OLEH
KELOMPOK 1
A1-D
Prana Dika Ardiyanto (161200092)
Putri Dalem Nuning Stiti (161200093)
Putu Agus Andi Dharma (161200094)
Putu Ita Yuliana Wijayanti (161200095)
Putu Ryan Mahardika (161200096)
Sang Ayu Nyoman Wahyu Astika Dewi (161200097)
JURUSAN S1 FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2017
PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
a. Mengetahu definisi infeksi (pneumonia)
b. Mengetahui patogenesis dan patologi infeksi (pneumonia)
c. Mengetahui klasifikasi pneumonia
d. Mengetahui tatalaksana penyakit pneumonia (farmakologi dan non farmakologi)
e. Dapat menyelesaikan kasus terkait infeksi (pneumonia) secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP
Tabel 2. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP untuk semua
derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen
MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim,
pathogen pada Tabel 1 seftasidim, sefpirom)
Pseudomonas aeruginosa Atau
Klebsiella pneumonia Karbapenem antipseudomonal
(ESBL) (Meropenem, imipenem)
Acinetobacter sp Atau
β-laktam penghambat β lactamase
(Piperasilin-tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Methicillin resisten Aminoglikosida ( Amikasin, gentamisin
Staphylococcus aureus atau tobramisin)
(MRSA) ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin
Tabel 3. Dosis antibiotic intravena awal secara empiric untuk HAP dan VAP pada
pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
- Sefepim 1-2 gr setiap 8-12 jam
- Seftasidim 2 gr setiap 8 jam
- Sefpirom 1 gr setiap 8 jam
Karbapenem
- Meropenem 1 gr setiap 8 jam
- Imipenem 500 mg setiap 6 jam, 1 gr setiap 8 jam
Tidak Ya
Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotic empiric yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya
bukan P. aeruginosa dan respon klinis pasien baik serta terjad resolusi gambaran klinis
dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila
penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari.
Respons Terapi
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi.Respons
klinis terlihat setelah 48-72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah
jenis antibiotic dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.
Rawat inap:
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.
EVALUASI PENGOBATAN
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kembali didiagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat
yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya seperti dapat dilihat pada gambar 1.
IV. KASUS
Pasien NN didiagnosa dengan pneumonia CAP, asma bronchial sedang (MRS 11 januari
2017).Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu.Pasien mengeluh sesak sejak kemarin,
demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit dirasakan menetap, sudah diberikan
nebul vemtolin di rumah tidak membaik.Apsien batuk, mual dan muntah 1x.ketika MRS,
TD:120/70, Temp: 36,3 celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18 x/minute, saturasi O2 : 98%.
Kultur sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan henatologi adalah sebagai
berikut.
Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP quantitstive:
47,16 ; Kalium: 3,27
Blood gas:
- pH : 7,298
- PO2 : 49,1
- SO2 : 87
- T CO2 : 25
Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut
- Infus odana 1 amp + ns 500 ml/ 8 jam
- Infus aminophyllin 240 mg inj dalam ns 500/8 jam
- ns 3% 3x5 ml for nebul (stop tgl 14 jan)
- paracetamol inj 3 x 500 mg
- codein 10 mg tab 3 x 1 (stop tgl 14 jan)
- acetlysisteine 200 mg tab tab 3 x 1
- asam tranexamat 500 mg inj 3 x 1
- levofloxacin inj 1 x 750 mg
- cefoperazone inj 2 x 1 gram
- combivent reps setiap 4 jam 1 reps
- flixotide reps 3 x 1 rep
- methylprednisolon inj 3 x 625 mg
- sulcrafat syr 3 x 15 ml
- omeprazole 40 mg inj 2 x 40 mg
- acitral syr 3 x 15 ml
V. HASIL PRAKTIKUM
1. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE
Tn. NN
Presenting Complaint
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafassejak kemrin, demam, batuk, mual dan
muntah.
Drug Allergies:
Tidak Ada
Tanda-tanda Vital 11-1-2017
Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi (x / menit) 120
Suhu (oC) 36.3
RR ( x / menit) 18
Saturasi O2 (%) 98
Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
10 mg setiap hari
dengan SC / IM
1 amp + ns 500 inj. Sebagai alternatif,
1 Infus adona+ ns Anti hemorrange
ml/8 jam 25-100 mg per hari
dengan infus IV atau
infus tetes.
Infus aminophyllin 240 mg inj dalam
2 Asma 6-7 mg/kg IV
dalam ns ns 500 ml/8 jam
3 ns 3% Elektrolit 3 x 5 ml for nebul Dosis Individual
1,25 mg/kg IV setiap 4
4 Paracetamol inj Analgetik 3 x 500 mg
x sehari
15-30 mg 3-4 kali
5 Codein tab Antitusive 10 mg tab 3 x 1
sehari.
600 mg PO q12hr
6 Acetlysisteine tab Mukolitik 200 mg tab 3 x 1
selama 2 hari
Asam tranexamat 1-1,5 g atau 15-25 mg /
7 Anti hemorrage 500 mg inj 3 x 1
tab kg
500 mg PO / IV sekali
sehari selama 7-14 hari
8 Levofloxacin inj Antibiotik 1 x 750 mg atau 750 mg PO / IV
sekali sehari selama 5
hari
2-4 g setiap hari dalam
2 dosis terbagi,
9 Cefoperazone inj Antibiotik 2 x 1 gram
meningkat menjadi 12
g setiap hari
setiap 4 jam 1
10 Combivent reps Asma 3 ml tiap 6 jam
resp
11 Flixotide reps Asma 3 x 1 reps 500-2000 mcg2x sehari
Methylprednisolon 30mg IV tiap 12 jam
12 Anti Inflamasi 3 x 625 mg
inj selama 5 hari
1 g PO q6hr
13 Sulcrafat syr Gastritis 3 x 15 ml awalnya; pemeliharaan:
1 g PO q12hr
14 Omeprazole 40 mg Gastritis 2 x 40 mg 20 mg PO qDay selama
inj 4-8 minggu
15 Acitral syr Gastritis 3 x 15 ml 3 x 15 ml
Laboratory Test
Hematologi Test:
Pemeriksaan Lainnya:
- Kultur sputum: Streptococcus viridran (bakteri gram positif)
Subjective (symptom)
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafas sejak kemrin, demam, batuk, mual dan
muntah.
- Objective (signs)
Laboratory Test
1. C1.3 Ada obat tanpa indikasi (Asam tranexamat inj, Codein tab, Infus adona,
Sulcrafat syr, methylprednisolone inj, nebul ns 3%)
2. C1.5 ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai (Omeprazole inj – Acitral syr)
Obat tanpa DRP: infus aminophylline, Paracetamol inj, Acetylcystein tab. Levofloksasin inj,
cefoperazone inj, combivent resp, flixotide resp, acitral syr.
SKOR PORT
Faktor demografi (laki-laki 30 th) 0
Perawatan di Rumah Tidak ada 0
Komorbid Tidak Ada 0
Pemeriksaan Fisik Perubahan status mental 0
Pernafasan >30x/menit 0
Suhu tubuh 0
Nadi >125 x menit 0
Hasil Lab/Radiologi Gas darah (pH 7,35) +30
BUN 0
Na +20
Glukosa 0
HCT 0
PO 0
Efusi Pleura 0
Total +50
Skor PORT +50 (resiko rendah kelas I) rekomendasi rawat jalan
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Dan pasien dalam kasus ini memiliki criteria seperti diatas
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan penyelesaian kasus terkait penyakit Pneumonia.
Pada kasus ini, dilakukan penyelesaian menggunakan metode SOAP. Adapun pasien dari
kasus ini adalah Tn. NN, masuk rumah sakit pada tanggal 11 januari 2017 dan didiagnosa
Pneumonia CAP serta asma bronchial sedang. Pasien mengeluh sesak nafas sejak kemarin,
mual, batuk, mundah, dan demam, serta asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu. Tanda
objektif yang ditunjukkan seperti tekanan darah 120/70 mmHg, suhu tubuh 36,3˚C, HR
120x/minute, RR 18x/minute, saturasi O2 98%. Hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut: Leukosit 290; Hb 12,7; Chloride 103; CPR quantitative 47,16. Pemeriksaan gas
darah sebagai berikut: pH 7,298; P O2 60,1; P CO2 49,1; SO2 87; T CO2 25. Dari
perhitungan BMI diaptkan nilai BMI pasien sebsar 25,39, dengan berat badan 65kg dan TB :
166cm yang artinya pasien berada direntang pre-overweight. Berdasarkan masalah kesehatan
yang dialami Tn. NN, dilakukan assesment sehingga dapat diketahui bahwa terkait terapi
pengobatan yang kemudian disesuaikan dengan penyakit yang dialami pasien terdapat
beberapa masalah sebagai berikut: DRP. C-1.3 (ada obat tetapi tidak ada indikasi) antaralain
asam tranexamat inj yang digunakan untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan, tetapi
pasien tidak mengalami pendarahan sehingga asam tranexamat termasuk ke dalam DRP.
Infus adona yang digunakan juga untuk perdarahan, tetapi pasien tidak mengalami
pendarahan sehingga infus adona termasuk ke dalam DRP. Sulcrafat sirup untuk tukak
lambung, tetapi pasien tidak mengalami tukak lambung sehingga Sulcrafat syr termasuk ke
dalam DRP. Terdapat pula C-1.5 (ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai). Pada hal
duplikasi yang terjadi yaitu Omeprazole inj dengan acitral syr, kedua jenis obat tersebut
memiliki indikasi yang sama yaitu untuk mual, namun pasien telah mendapat obat acitral syr
terlebih dahulu sehingga pemberian omeprazole dihentikan.
Planning yang diberikan adalah terapi farmakologi dan non-farmakologi, tujuan
penatalaksanaan terapi yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi farmakologi
yang diberikan pada saat pasien berada di UGD yaitu diberikan obat bronkospasme yaitu
infus aminophylin dengan dosis 5-7 mg/KgBB. Penggunaan klinik bronkhodilator pada
infeksi pernapasan bawah adalah pada kasus bronkhitis kronik yang disertai obstruksi
pernapasan. Agen yang dapat digunakan yaitu metilxantine atau derivat metilxantine meliputi
teofilin dan derivatnya seperti aminofilin merupakan bronchodilator yang baik.
Terapi akibat infeksi bakteri gram positif diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone
inj dengan levofloxacin inj 750 mg/hari IV selama 1 hari. Penggunaan golongan quinolon
yang merupakan antimikrobial dengan memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi
infeksi. Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat
DNA-gyrase. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas
yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang, dengan spektrum aktivitas yang lebih luas
untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosocomial, hal ini yang
memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen
lain. Dalam kasus ini kombinasi dengan cefoperazon inj adalah karena mekanisme kerja
golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein
binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel
bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri. Jadi kombinasi kedua jenis
antibiotic ini dapat saling menguntungkan dalam penurunan jumlah koloni bakteri yang
menginfeksi(DEPKES RI, 2005).
Pada kasus ini diberikan pertolongan pertama pada penyakit pneumonia. Sehingga,
diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone inj dengan levofloxacin terlebih dahulu selama
3 hari, kemudian setelah 3 hari diganti dengan memberikan antibiotic tunggal golongan
sefalosporin yaitu cefixime 200 mg diminum 2 kali sehari 1 tablet selama 11 hari.
Selain itu, pasien juga mendapatkan mukolitik sebagai pengencer dahak agar mudah
diekspektorasi. Obat batuk diberikan acetylsisteine 200mg 3x1 tablet. Mekanisme kerja
mukolitik adalah dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga
menurunkan viskositas mucus (DEPKES RI, 2005).
Untuk mual muntah diberikan acitral syr 3x15 mL sebelum makan (bila perlu), untuk
bakteri gram positifnya diberikan levofloxacin inj dan cefoperazone inj 750 mg/hari IV
selama 2 hari (maintenance : diberikan dosis tunggal antibiotik cefixime dosis 2x200 mg PO
selama 11 hari). Dan yang terakhir untuk gangguan saluran nafas yang disebabkan karena
pemberian levofloxacin sehingga diberikan obat dengan dosis kombinasi yaitu flixotide 2x1
resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Mekanisme kerja combivent reps yaitu untuk menghambat reflex diperantai vagital
oleh aksi asetilkolin antagonis, mencegah peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang
disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos (medsacpe).
Sedangkan mekanisme kerja flixotide resp tidak diketahui dengan tepat tetapi, agen telah
terbukti menunjukkan efek antiinflamasi pada neutrofil, eosinofil, makrofag, sel mast,
limfosit, dan mediator (medscape). Karena terdapat mekanisme yang berbeda sehingga,
diberikan kombinasi untuk asma dengan memberikan kombinasi flixotide 2x1 resp dan
combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Sebagai terapi tambahan untuk mencegah eksaserbasi yaitu diberikan vaksinasi.
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) diberikan kepada pasien karena pasien
merupakan golongan geriatri. Vaksinasi awal dilakukan saat pasien melakukan kontrol post
terapi rawat inap dengan keadaan pasien yang sembuh dan sehat. Vaksin diberikan ulang
dalam rekomendasi setelah > 2 tahun dari pemberian awal. Efek samping vaksinasi yang
terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3,
sehingga perlu monitoring terhadap hal tersebut(DEPKES RI, 2005).
VII. KESIMPULAN
Dari praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah inflamasi dan
konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit).
Pathogenesis dan patologi infeksi (Pneumonia)yaitu infeksi paru-paru dengan virus menekan
aktivitas antibakteri paru-paru dengan mengganggu fungsi makrofag alveolar dan
membersihkan mukosiliar, sehingga membuat tahap untuk pneumonia bakteri sekunder.
Transportasi mukosiliar juga tertekan oleh etanol dan narkotika dan oleh penyumbatan
bronkus oleh lender, tumor, atau kompresi ekstrinsik. Klasifikasi pneumonia berdasarkan
penyebabnya dibagi menjadi 2 yaitu pneumonia bacterial dan pneumonia non bacterial
sedangkan berdasarkan klinis dan epidemiologisnya dibagi menjadi 4 yaitu pneumonia
komuniti (CAP), pneumonia nosocomial (HAP), pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada
penderita immunocompromised.
Aberg, J.A., Alvares, W., Armstrong, L., et al. 2007. Drug Information Handbook, 17th edition.
Lexi-Comp Inc.
Almirall, J., et al., 2010. Inhaled drugs as risk factors for community-acquired pneumonia. European
Respiratory Journal 2010 36: 1080-1087. Avaiable at:
http://erj.ersjournals.com/content/36/5/1080.short “diakses 5 Desember 2017”
Cyriac JM, James E. 2014. Switch over from intravenous to oral therapy: A concise overview.
JournalPharmacology Pharmacotherapy. Volume: 5(2). Page: 83-7. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24799810
DEPKES RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI
PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPA
Dhar, R., 2012. Pneumonia : Review of Guidelines. Supplement To Japi, January 2012, Vol. 60.
Avaiable at : http://www.japi.org/january_special_2012/08_pneumonia_review_of.pdf
“diakses 5 Desember 2017”
Dublin Sascha, Walker Rod, Michael L. Jackson, Jeniffer C. Nelson, Noel Weiss, Michael Von
Korff, Lisa Jackson. 2011. Use of Opioids or Benzodiazepines and Risk of Pneumonia in
Older Adults: A Population-Based Case-Control Study. Journal American Geriatri
Sosciology. Volume 59(10). Page: 1899-1907. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3223721/
Filion, K.B., 2016. Proton Pump Inhibitors And Community Acquired Pneumonia. BMJ 2016;
355: i6041. Canada. Avaiable at : http://www.bmj.com/content/355/bmj.i6041 “diakses 5
Desember 2017”
Fohl Alexander, Regal Randolph. 2011. Proton pump inhibitor-associated pneumonia: Not a
breath of fresh air after all?. World Journal Gastrointestinal pharmacology Therapy. Volume
2(3). Page: 17-26. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3124633/
Ishiguro,T., et al. 2013. Etiology and Factors Contributing to the Severity and Mortality of
Community-acquired Pneumonia. Intern Med 52: 317-324, 2013. Japan : Saitama
Cardiovascular and Respiratory Center. Avaiable at:
https://www.jstage.jst.go.jp/article/internalmedicine/52/3/52_52.8830/_pdf/-char/ja “diakses
5 Desember 2017”
Lutfiya, M.N., Henley, E., Chang, L.F., 2006. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired
Pneumonia. American Family Physician, Volume 73, Number 3, February 1, 2006. Illinois:
University of Illinois College of Medicine. Avaiable at:
http://geriatrics.uthscsa.edu/reading%20resources/DiagnosisTreatmentCAP.pdf “diakses 5
Desember 2017”
Mandel, L.A., et al. 2007. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society
Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72. Infectious Diseases Society of America
Moayyedi P, Soo S, Deeks J, Forman D, Harris A, Innes M, Delaney B. 2003. Systematic review:
Antacids, H2-receptor antagonists, prokinetics, bismuth and sucralfate therapy for non-
ulcer dyspepsia. Alinment Pharmacologi Therapy. Volume 17(10). Page: 1215-27.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12755835
Nagy B, Gaspar I, Papp A, Bene Z, Nagy B Jr, Voko Z, Balla G. 2013. Efficacy of
methylprednisolone in children with severe community acquired pneumonia. Pediatric
Pulmonology. Volume 48(2). Page: 168-75. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22588852
Niederman, M.S., et al. 2012. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine, Vol 171. pp 388–416, 2005. Avaiable at:
https://www.thoracic.org/statements/resources/mtpi/guide1-29.pdf “diakses 5 Desember
2017”
Pei Zhang, HeJinshan, Fang Yongchao, Chen Pengtao, Liang Yuan, Wang Jingcheng. 2017.
Efficacy and safety of intravenous tranexamic acid administration in patients undergoing
hip fracture surgery for hemostasis: A meta-analysis. Medicine. Volume 96. Issue 21.
Available at: http://journals.lww.com/md-
journal/fulltext/2017/05260/Efficacy_and_safety_of_intravenous_tranexamic_acid.25.aspx
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta. Avaiable at :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf “diakses 6
November 2017”
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta. Avaiable at :
http://pulmonologi.usu.ac.id/images/PDF/Guideline_Pneumonia_Nosokomial_PDPI.pdf
“diakses 6 November 2017”
Shah, B.A., et al. 2010. Validity of Pneumonia Severity Index and CURB-65 Severity Scoring
Systems in Community Acquired Pneumonia in an Indian Setting. The Indian Journal of
Chest Diseases & Allied Sciences, 2010, Vol.52. India: Mamata Medical College. Avaiable
at : http://medind.nic.in/iae/t10/i1/iaet10i1p9.pdf “diakses 5 Desember 2017”
SUN Hua-Jun HUANG Lei. 2010. Review of Safety and Effectiveness of Carbazochrome Tablets
and Injection. Chinese Journal of Pharmacovigillance. Volume 11. Available at:
http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-YWJJ201011017.htm
Watkins, R.R dan Lemonovich, T.L. 2011. Diagnosis and Management of Community-Acquired
Pneumonia in Adults. American Family Physician, Volume 83, Number 11, June 1, 2011. American
Academy of Family Physicians
Xiong S, Xu Y, Xu S, Liu J, Liu H, Zhao J, Xiong W. 2006. Efficacy and safety of intravenous
moxifloxacin versus cefoperazone with azithromycin in the treatment of community acquired
pneumonia. Journal Huazhong University Science Technology Medical Science. Volume
16(4). Page 42. Availbale at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17120738