Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI I
TATALAKSANA PENYAKIT HIPERTENSI

B1 - KELOMPOK 4
PUTU AYU WIDYA GALIH MEGA PUTRI 162200022
NI P. IRMA RIANA RAHMADEWI 162200023
SANG PUTU GEDE ADI PRATAMA 162200024
SANTY DEWI KUMALASARI W. 162200025
SI NGURAH MADE SUTA PRARAMA 162200026
SITI NUR AINI 162200027
STEFANIE DWIARTI OMON 162200028
VERIDIANA HANAT 162200029

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2017
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit hipertensi.
2. Mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi.
3. Mengatahui patofisiologi penyakit hipertensi.
4. Tatalaksana penyakit hipertensi (farmakologi dan non-farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit hipertensi secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu gejala umum yang ditandai dengan adanya
peningkatan tekanan pembuluh darah arteri secara persisten di atas normal
yaitu >120/80 mmHg, minimal pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istrahat/tenang.
2.2 Klasifikasi Hipertensi
a. Berdasarkan nilai tekanan darah
Isolated hypertension
Pasien dengan nilai tekanan darah diastolik <90 mmHg dan tekanan
darah sistolik 140 mmHg.
Hypertensive crisis
Pasien dengan nilai tekanan darah >180/120 mmHg.
- Hypertensive emergency
Kenaikan tekanan darah yang ekstrim dengan kerusakan organ target
yang akut dan progresif.
- Hypertensive urgency
Kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ target
yang akut atau progresif.
b. Berdasarkan cara dan tempat pengukuran tekanan darah
Office or clinic blood pressure
Pengukuran tekanan darah di sarana kesehatan dengan menggunakan
mercury sphygmomanometer.
Ambulatory blood pressure
Pengukuran tekanan darah dengan metode non-invasive yang
dilakukan selama 24 jam.
Home blood pressure
Pengukuran tekanan darah yang dilakukan secara mandiri.
White coat hypertension
Kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara konsisten
ketika diukur di sarana kesehatan, tetapi tidak terjadi peningkatan
ketika diukur di tempat lain atau pada AMBP (ambulatory monitoring
blood pressure) selama 24 jam.
Masked hypertension
Kebalikan dari kondisi white coat hypertension yaitu kondisi dimana
tidak terjadi peningkatan tekanan darah secara konsisten ketika diukur
di sarana kesehatan, tetapi terjadi peningkatan ketika diukur di tempat
lain atau pada AMBP (ambulatory monitoring blood pressure) selama
24 jam.
Pseudohypertension
Ketidakakuratan pengukuran tekanan darah sistolik (over estimasi)
yang sering terjadi pada lansia. Hal ini disebabkan keadaan pembuluh
darah lansia yang kaku dan tebal karena pengapuran dan kompresi,
sehingga tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk menutup jalan
arteri tersebut.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa Menurut JNC 7
Kategori SBP (mmHg) DBP (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-hipertensi 120 - 139 atau 80 - 89
Hipertensi stage 1 140 - 159 atau 90 - 99
Hipertensi stage 2 160 atau 100
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah (mmHg) Dewasa berdasarkan ESC Guidelines

2.3 Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi melibatkan banyak faktor, diantaranya peningkatan
cardiac output, peningkatan tahanan perifer, vasokonstriksi dan penurunan
vasodilatasi. Ginjal juga berperan pada regulasi tekanan darah melalui kontrol
sodium, ekskresi air, dan sekresi renin, yang mempengaruhi tekanan vaskular
dan ketidakseimbangan elektrolit. Mekanisme neuronal seperti sistem saraf
simpatis dan sistem endokrin juga terlibat pada regulasi tekanan darah. Oleh
karena itu, sistem-sistem tersebut merupakan target terapi pengobatan untuk
menurunkan tekanan darah.
a. Tekanan darah arteri
Pengukuran tekanan darah (BP) dilakukan pada pembuluh darah arteri,
dimana akan menghasilkan dua batas nilai. Batas nilai atas, yang sering
disebut sebagai sistolik, adalah tekanan darah pada saat kontraksi jantung,
Tabel 3. Faktor yang Berpengaruh pada CO dan TPR
sedangkan batas nilai bawah, yang sering disebut diastolik adalah tekanan
darah pada saat relaksasi jantung. Perbedaan antara nilai sistolik dan diastolik
disebut sebagai nadi, dan menunjukkan tekanan pada dinding arteri. Selain itu,
tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output (CO) dan total peripheral
resistance (TPR). Secara matematis, dirumuskan sebagai berikut:
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi primer:
1. Ketidaknormalan humoral, seperti RAAS (renin-angiotensin-aldosteron
system), hormon natriuretik atau hiperinsulinemia.
2. Gangguan patologis pada CNS, autonomic nerve fibers, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
3. Gangguan pada renal atau pada jaringan yang mengatur proses ekskresi
sodium, volume plasma, dan konstriksi arteriolar.
4. Defisinsi sintesis substansi vasolitasi pada vaskular endothelium, seperti
prostacyclin, bradikinin dan nitrit oksida, atau peningkatan produksi
substansi vasokonstriksi seperti angiotensin 2 dan endothelin 1.
5. Tingginya pemasukan sodium dan peningkatan penghambatan sirkulasi
hormon natriuretik dari transport sodium intraselular, sehingga
meningkatkan reaktifitas vaskular dan peningkatan tekanan darah.
Peningkatan konsentrasi kalium di intraselular sehingga merubah fungsi otot
halus vaskular dan meningkatkan resistensi periferal vaskular.
b. Mekanisme Hipertensi berdasarkan Renin Angiotensin Aldosterone
System (RAAS)
Gambar 1. Mekanisme RAAS menurut Dipiro
Gambar di atas menunjukkan skema patofisiologi terjadinya peningkatan
tekanan darah berdasarkan sistem renin angiotensin aldosterone (RAAS).
Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh
interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan demografik yang
mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistansi
perifer. Total curah jantung dipengaruhi oleh volume darah, sementara volume
darah sangat bergantung pada homeostasis natrium. Resistansi perifer total
terutama ditentukan di tingkat arteriol dan bergantung pada efek pengaruh
saraf dan hormon. Tonus vaskular normal mencerminkan keseimbangan antara
pengaruh vasokontriksi humoral (termasuk angiotensin II dan katekolamin)
dan vasodilator (termasuk kinin, prostaglandin, dan oksida nitrat). Resistensi
pembuluh juga memperlihatkan autoregulasi: peningkatan aliran darah
memicu vasokonstriksi agar tidak terjadi hiperperfusi jaringan. Faktor lokal
lain seperti pH dan hipoksia, serta interaksi saraf (sistem adrenergik - dan ),
juga berpengaruh. Ginjal berperan penting dalam pengendalian tekanan darah,
melalui sistem renin-angiotensin, ginjal mempengaruhi resistensi perifer dan
homeostasis natrium. Angiontensin II meningkatkan tekanan darah dengan
meningkatkan resitensi perifer (efek langsung pada sel otot polos vaskular)
dan volume darah (stimulasi sekresi aldosteron, peningkatan reabsorbsi
natrium dalam tubulus distal). Ginjal juga mengasilkan berbagai zat
vasodepresor atau antihipertensi yang mungkin melawan efek vasopresor
angiotensin. Bila volime darah berkurang, laju filtrasi glomerulus (glomerular
filtration rate) turun sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi natrium oleh
tubulus proksimal sehingga natrium ditahan dan volume darah meningkat
(Kumar, et al, 2007).
2.4 Penatalaksanaan Hipertensi
Secara umum terapi pada penderita hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Untuk pasien yang masih
dalam pre hipertensi, masih dapat menggunakan terapi non farmakologi saja.
Tetapi untuk penderita hipertensi baik hipertensi stage 1 ke atas, harus
menggunakan terapi farmakologi. Pemilihan obat tergantung tinggi nya
tekanan darah dan adanya indikasi khusus pada penderita. Terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi harus mendukung satu sama lain demi
tercapainya target terapi pasien.
a. Tujuan terapi
Tujuan terapi dari penatalaksanaan hipertensi adalah:
Mencapai penurunan maksimum pada risiko total jangka panjang dari
penyakit kardiovaskular.
Regulasi tekanan darah yang sesuai target:
<140/90 mmHg pada pasien dengan hipertensi saja tanpa
diabetes atau penyakit ginjal.
<130/80 mmHg pada pasien hipertensi disertai diabetes dan
atau penyakit ginjal dan jantung.
Menurut Joint National Commission (JNC) 7, rekomendasi target tekanan
darah yang harus dicapai adalah < 140/90 mmHg dan target tekanan darah
untuk pasien penyakit ginjal kronik dan diabetes adalah 130/80 mmHg.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan target tekanan darah
yang harus dicapai, yaitu 140/90 mmHg, 130/80 mmHg untuk pasien dengan
penyakit ginjal kronik, penyakit arteri kronik atau ekuivalen penyakit arteri
kronik, dan 120/80 mmHg untuk pasien dengan gagal jantung. Sedangkan
menurut National Kidney Foundation (NKF), target tekanan darah yang harus
dicapai adalah 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik dan
diabetes, dan < 125/75 mmHg untuk pasien dengan > 1 g proteinuria. Khusus
untuk guideline JNC VIII, usia <60 tahun target kendali TD adalah sama yaitu
<140/90 mmHg dan usia 60 tahun adalah <150/90 mmHg.

b. Terapi Non-Farmakologi
Pada dasarnya, terapi non farmakologi pada penderita hipertensi adalah
modifikasi gaya hidup/lifestyle. Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap
orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan
bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan
prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada
tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan
tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup
juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-
pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan
darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk;
mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)
yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan
mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan
pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi;
mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari
menggunakan obat.
Rokok
Merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara akut
dan heart rate dan bertahan selama lebih dari 15 menit setelah merokok
satu batang rokok.4,13 Mekanismenya adalah adanya stimulasi pada sistem
saraf simpatetik sehingga terjadi peningkatan kathekolamin plasma4, selain
itu merokok dapat menyebabkan pembuluh darah arteri menjadi kaku dan
keras akibatnya tekanan darah meningkat.9 Berhenti merokok adalah suatu
tindakan preventif yang paling efektif pada penyakit-penyakit
kardiovaskular, termasuk pada infark miokard.
Penurunan Berat Badan
Beberapa studi observasional memaparkan adanya hubungan antara
berat badan dan tekanan darah.15 Pada suatu penelitian secara meta-
analysis, penurunan rata-rata tekanan sistolik dan diastolik yang
berhubungan dengan rata-rata penurunan berat badan 5,1 kg adalah 4,4
dan 3,6 mmHg.16
Peningkatan intake kalium dan diet DASH (diet yang kaya buah-
buahan, sayuran dan produk rendah lemak) juga memiliki efek
menurunkan tekanan darah.
Konsumsi Alkohol
Mekanisme alkohol dalam meningkatkan tekanan darah masih belum
jelas, tetapi ada kaitannya dengan aktivitas saraf simpatik dan terdapat
peran dari perubahan konsentrasi kortisol dan kalsium dalam sel.3
Orang yang mengkonsumsi alkohol sebanyak 5 kali atau lebih per hari
dapat menyebabkan tekanan darah orang tersebut naik setelah terjadi acute
alcohol withdrawal. Pria hipertensi yang mengkonsumsi alkohol
sebaiknya disarankan untuk membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari
20-30 g etanol per hari, sedangkan pada wanita yang hipertensi
konsumsinya tidak lebih dari 10-20 g etanol per hari.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang sedikit merupakan predictor yang kuat terhadap
tekanan darah dan faktor risiko kardiovaskular lainnya. 4 Manfaat aktivitas
fisik yaitu mengurangi berat badan, lemak tubuh, lingkar pinggang,
meningkatkan sensitivitas insulin, dan HDL dan menurunan tekanan darah
istirahat terutama pada pasien hipertensi. Pasien hipertensi sangat
disarankan melakukan aktivitas fisik intensif seperti 30-45 menit/ hari.
Jenis aktivitas fisik yang dilakukan yaitu berjalan, jogging, berenang.
Diet rendah garam
Peningkatan konsumsi natrium akan diikuti dengan kenaikan tekanan
darah, sebaliknya peningkatan konsumsi kalium justru akan menurunkan
tekanan darah. Pembatasan konsumsi garam efektif untuk menurunkan
tekanan darah.10 Sebuah studi RCT pada pasien hipertensi menunjukkan
bahwa dengan menurunkan intake garam sebanyak 4,7-5,8 g NaCl per hari
dapat menurunkan tekanan darah dengan rata-rata penurunan 4-6 mmHg.17
Kelebihan intake garam dapat menyebabkan resistant hypertension.
Konsumsi garam yang direkomendasikan adalah kurang dari 5 g / hari
NaCl.
Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup Terapi Non-Farmakologi
Hipertensi
Penurunan Potensial
Modifikasi Rekomendasi
TDS
Membatasi diet natrium
Diet natrium tidak lebih dari 2.400 2-8 mmHg
mg/hari atau 100 meq/hari
Menjaga berat badan 5-20 mmHg per 10 kg
Penurunan berat
normal BMI = 18,5-24,9 penurunan berat
badan
kg/m2 badan
Olahraga aerobik secara
teratur, bertujuan untuk
melakukan aerobik 30
menit latihan sehari-hari
Olahraga aerobik dalam seminggu. 4-9 mmHg
Disarankan pasien
berjalan-jalan 1 mil per
hari di atas tingkat
aktivitas saat ini.
Diet yang kaya akan buah-
buahan, sayuran, dan
Diet DASH 4-14 mmHg
mengurangi jumlah lemak
jenuh dan lemak total.
Membatasi Pria 2 minum per hari,
2.4 mmHg
konsumsi alkohol wanita 1 minum per hari

Jadi, modifikasi gaya hidup merupakan upaya untuk mengurangi tekanan


darah, mencegah atau memperlambat insiden dari hipertensi, meningkatkan
efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular.
c. Terapi Farmakologi
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid
(bendroflumetiazid), betabloker, (propanolol, atenolol,) penghambat
angiotensin converting enzymes (captopril, enalapril), antagonis angiotensin II
(candesartan, losartan), calcium channel blocker (amlodipin, nifedipin) dan
alphablocker (doksasozin), yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator
dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang
diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
1. Diuretik
Obat-obat ini mempertinggi pengeluaran garam dan air, sehingga
volume darah dan TD menurun. Di samping itu diperkirakan adanya
khasiat langsung terhadap dinding pembuluh, yaitu dengan turunnya kadar
natrium, maka dinding menjadi lebih kebal terhadap noradrenalin hingga
daya tahannya berkurang (Tjay dan Raharja, 2007). Dengan tingginya
pengeluaran natrium, air dan klorida maka dapat menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung
dan tekanan darah, selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga
menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek
ini akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot
polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influk kalsium. Hal
ini terlihat jelas pada golongan tiazid yang mulai menunjukan efek pada
dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Diuretik efektif
digunakan pada pasien dengan obesitas, orang tua dan pasien dengan gagal
jantung atau gagal ginjal kronis. Efek samping yang timbul adalah ikut
terbuangnya kalsium. Pemberian obat diuretik biasanya disertai dengan
suplemen kalsium untuk menahan kalsium agar tidak terjadi hipokalemia.
Obat golongan diuretik (tiazid) merupakan pengobatan lini pertama pada
pasien hipertensi tanpa komplikasi. Pada pasien dengan komplikasi obat
golongan diuretik masih digunakan tetapi bukan merupakan obat lini
pertama (Dipiro, 2008). Golongan obat-obat diuretic antara lain:
a. Diuretik Tiazid
Golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport)
Na-Cl di tubulus ginjal sehingga meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl-.
Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah
misalnya, pada orang tua. Pada kebanyakan pasien efek antihipertensi
mulai terlihat dengan dosis obat HCT 12,5 mg/hari sedangkan bila
digunakan sebagai monoterapi , dosis maksimal sebaiknya tidak melebihi
25mg HCT atau klortalidon perhari, karena peningkatan dosis akan
meningkatkan efek samping hipokalemi dan efek samping lain tanpa
meningkatkan efek samping antihipertensi secara nyata. Tiazid sering kali
dikombinasi karena dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain
dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi,
tiazid juga mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek
obat-obat tersebut dapat bertahan.
Efek samping tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
hipokalemia yang berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek
samping ini dapat dihindari dengan pemberian dosis rendah atau diberikan
dengan dikombinasi dengan obat lain seperti diuretic hemat kalium atau
penghambat angiostensin converting enzim (ACE-Inhibitor). Tiazid juga
dapat menyebakan hiponatremia dan hipomagnesemia hiperkalsemia.
Selain itu, tiazid dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan
pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut.
b. Diuretik Kuat (Loop Diuretic)
Golongan diuretik kuat berkerja di ansa hene asenden bagian epitel
tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat
resorbsi air dan elektrolit. Mula kerja efek diuretiknya lebih cepat
dibandingkan diuretik tiazid, sehingga jarang digunakan sebagai
antihipertensi kecuali pada pasien gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum
>2.5 mg/dl) atau gagal jantung.
Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa
diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiumia dan menurunkan kalsium
dalam darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiumia dan
meningkatkan kadar kalsium dalam darah. Contoh obat diuretik kuat
adalah furosemide dosis 20-80mg 2-3 kali sehari, torsemid 2,5-10mg 1-2
kali sehari.
c. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik hemat kalium merupakan golongan diuretik lemah yang
biasanya digunakan kombinasi dengan diuretik lainnya untuk menghemat
ekskresi kalium. Contoh obat diuretik hemat kalium yaitu, amilorida dan
triamterene. Amilorida bekerja pada ujung tubuli distal dengan
menghambat pertukaran ion Na+ dengan K+ dan H+ sehingga akan
meningkatkan ekskresi Na+ (bersama dengan Cl dan karbonat) sedangkan
pengeluaran kalium berkurang. Efek samping obat ini adalah impotensi.
Diuretik hemat kalium tidak dapat dikombinasi atau diberkan bersamaan
dengan suplemen kalium karena dapat menimbulkan hiperkalemia. Dosis
yang digunakan sebagai antihipertensi adalah 5mg 1-2 kali sehari sebelum
makan secara oral dengan dosis maksimal 20mg/hari. Pada triamterene
memiliki mekanisme yang sama dengan amilorida dengan dosis 50mg 1-2
kali sehari sesudah makan dengan dosis maksimal 200mg.
d. Penghambat Karbonanhidrat
Asetazolamida bekerja dengan menghambat enzim karbon anhidrase di
tubuli proksimal menyebabkan berkurangnya pertukaran antara Na+
dengan ion H+ sehingga akan meningkatkan ekskresi Na+, K+, bikarbonat
dan air. Asetazolaminda memiliki efek diuresis lemah dan pada
penggunaan setelah beberapa hari dapat terjadinya takifilaksis (efeknya
berkurang).
2. Penghambat Angiotensin Converting Enzim (Ace Inhibitor)
ACE inhibitor menghambat perubahan Angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldesteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi
ACE inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan
darah, sedangkan berkurangnya aldesteron akan menyebabkan ekskresi air
dan natrium dan retensi kalium. ACE inhibitor merupakan obat terpilih
untuk hipertensi dengan gagal jantung kongestif, hipertensi dengan
diabetes, dislipidemia, obesitas, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri,dan penyakit jantung koroner. Penggunaan obat golongan ini
mempunyai efek samping antara lain: Hipotensi, batuk kering,
Hiperkalemia. dan dikontraindikasikan pada wanita hamil selama trimester
2 dan 3 kehamilan karena dapat menyebabkan efek teratogenik pada janin.
Yang termasuk obat golongan ini antara lain: kaptopril, Enapril, Imidopril,
Trandopril, Ramipril, Quinapril, Periodopril, Lisionopril, Fosinopril,
Benazepril.
Tabel 5. Dosis Antihipertensi Golongan ACE-inhibitor (Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik, 2007)
Obat Dosis Pemberian Sediaan
(mg/hari)

Tab 12.5mg dan 25


Kaptopril 25-100mg 2-3 kali sehari
mg

Enapril 2,5 40 mg 1-2 kali sehari Tab 5 mg dan 10mg

Imidopril 2,5 10 mg 1 kali sehari Tab 5 mg dan 10 mg

Trandopril 1 4 mg 1 kali sehari

Ramipril 2,5 20 mg 1 kali sehari Tab 10mg

Tab 5mg, 10mg, 20


Quinapril 10 40 mg 1 kali sehari
mg

Perindopril 4-8mg 1-2 kali sehari Tab 4 mg

Lisinopril 10-40mg 1 kali sehari Tab 5mg,10mg

Fosinopril 10-40mg 1 kali sehari Tab 10mg

1 2 kali
Benazepril 10-40mg Tab 5mg, 10mg
sehari

3. Antagonis Reseptor Angiotensin (ARB)


Reseptor angil terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor AT1 dan
AT2. Reseptor memperantarai semua efek fisiologis angil terutama yang
berperan dalam homeostatis kardiovaskular rseptor AT2 terdapat di
medulla adrepal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang belum
jelas.
Losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja
selektif pada reseptor AT2. Pemberian obat ini akan mengambat semua
angil, seperti vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis,
efek sentral (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek
renal serta efek jangka panjang berupa hipertroli otot polos pembuluh
darah miokard. ARB menimbulkan yang mirip dengan pemberian ACE-
inhibitor karena tidak mempengaruhi metabolisme, maka obat ini
dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan angiodema
seperti yang sering terjadi dengan ACE-inhibitor.
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskulat dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas
rennin yang rendah. Pada pasien dengan hipovelemia, dosis ARB perlu
diturunan.
Pemberian ARB menurunkan tekanan darah yang mempengaruhi
frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi reboud. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid
dan glukosa darah. Losartan menurunkan efek urikosurik yang cukup
nyata, sedangkan valsartan tidak mempengaruhi asam urat darah.
Farmakokinetik losartan diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna
dengan bioavailabilitas sekitar 33%. Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh
adanya makanan di lambung. Waktu paruh eliminasi (t1/2) 1-2 jam,
tapi obat ini cukup diberikan satu hari atau dua kali sehari, kira-kira 15%
losartan dalam tubuh diubah metabolit (5-carboxylic acid) dengan potensi
10 sampai 40 kali losartan dan masa paruh yang jauh lebih panjang (t1/2;
6-9 jam). Losartan dan metabolitnya tidak dapat menembus saluran darah
otak. Sebagian besar obat diekresi melalui feses sehingga tidak diperlukan
penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien
hemodialisis dan pada usia lanjut. Tapi dosis harus disesuaikan pada
gangguan fungsi hepar.
4. CCB / Calsium Channel Bloker
Calcium Channel Blocker (CCB) bekerja dengan mengurangi kalsium
masuk ke otot polos, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer
serta menurunkan BP. CCBs terdiri dari dua golongan yaitu
dihydropyridine (nifedipine, amlodipine, felodipin) dan
nondihydropyridine (verapamil dan diltiazem) secara langsung memblokir
atrioventrikular (AV), menurunkan detak jantung, dan menurunkan
kontraksi jantung, namun masih memiliki efek vasodilatasi. Efek samping
tergantung pada jenis CCB, umumnya dapat menimbulkan kemerahan,
edema perifer, takikardia, bradikardi atau blok jantung, dan sembelit
(Koda-Kimble et al, 2012). Dosis obat yang digunakan yaitu nifedipine
20-30mg 3 kali sehari, amlodipine 1 kali sehari 5mg dengan dosis
maksimal 10mg/hari, felodipin 5-20mg 1 kali sehari, verapamil 80 mg 3-4
kali sehari dengan dosis maksimal 720mg/hari, diltiazem 60mg 3 kali
sehari bila perlu dapat dinaikan menjadi 120mg 3 kali sehari (Tjay dan
Raharja, 2007).
5. Penghambat Adrenergik
Obat penghambat adrenergik menurut tempat kerjanya dibagi menjadi
5 kelas yaitu:
a. Penghambat Adrenoreseptor Beta ( bloker)
Mekanisme kerja dari beta bloker adalah penghambatan reseptor . Hal
ini menyebabkan antara lain penurunan frekuensi denyut jantung dan
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung, serta dapat
hambatan sekresi renin di sel jukstglomeruler ginjal sehingga berakibat
penurunan produksi angiotensin II (Tjay dan Raharja, 2007).
Obat golongan bloker dikelompokan 2 macam berdasarkan sifatnya
yaitu kardioselektif dan nonselektif. Kardioselektif yaitu obat-obat yang
hanya menghambat pada reseptor 1 (Atenolol, asebutalol, bisoprolol,
metoprolol). Sedangan Nonselektif yaitu obat-obat yang mampu
menghambat reseptor 1 dan 2 (Alprenolol, Kartenolol, Nadolol,
Oksprenolol, Pindonolol, Propanolol, Timolol, Karvedinol, Labetalol).
Semua bloker mempunyai efek samping antara lain yaitu dapat
menyebabkan bradikardi, sehingga obat ini dikontraindikasi pada keadaan
bradikardi (Tjay dan Raharja, 2007).

Tabel 6. Dosis Antihipertensi Golongan Beta Bloker (Departemen Farmakologi Dan


Terapeutik, 2007)

Dosis awal Dosis maksimal Frekuensi


(mg/hari) (mg/hari) pemberian

Kardioseletif

Asetabutol 200mg 800mg 1-2 kali sehari

Atenolol 25mg 100mg Sekali sehari


Bisoprolol 2,5mg 10mg Sekali sehari

1-2 kali sehari


50 mg (tab biasa) 200mg (tab biasa) (tab biasa)
Metoprolol 100mg (tab lepas 200mg (tab lepas Sekali sehari
lambat) lambat) (tab lepas
lambat)

Nonselektif

Alprenolol 100mg 200mg/hari 2 kali sehari

arteolol 2,5mg 10mg/hari 2-3 kali sehari

Nadolol 20mg 160mg/hari 1 kali sehari

2 kali sehari
320mg/hari (tab
80mg (tab biasa) (tab biasa)
biasa)
Oksprenolol 80mg (tab lepas 1 kali sehari
320mg/hari (tab
lambat) ( tab lepas
lepas lambat)
lambat)

Pindolol 5 mg 40mg/hari 2 kali sehari

Propranolol 40 mg 160mg/hari 2-3 kali sehari

Timolol 20mg 40mg/hari 2 kalii sehari

Karvedilol 12,5mg 50mg/hari 1 kali sehari

labetalol 100mg 300mg/hari 2 kali sehari

b. Penghambat Adrenoreseptor Alfa (1 bloker)


Mekanisme kerja 1 bloker yaitu dengan menghambat reseptor 1
sehingga menyebabkan Vasodilatasi di arteriol dan venula serta
menurunkan resisten perifer. Disamping itu, venodilatasi menyebabkan
aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung.
Efek samping dari obat ini antara lain hipotensi ortostatik yang sering
terjadi pada pemberian dosis awal atau peningkatan dosis (fenomena dosis
pertama), terutama dengan obat yang kerjanya singkat seperti prazosin.
Efek ini dapat dihindari dengan pemberian dosis kecil dan diberikan
sebelum tidur. Efek samping lain sakit kepala, palpitasi edema perifer,
hidung tersumbat, mual dan lain sebagainya. (Tjay dan Raharja, 2007).
Obat-obat golongan 1 bloker yaitu praszosin dosis awal 0,5mg/hari 1-2
kali sehari dengan dosis maksimal 4mg/hari, terazosin dosis awal 1-2
mg/hari sekali sehari dengan dosis maksimal 4mg/hari, bunazosin dosis
awal 1,5 mg/hari 3 kali sehari dengan dosis maksimal 3mg/ hari ,
doksazosin dosis awal 1-2 mg /hari dengan dosis maksimal 4mg/hari.
c. Adrenolitik Sentral
Obat golongan ini yang sering digunakan yaitu metildopa dan klonidin.
Metildopa merupakan prodrugs yang dalam SSP mengantikan kedudukan
DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir -metilnorepinefrin.
Diduga efek antihipertensi disebabkan karena stimulasi reseptor 2
disentral sehingga menggurangi sinyal simpatis ke perifer. Penggunaan
metildopa merupakan antihipertensi tahap kedua. Obat ini terbukti efektif
bila dikombinasi dengan diuretik dan obat ini masih merupakan lini
pertama pada pengobatan hipertensi pada kehamilan karena terbukti aman
untuk janin.
Klonidin bekerja terutama pada reseptor 2 di susunan saraf pusat
dengan efek penurunan Simpathic Outflow sehinggamenyebabkan terjadi
penurunan resistensi perifer dan curah jantung serta menyebabkan
penurunan kontraktilitas miokard dan frekuensi denyut jantung. Efek
samping obat ini antara lain mulut kering dan sedasi. Dosis 0,007mg dua
kali sehari dan dapat ditingkatkan sampai 0,6 mg/hari (Departemen
Farmakologi Dan Terapeutik, 2007).
d. Penghambat Saraf Adrenergik
Obat golongan ini yaitu reserpin, guanetidin, guanadrenel. Reserpin
merupakan obat pertama yang diketahui dapat menghambat sistem saraf
pada manusia, obat golongan ini bekerja dengan mengurangi jumlah
serotonin, katekolamin, noreepinefrin. Reserpin menyebabkan retensi
natrium dan cairan dengan signifikan sehingga penggunaannya perlu
dikombinasikan dengan diuretik. Efek samping dari pengunaan obat ini
adalah hidung tersumbat, meningkatkan sekresi asam lambung, diare,
bradikardi, dan depresi. Dosis resepin 0,1 sampai 0,25 mg/hari.
e. Penghambat Ganglion
Trimetafan merupakan satu-satunya penghambat ganglion yang
digunakan di klinik. Obat ini mempunyai kerja yang cepat dan singkat dan
digunakan untuk menurunkan teknan darh dengan segera. Efek samping
yang terjadi seperti pada hipotensi ortastatis ileus paralitik, paralisis
kandung kemih, mulut kering penglihatan kabur. Obat ini diberikan
dengan cara intravena dengan dosis 0,3 5 mg/menit.
6. Antagonis Aldosterone
Antagonis aldosterone merupakan golongan obat diuretic hemat
kalium yang bekerja dengan memblokade reseptor aldosteron menghambat
reabsorbsi natrium dan retensi air dan mencegah vasokonstriksi.
Spironolakton merupakan obat golongan antagonis aldosterone dan
merupakan obat pilihan pada hiperaldosteronisme primer (syndrom conn).
Obat ini digunakan pada pasien dengan hiperurisemia, hypokalemia dan
dengan toleransi glukosa karena tidak mempengaruhi ion Ca+ dan kadar
glukosa dalam darah. Efek samping pada penggunaan lama dan dosis
tinggi dapat menyebabkan ginekomastia, gangguan potensi dan lipido
pada pria sedangkan pada wanita biasanya akan mengalami nyeri pada
buah dada dan gangguan haid. Dosis pemberian spironolakton yaitu 25-
100mg 1-2 kali sehari saat makan.
7. Penghambat Renin
Aliskiren merupakan pilihan pertama yang digunakan sebagai
penghambat renin sebagai terapi alternative hipertensi. Aliskiren bekerja
dengan menghambat pemecahan angiostensinogen menjadi angiostensin I
sehingga tidak menghasilkan angiostensin II melalui RAAS, tidak
mempengaruhi bradikinin dan tidak meningkatkan konsentrasi angiostensi
II dalam sirkulasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

III.ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
3.2 Bahan
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
3.3 Studi Kasus
Tuan DK berusia 43 tahun, masuk rumah sakit di UGD dengan tanda-
tanda vital, TKD 195/ 136 mmHg, Nadi 141 x/menit, dan Temperatur 37,5 C
disertai keluhan pusing, tidak mual, tidak demam, mimisan 3 hari lalu, namun
sudah berhenti, kemudian mimisan kembali esok harinya satu kali, sudah
berhenti dan pukul 2 hari ini mimisan lagi.
Sebagai seorang farmasi klinis, tentukan rekomendasi terapi dan
assesment terapi yang anda usulkan untuk pasien ini.
IV. PEMBAHASAN
Metode SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Plan)
1. Subjektif
Subjektif dari metode SOAP adalah data-data yang dirasakan oleh pasien yang
bersifat subjektif, tentang apa yang dirasakan pasien atau apa yang dapat diamati
tentang pasien merupakan gambaran apa adanya mengenai pasien yang dapat
diperoleh dengan cara mengamati, berbicara, dan berespon dengan pasien. Pada
kasus ini, penilaian subjektif adalah keluhan pasien Tuan DK (43thn) yaitu
pusing, tidak demam, tidak mual, dan mengalami mimisan tiga hari yang lalu.
2. Objektif
Objektif adalah data-data yang bersifat subjektif dan bisa dibuktikan atau
diukur dengan angka dan data tertentu misalnya hasil pemeriksaan lab SGPT,
SGOT, tekanan darah, gula darah, respitory rate dan lain sebagainya. Atau dapat
juga dikatakan riwayat pasien yang terdokumentasi pada catatan medik dan hasil
berbagai uji dan evaluasi klinik misalnya, tanda-tanda vital, hasil test lab, hasil uji
fisik, hasil radiografi, CT scan, ECG, dan lain-lain. Penilaian objektif pada kasus
ini adalah pemeriksaan tanda vital dengan pengukuran yang dilakukan saat di
UGD, yaitu tekanan darah 195/136 mmHg, nadi 141x/menit, temperature suhu 37o
C.
3. Assesment
Assesment merupakan analisis dan interpretasi berdasarkan data yang
terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi
diagnosis atau masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera.
Pada kasus ini, sebelum diberikan rekomendasi terapi, ada beberapa informasi
yang perlu digali lebih lanjut dari pasien, diantaranya riwayat penyakit terdahulu
seperti stroke, diabetes,dan faktor resiko lainnya. Selain itu perlu juga dicari tahu
apakah pasien sebelumnya pernah mendapatkan terapi pengobatan hipertensi. Jika
ada, perlu dicari tahu obat apa saja yang pernah digunakan. Karena kondisi
tersebut tidak dijelaskan pada kasus, dapat dianggap bahwa pasien belum pernah
menerima pengobatan hipertensi sebelumnya. Terkait kondisi pasien apakah
perokok atau tidak, dalam hal ini diasumsikan pasien bukan perokok. Pemeriksaan
darah lengkap dan urin (blood urea nitrogen, creatinine serum, elektrolit,dll) juga
perlu dilakukan guna mengetahui apakah ada penyakit lain yang mungkin
menyertai seperti adanya gangguan ginjal, hati, atau jantung, serta cek angka gula
darah pasien untuk mengetahui kemungkinan diabetes, angka kolesterol total serta
LDL pasien juga perlu ditinjau lebih lanjut guna mengetahui secara pasti keadaan
pasien. Apabila memungkinkan perlu juga dilakukan pemeriksaan organ yang
lebih mendalam seperti pemeriksaan otak (stroke, transcient ischemic attack),
mata (retinopathy), EKG jantung (left ventricular hypertrophy, angina, heart
failure), dan ginjal (chronic kidney disease).
Setelah mendapatkan hasil pemeriksaan yang lebih komprehensif, kemudian
dapat dihitung Framingham Score pasien, untuk mengetahui seberapa besar
kemungkinan pasien tersebut mengalami CVD pada 10 tahun mendatang.
Menghitung Framingham score, dapat dilihat dari umur pasien yaitu 43 tahun (40-
44 tahun, score: 0), total kolesterol dianggap normal yaitu < 200, anggaplah 160
maka scorenya 3, pasien dianggap tidak merokok, score 1 (jika merokok, score:
5), angka HDL pasien dianggap normal misalnya 70, maka score -1, angka
sistolik tekanan darah pasien adalah 195 dan dianggap belum mendapat
pengobatan, maka diberi score 2 (jika sudah ada penanganan sebelumnya, score:
3). Dari nilai tersebut dapat dijumlahkan, dan diketahui angka kemungkinan
penyakit kardiovaskular 10 tahun mendatang dari pasien ini adalah 2%. Tentunya
angka ini dapat meningkat, seiring bertambahnya usia pasien, tingginya LDL, dan
apabila pasien merokok. Tujuan mengetahui resiko ini adalah agar farmasis dapat
memberikan rekomendasi yang paling sesuai dengan keadaan pasien, dan untuk
mencegah kemungkinan terburuk yang dapat terjadi berdasarkan resiko yang ada.
Pada kasus ini, hipertensi pasien (Tuan DK) dapat dikategorikan crisis
hypertension bila dilihat dari nilai tekanan darahnya, yaitu 195/136 mmHg
(>180/120mmHg). Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, tidak ditemukan
adanya kerusakan organ, baik jantung, hati, maupun ginjal, sehingga dapat
dikatakan primary hypertensi yang termasuk hypertensiv urgency. Menurut ESC,
kondisi Tuan DK dapat dikategorikan sebagai hipertensi grade 3, sedangkan
menurut JNC7 termasuk grade 2. Dilihat dari grade yang tinggi, pasien
memerlukan terapi non-farmakologi sekaligus terapi farmakologi, dimana pada
terapi farmakologi digunakan kombinasi dua obat anti hipertensi.
Pada kasus dengan tekanan darah yang sangat tinggi seperti ini, berbahaya
bagi pasien jika tekanan darahnya diturunkan secara drastis. Untuk urgency
hypertensive, target penurunan tekanan darahnya dalam beberapa jam sampai
beberapa hari kedepan adalah turun 1 grade dibawahnya (untuk esc, turun menjadi
grade 2 yaitu 160-179/100-109 mmHg). Untuk kasus Tuan DK, rekomendasi
terapi kombinasi yang diberikan adalah antara golongan obat diuretik dengan
ARB. Terapi diuretik yang dipilih adalah thiazid, karena menurut JNC7
merupakan terapi pertama (first line) yang dapat diberikan pada kebanyakan
pasien hipertensi. Pemilihan ARB didasarkan pada rendahnya insiden efek
samping yang dimilikinya, dibandingkan antihipertensi lainnya. ARB tidak
mempengaruhi bradikinin, sehingga tidak berpotensi menimbulkan batuk kering
seperti halnya yang terjadi pada antihipertensi golongan ACEi.
Rute pemberian obat yang dianjurkan adalah melalui rute oral, karena selain
untuk menghindari penurunan tekanan darah yang terlalu drastis jika diberikan
injeksi, pasien datang ke UGD tidak menunjukkan tanda critical illness yang
artinya pasien dalam keadaan sadar dan dapat mengkonsumsi obat oral.
4. Plan
Plan adalah tindak lanjut dari assesment atau penilaian yang sudah dilakukan
sebelumnya. Hal-hal yang dapat dilakukan terhadap pasien, meliputi treatment
yang diberikan, pemantauan (efektivitas terapi, efek samping obat) dan endpoint
therapy informasi pada pasien.
Treatment yang diberikan
Untuk kasus Tuan DK, rekomendasi terapi kombinasi yang diberikan
adalah antara golongan obat diuretik dengan ARB yang dirangkum pada
Tabel 7.
Tabel 7. Rekomendasi Terapi Farmakologi Kombinasi
Dosis
Freq.
Kelas Nama Obat Lazim Keterangan
Pemberian
(mg/hari)
Pemberian pagi hari untuk
menghindari diuresis malam
hari, sebagai antihipertensi
gol.tiazid lebih efektif dari
diuretik loop kecuali pada
pasien dengan GFR rendah
( ClCr <30 ml/min);
digunakan dosis lazim untuk
Diuretik mencegah efek samping
HCT 12.5-25 1
Thiazid metabolik; hiroklorotiazid
(HCT) lebih disukai, dengan
dosis efektif maksimum 25
mg/hari; keuntungan
tambahan untuk pasien
osteoporosis; monitoring
tambahan untuk pasien
dengan sejarah pirai atau
hiponatremia.
Dosis awal harus dikurangi
50% pada pasien yang sudah
dapat diuretik, yang
kekurangan cairan, atau
sudah tua sekali karena
resiko hipotensi; dapat
menyebabkan hiperkalemia
pada pasien dengan penyakit
ginjal kronis atau pasien
ARB Candesartan 8-32 1 atau 2 yang juga mendapat diuretik
penahan kalium, antagonis
aldosteron, atau ACEI; dapat
menyebabkan gagal ginjal
pada pasien dengan renal
arteri stenosis; tidak
menyebabkan batuk kering
seperti ACEI,; jangan
digunakan pada perempuan
hamil.

a. Diuretik golongan Thiazid


Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila
memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien,
baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI,
ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi
utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial ini, termasuk yang
baru diterbitkan Antihypertensive and LipidLowering Treatment to
Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam
mencegah komplikasi kardiovaskular akibat hipertensi. Kecuali pada the
Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana dilaporkan
hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki
kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak
regimen obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah, dan harganya
lebih dapat dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya.
b. ARB
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim:
RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE,
dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti kimase. ACEI
hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui
RAAS, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua jalan.
ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensinogen II tipe 1
(AT1) yang memediasi efek angiotensinogen II yang sudah diketahui
pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik,
pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferen dari
glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensinogen tipe 2 (AT2).
Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi,
perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh
dengan penggunaan ARB. Studi menunjukkan kalau ARB mengurangi
berlanjutnya kerusakan organ target jangka panjang pada pasien-pasien
dengan hipertensi dan indikasi khusus lainnya. Tujuh ARB telah di
pasarkan untuk mengobati hipertensi; semua obat ini efektif menurunkan
tekanan darah. ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti
menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan
tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan
meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI,
kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk
pemberian 1 x/hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan
mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian
2x/hari agar efektif menurunkan tekanan darah. ARB mempunyai efek
samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya.
Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk
kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat
menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik.
Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan
ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; tetapi
cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada
perempuan hamil.
Pemantauan (Efektivitas Terapi dan Efek Samping Obat)
Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor:
a. Tekanan Darah
Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai
kerusakan organ target yang progresif. Manajemen penurunan tekanan darah
pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan
parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat
untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial
Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal
standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110
mmHg. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat
menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat
pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan
pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi. Tekanan darah
diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada
tingkat 1 dalam waktu beberapa jam sampai dengan beberapa hari. Pada
kasus ini, pasien Tuan DK memiliki target tekanan darah yaitu < 140/90
mmHg.
b. Kerusakan Organ Target: Jantung, Ginjal, Mata, Otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tanda-
tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit
dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala,
penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang
keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan
komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainnya
yang harus di monitor untuk menilai penyakit target organ termasuk
perubahan funduskopik, regresi LVH pada elektrokardiogram atau
ekokardiogram, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal. Tes laboratorium
harus diulangi setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil.
c. Interaksi Obat dan Efek Samping
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat
harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4
minggu setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian
efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan
obat antihipertensi yang lain.
Tabel 8. Interaksi Obat dan Efek Samping Obat
Kelas Kontra-
Interaksi Mekanisme Efek Samping
Obat indikasi

Hipokalemia,
hiperurisemia,
glucose intolerance
Carbama (kecuali
zepin, indapamide),
Thiazid Pirai Hiponatremia
chlorprop hiperkalsemia
amid (tiazid),
hiperlipidemia,
hiponatremia,
impoten (tiazid).

Ekskresi
Kehamilan,
Diuretik kalium melalui Angioedema
bilateral
penahan ginjal (jarang),
ARB artery
Kalium berkurang hiperkalemia,
stenosis,
NSAID Retensi Na dan dusfungsi renal.
hiperkalemia
H2O

Endpoint Therapy Informasi pada Pasien


Edukasi ke Pasien Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien
tentang penanganan hipertensi:
1. Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan.
2. Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri.
3. Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik).
4. Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol.
5. Pentingnya kontrol teratur.
6. Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan
menyembuhkannya.
7. Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak
diinginkan.
8. Efek samping obat dan penanganannya.
9. Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan
tekanan darah.
10. Pentingnya peran terapi nonfarmakologi.
11. Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang
mengandung ginseng, nasal decongestan, dll).
Terapi nonfarmakologi memerlukan perhatian yang cukup besar oleh
profesi kesehatan agar berhasil. Terapi nonfarmakologi memerlukan
perubahan sikap, dorongan dan nasihat yang terus menerus. Dengan
membantu pasien bagaimana melibatkan perubahan/modifikasi kedalam
gaya hidupnya dapat membantu pasien mencapai tujuan ini. Misalnya
Apoteker dapat mendiskusikan mengenai olahraga, menurunkan berat
badan, dan berhenti merokok.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa terkait kondisi hipertensi pada kasus ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Definisi Hipertensi yaitu suatu gejala umum yang ditandai dengan adanya
peningkatan tekanan pembuluh darah arteri secara persisten di atas normal
yaitu >120/80 mmHg, minimal pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istrahat/tenang.
2. Klasifikasi penyakit hipertensi
Menurut JNC 7 yaitu:
Kategori SBP (mmHg) DBP (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Pre-hipertensi 120 - 139 atau 80 - 89
Hipertensi stage 1 140 - 159 atau 90 - 99
Hipertensi stage 2 160 atau 100
Menurut ESC yaitu:

3. Patofisiologi penyakit hipertensi yaitu sebagai berikut:


Ketidaknormalan humoral, seperti RAAS (renin-angiotensin-
aldosteron system), hormon natriuretik atau hiperinsulinemia.
Gangguan patologis pada CNS, autonomic nerve fibers, reseptor
adrenergik, atau baroreseptor.
Gangguan pada renal atau pada jaringan yang mengatur proses
ekskresi sodium, volume plasma, dan konstriksi arteriolar.
Defisinsi sintesis substansi vasolitasi pada vaskular endothelium,
seperti prostacyclin, bradikinin dan nitrit oksida, atau peningkatan
produksi substansi vasokonstriksi seperti angiotensin 2 dan endothelin
1.
Tingginya pemasukan sodium dan peningkatan penghambatan sirkulasi
hormon natriuretik dari transport sodium intraselular, sehingga
meningkatkan reaktifitas vaskular dan peningkatan tekanan darah.
4. Tatalaksana penyakit hipertensi:
a. Farmakologi
Dosis
Freq.
Kelas Nama Obat Lazim Keterangan
Pemberian
(mg/hari)
Pemberian pagi hari untuk
menghindari diuresis malam
hari, dengan dosis efektif
maksimum 25 mg/hari;
Diuretik
HCT 12.5-25 1 keuntungan tambahan untuk
Thiazid
pasien osteoporosis;
monitoring tambahan untuk
pasien dengan sejarah pirai
atau hiponatremia.
Dosis awal harus dikurangi
50% pada pasien yang sudah
dapat diuretik, yang
kekurangan cairan, atau
ARB Candesartan 8-32 1 atau 2 sudah tua sekali karena
resiko hipotensi, tidak
menyebabkan batuk kering
seperti ACEI, kontraindikasi
pada perempuan hamil.

5. Penyelesaian kasus Tuan DK menggunakan metode SOAP berupa


rekomendasi terapi berdasarkan data subjektif dan objektif yaitu
pemberian terapi farmakologi dengan kombinasi antara diuretik thiazide
dan ARB. Terapi non farmakologi diberikan berupa diet rendah garam,
perubahan gaya hidup dan penurunan berat badan. Monitoring dan
evaluasi dilakukan dengan memantau efikasi serta efek samping obat yang
mungkin timbul.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T; Robert L. Talbert; Gary R. Matzke; Barbara G. Wells; and L.


Michael Posey. 2008. Pharmacoteraphy a Pathofisiologic Approach
Seventh Edition. New York; The McGraw Hill Companies.

European Heart Journal, 2013. ESH/ESC Guidelines for themanagement of


arterial hypertension.

JNC (Joint National Committee), 7th. (2003). The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. Amerika: National High Blood Pressure
Education Program

Modul Praktikum Farmakoterapi I (penyakit kardiovaskular, renal dan


hematologi), Program Studi S1 Farmasi Klinis Institut Ilmu Kesehatan
Medika Persada Bali. 2017.

Norman M. Kaplan, Ronald G. Victor. 2009. Kaplan's Clinical Hypertension


Tenth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai