PRAKTIKUM I
PENYAKIT HIPERTENSI
II. DasarTeori
II.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah kelainan sistem sirkulasi darah yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah diatas nilai normal atau tekanan
darah ≥140/90 mmHg (Kemenkes.RI, 2014). Hipertensi merupakan suatu
keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal
jantung, serangan jantung dan kerusakan(Aisyiyah Nur Farida, 2012).
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga
74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat
bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala
penyakit lainnya. Gejala penyakit hipertensi adalah sakit kepala/rasa berat di
tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan
kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan(Kemenkes.RI, 2014) .
2.2 Klasifikasi Hipertensi
Menurut WHO, hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.
Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment on High Blood Pressure (JNC VII) hipertensi diklasifikasikan
seperti berikut:
BP = CO × TPR
3.2 BAHAN :
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
V. HASIL PENGAMATAN
Problem Subjektif Objektif Terapi DRP Plan
Medik
Hipertensi Keluhan TKD 195/140 P1.4 : Captopril oral 25 mg
Krisis pusing,tidak mmHg, indikasi (2 x sehari 1 tablet)
(Hipertensi mual,tidak Nadi 141 yang tidak
Urgensi) demam,mimisan x/menit, dan tertangani Evidence-Based Medicine
3 hari lalu,namun Temperatur C1.5 : Menurut Pramana (2020)
sudah 37,5 °C indikasi Pada hipertensi
berhenti,kemudia Terkait pengobatan urgensi, penurunan tekanan
n mimisan dengan - yang tidak darah dilakukan secara
Kembali esok pertanyaan terlihat perlahan-lahan dengan
harinya satu yang telah C1.8 : tidak antihipertensi oral. Pilihan
kali,sudah diajukan menerima terapi meliputi ACE inhibitor
berhenti dan kepada obat yang (captopril). Sedangkan
pukul 2 hari ini pasien dapat dibutuhkan menurut Vaidya dan Ouellette
mimisan lagi. diketahui (2007). Agen antihipertensi
Mempunyai bahwa yang digunakan untuk
riwayat penyakit tekanan darah mengobati urgensi hipertensi
DM tipe 2 sudah pasien yaitu terdapat agen khusus
1 tahun yang lalu. sebelumnya yaitu captopril sebagai
adalah penghambat enzim konversi
180/120 angiotensin (ACE) dengan
mmHg onset kerja yang dimulai
dalam 15 sampai 30 menit
dan penurunan tekanan darah
maksimum terjadi antara 30
dan 90 menit. Kaptopril
diberikan sebagai dosis oral
25 mg pada awalnya, diikuti
dengan dosis tambahan 50
sampai 100 mg 90 sampai
120 menit kemudian.
Diabetes - Gula darah - P1.4 : Metformin oral 500 mg
Militus pasien adalah indikasi (1 x sehari 1 tablet)
(Tipe 2) 210 mg/dl yang tidak
gula darah tertangani Evidence-Based Medicine
puasa. C1.9: Menurut Marcelo (2009)
dibutuhkan metformin merupakan obat
indikasi antihiperglikemik golongan
obat yang biguanid, yang banyak
baru digunakan untuk terapi
control Diabetes Melitus tipe
2. Metformin bekerja
dengan menurunkan
konsentrasi kadar glukosa
darah tanpa menyebabkan
hipoglikemia. Mekanisme
aksi utamanya adalah
menurunkan kadar glukosa
guna menimbulkan
penurunan glukoneogenesis
hati. Fosforilasi protein
CREB menghasilkan
penurunan ekspresi gen untuk
glukoneogenesi dan
menurunkan asam lemak
bebas hasil glukoneogenesis
substrat. Dilain hal,
metformin meningkatkan
insulin-mediated glukose
uptake di jaringan perifer.
Metformin diabsorbsi di
saluran cerna.
2. Berapa lama sudah 1 tahun yang lalu Untuk mengetahui history penyakit
menderita dm? pasien
VI. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data pada kasus Tuan DK berusia 43 tahun
di atas, dimana dapat disimpulkan bahwa pasien terkena penyakit krisis
hipertensi karena tekanan darah pasien 195/140 mmHg, dimana pasien sudah
melakukan pengecekan darah sebanyak 2 kali dan mendapatkan hasil yang sama
yaitu tekanan darah di atas 180/120 mmHg. Hal ini sejalan dengan teori yaitu
krisis hipertensi biasanya ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastolik
yang melebihi 120 hingga 130 mmHg dan tekanan sistolik mencapai 200 hingga
220 mmHg. Krisis hipertensi terbagi dua, yakni, Hipertensi emergensi jika
disertai dengan kerusakan organ target dan Hipertensi urgensi jika tanpa
kerusakan organ target (Van der Born, et all, 2011).
Pada kasus ini, pasien terkena krisis hipertensi yaitu hipertensi
urgensi, karena pada pasien belum ada tanda kerusakan organ target yang akut
atau progresif. Hal ini sejalan dengan teori hipertensi urgensi yang merupakan
kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ target yang akut atau
progresif seperti perubahan status mental (ensefalopati), stroke, gagal jantung,
angina, edema paru, serangan jantung, aneurisma, dan eclampsia (Herlianita R.,
2010).
Secara umum, hipertensi urgensi dapat dikelola dengan menggunakan
agen antihipertensi oral dalam pengaturan observasi rawat jalan atau hari yang
sama, meskipun pendekatan ini mungkin tidak sesuai ketika tindak lanjut pasien
sulit atau tidak dapat diprediksi. Pengobatan dimulai dengan dosis yang sangat
rendah dari agen oral menggunakan dosis tambahan sesuai kebutuhan dan
menghindari dosis awal yang besar yang dapat mengakibatkan penurunan
tekanan darah yang berlebihan. Menghindari pengurangan yang berlebihan
terutama penting pada pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi
hipotensi, seperti orang tua, pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer
yang parah, dan mereka yang diketahui menderita penyakit kardiovaskular dan
intrakranial aterosklerotik parah. Tujuan awalnya adalah untuk mengurangi
tekanan darah hingga 160/110 mmHg selama beberapa jam hingga berhari-hari
dengan menggunakan terapi oral konvensional (Keith, et al., 1939).
Pada hipertensi urgensi, penurunan tekanan darah dilakukan
secara perlahan-lahan dengan antihipertensi oral. Pilihan terapi meliputi ACE
inhibitor (captopril) (Pramana, 2020). Sedangkan menurut Vaidya dan Ouellette
(2007). Agen antihipertensi yang digunakan untuk mengobati urgensi hipertensi
yaitu terdapat agen khusus yaitu captopril sebagai penghambat enzim konversi
angiotensin (ACE) dengan onset kerja yang dimulai dalam 15 sampai 30 menit
dan penurunan tekanan darah maksimum terjadi antara 30 dan 90 menit.
Kaptopril diberikan sebagai dosis oral 25 mg pada awalnya, diikuti dengan dosis
tambahan 50 sampai 100 mg 90 sampai 120 menit kemudian (Vaidya dan
Ouellette, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, praktikan memilih obat golongan ACE-I
(Captopril) sesuai dengan Evidence Based Medicine yang telah praktikan
temukan. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-I), dianggap sebagai
terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi.
Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifhya dengan diuretik dan penyekat
beta, dan pada studi yang lain ACEI, bahkan lebih efektif. ACEI mempunyai
peranan lain pada pasien dengan hipertensi ditambah kondisi lainnya.
Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada
kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana
angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi
aldosteron (Carter BL, et al., 2003).
Pada kasus ini, Tuan DK mempunyai riwayat penyakit Diabetes
Mellitus (DM) Tipe 2, dimana sesuai dengan guidlines JNC 7 mencantumkan
indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan banyak kegunaan yang berdasarkan
bukti (evidence-based) dari kelas obat ini. Beberapa studi menunjukkan kalau
ACEI mungkin lebih efektif dalam menurunkan resiko kardiovaskular dari pada
obat antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI
superior daripada CCB. ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan gagal Jantung dan memperlambat progres penyakit ginjal kronis.
Golongan ACEI harus digunakan sebagai pengobatan linipertama dalam terapi
pada pasien-pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi
dengan penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan
resiko kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan padapasien-
pasien pasca infark miokard (HOPE). Kebanyakan ACEI dapat diberikan 1
kali/hari, kecuali kaptopril,waktu paruhnya pendek, biasanya dua sampai tiga
kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi lewat urin, jadi
penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang
parah. ACEI dapat ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien, tetapi tetap
mempunyai efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan
kosentrasi kalium serum. Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia
dapat terjadi. Terlihat terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis,atau
diabetes melitus dan pada pasien yang juga mendapat ARB, NSAID, supplemen
kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum kalium dan kreatinin
dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI
sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi yang
serius (Depkes RI, 2007).
Dalam guideline JNC modikasi gaya hidup tidak dibahas secara
detail mungkin tetap mengacu pada modikasi gaya hidup dalam JNC dan
beberapa panduan lain (Chobaniam, A.V., et al. 2003):
1. Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-
20 mm/penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinan <94 cm untuk
pria dan <80 cm untuk wanita, indeks massa tubuh <25 kg/m 2.
Rekomendasi penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi
asupan kalori dan juga meninkatkan aktivitas sik.
2. Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mm.
Lebih banyak makan buah syaur-sayuran dan produk susu rendah
lemak denan kandungan lemak jenuh dan total lebih sedikit kaya
potassium dan calcium.
3. Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-
8 mm. Konsumsi sodium chloride ≦6g/hari (100 mmol
sodium/hari). Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai
baian pola makan sehat.
4. Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mm.
Lakukan aktivitas isik intensitas sedang pada kebanyakan atau
setiap hari pada 1 minggu (total harian) dapat diakumulasikan
misalna 3 sesi @ 10 menit.
5. Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 2-4 mmHg. Maksimum 2 minuman standar/ hari: 1 oz atau
30 ml ethanol; misalnya bir 24 oz, wine 10 oz atau 3 oz 80-proof
whiske untuk pria dan 1 minuman standar/hari untuk wanita.
6. Berhenti merokok untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara
keseluruhan.
Pada kasus di atas, dimana pasien mempunyai riwayat DM tipe 2
yaitu sesuai dengan Evidene-based Medicines praktikan memilih obat yang
diberikan kepada pasien yaitu metformin, obat ini merupakan obat
antihiperglikemik golongan biguanid, yang banyak digunakan untuk terapi
control Diabetes Melitus tipe 2. Metformin bekerja dengan menurunkan
konsentrasi kadar glukosa darah tanpa menyebabkan hipoglikemia. Mekanisme
aksi utamanya adalah menurunkan kadar glukosa guna menimbulkan penurunan
glukoneogenesis hati. Fosforilasi protein CREB menghasilkan penurunan
ekspresi gen untuk glukoneogenesi dan menurunkan asam lemak bebas hasil
glukoneogenesis substrat. Dilain hal, metformin meningkatkan insulin-mediated
glukose uptake di jaringan perifer. Metformin diabsorbsi di saluran cerna
(Marcelo, 2009).
Adapun terapi non farmakologi yang dapat dilakukan pada kasus di
atas mengenai riwayat DM tipe 2 yang dideritanya yaitu menurut PERKENI
(2011), terapi non farmaokologi meliputi edukasi, terapi gizi, latihan jasmani
dan pengendalian gula darah. Pada pasien DM tipe 2 yang terpenting adalah
mengubah pola hidup terlebih dahulu, kemudian diteruskan dan dibantu dengan
pengobatan secara farmakologi.
1. Edukasi
Menurut PERKENI (2011) pada DM tipe 2 umumnya terjadi
perubahan pola hidup. Pola hidup yang baik perlu diterangkan dan
dilaksanakan dengan pemantauan dari tenaga medis dan dukungan
dari keluarga. Edukasi dapat berupa tanda dan gejala DM tipe 2,
faktor pencetus, pencegahan, mengenal komlikasi serta bagaimana
cara mengatsinya
2. Terapi gizi
Perencanaan makanan yang baik dan manajemen nutrisi pada
pasien DM tipe 2 bertujuan untuk mengkatkan kualitas hidup
pasien yaitu mempertahankan kadar glukosa darah, profil lemak
dan tekanan darah dalam rentang normal serta mencegah terjadinya
komplikasi. Adapun kebutuhan nutrisi yang dianjurkan untuk
pasien DM tipe 2 yaitu terdiri dari 60-70% karbohidrat, 15-20%
protein, 30% lemak dengan 10% berasal dari lemak jenuh (ADA,
2011).
3. Olah raga
Olahraga pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh dengan mengurangi kadar glukosa darah,
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan
(Dellasega& Yonushonis, 2007).
4. Berhenti merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan
glukosa oleh sel (Tjay& Raharja, 2007). Dari penelitian yang
dilakukan terhadap subyek uji pasien lansia bahwa merokok 2
batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko nefropati dan
menghambat absorbsi insulin (Lee, et all., 2009).
5. Pengendalian Kadar Glukosa
Menurut Soewondo (2009), pemantauan status metabolik pada
pasien DM merupakan hal yang penting dan menjadi bagian dari
pengendalian DM. Pemeriksaan kadar glukosa bisa dilakukan
melalui pemeriksaan di laboratorium maupun pemeriksaan mandiri,
karena dengan hal ini dapat menurunkan potensi terjadinya
komplikasi.
Untuk mengukur efektivitas terapi,hal-hal berikut harus dimonitoring
yaitu sebagai berikut.
a. Monitoring tekanan darah dan gula darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap menempatkan standar
untuk pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah dan
gula darah harus di evaluasi 2sampai 4 minggu setelah terapi
dimulai atau setelah adanya pembahan terapi. Target tekanan darah
awal sama dengan atau kurang dari 160/100 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata (MAP, mean arterial pressure< 25%
dalam 24-48 jam (Pramana, 2020). Sedangkan menurut Keith, et
al. (1939) tujuan awalnya adalah untuk mengurangi tekanan darah
hingga 160/110 mm Hg selama beberapa jam hingga berhari-hari
dengan menggunakan terapi oral konvensional. 10 Tekanan arteri
rata-rata harus dikurangi tidak lebih dari 25% dalam 24 jam
pertama menggunakan terapi oral konvensional.
Sedangkan target goal terapi diabetes mellitus yaitu tujuannya
adalah gula darah dapat terkontrol dengan kadar ≤ 200 mg/dl.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi urgensi haruss di monitor secara berkala untuk
melihat tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang
berlanjut. Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing,
dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba sembab,
lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus
diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi
kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainya yang
harus dimonitor untuk menilai penyakit target organ termasuk,
regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram,
proteinuria, dan fungsi ginjal. Tes laboratorium harus diulangi
setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil. Monitoring
serum kalium dan kreatinin dalam waktu 4 minggu dari awal
pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI terutama pada
pasien dengan riwayat diabetes melitus sering dapat
mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi
yang serius. Dimana dengan adanya monitoring ini dapat
meningkatkan salah satu tujuan penatalaksanaan hipertensi
urgensi yang adekuat adalah menghilangkan gejala, mencegah
kerusakan organ, dan melindungi jaringan yang sehat (Pramana,
2020).
c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi
obat harus dinilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2
sampai 4 minggu setelah memulai obat dan atau setelah menaikkan
dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan
dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Adapun
kontraindikasi obat antihipertensi golongan ACE-I yaitu captopril
adalah kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia.
Sedangkan pada metformin yaitu terjadi disfungsiginjal walauupun
sangat jarang terjadi. Interaksi lainnya terjadi pada obat golongan
biguanid (metformin) berinteraksi dengan ACE-Inhibitor
(lisinopril, captopril) terjadi pada pasien DM yang juga menderita
hipertensi. Obat golongan ACE-I (lisinopril, captopril) dapat
meningkatkan toksisitas dari metformin dan dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia dan asidosis laktat (Medscape, 2019).
Solusinya yaitu dapat dilakukan tindakan pengaturan dosis dengan
memperkecil dosis dari captopril tersebut. Solusi tambahan ialah
pasien perlu memonitor kadar gula darah secara teratur dan perlu
pemberian jarak obat. Efek samping samping pada metformin yaitu
gastrointestinal, heratburn, mual. Sedangkan efek signifikan dari
captopril termasuk batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan
gagal ginjal (terutama pada pasien dengan stenosis arteri ginjal
bilateral, yang harus dihindari) (Vaidya dan Ouellette, 2007).
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke
pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah dan
gula darah yang dinginkan. Paling sedikit 50% pasien yang
diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan
yang direkomendasikan. Satu studi menyatakan kalau pasien yang
menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar
kemungkinan terkena stroke. Kurangnya adherence mungkin
disengaja atau tidak disengaja. Strategi yang paling efektif adalah
dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi
sikap, dan sistem yang mendukung. Edukasi ke pasien beberapa
topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan
hipertensi:
1) Pasien mengetahui target nilai tekanan darah dan gula darah
yang dinginkan
2) Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya dan gula darahnya
sendiri
3) Sadar kalau tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi sering
tanpa gejala (asimptomatik)
4) Konsekuensi yang serius dari tekanan darah dan gula darah yang
5) tidak terkontrol
6) Pentingnya kontrol teratur
7) Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan
menyembuhkannya
8) Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak
diinginkan
9) Efek samping obat dan penanganannya
10) Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai
pengontrolan tekanan darah
11) Pentingnya peran terapi non farmakologi
12) Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang
mengandung ginseng, nasal decongestan) (Depkes RI, 2007).
Carter BL et al. 2003. How Pharmacist Can Assist Physicians with Controllin Blood
Pressure. J Clin Hypertens 2003;5(1): 31-37.
Chobaniam, A.V., et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treamient of High Blood Pressure.
JAMA 2003;289:2560.
Dellasega, C. & Yonushonis, E. M., 2007, Diabetes Melitus Pada Lansia, Dalam
Stanley, M. S. & Beare, P. G. (eds.), Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi
Kedua, diterjemahkan oleh Juniarti & Kurnianingsih, S., 199-200, 202-203.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Keith NM, Wagener HP, Barker NW. Some different types of essential hypertension:
their course and prognosis. Am J Med Sci 1939;197:332–43.
Soewondo P., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam: Insulin : Ketoasidosis Diabetik, Jilid
III, Edisi 4, Jakarta: FK UI pp. 1966.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Vaidya, Chirag K., Oullette, Jason R. 2007. Hypertensive Urgency and Emergency.
USA: Turner White Communications,Inc. Hospital Physician.
Van der Born, B. J. H., et all. 2011. Dutch guideline for the management of
hypertensive crisis – 2010 revision. The journal of medicine, 69 (5).