Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

PRAKTIKUM I
PENYAKIT HIPERTENSI

Hari, Tanggal Praktikum : Kamis, 8 April 2021


A4B – Kelompok 2
Oleh :
1. Made Meilyana Puspa ( 19021034 )
2. Manik Ambari Putri ( 19021035 )
3. Maria Nindyahni Gago ( 19021036 )
4. Ngakan Made Gede Dwi Saputra ( 19021037 )
5. Ni Kadek Anggita Putri ( 19021038 )
6. Ni Kadek Ani Susilawati ( 19021039 )
7. Ni Kadek Anita ( 19021040 )

Dosen Pengampu : Ni Putu Aryati Suryaningsih, S. Farm., M.Farm-Klin., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
PRAKTIKUM I
PENYAKIT HIPERTENSI
I. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui definisi penyakit hipertensi
2. Mengetahui klasifikasi penyakit hipertensi
3. Mengetahui patofisiologi penyakit hipertensi
4. Mengetahui tatalaksana penyakit hipertensi (Farmakologi & Non
Farmakologi)
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit hipertensi secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

II. DasarTeori
II.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah kelainan sistem sirkulasi darah yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah diatas nilai normal atau tekanan
darah ≥140/90 mmHg (Kemenkes.RI, 2014). Hipertensi merupakan suatu
keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal
jantung, serangan jantung dan kerusakan(Aisyiyah Nur Farida, 2012).
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga
74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Hipertensi merupakan silent killer dimana gejala dapat
bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama dengan gejala
penyakit lainnya. Gejala penyakit hipertensi adalah sakit kepala/rasa berat di
tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-debar, mudah Ielah, penglihatan
kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan(Kemenkes.RI, 2014) .
2.2 Klasifikasi Hipertensi
Menurut WHO, hipertensi didefinisikan sebagai keadaan tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.
Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment on High Blood Pressure (JNC VII) hipertensi diklasifikasikan
seperti berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII 2003.


Klasifikasi Hipertensi
a. Berdasarkan nilai tekanan darah
 Isolated Hypertension
Pasien dengan nilai tekanan darah diastolik <90 mmHg dan tekanan
darah sistolik ˃ 140 mmHg.
 Hypertensive crisis
Hipertensi krisis merupakan suatu peningkatan akut pada tekanan
darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TTD) di atas
180/120 mmHg.1 Berdasarkan pada ada atau tidaknya kerusakan pada
organ target, hipertensi krisis dibedakan menjadi hipertensi emergensi
dan hipertensi urgensi (Wijaya, 2013). Hipertensi emergensi ditandai
dengan peningkatan TDS di atas180 mmHg dan TDD di atas 120
mmHg secara mendadak disertai dengan kerusakan organ target.
Kerusakan organ yang terjadi pada hipertensi emergensi berupa
perubahan status mental (ensefalopati), stroke, gagal jantung, angina,
edema paru, serangan jantung, aneurisma, dan eclampsia (Herlianita
R., 2010).
o Hypertensive emergency
Kenaikan tekanan darah yang ekstrim dengan kerusakan organ
target yang akut dan progresif.
o Hypertensive urgency
Kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ target
yang akut atau progresif.
b. Berdasarkan cara dan tempat pengukuran tekanan darah
 Office or clinic blood pressure
Pengukuran tekanan darah di sarana kesehatan dengan menggunakan
mercury sphygmomanometer
 Ambulatory blood pressure
Pengukuran tekanan darah dengan metode noninvasive yang dilakukan
selama 24 jam
 Home blood pressure
Pengukuran tekanan darah yang dilakukan secara mandiri
 White coat hypertension
Kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara konsisten
ketika diukur di sarana kesehatan, tetapi tidak terjadi peningkatan
ketika diukur di tempat lain atau pada AMBP (ambulatory monitoring
blood pressure) selama 24 jam
 Masked hypertension
Kebalikan dari kondisi white coat hypertension yaitu kondisi dimana
tidak terjadi peningkatan tekanan darah secara konsisten ketika diukur
ditempat lain atau pada AMBP (ambulatory monitoring blood
pressure) selama 24 jam
 Pseudohypertension
Ketidakakuratan pengukuran tekanan darah sistolik (overestimasi)
yang sering terjadi pada lansia. Hal ini disebabkan keadaan pembuluh
darah lansia yang kaku dan tebal karena pengapuran dan kompresi,
sehingga tekanan yang lebih tinggi diperlukan untuk menutup jalan
arteri tersebut.
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
a. Etiologi
1. Hipertensi Esensial atau Primer.
Penyebab pasti dari hipertensi esensial belum dapat diketahui,
sementara penyebab sekunder dari hipertensi esensial juga tidak
ditemukan. Pada hipertensi esensial tidak ditemukan penyakit
renivaskuler, gagal ginjal maupun penyakit lainnya, genetik serta ras
menjadi bagian dari penyebab timbulnya hipertensi esensial termasuk
stress, intake alkohol moderat, merokok, lingkungan dan gaya hidup
(Triyanto, 2014).
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder penyebabnya dapa t diketahui seperti kelainan
pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid),
hiperaldosteronisme, penyakit parenkimal (Buss & Labus, 2013).
b. Faktor Resiko
1. Faktor resiko yang bisa dirubah
a. Usia
Faktor usiamerupakan salah satu faktor resiko yang berpengaruh
terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya usia maka
semakin tinggi pula resiko mendapatkan hipertensi. Insiden
hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia, hal ini
disebabkan oleh perubahanalamiah dalam tubuh yang
mempengaruhi pembuluh darah, hormon serta jantung (Triyanto,
2014).
b. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti stress juga memiliki pengaruh terhadap
hipertensi. Hubungan antara stress dengan hipertensi melalui saraf
simpatis, dengan adanya peningkatan aktivitas saraf simpatis akan
meningkatkan tekanan darah secara intermitten (Triyanto, 2014).
c. Obesitas
Faktor lain yang dapat menyebabkan hipertensi adalah kegemukan
atau obesitas. Perenderita obesitas dengan hipertensi memiliki
daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penderita yang memiliki berat badan
normal (Triyanto,2014).
d. Rokok
Kandungan rokok yaitu nikotin dapat menstimulus pelepasan
katekolamin. Katekolamin yang mengalami peningkatan dapat
menyebabkan peningkatan denyut jantung, iritabilitas miokardial
serta terjadi vasokontriksi yang dapat meningkatkan tekanan darah
(Ardiansyah, 2012).
e. Kopi
Substansi yang terkandung dalam kopi adalah kafein. Kafein
sebagai anti-adenosine(adenosine berperan untuk mengurangi
kontraksi otot jantung dan relaksasi pembuluh darah sehingga
menyebabkan tekanan darah turun dan memberikan efek rileks)
menghambat reseptor untuk berikatan dengan adenosine sehingga
menstimulus sistem saraf simpatis dan menyebabkan pembuluh
darah mengalami konstriksi disusul dengan terjadinyapeningkatan
tekanan darah (Blush, 2014).
2. Faktor resiko yang tidak bisa berubah
a. Genetik
Faktor genetik ternyata juga memiliki peran terhadap angka
kejadian hipertensi. Penderita hipertensi esensial sekitar 70 - 80 %
lebih banyak pada kembar monozigot satu telur) dari pada
heterozigot (beda telur). Riwayat keluarga yang menderita
hipertensi juga menjadi pemicu seseorang menderita hipertensi,
oleh sebab i tu hipertensi disebut penyakit turunan (Triyanto,
2014).
b. Ras
Orang berkulit hitam memiliki resiko yang lebih besar untuk
menderita hipertensi primer ketika predisposisi kadar renin plasma
yang rendah mengurangi kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan kadar natrium yang berlebih. (Kowalak, Weish,
& Mayer, 2011).
2.4 Patofisiologi
1. Tekanan darah Arteri
Pengukuran tekanan darah (BP) dilakukan pada pembuluh
darah arteri, dimana akan menghasilkan dua batas nilai. Batas nilai atas,
yang sering disebut sebagai sistolik, adalah tekanan darah pada saat
kontraksi jantung, sedangkan batas nilai bawah, yang sering disebut
diastolik adalah tekanan darah pada saat relaksasi jantung. Perbedaan
antara nilai sistolik dan diastolik disebut sebagai nadi, dan menunjukkan
tekanan pada dinding arteri. Selain itu, tekanan darah dipengaruhi oleh
cardiac output (CO) dan total peripheral resistance (TPR). Secara
matematis, dirumuskan sebagai berikut:

BP = CO × TPR

Dari rumus di atas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan BP


dapat disebabkan karena peningkatan CO dan atau TPR. Pada tabel 4.2,
dapat dilihat faktor-faktor berikut mempengaruhi CO dan TPR.
Tabel 2. Faktor yang berpengaruh pada CO dan TPR
Peningkatan CO Peningkatan cordiac preload :
 Peningkatan volume cairan akibat
retensi natrium
Konstriksi dari pembuluh vena :
 Stimulasi berlebih dari pembuluh
rennin angiostensin oldosteron
system (RAAS).
 Aktivitas berlebih dari system
simpatik
Peningkatan TPR Konstriksi pembuluh darah :
 Stimulasi berlebih dari RAAS
 Aktivitas berlebih dari system saraf
simpatik
 Perubahan genetic dari membran sel
 Endhotelial-derived factors
Hipertrofi secara structural pada pembuluh
darah :
 Stimulasi berlebih dari RAAS
 Aktivitas berlebih dari dari system
saraf simpatik
 Perubahan genetik dari membran sel
 Endhotelial-derived factors
 Hiperinsulinemia yang disebabkan
oleh sindrom metabolic

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi


primer:
1. Ketidaknormalan humoral, seperti RAAS (renin-
angiotensin-aldosteron system), hormon natriuretic atau
hiperinsulinemia.
2. Gangguan patologis pada CNS, autonomic nerve fibers,
reseptor adrenergik, atau baroreseptor.
3. Gangguan pada renal atau pada jaringan yang mengatur
proses ekskresi sodium, volume plasma, dan konstriksi
arterioral.
4. Defiseasi sintesis substansi vasolitasi pada vascular
endothelium, seperti prostacyclin, bradikinin dan nitrit
oksida, atau peningkatan produksi substansi vasokonstriksi
seperti angiostensin 2 dan endothelin 1.
5. Tingginya pemasukan sodium dan peningkatan
penghambatan sirkulasi hormone natriuretic dari transport
sodium intraselular, sehingga meningkatkan reaktifitas
vascular dan peningkatan tekanan darah. Peningkatan
konsentrasi kalium di intraselular sehingga merubah fungsi
otot halus vascular dan meningkatkan resistensi periferal
vaskular.
2. Penatalaksanaan
a. Tujuan Terapi
Tujuan terapi dari penatalaksanaan hipertensi adalah :
1. Mencapai penurunan maksimum pada risiko total jangka panjang
dari penyakit kardiovaskular.
2. Regulasi tekanan darah yang sesuai target:
 <140/90 mmHg pada pasien dengan hipertensi saja tanpa
diabetes atau penyakit ginjal.
 <130/80 mmHg pada pasien hipertensi disertai diabetes dan
atau penyakit ginjal dan jantung.
Secara umum terapi pada penderita hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Untuk pasien yang
masih dalam pre hipertensi, masih dapat menggunakan terapi non
farmakologi saja. Tetapi untuk penderita hipertensi baik hipertensi
stage 1 ke atas, harus menggunakan terapi farmakologi. Pemilihan
obat tergantung tinggi nya tekanan darah dan adanya indikasi khusus
pada penderita. Terapi non farmakologi dan terapi farmakologi harus
mendukung satu sama lain demi tercapainya target terapi pasien.

b. Terapi Non Farmakologi


Pada dasarnya, terapi non farmakologi pada penderita hipertensi
adalah modifikasi gaya hidup/lifestyle. Berikut adalah modifikasi gaya
hidup yang disarankan beserta perkiraan penurunan target tekanan
darah (Dipiro, 2008).
Modifikasi Rekomendasi Perkiraan
Penurunan Tekanan
Darah (dalam range)
Penurunan berat badan Pelihara berat badan 5-20 mmHg/10-13 kg
normal (BMI 18,5- penurunan berat badan
24,9)
Adopsi pola makan Diet kaya dengan 8-14 mmHg
DASH (Dietary buah, sayur dan produk
Approach to Stop susu rendah lemak
hypertension)
Diet rendah sodium Mengurangi diet 2-8 mmHg
sodium, tidak lebih
dari 100 mEg/L (2,4 g
sodium atau 6 g
sodium klorida)
Aktivitas fisik Aktifitas fisik reguler 4-9 mmHg
aerobic seperti jalan
kaki 30 menit/hari,
beberapa hari/minggu.
Konsumsi alkohol Batasan konsumsi 2-4 mmHg
dibatasi alkohol tidak lebih dari
2/hari (30 ml etanol
(missal 720 ml bir, 300
ml wine)) untuk pria
dan 1/hari untuk
perempuan.
Tabel 3. Modifikasi Lifestyle Untuk Mengontrol Tekanan Darah
1. Rokok
Merokok dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah
secara akut dan heart rate dan bertahan selama lebih dari 15 menit
setelah merokok satu batang rokok. Mekanismenya adalah adanya
stimulasi pada sistem saraf simpatetik sehingga terjadi peningkatan
kathekolamin plasma (Mancia G, et all. 2007). Selain itu merokok
dapat menyebabkan pembuluh darah arteri menjadi kaku dan keras
akibatnya tekanan darah meningkat (Jatoi NA, et all. 2007). Berhenti
merokok adalah suatu tindakan preventif yang paling efektif pada
penyakit-penyakit kardiovaskular, termasuk pada infark miokard
(Wilson K, et all. 2000).
2. Penurunan Berat Badan
Beberapa studi observasional memaparkan adanya hubungan
antara berat badan dan tekanan darah (Daniels SR, et all. 1996). Pada
suatu penelitian secara meta-analysis, penurunan rata-rata tekanan
sistolik dan diastolik yang berhubungan dengan rata-rata penurunan
berat badan 5,1 kg adalah 4,4 dan 3,6 mmHg (Neter JE, et all. 2003).
3. Konsumsi Alkohol
Mekanisme alkohol dalam meningkatkan tekanan darah
masih belum jelas, tetapi ada kaitannya dengan aktivitas saraf
simpatik dan terdapat peran dari perubahan konsentrasi kortisol dan
kalsium dalam sel (Chobaniam AV, et all. 2003). Orang yang
mengkonsumsi alkohol sebanyak 5 kali atau lebih per hari dapat
menyebabkan tekanan darah orang tersebut naik setelah terjadi acute
alcohol withdrawal. Pria hipertensi yang mengkonsumsi alkohol
sebaiknya disarankan untuk membatasi konsumsi alkohol tidak lebih
dari 20-30 g etanol per hari, sedangkan pada wanita yang hipertensi
konsumsinya tidak lebih dari 10-20 g etanol per hari (Mancia G, et
all. 2007).
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang sedikit merupakan predictor yang kuat
terhadap tekanan darah dan faktor risiko kardiovaskular lainnya.
Manfaat aktivitas fisik yaitu mengurangi berat badan, lemak tubuh,
lingkar pinggang, meningkatkan sensitivitas insulin, dan HDL dan
menurunan tekanan darah istirahat terutama pada pasien hipertensi.
Pasien hipertensi sangat disarankan melakukan aktivitas fisik intensif
seperti 30-45 menit/ hari. Jenis aktivitas fisik yang dilakukan yaitu
berjalan, jogging, berenang (Mancia G, et all. 2007).
5. Diet rendah garam
Peningkatan konsumsi natrium akan diikuti dengan kenaikan
tekanan darah, sebaliknya peningkatan konsumsi kalium justru akan
menurunkan tekanan darah. Pembatasan konsumsi garam efektif
untuk menurunkan tekanan darah (Appel LJ, et all. 2006). Sebuah
studi RCT pada pasien hipertensi menunjukkan bahwa dengan
menurunkan intake garam sebanyak 4,7-5,8 g NaCl per hari dapat
menurunkan tekanan darah dengan rata-rata penurunan 4-6 mmHg
(Cutler JA, et all. 1997). Kelebihan intake garam dapat
menyebabkan resistant hypertension. Konsumsi garam yang
direkomendasikan adalah kurang dari 5 g / hari NaCl (Mancia G, et
all. 2007)

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.

3.2 BAHAN :
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. STUDI KASUS


Tuan DK berusia 43 tahun, masuk rumah sakit di UGD dengan tanda-
tanda vital, TKD 195/140 mmHg, Nadi 141 x/menit, dan Temperatur 37,5 °C
disertai keluhan pusing, tidak mual, tidak demam, mimisan 3 hari lalu, namun
sudah berhenti, kemudian mimisan kembali esok harinya satu kali, sudah
berhenti dan pukul 2 hari ini mimisan lagi. Pasien punya riwayat penyakit
Diabetes Mellitus Sebagai seorang farmasi klinis, tentukan rekomendasi terapi
dan assesment terapi yang anda usulkan untuk pasien ini.

V. HASIL PENGAMATAN
Problem Subjektif Objektif Terapi DRP Plan
Medik
Hipertensi Keluhan TKD 195/140 P1.4 : Captopril oral 25 mg
Krisis pusing,tidak mmHg, indikasi (2 x sehari 1 tablet)
(Hipertensi mual,tidak Nadi 141 yang tidak
Urgensi) demam,mimisan x/menit, dan tertangani Evidence-Based Medicine
3 hari lalu,namun Temperatur C1.5 : Menurut Pramana (2020)
sudah 37,5 °C indikasi Pada hipertensi
berhenti,kemudia Terkait pengobatan urgensi, penurunan tekanan
n mimisan dengan - yang tidak darah dilakukan secara
Kembali esok pertanyaan terlihat perlahan-lahan dengan
harinya satu yang telah C1.8 : tidak antihipertensi oral. Pilihan
kali,sudah diajukan menerima terapi meliputi ACE inhibitor
berhenti dan kepada obat yang (captopril). Sedangkan
pukul 2 hari ini pasien dapat dibutuhkan menurut Vaidya dan Ouellette
mimisan lagi. diketahui (2007). Agen antihipertensi
Mempunyai bahwa yang digunakan untuk
riwayat penyakit tekanan darah mengobati urgensi hipertensi
DM tipe 2 sudah pasien yaitu terdapat agen khusus
1 tahun yang lalu. sebelumnya yaitu captopril sebagai
adalah penghambat enzim konversi
180/120 angiotensin (ACE) dengan
mmHg onset kerja yang dimulai
dalam 15 sampai 30 menit
dan penurunan tekanan darah
maksimum terjadi antara 30
dan 90 menit. Kaptopril
diberikan sebagai dosis oral
25 mg pada awalnya, diikuti
dengan dosis tambahan 50
sampai 100 mg 90 sampai
120 menit kemudian.
Diabetes - Gula darah - P1.4 : Metformin oral 500 mg
Militus pasien adalah indikasi (1 x sehari 1 tablet)
(Tipe 2) 210 mg/dl yang tidak
gula darah tertangani Evidence-Based Medicine
puasa. C1.9: Menurut Marcelo (2009)
dibutuhkan metformin merupakan obat
indikasi antihiperglikemik golongan
obat yang biguanid, yang banyak
baru digunakan untuk terapi
control Diabetes Melitus tipe
2. Metformin bekerja
dengan menurunkan
konsentrasi kadar glukosa
darah tanpa menyebabkan
hipoglikemia. Mekanisme
aksi utamanya adalah
menurunkan kadar glukosa
guna menimbulkan
penurunan glukoneogenesis
hati. Fosforilasi protein
CREB menghasilkan
penurunan ekspresi gen untuk
glukoneogenesi dan
menurunkan asam lemak
bebas hasil glukoneogenesis
substrat. Dilain hal,
metformin meningkatkan
insulin-mediated glukose
uptake di jaringan perifer.
Metformin diabsorbsi di
saluran cerna.

FIR (Futher Information Required)

No FIR JAWABAN ALASAN


1. Berapa kadar gula darah 210mg/dl gula darah Untuk mengetahui kadar gula darah
pasien? puasa pasien

2. Berapa lama sudah 1 tahun yang lalu Untuk mengetahui history penyakit
menderita dm? pasien

3. Apakah keluarga pasien ada Tidak Untuk mengetahui riwayat keturunan


yang memiliki riwayat atau adanya faktor genetik dari
hipertensi? penyakit hipertensi sebelumnya pada
pasien yang nantinya dapat dijadikan
sebagai acuan dalam penentu faktor
resiko
4. Apakah pasien memiliki Tidak
gaya hidup perokok, minum Untuk mengetahui pola hidup dari
alkohol, atau kurangnya pasien dan dapat megetahui faktor risiko
aktifitas fisik? penyakit

5. Obat apakah yang Tidak Ada Untuk menentukan terapi atau


sebelumnya dikonsumsi pengobatan selanjutnya
oleh pasien?
6. Apakah pasien memiliki Tidak Ada Untuk memberikan terapi yang tepat
alergi obat? kepada pasien sehingga memicu
terjadinya reaksi alergi pada saat
pemberian obat
7. Berapakah hasil 180/120 mmHg Agar dapat menentukan klasifikasi
pemeriksaan tekanan darah dari penyakit hipertensi maka harus
pasien sebelumnya? dilakukan pengecekan tekanan darah
minimal 2 kali
8. Berapa berat badan pasien? 70 Kg Untuk mengetahui terapi dan dosis
terapi yang akan diberikan
9. DM tipe berapa yang Tipe 2 Untuk mengetahui riwayat penyakit
diderita pasien? Diabetes Mellitus yang diderita pasien
guna menentukan terapi yang tepat
10. Terapi apa yang telah Belum Ada Untuk menentukan terapi yang tepat
dilakukan untuk menangani untuk pasien
DM?

VI. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data pada kasus Tuan DK berusia 43 tahun
di atas, dimana dapat disimpulkan bahwa pasien terkena penyakit krisis
hipertensi karena tekanan darah pasien 195/140 mmHg, dimana pasien sudah
melakukan pengecekan darah sebanyak 2 kali dan mendapatkan hasil yang sama
yaitu tekanan darah di atas 180/120 mmHg. Hal ini sejalan dengan teori yaitu
krisis hipertensi biasanya ditandai dengan peningkatan tekanan darah diastolik
yang melebihi 120 hingga 130 mmHg dan tekanan sistolik mencapai 200 hingga
220 mmHg. Krisis hipertensi terbagi dua, yakni, Hipertensi emergensi jika
disertai dengan kerusakan organ target dan Hipertensi urgensi jika tanpa
kerusakan organ target (Van der Born, et all, 2011).
Pada kasus ini, pasien terkena krisis hipertensi yaitu hipertensi
urgensi, karena pada pasien belum ada tanda kerusakan organ target yang akut
atau progresif. Hal ini sejalan dengan teori hipertensi urgensi yang merupakan
kenaikan tekanan darah yang parah tanpa kerusakan organ target yang akut atau
progresif seperti perubahan status mental (ensefalopati), stroke, gagal jantung,
angina, edema paru, serangan jantung, aneurisma, dan eclampsia (Herlianita R.,
2010).
Secara umum, hipertensi urgensi dapat dikelola dengan menggunakan
agen antihipertensi oral dalam pengaturan observasi rawat jalan atau hari yang
sama, meskipun pendekatan ini mungkin tidak sesuai ketika tindak lanjut pasien
sulit atau tidak dapat diprediksi. Pengobatan dimulai dengan dosis yang sangat
rendah dari agen oral menggunakan dosis tambahan sesuai kebutuhan dan
menghindari dosis awal yang besar yang dapat mengakibatkan penurunan
tekanan darah yang berlebihan. Menghindari pengurangan yang berlebihan
terutama penting pada pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi
hipotensi, seperti orang tua, pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer
yang parah, dan mereka yang diketahui menderita penyakit kardiovaskular dan
intrakranial aterosklerotik parah. Tujuan awalnya adalah untuk mengurangi
tekanan darah hingga 160/110 mmHg selama beberapa jam hingga berhari-hari
dengan menggunakan terapi oral konvensional (Keith, et al., 1939).
Pada hipertensi urgensi, penurunan tekanan darah dilakukan
secara perlahan-lahan dengan antihipertensi oral. Pilihan terapi meliputi ACE
inhibitor (captopril) (Pramana, 2020). Sedangkan menurut Vaidya dan Ouellette
(2007). Agen antihipertensi yang digunakan untuk mengobati urgensi hipertensi
yaitu terdapat agen khusus yaitu captopril sebagai penghambat enzim konversi
angiotensin (ACE) dengan onset kerja yang dimulai dalam 15 sampai 30 menit
dan penurunan tekanan darah maksimum terjadi antara 30 dan 90 menit.
Kaptopril diberikan sebagai dosis oral 25 mg pada awalnya, diikuti dengan dosis
tambahan 50 sampai 100 mg 90 sampai 120 menit kemudian (Vaidya dan
Ouellette, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, praktikan memilih obat golongan ACE-I
(Captopril) sesuai dengan Evidence Based Medicine yang telah praktikan
temukan. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-I), dianggap sebagai
terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi.
Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifhya dengan diuretik dan penyekat
beta, dan pada studi yang lain ACEI, bahkan lebih efektif. ACEI mempunyai
peranan lain pada pasien dengan hipertensi ditambah kondisi lainnya.
Kebanyakan klinisi setuju bila ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada
kebanyakan pasien hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik. ACEI
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana
angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi
aldosteron (Carter BL, et al., 2003).
Pada kasus ini, Tuan DK mempunyai riwayat penyakit Diabetes
Mellitus (DM) Tipe 2, dimana sesuai dengan guidlines JNC 7 mencantumkan
indikasi khusus dari ACEI, menunjukkan banyak kegunaan yang berdasarkan
bukti (evidence-based) dari kelas obat ini. Beberapa studi menunjukkan kalau
ACEI mungkin lebih efektif dalam menurunkan resiko kardiovaskular dari pada
obat antihipertensi lainnya. Pada DM tipe 2, dua studi menunjukkan kalau ACEI
superior daripada CCB. ACEI menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan gagal Jantung dan memperlambat progres penyakit ginjal kronis.
Golongan ACEI harus digunakan sebagai pengobatan linipertama dalam terapi
pada pasien-pasien ini, kecuali terdapat kontraindikasi absolut. Selain terapi
dengan penyekat beta, bukti menunjukkan kalau ACEI lebih jauh menurunkan
resiko kardiovaskular pada angina stabil kronis (EUROPA) dan padapasien-
pasien pasca infark miokard (HOPE). Kebanyakan ACEI dapat diberikan 1
kali/hari, kecuali kaptopril,waktu paruhnya pendek, biasanya dua sampai tiga
kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi lewat urin, jadi
penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang
parah. ACEI dapat ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien, tetapi tetap
mempunyai efek samping. ACEI mengurangi aldosteron dan dapat menaikkan
kosentrasi kalium serum. Biasanya kenaikkannya sedikit, tetapi hiperkalemia
dapat terjadi. Terlihat terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis,atau
diabetes melitus dan pada pasien yang juga mendapat ARB, NSAID, supplemen
kalium, atau diuretik penahan kalium. Monitoring serum kalium dan kreatinin
dalam waktu 4 minggu dari awal pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI
sering dapat mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi yang
serius (Depkes RI, 2007).
Dalam guideline JNC modikasi gaya hidup tidak dibahas secara
detail mungkin tetap mengacu pada modikasi gaya hidup dalam JNC dan
beberapa panduan lain (Chobaniam, A.V., et al. 2003):
1. Penurunan berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5-
20 mm/penurunan 10 kg. Rekomendasi ukuran pinan <94 cm untuk
pria dan <80 cm untuk wanita, indeks massa tubuh <25 kg/m 2.
Rekomendasi penurunan berat badan meliputi nasihat mengurangi
asupan kalori dan juga meninkatkan aktivitas sik.
2. Adopsi pola makan DASH (Dietary Approaches to Stop
Hypertension) dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8-14 mm.
Lebih banyak makan buah syaur-sayuran dan produk susu rendah
lemak denan kandungan lemak jenuh dan total lebih sedikit kaya
potassium dan calcium.
3. Restriksi garam harian dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2-
8 mm. Konsumsi sodium chloride ≦6g/hari (100 mmol
sodium/hari). Rekomendasikan makanan rendah garam sebagai
baian pola makan sehat.
4. Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-9 mm.
Lakukan aktivitas isik intensitas sedang pada kebanyakan atau
setiap hari pada 1 minggu (total harian) dapat diakumulasikan
misalna 3 sesi @ 10 menit.
5. Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 2-4 mmHg. Maksimum 2 minuman standar/ hari: 1 oz atau
30 ml ethanol; misalnya bir 24 oz, wine 10 oz atau 3 oz 80-proof
whiske untuk pria dan 1 minuman standar/hari untuk wanita.
6. Berhenti merokok untuk mengurangi risiko kardiovaskuler secara
keseluruhan.
Pada kasus di atas, dimana pasien mempunyai riwayat DM tipe 2
yaitu sesuai dengan Evidene-based Medicines praktikan memilih obat yang
diberikan kepada pasien yaitu metformin, obat ini merupakan obat
antihiperglikemik golongan biguanid, yang banyak digunakan untuk terapi
control Diabetes Melitus tipe 2. Metformin bekerja dengan menurunkan
konsentrasi kadar glukosa darah tanpa menyebabkan hipoglikemia. Mekanisme
aksi utamanya adalah menurunkan kadar glukosa guna menimbulkan penurunan
glukoneogenesis hati. Fosforilasi protein CREB menghasilkan penurunan
ekspresi gen untuk glukoneogenesi dan menurunkan asam lemak bebas hasil
glukoneogenesis substrat. Dilain hal, metformin meningkatkan insulin-mediated
glukose uptake di jaringan perifer. Metformin diabsorbsi di saluran cerna
(Marcelo, 2009).
Adapun terapi non farmakologi yang dapat dilakukan pada kasus di
atas mengenai riwayat DM tipe 2 yang dideritanya yaitu menurut PERKENI
(2011), terapi non farmaokologi meliputi edukasi, terapi gizi, latihan jasmani
dan pengendalian gula darah. Pada pasien DM tipe 2 yang terpenting adalah
mengubah pola hidup terlebih dahulu, kemudian diteruskan dan dibantu dengan
pengobatan secara farmakologi.
1. Edukasi
Menurut PERKENI (2011) pada DM tipe 2 umumnya terjadi
perubahan pola hidup. Pola hidup yang baik perlu diterangkan dan
dilaksanakan dengan pemantauan dari tenaga medis dan dukungan
dari keluarga. Edukasi dapat berupa tanda dan gejala DM tipe 2,
faktor pencetus, pencegahan, mengenal komlikasi serta bagaimana
cara mengatsinya
2. Terapi gizi
Perencanaan makanan yang baik dan manajemen nutrisi pada
pasien DM tipe 2 bertujuan untuk mengkatkan kualitas hidup
pasien yaitu mempertahankan kadar glukosa darah, profil lemak
dan tekanan darah dalam rentang normal serta mencegah terjadinya
komplikasi. Adapun kebutuhan nutrisi yang dianjurkan untuk
pasien DM tipe 2 yaitu terdiri dari 60-70% karbohidrat, 15-20%
protein, 30% lemak dengan 10% berasal dari lemak jenuh (ADA,
2011).
3. Olah raga
Olahraga pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh dengan mengurangi kadar glukosa darah,
meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan
(Dellasega& Yonushonis, 2007).
4. Berhenti merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan
glukosa oleh sel (Tjay& Raharja, 2007). Dari penelitian yang
dilakukan terhadap subyek uji pasien lansia bahwa merokok 2
batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko nefropati dan
menghambat absorbsi insulin (Lee, et all., 2009).
5. Pengendalian Kadar Glukosa
Menurut Soewondo (2009), pemantauan status metabolik pada
pasien DM merupakan hal yang penting dan menjadi bagian dari
pengendalian DM. Pemeriksaan kadar glukosa bisa dilakukan
melalui pemeriksaan di laboratorium maupun pemeriksaan mandiri,
karena dengan hal ini dapat menurunkan potensi terjadinya
komplikasi.
Untuk mengukur efektivitas terapi,hal-hal berikut harus dimonitoring
yaitu sebagai berikut.
a. Monitoring tekanan darah dan gula darah
Memonitor tekanan darah di klinik tetap menempatkan standar
untuk pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah dan
gula darah harus di evaluasi 2sampai 4 minggu setelah terapi
dimulai atau setelah adanya pembahan terapi. Target tekanan darah
awal sama dengan atau kurang dari 160/100 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata (MAP, mean arterial pressure< 25%
dalam 24-48 jam (Pramana, 2020). Sedangkan menurut Keith, et
al. (1939) tujuan awalnya adalah untuk mengurangi tekanan darah
hingga 160/110 mm Hg selama beberapa jam hingga berhari-hari
dengan menggunakan terapi oral konvensional. 10 Tekanan arteri
rata-rata harus dikurangi tidak lebih dari 25% dalam 24 jam
pertama menggunakan terapi oral konvensional.
Sedangkan target goal terapi diabetes mellitus yaitu tujuannya
adalah gula darah dapat terkontrol dengan kadar ≤ 200 mg/dl.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi urgensi haruss di monitor secara berkala untuk
melihat tanda-tanda dan gejala adanya penyakit target organ yang
berlanjut. Sejarah sakit dada (atau tightness), palpitasi, pusing,
dyspnea, orthopnea, sakit kepala, penglihatan tiba-tiba sembab,
lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang keseimbangan harus
diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan komplikasi
kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainya yang
harus dimonitor untuk menilai penyakit target organ termasuk,
regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram,
proteinuria, dan fungsi ginjal. Tes laboratorium harus diulangi
setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil. Monitoring
serum kalium dan kreatinin dalam waktu 4 minggu dari awal
pemberian atau setelah menaikkan dosis ACEI terutama pada
pasien dengan riwayat diabetes melitus sering dapat
mengidentifikasi kelainan ini sebelum dapat terjadi komplikasi
yang serius. Dimana dengan adanya monitoring ini dapat
meningkatkan salah satu tujuan penatalaksanaan hipertensi
urgensi yang adekuat adalah menghilangkan gejala, mencegah
kerusakan organ, dan melindungi jaringan yang sehat (Pramana,
2020).
c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi
obat harus dinilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2
sampai 4 minggu setelah memulai obat dan atau setelah menaikkan
dosis. Kejadian efek samping mungkin memerlukan penurunan
dosis atau substitusi dengan obat antihipertensi yang lain. Adapun
kontraindikasi obat antihipertensi golongan ACE-I yaitu captopril
adalah kehamilan, bilateral artery stenosis, hiperkalemia.
Sedangkan pada metformin yaitu terjadi disfungsiginjal walauupun
sangat jarang terjadi. Interaksi lainnya terjadi pada obat golongan
biguanid (metformin) berinteraksi dengan ACE-Inhibitor
(lisinopril, captopril) terjadi pada pasien DM yang juga menderita
hipertensi. Obat golongan ACE-I (lisinopril, captopril) dapat
meningkatkan toksisitas dari metformin dan dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia dan asidosis laktat (Medscape, 2019).
Solusinya yaitu dapat dilakukan tindakan pengaturan dosis dengan
memperkecil dosis dari captopril tersebut. Solusi tambahan ialah
pasien perlu memonitor kadar gula darah secara teratur dan perlu
pemberian jarak obat. Efek samping samping pada metformin yaitu
gastrointestinal, heratburn, mual. Sedangkan efek signifikan dari
captopril termasuk batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan
gagal ginjal (terutama pada pasien dengan stenosis arteri ginjal
bilateral, yang harus dihindari) (Vaidya dan Ouellette, 2007).
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke
pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah dan
gula darah yang dinginkan. Paling sedikit 50% pasien yang
diresepkan obat antihipertensi tidak meminumnya sesuai dengan
yang direkomendasikan. Satu studi menyatakan kalau pasien yang
menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar
kemungkinan terkena stroke. Kurangnya adherence mungkin
disengaja atau tidak disengaja. Strategi yang paling efektif adalah
dengan kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi
sikap, dan sistem yang mendukung. Edukasi ke pasien beberapa
topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan
hipertensi:
1) Pasien mengetahui target nilai tekanan darah dan gula darah
yang dinginkan
2) Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya dan gula darahnya
sendiri
3) Sadar kalau tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi sering
tanpa gejala (asimptomatik)
4) Konsekuensi yang serius dari tekanan darah dan gula darah yang
5) tidak terkontrol
6) Pentingnya kontrol teratur
7) Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan
menyembuhkannya
8) Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak
diinginkan
9) Efek samping obat dan penanganannya
10) Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai
pengontrolan tekanan darah
11) Pentingnya peran terapi non farmakologi
12) Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang
mengandung ginseng, nasal decongestan) (Depkes RI, 2007).

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


VII.1 Kesimpulan
Dari data yang dibahas diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pasien terkena krisis hipertensi yaitu hipertensi urgensi, karena
tekanan darah pasien 195/140 mmHg dan hal ini sejalan dengan teori
hipertensi urgensi yang merupakan kenaikan tekanan darah yang
parah tanpa kerusakan organ target yang akut.
2. Terapi Farmakologi untuk hipertensi urgensi pasien, praktikan
memilih obat golongan ACE-I yaitu Captopril oral 25mg (2 x sehari 1
tablet) sesuai dengan Evidence Based Medicine yang digunakan,
dimana ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten
yang juga merangsang sekresi aldosterone.
3. Untuk Diabetes Melitus Tipe 2 yang dialami pasien, pratikan memilih
obat Metformin oral 500mg (1 x sehari 1 tablet), metformin bekerja
dengan menurunkan konsentrasi kadar glukosa darah tanpa
menyebabkan hipoglikemia.
4. Terapi Non-Farmakologi untuk hipertensi yang diberikan pada pasien
dengan modifikasi gaya hidup seperti: adopsi pola makan DASH,
restriksi garam harian, aktivitas fisik, pembatasan konsumsi alcohol,
dan berhenti merokok. Sedangkan untuk diabetes tipe 2 dapat
melakukan terapi gizi, Olah raga, berhenti merokok, dan pengendalian
kadar glukosa.
5. Monitoring yang dilakukan pada pasien adalah monitoring tekanan
darah dan gula darah pasien, monitoring kerusakan target organ,
monitoring interaksi obat dan efek samping obat.
VII.2 Saran
Saran yang dapat praktikan berikan adalah pada praktikum
selanjutnya agar lebih teliti dalam menganalisis SOAP dan dapat
memberikan terapi pada pasien berdasarkan guidelines serta Evidence-
Based Medicine agar dapat memberikan terapi yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA), 2011. Diagnosis and Classification of


Diabetes Mellitus. Diakses pada 12 Januari 2014 dari:
www.care.diabetesjournals.org/content/34/Supplement_1/S62.full.

Carter BL et al. 2003. How Pharmacist Can Assist Physicians with Controllin Blood
Pressure. J Clin Hypertens 2003;5(1): 31-37.

Chobaniam, A.V., et al. 2003. Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treamient of High Blood Pressure.
JAMA 2003;289:2560.

Dellasega, C. & Yonushonis, E. M., 2007, Diabetes Melitus Pada Lansia, Dalam
Stanley, M. S. & Beare, P. G. (eds.), Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi
Kedua, diterjemahkan oleh Juniarti & Kurnianingsih, S., 199-200, 202-203.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:Direktorat


Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.

Eliana, F. 2015. Penatalaksanaan DM sesuai konsensus PERKENI. Jakarta : FK


Yarsi.

Herlianita R. 2010. Hypertensive crises. J Keperawatan. P: 1(2):151–5. doi: 10.2


2219/jk.v1i2.408.

Keith NM, Wagener HP, Barker NW. Some different types of essential hypertension:
their course and prognosis. Am J Med Sci 1939;197:332–43.

Lee, S. et al. (2009). A Review of Case-based Learning Practices in an Online MBA


Program: A Program-level Case Study. Educational Technology & Society,
Vol. 12 (3).

Marcelo M, Nada G, Facundo D. 2009. Mother risk update use of hypoglycemic


drugs during lactation. Canadian Family Physician.; 55:371–3.

PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. Jakarta: PERKENI.

Pramana, Kadek Dwi. 2020. Penatalaksanaan Krisis Hipertensi, Jurnal Kedokteran


Vol 5 No 2. Mataram: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar
Mataram.

Soewondo P., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam: Insulin : Ketoasidosis Diabetik, Jilid
III, Edisi 4, Jakarta: FK UI pp. 1966.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.

Vaidya, Chirag K., Oullette, Jason R. 2007. Hypertensive Urgency and Emergency.
USA: Turner White Communications,Inc. Hospital Physician.

Van der Born, B. J. H., et all. 2011. Dutch guideline for the management of
hypertensive crisis – 2010 revision. The journal of medicine, 69 (5).

Anda mungkin juga menyukai