Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRATIKUM FARMAKOTERAPI IV

DRUG INDUCED LIVER DISEASE (DILI)

B1A - KELOMPOK 4

NI PUTU IRMA RIANA RAHMADEWI 162200023


SANG PUTU GEDE ADI PRATAMA 162200024
SANTY DEWI KUMALASARI W. 162200025
SI NGURAH MADE SUTA PRARAMA 162200026
SITI NUR AINI 162200027
STEFANIE DWIARTI OMON 162200028
VERIDIANA HANAT 162200029

JURUSAN FARMASI

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA

2017/2018
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi Drug Induced Liver Diseases.
2. Mengetahui patofisiologi dan mekanisme Drug Induced Liver Diseases.
3. Mengetahui tatalaksana Drug Induced Liver Diseases.
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait Drug Induced Liver Diseases mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
II. DASAR TEORI
2.1 Definisi
Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Kerusakan
hati akibat obat, atau disebut dengan drug induced liver injury, merupakan alasan
paling banyak di mana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi
penggunaannya. Kerusakan hati akibat obat (drug induced liver diseases) adalah
kerusakn hati yang berkaitan dengan gangguan dengan fungsi hati yang
disebabkan oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. Salah satu
fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukkan zat berbahaya yang masuk dari luar, salah satunya adalah obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom hati akan
melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuknya metabolit
yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu.
Dengan kondisi demikian, tidak mengherankan bila hati mempunyai
kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusaki oleh obat.
FDA-CDER (2001) mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan level
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai
normal, dan peningkatan level alkalinephosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari
batas atas nilai normal, atau peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari
dua kali dari batas atas nilai normal jika berkaitan dengan peningkatan
alaninaminotransferase atau alkalinphosphatase.
2.2 Epidemiologi
Di negara maju, populasi DILI secara umum diperkirakan menurun antara
1:100.000 dan 20:100.000. dari Negara Perancis dan Islandia dilaporkan bahwa
kejadian DILI pertahun sekitar 13,9:100.000. Di China kejadian DILI cenderung

2
meningkat dari tahun ke tahun karena: pertama, China memiliki populasi
penduduk yang banyak yang memerlukan beragam jenis obat yang berkembang;
kedua, masyarakat sering menyalahgunakan obat tanpa resep dan digunakan
sesuai keinginan pasien; ketiga, kurangnya pemahaman masyarakat tentang
keamanan obat. Selain itu, jenis dan kejadian DILI bervariasi di berbagai wilayah
geografis China karena polymorfisme enzim pemetabolisme obat dalam kelompok
etnis dan populasi berbeda (Jiang W, 2007).
Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Utara, untuk obat NSAID,
obat anti-infeksi dan suplemen herbal adalah penyebab umum DILI. Pada tahun
2013, sebuah studi prospektif dari Islandia menunjukan bahwa 16% obat
suplemen herbal dapat menyebabkan DILI, sementara itu data dari Amerika
menunjukan bahwa > 20% obat suplemen herbal dapat menyebabkan DILI.
2.3 Klasifikasi
Berdasarkan The Councils For International Organizations of Medical
Scinces (CIOMS), DILI dibagi menjadi 3 tipe:
2.3.1 Tipe Hepatoseluler atau Parenkimal
Tipe Hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkat analine aminotransferase
(ALT) > 2 kali batas atas nilai normal (LUN= Upper Limit of Normal) atau R > 5,
dimana R adalah rasio aktivitas serum ALT/aktifitas alkalinephosphastase atau
(ALP), yang keduanya terjadi peningkatan terhadap batas atas nilai normal.
Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe hepatoseluler dari pada tipe kolestasis
atau campuran, dan pasien dengan peningkatan bilirubin level pada kerusakan hati
hepatoselular mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan tingkat
kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000
individu yang menerima pesan pemberian obat.
2.3.2 Tipe Kolestasis
Tipe kolestasi didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN / R ≤ 2.
2.3.3 Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN dan 2
< R < 5. Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering berkembang
menjadi penyakit kronik dari pada tipe hepatoseluler. Drug- Induced Liver
Diseases Network (DILIN) mengembangkan sistem penilaian untuk menentukan

3
derajat berat Drug- Induced Liver Diseases berdasarkan gejala, ikterik,
membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan kematian atau
membutuhkan transplantasi hati.
Tabel 2.1 Derajat Berat DILI berdasarkan DILIN Prospective Study.
Score Grade Definition
Terdapat peningkatan kadar ALT dan/atau kadar ALK P,
1 Mild tetapi kadar serum bilirubin totalnya <2,5mg/dl, dan INR
>1,5
Terdapat peningkatan ALT dan atau kadar ALK P, dan
2 Moderate
serum bilirubin >2,5mg/dl, atau INR>1,5
Terdapat peningkatan kadar serum ALT, ALK P, dan
Moderate
3 bilirubin atau INR, dan dirawat inap atau rawat inap yang
severe
sedang berlansung diperpnjang karena episode DILI
Terjadi peningkatan kadar ALT dan atau kadar ALK P, dan
kadar serum bilirubin total>2,5mg/dl, dan setidaknya
terdapat salah satu dari hal berikut:
4 Severe
 Hepatic failure (INR>1,5, asites, atau encepalopaty)
 Kegagalan/kerusakan organ lain yang disebabkan
oleh peristiwa DILI (ginjal atau paru)
kematian atau transplantasi hati karena kejadian/peristiwa
5 Fatal
DILI
2.4 Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral
dari sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis
obat, toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati. Beberapa diantaranya seperti pada tabel dibawah ini merupakan
penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Diseases.
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Diseasses diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti stavudine, didanosine, nepirapine,
zidovudine (16,8%), troglitazone (11,7%), anti-konvulsan seperti asam valproat
dan phenitoin (10,3%), antikanker (12,3%) yang meliputi flutamide (3,3%),
Cyclophosphamide (3,1%) methotrexate (3,0%) dan cytarabine (2,9%), antibiotic
(8,7%) seperti trovafloxancine (3,2%), sulva/trimethoprim (2,9%) dan
clarithromycin (2,8%), anestesi seperti Halothane (4,8%), obat anti-tuberculosis,
isoniazide (3,2%), diklofenax (3,1%) dan oxycodone (3,1%).

4
Tabel 2.2 Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug- Induced
Liver Diseases.
Drugs Associated with DILI
Paracetamol
Non-steroidal anti-inflammatory drugs
 Diclofenac
 Ibuprofen
 Naproxen
Antibiotics
 amoxicillin/clavulanate (augmentin)
 flucloxacillin
 erythromicin
 ciprofoxacin
 anti-tubeculosis drugs (isoniazid, rifampicin, pyrazetinamide)
 anti-retroviral drugs (ritonavir)
Immunosuppressants
 azathioprine
 cyclophosphamide
Anti-arrthymia drugs
 amiodarone
Anti-epileptics
 phenytoin
 carbamazepine
 valproic acid
Psychiatric drugs
 chlorpromazine
 paroxetine
2.5 Patofisiologi
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang
unpredictable.
2.5.1 Predictable Drug Reaction (intrinsik)
Merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan
sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi.
Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang
merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal
sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya
tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbontetra klorid dan
kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung
masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol,

5
steroid kontrasepsi dan rifampicin. Tetrasiklin, etanol dan metoreksat
menimbulkan steatosis yaitu degen eraksi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang
mengalami alkilasi pada atom C—17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya
pengeluaran empedu. Rifampicin dapat pula menimbulkan ikterus karena
mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
2.5.2 Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic Drug Reactions
Merupakan kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena
toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya
terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini
ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah
kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi
hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme.

6
Gambar 2.1 Patofisiologi DILI
2.6 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko DILI (Sharma, 2002):
2.6.1 Faktor genetik
Faktor genetik mengacu pada korelasi antara resiko DILI dan polimorfisme
genetik atau varian yang melibatkan enzim metabolisme obat, protein transpor
obat dan sistem antigen leukosit manusia. Pasien dari berbagai ras mungkin
kemungkinan memiliki kerentanan genetik yang bervariasi terhadap DILI.
2.6.2 Usia
Usia lanjut dapat menjadi faktor predisposisi penting untuk DILI.
2.6.3 Ras
Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya
kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
2.6.4 Jenis kelamin
Belum jelas penyebabnya tetapi lebih sering terjadi pada wanita.

7
2.6.5 Penyakit
Penyakit yang mendasari seperti penyakit hati kronis, virus hepatitis B, virus
hepatitis C dan HIV dapat meningkatkan resiko DILI.
2.6.6 Konsumsi alkohol
Alkohol menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang
membuat orang lebih retan.
2.7 Diagnosis
2.7.1 Nilai tingkat keparahan DILI
Menurut pedoman CSH, terdapat 5 tingkat keparahan DILI untuk menunggu
diagnosis DILI yaitu:
a. Grade 0 (tidak ada kerusakan hati)
Pasien tidak memiliki reaksi hepatotoksik.
b. Grade 1 (cedra hati ringan)
Terjadi peningkatan kadar ALT dan atau ALP serum, total bilirubin <2,5,
ULN (2,5 mg/Dl ATAU 42,75 µmol/L), INR <1,5. Selain itu timbulnya
gejala seperti kelelahan, asthenia, mual, anoreksia, nyeri perut kanan atas,
ikterus, pruritus, ruam dan penurunan berat badan.
c. Grade 2 (kerusakan hati sedang)
Peningkatan serum ALT da atau ALP, dengan total bilirubin >2,5 ULN
atau INR>1,5, gejala-gejala seperti diatas semakin memburuk.
d. Grade 3 (kerusakan hati berat)
Peningkatan serum ALT dan atau ALP, total bilirubin >5 ULN (5 mg/ dL
atau 85,5 µmol/L) dengan atau tanpa INR >1,5. Gejala semakin parah dan
pasien diperlukan rawat inap
e. Grade 4 (gagal hati)
Adanya kelainan koagulasi yang ditunjukan pada nilai INR >1,5 atau PTA
<40%, tanda-tanda ensefalopati hepatik, dan total bilirubin >10 ULN
(10mg/dl atau171 µmol/L) atau elevasi harian >1,0 mg/dl (17,1 µmol/L
dalam 26 minggu setelah onset DILI.
f. Grade 5 (pasien meninggal)
Pasien meninggal atau perlu menerima transplatasi hati.

8
Gambar 2.2 Algorithm for the diagnosis of DILI

2.8 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis DILI akut biasanya tidak spesifik 1 hingga beberapa hari
atau selama beberpa bulan. Sebagian besar pasien dengan DILI kut tidak memiliki
gejala yang signiifikan dan hanya terjadi peningkatan indeks biokimia hepar
termasuk serum ALT, AST, ALP dan GGT.
Alanine Aminotransferase ALT suatu enzim yang utamanya ditemukan di hati,
paling baik untuk memeriksa hepatitis. Dulu disebut sebagai SGPT (Serum
Glutamic Pyruvate Transaminase). Enzim ini berada di dalam sel hati/hepatosit.
Jika sel rusak, maka enzim ini akan dilepaskan ke dalam aliran darah.
AST Aspartate Aminotransferase (AST) – enzim ditemukan di hati dan di
beberapa tempat lain di tubuh seperti jantung dan otot. Dulu disebut sebagai

9
SGOT (Serum Glutamic Oxoloacetic Transaminase), dilepaskan pada kerusakan
sel-sel parenkim hati, umumnya meningkat pada infeksi akut.
Alkaline Phosphatase (ALP) – suatu enzim yang terkait dengan saluran
empedu; seringkali meningkat jika terjadi sumbatan.
Pemeriksaan GGT biasanya dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan
pada hati atau saluran empedu. Selain itu, pemeriksaan ini juga sering digunakan
untuk memonitor keberhasilan dan kepatuhan peserta rehabilitasi alkohol karena
kadar GGT akan meningkat bila mengkonsumsi terlalu banyak alkohol atau zat
beracun lainnya seperti obat-obatan atau racun.
Beberapa pasien dengan DILI akut memiliki gejala seperti kelelahan,
penurunan nafsu makan, demam, ruam, peningkatan eosinofil, rasa sakit pada
persendian. Secara klinis, DILI kronis dapat bermanifestasi sebagai hepatitis
kronis, fibrosis hati dan sirosis.
Tabel 2.3 Definisi Istilah
No Istilah Definisi Nilai Normal Satuan
Nilirubin adalah produk utama dari
1 Bilirubin total 0.2-1.0 mg/dL
penguraian sel darah merah yang tua.
Bilirubin disaring dari darah oleh hati
dan dikeluarkan pada cairan empedu.
Sebagaimana hati menjadi semakin
rusak, bilirubin total akan meningkat.
Sebagian dari bilirubin total
2 Direct Bilirubin 0.1-1.0 mg/dL
termetabolisme, dan bagian ini
disebut sebagai bilirubin langsung
(direct). Bila bagian ini meningkat,
penyebab biasanya di luar hati.
Bilirubin langsung larut dalam air.
Enzim yang dibuat oleh hati, tulang,
dan plasenta, dan biasanya hadir
dalam konsentrasi tinggi pada darah
tumbuh dan empedu, dan dalam
kondisi rendah pada darah. ALP
3 ALP 20-70 u/L
dilepaskan ke dalam darah dalam
jumlah yang meningkat selama
kerusakan sel-sel hati dan selama
aktivitas normal seperti pertumbuhan
tulang dan kehamilan.
Enzim yang diproduksi di hati ketika
membran sel-sel hati rusak. Biasanya
4 SGPT/ALT 10-40 u/L
hadir di sel-sel hati dan jantung.
SGPT dilepaskan ke dalam darah

10
ketika hati atau jantung rusak.
Tingkat ALT diukur untuk membantu
menilai tingkat kerusakan hati dan
menentukan seberapa baik
pengobatan bekerja.
Enzim yang diproduksi di dalam hati.
Ketika sel-sel hati yang rusak, AST
dilepaskan. Peningkatan kadar AST
5 SGOT/AST 0-41 u/L
dapat mengindikasikan penyakit hati,
tetapi juga terlihat pada orang dengan
kerusakan otot.
Protein total terdiri atas albumin
(60%) dan globulin (40%).
Penurunan angka protein total dapat
6 Protein Total menggambarkan kerusakan hati, 6-8 g/dL
kerusakan ginjal, atau kerusakan di
mana protein tidak dicerna
sepenuhnya.
Protein darah yang diproduksi oleh
hati dan berperan dalam
7 Albumin mempertahankan volume darah 3.8-5.0 g/dL
normal. Tingkat albumin yang rendah
dikaitkan dengan sirosis hati.
Perbandingan albumin dengan
globulin yang merupakan konstituen
utama protein yang ditemukan dalam
Albumin- darah. Rasio yang abnormal terlihat
8 Globulin Ratio ketika kadar albumin atau globulin >1 g/dL
(A/G Rasio) meningkat atau menurun. Rasio
abnormal terlihat pada berbagai
gangguan, termasuk penyakit ginjal
dan hati.

2.9 Penatalaksanaan
Terapi efek hepatotoksikobatter diri dari penghentian segera obat-obatan yang
dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid,
meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol. Demikian juga
penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti
amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana
kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan
dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala. Prognosis gagal
hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih
dari 80%.

11
Gambar 2.3 Algoritme penatalaksanaan DILI
2.10 Evidence Based Terkait Obat Antituberkulosis Menginduksi DILI
Obat antituberkulosis terdiri dari isoniazid, rifampisi, pirazinamid, dan
atembutol/streptomisin dan tiga obat pertama bersifat hepatotoksit. Faktor-faktor
risiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien
perempuan, status nutrisi yang buruk, karier hepatitis B, tuberculosis lanjut, serta
pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya (Gaby, 2015).
Dalam penelitian yang berjudul Antituberculous drug-induced liver injury:
current perspective dikatakan bahwa Kerusakan hati yang diinduksi oleh obat
antituberkulosis adalah penyebab utama dili dan kerusakan hati akut (drug induce
acute liver failure) di india dan sebagian besar Negara berkembang. Dili yang
disebakan oleh pengobatan tb dapat terjadi pada semua kelompok umur termasuk
anak-anak dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan (Devarbhavi, H.
2011).

12
III. ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
1. Form SOAP
2. Form medication recor
3. Catatan minum obat
4. Kalkulator scientific
5. Laptop dan koneksi internet
3.2 Bahan
1. Text book
2. Data nilai normal laboraturium
3. Evidence terkait (journal, systematic review, meta analysis)
IV. STUDI KASUS
Tabel 4.1 Data pasien
Nama pasien Ny. S
Umur 54 tahun
MRS 18 februari 2016
Ruangan Bangsal XX
Berat badan/tinggi badan 52 kg/154 cm
Riwayat penyakit TB terkontrol
Tinggi/berat badan NA
Riwayat alergi obat Tidak ada riwayat alergi obat
Riwayat penyakit keluarga NA (not available)
Riwayat sosial NA (not available)
Diagnosis MRS DILI dan TB paru Relaps
Pasien wanita, 54 tahun dengan keluhan sejak 1 minggu lalu mengalami
jaundice sebelum masuk rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus. Pasien
mengeluhkan adanya batuk berdahak warna kuning yang sudah semakin membaik
dan hipertiroid. Riwayat demam, keringat malam, hemoptisis, BAK kemerahan
dan penurunan BB sekitar 2 kg dalam 1 bulan. Pasien sebelumnya sudah berobat
ke RS X, dengan diagnosisnTB paru dan dan mendapat OAT (tablet dan injeksi),
dan 2 minggu kemudian muncul jaundice, 2 tahun yang lalu pasien juga sudah
pernah mendapatkan OAT (tablet) dan sudah dinyatakan sembuh oleh dokter.
Pada tanda vital di jumpai TD 120/80 mmHg, nadi 80x/menit t/v cukup,
pernapasan 18x/menit, dan suhu 36,5oC. BB pasien 52 kg dengan Tb 154 cm
(IMT 21,93) kesan normoweight. Pemeriksaan fisik dijumpai sklera ikterik dan
pada thorax ronki basah di seluruh lapangan paru kiri.
13
Laboratorium dijumpai kesan leukositosis (15,150/mm 3), hiperbilirubinemia
(bilirubin total 8,9 mg/dl), peningkatan ALP (173 U/L) dengan SGOT (35 U/L)
dan SGPT (35 U/L) yang normal. HbsAg dan Anti HCV non reaktif. Kesan foto
thorax PA adalah TB paru aktif.
Terapi yang telah diterima pasien OAT terdiri dari INH, rifampisin, dan
ethambutol selama 2 bulan (fase inisial), diikuti INH dan rifampisin selama 7
bulan (fase lanjutan) dan pasien menerima terapai PTU 3x3 tab.
Pasien didiagnosis sebagai DILI dan TB paru relaps. OAT di stop sementara.
Tiga hari kemudian dilakukan pemeriksaan ulangan laboratorium didapatkan
perbaikan kadar bilirubin total 2,6 mg/dl, bilirubin direk 1,98 mg/dl, kadar ALP
300,56, SGOT 26,92 U/L, SGPT 31,2 U/L. Lalu tiga hari berikutnya dimonitoring
kembali tes fungsi hati dimana SGOT 30,53 U/L, SGPT 24,26 U/L, ALP 107 U/L,
bilirubin total 1,80 mg/dl, direct bilirubin 1,27 mg/dl.
Berdasarkan kasus diatas, akan dibahas lebih lanjut terapi pasien khusus dalam
aspek kajian farmasi klinis dengan menggunakan pendekatan analisis SOAP.
Tabel 4.2 Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
Parameter Nilai
Tekanan darah (mmHg) 120/80
Nadi (x/min) 80
Suhu (0C) 36.5
Respiratory rate (x/min) 18
Tabel 4.3 Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hasil I Hasil II Hasil III
Leukosit 15.150/mm3 - -
TBL 8.9 mg/dL 2.6 mg/dL 1.80 mg/dL
ALP (30-120) 173 u/L 300.56 u/L 107 u/L
SGOT 35 u/L 26.92 u/L 30.53 u/L
SGPT 35 u/L 31.2 u/L 24.26 u/L
DBL - 1.98 mg/dL 1.27 mg/dL
Tabel 4.4 Medication
Dosis yang
No Nama Obat Indikasi Dosis Terapi (literatur)
digunakan
1 INH TB - >30 kg = 300mg p.o. (9 bulan)
8-12mg/kg/hari > 50kg =
2 Rifampicin TB -
600mg/hari
3 Etambutol TB - 15mg/kg p.o/hari
300-400mg/hari p.o dibagi
4 PTU Hipertiroid 3x3tab
@8jam

14
Tabel 4.5 Problem Medis
Medical Pharmaceutical
DILI kolestatik P 2.1 Adverse drug event (possibly) occurring
P2.1 Adverse drug event (possibly) occurring
TB relaps C1.2 Inappropriate drug (within guidelines but otherwise
contra-indicated)
P2.1 adverse drug event (possibly) occurring dan C1.2
Hipertiroid inappropriate drug (within guidelines but otherwise
contra-indicated)
Tabel 4.6 Further Information Required
FIR Alasan Jawaban
Bagaimana lifestyle untuk mengetahui etiologi (-) rokok
pasien? terjadinya DILI (-) alkohol
untuk mengetahui
TSH= 0.2 mag/L
abnormalitas yang terjadi
Hasil pemeriksaan lab T3= 400 ng/dL
pada parameter terkait
terkait hipertiroid? T4 total= 20 mg/dL
sehingga dipertimbangkan
T4 bebas= 3 ng/dL
dalam rencana terapi
 WBC
untuk melihat kondisi
Periksa ke-2= 14.000
Hasil pemeriksaan infeksi TB sehingga
Periksa ke-3= 14.500
darah? dipertimbangkan dalam
 Eusinofil= 5%
rencana terapi
 Albumin= not available
 4 tab 4FDC + 1000mg
streptomycin injeksi (56
hari)
Dosis yang digunakan Untuk dipertimbangkan  4 tab 4FDC per hari (28
untuk terapi TB? dalam rencana terapi hari)
 4 tab 2FDC + 4
etambutol, 3 x seminggu
(20 minggu)
Dosis PTU pada Untuk melihat resiko ESO
3 x 100mg / hari
terapi hipertiroid? hepatotoksik
Untuk memastikan tidak ada
Test Fungsi Ginjal? factor eksklusi pada kondisi normal
pasien
V. PEMBAHASAN (Analisa dengan Metode SOAP)
5.1 Subjektif
Subjektif dari metode SOAP adalah data-data pasien tentang apa yang
dirasakan pasien atau apa yang dapat diamati tentang pasien, merupakan
gambaran apa adanya mengenai pasien yang dapat diperoleh dengan cara
mengamati, berbicara, dan berespon dengan pasien.

15
Pada kasus ini, dapat dilihat yang patut dicurigai merupakan manifestasi klinis
atau simptom yang menandakan adanya kerusakan hati, yaitu pasien mengalami
jaundice satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan
mual, muntah, dan pasien mengalami batuk, di mana dahak berwarna kuning,
namun sudah membaik. Pasien juga terlihat mengalami penurunan berat badan
sekitar 2 kg dalam seminggu. Untuk mengetahui kondisi DILI, tidak bisa bila
hanya dilihat dari data yang bersifat subjektif. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut yang lebih kompleks. Namun data subjektif ini dapat menjadi pendukung
pemeriksaan lanjutan terkait kondisi DILI.
5.2 Objektif
Objektif adalah data-data yang dapat diukur dengan angka atau data tertentu
misalnya hasil pemeriksaan tinggi badan, berat badan, suhu, tekanan darah, gula
darah, respitory rate dan lain sebagainya. Dapat juga dikatakan sebagai data
riwayat pasien yang terdokumentasi pada catatan medik dan hasil berbagai uji dan
evaluasi klinik misalnya, tanda-tanda vital, hasil test lab, hasil uji fisik, hasil
radiografi, endoskopi, CT scan, ECG, dan lain-lain.
Dilihat dari hasil data laboratorium diatas (Tabel 4.3) pasien didiagnosa
mengalami kolestasis hati yang dapat dilihat pada hasil pemeriksaan I dimana
terjadi peningkatan nilai ALP 3x diatas nilai batas normal. Tanda-tanda lainya
juga dapat dilhat dari nilai total bilirubin terjadi peningkatan level 8x diatas nilai
normal. Dilihat dari gejala yang dialami oleh pasien mengalami jaundice sebelum
masuk rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus, BAK kemerahan dan
penurunan BB sekitar 2 kg dalam 1 bulan yang menandai pasien mengalami
gangguan pada hati. Terkait dengan hasil laboratorium II dan III di mana terjadi
penurunan yang drastis pada nilai ALP dan bilirubin, terjadinya penurunan ini
sebagai tanda bahwa pasien mengalami kolistasis hati disebabkan oleh
penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan hati.

5.3 Assessment dan Plan


Assesment merupakan analisis dan interpretasi berdasarkan data yang
terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi
diagnosis atau masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera,
sedangkan plan adalah tindak lanjut dari assesment atau penilaian yang sudah

16
dilakukan sebelumnya, hal-hal yang dapat dilakukan terhadap pasien, meliputi
treatment yang diberikan, pemantauan (efektivitas terapi, efek samping obat) dan
informasi endpoint therapy pada pasien.
5.3.1 DILI Kolestatik
Problem Medis Terapi DRP Plan
P 2.1 adverse effect
Asam ursodeoxycholic
Cholestatic DILI - (terkait penggunaan
250mg 3x sehari
rimfapicin)
 Assessment
Kolestasis yang berhubungan dengan pasien hepatitis yaitu ditemukannya
peningkatan bilirubin, alanine aminotransferase dan tingkat alkalin fosfatase dan
sejumlah kerusakan hati. Berdasarkan kriteria Council for International
Organizations of Medical Sciences (CIOMS) untuk menilai DILI dengan kriteria
kolistasis ditandai dengan nilai ALP ≥2 ULN and R ≤ 2 (B. E. Featherstone,
2012).
Gambaran klinis utama dari kolestasis murni adalah pruritus berat, dengan
atau tanpa fitur lain, sesuai dengan tingkat keparahannya, seperti urin gelap, tinja
pucat dan ikterus. Hepatitis kolestatik yang diinduksi obat biasanya muncul
dengan gejala gastro-intestinal setelah penyakit seperti influenza. Nyeri perut
dengan fitur khas kolestasis kemudian terjadi. (B. E. Featherstone, 2012).
Dari hasil pemerikasaan laboratorium pada nY. XX didapatkan;
Tabel 5.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Hasil I Hasil II Hasil III Normal
Leukosit 15.150/mm3 - -
TBL 8.9 mg/dL 2.6 mg/dL 1.80 mg/dL 0.3-1 mg/dL
ALP (30-120) 173 u/L 300.56 u/L 107 u/L 26-88 u/L
SGOT 35 u/L 26.92 u/L 30.53 u/L 8-42 u/L
SGPT 35 u/L 31.2 u/L 24.26 u/L 3-30 u/L
DBL - 1.98 mg/dL 1.27 mg/dL
Keterangan:
Hasil I : hasil pemeriksaan laboratorium setelah penggunaan OAT
Hasil II : hasil pemeriksaan laboratorium pada hari ke 3 setelah penghentian
penggunaan OAT
Hasil III : pemeriksaan laboratorium pada 3 hari kemudian setelah pemeriksaan
ke 2
Dilihat dari hasil data laboratorium diatas pasien didiagnosa mengalami
kolestasis hati yang dapat dilihat pada hasil pemeriksaan I dimana terjadi
peningkatan nilai ALP 3x diatas nilai batas normal. Tanda-tanda lainya juga dapat
17
dilhat dari nilai total bilirubin terjadi peningkatan level 8x diatas nilai normal.
Dilihat dari gejala yang dialami oleh pasien mengalami jaundice sebelum masuk
rumah sakit. Dijumpai nausea dan vomitus, BAK kemerahan dan penurunan BB
sekitar 2 kg dalam 1 bulan yang menandai pasien mengalami gangguan pada hati.
Terkait dengan hasil laboratorium II dan III dimana derjadi penurunan yang
drastis pada nilai ALP dan bilirubin, terjadinya penurunan ini sebagai tanda
bahwa pasien mengalami kolistasis hati disebabkan oleh penggunaan obat-obatan
yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Dimana obat yang digunakan rimfapicin
untuk pengobatan TB.
Rifampisisn 85-90 % dimetabolisme di hati dan metabolitnya aktifnya
dieksresikan melalui urin dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan INH.
Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar rifampisisn serum
yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom P 450
yang akan terus berlangsung hingga 7-14 hari setelah obat dihentikan. Efek
hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme
obat dapat dipengaruhi faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung
dan penyakit hepar. Efek samping obat biasanya ringan dan efek samping obat
yang berat adalah hepatotoksik. Obat anti TB yang dapat menyebabkan
hepatotoksik adalah PZA, INH dan rifampisin. Rifampisisn sebagai obat utama
TB mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan
PZA dan INH.
Penanda dini hepatotoksisk adalah peningkatan enzim-enzim transaminase
dalam serum yang teridi dari AST/GOT yang diekskresikan secara pararel dengan
ALT/GPT yang merupakan penanda yang spesifik untuk mendeteksi adanya
kerusakan hepar.
Asam ursodeoxycholic (UDCA) saat ini satu-satunya obat yang ditetapkan
untuk pengobatan penyakit hati kolestatik dan memiliki efek sitoprotektif,
imunomodulator, anti-apoptosis, dan choleretic (Manmeet S. P. dkk., 2012).
Studi eksperimental pada tikus telah menunjukkan bahwa UDCA
meningkatkan kesembuhan cholestasis yang diinduksi oleh phalloidin, 17β-
estradiol glucuronide dan endotoxins. UDCA meningkatkan ekspresi pompa
ekspor kanalikuli untuk garam empedu (BSEP) dan anion organik lainnya

18
termasuk bilirubin (MRP2) yang merangsang sekresi empedu. UDCA juga
menstimulasi penyisipan pompa ekspor ini ke dalam membrane kanalikuli dalam
mencegah pembentukan protein kinase C dan p38 MAP-kinase. UDCA
merangsang penargetan P-glycoprotein (MDR1) ke membran kanalikuli, yang
dapat mencegah efek kolestasis terkait siklosporin (Manmeet S. P. dkk., 2012).
Meskipun mekanisme efek menguntungkan UDCA dalam kolestasis tidak
dipahami dengan jelas, diperkirakan bahwa efek menguntungkan utamanya adalah
menurunkan hidrofobisitas asam empedu dengan mengganti racun (misalnya
hidrofobik) dengan asam empedu non-toksik (misalnya hidrofilik). UDCA paling
baik diberikan pada waktu tidur untuk menghindari penghambatan penyerapannya
ketika diberikan dengan cholestyramine atau colestipol (Manmeet S. P. dkk.,
2012).
Suatu penelitian bertujuan untuk mengevaluasi manfaat terapeutik UDCA di
DILI berdasarkan uji coba terkontrol secara acak. Diagnosis DILI sesuai dengan
rekomendasi dari US Liver-Induced Liver Injury Network (DILIN). Pasien diacak
ke kelompok perlakuan (dengan UDCA 13-15 mg /kg/hari, dibagi menjadi 3
dosis) dan kelompok yang dikontrol plasebo. Tes biokimia hati dan gejala klinis
dan tanda diperiksa setidaknya setiap 2 minggu. Titik akhir hasil adalah kematian
terkait DILI, transplantasi hati, atau derajat berat (serum total bilirubin ≧ 2,5 mg /
dL, dikombinasikan dengan rasio normalisasi internasional ≧ 1,5, asites atau
ensefalopati) sebagai definisi DILIN. Hasilnya Sebanyak 112 pasien direkrut (54
pada kelompok perlakuan dan 58 pada kelompok kontrol). Tidak ada perbedaan
statistik usia, jenis kelamin dan persentase jenis DILI (hepatoselular, campuran,
dan kolestatik) antara 2 kelompok. Selama follow-up, tidak ada perbedaan
statistik serum serial alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase dan total
bilirubin antara 2 kelompok. Selama pengobatan, serum tingkat alkalin fosfatase
dalam kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol (p
= 0,039, pengukuran berulang dua arah ANOVA). Sembilan (16,6%) dari 54
pasien dalam kelompok perlakuan, dan 10 (17,2%) dari 58 pasien dalam
kelompok kontrol. Meskipun UDCA mungkin memiliki efek terapeutik dalam
menurunkan serum alkalin fosfatase pada pasien dengan DILI, ia tidak memiliki

19
manfaat klinis dalam hal penurunan mortalitas dan DILI berat (Yi-Shin Huang,
2010).
 Plan
Cholestatic DILI diterapi dengan Asam ursodeoxycholic 250mg 3x sehari
yang digunakan sampai adanya perbaikan hati.
 Monitoring
1. Efektifitas:
- Nilai ALP kembali di rentang normal
- Nilai Bilirunin Kembali di rentang normal
- Hilangnya gejala seperti jaundice, nausea dan vomitus, BAK
kemerahan dan penurunan BB
2. Efek Samping: mual, muntah, dan diare atau konstipasi.

5.3.2 TB Relaps
Problem Medis Terapi DRP Plan
P2.1 (Adverse
Obat kombinasi yang
drug event
diberikan sebelumnya
(possibly)
dihentikan. Diganti
occurring)
dengan pemberian obat
C1.2
satu persatu dengan
(Inappropriate
dilakukan monitoring
drug (within
fungsi hati seperti
guidelines but
bilirubin total, ALT,
otherwise contra-
ALP setiap 2 minggu.
4 KDT + inj indicated) )
TB relaps
streptomycin Jika rifampisin yang
menyebabkan dili maka
OAT yang diberikan
Ada kemungkinan
terdiri dari INH +
Rifampisin dapat
Pirazinamid +
menimbulkan
Ethambutol + Ofloxacin
kejadian DILI
(selama 2 bulan), lalu
diikuti INH +
Ethambutol + Ofloxacin
(selama 10 bulan).
 Assessment
Kombinasi obat anti TB (OAT) efektif untuk mengatasi infeksi TB, namun
penggunaannya berhubungan dengan risiko DILI (drug induced liver injury).
OAT lini pertama yang berhubungan dengan DILI antara lain INH, rifampisin,
dan pirazinamid. DILI akibat OAT ini merupakan reaksi efek samping yang telah
20
diketahui secara luas dan terjadi pada pasien. Pada suatu kasus pasien DILI akibat
konsumsi OAT yang hanya ditandai peningkatan bilirubin dan ALP, dengan hasil
AST dan ALT yang normal, yang perlu ditelaah lebih lanjut mengenai tipe DILI
yang terjadi (hepatoseluler, kolestatis, atau campuran) serta OAT mana yang
menyebabkan terjadinya DILI pada pasien. Hasil pemeriksaan pada pasien ini
yaitu bilirubin total sebesar 8,9 mg/dl, peningkatan ALP sebesar 173 U/L dengan
SGOT sebesar 35 U/L dan SGPT sebesar 35 U/L yang normal. Pasien ini
mengalami peningkatan bilirubin dan ALP yang mengindikasikan terdapat tanda
kolestasis setelah 2 minggu konsumsi OAT. Pada kasus ini termasuk dalam tipe
kolestatis. Tipe kolestasis walaupun bisa bergejala mual dan muntah, namun
umumnya asimtomatik, terjadi peningkatan bilirubin yang reversibel, gangguan
transport bilirubin, yang dimana tipe ini sering disebabkan oleh rifampisin.
Rifampisin secara dose dependent dapat mengganggu uptake bilirubin sehingga
dapat terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi yang menyebabkan ikterik
yang nyata maupun ikterik subklinis, tanpa disertai kerusakan hepatoseluler.
Rifampisin dapat menghambat pompa eksporter garam empedu dan mengganggu
klirens bilirubin pada membran sinusoidal. Jadi, rifampisin merupakan OAT yang
menyebabkan reaksi hepatotoksik pada pasien ini.
Hepatotoksisitas akibat OAT merupakan salah satu efek samping yang dapat
diperparah oleh akumulasi toksisitas dari kombinasi OAT. Tatalaksana TB dapat
menyebabkan jejas hati akibat OAT seperti Rifampisin, Pirazinamid, Isoniazid,
Ethionamide, dan PAS. DILI dapat menyebabkan timbulnya gejala jaundice,
nausea, vomitus, nyeri abdomen, peningkatan kadar bilirubin dan asam
transaminase. Dimana pada kasus ini, pasien mengalami gejala jaundice, nausea,
vomitus serta peningkatan kadar bilirubin. DILI adalah kondisi utama yang
menyebabkan penundaan melanjutkan pemberian OAT kepada pasien.
Hepatotoksik ATT [(Isoniazid (H), Rifampicin (R) dan Pyrazinamide (Z)]
dihentikan, dan dimodifikasi ATT yang terdiri dari Streptomisin, Ethambutol dan
Quinolone-Moxifloxacin (SEQ) dimulai. Pasien ditindaklanjuti setiap minggu
hingga parameter klinis dan biokimia distabilisasi Periode ini disebut periode
normalisasi Stabilisasi didefinisikan sebagai: bilirubin <1 mg / dl, ALT <100 IU /
L (Zuberi et al., 2014).

21
Pirazinamide adalah yang paling hepatotoksik dan sebaiknya dihindari
penggunaannya. Isoniazid dan rifampisin juga bersifat hepatotoksik, dan
kombinasi keduanya lebih bersifat toksik dibandingkan penggunaan tunggal. Dari
seluruh OAT line kedua, PAS merupakan yang hepatotoksik. Dari kebanyakan
kasus, terjadi DILI dalam 2-3 bulan setelah dimulainya terapi OAT. Obat yang
dapat diberikan secara aman pada pasien DILI antara lain aminoglikosida,
etambutol, kuinolon, dan sikloserin (Garg & Tandon, 2001). Oleh karena dapat
terjadinya resiko DILI selama pengobatan OAT maka terdapat dua strategi
manajemen yaitu monitoring fungsi hati dan modifikasi rejimen terapi.
Sebuah penelitian pada tahun 2014 membandingkan efektifitas obat anti
tuberkolosis (OAT) dosis tetap (FDC/ fixed dosed combination) , dengan OAT
dalam bentuk lepasan. Walaupun OAT KDT memberikan kemudahan pada pasien
dalam meminum obat, karena sudah dikemas dalam satu tablet dan tidak terpisah.
Sedangkan bila menggunakan OAT lepasan, maka pasien akan cenderung malas
meminum obatnya karena jumlah obat yang banyak sehingga menyebabkan
ketidakteraturan berobat dan hasil konversi sputum BTA tidak optimal (Sutoyo,
2010). Akan tetapi, hasil penelitian menmukan bahwa OAT KDT tidak berbeda
bermakana dibandingkan OAT lepasan terhadap konversi sputum BTA saat akhir
fase intensif pada pasien TB dewasa di BBKPM Surakarta. OAT KDT hanya
lebih bermanfaat terhadap kemudahan penderita dalam meminum obat nya karena
jumlah obat yang diminum menjadi lebih sedikit (Bartacek et al., 2009).
Pada kasus yang dialami pasien, pemberian obat OAT KDT dihentikan
sementara sekitar 1 bulan kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi hati seperti
ALT, bilirubin total, ALP untuk memastikan fungsi hati sudah kembali membaik.
Pemberian obat dimulai kembali dengan OAT lepasan atau terdiri dari masing-
masing obat dimulai dengan hasil pemeriksaan ALT menunjukan normal
diberikan obat Streptomicin + etambuthol (jika sakit atau sputum positif dalam 2
minggu memulai pengobatan), Isoniazid (diberikan dengan dosis titrasi setelah 2-
3 hari), Rifampisin (diberikan dosis titrasi setelah 2-3 hari berikutnya),
selanjutnya diberikan Pirazinamid dengan dosis titrasi 2-3 hari setelah rifampisin.
Selama pemberian obat secara bertahap dilakukan pemantauan LFT setiap hari.
Jika setelah pemberian obat terjadi gejala DILI dilakukan penghentian obat yang

22
diberikan sebelumnya. Jika DILI diakibatkan oleh rifampisin maka OAT yang
diberikan terdiri dari terdiri dari INH + Pirazinamid + Ethambutol + Ofloxacin
(selama 2 bulan), lalu diikuti INH + Ethambutol + Ofloxacin (selama 10 bulan).
Tabel 5.2 Manajemen dan Monitoring TB-DILI

 Plan
1. Pemberian terapi OAT semua dihentikan sementara, karena pasien
mengalami kejadian DILI. Selanjutnya terapi OAT diberikan satu per satu
untuk dapat mengetahui obat mana yang menimbulkan kejadian DILI pada
pasien tersebut dan dilakukan pemeriksaan pada pameter fungsi hati
pasien, sehingga obat yang memang menyebabkan DILI dapat dihentikan
penggunaannya dan dapat diberikan obat alternatif lain sebagai
penggantinya.

23
2. Pemberian kembali OAT dimulai dengan hasil pemeriksaan ALT
menunjukan normal diberikan obat Streptomicin + etambuthol (jika sakit
atau sputum positif dalam 2 minggu memulai pengobatan), Isoniazid
(diberikan dengan dosis titrasi setelah 2-3 hari), Rifampisin ( diberikan
dosis titrasi setelah 2-3 hari berikutnya), selanjutnya diberikan Pirazinamid
dengan dosis titrasi 2-3 hari setelah rifampisin. Selama pemberian obat
secara bertahap dilakukan pemantauan LFT setiap hari. Jika setelah
pemberian obat terjadi gejala DILI dilakukan penghentian obat yang
diberikan sebelumnya.
3. OAT yang diberikan terdiri dari INH + Pirazinamid + Ethambutol +
Ofloxacin (selama 2 bulan), lalu diikuti INH + Ethambutol + Ofloxacin
(selama 10 bulan).
 Monitoring
Efektivitas:
Pada kondisi yang sudah terjadi kelainan hati, monitoring fungsi hati lebih
ketat selama pemberian OAT yaitu 2 kali tiap minggu selama 2 minggu pertama
kemudian tiap minggu sampai selesai pengobatan 2 bulan, lalu monitoring tiap
bulan hingga selesai terapi.
5.3.3 Hipertiroid
Problem Medis Terapi DRP Plan
PTU untuk sementara
dihentikan terlebih
dahulu, mengingat
kondisi hati pasien jauh
lebih penting untuk
P2.1 adverse drug dikontrol. Jika fungsi
event (possibly) hati pasien mengalami
occurring dan perubahan kearah yang
Propiltiouracil C1.2 lebih baik, untuk
Hipertiroid (PTU)3 x inappropriate pengobatan
100mg drug (within hipertiroidnya
guidelines but dilanjutkan dengan
otherwise contra- penggantian obat yaitu
indicated) menggunakan obat
methymazole dengan
dosis 15mg sehari
dibagi tiap 8 jam.
Monitoring
- kadar t3, t4 total, t4
24
bebas menurun sampai
nilai normal, dan tsh
mengalami
peningkatan ke nilai
normal, serta tidak
terjadi penurunan berat
badan yang secara
tiba-tiba dan dalam
waktu yang singkat.
- Efek samping : sakit
kepala, vertigo, mual,
dan muntah
 Assessment
Pada kasus ini, kerusakan hati yang dialami pasien diduga karena penggunaan
obat oleh pasien untuk penyakit yang diderita pasien sebelum keadaannya
sekarang. Berdasarkan kasus, pasien menderita tuberculosis relaps dan
mendapatkan terapi antituberkulosis serta pasien juga mengalami penyakit
hipertiroid dan mendapatkan obat antitiroid berupa Propylthiouracul (PTU) 3 kali
100mg. hipertiroid pada pasien ditandai terjadinya penurunan berat badan pada
pasien, serta data-data laboratorium yang mendukung yaitu terjadi peningkatan t 3
(400ng/dl), t4 total (20mg/dl), t4 bebas (3ng/dl), dan penurunan pada TSH
(0,2mag/l). ptu merupakan obat antitiroid pilihan utama dibandingkan dengan
derivat tiouracil lainnya untuk pengobatan hipertiroid dikarenakan efektifitasnya
yang lebih tinggi serta efek sampingnya yang relative lebih rendah (Ryanita &
Utami, 2013). Berdasarkan beberapa penelitian, selain obat anti tuberculosis, obat
anti tiroid juga dapat menginduksi kerusakan hati.
Bedasarkan penelitian yang dilakukan Fernando, dkk. 2018 dilaporkan bahwa
Propylthiouracil dan Methymazole merupakan obat anti tiorid yang paling banyak
dan sudah disetujui untuk pengobatan hipertiroid. Kedua obat ini dilaporkan
menginduksi hepatotok walaupun presentasi insiden atau kejadiannya berbeda-
beda. Berdasakan penelitian yang dilakukan oleh Akmal A & Kung J, 2014
tentang “propylthyouracil, methymazole, carbimazole related hepatotoxicity”,
dikatakan bahwa PTU memang dapat menembus plasenta dan sejak diketahui
bahwa metimazole dapat menyebabkan keabnormalitas pada janin, PTU dianggap
efektif dan aman digunakan pada pasien dengan kehamilan trismester pertama,
akan tetapi dilihat dari risiko efek samping yang ditimbulkan, PTU diketahui

25
menyebabkan kegagalan hati yang paling berat jika dibandingkan dengan
antitiroid lainnya seperti metimazole dan carbimazole. PTU juga dilaporkan dapat
menimbulkan kerusakan hati yang berat sehingga menyebabkan kegagalan fungsi
hati sehingga pasien diharuskan untuk melakukan transplatasi hati (Ryanita &
Utami, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Scott A, dkk. 2010, dikatakan
bahwa pasien yang diterapi dengan PTU mengalami cedera hati yang lebih berat
dibandingkan dengan pasien yang diterapi dengan metimazole dimana tidak
terjadi cedera hati.
Pengobatan dili yang paling utama dilakukan adalah penghentian terapi yang
diduga menginduksi liver injury atau kerusakan hati sampai keadaan hati dari
pasien kembali normal/mengalami perbaikan. Sehingga pada pengobatan
hipertiroid ini penggunaan Ptu dianggap mengalami Drug related problem yaitu
P2.1 adverse drug event (possibly) occurring dan C1.2 inappropriate drug (within
guidelines but otherwise contra-indicated). Pengobatan selanjutnya apakah
diganti dengan obat lain ataupun obat sebelumnya dilanjutkan, yang paling
penting dilakukan adalah monitoring fungsi hati dari pasien selama pemakaian
obat yang memiliki risiko menginduksi kerusakan hati (ryanita & utami, 2013).
 Plan
PTU untuk sementara dihentikan terlebih dahulu, mengingat kondisi hati
pasien jauh lebih penting untuk dikontrol. Jika fungsi hati pasien mengalami
perubahan kearah yang lebih baik, untuk pengobatan hipertiroidnya dilanjutkan
dengan penggantian obat yaitu menggunakan obat methymazole dengan dosis
15mg sehari dibagi tiap 8 jam.
 Monitoring
1. Efektifitas:
kadar t3, t4 total, t4 bebas menurun sampai nilai normal, dan tsh mengalami
peningkatan ke nilai normal, serta tidak terjadi penurunan berat badan
yang secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat.
2. Efek samping: sakit kepala, vertigo, mual, dan muntah.

26
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan kasus DILI kali ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kerusakan hati akibat obat (drug induced liver diseases) adalah kerusakn
hati yang berkaitan dengan gangguan dengan fungsi hati yang disebabkan
oleh karena terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya.
2. Patofisiologi DILI dapat disebabkan oleh predictable drug reaction
(seperti akibat penggunaan paracetamol, tetrasiklin, steroid, rifampisin,
yang dapat merusak hati secara tidak langsung melalui mekanisme
metabolisme di hati), serta unpredictable drug reaction (yang merupakan
akibat reaksi idiosinkrasi yang terjadi pada orang-orang tertentu, biasanya
mekanismenya berupa reaksi hipersensitivitas atau kelainan metabolisme).
3. Tatalaksana dari efek hepatotoksikobatter terdiri dari penghentian segera
obat-obatan yang dicurigai, jika dijumpai reaksi alergi berat dapat
diberikan kortikosteroid.
4. Analisa kasus dengan Metode SOAP
Problem Medis Terapi DRP Plan
P 2.1 adverse effect Asam ursodeoxycholic
Cholestatic DILI - (terkait penggunaan
250mg 3x sehari
rimfapicin)
P2.1 Adverse drug Obat kombinasi yang
event (possibly) diberikan sebelumnya
occurring dihentikan. Diganti
C1.2 dengan pemberian obat
Inappropriate satu persatu dengan
drug (within dilakukan monitoring
guidelines but fungsi hati seperti
otherwise contra- bilirubin total, ALT,
indicated) ALP setiap 2 minggu.
4 KDT + inj
TB relaps Jika rifampisin yang
streptomycin
menyebabkan dili maka
OAT yang diberikan
Ada kemungkinan
terdiri dari INH +
Rifampisin dapat
Pirazinamid +
menimbulkan
Ethambutol + Ofloxacin
kejadian DILI
(selama 2 bulan), lalu
diikuti INH +
Ethambutol + Ofloxacin
(selama 10 bulan).
Propiltiouracil P2.1 adverse drug PTU untuk sementara
Hipertiroid (PTU)3 x event (possibly) dihentikan terlebih
100mg occurring dan dahulu, mengingat
27
C1.2 kondisi hati pasien jauh
inappropriate lebih penting untuk
drug (within dikontrol. Jika fungsi
guidelines but hati pasien mengalami
otherwise contra- perubahan kearah yang
indicated) lebih baik, untuk
pengobatan
hipertiroidnya
dilanjutkan dengan
penggantian obat yaitu
menggunakan obat
methymazole dengan
dosis 15mg sehari
dibagi tiap 8 jam.
Monitoring
- kadar t3, t4 total, t4
bebas menurun sampai
nilai normal, dan tsh
mengalami
peningkatan ke nilai
normal, serta tidak
terjadi penurunan berat
badan yang secara
tiba-tiba dan dalam
waktu yang singkat.
- Efek samping : sakit
kepala, vertigo, mual,
dan muntah

28
DAFTAR PUSTAKA

Akmal A & Kung J. 2014. Prophyltiouracil, Methimazole, And Carbimazole


Related Hepatotoxicity. Tuft Division Of Endocrinology, Boston, MA,
USA

Bartacek, A., Schutt, D., Panosch, B., Borek, M., 2009. Comparison of A
FourDrug Fixed-Dose Combination Regimen with A Single Tablet
Regimen in Smear Positive Pulmonary Tuberculosis. Int J Tuberc Lung
Dis 13(6):760-6

B. E. Featherstone, 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics; hEpAtic disordErs


section 15, Adverse effects of drugs on the liver.

Benichou C. Criteris of Drug Induced Liver Disorders. Report of An International


Consensus Meeting. J Hepatol. 1990; 11:272-276.

Cesar MD. 2014. Perbedaan Efek Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap
Dibanding Lepasan Terhadap Konversi Sputum Basil Tahan Asam Saat
Akhir Fase Intensif Pada Pasien Tuberkulosis Dewasa Di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. Universitas Muhamadyah:
Surakarta.

Devarbhavi, H. 2011. Antituberculous drug-induced liver injury: current


perspective. Pubmed

Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006

Dwicandra, Oka, dkk. 2018. Modul Praktikum Farmakoterapi IV: Drug Induced
Liver Disease (DILI). Bali : Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada.

Fernando, dkk. 2018. Hepatotoxicity in hyperthyroid patient after consecutive


methimazole and prophyltiouracil therapies. Endocrinology and Nutrition
Unit and 2Department of Internal Medicine, Hospital General de Segovia,
Segovia, Spain.

Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, etal. Meeting
report: Standardization of Nomenclature and Causality Assessment in
Drug-Induced Liver Injury: Summary of a Clinical Research Workshop.
Hepatology 2010; 52:730-742

Garg PK, Tandon RK. Antituberculosis treatment induced hepatotoxicity. In:


Sharma SK, Mohan A, editors. Tuberculosis. I st ed. New Delhi: Jaypee;
2001. p. 500–6.

Jong, E., Conradie, F., Berhanu, R., Black, A., John, M.-A., Meintjes, G., &
Menezes, C. (2013). Consensus statement: Management of drug-induced

29
liver injury in HIV-positive patients treated for TB. Southern African
Journal of HIV Medicine, 14(3), 113.
https://doi.org/10.7196/sajhivmed.976

Li L, Jiang W, Wang JY. Clinical analysis of 275 cases of acute drug-induced


liver disease. Front Med China. 2007;1(1):58–61

Manmeet S. P. dkk., 2012. DRUG INDUCED CHOLESTASIS. Hepatology


Author manuscript; available in PMC 2012 Apr 1. Published in final
edited form as: Hepatology. 2011 Apr; 53(4): 1377–
1387. doi: 10.1002/hep.24229

Ryanita & Utami, 2013. Drug Induce Liver Injury (Dili) Pada Penggunaan
Propiltiouracil (Ptu). Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta,
Indonesia Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Pelita Harapan, Siloam Hospitals Kebon Jeruk, Jakarta,
Indonesia.

Scott, dkk. 2010. Dissimilar Hepatotoxicity Profiles of Propylthiouracil and


Methimazole in Children The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism, Volume 95, Issue 7, 1 July 2010, Pages 3260–3267

Sharma SK1, Balamurugan A, Saha PK, et al. Evaluation of clinical and


immunogenetic risk factors for the development of hepatotoxicity during
antituberculosis treatment. Am J Respir Crit Care Med 2002;166(7):916–
919

Sutoyo, D.K., 2010. Multi Drug Resistance (MDR) Tuberkulosis. J Respir Indo
Vol. 30, No. 2 J Respir Indo Vol. 30, No. 2, April 2010

Tajiri Kand Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early


Management of Drug Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008;
14(44): 6774-6785

Yi-Shin Huang, 2010. The Therapeutic Efficacy of Ursodeoxycholic Acid


(UDCA) in Drug-Induced Liver Injury: Results of a Randomized
Controlled Trial. May 2010Volume 138, Issue 5, Supplement 1, Page S-
809

Zuberi et al., 2014. Comparison of British Thoracic Society and American


Thoracic Society reintroduction guidelines for anti-tuberculous therapy
induced liver injury. J Pak Med Assoc, Vol. 64, No. 8.

30

Anda mungkin juga menyukai