Anda di halaman 1dari 19

STUDI BIOFARMASETIKA SEDIAAN OBAT PER KUTAN

Disusun Oleh :

Putu Negia Suci Cahyani Bhuana 19021076

Putu Rismayanti Putri 19021077

Putu Yoga Adi Suandika 19021078

Putu Yuda Putra Nanda 19021079

Putu Yudha Pramesticha 19021081

Tria Mas Anggeliana 19021082

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis haturkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya tulisan dengan judul “Studi Biofarmasetika Sediaan Obat
Per Kutan” ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Tulisan ini disusun dalam rangka menempuh mata kuliah Biofarmasetika dan
Farmakokinetika yang diampu oleh I G. N. Agung Windra W. P. S.Farm., M.Sc.,Apt.,
apt. I Gusti Ayu Agung septiari, S.Farm., M.S., Dewa Ayu Putu Satrya Dewi,
S.Farm.,M.Sc.,Apt. selaku dosen pengajar Biofarmasetika dan Farmakokinetika yang
telah memberi bimbingan kepada penulis. Dengan arahan dari dosen pengajar dan dari
beberapa sumber jurnal, penulis mengharapkan orang yang membaca tulisan ini
memahami tentang Studi Biofarmasetika Sediaan Obat Per Kutan . Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya
penulisan tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang sempurna. Untuk itu,
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dan
memotivasi sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menyusun tulisan lain
selanjutnya. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat untuk kita semua.

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 3
2.1 Anatomi dan fisiologi kulit ..................................................................... 3
2.2 Keuntungan dan kekurangan sediaan obat melalui kulit......................... 6
2.3 Rute/jalur penghantaran obat melalui kulit manusia ............................... 6
2.4 Factor-Faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat melalui
Kulit ........................................................................................................ 8
2.5 Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui kulit ............ 11
2.6 Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan melalui kulit. ...... 12
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14
3.1 Simpulan ................................................................................................. 14
3.2 Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas menyatakan
kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.
Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat sedemikian rupa
ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi
klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obatdari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh
sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta sifat-sifat
fisikokimia atau produk obat. Biofarmasetika berusaha mengendalikan
variable-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk obat dengan tujuan
terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute pemberian obat dan rancangan
secara tepat produk obat, maka bioavaibilitas obat aktif dapat diubah dari
absorpsi yang sangat cepat dan lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi
yang diperlambat atau bahkan sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.Salah
satu contoh rute pemberian obat adalah melalui kulit.
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Fungsi kulit sangat kompleks dan berkaitan satu
dengan yang lainnya dalam tubuh manusia. Sediaan kulit memerlukan penanganan
khusus yakni sediaan obat harus mempunyai basis yang sesuai dengan membran
yang akan dilaluinya. Sediaan obat dapat melalui membran, apabila basisnya lemak
karena membrane terdiri dari bagian lipida. Tahap evaluasi biofarmasetika sediaan
obat kulit juga perlu diperhatikan, agar menjamin bioavailabilitasnya.
Jadi,dapat diketahui bahwa biofarmasetika sediaan obat melalui kulit harus
memperhatikan tingkat penyerapan obat tersebut yang didasarkan pada basis
obat dan harus memperhatikan lepas lambat (artinya apabila sediaan obat
tersebut diinginkan diserap di usus tapi akhirnya baru mencapai lambung obat

1
tersebut sudah larut). Ini semua harus dikaji dalam faktor-faktor LDA (Liberation,
distribution, dan absorbtion). Untuk mempelajari hal itu maka dibuatlah makalah
ini yang berjudul: ”STUDI BIOFARMASETIKA SEDIAAN OBAT YANG
DIBERIKAN MELALUI KULIT”.

1.2 Rumusan Masalah


1). Anatomi dan Fisiologi Kulit
2). Keuntungan dan kekurangan sediaan obat melalui kulit
3). Rute/jalur Penghantaran Obat melalui Kulit Manusia
4). Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penghantaran Obat melalui Kulit
5) Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui kulit
6) Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan melalui kulit.

1.3 Tujuan
1). Untuk mengetahui Anatomi dan Fisiologi Kulit
2). Untuk mengetahui Keuntungan dan kekurangan sediaan obat melalui kulit
3). Untuk mengetahui rute/jalur penghantaran obat melalui kulit manusia
4). Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat
melalui kulit
5) Untuk mengetahui strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui
kulit
6) Untuk mengetahui evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan
melalui kulit.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

2.1.1 Anatomi

Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti


perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik maupun
pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh dan berperan
sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang menutupi seluruh
permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat badan orang dewasa (Paul et al.,
2011). Fungsi proteksi kulit adalah melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit,
trauma mekanik dan radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi mikroorganisme
patogen, merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak
ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila terjadi
penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolisme vitamin D (Richardson,
2003; Perdanakusuma, 2007).
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang
merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang merupakan suatu lapisan
jaringan ikat.
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel berlapis
bertanduk, mengandung sel malonosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis

3
berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal terdapat pada telapak
tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit.
Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang
terdalam) yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma, 2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan, dermis
terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut kolagen menebal
dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sedangkan
serabut elastin terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia
meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan
saling bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak berkeriput
(Perdanakusuma, 2007).
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat,
saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan
ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah
kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
c. Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri dari lapisan
lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar
dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda 7 menurut
daerah tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke
dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

2.1.2 Fisiologi Kulit


Fungsi kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan yang lainnya dalam
tubuh manusia. Kulit melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik
maupun mekanik. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya

4
bantalan lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang berfungsi
sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan sinar UV diatasi oleh sel melanin yang
menyerap sebagian sinar tersebut. Gangguan kimiawi ditanggulangi oleh lemak
permukaan kulit berpH 5-6,5. Proses keratinisasi merupakan sawar mekanis karena
sel tanduk melepaskan diri secara teratur dan diganti oleh sel muda di bawahnya.
Permeabilitas kulit terhadap gas O2 dan CO2 mengungkapkan
kemungkinan kulit mempunyai peran dalam fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi
kulit dipengaruhi oleh tebal kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme, dan
jenis vehikulum zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah
antarsel, saluran kelenjar, atau saluran keluar rambut (Hariyanto I. H. 2011).
Kelenjar kulit juga mengeluarkan zat yang tidak berguna atau sisa
metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, amonia, dan sedikit lemak.
Produk kelenjar lemak dan keringat di permukaan kulit membentuk keasaman
keasaman kulit pada pH 5-6,5. Pemguapan air dari dalam tubuh dapat terjadi
secara difusi melalui sel-sel epidermis, tetapi karena sel epidermis baik fungsi
sawarnya, maka kehilangan air melalui sel epidermis dapat dicegah agar tidak
melebihi kebutuhan tubuh.
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan sub kutis.
Badan Ruffini di dermis menerima rangsangan dingin dan rangsangan panas oleh
badan Krause. Badan taktil Meissnerdan badan Merkel –Renvier yang terletak di
papil dermis menerima rangsang rabaan.
Kulit mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan oto dinding pembuluh darah kulit. Saat suhu tubuh meningkat
kelenjar keirngat mengeluarkan keringat ke permukaan kulit bersama dengan
panas tubuh. Vasokonstriksi pembuluh darah kapiler kulit menyebabkan kulit
melindungi diri dari kehilangan panas saat dingin.
Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis.
Jumlah melanosit serta jumlah dan besar melanin yang terbentuk menentukan
warna kulit.Melanin dibuat dari sejenis protein, tirosin, dengan bantuan enzim

5
tirosinase, ion Cu, dan oksigen oleh sel melanosit. Bila pajanan bertambah produksi
melanin akan meningkat.
Kulit melakukan proses keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid.
Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari.
Proses ini berlangsung terus menerus dan berguna sebagai rehabilitasi kulit agar
selalu dapat melaksanakan fungsinya secara baik.Kulit juga berperan dalam produksi
vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari
(Hariyanto I. H. 2011).

2.2 Keuntungan dan kekurangan sediaan obat melalui kulit


Keuntungannya antara lain meningkatkan kemudahan dan kenyamanan
pemakaian obat, mencegah metabolisme dihati dan saluran cerna, pengurangan
fluktuasi kadar plasma obat, kadar obat dapat dikontrol pada sirkulasi sistemik untuk
obat yang kerjanya diperpanjang, untuk kerja obat yang diperpanjang dapat
mengurangi frekuensi pemberian obat.
Kerugiannya antara lain terbatas untuk obat-obat yang dosis lebih kecil atau
sama dengan 10 mg, mempunyai kelarutan yang baik dalam air dan minyak, kadang-
kadang mengiritasi kulit (Patel et.al., 2011).

2.3 Rute/jalur penghantaran obat melalui kulit manusia

6
Kontak diantara molekul obat dengan permukaan kulit dapat terjadi melalui
tiga jalur, yaitu melalui saluran keringat, via folikel rambut dan kelenjar sebaseus
(disebut juga shunt atau rute apendageal) maupun secara langsung melewati
stratum korneum. Perkembangan penelitian saat ini lebih diarahkan pada
pemahaman mengenai struktur dan penyusun barier stratum korneum.

Stratum korneum terdiri dari 10 –15 lapisan korneosit dengan variasi


ketebalan berkisar antara 10-15 µm pada kondisi kering hingga 40 µm saat mengalami
hidrasi. Termasuk di dalamnya lapisan multi layer “brick and mortar” korneosit kaya
keratin (bricks) di dalam matriks intraselular (mortar) yang secara umum terdiri
dari ceramid rantai panjang, asam lemak bebas, trigliserida, kolesterol,
kolesterol sulfat dan sterol/ester lilin. Meskipun begitu,sebenarnya korneosit tidak
berbentuk seperti batako (brick), melainkan poligonal, panjang dan rata (ketebalan
berkisar antara 0.2 –1.5 µm, berdiameter 34 –46 µm). Bagian tengah dan atas stratum
granulosum merupakan lapisan lipid intraselular yang tersusun oleh keratinosit
yang membatasi isi lamelar stratum granulosum dengan bagian interselular. Pada
lapisan terluar stratum korneum, material yang sudah dilepaskan ini kembali
digunakan dalam membentuk lamelar lipid interselular yang kemudian akan
berasosiasi membentuk lipid bilayer dengan terikat pada rantai hidrokarbon dan
kepala polar yang larut dalam lapisan aquaeus. Akibat dari susunan lipid stratum
korneum yang demikian menyebabkan lapisan ini memiliki sifat yang berbeda
dengan membran biologi lain. Rantai karbon tersusun membentuk bagian kristalin,
gel lamelar dan cairan kristal lamelar. Adanya protein intrinsik dan ekstrinsik
seperti enzim juga dapat berefek pada struktur lamelar stratum korneum. Air
merupakan komponen esensial bagi stratum korneum, air berperan sebagai plasticizer
yang mencegah terjadinya retakan pada stratum korneum dan juga terlibat dalam
generasi faktor pelembab alami yang membantu dalam mengatur kelenturan stratum
korneum.

Pemahaman mengenai bagaimana fisika kimia suatu obat yang berdifusi


serta mekanismenya dalam mempengaruhi proses penyerapan obat melalui stratum

7
korneum dan dengan demikian dapat mengoptimalkan penghantaran obat, perlu
dilakukan determinasi lebih lanjut mengenai rute mana paling penting dalam proses
penghantaran obat melalui stratum korneum. Secara sederhana mekanisme ini diawali
masuknya obat melalui stratum korneum dengan cara berdifusi melalui bagian
aqeous untuk bagian yang bersifat hidrofilik yang terletak pada permukaan luar
filamen intraselular keratin (rute intraselular atau transselular) dan bagian lipofilik
berdifusi melalui matriks lipid antarfilamen (rute interselular). Suatu molekul yang
melintasi rute transselular akan mengalami partisi dan berdifusi melalui
keratinosit, namun untuk berpindah ke keratinosit selanjutnya molekul tersebut
akan mengalami partisi lebih danjut dan berdifusi melalui sekitar 4 –20 lamelar
lipid untuk setiap keratinosit. Rangkaian proses partisi dan difusi melalui lapisan
multi hidrofilik dan hidrofobik keratinosit tidak umum terjadi pada sebagian besar
obat. Sehingga saat ini rute interselular dianggap sebagai jalur permeasi utama
untuk sebagian besar obat saat melewati stratum korneum. Akibatnya sebagian
besar perkembangan teknik peningkatan penyerapan obat melalui kulit lebih
terarah pada manipulasi kelarutan obat dalam lipid atau perubahan struktur obat
ke arah lipofilik (Benson, 2005).

2.4 Factor-Faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat melalui kulit

1. Penyerapan (Absorbsi).
Kajian yang dilakukuan hanya terbatas pada faktor-faktor yang dapat
mengubah ketersediaan hayati zat aktif yang terdapat dalam sediaan yang
dioleskan pada kulit, meliputi (Hariyanto I. H) :
a. Lokalisasi Sawar (Barrier).
Kulit mengandung sejumlah tumpukan lapisan spesifik yang dapat
mencegah masuknya bahan-bahan kimia dan hal ini terutama disebabkan
oleh adanya lapisan tipis lipida pada permukaan,lapisan tanduk dan lapisan
epidermis malfigi. Pada daerah ini, ditemukan juga suatu celah yang
berhubungan langsung dengan kulit bagian dalam yang dibentuk oleh kelenjar

8
sebasea yang membatasi bagian luar dengan cairan ekstraseluler,yang juga
merupakan sawar tapi kurang efektif,yang terdiri dari sebum dan deretan sel-
sel germinatif.Lapisan lipida dapat ditembus senyawa-senyawa lifofilik dengan
cara difusi dan adanya kolesterol menyebabkan senyawa yang larut dalam air
dapat teremulsi.Sawar (Barrier) kulit terutama disusun oleh lapisan tanduk
(Stratum corneum) yang berperan sebagai pelindung kulit yang paling
efisien karena deretan sel-selnya saling berikatan dengan kohesi yang
sangat kuat.Dengan demikianepidermis mempunyai 2 (dua) lapisan
pelindung,yang pertama adalah pelindung sawar spesifik yang terletak pada
lapisan tanduk (Stratum corneum) yang salah satu elemennya berasal dari
kulit dan bersifat impermeabel,dan pelindung yang kedua terletak di sub-
juction dan kurang efektif,dibentuk oleh epidermis hidup yang
pemeabilitasnya dapat disamakan dengan membran biologis lainnya.
b. Jalur Penembusan (Absorbsi)
Absorbsi perkutan terdiri dari pemindahan obat dari permukaan
kulit ke stratum corneum,dibawah pengaruh gradien konsentrasi,dan
berikutnya difusi obat melalui stratum corneum yang terletak dibawah
epidermis,melewati dermis dan masuk kedalam mikrosirkulasi.Penembusan
molekul dari luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi,baik
secara difusi melalui lapisan tanduk (stratum corneum) maupun secara difusi
melalui kelenjar sudoripori atau organ pilosebasea.Pada tahap awal,proses
penyerapan lebih ditentukan oleh lintasan transfolikuler,selanjutnya pada
tahap kedua,karena perbedaan difusi yang terjadi dalam lapisan
tanduk,maka lintasan transepidermis yang lebih menentukan.
c. Penahanan Dalam struktur Permukaan Kulit dan Penyerapan Perkutan.
Telah lama diketahui,adanya penumpukan senyawa yang digunakan
setempat pada bagian tertentu kulit,terutama pada lapisan tanduk (stratum
corneum).Hal ini dikarenakan di dalam struktur kulit terdapat suatu daerah
depo dan dari tempat tersebut zat aktif akan dilepaskan secara perlahan.Bila
diperlukan penahan sediaan padalapisan tanduk (stratum corneum),baik

9
setelah pencucian,maka sifat bertahan ini disebut “substantivitas”.Hal
tersebut secara nyata ditemukan dalam sediaan tabir surya,sediaan pelembab
dan sediaan minyak mandi.
Lapisan tanduk (stratum korneum) bukan satu-satunya penyebab
terjadinya fenomena penahanan senyawa pada kulit;dalam hal tertentu
dermis berperan sebagai depo.penumpukan zat aktif dapat juga terjadi
karena senyawa terikat dalam bentuk metabolit sesudah penyerapan
sistemik;seperti griseofulvin dan asam amino yang mengandung
belerang,dan tergabung dalam struktur wit yang hidup dan terkeratinisasi.

2. Faktor Fisiologik Yang Mempengaruhi penyerapan Perkutan.


a. Keadaan dan Umur Kulit
Kulit utuh merupakan suatu sawar (barrier) difusi yang efektif dan
efektivitasnya berkurang bila terjadi kerusakan dan perubahan pada sel-
sel lapisan tanduk.Pada keadaan patologis yang ditunjukkan oleh
perubahan sifat lapisan tanduk (stratum corneum); dermatosis dengan
eksim,psoriasis,dermatosis seborheik,makapermeabilitas kulit akan
meningkat.Bila stratum corneum rusak sebagai akibat pengikisan oleh
plester,maka kecepatan difusi air dan sejumlah senyawa lain akan
meningkat secara nyata.Akibatnya terjadi “delipidasi“stratum corneum
menyebabkan pembentukan “shunts”buatan dalam membran,sehingga
mengurangi tahanannya terhadap difusi.Difusi juga tergantung pada umur
subyek,kulit anak-anak lebih permeabel dibandingkan kulit orang dewasa
(Hariyanto I. H).
b. Aliran Darah
Perubahan debit darah kedalam kulit secara nyataakan mengubah
kecepatan penembusan molekul.Pada sebagian besar obat-obatan,lapisan
tanduk merupakan faktor penentu pada proses penyerapan dan debit
darah selalu cukup untuk menyebabkan senyawa menyetarakan diri dalam
perjalanannya.Namun bila kulit luka atau bila dipakai cara iontoforesis untuk

10
zat aktif,maka jumlah zat aktif yang menembus akan lebih banyak dan peran
debit darah merupakan faktor yang menentukan (Hariyanto I. H).
c. Tempat Pengolesan
Jumlah yang diserap untuk suatu molekul yang sama, akan
berbeda dan tergantung pada susunan anatomi dari tempat pengolesan: kulit
tangan, kaki, dada, dan punggung. perbedaan ketebalan terutama disebabkan
oleh ketebalan lapisan tanduk (stratum corneum) yang berbeda pada setiap
bagian tubuh, tebalnya bervariasi antara 9 pm untuk kulit kantung zakar
sampai 600 pin untuk kulit telapak tangan dan telapak kaki.Sesuai dengan
hukum Ficks (persamaan 3),maka ketebalan membrane yang bermacam-
macam,akan menybabkan peningkatan waktu laten yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan konsentrasi pada lapisan tanduk dan sisi
lain akan menyebabkan pengurangan aliran darah (Hariyanto I. H).
d. Kelembaban dan Temperatur
Pada keadaan normal, kandungan air dalam lapisan tanduk
rendah,yaitu 5-15% namun dapat ditingkatkan sampai 50% dengan cara
pengolesan pada permukaan kulit suatu bahan pembawa yang dapat
menyumbat: vaselin, minyak atau suatu pembalut impermeable. Stratum
corneum yang lembab mempunyai afinitas yang sama terhadap senyawa-
senyawa yang larut dalam air atau dalam lipida.Kelembaban
dapatmengembangkan lapisan tanduk dengan cara pengurangan bobot jenisnya
atau tahanan difusi. Secara in vivo,suhu kulit yang diukur pada keadaan
normal,relatif tetap dan tidak berpengaruh pada peristiwa penyerapan.
Sebaliknya secara in vitro, pengaruh suhu dengan mudah dapat diatur
(Hariyanto I. H).

2.5 Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas obat melalui kulit

Strategi yang paling tepat adalah dengan menggunakan peningkat penetrasi kimia.
Peningkat penetrasi didefinisikan sebagai zat yang mampu meningkatkan penetrasi

11
obat-obatan ke dalam kulit dan sistem penghantaran obat percutan, merupakan cara
yang lebih efektif pemberian obat melalui kulit (Patil, et al.,2014).

Fungsi peningkat penetrasi kimia pada Penetrasi Sediaan Percutan


Peningkat penetrasi kimia membantu penetrasi obat melalui lapisan kulit stratrum
korneum, berinteraksi dengan protein interselular atau memperbaiki partisi obat ke
dalam stratum korneum (Garg et al., 2013). Peningkat penetrasi kimia harus memiliki
sifat diantaranya harus tidak beracun dan tidak menimbulkan alergi, memiliki aktivitas
kerja yang cepat dan durasi harus dapat diprediksi (Garg et al., 2012), kompatibilitas
dengan eksipien dan zat aktif obat dan sifatnya sesuai kerja obatdan kosmetik (Erdal et
al., 2014).

Mekanisme Kerja Peningkat Penetrasi Kimia


Mekanisme kerja peningkat penetrasi kimia dapat dilakukan dengan satu atau lebih dari
tiga mekanisme yaitu mengganggu struktur stratum corneum lipid yang sangat teratur,
interaksi dengan protein interselular, dan memperbaiki partisi obat, co-enhancer atau
pelarut kedalam stratum korneum (Pathan, et al,2009)

Peningkat penetrasi kimia tidak memiliki efek terapeutik, namun meningkatkan


penetrasi obat melintasi membran kulit. Hasil studi literatur dari 38 artikel penelitian
membuktikan bahwa penggunaan peningkat penetrasi kimia dalam sediaan obat
melalui kulit seperti air, golongan sulfoksida, golongan azon,surfaktan, asam lemak
dan ester, oksizolidonin, golongan pirolidon, minyak atsiri, terpen dan siklodestrin
dapat meningkatan fluks obat dan meningkatkan bioavailabilitas obat dalam darah.

2.6 Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan melalui kulit.


Jumlah senyawa yang diserap lewat jalur perkutan sangat sedikit dan
umumnya sulit dilacak, bahkan kadang tidak mungkin. Hal tersebut disebabkan
sensitivitas metoda penentuan kadar fisikokimianya sering tidak memadai. Studi
yang umumnya digunakan untuk penilaian ketersediaan hayati obat yang diberikan
melalui kulit ada dua, yaitu (AIACHE, 1982):

12
1. Studi Difusi In Vitro
Penilaian biofarmasetik obat-obatan yang diberikan melalui kulit
meliputi uji kekentalan bentuk sediaan, ketercampuran dan pengawetan.
Sesudah pengujian tersebut, umumnya dilanjutkan dengan uji pelepasan
zat aktif in vitro denga tujuan dapat ditentukannya pembawa yang paling
sesuai untuk dapat melepaskan zat aktif di tempat pengolesan. Metode
pengujian yang telah diajukan meliputi:
a. Difusi sederhana dalam air atau difusi dalam gel.
b. Dialisis melalui membran kolodion atau selofan
2. Studi Penyerapan
Penyerapan perkutan dapat diteliti dari dua aspek utama yaitu
penyerapan sistemik dan lokalisasi senyawa dalam struktur kulit dengan cara
in vitro dan in vivo sehingga dapat dipastikan lintasan penembusan dan tetapan
permeabilitas, serta membandingkan efektifitas berbagai bahan pembawa.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

1). Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia. Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
2). Kontak diantara molekul obat dengan permukaan kulit dapat terjadi melalui
tiga jalur, yaitu melalui saluran keringat, via folikel rambut dan kelenjar sebaseus
maupun secara langsung melewati stratum korneum
4). Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penghantaran obat pada pemberian
secara Perkutan yaitu penyerapan dan faktor-faktor fisiologis
5). Strategi yang paling tepat adalah dengan menggunakan peningkat penetrasi kimia
6). Evaluasi biofarmasetika sediaan obat yang diberikan secara perkutan yaitu
studi difusi in vitro dan studi penyerapan

3.2 Saran

Bagi mahasiswa dan mahasiswi diharapkan untuk menambah wawasan dengan banyak
membaca buku dan terus mencari informasi tentang biofarmasetika sediaan obat
melalui kulit

14
DAFTAR PUSTAKA

Aiache, 1982, Biofarmasetika, diterjemahkan oleh Widji Soeratri, Edisi II, 438-460,
Airlangga Press, Jakarta.

Benson, Ralp C & Martin L. Pernol. 2005. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Edisi 9.
Jakarta : EGC

Erdal, MS, AY Pekoz, B Aksu, and AAraman. 2014. Impacts of chemical enhancers
on skin permeation and deposition of terbinafine. Pharm Dev Technol.19:565–70.

Garg, T, O Singh, S Arora, and R Murthy. 2012. Scaffold: a novel carrier for cell and
drug delivery. CritRev Ther Drug Carrier Syst. 29:1–63.

Garg, T, SSingh, and AK Goyal. 2013.Stimuli-sensitive hydrogels: an excellent carrier


for drug and cell delivery. Crit Rev Ther Drug Carrier Syst.30:369–409.

Hariyanto I. H. 2011. Studi Biofarmasetika Sediaan yang Diberikan Melalui Kulit.


Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Pontianak:

Patel, et. al. (2011). ‘Pharmacologically screened aphrodisiac plant-A review of current
scientific literature’, Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 28th June

Pathan, Inayat Bashir C and Mallikarjuna, Setty. 2009. Chemical Penetration


Enhancers for Transdermal Drug Delivery Systems. Tropical. Journal of
Pharmaceutical Research.8(2):173-179

Patil, UK, and R Saraogi. 2014.Natural products as potential drug permeation enhancer
in transdermal drug delivery syste. Archives Dermato Research. 306(5): 419-426.

Paul et al.(2011).Effective management lower respiratory tract infection in childhood,


nursing children and the young people

Perdanakusuma, D. S. (2007). Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka,


Plastic Surgery Departement, Airlangga University School of MedicineDr.
Soetomo General Hospital, Surabaya.

15
Richardson, J., & Swan, K. (2003). Examining social presence in online courses in
relation to students’ perceived learning and satisfaction. Journal of Asynchronous
Learning Networks

Tranggono RI dan Latifah F, 2007, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta;

16

Anda mungkin juga menyukai