A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit stable angina.
2. Mengatahui patofisiologi penyakit stable angina.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit stable angina (Farmakologi & Non-
Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit stable angina secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.
B. DASAR TEORI
1. Definisi dan Gejala
Angina pectoris adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
munculnya rasa tidak nyaman pada dada, rahang, punggung, atau dada. Biasanya
angina dipicu oleh aktifitas fisik yang berat dan membaik dengan pemberian
nitrogliserin.1 Ciri- ciri angina stabil dijelaskan dalam tabel 1.1.
Tabel 1.1 Ciri-Ciri Angina Stabil
2
KATEGORI CIRI
Rasa tidak nyaman seperti ditekan, diremas, ditusuk,
Tipe
terbakar, tercekik.
Lokasi Dada, di bawah sternum (tulang dada), rahang bawah, gigi,
punggung belakang, dan pergelangan tangan.
Singkat, kurang dari 10 menit, kurang dari beberapa menit,
Durasi
hilang dengan beristirahat dan/atau nitrogliserin, nitrat
buccal/SL.
Saat beraktivitas spesifik, aktivitas yang membutuhkan
Onset terjadinya
banyak energi
Miokardial iskhemia : otot jantung kekurangan oksigen,
Berdasarkan jenis terapinya, terapi angina stabil dibagi menjadi dia yaitu:
1. Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi angina stabil antara lain :
a. Hentikan merokok. Merokok merupakan faktor resiko yang sangat
meningkatkan gejala dan prognosis. Berhenti merokok akan sangat
memperbaiki gejala dan mencegah perburukan angina. Dapat
dilakukan melalui nicotine replacement therapy (NRT).2
b. Diet dan pembatasan konsumsi alkohol
Apabila dilakukan dengan benar, diet dapat mencegah kejadian angina
secara efektif pada pasien dengan carotid arthery disease(CAD).
Tingkatkan konsumsi buah, sayuran, sereal, produk gandum, berbagai
produk susu skim, ikan, dan daging tanpa lemak. Intensitas perubahan
tujuan atau target diet ditentukan oleh kadar LDL-C, kolerterol total
dan abnormalitas lipid lainnya. Pasien yang kelebihan berat badan
harus menjalani diet untuk penurunan berat badan. Pengurangan
konsumsi alkohol mungkin bermanfaat, namun konsumsi berlebihan
sangat berbahaya, terutama pada pasien dengan hipertensi atau gagal
jantung.2
c. Asam lemak Omega-3
Minyak ikan kaya akan asam lemak Omega-3 yang berguna dalam
pengurangan hipertrigliseridemia. Intervensi diet untuk mencapai
konsumsi ikan setidaknya sekali seminggu sangat disarankan.2
d. Aktivitas fisik
Pasien disarankan melakukan aktivitas fisik secukupnya, karena dapat
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas fisik, mengurangi gejala,
dan memiliki efek menguntungkan pada berat badan, kadar lipid dalam
darah, tekanan darah, toleransi glukosa, dan sensitivitas insulin. Saran
untuk latihan harus mempertimbangkan kebugaran individu secara
keseluruhan dan tingkat keparahan gejala.
e. Faktor psikologi
Faktor psikologi berpengaruh sebagai pemicu serangan angina.
Diagnosis angina seringkali menimbulkan kecemasan yang berlebihan.
Beberapa metode relaksasi dan metode lain untuk mengontrol stress
dapat menguntungkan pasien.
2. Terapi farmakologi
a. Obat antiplatelet: mulai dengan aspirin (75-162 mg/hari) kecuali kontraindikasi.
Clopidogrel (75 mg/hari) sebagai pengganti asipirin bila ada kontraindikasi
mutlak pada asipirin.
Pasca Non-ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) akut, clopidogrel 75
mg/hari harus diberikan selama 1 tahun.
Pasca CABG, asipirin (162–325 mg/hari) harus diberikan selama 1 tahun,
dan selanjutnya asipirin (75-162 mg/ hari) diteruskan untuk selamanya.
Bagi pasien yang dilakukan PCI dan mendapat Drug Eluting Stent
(DES), clopidogrel (75mg/hari) harus diberikan untuk sekurang-
kurangnya 12 bulan kecuali bila pasien berisiko tinggi mengalami
pendarahan .
Untuk pasien yang mendapat Bare Metal Stent (BMS), clopidrogel harus
diberikan minimal 1 bulan dan idealnya sampai 12 bulan.
b. Obat Beta-blockers dimulai dan dilanjutkan untuk selamanya pada penderita
pasca infark miokard, sindroma koroner akut, atau penderita dengan disfungsi
ventrikel kiri, kecuali ada kontraindikasi. Kontraindikasi pada: bradikardia berat,
blok-AV derajat dua atau derajat tinggi, sindrom sick sinus dan asma berat. Beta
Blocker berefek menurunkan kebutuhan oksigen dengan penurunan frekuensi,
tekanan dan kontraktilitas jantung.
c. Nitrogliserin semprot/sunlingual untuk mengontrol angina.
Nitrat- nitroglycerin sublingual atau spray dipakai untuk mengatasi angina
dengan cepat, dapat diberikan sebelum latihan fisik untuk mencegah angina.
Nitrat khasiat jangka panjangn diberikan bila pengobatan dengan beta blocker
saja tidak dapat mengatasi angina atau menjadi kontraindikasi.
d. Antagosis kalsium (CCBs) atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya untuk
tambahan beta blocker apabila ada kontraindikasi beta blocker atau efek samping
tak dpat ditolerir atau gagal. Antagonis kalsium berefek dilatasi arteria di
epikardial dan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Namun demikian,
antagonis kalsium golongan dihidropiridin dengan aksi cepat dapat menaikkan
risiko serangan jantung, oleh karena itu dianjurkan untuk pemakaian slow-
release.
e. Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada pasien-pasien dengan LDL>
130 mg/dL (target <100 mg/dL), Contoh : Simvastatin.
f. Tindakan invasive termasuk pembedahan mungkin perlu dilakukan kalau
tindakan dengan terapi obat tidak berhasil menghilangkan keluhan angina atau
kalau gambaran klinis penderita menunjukkan suatu penyakit jantung coroner
yang berat. Untuk itu diperlukan angiografi coroner untuk menentukan lebih dulu
lokasi stenosis dan melihhat berapa pembuluh darah yang terkena, guna
menentukan tindakan apa yang plaing tepat pada penderita tersebut.
g. Revaskularisasi Koroner, intervensi koroner perkutan (PCI), juga dikenal sebagai
angioplasty,melibatkan penyisipan perkutan kateter balonke dalam arteri
femoralis ( Pemasangan stenting untuk mempertahankan diameter lumen) dengan
cara yang sama untuk angiografi. Tujuan tindakan ini adalah memperbaiki aliran
darah pada arteri yang terkena dan bukan menghambat jalan yang baru. Tindakan
ini bisa dijalankan dengan cepat dan bahkan bisa menggantikan tindakan bypass
(CABG). PCI dengan “stenting” sangat efektif untuk mengurangi keluhan angina
stabil yang kronis, akan tetapi tidak terbukti menurunkan angka kematian.
Gambar 3. Percutaneous Coronary Intervension / PCI (Koda Kimble, hal.
400)
stent pembuluh darah .:
A. posisi kateter balon stent di lokasi stenosis arteri.
B. Inflasi balon melebarkanarteri dan memperluas stent.
C. Balon collapsed (mengempis) dan ditarik, meninggalkan stent dalam
posisi.
(Ilustrasi oleh Neil O. Hardy, Westpoint, CT.)
5. Farmakologi Obat
Tujuan pengobatan dari angina stabil adalah dapat meningkatkan kualitas hidup
dengan mengurangi keparahan dan / atau frekuensi gejala, dan untuk meningkatkan
prognosis pasien.Umumnya pasien dengan angina pektoris dapat hidup bertahun-tahun
dengan hanya sedikit pembatasan dalam kegiatan sehari-hari. Mortalitas bervariasi dari
2% - 8% setahun. Apalagi dengan angina pectoris stabil dimana hanya dengan beristirahat
sudah dapat sembuh dan angka kematianpun akan sangat kecil kemungkinannya. Faktor
yang mempengaruhi prognosis adalah beratnya kelainan pembuluh koroner. Pasien
dengan penyempitan di pangkal pembuluh koroner kiri mempunyai mortalitas 50% dalam
lima tahun. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan penyempitan hanya
pada salah satu pembuluh darah lainnya. Juga faal ventrikel kiri yang buruk akan
memperburuk prognosis. Dengan pengobatan yang maksimal dan dengan bertambah
majunya tindakan intervensi dibidangkardiologi dan bedah pintas koroner, harapan hidup
pasien angina pektoris menjadi jauh lebih baik.Selain itu, pengobatan bertujuan untuk
pengurangan miokard iskemia juga sebagai pencegahan utama komplikasi miokard
iskemia dan kematian. Pengobatan angina stabil dapat dicapai melalui dua cara yaitu
melalui bedah revaskularisasi, manajemen medis, atau keduanya. Terlepas dari strategi
pengobatan yang dipilih untuk meringankan gejala iskemik, terapi yang mencegah
kematian (agen vasculoprotective) harus mendapat prioritas sebagai pilihan pengobatan
utama.
1. Terapi Antiplatelet
2. Anti-iskemik Farmakoterapi
a. β-BLOCKERS
b. NITRAT
Nitrat yang tersedia di sejumlah formulasi yang berbeda dan pilihan yang
tersedia tercantum pada Tabel 17-4. Kebaikan dari semua pilihan formulasi
nitrat yaitu efektif untuk mencegah atau menghilangkan gejala iskemik jika
digunakan secara tepat, termasuk penggunaan interval bebas nitrat. Nitrat
dapat meningkatkan pasokan oksigen miokard melalui vasodilatasi arteri
koroner, serta mengurangi permintaan oksigen miokard melalui pengurangan
preload. Nitrat menghasilkan vasodilatasi melalui biotransformasi dan
pelepasan NO. Long-acting nitrat efektif untuk pencegahan gejala angina.
Sublingual NTG adalah agen penting untuk mengobati dan meringankan
serangan angina akut. Efek samping umum dari terapi nitrat termasuk
hipotensi, pusing, dan sakit kepala. Sakit kepala akan hilang dengan
melanjutkan terapi dan diobati dengan acetaminophen. Pemberian bersamaan
dengan jenis phosphodiesterase tipe5 inhibitor (dalam waktu 24 jam untuk
sildenafil dan vardenafil, 48 jam untuk taladafil) merupakan kontraindikasi
karena risiko hypotension mengancam jiwa.
Koda Kimble, hal. 386
Efek samping pada terapi CCBs tergantung pada golongan terapi yang
digunakan. Penggunaan non-DHP CCBs dapat mengakibatkan bradikardia,
hipotensi,dan blok atrium-ventrikel. Pasien yang menerima DHP
CCBsmungkin mengalami refleks takikardia, edema perifer, sakit kepala dan
hipotensi.
d. RANOLAZINE
e. REVASKULARISASI MIOKARD
Revaskularisasi miokardium, baik melalui CABG atau PCI,adalah andalan
dalam pengobatan pasien dengan CAD. Tujuanrevaskularisasi tidak berbeda
dari tujuan keseluruhan dalam mengobatipasien dengan angina stabil kronis,
yaitu, untuk meredakan gejala,meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah
komplikasi dari CAD sepertiMI dan kematian. Secara historis, banyak fokus
dikhususkanuntuk membandingkan CABG, PCI, dan manajemen medis
terhadap khasiat relatif dalam mengurangi gejala dan meningkatkan
prognosis.
Dalam populasi luas dari pasien dengan CAD, revaskularisasidengan CABG
atau PCI ditemukan sebagai manajemen medis yang unggul sebagai
monoterapiuntuk menghilangkan gejala pada 1 tahun. CABG cenderung kuat
untuk memberikan bantuan jangka panjang dari gejala, serta
menyediakankebutuhan yang lebih rendah untuk terapi revaskularisasi
berulang dibandingkan denganPCI. Ketika mempertimbangkan sub
kelompok pasien dengan keparahan penyakit yang lebih atau yang telah
mengalami disfungsi ventrikel kiri (LV), dibutuhkan strategi pengobatan
yang berbeda. Pada pasien dengan gangguan double-vessel atau triple-vessel,
penyakit yang signifikan dari arteri utama kiri, atau disfungsi ventrikel kiri,
terapi CABG telah dibuktikan dapat memberikan penurunan tingkat
mortalitas selama 5 tahun dibandingkan dengan PCIatau hanya dengan terapi
medis saja.
Meskipun ketersediaan data mengenai efek relatif dariPCI, CABG, dan
manajemen medis pada morbiditas dan mortalitas,telah terjadi peningkatan
dramatis dalam penggunaan PCI pada beberapa tahun belakangan. Bahkan,
kontroversi revaskularisasiterapi konvensional ; baik itu PCI atau CABG,
dibandingkan perawatan medistelah mengurangi secara signifikan dan
membuktikankeefektifan pengobatan pasien dengan CAD dengan
menggabungkan kedua strategidalam jangka panjang. Meskipun demikian,
CABG masih tetapstrategi pilihan untuk pasien dengan penyakit triple-vessel
atauyang memiliki penyakit multi-pembuluh ditambah disfungsi ventrikel
kiri.Pada beberapa pasien , terapi CABG masih dianggap memberikan
bantuan superior dari gejala dan menurunkan angka kematian jangka
panjangdibandingkan dengan PCI atau terapi medis. Pada pasien denganCAD
yang tidak parah, PCI dapat diharapkan untuk memberikan manfaat yang
sama yaitu penurunan mortalitas dibandingkan dengan CABG, tetapi
mungkin tidak efektifmengurangi gejala atau kebutuhan untuk revaskularisasi
berulang.
Satu pertimbangan penting adalah bahwa penyelidikan baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa perawatan medis yang agresif, termasuk menurunkan
lipid terapi intensif, mungkin seefektif PCI meningkatkan prognosis jangka
panjang, tetapi mungkin lebih rendahmengurangi gejala angina. Uji coba ini
signifikan, bahwa pentingnya penerapan strategi yang efektif dapat
mengurangi perkembangan CAD, terlepas dariapakah terapi revaskularisasi
dapat dimanfaatkan atau tidak. Penanganan CADtidak hanya mencakup
mengoptimalkan medispengelolaan CAD tetapi juga menyediakan
farmakoterapi yang efektifuntuk mencegah komplikasi dari PCI.
C. ALAT DAN BAHAN
ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.
BAHAN :
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).
D. STUDI KASUS
1. Patient’s Database
Date of review (by : 1 Februari 2015, pagi hari
pharmacist)
Tanggal masuk rumah sakit : 28 Februari 2015, sore hari
Nomor registrasi : 1501155
Nama Pasien : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki- laki
Usia : 67 tahun
Berat badan 50 kg : 50 kg
Tinggi badan : 168 cm
Post medical history : HT, PJK, RA
Social history : Merokok, namun sudah dikurangi sejak
1 tahun terakhir
Allergic/ ADR history : Tidak ada
Past medication history : Lisinopril 5mg 1 dd 1
Family history : NA
2. SOAP Notes
2.1 Subjective
Nyeri kaki sejak 2 bulan lalu, badan panas, mual, dan muntah
2.2 Objective
Physical Examination
Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2
Nadi x/min 78 80 88 80 80
Diagnosis Dokter
Masuk : Cardiomiopathy
Tambahan : Hipertensi, Jantung Koroner, Rheumatoid arthritis
Komplikasi : CKD, hiperuricemia
Current Medication
1.Subjective
Nyeri kaki sejak 2 bulan lalu, badan panas, mual, dan muntah
2.Objective
Physical Examination
Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2
Nadi x/min 78 80 88 80 80
Pada kasus ini, telah diketahui Tn. AS masuk rumah sakit dengan keluhan
yang tertera pada data subjektif dan menjalani pemeriksaan seperti pada data
objektif. Dokter mendiagnosis Tn. AS mengalami cardiomyopathy, dengan
tambahan hipertensi, jantung coroner dan rhematoid arthritis dengan komplikasi
CKD dan hiperurisemia. Pasien mendapatkan terapi obat berupa katosteril (asam
ketoesensial) 3 kali sehari secara oral, allopurinol 2 kali sehari 100mg secara oral,
noperten (Lisinopril) 1 kali sehari 5 mg secara oral, amlodipine 1 kali secari 5 mg
secara oral, laxadine 3 kali sehari 1 sendok makan 15 ml secara oral, novalgin
(metamizole Na) secara parenteral IV, Albuminar 25% secara IV.
Pada kasus ini, pasien di beri terapi ketosteril yang diindikasikan sebagai
terapi untuk mengatasi penyakit ginjal dari pasien. Dalam kasus tidak dijelaskan
kemampuan asupan protein pada pasien sehingga kadar protein dalam urin juga
tidak diketahui, sehingga pasien tidak perlu diberi terapi ketosteril. Sebelum
diberikan terapi ketosteril, sebaiknya terlebih dahulu dimonitoring asupan protein
sehari-hari dari pasien tersebut, jika sudah memenuhi maka tidak diperlukan terapi
ketosteril akan tetapi jika terdapat masalah terkait asupan proteinnya, maka terapi
ketosteril harus diberikan 3 kali sehari bersamaan dengan makanan. Pada data
laboratorium ditunjukkan bahwa kadar uric acid dari pasien di atas kadar normal
yaitu 9,9. Pemberian allopurinol diindikasikan untuk penyakit hyperuricemia serta
bertujuan untuk mencegah perkembangan penyakit asam urat pada pasien
tersebut, jadi bukan hanya untuk hyperuricemia tetapi juga untuk mencegah
perkembangan rheumatoid artritis atau mengatasi simptomatis dari rheumatoid
artritis. Jadi terapi tambahan untuk asam urat/rheumatoid artritis pada pasien
tersebut tidak diperlukan. Pemberian albuminar bertujuan mengatur tekanan
osmotic dalam darah. Keseimbangan albumin dibutuhkan untuk menjaga agar
cairan yang terdapat dalam darah tidak bocor ke jaringan tubuh. Obat ini diberikan
pada pasien yang mengidap hipoalbuminemia. Pada kasus ini berdasarkan data
laboratorium, kadar albumin dalam darah pasien sebesar 3,6 dimana normalnya
adalah 3,5-5,0. Pemberian albumin pada pasien dianjurkan jika kadar albumin
dalam darah pasien dibawah 2,5. Jadi dalam kasus ini pasien tidak perlu
mendapatkan terapi albuminar karena masih dalam rentang yang aman. Pada
pasien ini kita hanya perlu memonitoring asupan protein yang diberikan setiap
harinya.
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan
data dan Kasus diatas menunjukkan bahwa pasien mengalami SCAD, CKD,
Rheumatoid Artrrithis, Hipertensi, hiperurisemia, mual dan muntal serta nyeri
kaki sejak 2 bulan lalu.
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal selama lebih dari
3 bulan, ditentukan oleh kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau
tanpa penurunan nilai GFR. Mengelola komorbid diabetes secara optimal dan
mengatasi faktor risiko kardiovaskular akan mampu mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian untuk pasien dengan
CKD (Jennifer et al, 2013). Setelah dilakukan perhitungan dengan metode MDRD
(Modification in Diet and Renal Disease Study) dengan rumus GFR (mL/min/1.73
m2) = 186 x (SCr) -1.154 x (Age) -0.203 x (0.742 if female) x (1.210 if African-
American) (Jennifer et al, 2013), diperoleh nilai GFR adalah 17,4 ml/min/1,73 m 3.
Nilai tersebut merupakan stage 4 atau stage G4 ada gambar dibawah.
Pada suatu laporan penelitian pasien yang menerima suplemen diet rendah
protein menggunakan asam amino esensial atau keto acids untuk periode yang
lama pada kejadian kerusakan ginjal berat dapat menunda kebutuhan akan dialysis
sampai lebiih dari 1 tahun serta menjaga berat badan dan serum albumin normal.
Keto acids disarankan konsumsi rutin pada terapi EPO pada pasien CRF dengan
anemia renal (Teplan, 2004). Menurut Pubmed, Ketosteril diberikan selama 7
minggu dengan dosis 3 kali sehari 1 tablet. Sehingga pemberian suplemen ini
rasional.
Menurut Medscape dosis penyesuaian Allopurinol pada pasien dengan renal
impairment adalah 100 mg/hari bila kadar CrCl 3-10 ml/min. shingga berdasarkan
data hasil lab dosis Allopurinol harus diturunkan menjadi setengahnya (100
mg/hari).
Dosis Lisinopril untuk penderita CKD dengan GFR 10-29 ml/min adalah
50% dari dosis normal (10-40 mg per hari) (Jennifer et al, 2013), sehingga dosis
pemberian Lisinopril untuk kasus ini tepat. Sedangkan dosis Amlodipin tidak
terpengaruh pada GFR 10-29 ml/min dengan dosis normal (5-10 mg per hari)
(Jennifer et al, 2013). Penggunaan Laxadin disini adalah untuk mengurangi efek
samping dari Amlodipin dan Lisinopril papa usia lanjut yaitu konstipasi (Kimble
and Young, 2013). Penggunaan antinyeri Methampiron di sini tidak tepat
mengingat efek samping dari obat ini adalan mual dan muntah. Selain bersifat
nefrotoksik (Jennifer et al, 2013), Efek samping dari metampiron juga dapat
menyebabkan anemia sickle cell (Kimble and Young, 2013). Berdasarkan
pernyataan diatas maka dapat disarankan dengan penggantian dengan Paracetamol
500 mg. PCT dosis rendah telah digunakan pada pasien dengan RA dan untuk
mengontrol kesehatan dan hospital kontrol. Digunakan dosis rendah oleh karena
pada penderita gagal ginjal ekskresi dari paracetamol menurun (Bradley et al,
1991) sehingga dosis 500 mg dapat memberikan efek yang kuat. Kemudian untuk
akut Nephrosis Renal Dialysis dosis albumin digunakan adalah 25% solution
(Medscappe, 2016).
Berdasarkan pedoman KDIGO 2013, anemia pada CKD didefinisikan
sebagai HgB <13 pada pria dan Hgb <12 pada wanita. Evaluasi harus mencakup
CBC, jumlah retikulosit, serum feritin, dan serum iron saturation (TSAT) untuk
menilai kekurangan zat besi (Jennifer et al, 2013), nilai Hgb 10,1, sehingga
pemberian suplemen zat besi disarankan untuk kasus ini (kapsul Sangobion).
Baru-baru ini, sebuah penelitian meta-analisis tentang penggunaan agen
antiplatelet di antara orang-orang dengan CKD baik dengan PJK yang diketahui
stabil atau tidak stabil dan mereka yang "berisiko" untuk PJK. Untuk pasien CKD
dengan PJK stabil yang diketahui atau "berisiko" untuk PJK, rejimen antiplatelet
(aspirin, aspirin plus dipyridamole [Aggrenox®] atau thienopyridine [Plavix®])
tampaknya mengurangi infark miokard fatal atau nonfatal sekitar 33% namun
dampaknya pada stroke atau all cause dan kematian kardiovaskular tidak pasti. Di
antara pasien yang stabil ini, agen antiplatelet tampaknya meningkatkan risiko
perdarahan ringan namun penggunaannya tidak secara jelas dalam meningkatkan
risiko terjadinya perdarahan mayor (Jennifer et al, 2013). Perlu ditambahkan
aspirin aspirin pada dosis 80-325 mg jika pasien alergi diberika clopidogrel 75
mg/hari pada pagi hari setelah makan (Kimble and Young, 2013).
Terapi statin atau statin / ezetimibe direkomendasikan pada semua pasien
CKD berusia ≥ 50 tahun untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskular atau
aterosklerotik.
simvastatin dengan lasim 5-80 mg/hari atau 80 mg/hari untuk resiko tinggi
myopathy (Jennifer et al, 2013).
Adapun beberapa masalah terkait pasien belum mendapatkan obat
diataranya adalah, pada pemeriksaan pasien, dimana kadar kolestrol dari pasien
cenderung tinggi dan pasien mengalami hyperkolesterol. Ini menyebabkan
kerusakan endotel yang berakibat proliferasi makrofag dan migrasi otot polos ke
lumen pembuluh darah dan terbentuklah plak. Selanjutnya Plak ini kemudian
menyebabkan stenosis/penyempitan lumen arteri koroner. Pada aterosklerotik
koroner terjadi penurunan kemampuan relaksasi endotel atau tonus pembuluh
darah yang mengakibatkan vasokonstriksi arteri koroner yang sempit. Maka
dalam kasus ini pemberian terapi untuk menurunkan kadar kolestrol dari pasien
sangat diperlukan yaitu dengan pemberian terapi lipid lowering drug seperti statin.
Dimana mekanisme kerjanya adalah memperbaiki fungsi daerah endotel pada
daerah arterosklerosis sehingga aliran daraah menjadi lebih baik di arteri koronari
4.Plan
1. Kombinasi ACEI ( lisinorpil) dan CCB ( amldodipine) meruppakan
kombinasi superior untuk HT dan PJK tetapi pada pasien elderly efek
samping dari obat tersebut salah satunya konstipasi. Hal ini diatasi dengan
Laxadin.
2. Pemberian antiplatetelet aspirin pada dosis 80-325 mg jika pasien alergi
diberikan clopidogrel 75 mg/hari untuk meningkatkan prognosis pasien
dan mengurangi kejadian MI.
3. Pasien mengalami stable angina sehingga tidak boleh terlalu mengeluarkan
tenaga terlalu besar, sehingga diberikan laxadine untuk mempermudah
pasien saat BAB.
4. Pasien dengan uric acid diatas normal diberikan allopurinol untuk
menegah pengkristalan urin dimulai dengan 100 mg sekali sehari. Dosis
Alupurinol diturunkan.
5. Untuk terapi albuminar karena kondisi pasien terkait kadar albumin pasien
dalam darah masih dalam rentang normal, maka pasien tidak
membutuhkan terapi tambahan berupa albumin
6. Terkait masalah bahwa pasien juga mengalami hiperkolesterol, pasien
membutuhkan terapi lipid lowering drug berupa statin dengan pemberian
simvastatin 10 mg 1 kali sehari pada malam hari. Hai ini dikarenakan oleh
proses membentukan kolestrol pada malam hari atau pada saat proses
metabolism.
7. Ketosteril tidak digunakan
8. Penggunaan novalgin sebagai analgesic terkait masalah efek samping
yang diberikan, pasien disarankan untuk mendapatkan terapi pengganti
berupa parasetamol dengan dosis 650mg atau kombinasi antara tramadol
dengan parasetamol.
9. Untuk obat selain yang disebutkan di atas dapat dilanjutkan karena
sudah sesuai dengan kondisi pasien dan dapat tetap diberikan dengan
melakukan monitoring pada kondisi pasien. Selain itu perlu juga dilakukan
terapi non-farmakologi untuk mendukung terapi farmakologi yang telah
diberikan.
5. Monitoring
Efektivitas
1. Monitoring tekanan darah sehingga tetap pada goal terapi, 130/80
mmHg.
2. Penurun kadar triglliserida.
3. Monitoring penggunaan allopurinol.
Efek Samping Obat
1. Diamati efek samping dari kombinasi obat lisinopril dan
amlodipine pada pasien usia lanjut.
2. Dipantau terjadinya batuk kering pada pasien
Interaksi dan Efek samping
Untuk melihat toksisitas dari terapi obat, efek samping dan interaksi suatu
obat perlu dilakukan monitoring secara teratur terhadap pemakaian obat
tersebut. Efek samping biasanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah
pemakaian obat baru atau beberapa waktu setelah adanya kenaikan dosis.
Efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan
dengan obat lain atau dengan golongan yang lain.
F.KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA