Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

TATALAKSANA PENYAKIT JANTUNG KORONER


STABLE ANGINA

OLEH:

KELOMPOK 2 (B3A LINTAS JALUR)

1. Ni Putu Ayu Chintya Dewi (201023008)


2. Ni Putu Savitri Rahayu (201023009)
3. Ni Wayan Purnami Astuti (201023010)
4. Putu Agus Dipa Setiawan (201023011)
5. Syahra Agustina Maulida (201023012)
6. Dewa Nyoman Agus Parasetya (201023013)
7. Ni Luh Putu Cindy Larasati (201023014)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2021
PENYAKIT JANTUNG KORONER
STABLE ANGINA

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit stable angina.
2. Mengatahui patofisiologi penyakit stable angina.
3. Tatalaksana penyakit stable angina (farmakologi dan non-farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit stable angina secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi dan Gejala Angina
Angina pectoris adalah suatu syndrome klinis yang ditandai dengan munculnya rasa
tidak nyaman pada dada, rahang, punggung, atau dada. Biasanya angina dipicu oleh aktifitas
fisik yang berat dan membaik dengan pemberian nitrigliserin.
Ciri – ciri angina stabil dijelaskan dalam tabel 1.

KATEGORI CIRI
Tipe Rasa tidak nyaman seperti ditekan, diremas, ditusuk, terbakar, tercekik.
Dada, di bawah sternum (tulang dada), rahang bawah, gigi, punggung
Lokasi
belakang, dan pergelangan tangan.
Singkat, kurang dari 10 menit, kurang dari beberapa menit, hilang dengan
Durasi
beristirahat dan atau nitrogliserin, nitrat buccal/SL.
Onset terjadinya Saat beraktifitas spesifik, aktivitas yang membutuhkan banyak energy.
Miokardial ishkhemia : otot jantung kekurangan oksigen, sehingga merilis
Penyebab adesonin yang akanberikatan dengan saraf sehingga
mengakibatkan timbul rasa nyeri melalui stimulasi reseptor Adenosin 1.
Tabel 1 Ciri-Ciri Angina Stabil

Angina merupakan gejala utama yang menandakan terjadinya iskemia miokardial dan
umumnya disebabkan oleh arterosklerosis. Arterosklerosis mengakibatkan penyumbatan
arteri coroner, mengurangi aliran darah dan oksigen ke otot jantung. Angina stabil adalah
kondisi medis yang kronis dengan insiden sindrom coroner akut yang jarang, namun dapat
membahayakan nyawa.

2.2 Patofisiologi Angina


Angina merupakan gejala utama yang menandai terjadinya iskemia miokardial dan
umumnya disebabkan oleh arterosklerosis. Asterosklerosis mengakibatkan penyumbatan
arteri coroner, mengurangi aliran darah dan oksigen ke otot jantung.
Iskemia miokardial terjadi akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen saat

1
beraktivitas. Suplai oksigen dipengaruhi oleh:
a. Ketersediaan oksigen dalam arteri coroner.
b. Pengambilan oksigen oleh otot jantung.
c. Jumlah aliran darah, yang dipengaruhi oleh :
 Diameter Lumen
Semakin besar diameter lumen pembuluh darah semakin besar suplai oksigen
keseluruh tubuh karena tidak ada hambatan pada aliran darah.
 Lumen Tone / elastisitas pembuluh darah
Kebutuhan oksigen dipengaruhi oleh :
a. Heart rate (HR) diamana jika HR meningkatkan kerja jantung makin keras dan
sehingga kebutuhan oksigen miokard meningkat.
b. Kontraktilitas otot jantung: peningkatan kontraktilitas miokard akan meningkatkan
kebutuhan oksigen oleh jantung.
c. Wall Stress (tekanan dinding otot jantung): dipengaruhi preload dan afterload.
Semakin besar preload maka dinding ventrikel kanan akan meregang maksimal
untuk dapat mengisi ruang ventrikel dengan darah. Ventrikel kanan memompa dan
mengalirkan darah ke paru-paru melalui arteri pulmonary. Aktivitas ini
memerlukan energy yang besar sehingga diperlukan jumlah oksigen yang besar
pula. Pada system afterload, ventrikel kiri akan meregang maksimal sehingga
darah dapat mengisi ventrikel dengan volume yang besar. Proses memompa darah
keseluruh tubuh membutuhkan energy yang besar, sehingga juga memerlukan
d. jumlah oksigen yang tinggi.

Pada angina stabil, hubungan antara beban kerja jantung dan iskemia relative dapat
diprediksi. Penampang vaskuler normal memiliki kemampuan untuk mengurangi tahanan
yang diterimanya. Misalnya selama aktivitas fisik yang berat (maksimal), dimanapada saat itu
laju dan volume aliran darah coroner dapat meningkat hingga 6-5 kali lipat. Penurunan luas
penampang lumen arteri karena arterosklerosis mengurangi kemampuan vascular untuk
menurunkan tahanan yang diterimanya selama aktivitas. Hal ini mengakibatkan iskemia,
dengan tingkat keparahan yang berbanding lurus dngan derajad obstruksi lumen dan
kebutuhan oksigen miokard.
Saat miokard mengalami iskemia, terjadi penurunan pH darah dan sinus coroner,
hilangnya kalium seluler, akumulasi laktat, abnormalitas ECG, kadang memicu kongesti paru
dan dyspnea. Belum dapat dijelaskan secara pasti bagaimana iskemia menebbkan nyeri dan
rasa tidak nyaman, namun nyeri yang terjadi bias jadi melibatkan stimulasi saraf melalui
hypoxic metabolites.
Apabila obstruksi lumen ≤ 40%, aliran darah yang maksimal masih dapat
dipertahankan. Namun apabila pengurangan diameter lumen terjadi hingga > 50%, maka
dapat terjadi iskemia terutama saat aliran darah coroner tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolism kardiak selama aktivitas fisik atau stress. Perubahan stenosis resitance relative
kecil pada penyempitan vaskuler ringan, namun meningkat tajam pada obstruksi lumen yang
parah, dengan peningkatan hamper tiga kali lipat pada stenosis 80%-90%. Pada keadaan
stenosis yang sama, ischaemic threshold dapat terjadi pada waktu yang berbeda. Hal ni

2
dipengaruhi berbagai factor termasuk derajat perkembangan sirkulasi kolateral, derajat
distribusi perfusi miokard dari daerah yang rawan terhadap iskemia (yaitu endocardium)
menuju sub epicardium, tahanan arteri vascular, dan agregasi platelet. Angina juga dapat
disebabkan oleh myocardial bridging, walaupun hal ini sangat jarang terjadi.
Perbedaan gejala angina yang dialami disebabkan oleh perbedaan derajad
vasokontriksi pada lokasi stenosis dan atau pembuluh coroner distal. Perbedaan gejala
ditentukan juga oleh factor seperti temperature tubuh, stress, dan pengaruh neuro-hormonal.
Pada sebagian pasien, angina dapat terjadi saat istirahat.
Pasien dengan angina stabil beresiko mengalami Acute Coronary Syndrome (ACS):
unstable angina, non-ST-elevation MI, atau ST-Elevation MI. Angina tidak stabil ditandai
dengan perburukan gejala angina yang tiba – tiba, bias berupa peningkatan frekuensi, durasi
yang lebih panjang, dan lebih berat dan atau terjadi pada threshold yang lebih rendah atau
saat istirahat. Miokardiak Infark (MI) ditandai dengan perpanjangan durasi angina (>30
menit) yang disebabkan oleh myocardial necrosis. Baik non-ST-elevation MI maupun ST-
elevation MI seringkali didahului gejala yang tidak stabil selama beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum serangan.

2.3 Penatalaksanaan Terapi Angina


Tujuan pengobatan angina stabil:
 Untuk memperbaiki prognosis dengan pencegahan miokardiak infark dan
kematian
 Untuk meminimalkan atau menghilangkan gejala yang muncul. Berdasarkan jenis
terapinya, terapi angina stabil ddibagi menjadi dua yaitu :
1. Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi angina stabil antara lain:
a) Hentikan merokok. Merokok merupakan faktor resiko yang sangat
meningkatkangejala dan prognosis. Berhenti merokok akan sangat
memperbaiki gejala dan mencegah perburukan angina. Dapat
dilakukan melalui nicotine replacement therapy (NRT).
b) Diet dan pembatasan konsumsi alcohol
Apabila dilakukan dengan benar, diet dapat mencegah kejadian
angina secara efektif pada pasien dengan carotid arthery disease
(CAD). Tingkat konsumsi buah, sayuran, sereal, produk gandum,
berbagai produk susu skim, ikan, dan daging tanpa lemak. Intensitas
perubahan tujuan atau target diet ditentukan oleh kadar LDL-C,
kolesterol total dan abnormalitas lipid lainnya. Pasien yang
kelebihan berat badan harus menjalani diet untuk penurunan berat
badan. Pengurangan konsumsi alkohol mungkin bermanfaat, namun
konsumsi berlebihan sangat berbahaya, terutama pada pasien dengan
hipertensi atau gagal jantung.
c) Asam lemak Omega-3
Minyak ikan kaya dengan asam lemak Omega-3 yang berguna
dalampengurangan hipertrigleserida. Intervensi diet untuk mencapai

3
konsumsi ikan setidaknya sekali seminggu sangat disarankan.
d) Ativitas fisik
Pasien disarankan melakukan aktivitas fisik secukupnya, karena
dapat meningkatkan toleransi terhadap aktivitas fisik, mengurangi
gejala, dan memiliki efek menguntungkan pada berat badan, kadar
lipid dalam darah, tekanan darah, toleransi glukosa, dan sensitivitas
insulin. Saran untuk latihan harus mempertimbangkan kebugaran
individu secara keseluruhan dan tingkat keparahan gejala.
e) Factor psikologi
Factor psikologi berpengaruh sebagai pemicu serangan angina.
Diagnosis angina seringkali menimbulkan kecemasan yang
berlebihan. Beberapa metode relaksasi dan metode lain untuk
mengontrol stress dapat menguntungkan.
2. Terapi farmakologi
Secara Umum Penggolongan Antiangina
a. Nitrat
Nitrat cara kerjanya mengakibatkan vasodilatasi / pelebaran pembuluh
darah perifer dan coroner. Nitrat memperlebar arteri jantung,
memperlancar pemasukan darah beserta oksigen, sehingga meringankan
beban jantung. Berkhasiat relaksasi otot pembuluh darah, bronkus,
saluran empedu, lambung dan usus serta saluran kemih. Contoh nitat
yang sering dipakai adalah nitroglycerin.
b. Beta Blockers
Beta Blockers adalah obat-obat yang menghambat/memblokade reseptor
beta. Di dalam tubuh, reseptor beta dibagi menjadi 2, yaitu beta-1
(terutama di jantung) dan beta-2 (terutama di bronkus di otot). Akibatnya,
bila reseptor beta dihambat, frekuensi denyut jantung berkurang sehingga
konsumsi oksigen oleh otot jantung berkurang, sedangkan pada bronkus
akan menyebabkan kontriksi. Beta blockers terdiri dari
 Beta Blockers non-selectif (menghambat reseptor beta-1 dan beta 2).
(Misalnya : Propanolol, Alprenolol, Timolol)
 Beta Blockers selektif (hanya menghambat reseptor beta-1).
(Misalnya : Metoprolol, Atenolol, Bisoprolol)
c. Calcium Channel Blocker (CCB)
Kontraksi jantung dan otot polos arteriola (Vasokontriksi) dipengaruhi
oleh banyaknya kalsium yang masuk ke dalam sel. Calcium Channel
Blocker (CCB) menghambat pemasukan kalsium ke dalam sel-sel
miokard dan otot polod dinding arteriola sehingga dapat mencegah
kontraksi dan vasokontriksi. CCB terdiri dari:
 Golongan dihidropiridin, misalnya : nifedipin, amlodipine.
 Golongan nondihidropidin, misalnya : verapamil diltiazem.
d. Antiplatelet

4
Antiplatelet untuk mencegahnya membentuk gumpalan dalam dinding
pembuluh darah, jadi mengurangi resiko kematian karena penyakit arteri
koroner. Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah aspirin.
Penderita yang alergi terhadap aspirin, bisa menggunakan triklopidin.

(Turdiyanto Totok dkk, 2013)

Berdasarkan tujuan terapinya, terapi farmakologi untuk angina dibagi menjadi:


1) Terapi farmakologi untuk memperbaiki prognosis, meliputi:
a. Aspirin 75 mg setiap hari pada semua pasien tanpa kontra indikasi
(yaitu pendarahan GI aktif, alergi aspirin atau Intoleransi aspirin
sebelumnya). mekanisme kerja dari aspirin yaitu penghambatan ireversibel
Dari platelet COX-1 dan produksi tromboksan
b. Terapi statin untuk semua penderita penyakit koroner. Mekanisme kerja dari
statin yaitu menghambat secara kompetitif koenzim 3- hidroksi-3-
metilglutaril (HMG CoA) reduktase, yakni enzim yang berperan pada
sintesis kolesterol, terutama dalam hati
c. Terapi ACE-inhibitor pada pasien dengan indikasiuntuk ACE- inhibition,
seperti hipertensi, gagal jantung, disfungsi LV, MI sebelumnya dengan
disfungsi LV, atau Diabetes. Mekanisme kerja ACE-inhibitor yaitu dengan
menghambat pembentukan angiotensin II yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, sehingga pembuluh darah melebar sehingga banyak darah
mengalir ke jantung.
d. Terapi Beta blocker oral pada pasien pasca-MI atau dengan Gagal jantung
(tingkat bukti A). Mekanisme kerja dari beta blocker yaitu menghambat
respon terhadap rangsangan beta-adrenergik sehingga menurunkan curah
jantung.
(Europan Heart Journal, 2006)

2) Untuk mengatasi gejala dan iskemia, meliputi:


a. Berikan nitrogliserin short-acting untuk menghilangkan gejala akut dan
profilaksis. Nitrat menjadi pilihan pertama dalam mengelola serangan akut
pada pasien angina stabil kronis jika serangan tersebut jarang terjadi (yaitu
hanya beberapa kali per bulan) atau untuk profilaksis gejala ketika
melakukan kegiatan. Nitrat efektif digunakan untuk semua kelas angina
karena dapat mengurangi aliran balik vena ke jantung sehingga mengurangi
beban kerja jantung. Nitrat dapat menvasodilatasi koroner, nitrat pada
umumnya dapat di toleransi dengan baik. Untuk mencegah efek yang
merugikan akibat penggunakan dalam jangka waktu yang panjang maka
harus ada interval bebas nitrat 10 sampai 12 jam (Koda-Kimble et al, 2013).
b. Uji efek beta-1 blocker, Pertimbangkan kebutuhan untuk perlindungan
24 jam melawan Iskemia (tingkat bukti A)
c. Dalam kasus intoleransi beta-blocker atau efikasi yang buruk mencoba
monoterapi dengan calcium channel blocker (Tingkat bukti A), long acting

5
nitrat (tingkat bukti C), atau nicorandil (tingkat bukti C)
d. Jika efek monoterapi beta-blocker tidak mencukupi, tambahkan CCB
(Tingkat bukti B). Mekanisme kerja dari CCB yaitu Menghambat
masuknya transmembran ion kalsium ekstraselular ke membran membran
otot miokard dan vaskular tanpa mengubah konsentrasi kalsium serum; Hal
ini menyebabkan penghambatan kontraksi otot polos jantung dan vaskular,
sehingga melebarkan arteri koroner dan sistemik utama
(Europan Heart Journal, 2006)

3) Untuk mengatasi gejala angina maupun memperbaiki prognosis, dapat juga


dilakukan myocardial revascularization, yang terdiri dari:
a. Coronary artery bypass surgery
b. Percutaneous coronary intervention.

III. ALAT DAN BAHAN


ALAT :
1. Form SOAP
2. Form Medication Record
3. Catatan Minum Obat
4. Kalkulator Scientific
5. Laptop dan koneksi internet

BAHAN :
1. Text Book (Dipiro, DIH, ECS, JNC)
2. Dara nilai normal laboratorium
3. Evidence terkait (Jurnal, Systematic Review, Meta Analysis)

IV. STUDI KASUS


1. Patient‟s Database
Data of review ( by pharmacist) : 1 Februari 2015, pagi hari
Tanggal masuk rumah sakit : 28 Februari, sore hari
Nomer Registrasi : 1501155
Nama Pasien : Tn.AS
Jenis Kelamin : Laki – laki
Usia : 67 tahun
Berat badan : 50 kg
Post Medical History : HT, PJK, RA
Social History : Merokok, namun sudah dikurangi 1 tahun
terakhir
Allergic/ ADR history : tidak ada
Post medication history : lisinopril 5 mg 1 dd 1
Family history : NA

6
2. SOAP Note
 Subjektif
Nyeri kaki sejak 2 bulan yang lalu, badan panas, mual dan muntah
 Objektif
Physical Examination

Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2


Tekanan darah (05.00) mmHg 160/90 170/110 160/90 150/90 130/80
Nadi x/,menit 78 80 88 80 80
0
Temperature C 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5
CMCK + 200 +880 -200 +550 -200

Laboratory and Diagnostic Test Result

Pemeriksaan Satuan Nilai normal 27/1 29/1 31/1


Hematologic
WBC X 109/L 7,5 ± 3,5 8,98
RBC X 1012/L 4,5 – 5,5 3,53
HgB 14,0 g% 15,5 ±2,5 10,1
PLT X 109/L 150 – 400 475
LED < 6; <10 Mm / jam 75 - 93
Diff EO % 1-2
Ba % 0 -1
Stab % 3–5 2
Seg % 54 – 66 85
Lym % 25 – 33 10
Mo % 3–7 3
Elektrolit
Na mmol/L 134 – 145 136
K mmol/L 3,6 – 5,0 3,5
Kimia Klinik
Albumin g/dl 3,5 – 5,0 3,2 3,6
Creatinine mg/dl 3,5 3,53
Uric acid mg/dl 3,4 – 7,0 9,9
Trigliserida mg/dl < 150 426
HDL mg/dl >60 23
LDL mg/dl <100 53
Gula Puasa mg/dl <100 133
G2PP mg/dl <120 199
Urine Lengkap
Kekeruhan Slightly
cloudly yellow
Ph 4,6 – 8,0 6.0

7
BJ 1,001 – 1,035 1,030
Protein Negatif +2
Glukosa Negatif -
Bilirubin Negatif -
Urobilin Negatif Normal
Nitrit Negatif -
Eritrosit Negatif +3
Leukosit Negatif +2
Ephitel Negatif +1
Cylinder Negatif 0–1
Bakteri Negatif -
Kristal 1 Negatif Amorph urat
+
Kristal 2 Negatif -
Cells Negatif -
Kultur urine -
Radiologi
Foto torax ( hasil Elevasi ringan
pemeriksaan hemidiafragma
radiologi ) kanan

Diagnosis Dokter:

Masuk : Cardiomyopathy
Tambahan : Hipertensi, Jantung Koroner, Rheumatoid artritis

Komplikasi : CKD, hiperucemia


Current Medication

No. Nama obat Frekwensi rute waktu 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2
1. Ketosteril @ Asam 3 X oral P    
Ketoesensial Si   
So   
M   
2. Allopurinol 2 x 100 mg Oral P    
Si
So    
M
3. Noverten 1 x 5 mg Oral P
Lisinopril 0 – 0- 1 Si
So     
M

8
4. Amlodipine 5 mg 1 x 5 mg Oral P     
Si
So
M
5. Laxadin 3x1C Oral P   
Phenolphthalein, Paraffin Si  
Liquidium dan Glycerin So   
M
6. Novalgin Prn IV P
Metamizole Na Si
So
M  
7. Albuminar 25 % IV P
Albumin Si
So 
M

PHARMACEUTICAL CARE
PATIENT PROFILE

Nama pasien : Tn. AS tgl MRS : 28 Februari, sore hari

Usia : 67 tahun tgl KRS :-


Tinggi badan :-
Berat badan : 50 kg

Presenting complaint
Nyri kaki sejak 2 bulan yang lalu, badan panas, mual dan muntah

Relevant Past Medical History : NA

Diagnose kerja : Jantung Koroner, HT, CKD, Hiperuricmia, RA


Diagnose banding :-

Drug allergies : Tidak ada


Tanda – tanda vital :

9
Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2
Tekanan darah (05.00) mmHg 160/90 170/110 160/90 150/90 130/80
Nadi x/,menit 78 80 88 80 80
0
Temperature C 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5
CMCK + 200 +880 -200 +550 -200

Medication
No. Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
digunakan (literatur)
1. Amlodipine Jantung koroner 1 x 5 mg 1 x 5mg
2. Lisinopril Hipertensi 2 x 10 mg 1 x 5 mg
3. Kotosteril CKD 3x1 3 x1
4. Allopurinol hiperuricemia 2 x 100 mg 1 x 100 mg
5. Novalgin RA Prn Prn

No. FIR Alasan Jawaban


1. Apakah pasien masih merasakan Agar dapat memberikan terapi Masih
nyeri pada kaki dan nyeri dada? yang tepat
2. Obat apa saja yang masih Agar dapat memberikan terapi Sesuai pengobatan di
dikonsumsi pasien saat ini? pengobatan yang tepat RS dan pasien ada
minum obat lisinopril
2 x 10 mg
3. Apakah pasein mengalami susah Untuk mengetahui ada efek Tentukan dari obat
BAB (konstipasi) setelah samping dari obat yang yang diterima dan
mengkonsumsi obat – obat untuk dikonsumsi keluhan munculnya
PJK?
4. (jika ada), sudah berapa lama Untuk mengetahui jangka waktu Konstipasi sudah 3
pasien mengalami konstipasi? pasien mengalami konstipasi hari
5. Apakah pasien ada alergi dalam Untuk mengetahui pasien Tidak
mengkonsumsi obat tertentu? mengalami alergi setelah
mengkonsumsi obat – oabat
tertentu

Problem List (Actual Problem)


No. Medical Pharmaceutical

1. Konstipasi efek samping dari amlodipin Laxadin syr 3 x 1C


2. Hipertensi Lisinopril 1 x 5 mg
3. CKD Ketosteril 3 x 1
4. Hiperuricemia Allopurinol 2 x100 mg
5. RA Novalgin (prn)

10
PHARMACEUTICAL PROBLEM
Subjective (symptom)

a. Pasien mengalami mual dan muntah


b. Pasein mengalami nyri kaki sejak 2 bulan
Objective (Signs)

Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2


Tekanan darah (05.00) mmHg 160/90 170/110 160/90 150/90 130/80
Nadi x/,menit 78 80 88 80 80
0
Temperature C 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5
CMCK + 200 +880 -200 +550 -200

Laboratory and Diagnostic Test Result

Pemeriksaan Satuan Nilai normal 27/1 29/1 31/1


Hematologic
WBC X 109/L 7,5 ± 3,5 8,98
RBC X 1012/L 4,5 – 5,5 3,53
HgB 14,0 g% 15,5 ±2,5 10,1
PLT X 109/L 150 – 400 475
LED < 6; <10 Mm / jam 75 - 93
Diff EO % 1-2
Ba % 0 -1
Stab % 3–5 2
Seg % 54 – 66 85
Lym % 25 – 33 10
Mo % 3-7 3
Elektrolit
Na mmol/L 134 – 145 136
K mmol/L 3,6 – 5,0 3,5
Kimia Klinik
Albumin g/dl 3,5 – 5,0 3,2 3,6
Creatinine mg/dl 3,5 3,53
Uric acid mg/dl 3,4 – 7,0 9,9
Trigliserida mg/dl < 150 426
HDL mg/dl >60 23
LDL mg/dl <100 53
Gula Puasa mg/dl <100 133
G2PP mg/dl <120 199
Urine Lengkap
Kekeruhan Slightly

11
cloudly yellow
Ph 4,6 – 8,0 6.0
BJ 1,001 – 1,035 1,030
Protein Negatif +2
Glukosa Negatif -
Bilirubin Negatif -
Urobilin Negatif Normal
Nitrit Negatif -
Eritrosit Negatif +3
Leukosit Negatif +2
Ephitel Negatif +1
Cylinder Negatif 0–1
Bakteri Negatif -
Kristal 1 Negatif Amorph urat
+
Kristal 2 Negatif -
Cells Negatif -
Kultur urine -
Radiologi
Foto torax ( hasil Elevasi ringan
pemeriksaan hemidiafragma
radiologi ) kanan

Assessment
Pasien Tuan AS mengalami CKD Stage 5 dengan nilai GFR 14,36-14,48 ml/menit/1,73 m2
menurut pedoman PERKI (2013).

Problem medis Terapi DRP


Jantung Koroner Amlodipine 1x 5 mg P2.1 Efek samping obat
Evidence base :
Rentang dosis Amlodipine yaitu 2,5 mg sampai 10
mg, dengan durasi kerja 24 jam dan frekuensi
pemberian 1 kali sehari. Pada pasien usia lanjut dosis
yang dianjurkan pada awal terapi 2,5 mg, 1 kali
sehari. Bila Amlodipine diberikan dalam kombinasi

12
dengan antihipertensi lain, dosis awal yang
digunakan adalah 2,5 mg (Ramadhan et al., 2019).
Dalam beberapa sediaan farmasi umumnya
amlodipine tersedia dalam bentuk sediaan tablet dan
sering dikombinasikan dengan senyawa anti
hipertensi lainnya seperti golongan Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitory (ACEI) dan atau
dikombinasikan dengan senyawa antihiperlipidemia
seperti golongan statin.
Obat yang mendominasi pada urutan pertama adalah
golongan CCBs, menurut Drug-Induced Constipation
(Rebecca et al, 2009) bahwa faktanya CCBs
(Calcium Channel Blockers) menyebabkan
konstipasi dengan cara mengurangi motilitas usus
(kolon spesifik), yang pada akhimya meningkalkan
waktu transfer kolon, sehingga meningkatkan
absorpsi cairan dikarenakan meningkatnya waktu
kontak mukosa. Dapat dikatakan bahwa penggunaan
amlodipin dapat menyebabkan konstipasi. Laxadin
syr 3x sehari 1 sendok makan atau 15ml untuk
mempelancar buang air besar karena obat obatan
nya akan menyebabkan kostipasi sehingga pasien
stable angina dengan PJK tidak boleh mengejan
terlalu keras. Hal tersebut sesuai dengan
pharmaceutical care untuk PJK, dimana pada
medikamentosa disebutkan laktulosa (laksadin)
diberikan untuk pasien stable angina dengan PJK
(Depkes RI, 2006).

Hipertensi Lisinopril 2 x 10 mg C5.1 Waktu pemberian obat yang tidak tepat


C3.2 Dosis yang terlalu tinggi
Evidence Base:
Pemberian Lisinopril 5 mg diminum 1x sehari hasil
pengamatan dalam rekam medik bahwa tekanan
darah pasien cenderung normal yaitu 120/80 mmHg
dengan usia pasien 59 tahun sehingga pemberian
dosis Lisinoril 5 mg sudah sesuai. Pada penelitian ini
terapi pemberian Lisinopril 5 mg sebagian besar
dikombinasi dengan obat antihipertensi lainnya,
seperti Amlodipin 5 mg dan Bisoprolol 5 mg.
Lisinopril dengan dosis kecil untuk mencegah
terjadinya hipotensi dimana pada pasien tersebut

13
telah mendapat obat antihipertensi lain (Mc Evoy,
2008). Selain itu disebutkan pula bahwa Lisinopril
pada dosis 2,5-5 mg dapat diberikan untuk terapi
awal pengelolaan gagal jantung (BPOM RI, 2008
Dalam Utami et al., 2014). Berdasarkan penelitian 24
jam system renin angiotensin-aldosteron yang
merupakan target utama dari terapi antihipertensi
dengan lisinopril justru mengalami puncak aktivasi
pada malam hari (Hermida et al., 2011). Dengan
demikian apabila diminum menjelang tidur maka
diasumsikan waktu tercapainya kadar puncak dari
lisinopril dapat terjadi bersamaan dengan aktivitas
system renin angiotensin-aldosteron. Oleh karena itu
banyak apoteker yang menyarankan penggunaan
lisinopril pada malam hari, bukan pagi atau siang hari
seperti yang dulu diterapkan (Macchiarulo et al.,
1999 dalam Utami et al., 2014).
CKD Ketosteril 3 x sehari P3.2 Obat yang tidak perlu
C7.2 Pasien menggunakan obat yang tidak perlu

Evidence Based: Dosis ketosteril /Arah Penggunaan


Dws 70 kg 4-8 tab tidak diberikan jika GFR <25
mL/mnt.(MIMS, 2008). Pada penelitian oleh Tuloli
dkk (2019) dengan memberikan ketosteril pada
pasien yang seharusnya 4-8 tab sehari dengan 3 kali
sewaktu makan menurut standar, ditelan utuh namun
pada penelitian tersbut hanya diberikan 3 x 1.adanya
dosis rendah memungkinkan paien menjadi sulit
disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan,
dosis yang digunakan teralu rendah sehingga
menimbulkan respon dan konsentrasi obat dalam
serum pasien dibawah range terapeutik yang
diharapkan. Batasan dosis yang dianggap dosis
rendah yaitu dibawah 20% dari yang seharusnya
diberikan kepada pasien atau yang frekuensi
pemberiannya kurang berdasarkan dosis standar.
Karena pasien memiliki GFR dibawah 25 mL/mnt
tidak dianjurkan mengkonsumsi ketosetril tablet dan
diarahkan pada terapi non farmakologi.
Untuk pasien dengan CKD stadium 5, terapi
hemodialisis (HD) merupakan salah satu pilihan
utama yang sering digunakan. Pasien yang menjalani
hemodialisis membutuhkan waktu 12-15 jam setiap

14
minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali
terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus
sepanjang hidupnya (Mahesvara, Yasa and Subawa,
2020).
Hiperuricemia Allopurinol 2 x 100 mg C3.2 Dosis terlalu tinggi
Evidence Base:
Dosis awal alopurinol yang diberikan sebaiknya tidak
lebih dari 100 mg perhari dan dosis ini dikurangi
apabila didapatkan CKD, namun dosis pemeliharaan
dapat mencapai 300 mg perhari walaupun menderita
CKD. Direkomendasikan untuk meningkatkan dosis
pemeliharaan alopurinol tiap 2 sampai 5 minggu
untuk mendapatkan dosis yang efektif bagi penderita
artritis gout, untuk itu perlu dilakukan monitor kadar
asam urat tiap 2 sampai 5 minggu selama titrasi
allopurinol (Khanna et al, 2012).

RA Novalgin prn C1.1 obat yang tidak sesuai


Evidence Base:
Pemberian metamizole dengan dosis 0,5 – 4 g sehari
dalam 3-4 dosis. Metamizole tidak dapat dikalsifikasi
kan sebagai NSAID, sebab obat ini memeiliki efek
anti inflamasi yang lemah dibandingkan dengan obat
NSID (Jasiecka et al., 2014)

Assesment pada hasil laboratorium:


a. Kadar platelet dalam darah Tuan AS adalah 476, sehingga diperlukan terapi
antiplatelet aspirin atau clopidogrel (jika aspirin intoleran) pada pasien.
b. Kadar trigliserida yang tinggi yaitu 426 mg/dL, sehingga diperlukan terapi Lipid
Lowering Agent seperti golongan statin.

Plan (including primary care implication)

Problem Medis DRP Plan


Jantung Koroner P2.1 efek samping obat Terapi farmakologi :
Clopidogrel 75 mg 1x sehari 1 tablet
sesudah makan untuk pengencer darah
diminum pagi

15
Hipertensi C5.1 Waktu pemberian obat Terapi farmakologi :
yang tidak tepat Lisinopril 5 mg 1x sehari 1 tablet pada
C3.2 Dosis yang terlalu tinggi malam hari.

CKD P3.2 Obat yang tidak perlu Terapi dengan dialysis atau transplantasi
C7.2 Pasien menggunakan obat ginjal untuk CKD stage 5. Penderita CKD
yang tidak perlu bisa lepas dari cuci darah seumur hidup
pasca transplantasi. Namun, untuk
menghindari risiko penolakan organ
cangkok, pasien perlu mengkonsumsi obat
imunosupresif untuk jangka panjang.
Hiperuricemia C3.2 Dosis terlalu tinggi Terapi farmakologi:
Allupurinol 1x100 mg sesudah makan
untuk asam urat pagi hari, dan terapi non
faramakologi dengan menyarankan pasien
untuk mengurangi atau berhenti
mengkonsumsi kacang-kacangan terlebih
dahulu.

RA C.1.1 obat yang tidak sesuai Terapi farmakologi:


Paracetamol 650 mg prn (bila perlu)
diminum bila rasa sakit kambuh/kembali

Hiperkolesteromia - Terapi farmakologi :


Antihiperkolesterolemia:
pemberian atorvastatin 10 mg 1 x sehari 1
tablet setelah makan pada malam hari

Mual/muntah - Terapi farmakologi :


Antiemetik : Pemberian domperidon 10
mg 3 x 1 prn ( bila mual/muntah)

Monitoring
Efektifitas:

a. Lisinopril dimonitoring efektifitasnya dalam menurunkan tekanan darah apakah sudah


memberikan outcome yang diinginkan atau tidak.

16
b. Allopurinol tablet di monitoring efektifitasnya dalam menurunkan kadar asam urat,
dengan rujukan normal 3,4-7,0, dimana kadar asam urat pasien masih tergolong tinggi
yaitu 9,9.
c. Clopidogrel tablet dimonitoring efektifitasnya dalam mengencerkan darah sehingga
menghindari penyakit dengan faktor resiko kadar platelet yang tinggi.
Efek samping:
a. Efek samping dari lisinopril dipantau seperti batuk kering.
b. CPG memiliki efek samping seperti pendarahan ataupun nyeri perut, dapat
dipertimbangkan antiplatelet lain untuk menghindari resiko yang lebih parah.

V. PEMBAHASAN
1. Subyektif
Subjektif dalam metode SOAP merupakan data-data pasien meliputi etiologi
(penyebab utama penyakit) atau MOI (Mechanism Of Injury) alias mekanisme
cedera, chief complaint (keluhan utama), gejala penyakit, deskripsi keluhan, dan
riwayat pasien. Berdasarkan data kasus ini, disebutkan bahwa secara subjektif pasien
mengalami nyeri kaki sejak 2 bulan yang lalu, badan panas, mual dan muntah.
Pada kasus ini juga telah dilakukan penggalian informasi melalui FIR di mana
pasien mengalami konstipasi sejak 3 hari yang lalu. Dari informasi tersebut, maka
perlu dilakukan penentuan terapi obat untuk mengatasi tipe 2 sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan yang terukur atau objektif.
2. Objektif
Objektif adalah data-data yang dapat diukur dengan angka atau data tertentu
misalnya hasil pemeriksaan tinggi badan, berat badan, suhu, tekanan darah, gula
darah, respitory rate dan lain sebagainya. Dapat juga dikatakan sebagai data riwayat
pasien yang terdokumentasi pada catatan medik dan hasil berbagai uji dan evaluasi
klinik misalnya, tanda-tanda vital, hasil test lab, hasil uji fisik, hasil radiografi,
endoskopi, CT scan, ECG, dan lain-lain.
Pada kasus pasien diatas, telah dilakukan pemeriksaan yang meliputi
pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu dan CMCK. Dari pemeriksaan tersebut
diketahui bahwa tekanan darah pasien pada tanggal 28 Januari-1 Februari berturut-
turut yaitu 160/90 mmHg, 170/110 mmHg, 160/90 mmHg, 150/90 mmHg, dan
130/80 mmHg, nadi berturut-turut yaitu 78, 80, 88, 80, 80 menit, temperatur berturut-
turut 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5 derajat celcius dan CMCK berturut-turut yaitu +200,
+880,-200, +550, -200. Kemudian dilakukan penggalian infomasi kembali bahwa
pasien konstipasi sejak 3 hari yang lalu.
Pada umumnya, tekanan darah normal pada orang dewasa yaitu <120/80
mmHg (JNC VII, 2003). Pada orang dewasa, jumlah detak jantung saat istirahat yang
normal adalah antara 60-100x / menit. Namun idealnya 60-80 kali/menit
(Nawawiwetu and Lutfiya, 2020). Sedangkan untuk temperatur tubuh pada orang
normal berkisar 36,5 – 37,5 °C (PERKENI,2015). CMCK merupakan suatu
perhitungan untuk menghitung cairan yang masuk dan cairan yang keluar, dimana
cairan yang masuk dikurangi dengan cairan yang keluar harus seimbang (balance
cairan). Hasil CMCK pasien pada tanggal 30 Januari dan 1 Februari didapatkan nilai

17
CMCK kurang, artinya cairan yang masuk lebih banyak jumlahnya dibandingkan
cairan yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan pasien mengalami gagal ginjal, dimana
fungsi ginjal dalam proses filtrasi berkurang.
3. Assesment dan Plan
Assesment merupakan analisis dan interpretasi berdasarkan data yang
terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis
atau masalah potensial, serta perlu tidaknya dilakukan tindakan segera, sedangkan
plan adalah tindak lanjut dari assesment atau penilaian yang sudah dilakukan
sebelumnya, hal-hal yang dapat dilakukan terhadap pasien, meliputi treatment yang
diberikan, pemantauan (efektivitas terapi, efek samping obat) dan endpoint therapy
informasi pada pasien. Berdasarkan data-data yang menunjang kondisi klinis pasien,
ditemukan beberapa problem medis terkait Jantung coroner, Hipertensi, CKD
(chronic kidney disease), hiperuricemia, rheumatid arthritis, dan mual dan muntah.
a. Jantung koroner
 Assesment
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat otot
jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner. Pada
saat jantung harus bekerja lebih keras terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
asupan oksigen, hal inilah yang menyebabkan nyeri dada. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2013, secara klinis PJK ditandai dengan nyeri dada atau terasa
tidak nyaman di dada atau dada terasa tertekan berat ketika sedang mendaki, kerja
berat ataupun berjalan terburu-buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan
jauh. Pemeriksaan Angiografi dan Elektrokardiogram (EKG) digunakan untuk
memastikan terjadinya PJK. Hasil pemeriksaan EKG yang menunjukkan terjadinya
iskemik merupakan salah satu tanda terjadinya PJK secara klinis (Soeharto dalam
Haslindah, 2015).
Pada kasus diatas pasien mendapatkan terapai amlodipine untuk PJK.
Sehingga ditemukan DRP yaitu P2.1 efek samping obat, dimana setelah penggalian
informasi diketahui pasien mengalami efek samping obat dari penggunan amlodipine
yaitu konstipasi. Golongan obat CCBs (Calcium Channel Blockers) menyebabkan
konstipasi dengan cara mengurangi motilitas usus (kolon spesifik), yang pada
akhimya meningkalkan waktu transfer kolon, sehingga meningkatkan absorpsi cairan
dikarenakan meningkatnya waktu kontak mukosa. Dapat dikatakan bahwa
penggunaan amlodipin dapat menyebabkan konstipasi.
 Evidence base
Pasien PJK diberikan obat dengan rentang dosis Amlodipine yaitu 2,5 mg
sampai 10 mg, dengan durasi kerja 24 jam dan frekuensi pemberian 1 kali sehari.
Pada pasien usia lanjut dosis yang dianjurkan pada awal terapi 2,5 mg, 1 kali sehari.
Bila Amlodipine diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lain, dosis awal
yang digunakan adalah 2,5 mg (Ramadhan et al., 2019). Dalam beberapa sediaan
farmasi umumnya amlodipine tersedia dalam bentuk sediaan tablet dan sering
dikombinasikan dengan senyawa anti hipertensi lainnya seperti golongan Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitory (ACEI) dan atau dikombinasikan dengan senyawa
antihiperlipidemia seperti golongan statin. Obat yang mendominasi pada urutan
18
pertama adalah golongan CCBs, menurut Drug-Induced Constipation (Rebecca et al,
2009) bahwa faktanya CCBs (Calcium Channel Blockers) menyebabkan konstipasi
dengan cara mengurangi motilitas usus (kolon spesifik), yang pada akhimya
meningkalkan waktu transfer kolon, sehingga meningkatkan absorpsi cairan
dikarenakan meningkatnya waktu kontak mukosa. Dapat dikatakan bahwa
penggunaan amlodipin dapat menyebabkan konstipasi. Laxadin syr 3x sehari 1
sendok makan atau 15ml untuk mempelancar buang air besar karena obat
obatan nya akan menyebabkan kostipasi sehingga pasien stable angina dengan
PJK tidak boleh mengejan terlalu keras. Hal tersebut sesuai dengan
pharmaceutical care untuk PJK, dimana pada medikamentosa disebutkan
laktulosa (laksadin) diberikan untuk pasien stable angina dengan PJK (Depkes RI,
2006).
Salah satu obat yang wajib dikonsumsi bagi pasien dengan penyakit jantung
koroner adalah obat golongan anti platelet, seperti Aspirin, Clopidogrel dan
Ticagrelor. Studi besar seperti The Antiplatelet Trialists Collaboration (ATC trial)
menunjukkan bahwa penggunaan anti platelet jangka panjang dapat menurunkan
secara bermakna angka kejadian infark miokard akut. Pasien PJK dengan sindroma
koroner akut dengan ST elevasi atau tanpa ST elevasi wajib diberikan 2 macam anti
platelet sebagai tatalaksana awal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Inayah,
Manggau and Amran, 2019) menyatakan bahwa berdasarkan nilai PT, aPTT dan
Barthel Index pada penggunaan antiplatelet Clopidogrel tunggal dibanding dengan
penggunaan kombinasi Clopidogrel-Aspilet memberikan efektivitas yang sama,
namun efek samping penggunaan terapi antiplatelet kombinasi Clopidogrel-Aspilet
terhadap gastrointestinal lebih tinggi dari pada penggunaan Clopidogrel tunggal.
Clopidogrel 600 mg diberikan saat SKA di IGD kemudian Clopidogrel dosis tunggal
75 mg diberikan selama perawatan.
 Plan
Diberikan Clopidogrel 75 mg 1x sehari 1 tablet sesudah makan untuk pengencer darah
diminum pagi hari
 Monitoring
Efektivitas: Clopidogrel tablet dimonitoring efektifitasnya dalam mengencerkan
darah sehingga menghindari penyakit dengan faktor resiko kadar platelet yang tinggi.
Efek samping: CPG memiliki efek samping seperti pendarahan ataupun nyeri perut,
dapat dipertimbangkan antiplatelet lain untuk menghindari resiko yang lebih parah.

b. Hipertensi
Hipertensi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan abnormal
tekanan darah, baik tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik). Menurut
World Health Organizations batasan normal tekanan darah adalah 120/80 mmHg,
sedangkan seseorang dinyatakan mengidap hipertensi tekanan darahnya >140/90 mmHg.
Menurut JNC VII, pasien di atas dikategorikan ke dalam hypertension stage 2 yaitu
tekanan darah ≥ 160/140 mmHg (tekanan darah pada pasien yaitu 160/90 mmHg).
Pada kasus diatas, pasien diberikan lisinopril dengan dosis yang tinggi. Sehingga
ditemukan DRP C5.1 Waktu pemberian obat yang tidak tepat dan C3.2 Dosis yang terlalu
19
tinggi dimana pasien diberikan lisinopril 2 x 10 mg. Adapun target nilai tekanan darah
yang direkomendasikan menurut ESH 2013 adalah tekanan darah <140/90 untuk pasien
hipertensi dengan faktor resiko Cardiovascular disease rendah, dan <130/80 pada pasien
dengan resiko Cardiovaskular disease tinggi (diabetes, penyakit cerebrovaskular,
kardiovaskular, ginjal) (Fadhilah, 2020).
 Evidence Base
Penggunaan antihipertensi dapat dengan agen tunggal, kombinasi, ataupun
penggantian. Penggantian antihipertensi adalah penggunaan obat secara tunggal lalu
kombinasi dan sebaliknya, atau penggunaan kombinasi namun diganti dari golongan yang
berbeda. Penggunaan agen tunggal diberikan pada keadaan hipertensi yang ringan untuk
menghindari terjadinya hipotensi, sedangkan terapi kombinasi maupun penggantian
diberikan pada pasien dengan hipertensi berat yang sudah tidak dapat diatasi dengan agen
tunggal. Terapi kombinasi dan penggantian obat dapat menggunakan dua golongan
antihipertensi atau lebih tergantung keadaan pasien (Anis et al, 2020).
Pemakaian obat antihipertensi, di samping untuk menurunkan tekanan darah pada
pasien juga bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskuler, dan sangat penting
untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama ACE
inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor), seperti lisinopril, melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Obat golongan
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) bekerja menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga bekerja dengan menghambat aktivitas saraf
simpatis dengan menurunkan pelepasan noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin,
meningkatkan produksi substansi vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan
menurunkan retensi sodium dengan menghambat produksi aldosterone (Fadhilah, 2020).
Pemberian Lisinopril 5 mg diminum 1x sehari hasil pengamatan dalam rekam medik
bahwa tekanan darah pasien cenderung normal yaitu 120/80 mmHg dengan usia pasien 59
tahun sehingga pemberian dosis Lisinoril 5 mg sudah sesuai. Pada penelitian ini terapi
pemberian Lisinopril 5 mg sebagian besar dikombinasi dengan obat antihipertensi
lainnya, seperti Amlodipin 5 mg dan Bisoprolol 5 mg. Lisinopril dengan dosis kecil untuk
mencegah terjadinya hipotensi dimana pada pasien tersebut telah mendapat obat
antihipertensi lain (Mc Evoy, 2008). Selain itu disebutkan pula bahwa Lisinopril pada
dosis 10 2,5-5 mg dapat diberikan untuk terapi awal pengelolaan gagal jantung (BPOM
RI, 2008 Dalam Utami, 2014).
 Plan
Diberikan antihipertensi lisinopril 5 mg sekali sehari 1 tablet pada malam hari setelah
makan dengan interval waktu yang sama setiap harinya.
Terapi non farmakologi :
Tidak merokok, berolahraga dan mengatur pola makan.
 Monitoring
Effectivitas: Lisinopril dimonitoring efektifitasnya dalam menurunkan tekanan darah
apakah sudah memberikan outcome yang diinginkan atau tidak dengan melihat penurunan
tekanan darah dengan target <130/80 karena pada pasien dengan resiko Cardiovascular

20
disease tinggi (diabetes, penyakit cerebrovaskular, kardiovaskular, ginjal) (Yulanda and
Lisiswanti, 2017).
Efek samping: Efek samping dari lisinopril dipantau seperti batuk kering.

c. Chronic kidney disease (CKD)


 Assesment
Chronic kidney diseases adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari
3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²
(Fadhilah, 2020). Berdarkan data lab pasien memiliki kadar kreatinin pada tanggal 27
Januari dan 1 Februari berturut-turut 3,5 dan 3,53 dan didapatkan hasil nilai GFR
adalah 14,48 ml/min/1.73 m2 dan 14,36 ml/min/1.73m2, berdasarkan nilai GFR
maka pasien CKD stage 5. Menurut Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(KDOQI) guidelines tindakan yang harus dilakukan adalah terapi pengganti dengan
dialysis atau transplantasi ginjal.
Berdasarkan kasus di atas ditemukan DRP P3.2 Obat yang tidak perlu C7.2
Pasien menggunakan obat yang tidak perlu. Dosis ketosteril /Arah Penggunaan
Dewasa 70 kg 4-8 tab tidak diberikan jika GFR <25 mL/mnt (MIMS, 2008).
 Evidence Base
Penyakit CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan masalah kesehatan
masyarakat global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat,
prognosis yang buruk dan biaya terapi yang tinggi. Stadium CKD di bagi menjadi 5,
berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang masih dapat dihasilkan ginjal, dimana
hal ini mencerminkan fungsi ginjal. Penggunaan obat ketosteril dengan dosis
ketosteril /Arah Penggunaan Dewasa 70 kg 4-8 tab tidak diberikan jika GFR <25
mL/menit (MIMS, 2008). Pada penelitian oleh Tuloli dkk (2019) dengan memberikan
ketosteril pada pasien yang seharusnya 4-8 tab sehari dengan 3 kali sewaktu makan
menurut standar, ditelan utuh namun pada penelitian tersbut hanya diberikan 3 x 1.
adanya dosis rendah memungkinkan pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi
obat yang digunakan, dosis yang digunakan teralu rendah sehingga menimbulkan
respon dan konsentrasi obat dalam serum pasien dibawah range terapeutik yang
diharapkan. Batasan dosis yang dianggap dosis rendah yaitu dibawah 20% dari yang
seharusnya diberikan kepada pasien atau yang frekuensi pemberiannya kurang
berdasarkan dosis standar. Karena pasien memiliki GFR dibawah 25 mL/mnt tidak
dianjurkan mengkonsumsi ketosetril tablet dan diarahkan pada terapi non
farmakologi. Untuk pasien dengan CKD stadium 5, terapi hemodialisis (HD)
merupakan salah satu pilihan utama yang sering digunakan. Pasien yang menjalani
hemodialisis membutuhkan waktu 12-15 jam setiap minggunya, atau paling sedikit 3-
4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang
hidupnya (Mahesvara, Yasa and Subawa, 2020).

21
 Plan
Terapi dengan dialysis atau transplantasi ginjal untuk CKD stage 5. Penderita CKD
bisa lepas dari cuci darah seumur hidup pasca transplantasi. Namun, untuk
menghindari risiko penolakan organ cangkok, pasien perlu mengkonsumsi obat
imunosupresif untuk jangka panjang.
Terapi non farmakalogi:
Mengatur konsumsi cairan, diet rendah garam
 Monitoring :
Efektifitas: dilihat penurunan kadar cretatinin dengan rentang normal 0,6-1,2 mg/dl
untuk pasien laki-laki.
Efek samping: Menggigil. Salah satu gejala yang dialami pasien gagal ginjal yang
menjalani dialysis adalah rasa menggigil. Bahkan, terkadang efek samping ini juga
dapat disertai dengan demam yang disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh(Tuloli et
al., 2019).

d. Hiperuricemia
 Assesment
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat
serum di atas normal. Pada sebagian besar penelitian epidemiologi, disebut sebagai
hiperurisemia jika kadar asam urat serum orang dewasa lebih dari 7,0 mg/dl dan lebih
dari 6,0 mg/dl pada perempuan. Konsentrasi asam urat darah melebihi konsentrasi
kritis ini berhubungan dengan kemunculan gout arthritis dan pembentukan batu ginjal.
Hiperurisemia ataupun kadar asam urat normal-tinggi juga diketahui terkait dengan
sejumlah marker sindrom metabolik (antara lain obesitas, dislipidemia, intoleransi
glukosa, dan tekanan darah tinggi), hal mana menjadi faktor risiko dalam
perkembangan penyakit kardiovaskular dan gangguan ginjal. Hiperurisemia dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan, genetik, dan antropometrik-metabolik. Makanan
kaya purin, fruktosa, dan minuman beralkohol merupakan faktor konsumsi yang
meningkatkan kadar asam urat darah. Dari segi genetik, gen-gen yang terlibat pada
jalur biosintesis namun terutama gen-gen yang berkaitan dengan sekresi asam urat di
ginjal dan saluran gastrointestinal, serta gen-gen yang bertanggung-jawab dalam
reabsorpsi asam urat di ginjal yang menentukan keadaan hiperurisemik. Dari segi
antropometrik, umur, jenis kelamin, dan adipositas mempengaruhi kadar asam urat
(Fiktor, 2018). Hiperurisemia di sebabkan oleh dua faktor utama yaitu meningkatnya
produksi asam urat dalam tubuh, hal ini di sebabkan karena sintesis atau pembentukan
asam urat yang berlebihan (Nur, 2015).
Berdasarkan kasus di atas ditemukan DRP C3.2 Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang onsetnya <12 jam adalah kolkisin
dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudian 0.5 mg. Obat penurun asam urat
seperti allupurinol tidak disarankan memulai terapinya pada saat serangan gout akut
namun, pada pasien yang sudah dalam terapi rutin obat penurun asam urat, terapi
tetap dilanjutkan. Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar

22
asam urat, diberikan mulai dosis 100 mg/hari (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2018).
 Evidence base
Pasien gout fase interkritikal dan gout kronis memerlukan terapi penurun
kadar asam urat dan terapi profilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi penurun
kadar asam urat dibagi dua kelompok, yaitu kelompok inhibitor xantin oksidase
(allopurinol dan febuxostat) dan kelompok urikosurik (probenecid). Alopurinol adalah
obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam urat, diberikan mulai dosis 100
mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimal 900 mg/hari jika
fungsi ginjal baik (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2018). Pada pasien
hiperurisemia diberikan obat dengan rentang dosis allopurinol yaitu 2 x 100 mg
perhari. Dosis awal alopurinol yang diberikan sebaiknya tidak lebih dari 100 mg
perhari dan dosis ini dikurangi apabila didapatkan CKD, namun dosis pemeliharaan
dapat mencapai 300 mg perhari walaupun menderita CKD. Direkomendasikan untuk
meningkatkan dosis pemeliharaan alopurinol tiap 2 sampai 5 minggu untuk
mendapatkan dosis yang efektif bagi penderita artritis gout, untuk itu perlu dilakukan
monitor kadar asam urat tiap 2 sampai 5 minggu selama titrasi alopurinol (Khanna et
al, 2012).
 Plan
Diberikan allupurinol 1x100 mg pada pagi hari sesudah makan
Terapi non farmakologi:
Mengatur pola makan dan mengurangi makanan atau minuman yang
mengandung kadar gula tinggi dan yang mengandung alkohol, berolahraga secara
teratur pola hidup sehat, mengurangi makanan berkalori tinggi, menyarankan pasien
untuk mengurangi atau berhenti mengkonsumsi kacang-kacangan terlebih dahulu
serta dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak.

 Monitoring
Efektifitas: dilihat penurunan Kadar asam urat ditentukan pada pemeriksaan darah
vena setelah puasa 10- 12 jam dan diklasifikasikan dengan nilai normal pada laki-laki
2-7 mg/dL dan pada perempuan 2-6,5 mg/dL (Pibi, 2016).
Efek samping:
Penggunaan allopurinol dapat menimbulkan efek samping mual, muntah, dan
diare dapat juga terjadi neuritis perifer, depresi unsur sumsum tulang belakang dan
anemia aplastika. Dilaporkan juga terjadi toksisitas hati dan nefritis intestinal (Anjar,
2014).

e. Rheumatid Arthritis
 Assesment
Penyakit rheumatoid arthritis (RA) merupakan salah satu penyakit autoimun
berupa inflamasi arthritis pada pasien dewasa. Rasa nyeri pada penderita RA pada
bagian sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa akan mengalami penebalan akibat
radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi hingga dapat

23
menyebabkan kecacatan. Patofisiologi Rheumatoid arthritis (RA) akibat reaksi
autoimun dalam jaringan sinovial yang melibatkan proses fagositosis. Dalam
prosesnya, dihasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut selanjutnya
akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya terjadi pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang
akan mengganggu gerak sendi. Tujuan dari pengobatan rheumatoid arthritis tidak
hanya mengontrol gejala penyakit, tetapi juga penekanan aktivitas penyakit untuk
mencegah kerusakan permanen. Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan
untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, serta meringankan kekakuan dan
mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
meringankan gejala tetapi juga memperlambat kemajuan penyakit (Lutfi, 2016).
Berdasarkan kasus di atas ditemukan DRP C1.1 obat yang tidak sesuai. Tujuan
terapi RA adalah mengurangi nyeri dan pembengkakan pada sendi, menghilangkan
kekakuan sendi, dan mencegah pengrusakan sendi lebih lanjut. Dalam kasus diberikan
Novalgin dimana memiliki kandungan Metamizole. Metamizol tidak dapat
diklasifikasi kan sebagai NSAID, sebab obat ini memiliki efek anti inflamasi yang
lemah dibandingkan dengan obat NSAID (Jasiecka et al., 2014).

 Evidence base
Analgesik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Obat ini
digunakan untuk membantu meredakan sakit. Obat-obat golongan analgetik dibagi
dalam beberapa kelompok yaitu: parasetamol, salisilat, (asetasol, salisilamida, dan
benorilat) (Sandi, Wardoyo and Zakiah Oktarlina, 2019). pilihan nyeri ringan
pada pasien CKD yaitu parasetamol dengan atau tanpa adjuvant therapy, nyeri
ringan sampai sedang yaitu parasetamol + analgesik opioid dosis rendah dengan atau
tanpa adjuvant therapy, nyeri sedang sampai berat dengan parasetamol + analgesik
opioid pilihan dengan atau tanpa adjuvant therapy (Renal Palliative Care Guideline,
2013). Penggunaan paracetamol digunakan selain untuk menghilangkan nyeri karena
RA juga sebagai antipiretik terhadap efek samping dari Hemodialisis seperti
menggigil dan demam.
 Plan
Diberikan paracetamol 650 mg prn (bila perlu) diminum bila rasa sakit
kambuh atau kembali
Terapi non farmakologi
Mengatur pola makan dan mengurangi makanan atau minuman yang
mengandung kadar gula tinggi dan yang mengandung alkohol, berolahraga secara
teratur, pola hidup sehat, mengurangi makanan berkalori tinggi, edukasi dan
latihan/program rehabilitasi. Edukasi yang dimaksud mencakup 2 poin penting yaitu
penjelasan mengenai penyakit yang diderita dan juga penjelasan mengenai diet dan
terapi komplementer.

24
 Monitoring
Efek samping obat: Trombositopenia, leukopenia, neutropenia, pansitopenia,
methaemoglobinaemia, agranulositosis, angioedema, nyeri dan sensasi terbakar di
tempat suntikan. Jarang, hipotensi dan takikardia.
f. Mual muntah
 Assesment
Mual dan muntah merupakan gejala yang sering terjadi pada berbagai kejadian
seperti ibu hamil (70-80%), 30% pasien pembedahan, kemoterapi, dan mabuk
perjalanan. Mual dan muntah menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
pernafasan, pucat dan penurunan nafsu makan hingga malnutrisi. Penanganan mual
dan muntah sering menggunakan obat antiemetic (Leny et al., 2018).
Berdasarkan kasus di atas ditemukan DRP P1.3 Gejala yang tidak diobati.
Berdasarkan jurnal penelitian Ardavy (2016), pengobatan yang tepat untuk gejala
mual dan muntah pada pasien CKD yaitu metoklopramid (jangka pendek) atau
domperidon.
 Evidence base:
Pada pasien yang mengalami mual muntah tidak diberikan obat. Penanganan
mual dan muntah sering menggunakan obat antiemetik. Pengobatan yang tepat untuk
gejala mual dan muntah pada pasien CKD yaitu domperidone, diberikaan saat mual
dan muntah (Winalda, 2016).
 Plan
Diberikan obat domperidon 10 mg 3 x 1 prn (bila mual/muntah)
Terapi non farmakologi
Pengobatan komplementer adalah pengobatan non konvensional yang
ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur
dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang sesuai dengan ilmu biomedik. Terapi
komplementer yang dapat mengurangi mual muntah adalah massage, aromaterapi,
mengatur pola hidup sehat.
 Monitoring
Efek samping obat:
Peningkatan kadar prolaktin, reaksi hipersensitivitas (misalnya anafilaksis,
angioedema). Jarang, efek samping neurologis atau ekstrapiramidal (pada anak-anak).

VI. KESIMPULAN
Praktikum Farmakoterapi terkait stable angina dapat dismpulkan sebagai berikut;
1. Stable angina merupakan sindrom klinis yang menimbulkan rasa tidak nyaman
pada dada, punggung, rahang bawah ketika melakukan aktivitas fisik akibat arteri
menyempit sehungga darah yang kaya akan oksigen tidak mencapai otot jantung,
dan dapat membaik dengan istirahat ataupun dengan pemberian nitrogliserin.
2. Pada kasus yang diselesaikan dengan kasus SOAP disimpulkan yaitu
a. Subjektif: Pasien mengeluhkan nyeri kaki sejak 2 bulan lalu, mual, dan
muntah.

25
b. Objektif: Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan nilai tekanan darah yang
meningkat pada hari pertama masuk rumah sakit dan mencapai goal
therapy pada tanggal 1 februari, sedangkan pada tes lab dilihat terdapat
beberapa parameter yang mengalami perubahan fisik peningkatan maupun
penurunan yang mempengaruhi kondisi pasien.
c. Assesment: ada beberapa terapi yang perlu ditambahkan yaitu antiplatelet
dan antihiperkolesterolemia..
d. Plan: Antiplatelet yang diberikan yaitu CPG 75 mg 1x sehari 1 tablet
sesudah makan untuk pengencer darah diminum pagi, Lisinopril 5 mg 1x
sehari 1 tablet pada malam hari, Terapi dengan dialysis atau transplantasi
ginjal untuk CKD stage 5 (GFR <15 mL/min/1,73 m2), Allupurinol 1x100
mg sesudah makan untuk asam urat pagi hari dan menyarankan pasien
mengurangi makan kacang-kacangan, pemberian atorvastatin 10 mg 1 x
sehari 1 tablet setelah makan pada malam hari dan pemberian domperidon
10 mg 3 x 1 prn ( bila mual/muntah).
3. Dimonitoring tekanan darah pasien, kadar asam urat dan darah lengkap.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ardavy, G. (2016) „Evaluasi Ketepatan Terapi Obat pada Pasien Gagal Ginjal di Instalasi
Rawat Inap RS “X” Tahun 2014‟, p. 19.

Depkes RI, 2006. Pharmaeutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Dirjen Bina Kefarmasian
Alat Kesehatan. Jakarta.
ESC (2013). 2013 ESH/ESC Guidelines for the management of arterial hypertension: The
Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society of
Hypertension (ESH) and the European Society of Cardiology (ESC). Journal of
Hypertension, 31, 1281-1357.
Fadhilah, A. Z. (2020) „Chronic Kidney Disease, Stage 1‟, J Agromed Unila, 1(2), pp. 109–
113. doi: 10.32388/yzopkc.

Fandi Wahyu Widyanto. 2014. Artritis Gout dan Perkembangannya. Vol. 10. 2. Hal. 145-152

Fiktor I. Boleu., Jubhar C. Mangimbulude dan Ferry F. Karwur. 2018. Hyperurisemia Dan
Hubungan Antara Asam Urat Darah Dengan Gula Darah Sewaktu Dan Imt Pada
Komunitas Etnik Asli Di Halmahera Utara. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol. 9
(2). Hal: 96-106

Haslindah. (2015). Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Wanita di
Wilayah Pesisir Kabubaten Pangkep. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin. Skripsi dipublikasikan.
Inayah, N., Manggau, M. A. and Amran, Y. (2019) „Analisis Efektivitas Dan Efek Samping
Penggunaan Clopidogrel Tunggal Dan Kombinasi Clopidogrel- Aspilet Pada Pasien
Stroke Iskemik Di Rsup Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar‟, Majalah Farmasi dan
Farmakologi, 22(3), pp. 81–84. doi: 10.20956/mff.v22i3.5811.
JNC (Joint National Committee), 7th. (2003). The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. Amerika: National High Blood Pressure Education Program.

Loderlil M, Patricia S2, and Pascal D. Importance of nutrition in chronic heart failure
patients. Journal of Nursing. European Heart Journal (2006) 26, 2215–2217.
Laboratoire Nutrition, Vieillissement et Maladies Cardiovasculaires (NVMCV),
Universite´ Joseph Fourier de Grenoble, Grenoble, France and Department of
Cardiology, University Hospital, Grenoble, France.

Modul Praktikum Farmakoterapi I (penyakit kardiovaskular, renal dan hematologi), Program


Studi S1 Farmasi Klinis Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali. 2021.
Mahesvara, I. B. G. A., Yasa, W. P. S. and Subawa, A. N. (2020) „Prevalensi Penyakit Ginjal
Kronik Stadium 5 Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsud Badung Periode Tahun
2017-2018‟, Jurnal Medika Udayana, 9(7), pp. 1–7.

27
Nawawiwetu, E. D. and Lutfiya, I. (2020) „Factors Associated With the Ability To Perform
Physical Fitness Tests With Qcst‟, Journal of Vocational Health Studies, 3(3), p. 97.
doi: 10.20473/jvhs.v3.i3.2020.97-102.

PCNE, 2010, Classification for Drug Related Problems, Pharmaceutical Care Network
European Foundation Zuidlaren.
Perkeni. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. PB. Jakarta: Perkeni.

PERKENI. 2015. Pengenalan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2018) Rekomendasi Pedoman Diagnosis dan
Pengelolaan Gout.

Report, T. S. (2003). JNC 7 Express Prevention , Detection , Evaluation , and Treatment of


Hipertension‟.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018/Hasil
%20Riskesdas%202018.pdf

Sandi, Wardoyo, A. V. and Zakiah Oktarlina, R. (2019) „LITERATURE REVIEW Tingkat


Pengetahuan Masyarakat Terhadap Obat Analgesik Pada Swamedikasi Untuk
Mengatasi Nyeri Akut‟, Association Between the Level of Public Knowledge
Regarding Analgesic Drugs And Self-Medication in Acute Pain, 10(2), pp. 156–160.
doi: 10.35816/jiskh.v10i2.138.

Tuloli, T. S. et al. (2019) „Evaluasi penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis di Rsud Toto Kabila periode 2017-2018‟, Parapemikir: Jurnal
Ilmiah Farmasi, 8(2), pp. 25–32.

Totok Turdiyanto. 2013. Tri Rahayu Ningsih., editors. Farmakologi untuk SMK Farmasi.
Jakarta: EGC, 2013.
Yulanda, G. and Lisiswanti, R. (2017) „Penatalaksanaan Hipertensi Primer‟, Jurnal Majority,
6(1), pp. 25–33.

28

Anda mungkin juga menyukai