Anda di halaman 1dari 19

FARMAKOTERAPI II

TERAPI PEMILIHAN ANTIBIOTIK

Oleh :
Kelompok 6

1. Putu Yuda Putrananda (19021079/A4C)


2. Putu Yudha Kartika (19021080/A4C)
3. Putu Yudha Pramestica (19021081/A4C)
4. Tria Mas Anggeliana (19021082/A4C)
5. Ni Putu Indah Salistha (18021030/A3A)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas Makalah “Terapi Peralihan
Antibiotika” ini dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi II dalam
rangka proses pembelajaran bagi mahasiswa sehingga dapat menambah wawasan yang sangat
berkaitan dengan dunia kefarmasian.

Demikianlah makalah ini disusun, semoga makalah ini dapat memberikan informasi
dan dapat bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahw apenyusunan makalah ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca. Penulis berharap semoga makalah ini berguna bagi para
pembaca khususnya Mahasiswa Universitas Bali Internasional.

DAFTAR ISI

ii
Halaman Judul................................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................ iii
Bab 1 Pembahasan............................................................................................................. 1
1.1 Definisi Antibiotik............................................................................................... 1
1.2 Golongan Antibiotik............................................................................................ 1
1.3 Definisi Peralihan................................................................................................. 5
1.4 Tujuan Peralihan.................................................................................................. 5
1.5 Syarat-Syarat Peralihan........................................................................................ 6
1.6 Macam-Macam Peralihan Terapi......................................................................... 7
1.7 Evidence Base Medicine Terapi Antibiotik......................................................... 8
Bab 2 Penutup................................................................................................................... 15
2.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 15
2.2 Saran.................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PEMBAHASAN

I. DEFINISI ANTIBIOTIK
Secara umum definisi antibiotika berdasarkan Permenkes RI tahun 2011, yaitu
obat yang paling sering digunakan untuk mengobati infeksi yang disebebkan oleh
bakteri.
Definisi lain mengatakan antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh
fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Hoan, 2015).

II. GOLONGAN ANTIBIOTIK


Antibiotika digolongkan dalam enam kelompok, yaitu penisilin dan
sefalosporin, kelompok tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin,
polipeptida, serta kelompok sisa (polyen, rifamisin, dan lain-lain) (Hoan, 2015).
1. Penisilin.

Antibiotika golongan penisilin ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


penisilin dan sefalosporin. Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok 7
antibiotik betalaktam yang sudal lama di kenal sejak abad ke-19. Penisilin
diperoleh dari biakan penicillium notatum untuk perkembangbiakan sistemik,
kemudian menggunakan penicilium chrysogenum. Sefalosporin diperoleh dari
biakan cephalorium acremonium oleh Brotzu pada abad yang sama (Istiantoro,
2007).
Kedua kelompok antibiotika tersebut memiliki bentuk bangun yang serupa,
keduanya memiliki cincin beta-laktam. Cincin ini merupakan syarat mutlak untuk
menguji keampuhannya. Ketika cincin ini dibuka misalnya oleh enzim
betalaktamase (penisilinase atau sefalosporinase), maka antibiotik tersebut menjadi
1
inaktif. Pada umumnya penisilinase hanya dapat menginaktifkan penisilin dan
tidak pada sefalosporin, begitu sebaliknya berlaku untuk sefalosporinase (Hoan,
2015).
Penisilin dapat dibagi dalam beberapa jenis menurut aktivitas dan resistensinya
terhadap laktamase:
a. Zat –zat dengan spektrum-sempit: benzilpenisilin, penisilin-V dan fenetisilin.
b. Zat-zat tahan-laktamase: metisilin, kloksasilin, dan flukloksasilin.
c. Zat-zat dengan spektrum-luas: ampisilin dan amoksisilin.
d. Zat-zat anti-pseudomonas: tikarsilin dan piperasilin.
Sefalosporin diperoleh secara semisintesis dari sefalosporin-C yang dihasilkan
jamur cephalorium acremonium. Berdasarkan keampuhan antimikoba dan
resistensinya terhadap beta-laktamase, sefalosporin umumnya digolongkan sebagai
berikut:
a. Generasi 1 : sefalotin dan sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan sefadroksil.
b. Generasi 2 : sefaklor, sefamandol, sefmetazol dan sefuroksim. 8
c. Generasi 3 : sefoperazon, sefotaksim, seftizoksim, seftriakson, sefotiam,
sefiksim, sefpodoksim, dan sefprozil.
d. Generasi 4 : sefepim dan sefpirom

2. Aminoglikosida.

Aminoglikosida adalah antibiotika yang dihasilkan dari jenis-jenis fungi


streptomyces dan fungus lainnya (mikromonospora). Semua senyawa dan turunan
semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya yang
saling terikat secara glukosidis (Hoan, 2015).

2
Senyawa aminoglikosid bisa di bedakan dari gugus gula amino yang terikat
pada aminosiklitol (Istiantoro, 2007). Aminoglikosida dapat dibagi atas dasar
rumus kimianya, sebagai berikut :
a. Streptomisin
b. Kanamisin dengan turunannya amikasin, dibekasin, gentamisin dan turunannya
netilmisin dan tobramisin.
c. Neomisin, framisetin, paromomisin.

3. Tetrasiklin.

Tetrasiklin adalalah antibiotik yang di hasilkan oleh streptomyces aureofaciens,


Streptomyces rimosus. Tetrasiklin di buat secara semisintetik dari klortetrasiklin,
tetapi juga dapat di peroleh oleh dari streptomyces yang lain (Istiantoro, 2007).
Setelah tahun 1960 zat-induk tetrasiklin, mulai dibuat seluruhnya secara sintesis,
yang kemudian disusul oleh derivat –oksi dan –klor serta senyawa long-acting
doksisiklin dan minosiklin.

4. Makrolida dan Linkomisin.

3
Antibiotik golongan makrolid persamaan, yaitu terdapatnya cincin lakton yang
besar dalam rumus molekulmnya. Kelompok antibiotika makrolida dan linkomisin
ini terdiri dari eritromisin, dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin,
azitromisin, diritromisin. Pada golongan tersebut Eritromisin lah yang paling di
anggap paling penting (Istiantoro, 2007). Spiramisin dianggap termasuk kelompok
ini karena rumus bangunnya yang serupa, yaitu cincin lakton besar (makro) yang
mana terikat turunan gula. Linkomisin dan klindamisin secara kimiawi berbeda
dengan eritomisin, akan tetapi mirip sekali dengan aktivitas, mekanisme kerja dan
pola resistensinya, bahkan terdapat resistensi-yang silang dan antagonisme.

5. Polipeptida.
Antibiotika golongan ini meliputi polimiksin A, B, C, D dan E. Merupakan
kelompok antibiotika yang terdiri dari rangkaian polipeptida dan secara selektif
aktif terhadap kuman gram negatif, misalnya psedudomonas maupun kumankuman
koliform yang lain. Antibiotika ini berlainan dengan antibiotika lainnya yang
diperoleh dari jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh sejenis bakteri.

6. Antibiotika lainnya.
a. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antimikroba bakteriostatik dan memiliki spektrum
yang luas. Awalnya diperoleh dari sejenis streptomyces (Nonomura,1974
dalam Buchbauer, 2015), yang kemudian dibuat secara sintesis.
b. Vancomisin
Menurut American Journal of Health System Pharmacy, vancomisin
merupakan salah satu antibiotik yang penggunaannya paling luas dalam
pengobatan infeksi serius bakteri gram positif yang melibatkan methicilin
resistant S. aureus (MRSA). Antibiotikum glikopeptida ini dihasilkan oleh
Streptomyces orientalis.
c. Spektinomisin
Spektinomisin adalah antibiotik yang memiliki broad-spectrum ampuh
membasmi sejumlah kuman gram-positif dan gram-negatif yang di peroleh
dari biakan Streptomyces spectabilis (Nonomura,1974 dalam Buchbauer,
2015).
d. Linezolid

4
Linezolid adalah senyawa antimicrobial. Antibiotika ini termasuk kelas
antibiotika terbaru yaitu oxazolidindion, antibiotik tersbut ditemukan di tahun
1980. Linezolid bekerja dengan cara mengganggu produksi protein yang
diperlukan bakteri untuk tumbuh.
e. Asam fusidat
Asam fusidat adalah antibiotikum dengan rumus steroida yang mirip dengan
struktur asam empedu ini dihasilkan oleh jamur Fusidum coccineum
(Denmark, 1961 dalam Hoan, 2015).
f. Mupirosin
Mupirosin merupakan senyawa yang dihasilkan oleh kuman Pseudomonas
fluorescens maka semula dinamakan pseudomonic acid.
7. Fluorokuinolon.
Fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon baru dengan atom fluor
pada cincin kuinolon. Antibiotik ini adalah antibiotik satu-satunya kelas
antibiotik yang secara langsung menghentikan sintesis DNA bakteri Karena
sifatnya yang mudah diserap sangat baik oleh tubuh. Kuinolon yang penting
adalah analog terfluorinasi sintetik asam nalidiksat. Kuinolon menyekat
sintesis DNA bakteri dengan menghambat topoisomerase II (DNA girase) dan
topoisomerase IV bakteri. Turunan terfluorinasinya yaitu ciprofloxacin,
gatifloxacin, gemifloxacin, levofloxacin, lomefloxacin, moxifloxacin,
norfloxacin, ofloxacin (Katzung, 2007).

III. DEFINISI PERALIHAN


Peralihan (switching) Terapi Parenteral ke Oral Peralihan antibiotik merupakan
penggantian terapi antibiotik parenteral ke oral, juga dikenal sebagai terapi antibiotik
sekuensial, dan merupakan salah satu bentuk efisiensi terapi. Regimen oral dapat
berupa antibiotik yang sama dengan bentuk formulasi oral atau antibiotik dari kelas
berbeda. Yang terpenting, regimen oral yang memiliki efikasi sebanding dengan
regimen parenteral dan memiliki bioavailibilitas oral yang baik. Biasanya, konversi
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang lazim dianut (Brown EM., 2005).
Peralihan terapi dilakukan apabila keadaan pasien mampu menerima sediaan
oral, pergantian antibiotik ditetapkan sebagai sebuah pergantian dari sediaan intravena
ke oral (Ramirez&Ahkee S1996; Waagsbo et al, 2008).

5
IV. TUJUAN PERALIHAN
Terapi peralihan antibiotik bertujuan untuk mempelajari hubungan ketepatan
switch therapy terhadap kesembuhan luka, lama rawatan dan biaya pengobatan
antibiotik pasien. Switch therapy dilakukan apabila keadaan pasien mampu menerima
sediaan oral, pergantian antibiotik ditetapkan sebagai sebuah pergantian dari sediaan
intravena ke oral (Ramirez&Ahkee S1996; Waagsbo et al, 2008).
ASP (Antimicrobial Stewardship Programme) juga bertujuan mengurangi biaya
perawatan tanpa memberikan pengaruh negatif tehadap kualitas layanan, yaitu dengan
mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan, serta mendorong
peralihan terapi intravena ke terapi oral. Kombinasi antara ASP yang efektif dengan
program pengendalian infeksi yang komprehensif terbukti mampu membatasi
perkembangan dan penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotic (Dellit,
2007).

V. SYARAT – SYARAT PERALIHAN

VI. MACAM – MACAM PERALIHAN TERAPI


Peralihan antibiotik dari intavena ke antibiotik oral diperlukan jika telah
dilakukan evaluasi 24-48 jam setelah pemakaian antibiotik. Peralihan antibiotik
dibedakan atas sequential, switch dan stepdown Jenis peralihan yang dipilih
bergantung pada kepekaan bakteri, ketersediaan antibiotik oral, bioavailabilitas obat
oral dan kemampuan penetrasi antibiotik terhadap organ yang terinfeksi Peralihan
antibiotik hendaknya mempertimbangkan kesediaan antibiotik yang tersedia dengan
contoh antibiotik sefotaksim (iv) dapat dialihkan ke sefiksim (po) dimana keduanya
merupakan antibiotik dengan golongan yang sama (Tillotson GS, 2007).

Antimicrobial Stewardship Programme (ASP)


ASP adalah aktivitas yang dijalankan oleh institusi pelayanan kesehatan untuk
mengoptimalkan penggunaan antimikroba pada pasien rawat inap. ASP merupakan
program yang relatif baru yang meliputi ketepatan penggunaan antibiotik dalam hal
pemilihan, dosis, cara pemberian, dan lama pemberian, dan diharapkan akan menjadi
cara terbaik untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di rumah sakit. Program ini
mirip dengan program yang telah ada, seperti penerapan antibiotic policies, antibiotic
6
management programs, antibiotic control programs.Bedanya, ASP dirancang lebih
sistematis dan komprehensif (Tillotson GS, 2007).

ASP bertujuan mengoptimalkan hasil klinis (outcome) serta meminimalkan efek yang
tidak diinginkan akibat penggunaan antibiotik yaitu toksisitas, seleksi organisme
patogen, dan resistensi.Selain itu ASP juga bertujuan mengurangi biaya perawatan
tanpa memberikan pengaruh negatif tehadap kualitas layanan, yaitu dengan
mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan, serta mendorong
peralihan terapi intravena ke terapi oral. Kombinasi antara ASP yang efektif dengan
program pengendalian infeksi yang komprehensif terbukti mampu membatasi
perkembangan dan penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotic (Tillotson
GS, 2007).

Peralihan (switching) Terapi Parenteral ke Oral


Peralihan antibiotik parenteral ke oral, juga dikenal sebagai terapi antibiotik
sekuensial, dan merupakan salah satu bentuk efisiensi terapi. Regimen oral dapat
berupa antibiotik yang sama dengan bentuk formulasi oral atau antibiotik dari kelas
berbeda. Yang terpenting, regimen oral yang memiliki efikasi sebanding dengan
regimen parenteral dan memiliki bioavailibilitas oral yang baik.Biasanya, konversi
dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang lazim dianut.Terapi oral memiliki
beberapa keunggulan,yaitu lebih mudah diberikan, relatif lebih murah (Kollef MH,
2001).

VII. EVIDENCE BASE MEDICINE TERAPI ANTIBIOTIK (perbandingan


BA/BE)
JURNAL 1
Berdasarkan penelitian yang berjudul “Pengaruh Konversi Antibiotik
Intravena ke Rute Per-oral terhadap Outcome Ekonomi, Klinis dan Humanis pada
Pasien Rawat Inap” berisikan tentang perbandingan peralihan antibiotic intravena ke
antibiotic oral yaitu seftriakson intravena menjadi cefixime oral. Penggantian
antibiotik dari intravena ke rute per-oral dapat dilakukan pada sekitar 38%– 67,6%
pasien infeksi. Sebuah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
bahwa pasien yang menggunakan antibiotik intravena mendapatkan manfaat terbesar

7
jika dikonversi pada hari kedua atau ketiga terapi. Seftriakson merupakan salah satu
antibiotik terbanyak yang diresepkan di rumah sakit di Indonesia. Penggunaannya
mencapai 43% hingga 46% pada penelitian sebelumnya, dan di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo, penggunaan seftriakson untuk pasien-pasien di bangsal penyakit
dalam berkisar 70–80% sebagai terapi empiris. Antibiotik seftriakson seringkali
dikonversi menjadi antibiotik sefiksim saat pasien pulang dari rumah sakit dan
membutuhkan terapi antibiotik oral
Subjek penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan antibiotik seftriakson
intravena selama dirawat inap di bangsal penyakit dalam di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo, Purwokerto selama bulan September hingga Oktober tahun 2017. Pasien
yang menjadi subjek penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk
dapat menjadi subjek. Kriteria inklusi penelitian antara lain pasien yang menerima
antibiotik seftriakson dengan diagnosis infeksi nonviral atau febris dengan suspect
infeksi; tidak mendapatkan antibiotik dalam 1 minggu terakhir sebelum dirawat di
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo; pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam baik
pasien rujukan dari poliklinik maupun pasien gawat darurat, dan apabila mengalami
transisi perawatan dari IGD, maksimal 24 jam telah dipindahkan ke bangsal penyakit
dalam; telah memenuhi kriteria penggantian antibiotik intravena ke rute per-oral pada
hari rawat kedua setelah pemberian antibiotik (denyut nadi < 24 kali per menit, tidak
ada tanda shock/tidak menggunakan obat vasopressor, tekanan darah sistolik >90
mmHg, dan suhu <38,30 C) dan bersedia menjadi responden penelitian dibuktikan
dengan menandatangani informed consent serta dapat mengikuti seluruh tahapan
penelitian ini (termasuk prosedur kembali kontrol ke rumah sakit pada saat antibiotik
habis). Kriteria eksklusi yang diterapkan pada penelitian ini antara lain pasien yang
mendapatkan kombinasi antibiotik, pasien dengan komplikasi infeksi lainnya
(TB,HIV), pasien sepsis, pasien dengan gangguan multi organ, pasien
immunocompromised, pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pasien
dengan usia ≥65 tahun

Hasil :
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi yakni sebanyak 95 orang, akan tetapi, pada
proses penelitian hanya 76 pasien yang masuk ke dalam kriteria eksklusi. Tiga alasan
terbesar penyebab tingginya angka eksklusi pasien menjadi subjek adalah penolakan
dari pasien (21%), durasi penggunaan antibiotik yang tidak sesuai (18%), serta pasien
8
mendapatkan kombinasi antibiotik di tengah perjalanan penelitian (12%). Pasien yang
menjadi subjek penelitian berjumlah 22 orang (Tabel 1). Pada penelitian ini, diagnosis
yang paling banyak ditemukan pada subjek penelitian adalah febris, infeksi saluran
cerna, dan infeksi saluran kemih. Data diagnosis lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Antibiotik seftriakson dipilih sebagai antibiotic yang dilakukan konversi


antibiotik intravena ke rute per-oral disebabkan tingginya angka penggunaan
antibiotik tersebut. Pada dasarnya, antibiotik seftriakson merupakan antibiotic
spektrum luas yang efektif digunakan sebagai terapi berbagai macam infeksi ringan
hingga sedang, yakni terapi infeksi saluran nafas, saluran cerna, empedu, dan tifoid.
Pasien yang diberikan konversi antibiotik harus memenuhi syarat sesuai pedoman
pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotik oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2011 yaitu denyut nadi <100 kali per menit, respiratory rate <24 kali
per menit, tidak ada tanda shock/tidak menggunakan obat vasopressor, tekanan darah
sistolik >90 mmHg, dan suhu <38,30C. Sefiksim dipilih sebagai pengkonversi dari
seftriakson karena merupakan antibiotik yang berasal dari golongan yang sama dan

9
memiliki potensi yang setara meskipun memiliki senyawa yang berbeda.
Bioavailabilitas dari sefiksim adalah 60–90% sehingga sefiksim akan lebih cepat
memberikan efek terapi dan akan lebih banyak masuk ke dalam sirkulasi darah.
Hasil outcome klinis perubahan angka leukosit setelah menerima konversi
antibiotik intravena ke rute per-oral lebih awal di penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan yang tidak menerima intervensi. Penelitian oleh Park et al.
(2014) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan outcome kesembuhan pada pasien
yang menerima konversi antibiotik intravena ke rute per-oral jika dilihat dari
penurunan angka leukosit. Pasien yang menerima penggantian antibiotik yang tidak
tepat memiliki outcome klinis yang tidak berbeda bermakna dengan yang
mendapatkan antibiotik konversi secara tepat, walaupun outcome lama rawat inap dan
biaya pengobatan menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pasien yang tidak
memiliki outcome konversi angka leukosit lebih baik di penelitian ini adalah pasien
dengan diagnosis tifoid. Pilihan terapi utama pada tifoid adalah siprofloksasin, meski
penggunaan seftriakson fase akut juga menghasilkan outcome klinis yang baik.
Dengan kata lain, ketidaktepatan pemilihan antibiotik ini memengaruhi hasil
penelitian jika dilihat dari outcome ekonomi berupa perbaikan konversi angka
leukosit.
Outcome humanis yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas hidup
pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Nafteux et al. (2012) di Belgia menunjukkan
bahwa kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh lama pengobatan. Pasien yang lebih
cepat keluar dari rumah sakit setelah masa perawatan memiliki angka kualitas hidup
yang lebih baik dari sisi fungsional dan perbaikan gejala. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian ini. Pasien yang mendapatkan layanan konversi antibiotik intravena ke rute
per-oral lebih awal memiliki lama pengobatan yang lebih pendek di rumah sakit,
tetapi memiliki ratarata kualitas hidup yang lebih rendah. Pasien yang cenderung tidak
mengalami perbaikan kualitas hidup setelah menerima konversi antibiotik yaitu
pasien dengan diagnosis ISK. Penyakit ISK memang berkaitan dengan penurunan
kualitas hidup disebabkan gejalagejala yang timbul seringkali mengganggu waktu
berkegiatan dan istirahat sehingga menyebabkan stres mental bagi pasien. Hal lain
yang dapat memengaruhi kualitas hidup pasien yaitu kepatuhan terhadap terapi.
Pasien yang patuh akan mendapatkan efikasi yang maksimal dari pengobatan
sehingga kualitas hidupnya lebih baik. Pasien yang dirawat inap memiliki kepatuhan
yang baik hingga 96%, sedangkan pasien rawat jalan yang memiliki kepatuhan yang
10
baik terhadap pengobatan antibiotik hanya 75,6%. Hasil dari penelitian lain di Kanada
menunjukkan bahwa pasien yang keluar dari rumah sakit menunjukkan
ketidakpatuhan terhadap terapi dimulai saat 7 hari setelah keluar dari rumah sakit
(28%) dan 30 hari setelah keluar dari rumah sakit (24%). Salah satu pengobatan yang
termasuk dalam kategori ketidakpatuhan tersebut adalah antibiotik. Pasien yang
mengalami perbaikan klinis dan hilangnya gejala-gejala penyakit cenderung lebih
tidak patuh untuk melanjutkan pengobatannya. Kualitas hidup pasien yang lebih
rendah pada kelompok yang mendapatkan konversi antibiotik dapat terjadi akibat
periode rawat inap yang lebih pendek, sehingga pasien merasakan perbaikan klinis
dan cenderung lebih tidak patuh menjalani pengobatan. Terdapat beberapa
keterbatasan pada penelitian ini, salah satunya hanya diteliti satu jenis antibiotik untuk
dikonversi menjadi bentuk sediaan oral. Hal ini menyebabkan jumlah sampel
penelitian menjadi terbatas. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
adanya kemungkinan mengenai diterapkannya konversi antibiotik lebih awal pada
jenis antibiotik lain. Intervensi yang diterapkan juga tidak sebanding, yaitu pemberian
antibiotik melalui rute oral dan intravena, sehingga tidak dilakukan blinding. Hal ini
merupakan keterbatasan penelitian lainnya yang dapat menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi outcome penelitian dari sisi psikologis. Perlu penyempurnaan metode
intervensi apabila akan dilakukan penelitian sejenis di tempat lain dengan
menggunakan jenis antibiotik yang sama.

JURNAL II
Berdasarkan penelitian ke-dua yang berjudul “Hubungan Ketepatan Switch
Therapy Terhadap Kesembuhan Luka, Lama Rawatan dan Biaya Pengobatan
Antibiotik Pasien Apendisitis” yang mambahas tentang penanganan kasus apendisitis
Salah satu cara untuk mengoptimalkan hasil klinisnya adalah dengan menggunakan
antibiotik secara intravena (ceftriaxone). Akan tetapi rute ini harus segera diganti ke
terapi oral (cefixime) apabila sudah memenuhi kriteria penggantian terapi (Switch
therapy). Perubahan terapi intravena ke oral biasanya terjadi dalam 2-3 hari setelah
penyuntikan, apabila tidak terjadi tanda-tanda sepsis (suhu badan >36º C dan < 38º C,
denyut jantung tidak lebih dari 90 bpm, rata-rata nafas tidak lebih dari 20x/ menit,
jumlah sel darah putih tidak lebih dari < 4000/mm3 atau > 12.000/mm3 dan tidak
terjadi demam neutropenia), tidak terjadi infeksi serius yang memerlukan terapi
intravena, antibiotik oral tersedia, tidak adanya malabsorpsi, tidak muntah, bisa
11
menelan melalui mulut, tidak mengalami gangguan menelan, sadarkan diri. Perubahan
terapi intravena menjadi oral ini dapat menghemat biaya pengobatan, mempersingkat
lama rawat inap, mengurangi durasi pengunaan terapi intravena sehingga dapat
meminimalisir kerugian dari penggunaan intravena dan memberikan rasa nyaman
serta bebas bergerak

HASIL :
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan ketepatan switch therapy
terhadap kesembuhan luka, lama rawatan dan biaya pengobatan antibiotik pasien
appendisitis. Dari 36 orang pasien yang diteliti hanya terdapat 8 pasien (22,22 %)
yang memenuhi kriteria ketepataan switch therapy berdasarkan literature, sedangkan
28 pasien (77,78 %) lainnya tidak mendapatkan switch therapy yang sesuai.
Ketepatan waktu merupakan salah satu kriteria pergantian terapi intravena ke-oral
dimana waktu yang ditetapkan berdasarkan literatur Pedoman Pelayanan Kefarmasian
untuk Terapi Antibiotik oleh Kemenkes RI 2011 adalah 24-48 jam. Akan tetapi pada
penelitian ini penggantian terapi intravena ke oral dilakukan minimal pada hari ketiga
rawatan, dan maksimal pergantian terapi yaitu hari ke kesembilan rawatan. Bahkan
sebagian pasien baru diganti terapinya ke-oral sewaktu pasien akan pulang. Hal ini
dilakukan karena dikhawatirkan luka bedah pasien masih belum sembuh. Padahal data
klinis pasien sudah menunjukkan bahwa mereka sudah memenuhi kriteria untuk dapat
di switch therapy.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kesembuhan luka pasien yang
mendapatkan ketepatan switch therapy tidak berbeda nyata dengan nilai kesembuhan
luka pasien yang mendapatkan ketidaktepatan switch therapy dimana P>0,05 (P =
0,93) yaitu dengan rata-rata nilai kesembuhan luka 5,14 ± 0,378 dan 5,12 ± 0,66.
Akan tetapi, lama rawatan pasien yang mendapatkan switch therapy yang tepat lebih
pendek secara nyata dibandingkan dengan lama rawatan pasien yang mendapatkan
switch therapy tidak tepat dimana P<0,05 (P= 0,036) dengan rata- rata lama hari
rawatan berturut-turut adalah 3,86 ± 0,69 dan 5,56 ± 2,00.
Tidak terdapatnya perbedaan nilai kesembuhan antara 2 kelompok pasien
dengan switch therapy yang berbeda dikarenakan kesembuhan luka hanya dinilai pada
saat pasien pulang saja. Pasien dapat dipulangkan jika kesembuhan luka pasien
dinyatakan sembuh oleh dokter yaitu sudah bisa bergerak dengan baik, dapat buang
air besar dan sudah bisa mentolerir sediaan oral. Selain itu peneliti hanya menilai luka
12
secara makroskopis saja yaitu berdasarkan waktu penyembuhan luka, ada atau
tidaknya alergi dan ada atau tidaknya infeksi pada luka pasien. Selain itu,
ketidaktepatan anitibiotik switch therapy yaitu penggantian intravena ceftriaxone dan
cefotaxime menjadi oral Cefixime, namun pemberian terapi oral sefiksim ini sudah
mampu mengimbangi efektifitas seftriakson dan sefotaksim yang sama-sama generasi
Cephalosporin dan sama-sama memiliki aktifitas sebagai bakterisida. Selain itu
Cefixime mempunyai bioavaibilitas yang baik, yaitu 60-90 % sehingga akan lebih
cepat memberikan efek terapi dan akan lebih banyak masuk ke dalam sirkulasi darah.
Kesembuhan luka pasien appendisitis ternyata dipengaruhi faktor keterlambatan
diagnosis, ketepatan pemberian antibiotik, tingkat kontaminasi rongga perut, status
sistem kekebalan tubuh dan respon tubuh dari pasien itu sendiri terhadap pengobatan
yang diterima .
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian secara prospektive yang
dilakukan oleh Rice, et al dan Daskalakis, et al mengenai terapi antibiotik pada
pasien appendisitis anak-anak yang mengalami appendisitis perforasi, ditemukan hasil
yang ekuivalen antara terapi pemberian anitibiotik intravena dalam jangka waktu lama
denga terapi antibiotik intravena yang kemudian diikuti sequential therapy antibiotik.
Studi ini menunjukkan bahwa penggantian terapi intravena ke terapi oral lebih dini
tidak membatasi efikasi antibiotik yang diberikan secara intravena, tidak
meningkatkan kegagalan terapi atau komplikasi. Namun hasil yang tampak jelas
adalah biaya pengobatan yang lebih hemat jika dilakukan switch therapy.

13
BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Konversi antibiotik intravena ke rute per-oral lebih awal dari seftriakson menjadi
cefixime mampu meningkatkan outcome ekonomi dan klinik pasien berdasarkan
penurunan lama rawat inap dan penurunan biaya antibiotic yang dikeluarkan.
2. Pada outcome klinis yang berupa penurunan angka leukosit akhir, konversi
antibiotik intravena ke rute per-oral lebih awal tidak memiliki pengaruh yang
lebih baik.
3. Konversi antibiotik intravena ke rute per-oral tidak berpengaruh terhadap
peningkatan kualitas hidup yang dicapai pasien.
4. Cefixime mempunyai bioavaibilitas yang baik, yaitu 60-90 %

SARAN
Perlu dilakukan penelitian secara prospektif sehingga dapat memonitor secara
langsung kondisi dan perkembangan pasien terkait ketepatan pemilihan serta dosis
terapi serta efek samping atau interaksi obat yang terjadi dalam penggunaan terapi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Brown EM. 2005. Intervention to optimise antibiotic prescribing in hospitals: the UK


approach. In: Gould IM, Meer JWM, ed. Antibiotic policies: theory and
practice. New York, Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Dellit TH, Owens RC, McGowan JE, Gerding DN, Weinstein RA, Burke JP, et al. 2007.
Infectious Diseases Society fo Healthcare Epidemiology of America
Guidelines for developing an institutional program to enhance antimicrobial
stewardship. Clinical Infectious Diseases;44:159-77.

Istiantoro, V.H., dan Gan, V.H.S., 2007, Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik
Betalaktam Lainnya, dalam Farmakologi dan Terapi Edisi V, 664-693, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Katzung, B.G, 2007. Basic and Clinical Pharmacology, (Terjemahan: Sjahbana, Dripa.
(Eds.)), Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-10, Salemba Medika, Jakarta

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kollef MH. Optimizing antibiotic therapy in the intensive care unit setting. Critical Care
2001;5:189-95.

Laksmi Maharani, Esti D. Utami, Ika Mustikaningtias, Masita W. Suryoputri, Pugud


Samodro. 2019. Pengaruh Konversi Antibiotik Intravena ke Rute Per-oral
terhadap Outcome Ekonomi, Klinis dan Humanis pada Pasien Rawat Inap.

15
Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal
Soedirman. Banyumas: Vol. 8 No. 2, hlm 81–90 (Jurnal I)

Lathvi Masyithah, Armenia N, & Almahdy. 2016. Hubungan Ketepatan Switch Therapy
Terhadap Kesembuhan Luka, Lama Rawatan dan Biaya Pengobatan
Antibiotik Pasien Apendisitis. Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Padang:
Vol. 02 No. 02 (Jurnal II)

Nafteux P, Durnez J, Moons J, Coosemans W, Decker G, Lerut T, et al. Assessing the


relationships between health-related quality of life and postoperative length of
hospital stay after oesophagectomy for cancer of the oesophagus and the
gastrooesophageal junction. Eur J Cardiothorac Surg. 2012;44(3):525–33. doi:
10.1093/ej cts/ezt064.

Park TY, Choi JS, Song TJ, Do JH, Choi S-H, Oh H-C. Early oral antibiotic switch
compared with conventional intravenous antibiotic therapy for acute
cholangitis with bacteremia. Dig Dis Sci. 2014;59 (11):2790–6. doi:
10.1007/s10620-014-3 233-0

Ramirez J. A&Ahkee S. 1996. Cost-Savings Associated to Early Switch from


Intravenous Antimicrobials to Oral Clarithromycin for the Treatment of
Hospitalized Patients with Community-acquired pneumonia [abstract 12.06].
In: Abstracts of the 3rd International Conference on the macrolides, azalides
and streptogramins, Lisbon, Portugal ;83.

Tillotson GS. Antibiotic resistance: opportunity or obstacle for the pharmaceutical


industry?. In: Owens RC, Lautenbach E, ed. Antimicrobial resistance: problem
pathogens and clinical countermeasures. USA: Informa healthcare, 2007.

Tjay T.H. and Rahardja K., 2015. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek -
Efek Sampingnya, Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai