Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

PRAKTIKUM 3 : PENYAKIT PARKINSON

OLEH :
KELOMPOK 3
Komang Yoga Utama 171200174/A2B

Nama Dosen : Dewi Puspita Apsari S.Farm,.M.Farm,.Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2020
PENYAKIT PARKINSON

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit parkinson
2. Mengatahui patofisiologi penyakit parkinson
3. Mengetahui gejala dan factor resiko penyakit parkinson
4. Mengetahui tatalaksana penyakit parkinson (Farmakologi & Non-Farmakologi).

II. DASAR TEORI


II.1 Definisi Parkinson
Parkinson adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar
dopamin dengan berbagai macam sebab (Silitonga, 2007).
Penyakit parkinson merupakan proses degeneratif yang melibatkan neuron
dopaminergik dalam substansia nigra (daerah ganglia basalis yang memproduksi
dan menyimpan neurotransmitter dopamin). Daerah ini memainkan peran yang
penting dalam sistem ekstrapiramidal yang mengendalikan postur tubuh dan
koordinasi gerakan motorik volunter, sehingga penyakit ini karakteristiknya adalah
gejala yang terdiri dari keseimbangan) (Silitonga, 2007).

II.2 Etiologi Parkinson


Etiologi parkinson tidak diketahui, tetapi faktor-faktor seperti konstitusi
genetik dan paparan racun (intrinsik atau ekstrinsik) kemungkinan besar berperan.
Dalam parkinson, fitur histopatologi kunci adalah degenerasi neuron dopaminergik
di substansia nigra yang memproyeksikan ke striatum (yaitu jalur nigrostriatal).
Pemberian senyawa 1-metil-4-fenil-1,2,3,6 tetrahidropiridin (MPTP) menghasilkan
bentuk parkinsonisme. Senyawa MPTP diubah oleh monoamine oxidase (MAO)
-B menjadi 1-methyl-4-phenylpyridinium ion (MPP +), sebuah neurotoksin kuat
pada manusia dan hewan. MPP + adalah racun bagi neuron dengan menghambat
kompleks mitokondria 1 dari rantai transpor elektron, yang menghasilkan
pembentukan spesies oksigen reaktif yang berlebihan dan kematian sel. Beberapa
pestisida sintetis memiliki struktur molekul yang mirip dengan MPTP. Penelitian
epidemiologi ekstensif menghubungkan faktor-faktor lingkungan, seperti paparan
kronis terhadap pestisida dan logam berat (seperti besi dan mangan), kehidupan
pedesaan, dan minum air sumur, dengan kontribusi kecil tetapi dapat dibuktikan
terhadap risiko seumur hidup. Secara intrinsik, substantia nigra pars compacta
(SNc) adalah wilayah yang dicirikan oleh tingkat stres oksidatif yang tinggi karena
radikal bebas dihasilkan dari autooksidasi dopamin yang dimediasi oleh MAO.
SNc juga kaya akan besi dan tembaga, kofaktor penting dalam biosintesis dan
metabolisme dopamin. Siklus reduksi oksidasi besi juga dapat menghasilkan
radikal bebas dan metabolit beracun (misalnya, hidrogen peroksida). Apoptosis
(kematian sel terprogram), excitotoxicity, peradangan, disfungsi mitokondria,
toksisitas nitrat oksida, disfungsi proteosom, dan mekanisme seluler autophagic
juga melibatkan mekanisme etiopathologic di parkinson. Genetika dapat
memainkan peran penting, terutama jika parkinson dimulai sebelum usia 50 tahun.
Bentuk parkinsonisme autosomal yang dominan terkait dengan mutasi gen repeat-
synuclein (PARK1) dan leusin-rich repeat kinase 2 (LRRK). Bentuk resesif
autosomal terkait dengan mutasi gen parkin dan PINK1 (Chen, J.J., et al. 2008).

II.3 Faktor Resiko Parkinson


1. Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari
10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial
yang mempengaruhi kerusakan neuronal
2. Ras
Orang kulit putih lebih sering mendapat penyakit Parkinson daripada orang Asia
dan Afrika.
3. Lingkungan sekitar
a. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan
kerusakan mitokondria
b. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada penyakit Parkinson
c. Trauma kepala
d. Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar
4. Toksin
Seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-trihidroxypyridine (MPTP), CO, Mn, Mg,
CS2, methanol, etanol dan sianida), penggunaan herbisida dan pestisida, serta
jangkitan.
5. Genetik
Sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien dengan
Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif
parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen. Penelitian menunjukkan
adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit parkinson. Yaitu mutasi
pada gen parkin (PARK2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya
disfungsi mitokondria (Corwin, Elizabeth J, 2009).

II.4 Patofisiologi Parkinson


Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia
nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies). Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra
pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang. Dalam kondisi
normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum akan
merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di
dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus
segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk
reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2. Maka bila masukan
direk dan indirek seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan (Silitonga, 2007).
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum
muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin
berkurang 80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk
dengan neurotransmiter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang
inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus
segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi
inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari
saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus
melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi
(Silitonga, 2007).
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah
GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan
dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks
motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia (Silitonga,
2007).
II.5 Klasifikasi Parkinson
Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi harus
diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang etiologi,
prognosis dan penatalaksanaannya (SIGN, 2010):
1. Parkinsonismus primer/idiopatik/paralysis agitans
Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum
jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis, sifilis
meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan fenotiazin,
reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan serebral petekial pasca
trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark0020lakuner, tumor serebri,
hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3.Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit
keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson (degenerasi hepato-
lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi
striatonigral, atropi palidal (parkinsonismus juvenilis).

II.6 Gejala Parkinson


Meskipun gejala yang disampaikan di bawah ini bukan hanya milik penderita
parkinson, umumnya penderita parkinson mengalami hal ini (Ginsberg, 2008).
1. Gejala Motorik
a. Tremor/bergetar
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan dianggap
sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu ciri khas dari
penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat.
Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak
terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga sewaktu tidur.
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis,
kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-
mulung (pil rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi
pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut
membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu
istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang (resting/ alternating tremor).
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada
kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang
menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan,
kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan
aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti.
Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat
penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi
b. Rigiditas/kekakuan
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan yang tremor
tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada
pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang
bergigi sehingga gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Selain di
tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat
kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti break-dance.
Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur yang
membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh,
langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-pendek.
Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni seluruh gerakan,
hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron alfa, adanya
fenomena roda bergigi (cogwheel phenomenon)
c. Akinesia/Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga
tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat.
Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang
semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan
diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan
(stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan
mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga
sering keluar air liur.
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif,
misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat
mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat.
Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan
gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan
mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka
keluar dari mulut.
d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah
Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai
melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu
ragu-ragu untuk mulai melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan
sembelit. Penderita menjadi lambat berpikir dan depresi. Bradikinesia
mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta mimic muka. Disamping itu,
kulit muka seperti berminyak dan ludah suka keluar dari mulut karena
berkurangnya gerak menelan ludah.
e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal
ini merupakan gejala dini
f. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a
petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke
depan, punggung melengkung bila berjalan.
g. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot
laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton
dengan volume suara halus (suara bisikan) yang lambat
h. Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit
kognitif.
i. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut,
sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan
lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul,
asal diberi waktu yang cukup.
j. Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal
hidungnya (tanda Myerson positif).

2. Gejala Non Motorik


a. Disfungsi otonom
 Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama
inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
 Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
 Pengeluaran urin yang banyak
 Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat
seksual, perilaku, orgasme.
b. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
c. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
d. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
e. Gangguan sensasi,
 kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan
warna,
 penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh
hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk
melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan
posisi badan
 berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau ( microsmia atau
anosmia) (Ginsberg, 2008).

II.7 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada setiap kunjungan penderita (SIGN, 2010) :
1. Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk
mendeteksi hipotensi ortostatik.
2. Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan
diekstensikan, menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan
rigiditas yang san gat, berarti belum berespon terhadap medikasi.
3. Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis
kalimat sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan
tangan kanan dan kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu
follow up berikutnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
 EEG (biasanya terjadi perlambatan yang progresif)
 CT Scan kepala (biasanya terjadi atropi kortikal difus, sulki melebar,
hidrosefalua eks vakuo).

5. Skor Hoehn dan Yahr


Stage 0 Tidak ada tanda-tanda penyakit
Stage 1 Tanda-tanda unilateral
Stage 1,5 Tanda-tanda unilateral dan aksial
Stage 2 Tanda-tanda bilateral tanpa gangguan keseimbangan
Stage 2,5 Penyakit bilateral ringan
Stage 3 Penyakit bilateral ringan-sedang, terjadi
ketidakseimbangan tubuh secara fisik masih mandiri
Stage 4 Penyakit parah tidak mampu hidup sendiri
Stage 5 Tidak bisa berjalan atau berdiri tanpa bantuan
II.8 Tatalaksana Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi
Tujuan terapi penyakit parkinson adalah untuk meningkatkan kemampuan
motorik dan non-motorik sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sasaran terapinya memperbaiki keseimbangan antara dopaminergik dan
asetilkolinergik didalam striatum dan mencegah degenarasi syaraf lebih lanjut.
Prinsip umum terapi penyakit parkinson adalah:
a. Terapi dimulai dengan titrasi dosis (start low dan go slow)
b. Terapi dijaga pada dosis efektif terendah
c. Jika diperlukan, dilakukan penghentian terapi secara bertahap.
Tatalaksana terapi penyakit Parkinson:
A. Terapi Farmakologik
 Bekerja pada sistem dopaminergik
1. Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)
Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Levodopa
di dalam otak dirubah menjadi dopamine. L-dopa akan diubah menjadi
dopamine pada neuron dopaminergic oleh L-aromatik asam amino
dekarboksilase (dopadekarboksilase). Walaupun demikian, hanya 1-5% dari L-
Dopa memasuki neuron dopaminergik, sisanya dimetabolisme di sembarang
tempat, mengakibatkan efek samping yang luas. Karenamekanisme feedback,
akan terjadi inhibisi pembentukan L-Dopa endogen. Carbidopa danbenserazide
adalah dopa dekarboksilase inhibitor, membantu mencegah metabolisme L-
Dopa sebelum mencapai neuron dopaminergik. Levodopa mengurangi tremor,
kekakuan otot dan memperbaiki gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan
bisa kembali menjalani aktivitasnya secara normal. Obat inidiberikan bersama
carbidopa untuk meningkatkan efektivitasnya dan mengurangi efek
sampingnya. Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis dengan levodopa
sampai memang dibutuhkan. Bila gejala pasien masih ringan dan tidak
mengganggu, sebaiknya terapi dengan levodopa jangan dilakukan. Hal ini
mengingat bahwa efektifitas levodopa berkaitan dengan lama waktu
pemakaiannya. Levodopa melintasi sawar- darah-otak dan memasuki susunan
saraf pusat dan mengalami perubahan enzimatik menjadi dopamin. Dopamin
menghambat aktifitas neuron di ganglia basal (Ginsberg, 2008).
Efek samping levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia
yaitu gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun tubuh.
Respon penderita yang mengkonsumsi levodopa juga semakin lama semakin
berkurang. Efek samping teratasi dengan jadwal pemberian diatur dan
ditingkatkan dosisnya, juga dengan memberikan tambahan obat-obat yang
memiliki 19 mekanisme kerja berbeda seperti dopamin agonis, COMT
inhibitor atau MAO-B inhibitor (Ginsberg, 2008).
2. Agonis dopamin
Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax),
Pramipexol (Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid dianggap
cukup efektif untukmengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan
merangsang reseptor dopamin, akan tetapi obat ini juga menyebabkan
penurunan reseptor dopamin secara progresif yangselanjutnya akan
menimbulkan peningkatan gejala Parkinson. Obat ini dapat berguna untuk
mengobati pasien yang pernah mengalami serangan yang berfluktuasi dan
diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat
diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan setiap hari dapat
mengurangi fluktuasi gejala motorik. Efek samping obat ini adalah halusinasi,
psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual dan muntah (Baehr MF, Michael.
Duu,s, 2005).
3. Penghambat Monoamine Oxidase (MAO Inhibitor)
Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga berguna
padapenyakit Parkinson karena neurotransmisi dopamine dapat ditingkatkan
dengan mencegah perusakannya. Selegiline dapat pula memperlambat
memburuknya sindrom Parkinson, dengan demikian terapi levodopa dapat
ditangguhkan selama beberapa waktu. Berguna untuk mengendalikan gejala
dari penyakit Parkinson yaitu untuk mengaluskan pergerakan. Selegilin dan
rasagilin mengurangi gejala dengan dengan menginhibisi monoamine oksidase
B (MAO-B), sehingga menghambat perusakan dopamine yang dikeluarkan
oleh neuron dopaminergik. Metabolitnya mengandung L- amphetamin and L-
methamphetamin. Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan
levodopa-carbidopa. Selain ituobat ini juga berfungsi sebagai antidepresan
ringan. Efek sampingnya adalah insomnia, penurunan tekanan darah dan
aritmia (Baehr MF, Michael. Duu,s, 2005).
 Bekerja pada system kolinergik yaitu Antikolinergik
Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat
aksineurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu
mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat
mengurangi gejala tremor. Ada dua preparat antikolinergik yang banyak
digunakan untuk penyakit parkinson, yaitu thrihexyphenidyl (artane) dan
benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga termasuk golongan ini adalah
biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin). Efek
samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis
ini tidak diberikan pada penderita penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena
dapat menyebabkan penurunan daya ingat (Baehr MF, Michael. Duu,s, 2005).
 Bekerja pada Glutamatergik yaitu Amantadin
Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat
ini dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat
menghilangkan gejala penyakit Parkinson yaitu menurunkan gejala tremor,
bradikinesia, dan fatigue pada awal penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan
fluktuasi motorik (fenomena on-off) dan diskinesia pada penderita Parkinson
lanjut. Dapat dipakai sendirian atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau
agonis dopamine. Efek sampingnya dapat mengakibatkan mengantuk (Baehr MF,
Michael. Duu,s, 2005).
 Bekerja sebagai pelindung neuron
Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap ancaman degenerasi
akibat nekrosis atau apoptosis (Baehr MF, Michael. Duu,s, 2005).
 Evidence Based Terkait Parkinson
Levodopa, cabergoline, ropinirole, dan pramipexole adalah efektif dalam
memperbaiki motor dan ADL (aktivitas kehidupan sehari-hari) cacat pada pasien
dengan PD yang membutuhkan terapi dopaminergik. Levodopa lebih efektif
daripada cabergoline, ropinirole, dan pramipexole dalam merawat motor dan fitur
ADL dari PD (Zulies, 2009).
Cabergoline, ropinirole, dan pramipexole pengobatan PD pasien yang
membutuhkan terapi dopaminergik menghasilkan motor yang lebih sedikit
komplikasi daripada pengobatan levodopa setelah 2,5 tahun masa tindak lanjut.
Cabergoline, ropinirole, dan perawatan pramipexole pada pasien PD yang
membutuhkan terapi dopaminergik dikaitkan dengan efek samping yang lebih
sering termasuk halusinasi, somnolen, dan edema daripada terapi levodopa
(Zulies, 2009).
Rekomendasi: Pada pasien dengan PD yang memerlukan inisiasi pengobatan
dopaminergik, baik levodopa atau agonis dopamin, pilihannya tergantung pada
dampak relatif dari peningkatan motor kecacatan (lebih baik dengan levodopa)
dibandingkan dengan berkurangnya motorik komplikasi (lebih baik dengan
agonis dopamin) untuk setiap pasien dengan bukti PD (Zulies, 2009).

B. Terapi Non Farmakologi


1. Edukasi
Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misal
pentingnya meminum obat teratur dan menghindari jatuh. Menimbulkan rasa
simpati dan empati dari anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan
psikik mereka menjadi maksimal (Gupta Rea, 2013).
2. Terapi Rehabilitasi
Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita
dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah
-masalah sebagai berikut : Abnormalitas gerakan, Kecenderungan postur tubuh
yang salah, Gejala otonom, Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living
– ADL), dan Perubahan psikologik. Latihan yang diperlukan penderita
parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan psikoterapi (Purba, 2012).
3. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses
patologis yang mendasari (neurorestorasi). Tindakan pembedahan untuk
penyakit parkinson dilakukan bila penderita tidak lagi memberikan respon

terhadap pengobatan/intractable, yaitu masih adanya gejala dua dari gejala


utama penyakit parkinson (tremor, rigiditas, bradi/akinesia, gait/postural
instability), Fluktuasi motorik, fenomena on-off, diskinesia karena obat, juga
memberikan respon baik terhadap pembedahan (Silitonga, 2007).
Gambar 1. Algoritme Terapi Penyakit Parkinson
Gambar 2. Algoritme Terapi Penyakit Parkinson
Gambar 3. Algoritme Terapi Penyakit Parkinson
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
a. Form SOAP
b. Form Medication Record
c. Catatan minum obat
d. Kalkulator Scientific
e. Laptop dan koneksi internet
3.2 Bahan
a. Text book
b. Data nilai normal laboratorium
c. Evidence terkait (journal, sistematik review, meta analysis)

Studi Kasus
Bapak D, usia 58 thn, datang ke Poli syaraf dengan keluhan tangan gemetar sejak
6 bulan yang lalu, dan semakin meningkat terus menerus sehingga mengganggu
aktivitasnya. Selain itu tangan, kaki dan badan terasa pegal. Bapak D
mendapatkan obat citicolin 500 mg (2 x 1), Levodopa 500 mg (3 x 1), Asam folat
1000 mg (2 x 1). Ia merasa sangat mual dan telah muntah sebanyak tiga kali
selama beberapa hari terakhir.
DAFTAR PUSTAKA

Baehr MF, Michael. Duu,s. 2005. Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. United
States of America

Chen, J.J., et al. 2008. Chapter 61 : Parkinson Disease’s : Pharmacotherapy A


Pathophysiologic Approach Seventh Editions. The McGraw-Hill Companies,
Inc.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih Bahasa Nike Budhi
Subekti. Jakarta : EGC

Ginsberg L. 2008. Lecture Notes: Neurologi. 8 ed. Jakarta: Erlangga

Gupta Rea. 2013. Rotigotine in Early and Advanced Parkinson's Disease. Delhi
Psychiatry

Purba JS. 2012. Penyakit Parkinson. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

SIGN (Scottish Intercollegiate Guideline Network). 2010. Diagnosis and


Pharmacological Management of Parkinson’s Disease.

Silitonga R. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Hidup


Penderita Penyakit Parkinson Di Poliklinik Saraf RS Dr Kariadi. Semarang:
Universitas Diponegoro

Zulies, Ikawati. 2009. Farmakoterapi Penyakit Parkinson. Yogyakarta: Fakultas


Farmasi UGM.

Anda mungkin juga menyukai