Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

SOAP HASIL PRAKTIKUM

a. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Tn. A R

Jenis Kelamin : Laki laki Tgl. MRS : 24 September 2017


Usia : 24 tahun Tgl. KRS : 08 oktober 2017
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 70 kg

Presenting Complaint
Pasien tiba-tiba kejang ± 15 menit, dengan tangan mengepal terguncang naik dan turun kaki
pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak mulut tidak berbusa,
lidah tidak tergigit, saat kejang pasien terjatuh pada tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala kanan terbentur batu, bibir luka sebesar 1cm tepi tidak rata, kejang terjadi hingga 3
kali sekitar 15 menit, selama pasien kejang tidak sadarkan diri.

Diagnosa kerja : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial dan Epilepsi bangkitan umum tipe
Tonik Klonik

Diagnosa banding :

 Relevant Past Medical History:


IVFD D5% + Fenitoin 3 ampul/8jam, Ceftriaxone 2x1 ampul (iv), Paracetamol drip 3x1
(bila panas) (Selama di UGD)

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi

15
digunakan (literatur)
Loading dose 10-15
mg/kgBB

Dosis pemeliharaan :
1 IVFD D5% + Epilepsi 3ampul/8jam
3x1 100mg setiap 8
Fenitoin
jam. (prn)

(Medscape App)
2 x 1 ampul 2g setiap
12 jam untuk 7-14
2 Ceftriaxone Antibiotik 2x1 ampul (iv)
hari

(Medscape App)
Antipiretik 6x1 650 mg IV
setiap 4 jam

3 Paracetamol drip 3x1 Fl (Bila Panas) Tidak melebihi


4g/hari.

(Medscape App)

Drug Allergies:
Tidak ada alergi

Tanda-tanda Vital Tgl


Tekanan darah 110/70mmHg
Nadi 88x/menit
Suhu 38oC
RR 20x/menit
LABORATORY TEST
Test (normal range) Tgl Tgl
WBC (4000-10000/mm ) 3

Hb (L: 13-17 g/dL)


RBC (4-6x106/mm3)
Hct (L:40-54%)
PLT (150000-450000/mm3)
Gula darah puasa (76-110 mg/dL)
Gula darah 2 jam PP (90-130 mg/dL)

16
Cholesterol (150-250 mg/dL)
TG (50-200 mg/dl)
Uric acid (L:3,4-7 mg/dL)
Albumin (3,5-5,0 g/dL)
SGOT (0-35 u/L)
SGPT (0-37 u/L)
BUN (10-24 mg/dL)
Kreatinin (0,5-1,5 mg/dl)
Natrium (135-15 mEq/L)
Kalium (3,5-5,0 mEq/L)

17
17

No Further Information Required Alasan Jawaban


Apakah pasien memiliki riwayat Untuk mengetahui penyebab
1. Tidak ada
penggunan obat lain ? parkinson
Gejala yang dominan dirasakan Untuk menentukan terapi
2. tremor
pasien? farmakologi yang tepat
Apakah keluarga pasien memiliki
3. Untuk melihat faktor resiko Tidak ada
riwayat parkinson ?
Apakah pasien memiliki riwayat Untuk menentukan terapi
4. konstipasi
penyakit lain? farmakologi yang tepat
Apakah pasien sudah melakukan Untuk mengetahui
5. Tidak ada
pemeriksaan EEG? perburukan penyakit
Belum pernah
Apakah ada perubahan perbaikan Untuk menentukan terapi
6. menggunakan obat
setelah penggunaan obat? farmakologi yang tepat
parkinson
Untuk melihat gambaran
Apakah pasien sudah melakukan terjadinya atropi kortikal
7. Tidak ada
pemeriksaan CT-scan ? difus, dengan sulki melebar,
dan hidrosefalus eks vakuo.
Untuk mengetahui BMI
Berapakah tinggi dan berat badan
8. pasien dan untuk menentukan 70 kg/ 169 cm
pasien?
dosis terapi
Belum pernah
Untuk menentukan terapi
9. Berapa lama penggunaan obatnya ? menggunakan obat
farmakologi yang tepat
parkinson
Bagaimanakah tanda-tanda vital
Untuk mengetahui adanya
10 pasien? normal
gangguan fungsional

Apakah pasien sudah melakukan tes


Untuk mengetahui adanya
11 laboratorium? Tidak ada
gangguan fungsional

Untuk melihat factor resiko


Apakah pasien memiliki riwayat
12 dan pemebrian terapi Tidak ada
alergi?
farmakologi yang tepat
Untuk merencanakan terapi
13 Bagaimana Lifestyle Pasien ? unknown
non farmakologi
Untuk mengetahui stage
Parkinson stage berapakah yang di Skala hoehn and
14 Parkinson pasien, untuk
derita pasien? Yar stage 2
perencanaan terapi
Untuk mendeteksi hipotensi
15 Berapakah tekanan darah pasien ? normal
ortostatik.
18

Problem List (Actual Problem)


Medical Pharmaceutical
1. Epilepsi Status Epileptikus 1 IVFD D5% + Fenitoin
P1.2 Efek obat tidak optimal
2. Infeksi Intra Kranial 2 Ceftriaxone IV
Tidak Ada DRP
3. Antipiretik 3 Paracetamol Drip
Tidak Ada DRP
4. Epilepsi Tonik Klonik 4 P1.4 Ada indikasi yang tidak diterapi
P1.5 Ada Indikasi tetapi obat tidak
diresepkan
19

PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)
Pasien tiba-tiba kejang ± 15 menit, dengan tangan mengepal terguncang naik dan turun kaki
pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak mulut tidak berbusa,
lidah tidak tergigit, saat kejang pasien terjatuh pada tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala kanan terbentur bat, bibir luka besebar 1cm tepi tidak rata, kejang terjadi hingga 3kali
sekitar 15menit, selama pasien kejang tidak sadarkan diri.

Objective (signs)
 TD: 110/70mmHg
 HR: 88x/menit
 RR: 20x/menit
 Suhu: 38oC
 TB: 150cm
 BB: 70kg

Assesment (with evidence)


 Berdasarkan kasus Tn AR. yang mengalami kejang selama kurang lebih 15
menit tanpa adanya pemulihan kesadaran sehingga masuk dalam kejadian
status epilepticus. Status epilepticus merupakan kondisi darurat yang
memerlukan pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan
neurologic permanen ataupun kematian. Kejang pada pasien status
epilepticus umumnya terjadi selama 5 menit atau lebih atau kejadian kejang
2 kali atau lebih tanpa pemulihan kesadaran antara dua kejadian. (Theiman,
1998).
 FIR
Berdasarkan FIR pasien tidak memiliki eiwayat alergi obat
Berdasarkan FIR pasien tidak melakukan pemeriksaan EEG dan CT-Scan
Berdasarkan FIR pasien tidak mengkonsumsi alkohol dan merokok
Berdasarkan FIR tidak ada perubahan setelah penggunaan obat
Berdasarkan FIR BMI pasien normal
Berdasarkan FIR tanda-tanda vital pasien normal
20

 PROBLEM LIST (DRP)


PENYAKIT EPILEPSI (STATUS EPILEPTIKUS)
 Problem Medik :
Epilepsi Status Epileptikus
 Treatment :
Fenitoin 3 Ampul/8jam
 DRP
P1.2 Efek obat tidak optimal
 EBM
 EBM 1 “Comparison of Sodium Valprote and Phenytoin as Single Drug
Treatmet in Epilepsy”
 P = Pasien merupakan penderita kejang epilepsy, rentang usia 7 -55 tahun
(rata-rata 23 tahun)
 I = 2 kelompok (kelompok 1 terdiri dari 21 orang yang belum pernah
mengkonsumsi obat antiepilepsi. Dari 21 orang, 10 orang diberikan
phenytoin dan 11 orang diberikan sodium valproate. Kelompok 2 merupakan
pasien yang sudah menggunakan antikonvulsan lain tetapi yang terus
mengalami kejang. Dari 12 orang, 5 orang diberi fenitoin dan 7 orang diberi
sodium valproat, dan obat-obatan asli ditarik secara bertahap)
 C = Sodium Valprote vs Phenytoin pada pasien yang sudah diterapi
antikonvulsan dengan yang belum pernah diterapi antikonvulsan.
 O = Konsentrasi fenitoin serum menunjukkan korelasi yang sangat
signifikan.

 EBM 2 “A Comparison of Four Treatment For generalized Convulsive


Status Epilepticus”.
 P = Pasien dengan kejang umum status epilepticus secara acak ditugaskan
untuk menerima intravena pengobatan lorazepam. Fenobarbital, fenitoin dan
diazepam dengan usia lebih dari 18 tahun.
 I = Percobaan multicenter dari 4 rejimen intravena (Diazepam 0,15 mg/kg vs
Fenitoin 18mg/kg vs Lorazepam 0,1 mg/kg vs Fenobarbital 15mg/kg)
21

 C = Diazepam vs Fenitoin vs Lorazepam vs Fenobarbital


 O = Dalam kelompok ini, lorazepam berhasil di 64,9 persen dari ketiga obat
lain, fenobarbital di 58,2 persen, diazepam dan fenitoin di 55,8 persen, dan
fenitoin di 43,6 persen (P = 0,02 untuk perbandingan keseluruhan antara
empat kelompok). Lorazepam secara signifikan lebih unggul daripada
fenitoin dalam perbandingan berpasangan (P = 0,002).

 EBM 3 “A Comparison of Lorazepam and Diazepam as Initial Therapy in


Convulsive Status Epilepticus”.
 P = 72 pasien dengan penyakit Epilepsi status epileptikus
 I = 2 Group (Diazepam 10mg iv diulangi 3 kali vs Lorazepam 4mg iv
diulangi 2 kali )
 C = Diazepam 10mg iv vs Lorazepam 4mg iv
 O = Efektivitas, keamanan dan biaya. Sama-sama efektif dalam mengakhiri
kejang, tetapi kekambuhan kejang yang secara signifikan lebih sedikit
mengikuti lorazepam, dan lebih sedikit dosis berulang diperlukan. Tidak ada
perbedaan dalam melaporkan efek samping atau biaya obat.
Keterangan : Dimana lorazepam adalah benzodiazepine pertama yang
diberikan, keberhasilan pengobatan secara signifikan lebih kemungkinan
daripada untuk diazepam (9/17 dosis lorazepam vs 14/55 dosis diazepam; p =
0,042). Tidak ada perbedaan dalam kemungkinan salah satu obat
menghentikan kejang (11/17 lorazepam vs 41/55 diazepam), tetapi setelah
kontrol kejang awal, kekambuhan kejang dalam 12 jam berikutnya secara
signifikan lebih kecil kemungkinannya terjadi setelah lorazepam (2 / 11 vs.
31/45 diazepam; p = 0,005, Pearson's). Dua dosis benzodiazepin telah gagal
untuk mencapai kontrol di CSE (Convulsive Status Epilpticus), lorazepam
secara signifikan lebih mungkin untuk mencapai kontrol kejang.

INFEKSI INTRAKRANIAL
 Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
 Treatment :
Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)
22

 DRP
Tidak terdapat DRP
 EBM
 EBM “Comparison of the Curative Efficacy of intrathecal and Intreavenous
Injection of Cefriaxone and Vancomycin in the Treatment of Intracranial
Infection During the Perioperative Period”
 P = 80 pasien dengan infeksi intrakranial usia lebih dari 18 tahun
 I = 4 kelompok (kelompok 1 injeksi intratekal kelompok ceftriaxone (CT)
0,1g dilarutkan dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida, kelompok 2 injeksi
intravena kelompok ceftriaxone (CV) 2,0 g dilarutkan dalam 10ml larutan
0,9% natrium klorida, kelompok 3 injeksi intratekal kelompok vankomisin
(VT) 20,0 mg dilarutkan dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida,
kelompok 4 injeksi intravena kelompok vankomisin (VV) 1,0 g dilarutkan
dalam 10ml larutan 0,9% natrium klorida) dengan 20 pasien di setiap
kelompok.
 C = Efektivitas, gagal terapi, dan kualitas (Injeksi intratekal ceftriaxone vs
injeksi intravena ceftriaxone vs injeksi intratekal vankomisin vs 4 injeksi
intravena vankomisin)
 O = Ceftriaxone pemberian secara intrathecal memiliki efektivitas 95% lebih
baik dibandingkan dengan vankomisin intrathecal 90%, ceftriaxone intravena
40% dan vankomisin intravena 35%. Dalam kelompok ini, lorazepam
berhasil di 64,9 persen dari mereka yang ditugaskan untuk menerimanya,
fenobarbital di 58,2 persen, diazepam dan fenitoin di 55,8 persen, dan
fenitoin di 43,6 persen (P = 0,02 untuk perbandingan keseluruhan antara
empat kelompok).
Result: pemberian ceftriaxone secara intrathecal memiliki efektivitas lebih
baik bila diberikan secara intravena, menurunkan kejadian gagal terapi serta
kulaitas obat yang baik (Wang, 2017).

ANTIPIRETIK
 Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
 Treatment :
23

Paracetamol drip (3x1 bila panas)


 DRP
Tidak terdapat DRP
 EBM
 EBM 1“Efficacy and Safety of Ibuprofen and Acetaminophen in Children
and Adults: a meta-analysis and Qualitative Review”
 P = 149 pasien demam dan nyeri (dewasa umur 18 tahun keatas 64 pasien
dan anak-anak dibawah 18 tahun sebanyak 85 pasien)
 I = Ibuprofen untuk dewasa 600mg (nyeri dan demam) untuk anak 5mg/kg
sampai 20mg/kg (nyeri dan demam). Paracetamol untuk dewasa 500 sampai
1300mg (nyeri dan demam) untuk anak 10mg/kg sampai 40mg/kg (nyeri dan
demam)
 C = Ibu profen vs paracetamol
 O = Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari pemakaian kedua obat
dan jika dilihat dari efek sampingnya, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dari paracetamol dan ibuprofen

 EBM
 EBM 2 “Acetaminophen Inhibits Status Epilepticus in Cultured
Hippocampal Neurons”
Keterangan EBM :
Menurut sebuah penelitian dalam jurnal NCBI statut epilepticus (SE)
merupakan gangguan neurologis utama sehingga pasien mengalami epilepsy
dan deficit kognitif. Dalam model eksperimental cannabinoid dapat
menghentikan kejang. Dimana, paracetamol diuji melalui konversi menjadi
AM404 dan peningkatan dalam kadar endocannabinoid yang dapat
memblokir aktivitas pada SE. paparan neuron hipokampus yang dikultur ke
medium Mg2+ rendah, memunculkan frekuensi tinggi melebihi 3 Hz.
Penerapan bersama antagonis reseptor CB1 SR 141716A memblokir efek
penghambatan acetaminophen pada SE yang menunjukkan bahwa
acetaminophen dapat memediasi efek antikonvulsan melalui reseptor CB1.
(Laxmikant, 2011)
24

EPILEPSI TONIC-CLONIK
 Problem Medik :
Epilepsi bangkitan umum tonik klonik
 Treatment :
-
 DRP
P1.4 Ada indikasi yang tidak diterapi
P1.5 Ada Indikasi tetapi obat tidak diresepkan
 EBM 1“Lamotrigine Versus Valproic Acid Monotrherapy for Generalized
Epilepsy : A Meta-analysis of Comparative Studies”
 P = 1732 pasien epilepsy yang diambil secara acak
 I = 2 Group (Asam valproate vs Lamotrigine)
 C = Asam valproate vs Lamotrigine
 O = Bebas kejang, efek samping, efek obat setelah dihentikan 
(Penyembuhan VPA lebih unggul dari LTG (atau 3.51; 95% CI 2,68 sampai
4,59, p <0,01), efek samping tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kelompok VPA dan LTG (atau = 1.11; 95% CI = 0,61-2.01; p = 0,73),
penggunaan obat asam valproate dapat mengurangi efek samping serta
kejadian kejang berulang setelah obat dihentikan) (Tang, 2017)

 EBM 2“Valproic Acid Versus Lamotrigine as Firs-Line Monotherapy in


Newly Diagnosed Idiopathic Generalized Tonic-Clonic Seizures in Adults –
A Randomized Control Trial”
 P = 60 pasien epilepsy tonik klonik usia 18 hingga 70 tahun
 I = 2 Group (Asam valproate vs Lamotrigine)
 C = Asam valproate vs Lamotrigine
 O = efektifitas dan keamanan (asam valproate memiliki efek samping lebih
sedikit dibandingkan dengan lamotrigine. Efektivitas setelah mendapatkan
terapi antiepilepsi valproic acid memberikan efektivitas yang lebih signifikan
baik 3-12 bulan setelah terapi)
Keterangan : Terjadi perbedaan signifikan. Pada kelompok valproate,s
etelah tiga bulan pengobatan, (53,33%) pasien menggunakan asam valproic
25

dan(26,67%) pasien yang memakai kelompok lamotrigin adalah bebas


kejang. Pada enam bulan, kebebasan kejang diamati (63,33%) pasien yang
menggunakan asam valproic dan (46,67%) pasien yang memakai lamotrigin.
Pada pengamatan terakhir setelah 12 bulan tindak lanjut, (76,67%) pasien
yang menggunakan asam valproic da (56,67%) pasien yang memakai
lamotrigin adalah bebas kejang. Perbedaan ini statis secara signifikan (p
<0,03). Dalam kelompok asam valproic, frekuensi kejang rata pada awal
adalah 5,17 per bulan dan setelah 12 bulan pengobatannya turun menjadi
1,70 per bulan. Pada pasien kelompok Lamotrigine, rata-rata frekuensi pada
awal adalah 4,93 per bulan dan setelah 12 bulan pengobatannya turun
menjadi 2,43 per bulan. Analisis statistik mengungkapkan perbedaan
signifikan (p <0,001. Efek samping dicatat (30,00%) pasien kelompok asam
valproic dan (56,66%) pada pasien kelompok lamotrigin. (Giri, 2016).

Plan (including primary care implications)


TERAPI FARMAKOLOGI
 Problem Medik :
Epilepsi Status Epileptikus
 Plan :

Berdasarkan guideline CCSAP 2017 “status epileptikus” Gambar 1-1.


Algoritma yang diusulkan untuk mengobati status epilepticus sesuai dengan
bukti yang tersedia. Lorazepam adalah obat pilihan untuk terapi awal, diikuti
oleh obat antiepilepsi seperti fenitoin, valproat, atau levetiracetam. Terapi
tambahan mungkin tergantung pada kebutuhan pasien untuk intubasi dan
faktor spesifik pasien lainnya. Pada guideline ini dikatakan bahwa
benzodiazepine adalah standar perawatan untuk darurat status epilepticus.
26

Pada pasien rawat inap dengan status epilepticus, lorazepam intravena adalah
obat pilihan untuk terapi darurat awal. Dalam uji klinis orang dewasa dengan
status epileptikus di rumah sakit, lorazepam intravena lebih unggul daripada
fenitoin intravena Dalam studi status epileptikus di luar rumah sakit,
intravenous lorazepam memiliki tingkat respons yang sedikit lebih baik
(didefinisikan sebagai penghentian kejang) daripada diazepam intravena.
Pada kasus ini pemberian phenytoin tidak optimal (P1.2 Efek obat tidak
optimal) sehingga kami memilihkan pemberian terapi lorazepam. Pemilihan
ini berdasarkan atas evidence pada assessment. Pasien juga diberikan
elektrolit, diamana sudah tepat diberikan dextrose 5%, karena pasien yang
mengalami demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan glukosa (Erwika, 2014). Dosis Lorazepam yang diberikan adalah
4mg/ dosis lambat pada 2mg/menit, jika kejang berlanjut setelah 5-10 menit
berikan 4mg iv + IVFD D5%.

 Problem Medik :
Infeksi Intrakranial
 Plan :
Berdasarkan jurnal “Comparison of the Curative Efficacy of intrathecal and
Intreavenous Injection of Cefriaxone and Vancomycin in the Treatment of
Intracranial Infection During the Perioperative Period” pemberian
ceftriaxone secara intrathecal memiliki efektivitas lebih baik bila diberikan
secara intravena, menurunkan kejadian gagal terapi serta kualitas obat yang
baik dari pada vankomisin. Ceftriaxone adalah salah satu obat golongan
sefalosporin generasi ketiga yang paling umum digunakan karena antibiotik
dengan spectrum luas dan dapat menembus sawar darah otak sehingga
ceftriaxone ini tepat untuk mengobati infeksi sistem saraf pusat termasuk
infeksi intrakarnial (Santos L.N. 2014). Pada kasus ini pemberian ceftriaxone
sudah tepat sehingga kami tetap melanjutkan pemberian terapi dengan dosis
ceftriaxone yang digunakan adalah 2 gram iv 2 kali sehari (tiap 12jam)
selama 7 hari.
27

 Problem Medik :
Antipiretik
 Plan :
Terjadinya infeksi intracranial biasanya diikuti dengan suhu tubuh yang
tinggi serta adanya rasa nyeri, maka diberikan antipiretik jika diperlukan.
Berdasarkan jurnal “Efficacy and Safety of Ibuprofen and Acetaminophen in
Children and Adults: a meta-analysis and Qualitative Review” pemberian
paracetamol vs ibuprofen sama-sama efektif dalam mengobati demam dan
nyeri dan tidak perbedaan yang signifikan. Pada kasus ini Paracetamol tetap
diberikan sebagai penurun demamnya. Digunakannya paracetamol karena
jika dilihat dari segi farmakoekonomi, paracetamol memiliki harga yang
lebih murah jika dibandingkan dengan ibuprofen dan memiliki efek yang
sama (cost effectiveness) sehingga paracetamol lebih disarankan untuk
diberikan pada pasien penderita demam (Walsh, 2006). Dosis yang diberikan
yaitu 6x1 650 mg Drip setiap 4 jam jika pasien mengalami demam, maksimal
dosis yang dapat diberikan yaitu 4g/hari.

 Problem Medik :
Epilepsi bangkitan umum tonik klonik
 Plan :
Tujuan untuk kondisi epilepsi pasien, tujuan terapinya yaitu menghindari
terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal (yang dapat
ditoleransi). Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada
manajemen epilepsi. Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada
pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan
risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Pemberian terapi pada pasien saat di ruangan di ganti dengan menggunakan
asam valproate. Penggantian obat anti epilepsi (OAE) dilakukan secara
bertahap. OAE baru dimulai pada dosis efektif minimal ditingkatkan secara
bertahap, kemudian OAE lama diturunkan juga secara bertahap. Penggantian
bentuk sediaan harus dilakukan secara bertahap dengan cara meningkatkan
total dosis sehari sediaan biasa ke dosis berikutnya yang lebih tinggi sebelum
konversi ke total dosis sehari sediaan lepas lambat yang sesuai. Monitor
28

kejadian efek samping secara ketat pada pasien yang menerima dosis
mendekati maksimal. Dosis yang direkomendasikan: Dewasa 15-45 mg/kg
BB/hari.

TERAPI NON-FARMAKOLOGI
 Diet yang disarankan yaitu diet ketogenik, pemberian nutrisi ketogenik akan
terjadi proses pembentukan ketone yang juga telah menjadi salah satu
alternatif pengobatan pasien epilepsi. Dokter spesialis anak dari Universitas
Johns Hopkins mengeluarkan teori bahwa keadaan kelaparan (starvation)
dapat meningkatkan pembentukan ketone dalam sirkulasi yang disebut
dengan ketosis. Proses ini memberikan efek antiepileptic alami dalam tubuh.
Mempertahankan ketosis tanpa keadaan kelaparan dapat dicapai dengan
pemberian asupan nutrisi tinggi lemak serta rendah karbohidrat dan protein.
Rekomendasi distribusi kalori untuk nutrisi ketonik yaitu lemak : KH 4 : 1
dan lemak memberikan distribusi kalori sebesar 90% kalori dari total seluruh
kalori (Dipiro, 2009).

MONITORING
Efektivitas
 Dilakukan pemantauan dengan melihat kekambuhan gejala atau frekuensi
timbulnya gejala setelah penggunaan obat. Sehingga outcome dapat
dilakukan dengan cara memantau efektivitas pengobatan.
 Lihat jumlah leukosit apakah sudah dalam batas normal atau masih terjadi
peningkatan leukosit, Karena penyebab dari infeksi intrakarnial ini adalah
bakteri ataupun virus jadi pada data labortorium dapat di periksa kembali
apakah masih ada bakteri atau virus yang menyebabkan infeksi tersebut
setelah pemberian terapi.

Efek Samping Obat


 Lorazepam: sedative, dizziness, fatigue (Medscape.com)
 Ceftriaxone: eosinophilia, thrombocytosis, nyeri(Medscape.com)
 Paracetamol : Mual muntah, sakit kepala, insomnia (Medscape.com)
 Asam valproate: mual, sakit kepala, tremor (Medscape.com)
29

Anda mungkin juga menyukai