PRAKTIKUM V
NAMA KELOMPOK:
Dosen Pengampu :
DENPASAR
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
I. TUJUAN PRAKTIKUM...................................................................................1
2.2 Patogenesis........................................................................................................2
2.3 Patologi.............................................................................................................3
2.4 Klasifikasi.........................................................................................................4
V. PEMBAHASAN...............................................................................................11
VI. KESIMPULAN................................................................................................17
VII SARAN.............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19
ii
PRAKTIKUM V
I. TUJUAN PRAKTIKUM
metode SOAP.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat progresif, dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun / berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J,
Yunus F, Suradi, dkk 2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani yang memiliki
karakteristik gejala pernafasan yang menetap dan keterbatasan aliran udara. Hal
1
ini dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2017).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merujuk pada beberapa hal yang
menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar paru. Meskipun
beberapa jenis seperti, bronkitis obstruktif, emfisema, dan asma dapat muncul
sebagai penyakit tunggal, sebagian besar bertumpangan dalam manifestasi
klinisnya. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat terjadi sebagai hasil
dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema mukosa bronkus atau
kontraksi otot polos. Hal tersebut juga dapat diakibatkan oleh penurunan
kelenturan, seperti pada emfisema. Kelenturan (elastic recoil) adalah kemampuan
mengempiskan paru dan menghembuskan nafas secara apasif, serupa dengan
kemampuan karet kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Penurunan
kelenturan dapat dibayangkan sebagai pita karet yang lemah dan telah
diregangkan melebihi batas kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan
kemampuan paru untuk mengosongkan isinya (Black, 2014).
2.2 Patogenesis
Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari
respons inflamasi akibat iritasi kronik seperti asap rokok atau gen yang
berbahaya. Inflamasi paru ini diperberat oleh adanya stress oksidatif, penigkatan
proteinase, dan antiprotease yang tidak seimbang (Celli, MacNee, 2004). Sel
inflamasi pada PPOK ditandai dengan terlibatnya sel CD8+ (sitotoksik) limfosit
Tc1 yang hanya terjadi pada orang perokok. Bersama sel neutrofil dan makrofag
akan melepaskan mediator inflamasi (menarik sel inflamasi, menguatkan proses
inflamasi dan mendorong perubahan struktural) serta enzim yang dapat
berinteraksi dengan sel saluran napas, parenkim paru dan vaskular paru (GOLD,
2018).
2
2.3 Patologi
Abnormalitas pada respon inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim paru menyebabkan terjadinya emfisema, dan akan mengganggu
mekanisme pertahanan tubuh serta dapat mengakibatkan fibrosis pada saluran
napas kecil. Perubahan patologis tersebut dapat menyebabkan udara
terperangkap dan terjadi keterbatasan aliran udara yang progresif. Walaupun
sudah berhenti merokok, respon inflamasi yang berlebihan dan perubahan
struktural pada saluran napas akan tetap terus berlangsung sesuai dengan
beratnya penyakit (PDPI, 2016).
3
2.4 Klasifikasi
PPOK dapat diklasifikasikan menjadi gejala ringan, sedang, hingga berat
dengan klasifikasi seperti yang ditampilkan pada tabel berikut:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
4
Gambar (Algoritme penanganan PPOK ringan)
5
Gambar (Algoritme penanganan PPOK sedang hingga berat)
6
III. STUDI KASUS
Eritrosit: 4,47; Hb: 13,9; Hematrocit: 42%; Wbc : 220; Segmented neutropil:
84, 5; Lympocyte: 10%; Blood ureum: 25,60; Blood creatinine: 0,33; Sodium:
142; Potassium: 4; Chloride: 102.
Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp)
Curcuma tab 3 x 1
Omeprazole inj 1 x 40 mg
Flixotide resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17 – (setiap 6 jam 1 resp)
7
Inpepsa syr (3 x 15 ml)
PPOK, Hipertensi
2. Subjektive
Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-), mual (-),
muntah (-), demam (-), batuk (+)
3. Objektive
‐ Chloride: 102.
8
2. Apakah keluarga pasien ada Agar dapat Ada
riwayat ppok? memilih obat pada
pasien dengan baik
9
5. Assesment/ DRP (Drug Related Problem
PM TERAPI DRP
Curcuma tab 3 x 1
Inpepsa syr 3 x 15 ml
6. Plan
1. Pada PPOK, diberikan Combivent resp (setiap 4 jam 1 resp) stop 1/2/17-
(setiap 6 jam I resp), Methypred tab (2 x 16 mg), Ceftriaxone injeksi 2 x 1
gram ketika di UGD, Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari
diberikan 2-3 kali sehati setiap 8 jam.
V. PEMBAHASAN
10
Pada praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada praktikum kali ini
terkait penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). Adapun tujuan dari praktikum
ini untuk mengetahui definisi PPOK, patogenesis dan patologi PPOK,
klasifikasi PPOK, tatalaksana penyakit PPOK baik secara farmakologi maupun
non farmakologi, serta dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
Diketahui pada kasus pasien atas nama NMA, masuk rumah sakit pada
tanggal 30 Januari 2017 didiagnosa PPOK dengan riwayat penyakit bronchitis.
Pasien mengeluh sesak napas 3 hari yang lalu, nyeri dada (-), mual (-), muntah
(-), demam (-), batuk (+), TD 136/95, suhu 360C. HR 113 x/minute, RR: 26
x/minute, saturasi O2 86%, pemeriksaan thorax: cardiomegaly ringan,
bronchitis dengan infeksi sekunder, aorta atherosclerosis. Hasil pemeriksaan
hematologi adalah sebagai berikut :
11
Penyelesaian farmasis review dari kasus ini adalah dengan menggunakan
metode SOAP, dimana metode SOAP merupakan singkatan dari Subjective,
Objective, Assement, dan Plan. Subjective dari metode SOAP itu sendiri
adalah data-data yang dirasakan oleh pasien yang bersifat subjectif seperti
gambaran apa adanya mengenai pasien yang dapat diperoleh dengan cara
mengamati, berbicara, dan berespon terhadap pasien. Sebelum melakukan
analisis dan pemberian rekomendasi terapi lebih lanjut, maka perlu
diajukannya FIR (Further Information Required) kepada pasien yang ditujukan
untuk mendapatkan informasi tambahan yang dapat digunakan sebagai acuan
untuk menyelesaikan kasus.
Jawaban : Belum
Jawaban : Ada
Jawaban : Merokok
12
7. Apakah sebelum masuk RS pasien minum obat-obatan?
Jawaban : Tidak
14
Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehati setiap
8 jam.
Fluimucil dengan dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 2-3 kali sehari
setiap 8 jam. Fluimucil mengandung N-asetilsistein (NAC) memiliki efek
hepatoprotektif melalui aktivitasnya sebagai substrat sintesis glutation. Kadar
15
glutation yang rendah berhubungan dengan timbulnya hepatotoksisitas.
Dengan NAC, kadar glutation akan meningkat. Lebih dari itu, NAC juga dapat
menghambat proses peroksidasi lipid dan menurunkan kadar superoksida
dismutase (Saukkonen JJ, et al, 2006).
16
VI. KESIMPULAN
17
terapi pada pasien PPOK ialah menangani keadaan eksaserbasi akut
dan mencegah perburukan dari PPOK itu sendiri
6. Praktikum kali ini, dilakukan analisa kesesuaian terapi terkait yang
diberikan dengan kondisi medis pasien dimana kasus pada
praktikum kali ini terkait penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Adapun tujuan dari praktikum ini untuk mengetahui definisi PPOK,
patogenesis dan patologi PPOK, klasifikasi PPOK, tatalaksana
penyakit PPOK baik secara farmakologi maupun non farmakologi,
serta dapat menyelesaikan kasus terkait PPOK secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
7. Berdasarkan analisis SOAP yang telah dilakukan, maka dapat
dilakukan perencanaan penanganan kasus tersebut yaitu dengan
melakukan penatalaksaan terapi penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) pada pasien NMA secara farmakologi dan non farmakologi.
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan
toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan,
mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani
eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.
VII. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
18
Bare, Smeltzer. 2011. “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Edisi 8.” Bandung.
Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba
Emban Patria.
Buist Sonia, et all. 2006. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of COPD. In : NHLBI/WHO Global Initiative for COPD Workshop
Summary
Dalimartha, S., Purnama, B.T., Sutarina, N., Mahendra, & Darmawan, R. (2008).
Care your self hipertensi. Depok: Penerbit Plus+.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2017. Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2017. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. National Institutes of Health. National Heart, Lung and
Blood Insitute
Lestari, Siti; Handayani, Siti; Bakri, Herman. 2018. Keefektifan Pemberian Nebulizer
Terapi Combivent Dan Terapi Bisolvon Terhadap Patensi Jalan Nafas Pada
Pasien Asma Bronkial Diruang Igd Bbkpm Makassar. Jurnal Keperawatan
Global, Volume 3, No 2, Desember 2018 hlm 58-131
19
Nafrialdi. 2012. “Antihipertensi”. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. (p: 341 – 360).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia
Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM, Schenker S, Jereb JA, Nolan CM, et al. 2006.
An official ATS statement: hepatotoxicity of antituberculosis therapy. Am J
Respir Crit Care Med; 174:935-52.
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat – obat Penting : khasiat, penggunaan, dan
Efek- efek sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270. Penerbit
Gramedia, Jakarta.
Woods J.A., Wheeler J.S., Finch C.K. and Pinner N.A. 2014. Corticosteroids in the
Treatment of Acute Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
International Journal of COPD, 9, 421–430.
20