Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)

OLEH
KELOMPOK 1
A1-D
Prana Dika Ardiyanto (161200092)
Putri Dalem Nuning Stiti (161200093)
Putu Agus Andi Dharma (161200094)
Putu Ita Yuliana Wijayanti (161200095)
Putu Ryan Mahardika (161200096)
Sang Ayu Nyoman Wahyu Astika Dewi (161200097)

JURUSAN S1 FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2017
PENYAKIT INFEKSI (PNEUMONIA)
I. TUJUAN PRAKTIKUM
a. Mengetahu definisi infeksi (pneumonia)
b. Mengetahui patogenesis dan patologi infeksi (pneumonia)
c. Mengetahui klasifikasi pneumonia
d. Mengetahui tatalaksana penyakit pneumonia (farmakologi dan non farmakologi)
e. Dapat menyelesaikan kasus terkait infeksi (pneumonia) secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Pneumonia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan pneumonia sebagai
inflamasi dan konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, dan parasit).Pneumonia yang disebabkan Myobacterium tuberculosis tidak
termasuk, sedangkan peradangan paru disebabkan nonmikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bakan toksik, dan obat-obatan) disebut Pneumonitis (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2014).
2.2 Patogenesis dan Patologi Pneumonia
Mikroorganise mendapatkan akses ke saluran pernafasan bawah dengan tiga rute.
Organisme tersebut mungkin dihirup sebagai partikel aerosol, atau masuk ke paru-paru
melalui aliran darah dari tempat infeksi ekstrapulmoner.Namun, aspirasi konten
diorofaringeal, kejadian umum pada orang sehat dan sakit selama tidur, adalah
mekanisme utama dimana patogen paru mendapatkan akses ke saluran udara dan alveoli
yang normal steril.Ketika mekanisme pertahanan paru berfungsi optimal,
mikroorganisme yang disedot dibersihkan dari daerah sebelum infeksi dapat
terbentuk.Namun.aspirasi patogen potensial dari orofaring dapat menyebabkan
pneumonia jika pertahanan paru terganggu. Faktor yang mempromosikan aspirasi,
seperti sensorium yang berubah dan penyakit neuromuscular, dapat menyebabkan
peningkatan ukuran inoculum yang dikirim ke saluran pernapasan bagian bawah,
sehingga mekanisme pertahanan local yang luar biasa.Infeksi paru-paru dengan virus
menekan aktivitas antibakteri paru-paru dengan mengganggu fungsi makrofag alveolar
dan membersihkan mukosiliar, sehingga membuat tahap untuk pneumonia bakteri
sekunder.Transportasi mukosiliar juga tertekan oleh etanol dan narkotika dan oleh
penyumbatan bronkus oleh lender, tumor, atau kompresi ekstrinsik.Semua faktor ini
dapat sangat mengganggu pembersihan paru untuk bakteri yang diaspirasi.
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme diparu.Keadaan
ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganime dapat berkembang biak dan menimbulkan
penyakit. Resiko infeksi diparu sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
salurannapas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebaagian besar infeksi paru.Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum
alkohol dan oemakai obat (drug abuse).Sekresi orofaring mengandung konsentrasi
bakteri yang tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1ml)
dapat memberikan titer inoculum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan
disaluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemuukan
jenis mikroorganisme yang sama.
Patogen yang paling menonjol yang menyebakan Community-Acquired
Pneumonia (CAP) pada orang dewasa yang sehat adalah S. pneumoniae
(pneumococcus) dan mencakup hingga 75% dari semua kasus akut.Patogen umum
lainnya termasuk M. pneumonia, Legionella, C. pneumonia, H.influenzae, dan
berbagai virus termasuk influenza. 41,42 Community-Acquired Pneumonia yang
disebabkan oleh Staphylococcus aerus dan bakteri batang gram negative diamati
terutama pada geriatric, terutama mereka yang berada dipanti jompo, dan berkaitan
dengan alkoholisme dan kondisi yang melemahkan lainnya. Istilah atipikal dapat
digunakan pada pneumonia untuk menunjukkan bahwa pneumonia dapat disebabkan
oleh patogen atipikal.Meskipun terminologi yang lebih tua ini perlahan memudar,
atipikal pneumonia atau patogen atipikal mengacu pada pneumonia (misalnya
Pneumonia bilateral lobar dengan pewarnaan Gram negative sputum) yang
disebabkan oleh M. pneumonia, C.pneumonia, atau Legionella.
Bakteri basil aerob gram negative dan S. aureus adalah agen penyebab utama
hospital-acquired pneumonia.Bakteri anaerob adalah agen etiologi paling umum
dalam pneumonia yang mengikuti gross aspiration dari konten lambung atau
orofaring. Pneumonia pada infant dan anak-anak disebabkan oleh mikroorganisme
yang lebih luas, dan tidak seperti situasi pada orang dewasa, nonbacterial pathogens
mendominasi, sebagian besar pneumonia terjadi pada kelompok usia pediatri
disebabkan oleh virus, terutama RSV, parainfluenza dan adenovirus. M. pneumonia
adalah patogen penting oleh older children. Diluar periode neonatal, pneumococcus
adalah bakteri patogen utama pada pneumonia masa kanak-kanan, diikuti oleh
kelompok A Streptococcus dan S.aureus, H.influenzae tipe b, yang pernah menjadi
patogen masa kanak-kanan utama, telah menjadi penyebab pneumonia yang jarang
terjadi sejak patogen masa kanak-kanak utama, telah menjadi oenyebab pneumonia
yang jarang terjadi sejak diperkenalkannya vaksinasi aktif terhadap organisme ini
pada akhir 1980an.
2.3 Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya maupun berdasarkan
klinis dan epidemiologis.
a. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Penyebabnya
Berdasarkan penyebabnya, pneumonia dibedakan menjadi bacterial pneumonia
dan non bacterial pneumonia.
1) Bacterial Pneumonia
bacterial pneumonia terutama disebabkan oleh streptokokus gram positif dan
organisme gram negative yang biasanya menghuni saluran pencernaan
(enteric) serta tanah dan air (nonenterik). Sebagai tambahan, Legionella yang
merupakan organisme nonenterik dengan pewarnaan gram negative,
menyumbang sebagian kecil Bacterial pneumonia berupa community-and
hospital-acquired bacterial pneumonia, walaupun kejadian sebenarnya
mungkin tidak dilaporkan. Akhirnya, Myobacterium tuberculosis, acid-fast
staining bacillus, telah muncul kembali sebagai penyebab penting pneumonia
dipusat kota seluruh Amerika Serikat.
2) Non-Bacterium Pneumonia
Virus, species Myocoplasma, species Chlamydia, dan jamur diketahui
merupakan penyebab sindrom pneumonia pada semua kelompok
umur.Penyebutan atypical pneumonia, berbeda dari typical bacterial
pneumonia yang paling sering terlihat pada orang dewasa, telah digunakan
untuk menggambarkan penyakit yang disebabkan oleh banyak agen ini.
b. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis Dan Epidemiologis
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia diklasifikasikan menjadi
Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia), Pneumonia nosocomial
(hospital-acquired pneumonia.nosocomial pneumonia). Pneumonia aspirasi,
Pneumonia pada penderita Immunocompromised
1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat.Menurut
kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan bakteri Gram
positif dan dapat pula bakteri atipik. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di
Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negative. Berdasarkan laporan
5 tahun terakfir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya,
Malang, dan Makasar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan
mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut:
a) Klebsiella pneumonia 45,18%
b) Streptococcus pneumonia 14,04
c) Streptococcus viridans 9,21%
d) Staphylococcus aureus 9%
e) Pseudomonas aeruginosa 8,56%
f) Streptococcus hemolyticus 7,89%
g) Enterobacter 5,26%
h) Pseudomonas spp 0,9%
2) Pneumonia nosocomial (hospital-acquired pneumonia/nosocomial pneumonia)
Pneumonia nosocomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien
48 jam dirawat dirumah sakit dan disingkirkan semua ineksi yang terjadi sebelum
masuk rumah sakit. Setelah saluran kemih dan aliran darah, paru-paru adalah
tempat infeksi yang paling sering didapat dirumah sakit.Pneumonia nosocomial
terlihat paling sering terjadi pada pasien dengan critically ill.Faktor-faktor yang
mempengaruhi pasien terhadap perkembangan pneumonia nosocomial meliputi
tingkat keparahan penyakit, durasi rawat inap, posisi terlentang, aspirasi yang
disaksikan, koma, sindrom gangguan pernafasan akut, transportasi pasien, dan
paparan antibiotic sebelumnya.
Faktor predisposisi terkuat, adalah ventilasi mekanis (intubasi), yang melewati
pertahanan alami dari saluran napas terhadap migrasi organisme saluran
pernapasan bagian atas ke saluran bawah.Keadaan ini diperparah oleh penggunaan
agen penghambat reseptor H2 secara luas diunit ICU, yang meningkatkan PH
sekresi lambung dan dapat meningkatkan proliferasi mikroorganismedisaluran
cerna bagian atas.Mikroaspirasi subklinis adalah kejadian yang terjadi secara rutin
pada pasien intubasi dan mengakibatkan inokulasi kandungan lambung yang
terkontaminasi bakteri ke paru-paru dan kejadian pneumonia nosocomial yang
lebih tinggi.
Ventilator-associated pneumonia dapat didiagnosis secara akurat oleh salah
satu dari beberapa kriteria standar, termasuk pemeriksaan histopatologis jaringan
paru yang diperoleh dengan open-lung biopsy, kavitasi cepat infiltrasi paru tanpa
kanker atau tuberculosis, kultur cairan pleura positif, dan species yang sama
dengan antibiogram identic untuk patogen yang diisolasi dari darah dan sekresi
pernapasan tanpa sumber bakteriemia lain yang dapat diidentifikasi.
Organisme yang paling sering dikaitkan dengan pneumonia nosocomial adalah
S.aureus dan bakteri gram negative enteric (misalnya Klebsiella atau E.coli) dan
bakteri gram negative nonenterik (misalnya Pseudomonas), organisme yang
menjajah faring pasien yang dirawat dirumah sakit dan kritis.Diagnosis
pneumonia nosocomial biasanya ditemukan dengan adanya infiltrasi baru pada
radiografi dada, demam.Status pernafasan yang memburuk, daan munculnya
sekresi pernafasan kental dan neutrophil.Sebenarnya diagnosisnya seringkali sulit
dilakukan pada pasien yang sakit parah dengan patologi paru yang mendasarinya
yang dapat dikaitkan dengan radiografi perubahan abnormal, seperti yang terjadi
pada gagal jantung kongesif atau penyakit paru-paru kronis. Antibiotic spectrum
luas sering dimulai secara empiris bahkan dalam keadaan samar, dengan
bronkoskopi yang diperuntukkan bagi pasien dengan responsif yang buruk.
3) Pneumonia aspirasi
Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia akibat regurgitasi cairan saluran
cerna ke paru, terjadi pada penderita penurunan kesadaran seperti penyalahgunaan
obat, kejang, gangguan serebrovaskular atau dalam pengaruh pembiusan.
4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised
Pneumonia pada penderita immunocompromised merupakan pneumonia yang
terjadi pada seseorang dengan defek system imun humoral dan selular.
2.4 Tatalaksana Pneumonia
Farmakoterapi antimikroba yang sesuai untuk penyakit infeksi tertentu
memerlukan pengetahuan tentang patogen yang menginfeksi, karakteristik inang
(host), dan aktivitas yang diharapkan obat terhadap patogen.Aspek terapi yang paling
mendasar dimulai dengan diagnosis yang tepat.Berbagai macam tes laboratorium
tersedia untuk membantu dokter dalam memverifikasi adanya infeksi dan untuk
memantau respon terhadap terapi. Meski bermanfaat, tes ini bertujuan pada
interpretasi dan tidak dapat digantikan dengan penilaian klinis yang baik. Kelainan
organis terhadap antimikroba yang diberikan adalah kunci untuk menentukan hasil
dari terapi pasien.Karakteristik host, seperti status kekebalan tubuh, lokasi infeksi, dan
fungsi tubuh-organ, berperan penting dalam memilih antimikroba yang paling tepat
untuk individu tertentu.
Prioritas pertama dalam menilai/melakukan assessment pada pasien pneumonia
adalah untuk mengevaluasi kecukupan fungsi pernafasan dan untuk megetahui adanya
tanda-tanda penyakit sistemik, khususnya dehidrasi atau sepsis akibat kolapsnya
peredaran darah.Oksigen atay pada kasus parah, ventilasi mekanis dan resusitasi
cairan harus diberikan seperlunya.Perawatan suportif lebih lanjut pada pasien dengan
pneumonia meliputi oksigen yang dilembabkan untuk hipoksemia, pemberian
bronkodilator (albuterol) saat ada bronkospasme, dan fisioterapi dada dengan drainase
postural jika terlihat bukti adanya sekresi yang ditahan terlihat.Tambahan untuk terapi
suportif termasuk hidrasi yang adekuat (secara intravena jika perlu), dukungan nutrisi
optimal, dan pengendallian demam.Sampel sputum yang tepat dapat diperoleh untuk
menentukan etiologi mikrobiologis.Rehidrasi harus diberikan untuk mengganti
kehilangan yang mungkin terjadi akibat demam, asupan yang buruk, dan/atau muntah
yang terjadi.Pemilihan antimikroba yang tepat harus dilakukan berdasarkan data
mikrobiologi yang mungkin terjadi atau yang telah didokumentasikan pasien,
distribusi disaluran pernafasan, efek samping, dan biaya.
Penatalaksanaan secara umum pneumonia meliputi berdasarkan klinis dan
epidemiologis di/jabarkan sebagai berikut:
a. Terapi pada HAP dan VAP
Beberaapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosocomial ialah:
1. Semua terapi awal antibiotic adalah empiric dengan pemilihan antibiotik yang
harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin
sebagai penyebab, perhitungankan pola resistensi setempat.
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis
dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang maksimal.
Pemberian terapi empiris harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada
hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons
klinis
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR.
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk.
6. Data mikroba dan sensitivity dapat digunakan untuk mengubah pilihan
empiric apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian
antibiotik berdasarkan data microbial dan uji kepekaan tidak ada mengubah
mortaliti apabila terapi empiric telah memberikan hasil yang memuaskan.
Tabel 1. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa
factor resiko pathogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS/IDSA
2004)
Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan
 Streptocoocus pneumonia Betalaktam + antibetalaktamase
 Haemophilus influenza (Amoksisilin klavulanat)
 Metisilin-sensitif Atau
Staphylocoocus aureus Sefalosporin G3 nonpseudomonal
 Antibiotik sensitive basil (Seftriakson, sefotaksim)
Gram negative enteric Atau
- Escherichia coli Kuinolon respirasi (Levofloksasin,
- Klebsiella pneumonia Moksifloksasin)
- Enterobacter spp
- Proteus spp
- Serratia marcescens

Tabel 2. Terapi antibiotic awal secara empiric untuk HAP atau VAP untuk semua
derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen
MDR (mengacu ATS/IDSA 2004)
Patogen potensial Terapi Antibiotik kombinasi
 Patogen MDR tanpa atau dengan Sefalosporin antipseudomonal (Sefepim,
pathogen pada Tabel 1 seftasidim, sefpirom)
Pseudomonas aeruginosa Atau
Klebsiella pneumonia Karbapenem antipseudomonal
(ESBL) (Meropenem, imipenem)
Acinetobacter sp Atau
β-laktam penghambat β lactamase
(Piperasilin-tasobaktam)
ditambah
Fluorokuinolon antipseudomonal
(Siprofloksasin atau levofloksasin)
atau
Methicillin resisten Aminoglikosida ( Amikasin, gentamisin
Staphylococcus aureus atau tobramisin)
(MRSA) ditambah
Linesolid atau vankomisin atau
teikoplanin

Tabel 3. Dosis antibiotic intravena awal secara empiric untuk HAP dan VAP pada
pasien dengan onset lanjut atau terdapat factor resiko pathogen MDR (mengacu pada
ATS/IDSA 2004)
Antibiotik Dosis
Sefalosporin antipseudomonal
- Sefepim 1-2 gr setiap 8-12 jam
- Seftasidim 2 gr setiap 8 jam
- Sefpirom 1 gr setiap 8 jam
Karbapenem
- Meropenem 1 gr setiap 8 jam
- Imipenem 500 mg setiap 6 jam, 1 gr setiap 8 jam

Β-laktam penghambat β-laktamase 4,5 gr setiap 6 jam


- Piperasilin-tasobaktam
Aminoglikosida 7 mg/kg BB/hr
- Gentamisin 7 mg/kg BB/hr
- Tobramisin 20 mg/kg BB/hr
- Amikasin
Kuinolon antipseudomonal 750 mg setiap hari
- Levofloksasin 400 mg setiap 8 jam
- Siprofloksasin 15 mg/kg BB/12 jam
15mg/kgBB/12bjam
Vankomisin
600 mg setiap 12 jam
Linesolid 400 mg/ hari
Teikoplanin
Suspek HAP, VAP
(semua derajat)

Onset lanjut (≥ 5 hari ) atau terdapat factor


resiko untuk MDR

Tidak Ya

Antibiotik spectrum terbatas Antibiotik spectrum luas untuk


(Tabel 1) patogen MDR (Tabel 2)

Gambar 1. Skema terapi empiric untuk HAP dan VAP

Lama Terapi
Pasien yang mendapat antibiotic empiric yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya
bukan P. aeruginosa dan respon klinis pasien baik serta terjad resolusi gambaran klinis
dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila
penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14-21 hari.
Respons Terapi
Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi.Respons
klinis terlihat setelah 48-72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah
jenis antibiotic dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata.

b. Terapi pada CAP


Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah.Juga
diperhatikan ada tidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan
resiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen yang spesifik misalnya
S.pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam factor modifikasi adalah:
(ATS 2001)
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
- Umur lebih dari 65 tahun
- Memakai obat-obatan golongan β lactam selama tiga bulan terakhir
- Pecandu alcohol
- Penyakit gangguan kekebalan
- Penyakit penyerta yang multiple
b. Bakteri enteric Gram negative
- Penghuni rumah jompo
- Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
- Mempunyai kelainan penyakit multiple
- Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudmonas aeruginosa
- Bronkiektasis
- Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
- Pengobatan antibiotic spectrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
- Gizi kurang
Penatalaksaan pneumonia komuniti dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik
- Istirahat ditempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat peurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antibiotic harus diberikan (sesuia bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita sawat inap di ruangan rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotic harus diberikan (sesuai dengan) kuramg dari 8 jam
c. Penderita sawat inap di ruangan rawat intensif
1. Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simpatimatik antara lain antipiretik, mukolitik
2. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
3. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD di observasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang rawat
biasa, bila terjadi respiratpry distress maka penderita dirawat di ruang rawat
intensif.
Rawat jalan:
 Tanpa faktor modifikasi
 Golongan B laktam atau B lacktam + anti laktamase
 Dengan faktor modifikasi:
Golongan B lacktam + anti B laktamase atau fluorokuinolon respirasi
(levofloksasin, moksifloksasia, gatifloksasia)
 Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru
(roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)

Rawat inap:

 Tanpa faktor modifikasi


Golongan B laktam + anti B laktamase iv atau
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Dengan faktor modifikasi:
Sefalosporin G2, G3 iv atau
Fluorokuinolon respirasi iv
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru
Ruang rawat intensif :

Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas


 Sefalosporin G3 iv non pseudomonas ditambah makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas
 Sefalosporin anti pseudomonas (spirofloksasin iv atau aminoglikosida
iv)
 Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik : (Sefalosporin anti
pseudomonas iv atau carbapenem iv ditambah lagi makrolid baru atau
Fluorokuinolon respirasi iv

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka
pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.

Pengobatan pneumonia atipik


Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk
atipik. Antibiotic terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh
M.pneumoniae, C. pneumonia dan Leginella adalah golongan:
- Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
- Fluorokuinolon respiness
- Doksisiklin

TERAPI SULIH (SWITCH THERAPY)


Masa perawatan dirumah sakit sebaiknya di persingkat dengan perubahan obat suntik
ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan
dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus
memperhatikan ke tersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral
yang aktivitinya mampu mengimbangi aktiviti antibiotik iv yang telah digunakan.
Perubahan ini dapat diberikan secara sequwntial (obat sama, potensi sama), switch
over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi
lebih rendah)
 Contoh terapi sekuensial: levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
 Contoh switch over: seftasidin iv ke siprofloksasin oral
 Contoh step down: amoksisilin, sefuroksin, sefatoksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4
diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat
suntik ke oral pada pneumonia komuniti:
 Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
 Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
 Penderita sudah tidak panas kurang lebih 8 jam
 Gejala klinik membaik (mis: frekuensi pernapasan, batuk)
 Leukosit menuju normal / normal

EVALUASI PENGOBATAN
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24-72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kembali didiagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat
yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya seperti dapat dilihat pada gambar 1.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
Bahan :
1. Text Book
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. KASUS
Pasien NN didiagnosa dengan pneumonia CAP, asma bronchial sedang (MRS 11 januari
2017).Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu.Pasien mengeluh sesak sejak kemarin,
demam sejak 8 januari 2017, sudah berobat, sakit dirasakan menetap, sudah diberikan
nebul vemtolin di rumah tidak membaik.Apsien batuk, mual dan muntah 1x.ketika MRS,
TD:120/70, Temp: 36,3 celcius : HR : 120 x/minute, RR : 18 x/minute, saturasi O2 : 98%.
Kultur sputum: streptococcus viridran. Hasil pemeriksaan henatologi adalah sebagai
berikut.
Hb: 12,7; WBC: 290; Sodium:142; Potassium: 3,3; Chloride: 103; CRP quantitstive:
47,16 ; Kalium: 3,27
Blood gas:
- pH : 7,298
- PO2 : 49,1
- SO2 : 87
- T CO2 : 25
Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut
- Infus odana 1 amp + ns 500 ml/ 8 jam
- Infus aminophyllin 240 mg inj dalam ns 500/8 jam
- ns 3% 3x5 ml for nebul (stop tgl 14 jan)
- paracetamol inj 3 x 500 mg
- codein 10 mg tab 3 x 1 (stop tgl 14 jan)
- acetlysisteine 200 mg tab tab 3 x 1
- asam tranexamat 500 mg inj 3 x 1
- levofloxacin inj 1 x 750 mg
- cefoperazone inj 2 x 1 gram
- combivent reps setiap 4 jam 1 reps
- flixotide reps 3 x 1 rep
- methylprednisolon inj 3 x 625 mg
- sulcrafat syr 3 x 15 ml
- omeprazole 40 mg inj 2 x 40 mg
- acitral syr 3 x 15 ml
V. HASIL PRAKTIKUM
1. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Tn. NN

Jenis Kelamin : Laki-Laki Tgl. MRS : 11 Januari 2017


Usia : 66 Tahun Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 65 kg

Presenting Complaint
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafassejak kemrin, demam, batuk, mual dan
muntah.

Diagnosa kerja : Infeksi Pneumonia


Diagnosa banding : Infeksi Pneumonia CAP (karena ditemukannya bakteri
gram positif pada kultur sputum)

 Relevant Past Medical History:

Drug Allergies:
Tidak Ada
Tanda-tanda Vital 11-1-2017
Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi (x / menit) 120
Suhu (oC) 36.3
RR ( x / menit) 18
Saturasi O2 (%) 98

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
10 mg setiap hari
dengan SC / IM
1 amp + ns 500 inj. Sebagai alternatif,
1 Infus adona+ ns Anti hemorrange
ml/8 jam 25-100 mg per hari
dengan infus IV atau
infus tetes.
Infus aminophyllin 240 mg inj dalam
2 Asma 6-7 mg/kg IV
dalam ns ns 500 ml/8 jam
3 ns 3% Elektrolit 3 x 5 ml for nebul Dosis Individual
1,25 mg/kg IV setiap 4
4 Paracetamol inj Analgetik 3 x 500 mg
x sehari
15-30 mg 3-4 kali
5 Codein tab Antitusive 10 mg tab 3 x 1
sehari.
600 mg PO q12hr
6 Acetlysisteine tab Mukolitik 200 mg tab 3 x 1
selama 2 hari
Asam tranexamat 1-1,5 g atau 15-25 mg /
7 Anti hemorrage 500 mg inj 3 x 1
tab kg
500 mg PO / IV sekali
sehari selama 7-14 hari
8 Levofloxacin inj Antibiotik 1 x 750 mg atau 750 mg PO / IV
sekali sehari selama 5
hari
2-4 g setiap hari dalam
2 dosis terbagi,
9 Cefoperazone inj Antibiotik 2 x 1 gram
meningkat menjadi 12
g setiap hari
setiap 4 jam 1
10 Combivent reps Asma 3 ml tiap 6 jam
resp
11 Flixotide reps Asma 3 x 1 reps 500-2000 mcg2x sehari
Methylprednisolon 30mg IV tiap 12 jam
12 Anti Inflamasi 3 x 625 mg
inj selama 5 hari
1 g PO q6hr
13 Sulcrafat syr Gastritis 3 x 15 ml awalnya; pemeliharaan:
1 g PO q12hr
14 Omeprazole 40 mg Gastritis 2 x 40 mg 20 mg PO qDay selama
inj 4-8 minggu
15 Acitral syr Gastritis 3 x 15 ml 3 x 15 ml

Laboratory Test

Hematologi Test:

Test (normal range) Nilai Keterangan

WBC (4000-10000/mm3) 290 mm3 rendah

Hb (13-17 g/dL) 12,7 g/dL rendah

Natrium (135-150 mEq/L) 142 mg/dL normal

Kalium (3,5-5,0 mEq/L) 3,3 mg/dL rendah

Chloride (95-105mEq/L) 103 mg/dL normal

CRP Quantitative (<10mg/L) 47,16 tinggi

pH darah (7,35-7,45) 7,298 normal

PaO2 (80-100 mmHg) 60,1 Rendah

PCO2(35-45 mmHg) 49,1 tinggi

SO2 (>93%) 87 rendah

TCO2(arteri: 19-25mmol/L, vena:


25 normal
23-30 mmol/L)

Pemeriksaan Lainnya:
- Kultur sputum: Streptococcus viridran (bakteri gram positif)

No Further Information Required Alasan Jawaban


Berapa usia pasien dan apa jenis Melengkapi data pasien dan Laki-laki 30 tahun
1. kelamin pasien ? Serta berat dan mengetahui faktor resiko pada BB dan TB tidak
tinggi badan pasien? pasien diketahui
Mengetahui etiologi, faktor resiko
Apakah pasien pernah merokok
2. dan penentuan terapi non Tidak
dan mengkonsumsi alkohol?
farmakologi
Obat apa yang dikonsumsi pasien Menentukan kelanjutan terapi Ventolin nebul dan
3.
utk penyakit asma bronkialnya ? pasien flixotide nebul
Apakah pasien memiliki penyakit Menentukan keparahan pneumonia
4. Tidak
lain selain asma bronkial ? berdasarkan komorbiditas
Problem List (Actual Problem)
Medical Pharmaceutical
1 Penumonia 1 Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.1: Pemilihan obat tidak tepat
2 Batuk 2 Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.1: Pemilihan obat tidak tepat
3 Mual dan Muntah (Gangguan GI) 3 Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.3: Kombinasi obat-obat atau obat-
makanan tidak tepat termasuk kejadian
interaksi obat
4 Tidak ada Indikasi 4 Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.2: Tidak Ada Indikasi Penggunaan
Obat
PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective (symptom)
Asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu, sesak nafas sejak kemrin, demam, batuk, mual dan
muntah.

- Objective (signs)

Tanda-tanda Vital 11-1-2017


Tekanan darah (mmHg) 120/70
Nadi (x / menit) 120
Suhu (oC) 36.3
RR ( x / menit) 18
Saturasi O2 (%) 98

Laboratory Test

Test (normal range) Nilai Keterangan

WBC (4000-10000/mm3) 290 mm3 rendah


Hb (13-17 g/dL) 12,7 g/dL rendah
Natrium (135-150 mEq/L) 142 mg/dL normal
Kalium (3,5-5,0 mEq/L) 3,3 mg/dL rendah
Chloride (95-105mEq/L) 103 mg/dL normal
CRP Quantitative (<10mg/L) 47,16 tinggi
pH darah (7,35-7,45) 7,298 normal
PaO2 (80-100 mmHg) 60,1 Rendah
PCO2(35-45 mmHg) 49,1 tinggi
SO2 (>93%) 87 rendah
TCO2(arteri: 19-25mmol/L, vena:
25 normal
23-30 mmol/L)
Pemeriksaan Lainnya:
- Kultur sputum: Streptococcus viridran (bakteri gram positif)
Assesment (with evidence)

1. C1.3 Ada obat tanpa indikasi (Asam tranexamat inj, Codein tab, Infus adona,
Sulcrafat syr, methylprednisolone inj, nebul ns 3%)
2. C1.5 ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai (Omeprazole inj – Acitral syr)
Obat tanpa DRP: infus aminophylline, Paracetamol inj, Acetylcystein tab. Levofloksasin inj,
cefoperazone inj, combivent resp, flixotide resp, acitral syr.

SKOR PORT
Faktor demografi (laki-laki 30 th) 0
Perawatan di Rumah Tidak ada 0
Komorbid Tidak Ada 0
Pemeriksaan Fisik Perubahan status mental 0
Pernafasan >30x/menit 0
Suhu tubuh 0
Nadi >125 x menit 0
Hasil Lab/Radiologi Gas darah (pH 7,35) +30
BUN 0
Na +20
Glukosa 0
HCT 0
PO 0
Efusi Pleura 0
Total +50
Skor PORT +50 (resiko rendah kelas I) rekomendasi rawat jalan

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satu dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Dan pasien dalam kasus ini memiliki criteria seperti diatas

Jadi pasien harus di Rawat Inap

Problem Medik Treatment DRP


Levofloxacin inj 1 x 750 mg Tidak Ada DRP
Cefoperazone inj 2 x 1 gram Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.1: Pemilihan obat tidak tepat
Evidance Base Medicine
Tujuan Untuk menyelidiki
keefektifan dan biaya
levofloksasin dan cefoperazone /
sulbaktam dalam pengobatan
infeksi bakteri saluran
pernapasan bawah yang didapat
oleh masyarakat. Metode
Sebanyak 180 kasus dengan
infeksi bakteri saluran
pernapasan yang diturunkan di
masyarakat dipelajari. Uji coba
Pneumonia CAP klinis acak acak prospektif
dilakukan, dan 0.3g levofloxacin
atau 4.0g cefoperazone /
sulbaktam karena kontrol
diberikan dengan infus sekali
sehari selama 7 sampai 14
hari. Hasil Tingkat efikasi klinis
levofloksasin dan cefoperazone /
sulbaktam adalah 92,2% dan
93,3%; tingkat kesembuhan
adalah 74,4% dan 78,9%, dan
clearance bakteri masing-masing
89,7% dan 90%. Kursus
pengobatan adalah (8,7 +/- 2,1) d
pada pasien yang menerima
levofloksasin, sementara (8,2 +/-
2,3) d kelompok kontrol. Tidak
ada perbedaan statistik antara
dua kelompok. Biaya (RMB)
levofloksasin secara signifikan
lebih rendah dari pada
cefoperazone / sulbaktam (387,2
+/- 93,5 vs 615 +/- 172,5, P
<0,05). Kesimpulan Terapi
Levofloxacin sama efektifnya
dengan cefoperazone / sulbaktam
dalam pengobatan infeksi bakteri
saluran pernapasan bawah yang
didapat masyarakat, namun biaya
(RMB) levofloksasin lebih
rendah dari pada cefoperazone /
sulbaktam (Lin Shi Jun, dkk.,
2007)
Infus aminophyllin 240 mg inj Tidak Ada DRP
dalam ns 500 ml/8 jam
ns 3% 3 x 5 ml for nebul Tidak Ada DRP
Asma Bronkial Combivent reps setiap 4 jam 1 Tidak Ada DRP
Sedang resp
Flixotide reps 3 x 1 rep Tidak Ada DRP
Methylprednisolon inj 3 x 625 P1 Pemilihan obat
mg P1.4 duplikasi terapi
Codein 10 mg tab 3 x 1 Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.1: Pemilihan obat tidak tepat
Dalam kasus ini pasien
menderita batuk berdahak.
Codein merupakan obat untuk
batuk kering (sebagai antitusive).
Evidance Base Medicine
Indikasi berlabel Pengobatan
Batuk ringan sampai sedang; antitusif
dalam dosis rendah (Aberg, J.A.,
Alvares, W., Armstrong, L., et
al. 2007).
Acetlysisteine 200 mg tab 3 x 1 Tidak Ada DRP

Acitral syr 3 x 15 ml Masalah:


M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.3: Kombinasi obat-obat atau
obat-makanan tidak tepat
termasuk kejadian interaksi obat
Evidance Base Medicine
alum-mag hidroksida-simet oral
menurunkan kadar levofloxacin
iv dengan mengurangi
penyerapan obat dari lambung
dan usus ke dalam tubuh saat
diminum(Rxlist).
alum-mag hidroksida-simet oral
meningkatkan kadar sukaldfat
oral dengan menambahkan efek
obat. Kombinasi mengarah pada
peningkatan kandungan
aluminium(Rxlist).
Infus adona 1 amp + ns 500 ml/8 Masalah:
jam M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.2: Tidak Ada Indikasi
Penggunaan Obat
Asam tranexamat 500 mg inj 3 x Masalah:
1 M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Tidak ada Indikasi Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.2: Tidak Ada Indikasi
Penggunaan Obat
Paracetamol inj 3 x 500 mg Masalah:
M1: Efektivitas Terapi
M1.2: Efek Obat Tidak Optimal
Penyebab:
P1 : Pemilihan Obat
P1.2: Tidak Ada Indikasi
Penggunaan Obat

Plan (including primary care implications)

Problem Medik Treatment Planning


Levofloxacin inj 1 x 750 mg Dilanjutkan 2-3 hari dengan rute
parenteral yang selanjutnya akan
beralih ke obat rute oral dengan
Pneumonia CAP syarat WBC pasien normal.

Evidence Based Medicine


Efikasi dan tolerabilitas
levofloxacin 500 mg sekali
sehari selama 10 hari pada
pasien dengan CAP sudah tunak.
Selain itu, levofloxacin dosis
tinggi (750 mg), short-course (5
hari) telah disetujui untuk
digunakan di AS dalam
pengobatan CAP, sinusitis
bakteri akut, pielonefritis akut
dan infeksi saluran kemih yang
rumit. Levofloxacin dapat
digunakan sebagai monoterapi
pada pasien dengan CAP,
bagaimanapun, terapi kombinasi
levofloxacin dengan anti-
pseudomonal beta-lactam (atau
aminoglikosida) harus
dipertimbangkan jika
Pseudomonas aeruginosa adalah
patogen penyebab infeksi
pernafasan. Levofloxacin oral
cepat diserap dan bioekuivalen
dengan formulasi intravena dan
pasien dapat beralih di antara
formulasi ini, yang menghasilkan
lebih banyak pilihan sehubungan
dengan rejimen terapeutik.
Selanjutnya, levofloxacin
umumnya dapat ditoleransi
dengan baik, memiliki penetrasi
jaringan yang baik dan
konsentrasi yang memadai dapat
dipertahankan di tempat infeksi
(Noreddin dan Elkhatib, 2010).

Sekitar 40-60% pasien yang


dirawat dengan pneumonia yang
didapat di komunitas memenuhi
syarat untuk beralih dalam 2-3
hari pengobatan. Tanda vital dan
WBC harus dipantau sebelum
beralih dari IV ke terapi oral.
Flouroquinolones adalah obat
lini pertama untuk pengobatan
pneumonia yang didapat oleh
masyarakat. Studi yang
membandingkan IV / PO
moxifloxacin dengan IV / PO
amoxicillin-clavulanate dengan
atau tanpa klaritromisin
membuktikan bahwa
moxifloxacin dinilai pada
persentase penyembuhan klinis
yang lebih tinggi (Cyriac dan
James, 2014).
Cefoperazone inj 2 x 1 gram Pemberian cefoperazon tidak
dihentika, melainkan
dikombinasi denga levofloxacin
Evidence Based Medicine
Untuk membandingkan efikasi,
keamanan, dan tolerabilitas
moxifloxacin intravena dengan
rejimen antibiotik empiris,
cefoperazone dan azitromisin
dalam pengobatan pneumonia
yang didapat masyarakat pada
pasien dewasa yang
membutuhkan terapi parenteral
awal, 40 pasien dengan CAP
dibagi menjadi dua kelompok,
kelompok moksifloksasin (n =
20) dan kelompok kontrol (n =
20), yang diobati selama 7
sampai 14 hari. Pasien dalam
kelompok moksifloksasin secara
intravena diberikan 400 mg
moksifloksasin (Avelox) sekali
sehari. Pasien dalam kelompok
kontrol diberi 2,0 g
cefoperazone dua kali sehari
dan azitromisin 0,5 g sehari
sekali. Hasil menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam tingkat
kemanjuran klinis antara dua
kelompok perlakuan pada akhir
terapi (90% untuk
moksifloksasin, 95% untuk
cefoperazone plus azitromisin)
(P> 0,05). Disimpulkan bahwa
moxifloxacin adalah
pengobatan yang efektif dan
dapat ditoleransi dengan baik
untuk CAP dan setara dengan
pengobatan empiris umum
cefoperazone plus azitromisin.
Moksifloksasin cenderung
memberi dokter alternatif untuk
pengobatan CAP empiris yang
tepat dalam menghadapi
peningkatan resistensi antibiotik
(Xiong dkk., 2006).
Infus aminophyllin 240 mg inj Aminofilin dilanjutkan secara
dalam ns 500 ml/8 jam parenteral selam 2-3 hari
kemudian dialihkan ke rute oral
dengan diberikan euphyllin mite
retard.
Evidence Based Medicine
Sebanyak 18 percobaan
disertakan dalam meta-
analisis. Perbedaan rata-rata
tertimbang (weighted mean
difference / WMD) dengan
interval kepercayaan 95% (95%
CI) untuk perbaikan plasebo
melalui FEV1 dan FVC masing-
masing adalah 0,108L (0,053-
0,11) dan 0,186L (0,036-0,336),
sedangkan puncak FEV1 dan
Asma Bronkial FVC meningkat masing-masing
Sedang 0.096L (0,044-0,1447) dan
0,242L (0,11-0,374).
Pengobatan dengan teofilin
oral memperbaiki palung dan
puncak FEV1 dan FVC pada
pasien COPD yang stabil
secara klinis. Hasil ini
mendukung manfaat teofilin
yang dilaporkan sebelumnya
pada PPOK (Molfino dan
Zhang, 2006).
ns 3% 3 x 5 ml for nebul Dilanjutkan penggunannya
sebagai pelarut flixotide respules
dan combivent respules.
Combivent reps setiap 4 jam 1 Combivent respules dilanjutkan
resp diberikan secara nebuleser
kemudia dialihkan ke combivent
inhalasi setelah rawat jalan.
Evidence Based Medicine
Crossover buta ganda ini, pasien
yang didiagnosis menderita asma
selama ≥1 tahun. Diacak untuk
dua urutan pengobatan studi
"sesuai kebutuhan" untuk
menghilangkan gejala
(pencucian 1-7 hari sebelumnya
periode pengobatan 4 minggu
kedua): CVT-MDI / ALB-HFA
atau ALB-HFA / CVT-MDI.
Sebanyak 226 pasien, ≥ 18
tahun, dengan asma sedang-ke-
parah yang tidak cukup
terkontrol
acak. Studi ini bertemu dengan
kedua titik akhir primer utama
yang menunjukkan manfaat
pengobatan yang signifikan
secara statistikdari CVT-MDI
versus ALB-HFA. Respon FEV1
AUC0-6h adalah 167 ml untuk
ALB-HFA, 252 ml untuk CVT-
MDI (p <0,0001);
Respon puncak FEV1 adalah 357
ml untuk ALB-HFA, 434 ml
untuk CVT-MDI (p <0,0001).
Efek samping sebanding
lintas kelompok. CVT-MDI
secara signifikan memperbaiki
bronkodilasi akut di atas ALB-
HFA saja setelah 4 minggu
(Donohue dkk., 2016).

Flixotide reps 3 x 1 rep Flixotide nebuleser dilanjutkan


selama perawatan di rumah sakit,
tetapi akan dialihkan ke flixotid
inhalasi setelah rawat jalan.

Evidence Based Medicine


Dalam uji coba efektivitas
terkontrol secara
acakmenugaskan 2799 pasien
COPD ke kombinasi
fluticasone sehari sekalifuroate
pada dosis 100 μg dan
vilanterol dengan dosis 25 μg
(fluticasonekelompok furoate-
vilanterol) atauperawatan biasa
(kelompok perawatan
biasa).Tingkat eksaserbasi
sedang atau berat secara
signifikan lebih rendah, sebesar
8,4% (95%
interval kepercayaan, 1,1 sampai
15,2), dengan terapi fluticasone
furoate-vilanterol dari pada
dengan perawatan biasa (P =
0,02) (Vestbo dkk., 2016).
Acetlysisteine 200 mg tab 3 x 1 Evidence Based Medicine
Percobaan Double-blinded,
Randomized, Placebo-controlled
Trial) dilakukan di Hong Kong
pada 120 pasien yang secara
acak ditugaskan untuk
mengambil NAC Tawaran 600
mg atau plasebo plus terapi
biasa selama satu tahun. Pada
akhir percobaan, frekuensi
eksaserbasi COPD dengan
NAC secara signifikan lebih
rendah dibandingkan dengan
plasebo, dan nilai mean forced
expiratory flow (FEF25-75)
sedikit meningkat secara
bermakna pada kelompok NAC
dibandingkan dengan plasebo
(Sanguinetti, 2016).
Acitral syr 3 x 15 ml (prn) Antasida tidak dihentikan karena
mengalami interaksi obat dengan
obat lainnya yang
diresepkan.untuk muak dan
muntah pasien.

Evidence Based Medicine


Gejala pencernaan, seperti
gangguan pencernaan, sakit
maag, erosi asam, goncangan
tekanan epigastrik dan
sejenisnya, dialami oleh 18
persen pasien selama pengobatan
dengan prednison atau
prednisolon yang
dikombinasikan dengan antasida.
Di antara pasien yang pernah
dirawat di steroid tanpa antasida
sebelumnya, kejadian keluhan
pencernaan berkurang dari 38
persen menjadi 17 persen dengan
penambahan terapi alkali, dan
tingkat keparahan distres
menurun pada orang lain.

Ulkus peptik aktif terdeteksi


secara roentgenografi pada tiga
dari 100 pasien. Dalam dua
kasus ulkus asimtomatik dan
dalam dua kasus mereka
dianggap sebagai reaktivasi lesi
yang disembuhkan sebelumnya.
Insiden ulkus aktif dalam
rangkaian ini jauh lebih rendah
daripada yang dilaporkan oleh
beberapa peneliti di antara pasien
yang diobati dengan prednison
dan prednisolon tanpa pemberian
alkali secara bersamaan. Ukuran
dosis dan kerentanan individu
nampaknya merupakan faktor
penting dalam perkembangan
gangguan pencernaan akibat
steroid.

Hasil penelitian menunjukkan


bahwa penggunaan antasida
komplementer dengan masing-
masing dosis steroid terbagi
sangat efektif dalam mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan
gejala pencernaan selama
pemberian prednison dan
prednisolon. Insidensi rendah (3
persen) untuk lesi aktif yang
dapat dibedakan secara biologis
dalam seri ini menunjukkan
bahwa penambahan agen
penawar asam selama
pengobatan yang berkepanjangan
dengan steroid ini setidaknya
dapat memberikan perlindungan
parsial terhadap pengembangan
dan pengaktifan ulkus peptik
(Boland dan Headley, 1958).
Nyeri Paracetamol inj 3 x 650 mg (prn) Paracetamol tidak dihentikan
penggunaannya sebagai
antipiretik.
Evidence Based Medicine
Tinjauan sistematis uji coba
terkontrol secara acak yang
menyelidiki pemberian
paracetamol oral dan ibuprofen
untuk mengurangi demam pada
anak-anak. Anak usia 1 bulan
sampai 12 tahun dengan suhu
antara 37,5 dan 41 ° C
dimasukkan. Sebanyak 3023
dokumen diidentifikasi. Setelah
penghapusan duplikasi,
penerapan kriteria inklusi dan
skrining, delapan makalah
dikenai penilaian kritis dan
termasuk dalam penelitian
ini.Enam dari penelitian tersebut
mengidentifikasi bahwa
ibuprofen sedikit, namun tidak
signifikan, lebih baik
mengurangi demam pada
anak-anak daripada
parasetamol. Perbedaan dosis
dan rute pengukuran suhu
berkisar antara penelitian, yang
membatasi perbandingan studi.
Sementara ibuprofen dilaporkan
sedikit lebih efektif dalam
mengurangi demam dan demam
terkait ketidaknyamanan pada
anak-anak, data yang tidak
mencukupi untuk menyimpulkan
bahwa ibuprofen lebih unggul
dari parasetamo (Narayan dkk.,
2017).
Monitoring
 Efektivitas
Monitoring gejala sesak, batuk, demam, mual dan muntah pasien

 Efek Samping Obat


Aminopiline: diare, mual dan muntah
Combivent resp: sakit kepala, diare, mual, rhinitis
Flixotide resp: rhinitis dan sakit kepala
Acetylsistein tab: bronkokontriksi, bronkospasm, mual
Levofloxacin: diare, sakt kepala, mual dan muntah
Methyl Prednisolon tab: sakit kepala
Paracetamol: rash

VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan penyelesaian kasus terkait penyakit Pneumonia.
Pada kasus ini, dilakukan penyelesaian menggunakan metode SOAP. Adapun pasien dari
kasus ini adalah Tn. NN, masuk rumah sakit pada tanggal 11 januari 2017 dan didiagnosa
Pneumonia CAP serta asma bronchial sedang. Pasien mengeluh sesak nafas sejak kemarin,
mual, batuk, mundah, dan demam, serta asma terakhir kambuh 3 bulan yang lalu. Tanda
objektif yang ditunjukkan seperti tekanan darah 120/70 mmHg, suhu tubuh 36,3˚C, HR
120x/minute, RR 18x/minute, saturasi O2 98%. Hasil pemeriksaan hematologi sebagai
berikut: Leukosit 290; Hb 12,7; Chloride 103; CPR quantitative 47,16. Pemeriksaan gas
darah sebagai berikut: pH 7,298; P O2 60,1; P CO2 49,1; SO2 87; T CO2 25. Dari
perhitungan BMI diaptkan nilai BMI pasien sebsar 25,39, dengan berat badan 65kg dan TB :
166cm yang artinya pasien berada direntang pre-overweight. Berdasarkan masalah kesehatan
yang dialami Tn. NN, dilakukan assesment sehingga dapat diketahui bahwa terkait terapi
pengobatan yang kemudian disesuaikan dengan penyakit yang dialami pasien terdapat
beberapa masalah sebagai berikut: DRP. C-1.3 (ada obat tetapi tidak ada indikasi) antaralain
asam tranexamat inj yang digunakan untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan, tetapi
pasien tidak mengalami pendarahan sehingga asam tranexamat termasuk ke dalam DRP.
Infus adona yang digunakan juga untuk perdarahan, tetapi pasien tidak mengalami
pendarahan sehingga infus adona termasuk ke dalam DRP. Sulcrafat sirup untuk tukak
lambung, tetapi pasien tidak mengalami tukak lambung sehingga Sulcrafat syr termasuk ke
dalam DRP. Terdapat pula C-1.5 (ada duplikasi dari obat yang tidak sesuai). Pada hal
duplikasi yang terjadi yaitu Omeprazole inj dengan acitral syr, kedua jenis obat tersebut
memiliki indikasi yang sama yaitu untuk mual, namun pasien telah mendapat obat acitral syr
terlebih dahulu sehingga pemberian omeprazole dihentikan.
Planning yang diberikan adalah terapi farmakologi dan non-farmakologi, tujuan
penatalaksanaan terapi yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi farmakologi
yang diberikan pada saat pasien berada di UGD yaitu diberikan obat bronkospasme yaitu
infus aminophylin dengan dosis 5-7 mg/KgBB. Penggunaan klinik bronkhodilator pada
infeksi pernapasan bawah adalah pada kasus bronkhitis kronik yang disertai obstruksi
pernapasan. Agen yang dapat digunakan yaitu metilxantine atau derivat metilxantine meliputi
teofilin dan derivatnya seperti aminofilin merupakan bronchodilator yang baik.
Terapi akibat infeksi bakteri gram positif diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone
inj dengan levofloxacin inj 750 mg/hari IV selama 1 hari. Penggunaan golongan quinolon
yang merupakan antimikrobial dengan memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi
infeksi. Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat
DNA-gyrase. Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas
yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang, dengan spektrum aktivitas yang lebih luas
untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosocomial, hal ini yang
memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen
lain. Dalam kasus ini kombinasi dengan cefoperazon inj adalah karena mekanisme kerja
golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein
binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel
bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri. Jadi kombinasi kedua jenis
antibiotic ini dapat saling menguntungkan dalam penurunan jumlah koloni bakteri yang
menginfeksi(DEPKES RI, 2005).
Pada kasus ini diberikan pertolongan pertama pada penyakit pneumonia. Sehingga,
diberikan kombinasi antibiotik cefoperazone inj dengan levofloxacin terlebih dahulu selama
3 hari, kemudian setelah 3 hari diganti dengan memberikan antibiotic tunggal golongan
sefalosporin yaitu cefixime 200 mg diminum 2 kali sehari 1 tablet selama 11 hari.
Selain itu, pasien juga mendapatkan mukolitik sebagai pengencer dahak agar mudah
diekspektorasi. Obat batuk diberikan acetylsisteine 200mg 3x1 tablet. Mekanisme kerja
mukolitik adalah dengan cara membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga
menurunkan viskositas mucus (DEPKES RI, 2005).
Untuk mual muntah diberikan acitral syr 3x15 mL sebelum makan (bila perlu), untuk
bakteri gram positifnya diberikan levofloxacin inj dan cefoperazone inj 750 mg/hari IV
selama 2 hari (maintenance : diberikan dosis tunggal antibiotik cefixime dosis 2x200 mg PO
selama 11 hari). Dan yang terakhir untuk gangguan saluran nafas yang disebabkan karena
pemberian levofloxacin sehingga diberikan obat dengan dosis kombinasi yaitu flixotide 2x1
resp dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Mekanisme kerja combivent reps yaitu untuk menghambat reflex diperantai vagital
oleh aksi asetilkolin antagonis, mencegah peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang
disebabkan oleh interaksi asetilkolin dengan reseptor muskarinik pada otot polos (medsacpe).
Sedangkan mekanisme kerja flixotide resp tidak diketahui dengan tepat tetapi, agen telah
terbukti menunjukkan efek antiinflamasi pada neutrofil, eosinofil, makrofag, sel mast,
limfosit, dan mediator (medscape). Karena terdapat mekanisme yang berbeda sehingga,
diberikan kombinasi untuk asma dengan memberikan kombinasi flixotide 2x1 resp dan
combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
Sebagai terapi tambahan untuk mencegah eksaserbasi yaitu diberikan vaksinasi.
Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) diberikan kepada pasien karena pasien
merupakan golongan geriatri. Vaksinasi awal dilakukan saat pasien melakukan kontrol post
terapi rawat inap dengan keadaan pasien yang sembuh dan sehat. Vaksin diberikan ulang
dalam rekomendasi setelah > 2 tahun dari pemberian awal. Efek samping vaksinasi yang
terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3,
sehingga perlu monitoring terhadap hal tersebut(DEPKES RI, 2005).
VII. KESIMPULAN
Dari praktikum ini, dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah inflamasi dan
konsolidasi jaringan paru disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit).
Pathogenesis dan patologi infeksi (Pneumonia)yaitu infeksi paru-paru dengan virus menekan
aktivitas antibakteri paru-paru dengan mengganggu fungsi makrofag alveolar dan
membersihkan mukosiliar, sehingga membuat tahap untuk pneumonia bakteri sekunder.
Transportasi mukosiliar juga tertekan oleh etanol dan narkotika dan oleh penyumbatan
bronkus oleh lender, tumor, atau kompresi ekstrinsik. Klasifikasi pneumonia berdasarkan
penyebabnya dibagi menjadi 2 yaitu pneumonia bacterial dan pneumonia non bacterial
sedangkan berdasarkan klinis dan epidemiologisnya dibagi menjadi 4 yaitu pneumonia
komuniti (CAP), pneumonia nosocomial (HAP), pneumonia aspirasi, dan pneumonia pada
penderita immunocompromised.

Penatalaksanaan penyakit pneumonia secara Farmakologi yaitu rasa sakit diberikan


paracetamol inj dengan dosis 650 mg setiap 4 jam iv (prn). Batuknya diberikan acetlysisteine
dengan dosis 200 mg tab 3 x 1. Untuk mual dan muntah diberikan acitral syr dengan dosis 3
x 15 ml (prn) 30 – 60 menit sebelum makan. Untuk streptococcus viridran (bakteri gram
positif) diberikan levofloxacin inj dan cefoperazone inj 750 mg/hari iv, selama 3 hari (untuk
maintenance diberikan dosis tunggal antibiotic golongan sefalosporin yaitu cefixime dengan
dosis 2 x 200mg PO selama 11 hari). Dan untuk dyspne (gangguan saluran nafas yang
disebabkan oleh levofloxacin) diberikn obat dengan dosis kombinasi yaitu flixotide 2x1 resp
dan combivent reps di nebul 3 ml setiap 6 jam.
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Alvares, W., Armstrong, L., et al. 2007. Drug Information Handbook, 17th edition.
Lexi-Comp Inc.

Almirall, J., et al., 2010. Inhaled drugs as risk factors for community-acquired pneumonia. European
Respiratory Journal 2010 36: 1080-1087. Avaiable at:
http://erj.ersjournals.com/content/36/5/1080.short “diakses 5 Desember 2017”

Boland Edward, Headley Nathan. 1958. Effectiveness Of Antacids In Reducing Digestive


Disturbances In Patients Treated With Prednisone And Prednisolone. California Medical
journal. Volume 89(4) page: 262-266. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1512358/

Cyriac JM, James E. 2014. Switch over from intravenous to oral therapy: A concise overview.
JournalPharmacology Pharmacotherapy. Volume: 5(2). Page: 83-7. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24799810

DEPKES RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI
PDPI. 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: PDPA

Dhar, R., 2012. Pneumonia : Review of Guidelines. Supplement To Japi, January 2012, Vol. 60.
Avaiable at : http://www.japi.org/january_special_2012/08_pneumonia_review_of.pdf
“diakses 5 Desember 2017”

Dublin Sascha, Walker Rod, Michael L. Jackson, Jeniffer C. Nelson, Noel Weiss, Michael Von
Korff, Lisa Jackson. 2011. Use of Opioids or Benzodiazepines and Risk of Pneumonia in
Older Adults: A Population-Based Case-Control Study. Journal American Geriatri
Sosciology. Volume 59(10). Page: 1899-1907. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3223721/

Filion, K.B., 2016. Proton Pump Inhibitors And Community Acquired Pneumonia. BMJ 2016;
355: i6041. Canada. Avaiable at : http://www.bmj.com/content/355/bmj.i6041 “diakses 5
Desember 2017”

Fohl Alexander, Regal Randolph. 2011. Proton pump inhibitor-associated pneumonia: Not a
breath of fresh air after all?. World Journal Gastrointestinal pharmacology Therapy. Volume
2(3). Page: 17-26. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3124633/

Ishiguro,T., et al. 2013. Etiology and Factors Contributing to the Severity and Mortality of
Community-acquired Pneumonia. Intern Med 52: 317-324, 2013. Japan : Saitama
Cardiovascular and Respiratory Center. Avaiable at:
https://www.jstage.jst.go.jp/article/internalmedicine/52/3/52_52.8830/_pdf/-char/ja “diakses
5 Desember 2017”

Krisna Adi Jaya,Made dkk.2017.Modul Pratikum Farmakoterapi II (Penyakit System


Pencernaan, Saluran Pernafasan, Dan Infeksi).Denpasar:Institut Ilmu kesehatan Medika
Persada Bali

Lutfiya, M.N., Henley, E., Chang, L.F., 2006. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired
Pneumonia. American Family Physician, Volume 73, Number 3, February 1, 2006. Illinois:
University of Illinois College of Medicine. Avaiable at:
http://geriatrics.uthscsa.edu/reading%20resources/DiagnosisTreatmentCAP.pdf “diakses 5
Desember 2017”

Mandel, L.A., et al. 2007. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society
Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults.
Clinical Infectious Diseases 2007; 44:S27–72. Infectious Diseases Society of America

Moayyedi P, Soo S, Deeks J, Forman D, Harris A, Innes M, Delaney B. 2003. Systematic review:
Antacids, H2-receptor antagonists, prokinetics, bismuth and sucralfate therapy for non-
ulcer dyspepsia. Alinment Pharmacologi Therapy. Volume 17(10). Page: 1215-27.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12755835

Nagy B, Gaspar I, Papp A, Bene Z, Nagy B Jr, Voko Z, Balla G. 2013. Efficacy of
methylprednisolone in children with severe community acquired pneumonia. Pediatric
Pulmonology. Volume 48(2). Page: 168-75. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22588852

Narayan K, Cooper S, Morphet J, Innes K. 2017. Effectiveness of paracetamol versus ibuprofen


administration in febrile children: A systematic literature review. Journal Paediatric Child
Health. Volume 53(8). Page: 800-807. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28437025

Niederman, M.S., et al. 2012. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. American Journal Of
Respiratory And Critical Care Medicine, Vol 171. pp 388–416, 2005. Avaiable at:
https://www.thoracic.org/statements/resources/mtpi/guide1-29.pdf “diakses 5 Desember
2017”

Noreddin AM, Elkhatib WF. 2010. Levofloxacin in the treatment of community-acquired


pneumonia. Expert Review Anti Infection Therapy. Volume: 8(5). Page: 505-14. Available
at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20455679

Pei Zhang, HeJinshan, Fang Yongchao, Chen Pengtao, Liang Yuan, Wang Jingcheng. 2017.
Efficacy and safety of intravenous tranexamic acid administration in patients undergoing
hip fracture surgery for hemostasis: A meta-analysis. Medicine. Volume 96. Issue 21.
Available at: http://journals.lww.com/md-
journal/fulltext/2017/05260/Efficacy_and_safety_of_intravenous_tranexamic_acid.25.aspx

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta. Avaiable at :
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf “diakses 6
November 2017”

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta. Avaiable at :
http://pulmonologi.usu.ac.id/images/PDF/Guideline_Pneumonia_Nosokomial_PDPI.pdf
“diakses 6 November 2017”

Rxlist. 2017. Drug Interaction Chrecker. Available at: https://www.rxlist.com/drug-interaction-


checker.htm. “diakses 22 Desember 2017”

Shah, B.A., et al. 2010. Validity of Pneumonia Severity Index and CURB-65 Severity Scoring
Systems in Community Acquired Pneumonia in an Indian Setting. The Indian Journal of
Chest Diseases & Allied Sciences, 2010, Vol.52. India: Mamata Medical College. Avaiable
at : http://medind.nic.in/iae/t10/i1/iaet10i1p9.pdf “diakses 5 Desember 2017”

Singh, Y.D. 2012. Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. Supplement To Japi,


January 2012, Vol. 60. India: Association Of Physicians

SUN Hua-Jun HUANG Lei. 2010. Review of Safety and Effectiveness of Carbazochrome Tablets
and Injection. Chinese Journal of Pharmacovigillance. Volume 11. Available at:
http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-YWJJ201011017.htm

Watkins, R.R dan Lemonovich, T.L. 2011. Diagnosis and Management of Community-Acquired
Pneumonia in Adults. American Family Physician, Volume 83, Number 11, June 1, 2011. American
Academy of Family Physicians
Xiong S, Xu Y, Xu S, Liu J, Liu H, Zhao J, Xiong W. 2006. Efficacy and safety of intravenous
moxifloxacin versus cefoperazone with azithromycin in the treatment of community acquired
pneumonia. Journal Huazhong University Science Technology Medical Science. Volume
16(4). Page 42. Availbale at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17120738

Anda mungkin juga menyukai