a. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Tn. A R
Presenting Complaint
Pasien tiba-tiba kejang ± 15 menit, dengan tangan mengepal terguncang naik dan turun kaki
pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak mulut tidak berbusa,
lidah tidak tergigit, saat kejang pasien terjatuh pada tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala kanan terbentur batu, bibir luka sebesar 1cm tepi tidak rata, kejang terjadi hingga 3
kali sekitar 15 menit, selama pasien kejang tidak sadarkan diri.
Diagnosa kerja : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial dan Epilepsi bangkitan umum tipe
Tonik Klonik
Diagnosa banding :
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
15
digunakan (literatur)
Loading dose 10-15
mg/kgBB
Dosis pemeliharaan :
1 IVFD D5% + Epilepsi 3ampul/8jam
3x1 100mg setiap 8
Fenitoin
jam. (prn)
(Medscape App)
2 x 1 ampul 2g setiap
12 jam untuk 7-14
2 Ceftriaxone Antibiotik 2x1 ampul (iv)
hari
(Medscape App)
Antipiretik 6x1 650 mg IV
setiap 4 jam
(Medscape App)
Drug Allergies:
Tidak ada alergi
16
Cholesterol (150-250 mg/dL)
TG (50-200 mg/dl)
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L)
SGPT (0-37 u/L)
BUN (10-24 mg/dL)
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)
17
17
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)
Pasien tiba-tiba kejang ± 15 menit, dengan tangan mengepal terguncang naik dan turun kaki
pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak mulut tidak berbusa,
lidah tidak tergigit, saat kejang pasien terjatuh pada tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala kanan terbentur bat, bibir luka besebar 1cm tepi tidak rata, kejang terjadi hingga 3kali
sekitar 15menit, selama pasien kejang tidak sadarkan diri.
Objective (signs)
TD: 110/70mmHg
HR: 88x/menit
RR: 20x/menit
Suhu: 38oC
TB: 150cm
BB: 70kg
INFEKSI INTRAKRANIAL
Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
Treatment :
Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)
22
DRP
Tidak terdapat DRP
EBM
EBM “Comparison of the Curative Efficacy of intrathecal and Intreavenous
Injection of Cefriaxone and Vancomycin in the Treatment of Intracranial
Infection During the Perioperative Period”
P = 80 pasien dengan infeksi intrakranial usia lebih dari 18 tahun
I = 4 kelompok (kelompok 1 injeksi intratekal kelompok ceftriaxone (CT)
0,1g dilarutkan dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida, kelompok 2 injeksi
intravena kelompok ceftriaxone (CV) 2,0 g dilarutkan dalam 10ml larutan
0,9% natrium klorida, kelompok 3 injeksi intratekal kelompok vankomisin
(VT) 20,0 mg dilarutkan dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida,
kelompok 4 injeksi intravena kelompok vankomisin (VV) 1,0 g dilarutkan
dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida) dengan 20 pasien di setiap
kelompok.
C = Efektivitas, gagal terapi, dan kualitas (Injeksi intratekal ceftriaxone vs
injeksi intravena ceftriaxone vs injeksi intratekal vankomisin vs 4 injeksi
intravena vankomisin)
O = Ceftriaxone pemberian secara intrathecal memiliki efektivitas 95% lebih
baik dibandingkan dengan vankomisin intrathecal 90%, ceftriaxone intravena
40% dan vankomisin intravena 35%. Dalam kelompok ini, lorazepam
berhasil di 64,9 persen dari mereka yang ditugaskan untuk menerimanya,
fenobarbital di 58,2 persen, diazepam dan fenitoin di 55,8 persen, dan
fenitoin di 43,6 persen (P = 0,02 untuk perbandingan keseluruhan antara
empat kelompok).
Result: pemberian ceftriaxone secara intrathecal memiliki efektivitas lebih
baik bila diberikan secara intravena, menurunkan kejadian gagal terapi serta
kulaitas obat yang baik (Wang, 2017).
ANTIPIRETIK
Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
Treatment :
23
EBM
EBM 2 “Acetaminophen Inhibits Status Epilepticus in Cultured
Hippocampal Neurons”
Keterangan EBM :
Menurut sebuah penelitian dalam jurnal NCBI statut epilepticus (SE)
merupakan gangguan neurologis utama sehingga pasien mengalami epilepsy
dan deficit kognitif. Dalam model eksperimental cannabinoid dapat
menghentikan kejang. Dimana, paracetamol diuji melalui konversi menjadi
AM404 dan peningkatan dalam kadar endocannabinoid yang dapat
memblokir aktivitas pada SE. paparan neuron hipokampus yang dikultur ke
medium Mg2+ rendah, memunculkan frekuensi tinggi melebihi 3 Hz.
Penerapan bersama antagonis reseptor CB1 SR 141716A memblokir efek
penghambatan acetaminophen pada SE yang menunjukkan bahwa
acetaminophen dapat memediasi efek antikonvulsan melalui reseptor CB1.
(Laxmikant, 2011)
24
EPILEPSI TONIC-CLONIK
Problem Medik :
Epilepsi bangkitan umum tonik klonik
Treatment :
-
DRP
P1.4 Ada indikasi yang tidak diterapi
P1.5 Ada Indikasi tetapi obat tidak diresepkan
EBM 1“Lamotrigine Versus Valproic Acid Monotrherapy for Generalized
Epilepsy : A Meta-analysis of Comparative Studies”
P = 1732 pasien epilepsy yang diambil secara acak
I = 2 Group (Asam valproate vs Lamotrigine)
C = Asam valproate vs Lamotrigine
O = Bebas kejang, efek samping, efek obat setelah dihentikan
(Penyembuhan VPA lebih unggul dari LTG (atau 3.51; 95% CI 2,68 sampai
4,59, p <0,01), efek samping tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok VPA dan LTG (atau = 1.11; 95% CI = 0,61-2.01; p = 0,73),
penggunaan obat asam valproate dapat mengurangi efek samping serta
kejadian kejang berulang setelah obat dihentikan) (Tang, 2017)
Pada pasien rawat inap dengan status epilepticus, lorazepam intravena adalah
obat pilihan untuk terapi darurat awal. Dalam uji klinis orang dewasa dengan
status epileptikus di rumah sakit, lorazepam intravena lebih unggul daripada
fenitoin intravena Dalam studi status epileptikus di luar rumah sakit,
intravenous lorazepam memiliki tingkat respons yang sedikit lebih baik
(didefinisikan sebagai penghentian kejang) daripada diazepam intravena.
Pada kasus ini pemberian phenytoin tidak optimal (P1.2 Efek obat tidak
optimal) sehingga kami memilihkan pemberian terapi lorazepam. Pemilihan
ini berdasarkan atas evidence pada assessment. Pasien juga diberikan
elektrolit, diamana sudah tepat diberikan dextrose 5%, karena pasien yang
mengalami demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukosa (Erwika, 2014). Dosis Lorazepam yang diberikan adalah
4mg/ dosis lambat pada 2mg/menit, jika kejang berlanjut setelah 5-10 menit
berikan 4mg iv + IVFD D5%.
Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
Plan :
Berdasarkan jurnal “Comparison of the Curative Efficacy of intrathecal and
Intreavenous Injection of Cefriaxone and Vancomycin in the Treatment of
Intracranial Infection During the Perioperative Period” pemberian
ceftriaxone secara intrathecal memiliki efektivitas lebih baik bila diberikan
secara intravena, menurunkan kejadian gagal terapi serta kualitas obat yang
baik dari pada vankomisin. Ceftriaxone adalah salah satu obat golongan
sefalosporin generasi ketiga yang paling umum digunakan karena antibiotik
dengan spectrum luas dan dapat menembus sawar darah otak sehingga
ceftriaxone ini tepat untuk mengobati infeksi sistem saraf pusat termasuk
infeksi intrakarnial (Santos L.N. 2014). Pada kasus ini pemberian ceftriaxone
sudah tepat sehingga kami tetap melanjutkan pemberian terapi dengan dosis
ceftriaxone yang digunakan adalah 2 gram iv 2 kali sehari (tiap 12jam)
selama 7 hari.
27
Problem Medik :
Antipiretik
Plan :
Terjadinya infeksi intracranial biasanya diikuti dengan suhu tubuh yang
tinggi serta adanya rasa nyeri, maka diberikan antipiretik jika diperlukan.
Berdasarkan jurnal “Efficacy and Safety of Ibuprofen and Acetaminophen in
Children and Adults: a meta-analysis and Qualitative Review” pemberian
paracetamol vs ibuprofen sama-sama efektif dalam mengobati demam dan
nyeri dan tidak perbedaan yang signifikan. Pada kasus ini Paracetamol tetap
diberikan sebagai penurun demamnya. Digunakannya paracetamol karena
jika dilihat dari segi farmakoekonomi, paracetamol memiliki harga yang
lebih murah jika dibandingkan dengan ibuprofen dan memiliki efek yang
sama (cost effectiveness) sehingga paracetamol lebih disarankan untuk
diberikan pada pasien penderita demam (Walsh, 2006). Dosis yang diberikan
yaitu 6x1 650 mg Drip setiap 4 jam jika pasien mengalami demam, maksimal
dosis yang dapat diberikan yaitu 4g/hari.
Problem Medik :
Epilepsi bangkitan umum tonik klonik
Plan :
Tujuan untuk kondisi epilepsi pasien, tujuan terapinya yaitu menghindari
terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat
ditoleransi). Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada
manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada
pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan
risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Pemberian terapi pada pasien saat di ruangan di ganti dengan menggunakan
asam valproate. Penggantian obat anti epilepsi (OAE) dilakukan secara
bertahap. OAE baru dimulai pada dosis efektif minimal ditingkatkan secara
bertahap, kemudian OAE lama diturunkan juga secara bertahap. Penggantian
bentuk sediaan harus dilakukan secara bertahap dengan cara meningkatkan
total dosis sehari sediaan biasa ke dosis berikutnya yang lebih tinggi sebelum
konversi ke total dosis sehari sediaan lepas lambat yang sesuai. Monitor
28
kejadian efek samping secara ketat pada pasien yang menerima dosis
mendekati maksimal. Dosis yang direkomendasikan: Dewasa 15-45 mg/kg
BB/hari.
TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Diet yang disarankan yaitu diet ketogenik, pemberian nutrisi ketogenik akan
terjadi proses pembentukan ketone yang juga telah menjadi salah satu
alternatif pengobatan pasien epilepsi. Dokter spesialis anak dari Universitas
Johns Hopkins mengeluarkan teori bahwa keadaan kelaparan (starvation)
dapat meningkatkan pembentukan ketone dalam sirkulasi yang disebut
dengan ketosis. Proses ini memberikan efek antiepileptic alami dalam tubuh.
Mempertahankan ketosis tanpa keadaan kelaparan dapat dicapai dengan
pemberian asupan nutrisi tinggi lemak serta rendah karbohidrat dan protein.
Rekomendasi distribusi kalori untuk nutrisi ketonik yaitu lemak : KH 4 : 1
dan lemak memberikan distribusi kalori sebesar 90% kalori dari total seluruh
kalori (Dipiro, 2009).
MONITORING
Efektivitas
Dilakukan pemantauan dengan melihat kekambuhan gejala atau frekuensi
timbulnya gejala setelah penggunaan obat. Sehingga outcome dapat
dilakukan dengan cara memantau efektivitas pengobatan.
Lihat jumlah leukosit apakah sudah dalam batas normal atau masih terjadi
peningkatan leukosit, Karena penyebab dari infeksi intrakarnial ini adalah
bakteri ataupun virus jadi pada data labortorium dapat di periksa kembali
apakah masih ada bakteri atau virus yang menyebabkan infeksi tersebut
setelah pemberian terapi.