Anda di halaman 1dari 34

II.

PENYAKIT JANTUNG KORONER


STABLE ANGINA

A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit stable angina.
2. Mengatahui patofisiologi penyakit stable angina.
3. Mengetahui tatalaksana penyakit stable angina (Farmakologi & Non-
Farmakologi).
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit stable angina secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

B. DASAR TEORI
1. Definisi dan Gejala
Angina pectoris adalah suatu sindroma klinis yang ditandai dengan
munculnya rasa tidak nyaman pada dada, rahang, punggung, atau dada. Biasanya
angina dipicu oleh aktifitas fisik yang berat dan membaik dengan pemberian
nitrogliserin.1 Ciri- ciri angina stabil dijelaskan dalam tabel 1.1.
Tabel 1.1 Ciri-Ciri Angina Stabil
2
KATEGORI CIRI
Rasa tidak nyaman seperti ditekan, diremas, ditusuk,
Tipe
terbakar, tercekik.
Lokasi Dada, di bawah sternum (tulang dada), rahang bawah, gigi,
punggung belakang, dan pergelangan tangan.
Singkat, kurang dari 10 menit, kurang dari beberapa menit,
Durasi
hilang dengan beristirahat dan/atau nitrogliserin, nitrat
buccal/SL.
Saat beraktivitas spesifik, aktivitas yang membutuhkan
Onset terjadinya
banyak energi
Miokardial iskhemia : otot jantung kekurangan oksigen,

Penyebab sehingga merilis adenosin yang akan berikatan dengan saraf


mengakibatkan timbul rasa nyeri melalui stimulasi reseptor
Adenosin 1.2
Angina merupakan gejala utama yang menandakan terjadinya iskemia
miokardial dan umumnya disebabkan oleh arterosklerosis. Arterosklerosis
mengakibatkan penyumbatan arteri coroner, mengurangi aliran darah dan oksigen
ke otot jantung. Angina stabil adalah kondisi medis yang kronis dengan insiden
sindrom koroner akut yang jarang, namun dapat membahayakan nyawa.

2. ETIOLOGI STABLE ANGINA


Angina adalah jenis nyeri dada yang diakibatkan dari berkurangnya aliran
darah kaya oksigen menuju ke jantung. Rasa nyeri/sakit pada dada ini sering
dipicu oleh aktivitas fisik (olahraga, seks atau aktivitas lainnya), emosional dan
stres (kemarahan, ketakutan, stres), atau dingin, angin, serta demam. Angina stabil
dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, salah satunya penyempitan
pembuluh darah (aterosklerosis), hal ini dapat mengurangi suplai oksigen menuju
ke jantung. Arteri mengalami penyempitan dan tersumbat karena adanya plak dari
lemak, kolesterol, kalsium, atau zat lainnyayang menumpuk pada dinding arteri.
Faktor lain yang dapat mengurangi aliran darah kaya oksigen menuju ke jantung
yaitu adanya gumpalan darah pada arteri atau aliran menuju ke jantung (Kones,
R., 2010).

Gambar 3. Arteri terboklir oleh plak (kolestrol)


3. PATOFISIOLOGI
Angina merupakan gejala utama yang menandai terjadinya iskemia miokardial
dan umumnya disebabkan oleh arterosklerosis. Arterosklerosis mengakibatkan
penyumbatan arteri coroner, mengurangi aliran darah dan oksigen ke otot
jantung.3

Gambar Proses Arterosklerosis yang Menyumbat Aliran Darah


Jika ukuran plak aterosklerosis kurang dari 50% dari diameter pembuluh, aliran
darah koroner dapat ditambah cukup dengan pengerahan tenaga oleh arteriol
intramyocardial, dan pasien biasanya terlepas dari rasa nyeri. Pada pasien dengan
angina stabil kronis, kondisi stenosis atau penyempitan pembuluh arteri koroner
biasanya lebih besar dari 70%. Penurunan aliran darah koroner secara linear
terjadi seiring penempatan plak dari lumen arteri sampai lebih dari 80%
perkembangan obstruksi. Pada titik ini, penurunan aliran darah yang keluar
merupakan proporsi ukuran plak. Aliran darah terganggu dengan lesi
aterosklerotik dapat terpengaruh oleh disfungsi vasomotor, menyebabkan
vasokonstriksi dan berkurangnya suplai darah lebih lanjut. Secara fungsional,
aliran darah koroner tidak lagi hadir ketika lesi yang terbentuk menghalangi lebih
dari 95% dari lumen pembuluh darah
Iskemia miokardial terjadi akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen saat beraktivitas. Suplai oksigen dipengaruhi oleh:
 Ketersediaan oksigen dalam arteri koroner.
 Pengambilan oksigen oleh otot jantung.
 Jumlah aliran darah, yang dipengaruhi oleh:
- Diameter Lumen
Semakin besar diameter lumen pembuluh darah semakin besar suplai
oksigen keseluruh tubuh karena tidak ada hambatan pada aliran darah.
- Lumen tone /elastisitas pembuluh darah
Kebutuhan oksigen dipengaruhi oleh:

Heart rate (HR) dimana jika HR meningkat kerja jantung makin keras dan
sehingga kebutuhan oksigen miokard meningkat.

Kontraktilitas otot jantung: peningkatan kontraktilitas miokard akan
meningkatkan kebutuhan oksigen oleh jantung.

Wall Stress (tekanan dinding otot jantung): dipengaruhi preload dan
afterload. Semakin besar preload maka dinding ventrikel kanan akan
meregang maksimal untuk dapat mengisi ruang ventrikel dengan darah.
Ventrikel kanan memompa dan mengalirkan darah ke paru-paru melalui
arteri pulmonary. Aktivitas ini memerlukan energi yang besar sehingga
diperlukan jumlah oksigen yang besar pula. Pada sistem afterload,
ventrikel kiri akan meregang maksimal sehingga darah dapat mengisi
ventrikel dengan volume yang besar. Proses memompa darah keseluruh
tubuh membutuhkan energi yang besar, sehingga juga memerlukan jumlah
oksigen yang tinggi.1
Pada angina stabil, hubungan antara beban kerja jantung dan iskemia relatif
dapat diprediksi. Penampang vaskuler normal memiliki kemampuan untuk
mengurangi tahanan yang diterimanya.6 Misalnya selama aktivitas fisik yang berat
(maksimal), dimana pada saat itu laju dan volume aliran darah koroner dapat
meningkat hingga 5-6 kali lipat. Penurunan luas penampang lumen arteri karena
arterosklerosis mengurangi kemampuan vaskuler untuk menurunkan tahanan yang
diterimanya selama aktivitas. Hal ini mengakibatkan iskemia, dengan tingkat
keparahan yang berbanding lurus dengan derajad obstruksi lumen dan kebutuhan
oksigen miokard.2
Saat miokard mengalami iskemia, terjadi penurunan pH darah di sinus koroner,
hilangnya kalium seluler, akumulasi laktat, abnormalitas ECG, kadang memicu
kongesti paru dan dyspnea. Belum dapat dijelaskan secara pasti bagaimana
iskemia menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman, namun nyeri yang terjadi bisa
jadi melibatkan stimulasi saraf melalui hypoxic metabolites.2
Apabila obstruksi lumen ≤ 40%, aliran darah yang maksimal masih dapat
dipertahankan selama aktivitas. Namun apabila pengurangan diameter lumen
terjadi hingga>50%, maka dapat terjadi iskemia terutama saat aliran darah
koroner tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme kardiak selama aktivitas
fisik atau stress. Perubahan stenosis resitance relative kecil pada penyempitan
vaskuler ringan, namun meningkat tajam pada obstruksi lumen yang parah,
dengan peningkatan hampir tiga kali lipat pada stenosis 80%-90%. Pada keadaan
stenosis yang sama, ischaemic threshold dapat terjadi pada waktu yang berbeda.
Hal ini dipengaruhi berbagai faktor termasuk derajat perkembangan sirkulasi
kolateral, derajat distribusi perfusi miokard dari daerah yang lebih rawan terhadap
iskemia (yaitu endocardium) menuju sub epicardium, tahanan arteri vaskuler, dan
agregasi platelet. Angina juga dapat disebabkan oleh myocardial bridging,
walaupun hal ini sangat jarang terjadi.2
Perbedaan gejala angina yang dialami disebabkan oleh perbedaan derajad
vasokonstriksi pada lokasi stenosis dan/atau pembuluh koroner distal. Perbedaan
gejala ditentukan juga oleh faktor seperti temperatur tubuh, stress, dan pengaruh
neuro-hormonal. Pada sebagian pasien, angina dapat terjadi saat istirahat.
Pasien dengan angina stabil beresiko mengalami Acute Coronary Syndrome
(ACS): unstable angina, non-ST-elevation MI, atau ST-Elevation MI. Angina tidak
stabil ditandai dengan perburukan gejala angina yang tiba-tiba, bisa berupa
peningkatan frekuensi, durasi yang lebih panjang, dan lebih berat dan / atau terjadi
pada threshold yang lebih rendah atau saat istirahat. Miokardiak Infark (MI)
ditandai dengan perpanjangan durasi angina (>30 menit) yang disebabkan oleh
myocardial necrosis. Baik non-ST-elevation MI maupun ST-Elevation MI
seringkali didahuli gejala yang tidak stabil selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum serangan.2
4. PENATALAKSANAAN TERAPI
Tujuan pengobatan angina stabil:

1. Untuk memperbaiki prognosis dengan pencegahan miokardiak infark dan


kematian.
2. Untuk meminimalkan atau menghilangkan gejala yang muncul.2

Berdasarkan jenis terapinya, terapi angina stabil dibagi menjadi dia yaitu:
1. Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi angina stabil antara lain :
a. Hentikan merokok. Merokok merupakan faktor resiko yang sangat
meningkatkan gejala dan prognosis. Berhenti merokok akan sangat
memperbaiki gejala dan mencegah perburukan angina. Dapat
dilakukan melalui nicotine replacement therapy (NRT).2
b. Diet dan pembatasan konsumsi alkohol
Apabila dilakukan dengan benar, diet dapat mencegah kejadian angina
secara efektif pada pasien dengan carotid arthery disease(CAD).
Tingkatkan konsumsi buah, sayuran, sereal, produk gandum, berbagai
produk susu skim, ikan, dan daging tanpa lemak. Intensitas perubahan
tujuan atau target diet ditentukan oleh kadar LDL-C, kolerterol total
dan abnormalitas lipid lainnya. Pasien yang kelebihan berat badan
harus menjalani diet untuk penurunan berat badan. Pengurangan
konsumsi alkohol mungkin bermanfaat, namun konsumsi berlebihan
sangat berbahaya, terutama pada pasien dengan hipertensi atau gagal
jantung.2
c. Asam lemak Omega-3
Minyak ikan kaya akan asam lemak Omega-3 yang berguna dalam
pengurangan hipertrigliseridemia. Intervensi diet untuk mencapai
konsumsi ikan setidaknya sekali seminggu sangat disarankan.2
d. Aktivitas fisik
Pasien disarankan melakukan aktivitas fisik secukupnya, karena dapat
meningkatkan toleransi terhadap aktivitas fisik, mengurangi gejala,
dan memiliki efek menguntungkan pada berat badan, kadar lipid dalam
darah, tekanan darah, toleransi glukosa, dan sensitivitas insulin. Saran
untuk latihan harus mempertimbangkan kebugaran individu secara
keseluruhan dan tingkat keparahan gejala.
e. Faktor psikologi
Faktor psikologi berpengaruh sebagai pemicu serangan angina.
Diagnosis angina seringkali menimbulkan kecemasan yang berlebihan.
Beberapa metode relaksasi dan metode lain untuk mengontrol stress
dapat menguntungkan pasien.

2. Terapi farmakologi
a. Obat antiplatelet: mulai dengan aspirin (75-162 mg/hari) kecuali kontraindikasi.
Clopidogrel (75 mg/hari) sebagai pengganti asipirin bila ada kontraindikasi
mutlak pada asipirin.
 Pasca Non-ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI) akut, clopidogrel 75
mg/hari harus diberikan selama 1 tahun.
 Pasca CABG, asipirin (162–325 mg/hari) harus diberikan selama 1 tahun,
dan selanjutnya asipirin (75-162 mg/ hari) diteruskan untuk selamanya.
 Bagi pasien yang dilakukan PCI dan mendapat Drug Eluting Stent
(DES), clopidogrel (75mg/hari) harus diberikan untuk sekurang-
kurangnya 12 bulan kecuali bila pasien berisiko tinggi mengalami
pendarahan .
 Untuk pasien yang mendapat Bare Metal Stent (BMS), clopidrogel harus
diberikan minimal 1 bulan dan idealnya sampai 12 bulan.
b. Obat Beta-blockers dimulai dan dilanjutkan untuk selamanya pada penderita
pasca infark miokard, sindroma koroner akut, atau penderita dengan disfungsi
ventrikel kiri, kecuali ada kontraindikasi. Kontraindikasi pada: bradikardia berat,
blok-AV derajat dua atau derajat tinggi, sindrom sick sinus dan asma berat. Beta
Blocker berefek menurunkan kebutuhan oksigen dengan penurunan frekuensi,
tekanan dan kontraktilitas jantung.
c. Nitrogliserin semprot/sunlingual untuk mengontrol angina.
Nitrat- nitroglycerin sublingual atau spray dipakai untuk mengatasi angina
dengan cepat, dapat diberikan sebelum latihan fisik untuk mencegah angina.
Nitrat khasiat jangka panjangn diberikan bila pengobatan dengan beta blocker
saja tidak dapat mengatasi angina atau menjadi kontraindikasi.
d. Antagosis kalsium (CCBs) atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya untuk
tambahan beta blocker apabila ada kontraindikasi beta blocker atau efek samping
tak dpat ditolerir atau gagal. Antagonis kalsium berefek dilatasi arteria di
epikardial dan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Namun demikian,
antagonis kalsium golongan dihidropiridin dengan aksi cepat dapat menaikkan
risiko serangan jantung, oleh karena itu dianjurkan untuk pemakaian slow-
release.
e. Pemakaian obat-obatan untuk penurunan LDL pada pasien-pasien dengan LDL>
130 mg/dL (target <100 mg/dL), Contoh : Simvastatin.
f. Tindakan invasive termasuk pembedahan mungkin perlu dilakukan kalau
tindakan dengan terapi obat tidak berhasil menghilangkan keluhan angina atau
kalau gambaran klinis penderita menunjukkan suatu penyakit jantung coroner
yang berat. Untuk itu diperlukan angiografi coroner untuk menentukan lebih dulu
lokasi stenosis dan melihhat berapa pembuluh darah yang terkena, guna
menentukan tindakan apa yang plaing tepat pada penderita tersebut.
g. Revaskularisasi Koroner, intervensi koroner perkutan (PCI), juga dikenal sebagai
angioplasty,melibatkan penyisipan perkutan kateter balonke dalam arteri
femoralis ( Pemasangan stenting untuk mempertahankan diameter lumen) dengan
cara yang sama untuk angiografi. Tujuan tindakan ini adalah memperbaiki aliran
darah pada arteri yang terkena dan bukan menghambat jalan yang baru. Tindakan
ini bisa dijalankan dengan cepat dan bahkan bisa menggantikan tindakan bypass
(CABG). PCI dengan “stenting” sangat efektif untuk mengurangi keluhan angina
stabil yang kronis, akan tetapi tidak terbukti menurunkan angka kematian.
Gambar 3. Percutaneous Coronary Intervension / PCI (Koda Kimble, hal.
400)
stent pembuluh darah .:
A. posisi kateter balon stent di lokasi stenosis arteri.
B. Inflasi balon melebarkanarteri dan memperluas stent.
C. Balon collapsed (mengempis) dan ditarik, meninggalkan stent dalam
posisi.
(Ilustrasi oleh Neil O. Hardy, Westpoint, CT.)

Algoritma terapi farmakologi anginastabil dijelaskan dalam gambar 3.2


berikut.
Berdasarkan tujuan terapinya, terapi farmakologi untuk angina dibagi menjadi:
1. Terapi farmakologi untuk memperbaiki prognosis, meliputi:
a. Antiplatelet
b. Lipid lowering drug
c. ACE-inhibitor
d. Beta bloker
e. Calcium channel blockers
2. Untuk mengatasi gejala dan iskemia, meliputi:
a. Nitrates
b. Beta bloker
c. Calcium channel blockers
Untuk mengatasi gejala angina maupun memperbaiki prognosis, dapat juga
dilakukan myocardial revascularization, yang terdiri dari:
a. Coronary artery bypass surgery
b. Percutaneous coronary intervention.2

5. Farmakologi Obat
Tujuan pengobatan dari angina stabil adalah dapat meningkatkan kualitas hidup
dengan mengurangi keparahan dan / atau frekuensi gejala, dan untuk meningkatkan
prognosis pasien.Umumnya pasien dengan angina pektoris dapat hidup bertahun-tahun
dengan hanya sedikit pembatasan dalam kegiatan sehari-hari. Mortalitas bervariasi dari
2% - 8% setahun. Apalagi dengan angina pectoris stabil dimana hanya dengan beristirahat
sudah dapat sembuh dan angka kematianpun akan sangat kecil kemungkinannya. Faktor
yang mempengaruhi prognosis adalah beratnya kelainan pembuluh koroner. Pasien
dengan penyempitan di pangkal pembuluh koroner kiri mempunyai mortalitas 50% dalam
lima tahun. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien dengan penyempitan hanya
pada salah satu pembuluh darah lainnya. Juga faal ventrikel kiri yang buruk akan
memperburuk prognosis. Dengan pengobatan yang maksimal dan dengan bertambah
majunya tindakan intervensi dibidangkardiologi dan bedah pintas koroner, harapan hidup
pasien angina pektoris menjadi jauh lebih baik.Selain itu, pengobatan bertujuan untuk
pengurangan miokard iskemia juga sebagai pencegahan utama komplikasi miokard
iskemia dan kematian. Pengobatan angina stabil dapat dicapai melalui dua cara yaitu
melalui bedah revaskularisasi, manajemen medis, atau keduanya. Terlepas dari strategi
pengobatan yang dipilih untuk meringankan gejala iskemik, terapi yang mencegah
kematian (agen vasculoprotective) harus mendapat prioritas sebagai pilihan pengobatan
utama.

1. Terapi Antiplatelet

Terapi antiplatelet merupakan pengobatan utama dalam pengobatanpasien dengan


CAD selama bertahun-tahun. Terapi Aspirin (ASA) telah menunjukkan memiliki
kemampuan untuk mengurangi kejadian MI (Myocard Infarc) dan kejadian henti
jantung mendadak pada pasien dengan angina stabil kronis. Efikasi klinis aspirin
pada angina stabil kronis, dan dengan harga yang terjangkau menjadikan aspirin
sebagai antiplatelet monoterapi utama bagi pasien CAD.

Pedoman nasional saat ini dari American College of Cardiology(ACC) / AHA


merekomendasikan dosis ASA dari 75-162 mgsetiap hari untuk pencegahan MI
dan kematian pada pasien dengan CAD.Meskipun dosis yang lebih tinggi telah
diteliti dalam studi klinis, namun belum terbukti mengakibatkan peningkatan
efikasi.

Selain Aspirin ,Clopidogrel merupakan agen antiplatelet alternatif yang


cocokuntuk mencegah MI dan kematian pada pasien angina stabil kronis.
Percobaan Clopidogrel vs Aspirin pada pasien beresiko iskemik menunjukkan
clopidogrel yang signifikanmengurangi kejadian stroke, MI, atau kematian
vascular pada pasien dengan penyakit vaskular aterosklerotik (MI, sebelumnya
stroke, atau penyakit arteri perifer) dibandingkan dengan ASA. Namun selain itu,
clopidogrel ditoleransi dengan efek samping utamamenjadi intoleransi
gastrointestinal dan ruam. Meskipunhasil yang signifikan, perbedaan mutlak
dalam hasil primerantara dua aantiplatelet ini cukup kecil (0,4%), dengan
demikian, clopidogrel tetap menjadi pilihan lini kedua setelah aspirin.

Ketika digunakan pada pasiendengan angina stabil kronik, clopidogrel harus


diberikandengan dosis 75 mg / hari.

Mengingat mekanisme yang berbeda dari efek antiplatelet,


menggabungkanaspirin dengan clopidogrel akan diharapkan untuk memberikan
tambahanperlindungan dari MI dan kematian pada pasien dengan CAD jika
dibandingkan dengan monoterapi. Namun penelitian menunjukkan kombinasi
ASA ditambah Clopidogrelselama 28 bulan tidak mengurangi risiko kematian,
MI, stroke,atau revaskularisasi koroner dibandingkan dengan ASA saja dan terapi
ganda meningkatkan risiko bleeding (perdarahan). Oleh karena itu,saat ini, terapi
antiplatelet ganda pada pasien dengan CAD adalah terbatas pada mereka yang
telah memiliki ACS baru atau dalam kondisi setelah dilakukan intervensi
perkutan koroner (PCI) ditambah penempatan stent.

2. Anti-iskemik Farmakoterapi

Secara historis, agen yang digunakan dalam pengobatan pasien dengan


kronisangina stabil terutama dipengaruhi faktor penentu miokard ,suplai oksigen
dan kebutuhan oksigen miokard, atau kedua faktor tersebut. Paradigma ini, β-
blocker, calcium-channel blockers (CCBs), dan terapi nitrat telah menunjukkan
efektivitas dalampencegahan gejala iskemik. Pada bulan Januari 2006, US
Fooddan Drug Administration (FDA) memberikan persetujuan untuk
Ranolazine,mewakili generasi baru pertama dalam 20 tahun terakhir, sebagai
agen pengobatan angina stabil kronis.

a. β-BLOCKERS

β-blocker efektif menurunkan permintaan oksigen myocardial dengan


menurunkandenyut jantung, kontraktilitas miokard, dan ketegangan dindinng
intramyocardial. Frekuensi dosis dan biaya yang relative akan mendorong
pilihan agen ini dalam kebanyakan situasi, tetapi β-blocker dengan intrinsic
aktivitas simpatomimetik tidak secara rutin digunakan pada pasien dengan
angina stabil karena berkurangnya khasiat. Dosis β-blocker harus ditentukan
untuk tingkat jantung istirahat dari 55 sampai 60 denyut per menit.β-Blockers
harus dihindari pada pasien dengan angina vasospastik primer karena dapat
memperburuk gejala pada pasien dengan penyakit saluran napas reaktif atau
efek samping arteri perifer disease. Efek samping yang paling umum terjadi
dengan terapi kronis termasuk bradikardia, hipotensi, kelelahan, dan
disfungsi seksual. Kondisi lain yang harus dihindarkkan penggunaan terapi β-
blocker adalah bradikardia berat atau konduksiatrioventrikular (AV) nodul.

b. NITRAT

Nitrat yang tersedia di sejumlah formulasi yang berbeda dan pilihan yang
tersedia tercantum pada Tabel 17-4. Kebaikan dari semua pilihan formulasi
nitrat yaitu efektif untuk mencegah atau menghilangkan gejala iskemik jika
digunakan secara tepat, termasuk penggunaan interval bebas nitrat. Nitrat
dapat meningkatkan pasokan oksigen miokard melalui vasodilatasi arteri
koroner, serta mengurangi permintaan oksigen miokard melalui pengurangan
preload. Nitrat menghasilkan vasodilatasi melalui biotransformasi dan
pelepasan NO. Long-acting nitrat efektif untuk pencegahan gejala angina.
Sublingual NTG adalah agen penting untuk mengobati dan meringankan
serangan angina akut. Efek samping umum dari terapi nitrat termasuk
hipotensi, pusing, dan sakit kepala. Sakit kepala akan hilang dengan
melanjutkan terapi dan diobati dengan acetaminophen. Pemberian bersamaan
dengan jenis phosphodiesterase tipe5 inhibitor (dalam waktu 24 jam untuk
sildenafil dan vardenafil, 48 jam untuk taladafil) merupakan kontraindikasi
karena risiko hypotension mengancam jiwa.
Koda Kimble, hal. 386

c. KALSIUM-CHANNEL BLOCKERS (CCBs)


Calcium channel blockers adalah senyawa yang sangat beragam. CCBs
berbeda dalam struktur kimia serta spesifisitas untuk jantung dan jaringan
perifer. Karakteristik ini, memungkin untuk mengklasifikasikan antagonis
kalsium ke dalam beberapa jenis utama (Tabel 17-5).

Koda Kimble, hal. 387


Diltiazem dan Verapamil memberi efek kualitatif serupa pada jaringan
miokard dan perifer. Kduanya lambat konduksi dan memperpanjang periode
refrakter di AV node. Refraktori ventrikelperiode tidak terpengaruh. Oleh
karena itu, efek antiaritmiaobat ini terbatas untuk mengendalikan laju
ventrikel di takiaritmia supraventricular. Kedua agen dapat menurunkan
kontraktilitas miokarddan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan disfungsi LV(Gagal jantung sistolik). Keduanya adalah vasodilator
perifer moderatdan poten vasodilators untuk arteri koroner.

Nifedipine adalah senyawa prototipe dihidropiridinderivatif. Meskipun


amlodipine, felodipine, isradipin,dan nicardipine merupakan
dihydropyridines generasi kedua, hanyanicardipine dan amlodipine saat ini
disetujui untuk pengobatanangina pektoris stabil kronik. Selain itu,
amlodipinediindikasikan untuk angina vasospastik. Berbeda dengan diltiazem
atauverapamil, golonnga dihydropyridines tidak memperlambat konduksi
jantungdan, karena itu, tidak memiliki tindakan antiaritmia. Golongan ini,
lebih kuat sebagai vasodilator perifer dan mungkin terkaitdengan peningkatan
refleks pada detak jantung. Semua dihydropyridinesmemiliki efek inotropik
negatif in vitro, namun efek ini, secara klinis,dibayangi oleh aktivasi refleks
simpatis danmenurunkan afterload. Efek utama dari tindakan ini pada
dasarnyatidak menimbulkan depresi fungsi miokard. Dihydropyridines juga
dapat melebarkan coroner arteri, tetapi bervariasi dalam potensi mereka
masing-masing. Dihidropiridin (DHP) dan non-dihidropiridin (nonDHP) dari
penggolongan CCBs menghasilkan peningkatan suplai oksigen
miokardmelalui vasodilatasi arteri koroner, serta mengurangikebutuhan
oksigen miokard melalui penurunan tegangan dinding
intramyocardial(dengan menurunkan tekanan darah sistemik). Namun,non-
DHP CCBs akan diharapkan untuk menurunkan oksigen miokard pada
tingkat yang lebih besar karena pengurangan tambahan didenyut jantung dan
kontraktilitas. Meskipun didefinisikan dalamkelas farmakologis yang sama,
penting untuk mempertimbangkan DHPsdan non-DHPs secara terpisah
ketika mempertimbangkan penggunaannya pada pasiendengan angina stabil
kronis. Penurunan denyut jantung dan kontraktilitasdengan non-DHPs
mungkin bermanfaat bagi beberapa pasien, namun dapat merugikan pasien
dengan disfungsi LV atau bradikardia. Sebaliknya, DHPpilihan seperti
amlodipine dan felodipine telah terbukti aman digunakan pada pasien dengan
disfungsi LV dan pilihan untuk pencegahan gejala iskemik pada pasien.

Efek samping pada terapi CCBs tergantung pada golongan terapi yang
digunakan. Penggunaan non-DHP CCBs dapat mengakibatkan bradikardia,
hipotensi,dan blok atrium-ventrikel. Pasien yang menerima DHP
CCBsmungkin mengalami refleks takikardia, edema perifer, sakit kepala dan
hipotensi.

d. RANOLAZINE

Ranolazine merupakan pilihan terbaru untuk pengobatan pasien dengan


angina stabil kronis. Meskipun penerimaan umum dan penggunaannya telah
dibatasi sejak disetujuioleh FDA pada tahun 2006, itu merupakan kemajuan
yang penting dalammengelola pasien dengan angina stabil dan menawarkan
farmakoterapipilihan untuk pasien yang sebelumnya tidak bisa diobati.

Ranolazine adalah agen anti-iskemik yang menghambat natrium yang masuk


sehingga mengurangi natrium intraseluler. Selama miokardiskemia natrium
masuknya meningkat, yang mengarah ke intraseluler, kalsium yang
berlebihan bertukar melalui natrium / kalsium. Kelebihan kalsium intraseluler
menyebabkan perubahan yang mengakibatkan iskemia yang lebih buruk,
seperti peningkatan ketegangan dinding intramyocardialdan mengurangi
perfusi mikrovaskuler. Dengan menghambat masuknya natrium, Ranolazine
efektif mencegah induksi kontraktilitas terhadap iskemia dan penundaan
timbulnya angina.

Pembedaan kunciantara Ranolazine dan agen antiangina lainnya adalah


bahwa Ranolazine tidak memiliki efek yang cukup pada denyut jantung dan
tekanan darah. Uji klinis awal menunjukkan bahwa ranolazine
efektifmengurangi episode angina ketika ditambahkan pada terapi dengan
CCBs atau nitrat long-acting. Penyelidikan selanjutnyamenunjukkan
keamanan jangka panjang dan kemanjuran, dan Ranolazine dapat dianggap
pada setiap tahap dalam pengobatan angina stabil kronikEfek samping yang
paling sering muncul termasuk sakit kepala, sembelit,pusing, dan mual.
Ranolazine tersedia sebagai extendedreleasetablet dua kali sehari. Pasien
harus dimulaidengan dosis 500 mg secara oral dua kali sehari, yang dapat
ditingkatkan untuk dosis maksimal 1.000 mg dua kali sehari. Obat ini secara
ekstensifdimetabolisme di hati melalui enzim sitokrom P-450 CYP3A4 dan
CYP2D6, dengan demikian, penggunaan Ranolazine adalahkontraindikasi
pada pasien dengan disfungsi hati yang signifikandan pada mereka yang
menerima inhibitor poten dan induser dari CYP3A4seperti ketoconazole atau
rifampisin. Ranolazine juga merupakan kontraindikasi pada pasien yang
menerima sediaan ARV.

e. REVASKULARISASI MIOKARD
Revaskularisasi miokardium, baik melalui CABG atau PCI,adalah andalan
dalam pengobatan pasien dengan CAD. Tujuanrevaskularisasi tidak berbeda
dari tujuan keseluruhan dalam mengobatipasien dengan angina stabil kronis,
yaitu, untuk meredakan gejala,meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah
komplikasi dari CAD sepertiMI dan kematian. Secara historis, banyak fokus
dikhususkanuntuk membandingkan CABG, PCI, dan manajemen medis
terhadap khasiat relatif dalam mengurangi gejala dan meningkatkan
prognosis.
Dalam populasi luas dari pasien dengan CAD, revaskularisasidengan CABG
atau PCI ditemukan sebagai manajemen medis yang unggul sebagai
monoterapiuntuk menghilangkan gejala pada 1 tahun. CABG cenderung kuat
untuk memberikan bantuan jangka panjang dari gejala, serta
menyediakankebutuhan yang lebih rendah untuk terapi revaskularisasi
berulang dibandingkan denganPCI. Ketika mempertimbangkan sub
kelompok pasien dengan keparahan penyakit yang lebih atau yang telah
mengalami disfungsi ventrikel kiri (LV), dibutuhkan strategi pengobatan
yang berbeda. Pada pasien dengan gangguan double-vessel atau triple-vessel,
penyakit yang signifikan dari arteri utama kiri, atau disfungsi ventrikel kiri,
terapi CABG telah dibuktikan dapat memberikan penurunan tingkat
mortalitas selama 5 tahun dibandingkan dengan PCIatau hanya dengan terapi
medis saja.
Meskipun ketersediaan data mengenai efek relatif dariPCI, CABG, dan
manajemen medis pada morbiditas dan mortalitas,telah terjadi peningkatan
dramatis dalam penggunaan PCI pada beberapa tahun belakangan. Bahkan,
kontroversi revaskularisasiterapi konvensional ; baik itu PCI atau CABG,
dibandingkan perawatan medistelah mengurangi secara signifikan dan
membuktikankeefektifan pengobatan pasien dengan CAD dengan
menggabungkan kedua strategidalam jangka panjang. Meskipun demikian,
CABG masih tetapstrategi pilihan untuk pasien dengan penyakit triple-vessel
atauyang memiliki penyakit multi-pembuluh ditambah disfungsi ventrikel
kiri.Pada beberapa pasien , terapi CABG masih dianggap memberikan
bantuan superior dari gejala dan menurunkan angka kematian jangka
panjangdibandingkan dengan PCI atau terapi medis. Pada pasien denganCAD
yang tidak parah, PCI dapat diharapkan untuk memberikan manfaat yang
sama yaitu penurunan mortalitas dibandingkan dengan CABG, tetapi
mungkin tidak efektifmengurangi gejala atau kebutuhan untuk revaskularisasi
berulang.
Satu pertimbangan penting adalah bahwa penyelidikan baru-baru ini telah
menunjukkan bahwa perawatan medis yang agresif, termasuk menurunkan
lipid terapi intensif, mungkin seefektif PCI meningkatkan prognosis jangka
panjang, tetapi mungkin lebih rendahmengurangi gejala angina. Uji coba ini
signifikan, bahwa pentingnya penerapan strategi yang efektif dapat
mengurangi perkembangan CAD, terlepas dariapakah terapi revaskularisasi
dapat dimanfaatkan atau tidak. Penanganan CADtidak hanya mencakup
mengoptimalkan medispengelolaan CAD tetapi juga menyediakan
farmakoterapi yang efektifuntuk mencegah komplikasi dari PCI.
C. ALAT DAN BAHAN
ALAT :
1. Form SOAP.
2. Form Medication Record.
3. Catatan Minum Obat.
4. Kalkulator Scientific.
5. Laptop dan koneksi internet.

BAHAN :
1. Text Book (Dipiro, Koda Kimble, DIH, ECS, JNC).
2. Data nilai normal laboraturium.
3. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

D. STUDI KASUS
1. Patient’s Database
Date of review (by : 1 Februari 2015, pagi hari
pharmacist)
Tanggal masuk rumah sakit : 28 Februari 2015, sore hari
Nomor registrasi : 1501155
Nama Pasien : Tn. AS
Jenis Kelamin : Laki- laki
Usia : 67 tahun
Berat badan 50 kg : 50 kg
Tinggi badan : 168 cm
Post medical history : HT, PJK, RA
Social history : Merokok, namun sudah dikurangi sejak
1 tahun terakhir
Allergic/ ADR history : Tidak ada
Past medication history : Lisinopril 5mg 1 dd 1
Family history : NA

2. SOAP Notes
2.1 Subjective
Nyeri kaki sejak 2 bulan lalu, badan panas, mual, dan muntah

2.2 Objective
Physical Examination
Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2

Tekanan darah 05.00) mmHg 160/90 170/110 160/90 150/90 130/80

Nadi x/min 78 80 88 80 80

Temperatur ⁰C 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5

CMCK (sore) +200 +880 -200 +550 -200

Laboratory and Diagnostic Test Result


Pemeriksaan Satuan Nilai normal 27/1 29/1 31/1
Hematologi
WBC X109/L 7,5+ 3,5 8,98
RBC X1012/L 4,5-5,5 3,53
HgB 14,0 g% 15,5+ 2,5 10,1
PLT X109/L 150-400 476
LED <6; <10 mm/jam 75-93
Diff EO % 1-2
Ba % 0-1
Stab % 3-5 2
Seg % 54-66 85
Lym % 25-33 10
Mo % 3-7 3
Elektrolit
Na mmol/L 134-145 136
K mmol/L 3,6- 5,0 3,5
Kimia Klinik
Albumin g/dl 3,5-5,0 3,2 3,6
Creatinin mg/dL 3,5 3,53
Uric acid mg/dl 3,4-7,0 9,9
Triglycerida mg/dl <150 426
HDL mg/dl >60 23
LDL mg/dl <100 53
Gula puasa mg/dl <100 133
G2PP mg/dL <120 199
Urine Lengkap
Kekeruhan Slighly
cloudly
yellow
PH 4,6-8,0 6,0
BJ 1,001-1,035 1,030
Protein negatif +2
Glukosa negatif -
Bilirubin negatif -
Urobilin negatif Normal
Nitrit negatif -
Eritrosit negatif +3
Leukosit negatif +2
Ephitel negatif +1
Cylinder negatif 0-1
Bakteri negatif -
Kristal 1 negatif Amorph
urat +
Kristal 2 negatif -
Cells negatif -
Kultur urine -
Radiologi
Foto torax (hasil Elevasi
pemeriksaan ringan
radiologi) hemidiafrag
ma kanan

Diagnosis Dokter
Masuk : Cardiomiopathy
Tambahan : Hipertensi, Jantung Koroner, Rheumatoid arthritis
Komplikasi : CKD, hiperuricemia

Current Medication

No Nama Obat Frekwensi Rute Waktu 28/1 29/1 30/1 31/1 ½


1 Ketosteril® 3X Oral P √ √ √ √
Si √ √ √
Asam
So √ √ √ √
Ketoesensial.
No Nama Obat Frekwensi Rute Waktu 28/1 29/1 30/1 31/1 ½
M √ √ √
2 Allopurinol P √ √ √ √
Si
2x 100mg Oral
So √ √ √ √
M
3 Noperten® 1x 5 mg P
Lisinopril 0-0-1 Si
Oral
So √ √ √ √ √
M
4 Amlodipin 1x5 mg P √ √ √ √ √
Si
1-0-0 Oral
So
M
5 Laxadine® P √ √ √
Phenolphtalein, Si √ √
So √ √ √
Paraffin
3x CI Oral
Liquidium dan
Glycerin.
M
6 Novalgin® P
Metamizole Na prn IV Si
So
M √ √
7 Albuminar® P
Albumin Si
25% IV
So √
M
E .PEMBAHASAN

1.Subjective
Nyeri kaki sejak 2 bulan lalu, badan panas, mual, dan muntah

2.Objective
Physical Examination
Pemeriksaan Satuan 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2

Tekanan darah 05.00) mmHg 160/90 170/110 160/90 150/90 130/80

Nadi x/min 78 80 88 80 80

Temperatur ⁰C 35,5 36,6 36,5 36,7 36,5

CMCK (sore) +200 +880 -200 +550 -200

3.asseement obat yang diberikan oleh dokter


Obat dosis indikasi drp keterangan
Asam 3x1 protein Tidak perlu Cukup dengan protein sehari
Ketoesensial hari
Allopurinol 2x100mg Asam urat Dosis terlalu Sebaiknya 1x100mg karena
tinggi baru pertama kali, hanya
untuk memperlambat
kristalisasi asam urat
selanjutnya
Lisinopril 1x5mg Hipertensi
Amlodipin 1x5mg Hipertensi
Laxadin syr 3x1c Mempelancar Karena kombinasi obat acei
buang air dan ccb akan menyebabkan
besar konstipasi ,pasien dengan
stable angina sebaiknya tidak
mengejan
novalgin Iv Nyeri Dievaluasi Diganti dengan paracetamol
Albumin 25% iv albumin Perlu dilihat Sebaiknya tidak digunakan
lg hasil lab
Simvastatin 1x10mg kolesterol Ada indikasi Hasil ldl yang tinggi perlu
tapi tidak terapi tambahan
diberi terapi
aspilet 1x80mg antiplatelet Ada indikasi Untuk mencegah pembekuan
tapi tidak darah
diberi terapi

Pada kasus ini, telah diketahui Tn. AS masuk rumah sakit dengan keluhan
yang tertera pada data subjektif dan menjalani pemeriksaan seperti pada data
objektif. Dokter mendiagnosis Tn. AS mengalami cardiomyopathy, dengan
tambahan hipertensi, jantung coroner dan rhematoid arthritis dengan komplikasi
CKD dan hiperurisemia. Pasien mendapatkan terapi obat berupa katosteril (asam
ketoesensial) 3 kali sehari secara oral, allopurinol 2 kali sehari 100mg secara oral,
noperten (Lisinopril) 1 kali sehari 5 mg secara oral, amlodipine 1 kali secari 5 mg
secara oral, laxadine 3 kali sehari 1 sendok makan 15 ml secara oral, novalgin
(metamizole Na) secara parenteral IV, Albuminar 25% secara IV.
Pada kasus ini, pasien di beri terapi ketosteril yang diindikasikan sebagai
terapi untuk mengatasi penyakit ginjal dari pasien. Dalam kasus tidak dijelaskan
kemampuan asupan protein pada pasien sehingga kadar protein dalam urin juga
tidak diketahui, sehingga pasien tidak perlu diberi terapi ketosteril. Sebelum
diberikan terapi ketosteril, sebaiknya terlebih dahulu dimonitoring asupan protein
sehari-hari dari pasien tersebut, jika sudah memenuhi maka tidak diperlukan terapi
ketosteril akan tetapi jika terdapat masalah terkait asupan proteinnya, maka terapi
ketosteril harus diberikan 3 kali sehari bersamaan dengan makanan. Pada data
laboratorium ditunjukkan bahwa kadar uric acid dari pasien di atas kadar normal
yaitu 9,9. Pemberian allopurinol diindikasikan untuk penyakit hyperuricemia serta
bertujuan untuk mencegah perkembangan penyakit asam urat pada pasien
tersebut, jadi bukan hanya untuk hyperuricemia tetapi juga untuk mencegah
perkembangan rheumatoid artritis atau mengatasi simptomatis dari rheumatoid
artritis. Jadi terapi tambahan untuk asam urat/rheumatoid artritis pada pasien
tersebut tidak diperlukan. Pemberian albuminar bertujuan mengatur tekanan
osmotic dalam darah. Keseimbangan albumin dibutuhkan untuk menjaga agar
cairan yang terdapat dalam darah tidak bocor ke jaringan tubuh. Obat ini diberikan
pada pasien yang mengidap hipoalbuminemia. Pada kasus ini berdasarkan data
laboratorium, kadar albumin dalam darah pasien sebesar 3,6 dimana normalnya
adalah 3,5-5,0. Pemberian albumin pada pasien dianjurkan jika kadar albumin
dalam darah pasien dibawah 2,5. Jadi dalam kasus ini pasien tidak perlu
mendapatkan terapi albuminar karena masih dalam rentang yang aman. Pada
pasien ini kita hanya perlu memonitoring asupan protein yang diberikan setiap
harinya.
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai
dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang
paling murah untuk pasien dan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan
data dan Kasus diatas menunjukkan bahwa pasien mengalami SCAD, CKD,
Rheumatoid Artrrithis, Hipertensi, hiperurisemia, mual dan muntal serta nyeri
kaki sejak 2 bulan lalu.

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal selama lebih dari
3 bulan, ditentukan oleh kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau
tanpa penurunan nilai GFR. Mengelola komorbid diabetes secara optimal dan
mengatasi faktor risiko kardiovaskular akan mampu mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular yang merupakan penyebab utama kematian untuk pasien dengan
CKD (Jennifer et al, 2013). Setelah dilakukan perhitungan dengan metode MDRD
(Modification in Diet and Renal Disease Study) dengan rumus GFR (mL/min/1.73
m2) = 186 x (SCr) -1.154 x (Age) -0.203 x (0.742 if female) x (1.210 if African-
American) (Jennifer et al, 2013), diperoleh nilai GFR adalah 17,4 ml/min/1,73 m 3.
Nilai tersebut merupakan stage 4 atau stage G4 ada gambar dibawah.

Manajemen yang komprehensif dari iskemia miokard melibatkan


antiangina (anti - iskemik) agen dan vasculoprotektif agen. terapi antiangina
dengan nitrat, beta - blockers dan CCBs berguna untuk mengatasi gejala. Terapi
vasculoprotektip termasuk perubahan gaya hidup dan Terapi farmakologis dengan
terapi antiplatelet, ACE inhibitor (ACE - I), dan statin yang, secara agregat dapat
mengurangi perkembangan aterosklerosis, menstabilkan aterosklerotik plak, dan
mengurangi risiko trombosis pada pasien dengan angina stabil kronis.

Pada suatu laporan penelitian pasien yang menerima suplemen diet rendah
protein menggunakan asam amino esensial atau keto acids untuk periode yang
lama pada kejadian kerusakan ginjal berat dapat menunda kebutuhan akan dialysis
sampai lebiih dari 1 tahun serta menjaga berat badan dan serum albumin normal.
Keto acids disarankan konsumsi rutin pada terapi EPO pada pasien CRF dengan
anemia renal (Teplan, 2004). Menurut Pubmed, Ketosteril diberikan selama 7
minggu dengan dosis 3 kali sehari 1 tablet. Sehingga pemberian suplemen ini
rasional.
Menurut Medscape dosis penyesuaian Allopurinol pada pasien dengan renal
impairment adalah 100 mg/hari bila kadar CrCl 3-10 ml/min. shingga berdasarkan
data hasil lab dosis Allopurinol harus diturunkan menjadi setengahnya (100
mg/hari).
Dosis Lisinopril untuk penderita CKD dengan GFR 10-29 ml/min adalah
50% dari dosis normal (10-40 mg per hari) (Jennifer et al, 2013), sehingga dosis
pemberian Lisinopril untuk kasus ini tepat. Sedangkan dosis Amlodipin tidak
terpengaruh pada GFR 10-29 ml/min dengan dosis normal (5-10 mg per hari)
(Jennifer et al, 2013). Penggunaan Laxadin disini adalah untuk mengurangi efek
samping dari Amlodipin dan Lisinopril papa usia lanjut yaitu konstipasi (Kimble
and Young, 2013). Penggunaan antinyeri Methampiron di sini tidak tepat
mengingat efek samping dari obat ini adalan mual dan muntah. Selain bersifat
nefrotoksik (Jennifer et al, 2013), Efek samping dari metampiron juga dapat
menyebabkan anemia sickle cell (Kimble and Young, 2013). Berdasarkan
pernyataan diatas maka dapat disarankan dengan penggantian dengan Paracetamol
500 mg. PCT dosis rendah telah digunakan pada pasien dengan RA dan untuk
mengontrol kesehatan dan hospital kontrol. Digunakan dosis rendah oleh karena
pada penderita gagal ginjal ekskresi dari paracetamol menurun (Bradley et al,
1991) sehingga dosis 500 mg dapat memberikan efek yang kuat. Kemudian untuk
akut Nephrosis Renal Dialysis dosis albumin digunakan adalah 25% solution
(Medscappe, 2016).
Berdasarkan pedoman KDIGO 2013, anemia pada CKD didefinisikan
sebagai HgB <13 pada pria dan Hgb <12 pada wanita. Evaluasi harus mencakup
CBC, jumlah retikulosit, serum feritin, dan serum iron saturation (TSAT) untuk
menilai kekurangan zat besi (Jennifer et al, 2013), nilai Hgb 10,1, sehingga
pemberian suplemen zat besi disarankan untuk kasus ini (kapsul Sangobion).
Baru-baru ini, sebuah penelitian meta-analisis tentang penggunaan agen
antiplatelet di antara orang-orang dengan CKD baik dengan PJK yang diketahui
stabil atau tidak stabil dan mereka yang "berisiko" untuk PJK. Untuk pasien CKD
dengan PJK stabil yang diketahui atau "berisiko" untuk PJK, rejimen antiplatelet
(aspirin, aspirin plus dipyridamole [Aggrenox®] atau thienopyridine [Plavix®])
tampaknya mengurangi infark miokard fatal atau nonfatal sekitar 33% namun
dampaknya pada stroke atau all cause dan kematian kardiovaskular tidak pasti. Di
antara pasien yang stabil ini, agen antiplatelet tampaknya meningkatkan risiko
perdarahan ringan namun penggunaannya tidak secara jelas dalam meningkatkan
risiko terjadinya perdarahan mayor (Jennifer et al, 2013). Perlu ditambahkan
aspirin aspirin pada dosis 80-325 mg jika pasien alergi diberika clopidogrel 75
mg/hari pada pagi hari setelah makan (Kimble and Young, 2013).
Terapi statin atau statin / ezetimibe direkomendasikan pada semua pasien
CKD berusia ≥ 50 tahun untuk mengurangi risiko kejadian kardiovaskular atau
aterosklerotik.

Lipid lower drugs yang digunakan adalah golongan statin yatiu

simvastatin dengan lasim 5-80 mg/hari atau 80 mg/hari untuk resiko tinggi
myopathy (Jennifer et al, 2013).
Adapun beberapa masalah terkait pasien belum mendapatkan obat
diataranya adalah, pada pemeriksaan pasien, dimana kadar kolestrol dari pasien
cenderung tinggi dan pasien mengalami hyperkolesterol. Ini menyebabkan
kerusakan endotel yang berakibat proliferasi makrofag dan migrasi otot polos ke
lumen pembuluh darah dan terbentuklah plak. Selanjutnya Plak ini kemudian
menyebabkan stenosis/penyempitan lumen arteri koroner. Pada aterosklerotik
koroner terjadi penurunan kemampuan relaksasi endotel atau tonus pembuluh
darah yang mengakibatkan vasokonstriksi arteri koroner yang sempit. Maka
dalam kasus ini pemberian terapi untuk menurunkan kadar kolestrol dari pasien
sangat diperlukan yaitu dengan pemberian terapi lipid lowering drug seperti statin.
Dimana mekanisme kerjanya adalah memperbaiki fungsi daerah endotel pada
daerah arterosklerosis sehingga aliran daraah menjadi lebih baik di arteri koronari

4.Plan
1. Kombinasi ACEI ( lisinorpil) dan CCB ( amldodipine) meruppakan
kombinasi superior untuk HT dan PJK tetapi pada pasien elderly efek
samping dari obat tersebut salah satunya konstipasi. Hal ini diatasi dengan
Laxadin.
2. Pemberian antiplatetelet aspirin pada dosis 80-325 mg jika pasien alergi
diberikan clopidogrel 75 mg/hari untuk meningkatkan prognosis pasien
dan mengurangi kejadian MI.
3. Pasien mengalami stable angina sehingga tidak boleh terlalu mengeluarkan
tenaga terlalu besar, sehingga diberikan laxadine untuk mempermudah
pasien saat BAB.
4. Pasien dengan uric acid diatas normal diberikan allopurinol untuk
menegah pengkristalan urin dimulai dengan 100 mg sekali sehari. Dosis
Alupurinol diturunkan.
5. Untuk terapi albuminar karena kondisi pasien terkait kadar albumin pasien
dalam darah masih dalam rentang normal, maka pasien tidak
membutuhkan terapi tambahan berupa albumin
6. Terkait masalah bahwa pasien juga mengalami hiperkolesterol, pasien
membutuhkan terapi lipid lowering drug berupa statin dengan pemberian
simvastatin 10 mg 1 kali sehari pada malam hari. Hai ini dikarenakan oleh
proses membentukan kolestrol pada malam hari atau pada saat proses
metabolism.
7. Ketosteril tidak digunakan
8. Penggunaan novalgin sebagai analgesic terkait masalah efek samping
yang diberikan, pasien disarankan untuk mendapatkan terapi pengganti
berupa parasetamol dengan dosis 650mg atau kombinasi antara tramadol
dengan parasetamol.
9. Untuk obat selain yang disebutkan di atas dapat dilanjutkan karena
sudah sesuai dengan kondisi pasien dan dapat tetap diberikan dengan
melakukan monitoring pada kondisi pasien. Selain itu perlu juga dilakukan
terapi non-farmakologi untuk mendukung terapi farmakologi yang telah
diberikan.

5. Monitoring
 Efektivitas
1. Monitoring tekanan darah sehingga tetap pada goal terapi, 130/80
mmHg.
2. Penurun kadar triglliserida.
3. Monitoring penggunaan allopurinol.
 Efek Samping Obat
1. Diamati efek samping dari kombinasi obat lisinopril dan
amlodipine pada pasien usia lanjut.
2. Dipantau terjadinya batuk kering pada pasien
 Interaksi dan Efek samping
Untuk melihat toksisitas dari terapi obat, efek samping dan interaksi suatu
obat perlu dilakukan monitoring secara teratur terhadap pemakaian obat
tersebut. Efek samping biasanya muncul 2 sampai 4 minggu setelah
pemakaian obat baru atau beberapa waktu setelah adanya kenaikan dosis.
Efek samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan
dengan obat lain atau dengan golongan yang lain.

F.KESIMPULAN

Stable angina adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan


munculnya rasa tidak nyaman pada dada, rahang, punggung, atau dada. Biasanya
angina dipicu oleh aktifitas fisik yang berat dan membaik dengan pemberian
nitrogliserin. Patofisiologi stable angina dimulai dari arterosklerosis
mengakibatkan penyumbatan arteri coroner, menguranggi aliran darah, dan
oksigen ke otot jantung. Kemudian timbullah miokardial iskemik dimana terjadi
akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen saat beraktivitas.
Pada study kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu ditambahkan
aspirin pada dosis 80-325 mg jika pasien alergi diberikan clopidogrel 75 mg/hari
pada pagi hari setelah makan, kemudian perlu ditambahkan simvastatin 10 mg
diberikan pada malam hari 1 x sehari. Kombinasi obat CCB dan ACEi diberikan
pada malam dan pagi masing-masing 1 obat, ACEI sebaiknya diberikan pada pagi
hari saat perut kosong karena dapat berinteraksi dengan makanan (1 jam sebelum
atau 2 jam setelah makan). Dosis Allopurinol diberikan 1x 100 mg . Laxadine
diberikan sebelum tidur. Untuk terapi albuminar karena kondisi pasien terkait
kadar albumin pasien dalam darah masih dalam rentang normal, maka pasien
tidak membutuhkan terapi tambahan berupa albumin Penggunaan novalgin
sebagai analgesic terkait masalah efek samping yang diberikan, pasien disarankan
untuk mendapatkan terapi pengganti berupa parasetamol dengan dosis 650mg atau
kombinasi antara tramadol dengan parasetamol. Selain itu perlu juga dilakukan
terapi non-farmakologi untuk mendukung terapi farmakologi yang telah
diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Huang HL, Fox KA. The impact of beta-blockers on mortality in stable


angina: a meta-analysis. Scottish Medical Journal 57: 69–75; 2012
2. Pepine CJ, Handberg EM, Cooper-DeHoff RM et al. A calcium antagonist
vs a non-calcium antagonist hypertension treatment strategy for patients with
coronary artery disease. The International Verapamil-Trandolapril Study
(INVEST): a randomized controlled trial. Journal of the American Medical
Association 290: 2805–16; 2003
3. Wei J, Wu T, Yang Q et al. Nitrates for stable angina: a systematic review
and meta-analysis of randomized clinical trials. International Journal of
Cardiology 146: 4–12 ; 2011
4. Koda-Kimble MA, Alldredge BK, editors. Koda-Kimble and Youngs
applied therapeutics: the clinical use of drugs. 10th ed. Baltimore: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
5. DiPiro JT, editor. Pharmacotherapy: a pathophysiologic approach. 8th ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2011. 2668 p.
6. Task Force Members, Montalescot G, Sechtem U, Achenbach S, Andreotti
F, Arden C, et al. 2013 ESC guidelines on the management of stable coronary
artery disease: The Task Force on the management of stable coronary artery
disease of the European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2013 Oct
2;34(38):2949–3003.
7. Boden WE, O’Rourke RA, Teo KK, Maron DJ, Hartigan PM, Sedlis SP,
Dada M, Labedi M, Spertus JA, Kostuk WJ, Berman DS, Shaw LJ, Chaitman
BR, Mancini GB, Weintraub WS. Impact of optimal medical therapy with or
without percutaneous coronary intervention on long-term cardiovascular end
points in patients with stable coronary artery disease (from the COURAGE
Trial). Am J Cardiol 2009;104:1–4.
8. Diaz A, BourassaMG, Guertin MC, Tardif JC. Long-term prognostic value
of resting heart rate in patients with suspected or proven coronary artery
disease. Eur Heart J 2005;26:967–974.
9. Fitzgibbon GM, Kafka HP, Leach AJ, Keon WJ, Hooper GD, Burton JR.
Coronary bypass graft fate and patient outcome: angiographic follow-up of
5,065 grafts related to survival and reoperation in 1,388 patients during 25
years. J Am Coll Cardiol 1996;28:616–626.
10. Goldman S, Zadina K, Moritz T, Ovitt T, Sethi G, Copeland JG,
Thottapurathu L, Krasnicka B, Ellis N, Anderson RJ, HendersonW. Long-term
patency of saphenous vein and left internal mammary artery grafts after
coronary artery bypass surgery: results from a Department of Veterans Affairs
Cooperative Study. J Am Coll Cardiol 2004;44:2149–2156.
11. Hemingway H, Langenberg C, Damant J, Frost C, Pyorala K, Barrett-
Connor E. Prevalence of angina in women versus men: a systematic review
and meta-analysis of international variations across 31 countries. Circulation
2008;117:1526–1536.
12.Kemenkes RI. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
13.Jennifer Reilly Lukela, MD R. Van Harrison, PhD Masahito Jimbo, MD,
Ahmad Mahallati, MD Rajiv Saran, MBBS Annie Z. 2013. Management of
Chronic Kidney Disease Guidelines for Clinical Care Ambulatory. Michigan
Medicine University of Michigan
14.Teplan, Vladimir. 2004. Supplement of Keto Acids in Patients with Chronic
Renal Failure. Institute for Clinical and Experimental Medicine and Chair of
Nephrology, Praque, Czech Republik.
15. H. Bradley et al. 1991. Metabolism of low-dose PCT in patients with
Rhematoid Arthritis. Xenobiotica 21 (5). 689-693, 5 Pubmed.

Anda mungkin juga menyukai