kerja pada menit ke-25 dengan durasi kerja selama 45 menit.
Dari percobaan ini, hasil pengamatan dapat menunjukkan bahwa efek sedative pada
pemberian obat melalui rute PO, SC, IV dan IM mencapai onset kerja obat lebih lambat, akan
tetapi pada pemberian obat melalui rute IP mencapai sefek sedative (onset kerja) yang lebih
cepat. Untuk durasi kerja obat pemberian melalui rute PO, IV, IP dan IM lebih lama daripada
pemberian obat melalui rute SC, berdasarkan data diatas, ketidaksesuaian hasil percobaan
dengan teori yang ada dapat dipertimbangkan dengan melihat beberapa hal seperti cara
injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah
sehingga absorbsi dan distribusi obat yang masuk tidak sesuai dengan yang diharapkan atau
bahkan obat mungkin tidak masuk kedalam sirkulasi sistemik.
Berat badan hewan uji coba juga dapat mempengaruhi absorbsi dan distribusi obat,
seperti diameter pembuluh darah yang lebih besar atau lebih sempit, volume darah yang lebih
banyak atau lebih sedikit dan pembesaran jantung, juga kelarutan obat tersebut dalam lemak
tentu memerlukan waktu metabolisme yang lebih singkat, dimana faktor fisiologis hewan uji
coba diatas akan mempengaruhi onset kerja dan durasi kerja obat.

Kesimpulan
1. Data menunjukkan bahwa pemberian obat secara IP memiliki efek sedative lebih
cepat.
2. Cara pemberian obat mempengaruhi onset kerja, akan tetapi faktor individu hewan uji
coba juga mempengaruhi farmakokinetik obat, sedangkan durasi kerja obat dapat
dipengaruhi oleh peningkatan dosis dan kecepatan metabolisme tubuh hewan uji.
3. Hasil percobaan yang ada tidak sesuai dengan teori yang ada, kemungkinan
disebabkan oleh mekanisme injeksi yang salah, pengamatan onset kerja dan durasi
kerja yang keliru dan faktor individu dari hewan uji coba.

5
Daftar Pustaka
H, Sarjono, Santoso dan Hadi, R.D. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian
Farmakologi FKI
Syamsudin. 2011. Farmakologi Eksperimental. Universitas Indonesia. Jakarta
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2002. Obat-obat penting. Edisi V cetakan II. Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo
Soetomenggolo, T dan Ismael, Sofyan. 1999. Penyunting Neurologi Anak. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI
Priyanto. 2008. Farmakologi Dasar Edisi II. Depok : Leskonfi

EKSPERIMEN DASAR
(HUBUNGAN DOSIS OBAT VS RESPON)

Tujuan Praktikum
6
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Memperoleh kurva hubungan dosis obat vs respon
2. Memperoleh DE50 dan DL50 suatu obat
3. Memahami konsep indeks terapi dan implikasinya

Teori Dasar
Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan kepadanya juga ditingkatkan. Prinsip ini memungkinkan untuk menggambarkan
kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang diberikan atau menggambarkan kurva dosis
obat vs respon. Dari kurva ini, akan dapat diturunkan DE50 (dosis obat yang memberikan
efek pada 50% hewan coba yang digunakan) dan DL50 (dosis obat yang menimbulkan
kematian pada 50% hewan coba yang digunakan).
Untuk menentukan secara teliti DE50 dan DL50, lazimnya dilakukan berbagai
transformasi untuk memperoleh garis lurus. Salah satu transformasi ini menggunakan
transformasi log probit; dimana dosis yang digunakan ditransformasi menjadi logaritmanya
dan presentase hewan yang memberikan respon ditransformasikan menjadi nilai probit.
Dalam farmakologi, dasar-dasar kerja obat diuraikan dalam 2 fase, yaitu fase
farmakokinetik dan fase farmakodinamik. Dosis lazim obat dapat ditentukan sebagai jumlah
yang dapat diharapkan menimbulkan efek pada pengobatan yang sesuai dengan gejalanya.
Dosis tunggal diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya
tergantung pada bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan pasien yang diberi obat. Jika suatu
obat dupakai dalam jangka waktu yang lama, maka dosis obat harian lebih tepat. Dosis bahan
obat dapat berbeda-beda tergantung cara pemakaiannya. Hal ini sebagian besar karena tingkat
penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat melalui berbagai cara setelah pemakaiannya.
Selama aktivitas biologik, produk yang berlainan seperti penicilin dan insulin berbeda-beda,
maka tiap unit dari aktivitasnya tersendiri bagi tiap obat dan tidak ada hubungan antara satu
obat dengan yang lain.
Respon biologi ditentukan oleh afinitas obat terhadap reseptor dan jumlah obat yang
menduduki reseptor. Hubungan dosis dengan respon menggambarkan suatu distribusi
frekuensi individu yang memberikan respon pada rentang dosis tertentu seperti grafik
berikut :

7
Tiga cara untuk mencegah atau menekan efek toksik :
1. Memperkecil absorbsi atau laju absorbsi sehingga konsentrasi plasma tetap dibawah
toksik
- Penggunaan absorben
- Pembilasan lambung
- Mempercepat pengosongan lanbung – usus
2. Meningkatkan eliminasi zat toksik dan atau pembentukan suatu kompleks yang tidak
aktif
- Perubahan Ph urin
- Diuresis paksa
3. Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek
- Pemakaian antidot

Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 6 ekor), bobot tubuh 29 - 34 g


Obat : Diazepam secara IP
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum suntik No. 26 (1/2 inch), timbangan hewan,
bejana untuk pengamatan, stop watch.

Prosedur :
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing
mencit selama 10 menit.

8
2. Mencit dibagi menjadi 6 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2) :
Kelompok I : Diazepam 5 mg / 70 kg BB manusia secara IP
Kelompok II : Diazepam 10 mg / 70 kg BB manusia secara IP
Kelompok III : Diazepam 20 mg / 70 kg BB manusia secara IP
Kelompok IV : Diazepam 40 mg / 70 kg BB manusia secara IP
Kelompok V : Diazepam 80 mg / 70 kg BB manusia secara IP
Kelompok VI : Diazepam 160 mg / 70 kg BB manusia secara IP
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
4. Berikan larutan Diazepam sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu
pemberiannya.
5. Tempatkan ke dalam bejana untuk pengamatan.
6. Amati selama 45 menit. Catat waktu pemberian dan waktu saat timbulnya efek.
7. Efek yang diamati yaitu :
a. Sangat resisten : tidak ada efek
b. Resisten : tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia (sempoyongan)
c. Efek sesuai : tikus tidur tetapi tegak kalau diberi rangsang nyeri
d. Peka : tikus tidur, tidak tegak meskipun diberi rangsang nyeri
e. Sangat peka : mati

Pengamatan
Waktu Waktu Saat
Hewan Obat Dosis Rute Efek yang
Pemberian Timbul
Diamati
Obat Efek Obat
Mencit 1 Diazepam 80 mg IP 09.11 09.16 Resisten
Mencit 2 Diazepam 10 mg IP 09.23 09.25 Peka
Mencit 3 Diazepam 20 mg IP 09.40 09.42 Resisten
Mencit 4 Diazepam 40 mg IP 09.48 09.50 Efek sesuai
Mencit 5 Diazepam 80 mg IP 10.02 10.07 Resisten
Mencit 6 Diazepam 160 mg IP 09.46 09.49 Efek sesuai

8. Buat gambar hubungan dosis obat vs respon pada kertas grafik


Sumbu absis : dosis obat yang digunakan
Sumbu ordinat : persentase hewan yang memberikan efek (righting reflex hilang /
kematian) pada dosis yang digunakan

9
a. Tabel untuk menentukan DE50
Mencit yang Mengalami
% Indikasi yang
Dosis Diazepam Hilangnya Righting Reflex
Berespon
1 2 3
5 mg/70 kg BB manusia + 100 % resisten
10 mg/70 kg BB manusia + 100 % peka
20 mg/70 kg BB manusia + 100 % resisten
40 mg/70 kg BB manusia + 100 % efek sesuai
80 mg/70 kg BB manusia + 100 % resisten
160 mg/70 kg BB manusia + 100 % efek sesuai

b. Tabel untuk menentukan DL50


Mencit yang Mengalami
% Indikasi
Dosis Diazepam Kematian
yang Berespon
1 2 3
5 mg/70 kg BB manusia - 0%
10 mg/70 kg BB manusia - 0%
20 mg/70 kg BB manusia - 0%
40 mg/70 kg BB manusia - 0%
80 mg/70 kg BB manusia - 0%
160 mg/70 kg BB manusia - 0%

Tentukan DE50 dan DL50 fenobarbital dengan menggunakan persamaan regresi


y=a+bx pada percobaan di atas.

Y(%)

100%

50%

X (mg)

10
Perhitungan Dosis
Faktor konversi manusia 70 kg  mencit 20 gram = 0,0026
1) Mencit 1, beratnya 34 gram
Konversi = 5 mg x 0,0026
= 0,013 mg
Dosis = 34/20 x 0,013 mg
= 0,022 mg
Vol. Pemberian = 0,022 mg/5 mg x 2 ml
= 0,009 ml
Pengenceran 10 ml = 0,09 ml
2) Mencit 2, beratnya 30 gram
Konversi = 10 mg x 0,0026
= 0,026 mg
Dosis = 30/20 x 0,026 mg
= 0,039 mg
Vol. Pemberian = 0,039 mg/ 5 mg x 2 ml
= 0,0156 ml
Pengenceran 10 ml = 0,156 ml
3) Mencit 3, beratnya 30 gram
Konversi = 20 mg x 0,0026
= 0,052 mg
Dosis = 30/20 x 0,052 mg
= 0,078 mg
Vol. Pemberian = 0,078 mg/ 5 mg x 2 ml
= 0,031 ml
4) Mencit 4, beratnya 30 mg
Konversi = 40 mg x 0,0026
= 0,104 mg
Dosis = 30/20 x 0,104 mg
= 0,156 mg
Vol. Pemberian = 0,156 mg/ 5 mg x 2 ml
= 0,062 ml

11
5) Mencit 5, beratnya 29 gram
Konversi = 80 mg x 0,0026
= 0,208 mg
Dosis = 30/20 x 0,208 mg
= 0,302 mg
Vol. Pemberian = 0,302 mg/ 5 mg x 2 ml
= 0,121 ml
6) Mencit 6, beratnya 30 gram
Konversi = 160 mg x 0,0026
= 0,416 mg
Dosis = 30/20 x 0,416 mg
= 0,624 mg
Vol. Pemberian = 0,624 mg/ 5 mg x 2 ml
= 0,25 ml

Pembahasan
Variabel hubungan dosis dengan sintesis efek obat adalah :
- Potensi : rentang dosis obat yang menimbulkan obat besarnya ditentukan oleh
kadar obat yang mencapai reseptor ( tergantung pada farmakokinetik ) dan afinitas
obat terhadap reseptor
- Kecuraman : menunjukkan batas keamanan obat, lereng yang curam artinya dosis
untuk menimbulkan efek toksik hanya lebih sedikit dibandingkan dosis terapi
- Efek maksimal : yang diberikan obat pada dosis tinggi (aktivitas instrinsik obat )
dalam klinik dibatasi oleh munculnya efek samping
- Variasi biologi (variasi individu)
Pada percobaan ini, mencit 1 dengan berat 34 gram diberi diazepam 5 mg
memberikan efek ataksia pada menit ke-5, mencit ke-2 dengan berat 30 gram diberi diazepam
10 mg memberikan anastesi dimana mencit tidur dan diberi rangsangan tidak tegak pada
menit ke-2, mencit ke-3 dengan berat 30 gram diberi diazepam 20 mg memberikan efek
resisten pada menit ke-2, mencit ke-4 dengan berat 30 gram diberi diazepam 40 mg
memberikan hipnotik dimana mencit tidur tapi bila diberi rangsangan akan tegak, mencit ke-5
dengan berat 29 gram diberi diazepam 80 mg memberi efek resisten yang terlihat pada menit
ke-5, mencit ke-6 dengan berat 30 gram diberi diazepam 160 mg memberikan efek hipnotik
pada menit ke-3.
12
Pada percobaan ini, tidak sesuai dengan teori yang ada dikarenakan faktor biologik
hewan uji dan kesalahan penyuntikan selama praktikum terutama pada mencit ke-2, serta
pengamatan respon yang mungkin keliru.

Kesimpulan
1. Mencit 2 memberikan efek lebih peka dari yang lainnya dikarenakan kesalahan
pengambilan volume suntikan.
2. Mencit tidak ada yang mengalami kematian, sedangkan berdasarkan literatur LD50
secara IP mencit pada 37 mg/kg.

Daftar Pustaka
Ganiswara. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Universitas Indonesia
Katzuma, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta : EGC
Tjay, Tan Hoan dan K, Rahardja. 2007. Obat-obat penting. Jakarta : PT. Gramedia
Gelgel, Wiraswasta I.M.A. Hubungan Dosis – Respon. Blogspot ( 26 Apr 2019)
Ansel, K.C. 1989. Penghantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Universitas Indonesia Press
Goodman dan Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

13
OBAT SISTEM SARAF PUSAT
(UJI ANALGESIK AKIBAT INDUKSI KIMIA DENGAN METODE GELIAT)

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Mengamati respon geliat atau writing reflex pada mencit akibat induksi kimia.
2. Mengetahui mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action)
dan saat obat mencapai efek yang maksimum.

Teori Dasar
Analgesik adalah obat yang dapat menghilangkan rasa sakit atau nyeri. Nyeri merupakan
sensasi yang subyektif yang diakibatkan oleh persepsi terhadap suatu impuls. Rasa nyeri atau
pain adalah suatu fenomena komplek yang melibatkan aktivitas neuron dan respon penderita
terhadap aktivitas saraf tersebut. Stimulus nyeri antara lain terdiri dari stimulus termin,
stimulus fisis, stimulus mekanis, stimulus kimiawi dan senyawa kimia endogen.
Asam asetat glasial merupakan penginduksi nyeri kimia yang digunakan untuk
menstimulasi rasa sakit pada peritoneum mencit; dengan responnya berupa geliat atau
writhing reflex. Selain asam asetat glasial, untuk menginduksi nyeri / rasa sakit pada mencit
dapat digunakan fenilkinon. Bahan penginduksi tersebut diberikan secara intraperitoneum.
Parietal peritonium sangat sensitif terhadap stimulasi fisik dan kimia walaupun tidak terjadi
inflamasi. Keberadaan cairan dalam peritonium dapat menstimulasi rasa sakit.
Aspirin, antalgin, asam mefenamat, indometasin dan lain-lain dapat menghilangkan rasa
sakit karena dapat menghambat sistesis prostaglandin dengan cara hambatan pada enzim
siklooksigenase. Egek anakgesik yang ditimbulkan oleh golongan obat ini bersifat mekanik,
fisik atau kimiawi. Prostaglandin adalah mediator nyeri perifer. Injeksi PGE2 dan PGI2
secara intradermal dalam waktu singkat menyebabkan respon radang berupa eritema,
vasodilatasi, edema dan hiperalgesia. Respon dapat berlangsung hampir 10 jam.
Reflek geliat atau writhing reflex merupakan reflek nyeri pada mencit akibat substansi
penginduksi nyeri. Dalam waktu ± 5 menit setelah diberi penginduksi nyeri, umumnya
mencit mulai merasakan nyeri. Hewan akan berdiam di suatu tempat, yang biasanya di sudut
ruangan, badannya ditekuk, bulunya acapkali berdiri dan ekornya diangkat ke atas. Setelah
beberapa saat, hewan akan bergerak perlahan, menarik satu atau kedua kaki belakangnya,
badannya direntangkan dan perutnya ditekan hingga menyentuh dasar. Gerakan ini seringkali
disertai dengan gerakan kepala yang menoleh ke belakang sehingga tampak seolah-olah
14
mencit tersebut menggeliat. Reflek ini dapat terjadi selama masa durasi kerja penginduksi.
Refleks geliat ini selanjutnya digunakan sebagai parameter uji pada metode ini.
Asam asetat glasial merupakan senyawa kimia yang dapat menstimulasi nyeri, dimana
serabut akan menghantarkan impuls nyeri ke korteks sensorik diotak dan menimbulkan nyeri
yang bersifat linu. Mekanisme dari asam asetat glasial adalah dengan cara membuat luka
pada jaringan yang menstimulus prostaglandin, sehingga menyebabkan sakit, selain itu asam
asetat glasial juga bersifat asam dan darah yang bersifat netral agak sedikit basa juga
menyebabkan asidosis (Kusuma Astuti, 2015).

Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 9 ekor), bobot tubuh 25-35 g
Obat : - Larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP
- CMC Na 1% secara PO
- Asam mafenamat 500 mg / 70 kg BB manusia secara PO
- Parasetamol 500 mg / 70 kg BB manusia secara PO
Alat : Spuit injeksi 1 ml, jarum sonde oral, timbangan hewan, bejana untuk
pengamatan, stop watch.

Prosedur :
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing
mencit selama 10 menit.
2. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2) :
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : Asam mefenamat 500 mg / 70 kg BB manusia secara PO
Kelompok III : Parasetamol 500 mg / 70 kg manusia secara PO
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
4. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu
pemberiannya.
5. Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asam asetat
glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP.

15
6. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
7. Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit.

Efek Geliat
Jumlah Geliat
Percobaan Bahan Obat
Respon Awal dalam Periode
15-60 menit
Uji Analgesik Mencit CMC Na 1% 1 10.16 – 10.21 44 kali
Akibat Induksi secara PO (5 menit)
Kimia Dengan 2 10.26 – 10.30 17 kali
Metode GEliat (4 menit)
Asam 3 09.16 – 09.18 38 kali
mafenamat 500 (2 menit)
mg / 70 kg BB 4 09.25 – 09.30 25 kali
manusia secara (5 menit)
PO
Parasetamol 500 5 09.40 – 09.43 36 kali
mg / 70 kg BB (3 menit)
manusia secar a 6 09.35 – 09.42 39 kali
PO (3 menit)

Perhitungan Dosis
Mencit 1 dan 2 di injeksi CMC Na 0,5 ml
Induksi kimia menggunakan Asam asetat glasial 0,5 ml
Faktor konversi manusia 70 kg  mencit 20 gram = 0,0026
1) Mencit 3, beratnya 28 gram
Konversi = 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg
Dosis = 28/20 x 1,3 mg
= 1,82 mg
Vol. Pemberian = 1,82 mg/ 500 mg x 50 ml
= 0,182 ml
2) Mencit 4, beratnya 33 gram

16
Konversi = 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg
Dosis = 33/20 x 1,3 mg
= 2,145 mg
Vol. Pemberian = 2,145 mg/ 500 mg x 50 ml
= 0,215 ml
3) Mencit 5, beratnya 35 gram
Konversi = 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg
Dosis = 35/20 x 1,3 mg
= 2,275 mg
Vol. Pemberian = 2,275 mg/ 500 mg x 50 ml
= 0,228 ml
4) Mencit 6, beratnya 25 gram
Konversi = 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg
Dosis = 25/20 x 1,3 mg
= 1,625 mg
Vol. Pemberian = 1,625 mg/ 500 mg x 50 ml
= 0,163 ml

Pembahasan
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Tujuan
percobaan ini adalah untuk mengenal, mempraktikan serta membandingkan daya analgesik
dari obat CMC Na, Parasetamol dan Asam Mefenamat dengan metode induksi kimia.
Percobaan dilakukan dengan menginduksi mencit dengan Asam asetat glasial 0,5 ml yang
menimbulkan rasa nyeri atau sakit yang kemudian tiap mencit diberi analgesik yang
menimbulkan respon menggeliat dan menarik kaki kebelakang ketika menahan nyeri.
Mencit 1 dan 2 diberi CMC Na 1 % sebenyak 0,5 ml, diman mencit ke-1 memberikan
reaksi selama 5 menit menggeliat sebanyak 44 kali, sedangkan mencit ke-2 memberikan
reaksi menggeliat selama 4 menit sebanyak 17 kali, mencit ke-3 diberi Asam Mefenamat 500
mg sebanyak 0,182 ml yang kemudian memberikan reaksi menggeliat selama 2 menit
sebanyak 38 kali dan mencit ke-4 diberi Asam Mefenamat 500 mg sebanyak 0,125 ml yang
kemudian memberikan reaksi menggeliat selama 5 menit sebanyak 25 kali, mencit ke-5
17
diberi Parasetamol 500 mg sebanyak 0,228 ml yang kemudian memberikan reaksi menggeliat
selama 3 menit sebanyak 36 kali dan mencit ke-6 diberi Parasetamol 500 mg sebanyak 0,163
ml yang kemudian memberikan reaksi menggeliat selama 3 menit sebanyak 39 kali.
Berdasarkan data percobaan diatas, dapat diketahui bahwa analgetik yang
memberikan efek paling kuat adalah Asam Mefenamat diikuti Parasetamol lalu CMC Na,
namun pada pemberian CMC Na, pemberian obat dengan dosis yang sama tidak
meningkatkan efek, sedangkan pada pemberian paracetamol dan Asam mefenamat,
penigkatan dosis dapat menigkatkan efek untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Hal ini
dikarenakan CMC Na tidak bersifat analgesik (hanya sebagai plasebo).

Kesimpulan
1. Analgetik yang digunakan yang lebih kuat adalah Asam mefenamat diikuti
Paracetamol.
2. Peningkatan dosis dapat menigkatan efek kerja obat.

Daftar Pustaka
Anonim. 1997. Farmakope Indonesia edisi 3. Jakarta: Depkes RI
Ganong, William F. 2003. Fisiologi Saraf dan Sel Otot. Jakarta: EGC
Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi Dasar dan Klini edisi 8. Jakarta: EGC
Hartwig, Wilson, Lorraine M, Mary. 2006. Nyeri Dalam Patofisiologis Konsep Klinik
Proses-Proses Penyakit. Terjemahan dari Huriawati Hartanti. Jakarta: EGC
Kee, Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi. Jakarta: EGC
Wilmana. P.F. 1995. Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid. Jakarta: FKGUI

18
EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM
(PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK
TERHADAP KELENJAR SALIVA DAN MATA)

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat system saraf otonom dalam
pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau
antikolinergik pada neuroefektor parasimpatis.

Teori Dasar
Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi
organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini
melakukan fungsi kontrol, semisal : kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi
gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa
fungsi lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat
(misal : dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula,
demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat
setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan
SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan
terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian,
SSO merupakan komponen dari refleks visceral.
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan saraf otonom,
mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektof. Banyak obat dapat mempengaruhi organ
otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil.
Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom
dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon
tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem
saraf otonom digolongkan menjadi :
1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik :

19
a. Simpatomimetik / adrenergik, yaitu obat yang meniru efek perangsangan dari
saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-
lain.
b. Simpatolitik / adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek adrenergic. Contohnya alkaloida sekale, propanolol,
dan lain-lain.
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik :
a. Parasimpatomimetik / kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari
saraf parasimpatik oleh asetilkolin. Contohnya pilokarpin dan phisostigmin.
b. Parasimpatolitik / antikoliergik, yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatik
ditekan atau melawan efek kolinergik. Contohnya alkaloida belladonna.

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat


menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan
neurohormon asetilkolin (ACh) di ujung-ujung neuronnya. Tugas utama saraf parasimpatis
adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaanya, singkatnya
berfungsi asimilasi. Bila neuron saraf parasimpatis dirangsang, timbullah sejumlah efek yang
menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti :
1. Stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan
sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCI).
2. Sekresi air mata
3. Memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan
jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah.
4. Memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan
bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar.
5. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan
menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
6. Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek memperlancar
pengeluaran urin.
7. Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka, menekan SSP
setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain.

Reseptor kolinergik terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron postganglioner
dari saraf parasimpatis, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian SSP yang disebut sistem
20
ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi
menjadi dua bagian, yakni :
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan
studi ikatan dan penghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas
reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai
dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot
polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe reseptor
muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1 ditemukan pula dalam sel
parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot polos dan jantung, dan
reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi,
tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (Aprilia, 2010).
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas
lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik,
namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat
di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik
yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda
dengan reseptor yang terdapat pula pada sambungan neuromuskular. Sebagai
contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium,
sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh
turbokurarin.

Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari hidrolisis oleh
asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata
sangat lemah. Pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan
kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu spasme akomodasi, dan penglihatan akan
terpaku pada jarak tertentu, sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga
merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata,
21
dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian. Pilokarpin adalah obat
terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma
besudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman
trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun dengan segera akibat
cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat
diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti sioflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih
lama lagi. Di samping kemampuannya dalam mengobati glaukoma, pilokarpin juga
mempunyai efek samping dimana pilokarpin dapat mencapai otak dan menimbulkan
gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yang berlebihan.
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik dimana obat ini terikat
secara kompetitif sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor
muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi, kerja
obat ini berlangsung sekitar 4 jam, kecuali jika diteteskan ke dalam mata maka kerjanya
bahkan sampai berhari-hari. Atropin menghambat M. contrictor pupilae dan M. ciliaris lensa
mata sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi).
Midriasis mengakibatkan fotofobia sedangkan sklopegia menyebabkan hilangnya daya
melihat jarak dekat. Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SC pada mulanya terlihat efek
terhadap kelenjar eksokin terutama hambatan saliva serta bradikardi sebagai hasil rangsangan
N. vagus. Midriasis dari besarnya dosis dan hilangnya lebih lambat dibandingkan hilangnya
efek terhadap kelenjar air liur. Pemberian local pada mata menyebabkan perubahan yang
lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar
dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh atropine dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin
atau DFP. Tekanan intraocular pada mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan
tetapi pada penderita glaucoma, pengeluaran cairan intraocular akan terhambar (terutama
pada glaucoma sudut sempit) sehingga dapat meningkatkan tekanan intraocular. Hal ini
disebabkan dalam keadaan midriasis, saluran schlemm yang terletak di sudut bilik depan
mata menyempit sehingga terjadi bendungan cairan bola mata.

Alat, Bahan dan Prosedur

1. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Diazepam 5 mg / 70 kg BB manusia secara IV
- Pilokarpin HC1 20 mg / kg BB kelinci secara IM

22
- Atropin SO4 10 mg / kg BB kelinci secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, timbangan hewan, corong gelas, breaker glass,
gelar ukur

Prosedur :
1. Siapkan kelinci
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci
3. Sedasikan kelinci dengan Diazepam 5 mg / 70 kg BB manusia secara IV
4. Suntikan kelinci dengan pilokarpin HC 20 mg / kg BB kelinci secara IM
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HC1 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.
6. setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 10 mg / kg BB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume
saliva yang ditampung.
Percobaan Bahan Obat Efek Salivasi
Efek Obat Kelinci Pilokarpin HC1 Volume saliva yang 8 ml
Sistem Saraf ditampung selama
Otonom pada 5 menit (m1)
Atropine SO4 Volume saliva yang 0,1 ml
Kelenjar Saliva
ditampung selama
5 menit (m1)

2. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg


Obat : - Tetes mata pilokarpin HC1 sebanyak 3 tetes
- Tetes mata atropin SO4 sebanyak 3 tetes
- Larutan NaC1 0,9%
Alat : Senter, loupe, penggaris

Prosedur :
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu pengamatan.

23
2. Sebelum pemberian obat; amati, ukur dan catat diameter pupil pada cahaya suram dan
pada penyinaran dengan senter.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kanan : tetes mata pilokarpin HC1 sebanyak 3 tetes
b. Mata kiri : tetes mata pilokarpin HC1 sebanyak 3 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6. Uji respon refleks mata.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada kedua mata, teteskan atropine SO4.
8. Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaC1 0,9% pada kedua
mata kelinci.

Percobaan Bahan Efek Diameter Pupil Mata


Efek Obat Mata Cahaya suram (cm) 1
Sistem Saraf Kanan Cahaya senter (cm) 0,7
Otonom pada Kelinci Setelah pemberian fisostigmin (cm) 0,5
Respon refleks mata Miosis,
Mata
kelopak
menutup
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,7
Mata Kiri Cahaya suram (cm) 1
Kelinci Cahaya senter (cm) 0,7
Setelah pemberian fisostigmin (cm) 0,6
Respon refleks mata Miosis,
kelopak
menutup
Setelah pemberian atropine SO4 (cm) 0,7

Perhitungan Dosis
Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva
Faktor konversi manusia 70 kg  kelinci 1,5 kg = 0,07
Bobot kelinci = 1,39 kg

24
1) Diazepam
Konversi = 5 mg x 0,07
= 0,35 mg
Dosis = 1,39 kg / 1,5 kg x 0,35 mg
= 0,324 mg
Vol. Pemberian = 0,324 mg / 5 mg x 1 ml
= 0,064 ml
2) Pilokarpin HCl
Konversi = 20 mg x 0,07
= 1,4 mg
Dosis = 1,39 kg / 1,5 kg x 1,4 mg
= 1,297 mg
Vol. Pemberian = 1,297 mg / 20 mg x 1 ml
= 0,064 ml
3) Atropin sulfat
Konversi = 10 mg x 0,07
= 0,7 mg
Dosis = 1,39 kg / 1,5 kg x 0,7 mg
= 0,649 mg
Vol. Pemberian = 0,649 mg / 10 mg x 1 ml
= 0,0649 ml

Pembahasan
Pilokarpin merupakan obat agonis kolinergik yang bekerja langsung pada reseptor
kolinergik muskarinik. Pilokarpin termasuk lipofilik sehingga dapat diabsorbsi dengan baik
melalui tempat kerjanya, efek farmakologi dari obat kolinergik pada reseptor muskarinik
menyerupai efek saraf parasimpatis seperti :
- Menyempitkan pupil mata
- Menstimulus gerak peristaltik
- Menstimulus sekresi pada empedu
- Meregangkan otot rahim
- Memperlambat denyut jantung
- Menyempitkan saluran pernapasan
- Mempercepat sekresi air ludah
25
Atropin sulfat termasuk golongan antikolinergik yang bekerja pada reseptr muskarinik
bekerja dengan menghambat transmisi asetilkolin yang dipersyarafi oleh serabut pasca
ganglioner kolinergik. Atropin menghambat M. Constrictor papillae dan M. Ciliaris lensa
mata sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia. Pada sosis besar aktivitas keringat
dihambat sehingga kulit jadi kering, panas dan merah terutama pada muka dan leher.
Pada percobaan kelenjar saliva, diazepam diberikan sebagai sedative sehingga kelinci
yang diuji dalam keadaan tidak sadar atau tidur dan dapat diamati dengan baik. Atropin
diharapkan dapat bekerja sebagai antikolinergik yang akan menekan efek pengeluaran saliva
dari kelinci, sedangkan pemberian pilokarpin sebagai obat kolinergik diharapkan dapat
memberikan efek pengeluaran saliva yang berlebih. Berdasarkan data yang dihasilkan pada
saat percobaan, benar saja pemberian pilokarpin mempercepat sekresi salica sebanyak 8 ml
dan setelah pemberian atropin sulfat, saliva berkurang menjadi 0,1 ml, akan tetapi pada
kelompok 2 dan 3 pemberian pilokarpin tidak memberikan efek pengeluaran saliva yang
berlebih, kemungkinan hal ini disebabkan karena kondisi tubuh kelinci, dimana kelinci
tampak kurus (berat badan 900 gram) dimana kondisi tubuh yang buruk ini dapat
mempengaruhi sekresi saliva.
Percobaan pada mata, pemberian pilokarpin menyebabkan miosis, dimana dari data
yang diperoleh, diameter pupil mata kelinci sebelum ditetesi pilokarpin adalah 1 cm pada
cahaya suram dan 0,7 cm pada cahaya senter, setelah pemberian pilokarpin, diameter pupil
mata kelinci berkurang sebanyak 0,2 cm dan setelah pemberian atropin sulfat mata kelinci
mengalami midriasis, diamana diameter pupil kelinci naik 0m2 cm, hal ini sesuai dengan
teori dari literatur yang ada.

Kesimpulan
1. Sistem syaraf otonom dapat mempengaruhi pengendalian fungsi-fungsi vegetatif
tubuh, contohnya mempengaruhi salivasi dan pupil mata
2. Prkain HCl bersifat kolinergik sedangkan Atropin sulfat bersifat antikolinergik

Daftar Pustaka
Sulistia, G.G. 2017. Farmakologi dan Terapi edisi 6. Dep. Farmakologi dan Terapir, FKUI
Staf Pengajar Dep. Farmakologi FK Universitas Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah
Farmakologi edisi 2. Jakarta: EGC
Kee J.L, Hayes E.R. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC

26
Fajrin.FN, Agus A, Kusuma N. Hubungan Body mass index dengan laju aliran salica (studi
pada mahasiswa FKG universitas Anadalas) Maj Ked Gi Ind. 2015
Ansel, H.C. 1989. Penghantar Bentuk sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press
Bagian Farmakologi FKUI. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi IV. Jakarta

27
EFEK LOKAL OBAT
(METODE ANASTESI LOKAL)

Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Mengenal berbagai teknik untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba.
2. Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja
anastetika local.
3. Memahami faktor yang mempengaruhi potensi kerja anastetika local.

Teori Dasar
Anastetika local adalah obat yang menghambat konduksi saraf apabila dikenakan secara
local pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Contoh anastetika local adalah kokain dan
ester asam para amino benzoate (PABA) yaitu prokarin dan lidokarin.
Beberapa teknis untuk menyebabkan anastesi local pada hewan coba di
antaranya :
- Anastesi local metode permukaan
Efek anastesi ini tercapai ketika anastetika local ditempatkan di daerah yang ingin
dianastesi.
- Anastesi local metode regnier
Mata normal apabila disentuh pada kornea akan memberikan respon refleks ocular (mata
berkedip). Jika diteteskan anastestika local, respon refleks ocular timbul setelah beberapa
kali kornea disentuh sebanding dengan kekuatan keja anastetika dan besaran sentuhan
yang diberikan. Tidak adanya respon refleks ocular setelah kornea disentuh 100 kali
dianggap sebagai tanda adanya anastesi total.
- Anastesi local metode infiltrasi
Anastetika local yang disuntikkan ke dalam jaringan akan mengakibatkan kehilangan
sensasi pada struktur sekitarnya.
- Anastesi local metode konduksi
Respon anastesi local yang disuntikkan ke dalam jaringan dilihat dari ada / tidaknya
respon Haffner. Respon Haffner adalah refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka
terjadi respon angkat ekor / mencit bersuara.
Obat anastesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang mampu menghambatkonduksi saraf
perifer apabila obat ini disuntikkan di daerah perjalanan serabut saraf dengan dosis tertentu
28
tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada serabut saraf tersebut. Umumnya bersifat total
dan juga selektif, hal ini tergantung dosis dan konsentrasi obat yang digunakan. Sifat yang
harus dimiliki oleh anastesi lokal yaitu poten (efektif dalam dosis rendah), daya penetrasi
baik, mulai kerjanya cepat, maa kerja lama, toksisitas sistemik rendah, tidak iritatif terhadap
saraf, efeknya reversibel dan mudah dieliminasi. Anastesi lokal tidak bergantung pada
sirkulasi untuk mengangkutnya ketemat kerjanya, tetapi uptake kedalam sirkulasi sistemik
penting dalam terminasi kerja obat dan dalam menimbulkan toksisitas. Faktor yang
mempengaruhi onset kerja dandurasi kerja anastesi lokal adalah pH jaringan, pKa obat, waktu
sirkulasi obat dari ujung jarum menuju saraf, morfologi saraf, konsentrasi obat dan kelarutan
lipid.

Alat, Bahan dan Prosedur

1. Anastesi Lokal Metode Permukaan


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Tetes mata lidokain HC1 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch

Prosedur :
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata bekedip)
dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0.
CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kiri : tetes mata lidokain HC1 2% sebanyak 1-2 tetes
4. Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Cek ada / tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30, 45, 60.
6. Catat dan tabelkan pengamatan.
7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaC1 0,9% pada kedua
mata kelinci.

Percobaan Bahan Obat Ada / Tidaknya Respon Refleks

29
Okuler (menit ke-)
0 5 10 15 20 30 45 60
Anastesi local Mata kiri Lidokain HC1 + - - - - + + +
metode kelinci 2%
permukaan

2. Anastesi Lokal Metode Regnier


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Tetes mata lidokain HC1 2% sebanyak 1-2 tetes
Alat : Gunting, aplikator, kotak kelinci, stop watch

Prosedur :
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu mata kelinci agar tidak mengganggu aplikator.
2. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon refleks ocular mata (mata bekedip)
dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-0.
CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.
3. Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. Mata kanan : tetes mata lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes
4. Tutup kelopak mata kelinci selama satu menit.
5. Cek ada / tidaknya respon refleks ocular mata (mata berkedip) dengan menggunakan
aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60.
6. Ketentuan metode Regnier :
a. Pada menit ke-8 :
- Jika pemberian aplikator sampai 100 kali tidak ada respon refleks okuler 
maka dicatat angka 100 sebagai respon negative.
- Jika pemberian aplikator sebelum 100 kali terdapat respon refleks okuler 
maka dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negative.
b. Pada menit ke-15, 20, 25, 30, 40, 50, 60 :
- Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama terdapat respon refleks okuler
 maka dicatat angka 1 sebagai respon negative dan menit-menit yang tersisa
juga diberi angka 1.
c. Jumlah respon refleks okuler negaive dimulai dari menit ke-8 hingga menit
ke-60. Jumlah ini menunjukkan angka Regnier dimana efek anastetika local
dicapai pada angka Regnier minimal 13 dan maksimal 800.

30
7. Setelah percobaan di atas selesai, teteskan larutan fisiologis NaC1 0,9% pada mata
kanan dan kiri kelinci.
8. Catat dan tabelkan pengamatan.

Jumlah Sentuhan yang memberi


Percobaan Bahan Obat Respon Refleks Okuler (menit ke-)
0 5 10 15 20 30 45 60
Anastesi local Mata kelinci Lidokain HC1 34 58 1 1 1 1 1 1
metode kanan 2%
Regnier

3. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi


Hewan coba : Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ± 1,5 kg
Obat : - Larutan lidokain HC1 1% sebanyak 0,2 ml secara SC
- Larutan lidokain HC1 1% dalam adrenalin (1 : 50.000)
sebanyak 0,2 ml secara SC.
Alat : Gunting, alat cukur, spuit injeksi 1 ml, peniti, kotak kelinci,
spidol, stop watch

Prosedur :
1. Siapkan kelinci. Gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih kulitnya
(hindari terjadinya luka).
2. gambar empat daerah penyuntikan dengan jarak ± 3 cm
3. Sebelum pemberian obat, cek ada/ tidaknya respon getaran otot punggung kelinci
dengan menggunakan peniti sebanyak enam kali sentuhan pada daerah penyuntikan
pada menit ke-0.
CATATAN : Jangan terlalu keras menggunakan peniti dan ritme harus diatur.
4. Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikan.
5. Cek ada / tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan menggunakan peniti
sebanyak enam kali sentuhan pada daerah penyuntikan pada menit ke-5, 10, 15, 20,
25, 30, 35, 40, 45, 60.
6. Catat dan tabelkan pengamatan.

Percobaan Bahan Obat Ada / Tidaknya Getaran Otot

31
Punggung Kelinci Sebanyak 6 kali
dengan Menggunakan Peniti (Menit ke-)
0 5 10 15 20 30 45 60
Anastesi Punggung Lidokain + - - - - - - +
local metode kelinci
infiltrasi kanan
Punggung Lidokain + + - - - - - - -
kelinci kiri adrenalin

4. Anastesi Lokal Metode Konduksi


Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 3 ekor), bobot tubuh 20-30 g
Obat : - Larutan Lidokain HC1 50-300 mg/70 kgBB manusia
secara IV
- Larutan NaCl 0,9% secara IV
Alat : Spuit injeksi 1 ml, kotak penahan mencit, pinset, spidol

Prosedur :
1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, ccek ada/ tidaknya respon haffner pada
mencit ke-0.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit
3. Mencit pertama disuntik dengan larutan lidokain HCl 0,04 ml secara IV
4. Mencit kedua disuntik dengan larutan Lidokain HCl 0,05 ml secara IV
5. Mencit ketiga disuntik dengan larutan NaCl 0,9 %
6. Cek ada/ tidaknya respon haffner (ekor mencit dijepit lalu terjadi respon angkat ekor/
mencit bersuara) pada menit ke-10, 15, 20, 25, 30
7. Catat dan tabelkan pengamatan

Ada/ Tidaknya Respon Haffner


Percobaan Bahan Obat
0 10 15 20 25 30
Anastesi local Mencit Lidokain + - - + + +
metode 0,04 ml
konduksi Lidokain + - - + + +
0,05 ml
NaCl 0,9 + + + + + +
% (0,5 ml)

32
Respon Haffner adalah refleks mencit yang apabila ekornya dijepit, maka terjadi respon
angkat ekor / mencit bersuara.

Perhitungan Dosis
Faktor konversi manusia 70 kg  mencit 20 gram = 0,0026
1) Mencit 1, beratnya 32 gram
Konversi = 175 mg x 0,0026
= 0,455 mg
Dosis = 32 gram/20 gram x 0,455 mg
= 0,728 mg
Vol. Pemberian = 0,728 mg/ 20 mg x 1 ml
= 0,0364 ml
2) Mencit 2, beratnya 40 gram
Konversi = 175 mg x 0,0026
= 0,455 mg
Dosis = 40 gram/20 gram x 0,455 mg
= 0,91 mg
Vol. Pemberian = 0,91 mg/ 20 mg x 1 ml
= 0,0455 ml
3) Mencit 3, beratnya 41 gram
Larutan NaCl 0,9 % sebanyak 0,5 ml

Pembahasan
Pemilihan lidokain sebagai anastetika lokal pada percobaan kali ini adalah karena
lidokain merupakan derivate asetanilida ini termasuk golongan amida dan merupakan obat
pilihan utama untuk anastesia infiltrasi maupun permukaan. Anestesi topikal ini akan diserap
ke dalam sirkulasi darah sehingga dapat menimbulkan efek samping yang toksik. Oleh karena
itu, sangat penting untuk memperhatikan jumlah maksimum yang boleh digunakan pada
suatu area yang akan di anestesi. Formula topikal ini tidak boleh digunakan untuk daerah
mukosa dan luka terbuka, karena akan terjadi penyerapan yang cepat oleh tubuh dan dapat
menyebabkan keracunan sistemik. Lidokain memiliki onset dan durasi yang pendek.

33
Mekanisme kerja lidokain bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium
channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga terjadi depolarisasi yang ditimbulkan oleh masuknya ion-ion natrium ke dalam sel
pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Mekanisme utama aksi anestetik
lokal adalah memblokade “voltage - gated sodium channels”. Selama eksitasi, lorong natrium
terbuka, dan secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium natrium (+40
mV). Akibat dari depolarisasi, lorong sodium menutup (inaktif) dan lorong kalium terbuka.
Aliran sebelah luar dari repolarisasi kalium yang ditimbulkan oleh keluarnya ion-ion kalium
dari dalam sel mencapai potensial equilibrium kalium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi
mengembalikan lorong natrium ke fase istirahat. Gradient ionic trans membran dipelihara
oleh pompa natrium. Fluks ionic ini sama halnya pada otot  jantung, dan anestetik lokal
memiliki efek yang sama di dalam jaringan tersebut (Rochmawati dkk, 2009). Lidokain
memiliki bagian lipofilik yang dihubungkan dengan bagian hidrofilik melalui rantai amide.
Bagian lipofilik ini meningkatkan potensi dan durasi, serta mempengaruhi mekanisme kerja
lidokain. Lidokain kerap kali dikombinasikan dengan epinefrin untuk memperpanjang durasi
anastesi lokal.
Pada percobaan kali ini, terbagi menjadi 4 metode, yaitu :
1. Anatesi lokal metode permukaan
Pada percobaan dengan metode permukaan menggunakan kelinci sebagai hewan uji.
Lidokain sebanyak 1 tetes diteteskan pada mata kiri kelinci, kemudian interval selama
1 menit reflex mata kelinci di cek dengan menyentuh bagian tengah mata kelinci
dengan aplikator. Tidak adanya reflex menunjukkan obat mulai bekerja. Berdasarkan
data pengamatan tidak adanya reflex diketahui pada menit ke-5 setelah lidokain
diteteskan dan berlangsung hingga menit ke-20 (berlangsung selama 15 menit),
kemudian reflex mata kembali normal berarti efek obat mulai menghilang (pada menit
ke-30.
2. Anastesi lokal metode Regnier
Pada percobaan dengan metode regnier menggunakan kelinci sebagai hewan uji.
Lidokain sebanyak 1 tetes diteteskan pada mata kanan kelinci, kemudian interval
selama 8 menit reflex ocular mata di cek dengan menggunakan aplikator secara tegak
lurus pada menit ke-8, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 60. Prinsip pengujian ini, mata yang
normal memberikan respon terhadap sentuhan pada kornea dengan menunjukkan
refleks ocular, sementara mata yang dianastesi, refleks baru muncul setelah berkali-
kali kornea disentuh. Berdasarkan data yang diperoleh, pada menit ke-8 reflek ocular
34
muncul setelah disentuh sebanyak 58 kali yang artinya hasil ini negative karena
kekuatan kerja anastetika dibuktikan dengan tidak adanya refleks ocular setelah
kornea disentuh 100 kali yang dianggap sebagai tanda adanya anastesi lokal (anastesi
tidak tercapai), hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
penetesan obat yang tidak tepat kedalam konjungtiva mata kelinci, kondisi fisiologis
kelinci, dosis yang diberikan masih belum tepat untuk menimbulkan efek anastetika
lokal pada hewan uji, pengamatan praktikan yang tidak tepat atau waktu pengamatan
juga mempengaruhi hasil pengamatan tersebut.
3. Anastesi lokal metode infiltrasi
Pada percobaan ini, hwan uji yang digunakan adalah kelinci. Lidokain disuntikkan
sebanyak 0,2 ml secara subkutan ke punggung kelinci bagian kanan dan lidokain +
adrenalin disuntikkan sebanyak 0,2 ml secara subkutan ke punggung kelinci bagian
kiri, kemudian dilakukan pengamatan ada atau tidaknya respon getaran otot punggung
kelinci dengan menggunakan peniti. Berdasarkan data pengamatan, pada menit ke-5
punggung kelinci bagian kiri dan kanan memberikan hasil negatif atau tidak
memberikan respon getaran (anastesi bekerja). Pada punggung kelinci bagian kanan
yang diberi lidokain, respon getaran tercatat pada menit ke-60 yang artinya efek
anastesi telah hilang, sedangkan pada punggung kelinci bagian kiri yang diberi
lidokain + adrenalin, respon getaran tidak ada sampai menit ke-60, ini artinya efek
anastesi masih ada, hal ini dikarenakan oleh penambahan adrenalin yang dapat
memperpanjang durasi kerja lidokain.
4. Anastesi lokal metode konduksi
Pada percobaan dengan metode ini menggunakan hewan uji mencit sebanyak 3 ekor.
Mencit pertama disuntikkan lidokain sebanyak 0,04 ml secara IV dan mencit kedua
disuntikkan lidokain sebanyak 0,05 ml secara IV dan mencit ke-3 disuntikkan larutan
NaCl 0,5 ml secara IV, kemudian di cek ada atau tidaknya respon haffner (ekor
mencit dijepit lalu terjadi respon angkat ekor / mencit bersuara). Berdasarkan data
pengamatan diperoleh bahwa pemberian lidokain 0,04 ml pada mencit pertama dan
0,05 ml pada mencit kedua tidak memberikan haffner pada menit ke 10 sampai ke-15
yang artinya efek anastesi bekerja. Pada menit ke-20 kedua mencit memberikan
respon haffner yang artinya efek anastesi telah hilang. Sedangkan pemberian larutan
NaCl memberikan respon haffner pada awal penyuntikkan ( menit ke-0) sampai menit
ke-30 karena memang NaCl tidak bersifat menganastesi.

35
Kesimpulan
1. Obat anastetika lokal menghambat impuls saraf ketika digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan konsentrasi yang tepat, salah satunya adalah lidokain.
2.

Daftar Pustaka
Mardjono, Mahar. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta : Gaya Baru

Staf Pengajar Departemen Farmakologi FKUS. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi edisi 2.

Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC

Thomas, B. Bowton & Colin E. Blog. 1994. Anatesiologi. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC

Mutshler ,Ernest. 1991. Dinamika Obat edisi 5. Bandung : ITB

EFEK LOKAL OBAT


(PENGARUH OBAT TERHADAP MEMBRAN DAN KULIT MUKOSA)

Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Memahami efek local dari berbagai obat / senyawa kimia terhadap kulit dan
membrane mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing; serta dapat diaplikasikan
dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan bahan.
2. Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa
dari berbagai obat yang bekerja local.
36
3. Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang dipakai secara local.

Teori Dasar
Obat yang dipakai secara local terdiri dari beberapa sifat dan penggunaan di antaranya :
- Zat yang dapat menggugurkan bulu; bekerja dengan cara memecah ikatan S-S
pada keratin kulit sehingga bulu mudah rusak dan gugur.
- Zat korosif; bekerja dengan cara mengendapkan protein kulit melalui reaksi
oksidasi sehingga kulit dan membrane mukosa akan rusak.
- Zat astringen; bekerja dengan cara mengkoagulasikan protein sehingga
permeabilitas sel pada kulit dan membrane mukosa menjadi turun.
- Fenol dalam berbagai pelarut; akan menunjukkan efek local yang berbeda pula;
yang dipengaruhi oleh perbedaan koefisien partisi dan permeabilitas kulit sehingga
mempengaruhi penetrasi fenol ke dalam jaringan.
Efek obat yang akan timbul pada membran dan kulit mukosa tergantung pada jumlah obat
yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membran serta kelarutan obat dalam lemak
karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak. Pada kulit yang terkelupas atau luka
maka absorbsi jauh lebih mudah. Obat yang digunakan disini dapat memberikan efek
menggugurkan bulu korosif.
Efek lokal obat terjadi akibat penggabungan langsung antara molekul obat dengan
reseptor, sehingga terobservasi timbulnya perubahan dari fungsi organ tergantung pada
daerah lokasi, oleh karena itu timbullah suatu efek obat. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi efek lokal obat ini diketahui jika efek terapi telah diketahui dan dicapai.
Mukosa yang tervaskularisasi baik memiliki sifat absorbsi yang baik untuk senyawa yang
tidak terionisasi lipofil. Persyaratan anastetika lokal adalah sebagai berikut :
- Tidak merangsang jaringan
- Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf sentral
- Toksisitas sistemisnya yang rendah
- Efektif pada penyuntikan dan penggunaan lokal
- Mula kerja dan daya kerjanya singkat untuk jangka waktu cukup lama
- Larutnya dalam air dengan menghasilkan larutan yang stabil dan tahan pemanasan

Alat, Bahan dan Prosedur

1. Menggugurkan Bulu
37
Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan, bobot tubuh 200-
3000 g
Obat : - Veet cream
- Larutan NaOH 20%
- Larutan Na2S 20%
Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch

Prosedur :
1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.
2. Ambil kulitnya lalu dibuat tiga potongan; masing-masing berukuran 2,5 x 2,5 cm.
3. Letakkan potongan kulit tersebut di atas gelas arloji yang telah diberi alas kertas
saring.
4. Catat bau asli / awal dari obat yang digunakan.
5. Oleskan / teteskan larutan obat pada bagian atas potongan kulit tikus tersebut.
6. Amati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat dengan
bantuan batang pengaduk.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.

Efek
Gugur Bulu (catat
Percobaan Bahan Obat
Bau Awal waktu saat mulai
gugur bulu)
Menggugurkan Kulit tikus Veet cream Wangi 08.58 – 08.59
Larutan Bau khas 09.00 – 09.02
bulu
NaOH 20%
Larutan NaS Bau khas 09.01 – 09.03
20% menyengat

2. Korosif
Hewan coba : Tikus putih, jantan (jumlah 1 ekor), usia 2 bulan, bobot tubuh 200-
300 g

38
Obat : - Larutan fenol 5%
- Larutan NaOH 10%
- Larutan H2SO4 pekat
- Larutan HC1 pekat
- Larutan AgNO3 1%

Alat : Gunting bedah, batang pengaduk, gelas arloji, stop watch

Prosedur :
1. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan.
2. Ambil ususnya lalu dibuat enam potongan; masing-masing berukuran 4-5 cm.
3. Letakkan potongan usus tersebut di atas gelas arloji yang telah diberi alas kertas
saring.
4. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut hingga terendam.
5. Rendam selama 30 menit.
6. Setelah 30 menit, amati efek korosif / kerusakan jaringan setelah pemberian obat
dengan bantuan batang pengaduk.
7. Catat dan tabelkan pengamatan.

Efek
Percobaan Bahan Obat Kerusakan pada
Sifat Korosif
Jaringan
Korosif Usus tikus Larutan fenol Korosif Mengeluarkan
5% cairan kuning pucat
Larutan Korosif Menciut dan
NaOH 10% memucat
Larutan Sangat korosif Membengkak,
H2SO4 pekat berwarna putih jadi
coklat
Larutan HC1 Sangat korosif Mengembang warna
pekat pucat pekat
Larutan korosif Menipis dan
AgNO3 1% melunak

3. Efek Local Fenol


Prosedur :

39
1. Celupkan empat jari tangan selama 5 menit ke dalam larutan fenol yang tersedia.
2. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas).
3. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, angkat segera dan bilas dengan etanol.
4. Catat dan tabelkan pengamatan.

Efek Sensasi Jari Tangan


Percobaan Bahan Obat
(rasa tebal, dingin, panas)
Fenol dalam Jari tangan Larutan fenol Dingin, rasa tebal, kulit keriput dan
berbagai 5% dalam air warna putih
Larutan fenol Bau menyengat, dingin, rasa nyeri
pelarut
5% dalam
etanol

Pembahasan
Pada pengujian efek menggugurkan bulu, semua kelompok memberikan hasil yang
sama yaitu uji menunjukkan adanya kerontokan bulu setelah pemberian zatt, hal ini
disebabkan karena bulu mengandung keratin yang merupakan protein fibrous yang kaya akan
sulfur. Keratin memiliki ikatan disulfida yang kokmpleks, sedangkan zat uji yaitu veet cream
yang mengandung potasium thioglycolate dan juga larutan NaOH dan Larutan Na2S dapat
mematahkan ikatan disulfida tersebut sehingga menyebabkan bulu gugur.
Pada pengujian sifat korosif, beberapa hasil yang dapat diamati adalah :
- Fenol 5 % menyebabkan usus mencit mengeluarkan cairan dan berwarna kuning
pucat, hal ini karena fenol bersifat mendenaturasi protein dan berdaya korosif
(membakar) terhadap kulit dan sangat merangsang. Fenol bersita keratolitis dan
vasokonstriksi yang artinya pemberian fenol dapat menyebabkan lisis pada sel
kulit dan menyempitnya pembuluh dara, hal ini yang menyebabkan warna usus
menjadi kuning pucat.
- Larutan NaOH 10 % menyebabkan usus mencit menciut dan memucat, dimana
yang seharusnya terjadi sesuai literatur adalah usus mengeluarkan cairan karena
larutan NaOH menyebabkan lisisi pada sel
- Larutan H2SO4 pekat menyebabkan usus mencit membengkak dan berubah warna
dari putih menjadi coklat, akan tetapi berdasarkan literatur yang ada hal yang
seharunya terjadi adalah usus menciut karena H2SO4 bersifat asam kuat yang
menyebabkan penggumpalan protein, begitu juga dengan HCl pekat

40
- Larutan AgNO3 1 % menyebabkan usus mencit menipis dan melunak, hal ini
karena AgNO3 bersifat korosif dan menyebabkan luka bakar parah
Pada pengujian efek lokal fenol, dapat diamati bahwa :
- Fenol 5 % dalam air memberi efek dingin, rasa tebal, kulit keriput dan warna putih
- Fenol 5 % dalam etanol memberi efek dingin, rasa nyeri dan bau menyengat
Hal ini terjadi karena fenol bersifat keratolisis dan vasokonstriksi, dimana pemberian
fenol dapat menyebabkan lisis pada kulit dan penyempitan pembuluh darah, sifat
vasokonstriksi inilah yang membuat kulit keriput dan pucat, karena fenol merupaka
pelarut senyawa khusunya senyawa polar, pada pelarutan terhadap air hanya
menyebabkan iritasi ringan dibanding dengan etanol yang menyebabkan rasa nyeri
Pada pengujian efek menggugurkan bulu, zat yang lebih berefek kuat seharunya NaOH
dan Na2S, namun saat percobaan jumlah veet cream yang digunakan lebih banyak
sehingga reaksinya lebih cepat

Kesimpulan
1. NaOH, Na2S dan veet cream (potasium thioglycolate) dapat menggugurkan bulu
karena dapat memecah ikatan disulfida
2. Membran mukosa bersifat lebih sensitif dibanding permukaan kulit, sehingga
penetesan cairan iritan dapat menunjukkan gejala klinik yang lebih cepat, zat yang
bersifat asam kuat dapat mendenaturasi protein sedangkan zat yang bersifat basa kuat
melisiskan protein

Daftar Pustaka
Anonim. 2004. Farmakologi jilid II. Anastetika Lokal. Jakarta: Depkes RI
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta: Depkes RI
Guyton, A.C dan Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Sunaryo.1995. Kokain dan Anastetik Lokal Sintetik. Dalam; edisi Ganiswara SG.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Ariens EJ. Mutschler E, Simonis A.M. 1978. Penghantar Toksikologi Umum.
Yogyakarta: UGM Press
Mirza. 2009. Protein pada kulit dan rambut. Mirza. Blogspot.com (26 Apr 2019)
Engine. Lubis, Y. 1993. Penghantar Farmakologi. Medan: PT. Pustaka Widyasarana
41
PERCOBAAN UJI DIABETES
(UJI KADAR GLUKOSA DAN ANTIDIABETES)

Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini, mahasiswa dapat :
1. Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada
penyakit diabetes.
2. Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyekit diabetes dengan cara
konvensional.
3. Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunakan alat ukur
glukosa darah.

Teori Dasar
Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut
insulin atau insentivitas sel terhadap insulin. Insulin ialah hormon polipeptida yang dihasilkan
oleh sel beta dalam islet Langerhans pankreas dan berpran penting pada metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa darah, asam lemak
dan asam amino dalam darah yang mendorong penyimpangan nutrien-nutrien tersebut dalam
42
bentuk glikogen. Bila kadar glukosa darah rendah maka sel pankreas menghasilkan glukagon
yang berfungsi memecahkan glikogen menjadi glukosa.
Tindakan diagnosis dilakukan untuk menentukan apakah seseorang menderita penyakit
diabetes mellitus. Uji diagnosis diabetes milletus umumnya dilakukan berdasarkan keluhan
penderita yang khas berupa poliuria, polidipsia, pilifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
mudah lemas, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruiritus, vulvae pada
pasien wanita dan adanya peningkatan kadar glukosa darah yang ditentukan berdasarkan
pemeriksaan laboratorium.
Glukosa dapat diukur dengan menggunakan sampel darah total, plasma, serum, cairan
serebrospinal, cairan pleural, dan urin sesuai dengan tujuan diagnosisnya. Glukosa darah
kapilari merupakan sumber dari kebanyakan alat pengukuran glukosa yang menggunakan
spesimen darah total. Kadar glukosa darah kapilari ini setara dengan kadar glukosa arterial
tapi dapat berbeda dari kadar glukosa vena, bergantung pada waktu pemeriksaan relatif
terhadap pencernaan makanan.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menegakkan diagonis diabetes
mellitus antara lain pengukuran kadar glukosa darah (kadar glukosa darah sewaktu, kadar
glukosa darah puasa, kadar glukosa posprandial, serta tes toleransi glukosa oral), analisis
urin, pemeriksaan kadar HbA1c (hemoglobin terglikosilasi), pemeriksaan keton dan
pengukuran kadar hormon inkretin.
Pada praktek sehari-hari, kadar glukosa darah dapat diukur secara konvensional
menggunakan alat ukur kadar glukosa darah yang sudah banyak dijual di pasar dengan
menggunakan sampel darah kapilari. Percobaan uji diabetes di laboratorium dapat dilakukan
pada hewan percobaan (menit) dan disebut sebagai percobaan uji diabetes secara
konvensional (web lab).
Beberapa teknik yang sering digunakan untuk menyebabkan hewan uji menderita
diabetes adalah induksi dengan bahan kimia. Induksi kimia pada hewan akan menyebabkan
hewan coba menderita diabetes tipe I dimana banyaknya sel beta yang hancur dengan
demikian, jumlah insulin endogen yang diproduksi menjadi sedikit, yang mengarah ke
hiperglikemia dan penurunan berat badan. Diabetes dengan diinduksi secara kimia tidak
hanya menyediakan model sederhana dan relatif murah tetapi juga dapat digunakan pada
hewan yang lebih tinggi.

1. Streptozotocin (STZ)
43
STZ [2-deoksi-2-(3-(metil-3-nitrosoureido)-D-glicopyranose] disintesis oleh Streptomycetes
achromogenes. Setelah pemberian i.p. atau i.v. obat akan memasuki sel beta pankreas
melalui Glut-2 transporter dan menyebabkan alkilasi dari DNA. Aktivasi berikutnya
PARP menyebabkan deplesi NAD+, pengurangan ATP seluler dan hasilnya penghambatan
produksi insulin. Selain itu, STZ merupakan sumber radikal bebas yang juga dapat
berkontribusi terhadap kerusakan DAN dan akhirnya kematian pada sel. STZ dapat
digunakan dengan sekali pemberian dengan dosis tinggi (100-200 mg / kg BB tikus dan
36-65 mg / kg BB mencit); atau diberikan berulang dengan dosis rendah selama 5 hari
(20-40 mg / kg per hari).

2. Aloksan
Efek diabetes aloksan (2, 4, 5, 6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracil) terutama
disebabkan ambilan cepat oleh sel beta dan pembentukan radikal bebas, dimana sel beta
memiliki mekanisme pertahanan yang buruk untuk radikal bebas tersebut. Aloksan
direduksi menjadi asam dialuric dan kemudian teroksidasi kembali menjadi aloksan,
menciptakan siklus redoks untuk regenerasi radikal superoksida yang mengalami
dismutasi untuk membentuk hidrogen peroksida dan selanjutnya membentuk radikal
hidroksil yang sangat reaktif dan menyebabkan fragmentasi DNA sel beta. Aloksan juga
diambil oleh hati, tetapi hati memiliki perlindungan yang lebih baik untuk oksigen reaktif
dan oleh karena itu hati tidak rendah terhadap kerusakan. Mekanisme lain kerusakan sel
beta oleh aloksan termasuk oksidasi gugus SH yang essensial, terutama dari glukokinase
dan gangguan dalam homeostasis kalsium intraseluler. Dosis pada tikus berkisar dari 50-
200 mg / kg dan pada mencit dari 40-200 mg / kg BB, tergantung pada strain dan rute
pemberian dimana pemberian ip dan s.c membutuhkan hingga tiga kali lebih besar dari
dosis dengan rute i.v. Dosis 100 mg / kg BB telah digunakan untuk membuat diabetes
jangka panjang pada kelinci. Perlu dicatat bahwa aloksan memiliki indeks dosis
diabetogenic yang sempit, sehingga overdosis ringan bisa menyebabkan toksisitas umum,
terutama untuk ginjal.

3. Glukosa
Pada acara ini mencit yang digunakan adalah mencit normal yang dibebani sukrosa tanpa
merusak pankreasnya, karena berdasarkan teori bahwa dengan pembebanan sukrosa akan
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik) secara cepat. Sukrosa

44
didalam tubuh dapat terurai menjadi glukosa dan fluktosa. Kadar glukosa yang tinggi
dalam darah dapat diturunkan oleh zat-zat berefek antihiperglikemik.

Metode pengukuran kadar glukosa darah antara lain :

1. Dengan Spektrofotometer
Darah mencit diambil melalui ekor sebanyak 0,5-1 ml ke dalam ependorf. Daerah
disentrifusa selama 10 menit untuk diambil serumnya sebanyak 50 l dan kemudian
ditambahkan uranil asetat 500 l, kemudian diinkubasi selama 10 menit dan diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm untuk mendapatkan nilai kadar
glukosa darah. Hal yang sama dilakukan untuk blanko untuk standar glukosa.

2. Dengan Glukometer
Terdiri dari alat glukometer dan strip glukosa glukometer yang sesuai dengan nomor pada
alat. Alat ini secara otomatis akan hidup ketika strip glukosa dimasukkan dan akan mati
setelah strip glukosa dicabut. Masukkan strip ke dalam alat glukometer, sehingga
glukometer ini akan hidup secara otomatis, kemudian dicocokkan kode nomor yang
muncul pada layar dengan yang ada pada vial check glucose tes strip. Tes strip yang
dimasukkan pada glukometer pada bagian layar yang tertera angka yang harus sesuai
dengan kode vial check glucose test strip, kemudian pada layar monitor glukometer
muncul tanda siap untuk diteteskan darah. Sentuhan tetesan darah yang keluar langsung
dari pembuluh darah ke test strip dan ditarik sendirinya melalui aksi kapiler. Ketika
wadah terisi penuh oleh darah, alat mulai mengukur kadar glukosa darah. Hasil
pengukuran diperoleh selama 10 detik.

Alat, Bahan dan Prosedur

Hewan coba : Mencit putih, jantan (jumlah 4 ekor), bobot tubuh 25-29 g
Obat : - Larutan glukosa 5% 1 g / kg BB mencit secara PO
- CMC Na 1% secara PO
- Glibenklamid 5 mg / 70 kg BB manusia secara PO
- Metroformin 500 mg / 70 kg BB manusia secara PO
Alat : Spuit injeksi 1 ml, sonde, timbangan hewan, Accu-Check dan strip

45
glukosa.

Prosedur :
1. Puaskan mencit selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke-0
dengan cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian
ujung strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor
glukometer. Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).
3. Berikan larutan glukosa 1 g / kg BB mencit.
4. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke-5
dengan cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian
ujung strip dan bagian 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai glukosa darah setelah pembebanan.
5. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan :
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : glibenklamid 5 mg / 70 kg BB manusia secara PO
Kelompok III : metformin 500 mg / 70 kg BB manusia secara PO
6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
7. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing pada menit ke-10.
8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit 20, 40, 60,
80, 100 dan 120.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Data yang diperoleh dianalisa secara statistik berdasarkan analisis variansi dan
bermakna perbedaan kadar glukosa darah antara kelompok kontrol negatif, positif dan
kelompok uji kemudian dianalisa dengan Student’s t-test. Data disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik.

Percobaan Bahan Obat Kadar Glukosa Darah g/DL


(menit ke-)
0 5 60
(puasa) (diabetik)

46
Uji kadar Mencit 1 CMC Na 1 % secara 1 197 281 187
2 154 247 183
glukosa dan PO
Mencit 2 Glibenklamid 5 1 107 154 97
antidiabetes
2 174 221 118
mg/70 kgBB
manusia secara PO
Mencit 3 Metformin 500 1 118 272 192
2 206 187 150
mg/70 kgBB
manusia secara PO

Perhitungan Dosis
CMC Na = 0,5 ml
Faktor konversi manusia 70 kg  mencit 20 gram = 0,0026
Glibenklamid 5 mg/70 kgBB manusia :
 Mencit 1, beratnya 25 gram
Konversi = 0,0026 x 5 mg
= 0,013 mg
Dosis = 25/20 x 0,013 mg
= 0,01625 mg
Vol. Pemberian = 0,01625 mg / 5 mg x 50 ml
= 0,1625 ml
 Mencit 2, beratnya 27 gram
Konversi = 0,0026 x 5 mg
= 0,013 mg
Dosis = 27/20 0,013 mg
= 0,01755 mg
Vol. Pemberian = 0,01755 mg / 5 mg x 50 ml
= 0,1755 ml
Metformin 500 mg / 70 kgBB manusia :
 Mencit 1, beratnya 29 gram
Konversi = 0,0026 x 500 mg
= 0,013 mg
Dosis = 29/30 x 0,013 mg
= 1,885 mg

47
Vol. Pemberian = 1,885 mg / 500 mg x 50 ml
= 0,19 ml
 Mencit 2, beratnya 29 gram
Konversi = 0,0026 x 500 mg
= 0,013 mg
Dosis = 29/20 x 0,013 mg
= 1,885 mg
Vol. Pemberian = 1,885 mg / 500 mg x 50 ml
= 0,19 ml

Pembahasan
Glibenklamid bekerja dengan cara merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas,
sehingga hanya efektif pada penderita diabetes, yang mana sel-sel beta pankreasnya masih
berfungsi dengan baik. Metformin bekerja langsung pada hati, menurunkan produksi glukosa
hati, tidak merangsang sekresei insulin oleh kelenjar pankreas, sedangkan CMC Na tidak
dapta memberi efek antidiabetes.
Pada percobaan ini dibagi menjadi 3 kelompok, pada tahap pertama semua mencit
ditimbang kadar glukosa darahnya (kadar glukosa darah puasa). Tahap kedua, semua mencit
diberi glukosa sebanyak 1 ml, pemberian ini bertujuan untuk menaikkan kadar glukosa dalam
darah, setelah 5 menit kemudian semua mencit diukur kembali kadar glukosa darahnya. Pada
kelompok 1 dan 2, kadar glukosa darah pada tiap mencit naik, sedangkan pada kelompok 3
mencit no. 2 memberikan hasil bahwa kadar glukosa darahnya turun, berdasarkan londisi saat
praktikum, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kesalahan pengecekan kadar glukosa
dimana waktu pengecekan terlalu cepat atau bisa juga dikarenakan kondisi tubuh mencit itu
sendiri, dimana glukosa belum mencapai darah pada saat dilakukan pengukuran kadar
glukosa. Pada tahap ke-3, mencit kelompok 1 diberi CMC Na, mencit kelompok 2 diberi
Glibenklamid, dan mencit kelompok ke-3 diberi Metformin dengan dosis yang telah dihitung.
Berdasarkan literatur, pemberian glibenklamid dan metformin akan menurunkan kadar
glukosa darah, sedangkan pemberian CMC Na tidak mempengaruhi kenaikan kadar glukosa
dalam darah. Akan tetapi dara yang dihasilkan menunjukkan bahwa kaara glukosa darah
mencit pada kelompok 1 turun lebih banyak dari kelompok lainnya, kemungkinan hal ini
disebabkan oleh karena mencit sangat aktif dan metabolisme tubuhnya lebih cepat atau
kondisi pankreas mencit tersebut

48
Kesimpulan
Dari praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian glibenklamid
dan metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah pada hewan uji yang telah dibebani
glukosa, namun hal ini tetap bergantung pada kondisi tubuh atau organ pankreas hewan uji
tersebut, dimana saat pemberian CMC Na memberikan hasil bahwa kadar glukosa darah
menurun, bahkan lebih tinggi dari pemberian glibenklamid, dimana kemungkinan pankreas
hewan uji masih bekerja dengan bagus.

Daftar Pustaka
Adam. J.M.F. 2000. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes melitus yang baru. Cermin
Duni Kedokteran
Herman,F. 1993. Penggunaan obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes melitus. Pharos
Bulletin No. 1
Rohman, Abdul. 2000. Analisis Obat. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press

49

Anda mungkin juga menyukai