Anda di halaman 1dari 22

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM V

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

KELOMPOK 3 / KELAS A4B

NAMA KELOMPOK:

Ni Kadek Juliani (19021043)

Ni Kadek Putri Ariswari (19021044)

Ni Kadek Ratna Kusumadewi (19021045)

Ni Kadek Weni Diah Gayatri (19021046)

Ni Komang Astu Pujayanti (19021048)

Ni Komang Riska Tri Wahyuni (19021049)

Dosen Pengampu :

Ida Bagus Nyoman Maharjana, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

PRAKTIKUM V PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)................1

I. TUJUAN PRAKTIKUM...................................................................................1

II. DASAR TEORI..................................................................................................1

2.1 Definisi PPOK..................................................................................................1

2.2 Patogenesis........................................................................................................2

2.3 Patologi.............................................................................................................3

2.4 Klasifikasi.........................................................................................................4

2.5 Tatalaksana Terapi PPOK.................................................................................4

III. STUDI KASUS...................................................................................................7

IV. LEMBAR SOAP................................................................................................8

V. PEMBAHASAN...............................................................................................11

VI. KESIMPULAN................................................................................................17

VII SARAN.............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19

ii
PRAKTIKUM V

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

I. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Mengetahui definisi PPOK.

2. Mengatahui patogenesis dan patologi PPOK.

3. Mengetahui Klasifikasi PPOK.

4. Mengetahui tatalaksana penyakit PPOK (Farmakologi & Non-Farmakologi).

5. Dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri dengan menggunakan

metode SOAP.

II. DASAR TEORI

2.1 Definisi PPOK


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan
yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis. Menurut American College
of Chest Physicians/American Society, (2015). Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) adalah sekolompok penyakit paru menahun yang berlangsung lama dan
disertai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Padila, 2012).
Selompok penyakit paru tersebut adalah bronkitis kronis, emfisema paru-paru
dan asma bronchial (Smeltzer, 2011).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J,
Yunus F, Suradi, dkk 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani yang memiliki
karakteristik gejala pernafasan yang menetap dan keterbatasan aliran udara. Hal

1
ini dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2017).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merujuk pada beberapa hal yang
menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar paru. Meskipun
beberapa jenis seperti, bronkitis obstruktif, emfisema, dan asma dapat muncul
sebagai penyakit tunggal, sebagian besar bertumpangan dalam manifestasi
klinisnya. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat terjadi sebagai hasil
dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema mukosa bronkus atau
kontraksi otot polos. Hal tersebut juga dapat diakibatkan oleh penurunan
kelenturan, seperti pada emfisema. Kelenturan (elastic recoil) adalah kemampuan
mengempiskan paru dan menghembuskan nafas secara apasif, serupa dengan
kemampuan karet kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Penurunan
kelenturan dapat dibayangkan sebagai pita karet yang lemah dan telah
diregangkan melebihi batas kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan
kemampuan paru untuk mengosongkan isinya (Black, 2014).

2.2 Patogenesis
Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari
respons inflamasi akibat iritasi kronik seperti asap rokok atau gen yang
berbahaya. Inflamasi paru ini diperberat oleh adanya stress oksidatif, penigkatan
proteinase, dan antiprotease yang tidak seimbang (Celli, MacNee, 2004). Sel
inflamasi pada PPOK ditandai dengan terlibatnya sel CD8+ (sitotoksik) limfosit
Tc1 yang hanya terjadi pada orang perokok. Bersama sel neutrofil dan makrofag
akan melepaskan mediator inflamasi (menarik sel inflamasi, menguatkan proses
inflamasi dan mendorong perubahan struktural) serta enzim yang dapat
berinteraksi dengan sel saluran napas, parenkim paru dan vaskular paru (GOLD,
2018).

2
2.3 Patologi
Abnormalitas pada respon inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim paru menyebabkan terjadinya emfisema, dan akan mengganggu
mekanisme pertahanan tubuh serta dapat mengakibatkan fibrosis pada saluran
napas kecil. Perubahan patologis tersebut dapat menyebabkan udara
terperangkap dan terjadi keterbatasan aliran udara yang progresif. Walaupun
sudah berhenti merokok, respon inflamasi yang berlebihan dan perubahan
struktural pada saluran napas akan tetap terus berlangsung sesuai dengan
beratnya penyakit (PDPI, 2016).

3
2.4 Klasifikasi
PPOK dapat diklasifikasikan menjadi gejala ringan, sedang, hingga berat
dengan klasifikasi seperti yang ditampilkan pada tabel berikut:

2.5 Tatalaksana Terapi PPOK


2.5.1 Tujuan penatalaksanaan :

1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita

2.5.1 Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
4
Gambar (Algoritme penanganan PPOK ringan)

5
Gambar (Algoritme penanganan PPOK sedang hingga berat)

6
III. STUDI KASUS

Pasien NMA, MRS 30 Januari 2017 didiagnosa PPOK dengan riwayat


penyakit bronchitis. Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-),
mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (+), TD 136/95, suhu 360C. HR 113
x/minute, RR: 26 x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax: cardiomegaly
ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta atherosclerosis. Hasil
pemeriksaan hematologi adalah sebagai berikut.

Eritrosit: 4,47; Hb: 13,9; Hematrocit: 42%; Wbc : 220; Segmented neutropil:
84, 5; Lympocyte: 10%; Blood ureum: 25,60; Blood creatinine: 0,33; Sodium:
142; Potassium: 4; Chloride: 102.

Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut.

Infus RL 500 ml/24 jam

Drip aminophylline 151 mg/jam

Methylpredinj 2 x 125 mg (stop 30/1/17) – 2 x 62,5 (31/1/17)

Methypred tab (2 x 16 mg)

Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp)

Bisolvon (setiap 4 jam 20 tetes ) stop 1/2/17

Ceftriaxone inj 2 x 1 gram (ketika di UGD)

Curcuma tab 3 x 1

Paracetamol inj 3 x 1 gram (prn)

Fluimucil 600 mg tab 2 x 1

Omeprazole inj 1 x 40 mg

Flixotide resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp)

Euphilin mite tab (2 x 125mg)

7
Inpepsa syr (3 x 15 ml)

Azithromycin tab 1 x 500 mg (di ruang rawat start 31 Janurari 2017).

IV. LEMBAR SOAP

1. Problem Medik (PM)

PPOK, Hipertensi

2. Subjektive

Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-), mual (-),
muntah (-), demam (-), batuk (+)

3. Objektive

TD 136/95, suhu 360C. HR 113 x/minute, RR: 26 x/minute, saturasi 02


86%, pemeriksaan thorax:

Cardiomegaly ringan, bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta


atherosclerosis. Hasil pemeriksaan hematologi adalah sebagai berikut.

‐ Eritrosit: 4,47; Hb: 13,9; Hematrocit: 42%; Wbc : 220; Segmented


neutropil: 84, 5;

‐ Lympocyte: 10%; Blood ureum: 25,60; Blood creatinine: 0,33;


Sodium: 142; Potassium: 4;

‐ Chloride: 102.

4. Tabel FIR (Further Information Required)

No. Pertanyaan Alasan Jawaban

1. Apakah pasien menjalani test faal Untuk mengetahui Belum


paru? terapi yang tepat

8
2. Apakah keluarga pasien ada Agar dapat Ada
riwayat ppok? memilih obat pada
pasien dengan baik

3. Berapa umur, tinggi dan bb pasien? Untuk Mengetahui Laki-laki umur 44


Indentitas Pasien th, bb 80kg

4. Bagaimana gaya hidup pasien? Mengetahui pola Merokok


hidup pasien untuk
mencari factor
resiko

5. Apakah Pasien ada alergi obat? Untuk mengetahui Belum di ketahui


terapi yang tepat alergi obat

6. Apakah keluhan pasien masih Untuk mengetahui Masih tapi


dirasakan setelah mengkonsumsi terapi yang tepat membaik
obat?

7. Apakah sebelum masuk RS pasien Untuk mengetahui Tidak


minum obat-obatan? terapi yang tepat

8. Apakah pasien punya riwayat Untuk mengetahui Tidak ada riwayat


penyakit dyspepsia/gerd atau terapi yang tepat
penyakit saluran pencernaan?

9. Apakah pasien ada gangguan nafsu Agar dapat Tidak ada


makan? memilih obat pada
pasien dengan baik.

10. Apakah saat masuk RS pasien Agar dapat Ya, sudah


sudah diberikan oksigen? memilih obat pada
pasien dengan baik.

9
5. Assesment/ DRP (Drug Related Problem

PM TERAPI DRP

Hipertensi Belum diberikan P1.3 gejala atau indikasi


yang tidak diobati

Bronkitis dengan infeksi Ceftriaxone ini 2 x 1 gram Tidak ada DRP


sekunder (ketika di UGD) (di ruang
rawat start 31

Azithromycin tab 1 x 500


mg Janurari 2017)

Nyeri Ulu Hati Omeprazole inj 1 x 40 mg Tidak ada DRP

Paracetamol ini 3 x 1 gram


(pm)

Curcuma tab 3 x 1

Inpepsa syr 3 x 15 ml

6. Plan

1. Pada PPOK, diberikan Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17-
(setiap 6 jam I resp), Methypred tab (2 x 16 mg), Ceftriaxone injeksi 2 x 1
gram ketika di UGD, Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari
diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam.

2. Pada Hipertensi, diberikan Amlodipin 5 mg 1x1

V. PEMBAHASAN

10
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali ini
terkait penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Adapun tujuan dari praktikum
ini untuk mengetahui definisi PPOK, patogenesis dan patologi PPOK,
klasifikasi PPOK, tatalaksana penyakit PPOK baik secara farmakologi maupun
non farmakologi, serta dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

Diketahui pada kasus pasien atas nama NMA, masuk rumah sakit pada
tanggal 30 Januari 2017 didiagnosa PPOK dengan riwayat penyakit bronchitis.
Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-), mual (-), muntah
(-), demam (-), batuk (+), TD 136/95, suhu 360C. HR 113 x/minute, RR: 26
x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax: cardiomegaly ringan,
bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta atherosclerosis. Hasil pemeriksaan
hematologi adalah sebagai berikut :

Eritrosit: 4,47; Hb: 13,9; Hematrocit: 42%; Wbc : 220; Segmented


neutropil: 84, 5; Lympocyte: 10%; Blood ureum: 25,60; Blood creatinine: 0,33;
Sodium: 142; Potassium: 4; Chloride: 102.

Terapi yang diberikan adalah sebagai berikut :

Infus RL 500 ml/24 jam, Drip aminophylline 151 mg/jam, Methylpredinj


2 x 125 mg (stop 30/1/17) – 2 x 62,5 (31/1/17), Methypred tab (2 x 16 mg),
Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp),
Bisolvon (setiap 4 jam 20 tetes ) stop 1/2/17, Ceftriaxone inj 2 x 1 gram
(ketika di UGD), Curcuma tab 3 x 1, Paracetamol inj 3 x 1 gram (prn),
Fluimucil 600 mg tab 2 x 1, Omeprazole inj 1 x 40 mg, Flixotide resp (setiap 4
jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp), Euphilin mite tab (2 x 125mg),
Inpepsa syr (3 x 15 ml), Azithromycin tab 1 x 500 mg (di ruang rawat start 31
Janurari 2017).

11
Penyelesaian farmasis review dari kasus ini adalah dengan menggunakan
metode SOAP, dimana metode SOAP merupakan singkatan dari Subjective,
Objective, Assement, dan Plan. Subjective dari metode SOAP itu sendiri
adalah data-data yang dirasakan oleh pasien yang bersifat subjectif seperti
gambaran apa adanya mengenai pasien yang dapat diperoleh dengan cara
mengamati, berbicara, dan berespon terhadap pasien. Sebelum melakukan
analisis dan pemberian rekomendasi terapi lebih lanjut, maka perlu
diajukannya FIR (Further Information Required) kepada pasien yang ditujukan
untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk menyelesaikan kasus.

FIR (Further Information Required) yang ditujukan pada pasien NMA


sebagai berikut :

1. Apakah pasien menjalani test faal paru?

Jawaban : Belum

2. Apakah keluarga pasien ada riwayat ppok?

Jawaban : Ada

3. Berapa umur, tinggi dan bb pasien?

Jawaban : Laki-laki umur 44 th, bb 80kg

4. Bagaimana gaya hidup pasien?

Jawaban : Merokok

5. Apakah Pasien ada alergi obat?

Jawaban : Belum di ketahui alergi obat

6. Apakah keluhan pasien masih dirasakan setelah mengkonsumsi obat?

Jawaban : Masih tapi membaik

12
7. Apakah sebelum masuk RS pasien minum obat-obatan?

Jawaban : Tidak

8. Apakah pasien punya riwayat penyakit dyspepsia/gerd atau penyakit


saluran pencernaan?

Jawaban : Tidak ada riwayat

9. Apakah pasien ada gangguan nafsu makan?

Jawaban : Tidak ada

10. Apakah saat masuk RS pasien sudah diberikan oksigen?

Jawaban : Ya, sudah

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri, dan lain-lain). Diagnosis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan
PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan
PPOK berat) (Kemenkes RI, 2008).

Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan


diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan
untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik
pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced
Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga
harus dilakukan (FEV1/FVC). Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan
penurunan dari FEV1 dan FVC. Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai
13
dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi
penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase
dari nilai prediksi normal (Mangunnegoro H, dkk. 2003).

Menilai gejala-gejala PPOK juga dapat menggunakan kuesioner yang


sudah divalidasi, yaitu COPD Assessment Test (CAT) merupakan kuesioner
berisi 8 pertanyaan yang dapat menilai aspek kualitas hidup penderita PPOK
dan the Modified British Medical Research Council (mMRC) yang mengukur
derajat sesak napas pada kegiatan sehari-hari (GOLD, 2017).

Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami


kesulitan bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum dan riwayat terkena
faktor resiko penyakit ini. Spirometri dibutuhkan untuk diagnosis klinis
PPOK; adanya postbronchodilator FEV1/FVC (Buist Sonia, et all, 2006).

Berdasarkan analisis SOAP yang telah dilakukan, maka dapat dilakukan


perencanaan penanganan kasus tersebut yaitu dengan melakukan
penatalaksaan terapi penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) pada pasien NMA
secara farmakologi dan non farmakologi. Penatalaksanaan PPOK secara
umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari penyakit, mengurangi
gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status
kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani
eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian (Buist Sonia, et all, 2006).

Pada penatalaksanaan terapi PPOK pada pasien NMA, diberikan obat


Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17-(setiap 6 jam I resp),
Methypred tab (2 x 16 mg), Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram ketika di UGD,

14
Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehati setiap
8 jam.

Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17-(setiap 6 jam I resp).


Terapi yang paling sering digunakan untuk menangani pasien yang mengalami
serangan asma bronkial yaitu menggunakan terapi nebulizer dengan obat yang
digunakan adalah Combivent 0,1% 1 ML (1 MG) yang kandungannya adalah
Salbutamol dan Ipatropium Bromide dimana obat ini berfungsi untuk
melonggarkan saluran nafas dengan cara merelaksasi bronkus (Lestari, Siti
dkk, 2018).

Antiinflamasi yang banyak digunakan untuk pasien PPOK adalah


golongan kortikosteroid yaitu metilprednisolon. Pada penelitian Woods et al.
(2014) menyatakan bahwa pasien mengalami perbaikan seperti peningkatan
aliran udara setelah diberikan kortikosteroid jenis metilprednisolon.

Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram ketika di UGD, menurut Tjay dan Rahardja


(2007), Ceftriaxone adalah antibiotik spektrum luas generasi ketiga
sefalosporin untuk pemberian intravena atau intramuskular. Ceftriaxone adalah
salah satu antibiotik yang paling umum digunakan karena potensi antibakteri
yang tinggi, spektrum yang luas dari aktivitas dan potensi yang rendah untuk
toksisitas. Alasan yang paling mungkin untuk digunakan secara luas adalah
efektivitas dalam organisme yang rentan pada infeksi saluran kemih yang
rumit dan tidak rumit, infeksi saluran pernapasan, kulit, jaringan lunak, infeksi
tulang dan sendi, bakteremia/septikemia, pneumonia, meningitis, infeksi di
pasien imunosupresi, akut bakteri otitis media, infeksi genital, disebarluaskan
penyakit dan di profilaksis bedah infeksi.

Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehari
setiap 8 jam. Fluimucil mengandung N-asetilsistein (NAC) memiliki efek
hepatoprotektif melalui aktivitasnya sebagai substrat sintesis glutation. Kadar

15
glutation yang rendah berhubungan dengan timbulnya hepatotoksisitas.
Dengan NAC, kadar glutation akan meningkat. Lebih dari itu, NAC juga dapat
menghambat proses peroksidasi lipid dan menurunkan kadar superoksida
dismutase (Saukkonen JJ, et al, 2006).

Penatalaksanaan hipertensi pada pasien NMA, diberikan amlodipin 5 mg


1x1. Pasien didiagnosis hipertensi dilihat dari data objektive yaitu TD 136/95.
Penatalaksanaan hipertensi bertumpu pada pilar pengobatan standar dan
merubah gaya hidup yang meliputi mengatur pola makan, mengatur koping
stres, mengatur pola aktivitas, menghin- dari alkohol, dan rokok.
Penatalaksanaan hipertensi dengan obat saat ini memang telah mengalami
kemajuan, tetapi terdapat banyak laporan yang menyampaikan bahwa
penderita yang datang ke RS sakit akan datang lagi dengan keluhan tekanan
darahnya tidak menga- lami penurunan bermakna meskipun sudah diobati
(Dalimartha, et al, 2008). Menurut Nafrialdi, (2012), Amlodipin merupakan
golongan Calcium channel blockers (CCB) yang bersifat vaskulo selektif,
memiliki bioavailibilitas oral yang relatif rendah, memiliki waktu paruh yang
panjang, dan absorpsi yang lambat sehingga mencegah tekanan darah turun
secara mendadak. Calcium channel blockers menghambat influks kalsium
pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Calcium channel blockers
tidak dipengaruhi asupan garam sehingga berguna bagi orang yang tidak
mematuhi diet garam.

Terapi non farmakologi PPOK yaitu berupa edukasi tentang penyakit


tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti merokok, serta menghindari
faktor yang dapat memperberat terjadinya PPOK seperti debu, asap rokok, dan
polusi udara lainnya. Pada prinsipnya, terapi pada pasien PPOK ialah
menangani keadaan eksaserbasi akut dan mencegah perburukan dari PPOK itu
sendiri (PDPI, 2003).

16
VI. KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, adapun kesimpulan yang


dapat diambil antara lain sebagai berikut :

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive


Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap
pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan
bronkitis kronis. Menurut American College of Chest
Physicians/American Society, (2015).
2. Patofisiologi Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan
amplifikasi dari respons inflamasi akibat iritasi kronik seperti asap
rokok atau gen yang berbahaya. Inflamasi paru ini diperberat oleh
adanya stress oksidatif, penigkatan proteinase, dan antiprotease
yang tidak seimbang (Celli, MacNee, 2004).
3. Diagnosis klinis untuk PPOK harus dicurigai jika pasien mengalami
kesulitan bernafas, batuk kronis atau terbentuknya sputum dan
riwayat terkena faktor resiko penyakit ini. Spirometri dibutuhkan
untuk diagnosis klinis PPOK; adanya postbronchodilator
FEV1/FVC (Buist Sonia, et all, 2006).
4. Penatalaksanaan terapi PPOK pada pasien NMA, diberikan obat
Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17-(setiap 6 jam I
resp), Methypred tab (2 x 16 mg), Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram
ketika di UGD, Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari
diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam.
5. Terapi non farmakologi PPOK yaitu berupa edukasi tentang
penyakit tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti merokok,
serta menghindari faktor yang dapat memperberat terjadinya PPOK
seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya. Pada prinsipnya,

17
terapi pada pasien PPOK ialah menangani keadaan eksaserbasi akut
dan mencegah perburukan dari PPOK itu sendiri
6. Praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada
praktikum kali ini terkait penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Adapun tujuan dari praktikum ini untuk mengetahui definisi PPOK,
patogenesis dan patologi PPOK, klasifikasi PPOK, tatalaksana
penyakit PPOK baik secara farmakologi maupun non farmakologi,
serta dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
7. Berdasarkan analisis SOAP yang telah dilakukan, maka dapat
dilakukan perencanaan penanganan kasus tersebut yaitu dengan
melakukan penatalaksaan terapi penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) pada pasien NMA secara farmakologi dan non farmakologi.
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan
toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan,
mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani
eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.

VII. SARAN

Pada kegiatan praktikum ini, praktikan harus mempersiapkan diri dan


mempersiapkan materi-materi yang akan digunakan dalam praktikum agar
pada saat praktikum dimulai dapat berjalan dengan lancer. Di harapkan juga
setelah praktikum praktikan dapat memahami materi PPOK, dan juga jaga
kekompakan kelompok agar dapat bekerja sama dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

18
Bare, Smeltzer. 2011. “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8.” Bandung.

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria.

Buist Sonia, et all. 2006. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of COPD. In : NHLBI/WHO Global Initiative for COPD Workshop
Summary

Dalimartha, S., Purnama, B.T., Sutarina, N., Mahendra, & Darmawan, R. (2008).
Care your self hipertensi. Depok: Penerbit Plus+.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2017. Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2017. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Insitute

Kemenkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik.


Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Lestari, Siti; Handayani, Siti; Bakri, Herman. 2018. Keefektifan Pemberian Nebulizer
Terapi Combivent Dan Terapi Bisolvon Terhadap Patensi Jalan Nafas Pada
Pasien Asma Bronkial Diruang Igd Bbkpm Makassar. Jurnal Keperawatan
Global, Volume 3, No 2, Desember 2018 hlm 58-131

Macnee. (2004). Understanding Nursing Research: Raeding and Using Research in


Practice. Philadelphia: Lippicont, William and Wilkins

Mangunnegoro H, dkk. 2003. PPOK, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

19
Nafrialdi. 2012. “Antihipertensi”. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. (p: 341 – 360).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan diIndonesia. Jakarta: PDPI. h. 5-8

Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM, et al. 2006.
An official ATS statement: hepatotoxicity of antituberculosis therapy. Am J
Respir Crit Care Med; 174:935-52.

Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat – obat Penting : khasiat, penggunaan, dan
Efek- efek sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270. Penerbit
Gramedia, Jakarta.

Woods J.A., Wheeler J.S., Finch C.K. and Pinner N.A. 2014. Corticosteroids in the
Treatment of Acute Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
International Journal of COPD, 9, 421–430.

20

Anda mungkin juga menyukai