Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PHARMACOVIGILLANCE

“KASUS ADR OBAT-OBAT SINTETIK”

Oleh :

KLP III/A3A

1. Ni Komang Tinggal Sariani (18021006)


2. Ni Luh Sridevi Intan Sari (18021009)
3. Ni Wayan Mita Arisia (18021011)
4. Luh Ayu Anisa Dewi (18021013)
5. Komang Ayu Purnama Sari (18021014)
6. Nyoman Vina Angelina Dewi (18021022)
7. Made Galih Dwi Mahayuni (18021027)

Dosen Pengampu :

1. apt. Ni Putu Aryati Suryaningsih., S.Farm., M.Farm- Klin.

2. apt. Ida Bagus Nyoman Maharjana., S.Farm., M.Farm- Klin., MARS.

3. apt. Putu Prayascittadevi Empuadji, S.Farm., M.Sc.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

FALKUTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunianya-Nya sehingga pada Mata
Kuliah Pharmacovigillance dapat ditempuh dan penyusunan makalah dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
banyak membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan makalah kewirausahaan
diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM), selaku rektor


Universitas Bali Internasional beserta jajarannya.
2. Ibu Ni Putu Ariati Suryaningsih., S.Farm., M.Farm-Klin., Apt selaku
penanggung jawab mata kuliah di Universitas Bali Internasional
beserta dosen lainnya.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan


baik dari segi susunan serta cara penulisan, karenanya saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan.

Denpasar, 10 Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pharmacovigilance adalah ilmu dan seluruh rangkaian aktivitas yang
berkaitan dengan pendeteksian, memahami dan mencegah efek samping
atau efek yang tidak dikehendaki lainnya (Kumar, 2013). Tujuan
pharmacovigilance yaitu memperbaiki perawatan dan keamanan pasien
dalam penggunaan obat-obatan, meneliti khasiat obat, meningkatkan
kesehatan dan keselamatan pasien (Babita, 2011). Pelaporan langsung
mengenai ROTD (Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan) merupakan salah
satu metode dari pharmacovigilance (Avery et al, 2011).
Adverse Drug Reaction merupakan efek samping yang tidak
diinginkan atau respon yang merugikan dari suatu obat saat pemberian
dosis profilaksis, diagnosis dan terapi (Babita,2011). Kejadian ADR masih
sangat sering terjadi, khususnya untuk penggunaan jangka panjang.
Karena banyaknya kasus ADR pada tahun 1960 FDA mengumpulkan
laporan efek samping obat, dan membentukan pharmacovigilans untuk
mempelajari keamaan terapi obat, resep dan penggunaan obat. Hingga
sekarang pharmacovigilans sudah mulai diterapkan dirumah sakit
khususnya di Indonesia. (Babita,2011).
Cefotaxime adalah Sefalosporin Generasi Ketiga yang bekerja
dengan menghambat langkah transpeptidasi akhir dari sintesis
peptidoglikan yang mengakibatkan kematian dinding sel bakteri meskipun
profil keamanannya baik. Cefotaxime jarang dilaporkan dengan
pemberiannya pada populasi anak, Penatalaksanaan (DISCLE) dapat
sangat menantang pada pasien yang menggunakan beberapa mediasi yang
mampu memicu lupus eritematosus kulit subakut.
Pharmacovigilance yang rasional diperlukan peran dari apoteker,
dimana apoteker adalah tenaga kesehatan yang memilikiperan selain
melayani masyarakat tidak hanya mempersiapkan atau membagikan obat-
obatan, apoteker berkontribusi untuk keamanan obat dengan mencegah,
mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan pelaporan ROTD (Granas dkk,
2007).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah
ini adalah bagaimana studi ADR pada pemberian terapi Cefotaxime
1.3 TUJUAN
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui ADR
dari pemberian terapi Cefotaxime
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk memberikan informasi terkait ADR yang ditumbulkan oleh
obat Cefotaxime
1.4 MANFAAT
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi
referensi bagi mahasiswa/mahasiswi lain untuk kesiapan bekal ilmu pada
sikap terkait pengetahuan pharmacovigilance.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Soap
2.2 Cara Menentukan Adr, Kategori, Perhitungan Dan Pelaporan
2.2.1 Penentuan ADR
Hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi ADRs adalah bahwa
sering kali sulit untuk membuktikan suatu obat mempunyai hubungan penyebab
dengan gejala yang dialami pasien. Sering kali ADRs tampak seperti penyakit
yang lain dan banyak gejala yang terkait dengan ADRs muncul pada pasien yang
sehat, namun adanya dugaan bahwa suatu obat menyebabkan ADRs telah cukup
untuk melakukan suatu tindakan. Beberapa pasien mungkin dapat membedakan
sendiri suatu ADRs dari gejala-gejala lain yang mereka alami. Namun di dalam
mengidentifikasi apakah suatu gejala termasuk ADRs atau bukan merupakan
keterampilan yang perlu dimiliki oleh farmasis (Aslam dkk, 2003).
Pada kasus dijelaskan bahwa pemberian sefotaksim dikaitkan dengan
kemungkinan reaksi obat yang merugikan seperti reaksi hipersensitivitas, pruritis,
trombositopenia dan peningkatan transaminase hati. Reaksi-reaksi ini biasanya
diklasifikasikan sebagai reaksi idiosinkratik yang tidak berhubungan langsung
dengan konsentrasi obat tetapi mungkin karena fenotipe biasa. Tes genetik untuk
mengidentifikasi semua pasien yang berisiko mengalami efek samping sebelum
resep dapat menyebabkan obat yang berharga disimpan (Anna K, 2013).
Mayoritas Obat yang diidentifikasi menyebabkan Drug-induced subacute lupus
erythematosus (DISCLE) dan keterlibatan kulit, reaksi hipersensitivitas. Lupus
eritematosus kulit subakut yang diinduksi sefotaksim pada pediatrik adalah entitas
yang jarang, Namun beberapa literatur baru-baru ini telah melaporkan bahwa
sefalosporin menyebabkan lupus eritematosus subakut yang diinduksi obat dan
telah terlihat dengan cefipime.
2.2.2 Kategori ADR
ADRs pada umumnya diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu tipe A dan tipe
B (Lee, A, 2001). Reaksi tipe A (augmented) merupakan reaksi yang muncul
secara berlebihan dimana reaksi ini terkait dengan dosis obat, sedangkan reaksi
tipe B (bizarre) merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan
dosis (Aslam dkk, 2003).
1) Reaksi tipe A
Reaksi tipe A merupakan aksi farmakologis yang normal tetapi meningkat.
Reaksi ini dapat diprediksi melalui pengetahuan tentang farmakologi obat
dan tergantung dosis. Frekuensi terjadinya cukup sering, namun jarang
sekali menimbukan efek yang serius. Melalui pengurangan dosis biasanya
sudah dapat menghilangkan ADRs. Contohnya hipogklikemia dengan
sulfonilurea dan hipotensi ortostatik dengan obat antihertensi. Beberapa
reaksi tipe A timbul dari efek farmakologi obat, seperti efek antikolinergik
dengan antihistamin dan tricyclic antidepresants.
2) Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak terduga, tidak diharapkan dari
efek farmakologi obat dan bersifat idiosinkranik. Reaksi ini berkaitan
dengan sistem metabolisme obat dan sistem imun tubuh penderita. Reaksi
ini lebih jarang terjadi dibandingkan reaksi tipe A, namun sering kali
menimbulkan efek yang lebih serius dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Reaki seperti ini sangat sulit untuk bisa diramalkan dan hanya
terjadi pada individu yang rentan terhadap reaksi tersebut. Reaksi ini
sering disebabkan oleh mekanisme imunologi dan farmakogenetik. Reaksi
imunologi contohnya syok anafilaksis dengan penicillin, anemia apalastik
dengan kloramfenikol, hipertermia maligna dengan anastetik.
Berdasarkan pada kasus, prognosis lesi kulit eritematosus pasien secara
bertahap membaik dari garis dasar setelah berhenti mengkonsumsi cefotaxime.
Hasil temuan dari Histopatologi dan serologis menunjukkan adanya antibodi
Ro/SS-A dan korelasi riwayat pengobatan sebelumnya dan diagnosis banding
dibuat dari Drug-induced subacute lupus erythematosus (DISCLE). Maka dari itu,
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami ADR reaksi tipe B.
2.2.3 Perhitungan ADR
Scale
No Pertanyaan/Question Ya/ Tidak Tidak Skor
Yes /No Diketahui
1 Apakah ada laporan efek samping obat yang 1 0 0 0
serupa?
2 Apakah efek samping obat terjadi setelah 2 -1 0 2
pemberian obat yang dicurigai?
3 Apakah efek samping obat membaik setelah 1 0 0 1
obat dihentikan atau obat antagonis khusus
diberikan?
4 Apakah efek samping obat terjadi berulang 2 -1 0 0
setelah obat diberikan kembali?
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat -1 2 0 0
menjelaskan kemungkinan terjadinya efek
samping obat?
6 Apakah efek samping obat muncul kembali -1 1 0 0
ketika plasebo diberikan?
7 Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di 1 0 0 0
dalam darah atau cairan tubuh lainnya dengan
konsentrasi yang toksik?
8 Apakah efek samping obat bertambah parah 1 0 0 0
ketika dosis obat ditingkatkan atau bertambah
ringan ketika obat diturunkan dosisnya?
9 Apakah pasien pernah mengalami efek 1 0 0 0
samping obat yang sama atau dengan obat
yang mirip sebelumnya?
10 Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi 1 0 0 1
dengan bukti yang obyektif?
Total 4
(Possible)
Naranjo Probability Scale

Score Category
9+ Highly probable
5 -8 Probable
1–4 Possible
0 Doubtful

2.2.4 Pelaporan ADR


Untuk obat dalam kasus yaitu Cefotaxime, obat tersebut adalah obat yang
telah lama beredar. Untuk obat yang sudah lama beredar ini seluruh ESO
dilaporkan terutama ESO yang diduga serius atau tidak terduga/tidak biasa
(Unexpected). Pelaporan ESO oleh tenaga profesional kesehatan dilakukan
sesegera mungkin saat terjadi KTD.
Setiap Kejadian yang dicurigai sebagai ESO dilaporkan kepada penanggungjawab
pelaporan ESO di rumah sakit atau dilaporkan secara langsung ke Pusat
Farmakovigilans/MESO Nasional Badan POM melalui:
a. Manual
 Melakukan pengisian formulir kuning yang dapat diunduh di https://e-
meso.pom.go.id
 Mengirimkan formulir kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional
melalui pos atau email.
 Alamat email : pv-center@pom.go.id atau Indonesia-MESO-
BadanPOM@hotmail.com 47
 Alamat pos
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta 10560
Gedung F timur Lantai 5
Telp. (021) 4244691 ext 1079
Ditujukan kepada:
Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional Direktorat Pengawasan
Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor dan Zat Adiktif Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika,
Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif

b. Elektronik (sangat dianjurkan)


 Melalui website: https://e-meso.pom.go.id
 Klik ADR online Petunjuk pengisian tersedia pada halaman website
tersebut.

Pelaporan oleh Tenaga Profesional Kesehatan Tenaga Profesional


Kesehatan (termasuk dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan dan lainnya)
diminta untuk melaporkan dugaan KTD yang diperoleh dari praktik pelayanan
klinis. Tenaga profesional kesehatan dihimbau untuk melaporkan semua dugaan
reaksi baik terhadap obat yang baru memiliki izin edar, obat yang dalam studi
pemantauan tambahan dan reaksi yang dicurigai dari penggunaan vaksin atau
obat-obatan yang digunakan dalam kondisi kehamilan. Tenaga profesional
kesehatan memainkan peran penting dalam farmakovigilans. Keterbatasan pada
uji klinik memberikan konsekuensi bahwa ketika obat pertama kali dipasarkan,
informasi mengenai efikasi akan lebih banyak dibandingkan dengan informasi
mengenai profil keamanannya. Oleh karena itu, pengawasan setelah pemasaran
sangat penting untuk membantu identifikasi masalah keamanan obat yang tidak
terdeteksi selama evaluasi sebelum pemasaran (BPOM, 2020).
Farmakovigilans menggunakan pelaporan KTD secara spontan untuk
menghasilkan hipotesis dan signal tentang potensi bahaya obat dipasaran yang
memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Pelaporan spontan dari KTD yang
dicurigai sangat berguna dalam mengidentifikasi reaksi yang jarang atau tertunda.
Hal ini memberikan informasi bahwa sistem pemantauan keamanan obat dapat
dilakukan sepanjang siklus hidupnya. Dengan demikian, penilaian keamanan obat
harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari praktik klinis sehari-
hari bagi tenaga profesional kesehatan.
Sangat penting bagi para tenaga profesional kesehatan untuk mengetahui
profil toksisitas obat, untuk selalu waspada terhadap terjadinya kejadian tidak
diinginkan (KTD) yang tidak terduga dan untuk melaporkan dugaan KTD tersebut
kepada Badan POM dan/atau MAH untuk memfasilitasi deteksi dan penilaian
yang tepat waktu dan akurat dari signal keamanan obat (BPOM, 2020).
2.3 Bukti Kasus Adverse Drug Rection (Adr)
Seorang anak perempuan berusia 9 tahun dirawat di bangsal anak di
Rumah Sakit Pemerintah pada tanggal 1st November 2017, dengan keluhan nyeri
perut, Mulas, nafsu makan kurang, berat badan turun dan tampak bercak kulit
eritematosus, ibunya mengungkapkan riwayat pengobatan Riwayat pemberian
injeksi Cefotaxime dengan dosis 1500mg selama tujuh hari dan riwayat penyakit
dahulu Gastroesofageal penyakit refluks (GERD). Berdasarkan tanda dan gejala
anak didiagnosis dengan limfadenopati mesenterika (ICD Code No.188.0) dimana
dilakukan USG abdomen untuk memastikan diagnosis dan nyeri abdomen untuk
evaluasi pada 1st hari dia diberikan dengan injeksi cefotaxime IV 750mg q12Hr
(50mg/kg/hari). Menariknya di 4th hari dengan cepat secara bertahap dia
mengembangkan lebih banyak penampilan lesi kulit eritematosus
papuloskuamosa pada leher, lengan bawah dan ekstremitas bawah, dia tidak
menunjukkan tanda-tanda demam, tidak ada tanda-tanda demam. Hasil temuan
dari Histopatologi dan serologis menunjukkan adanya antibodi Ro/SS-A dan
korelasi riwayat pengobatan sebelumnya dan diagnosis banding dibuat dari
DISCLE. Cefotaxime sangat dicurigai dan dihentikan prognosis lesi kulit
eritematosus anak secara bertahap membaik dari garis dasar setelah penghentian
obat penyebab. Reaksi kulit yang parah dari Cephalosporin sangat jarang tetapi
telah didokumentasikan sebelumnya atau terjadi selama pemberian bersama
dengan obat lain.7 Pemberian sefotaksim dikaitkan dengan kemungkinan reaksi
obat yang merugikan seperti reaksi hipersensitivitas, pruritis, trombositopenia dan
peningkatan transaminase hati.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kejadian DISCLE pada populasi pediatrik cukup tidak biasa,
pengobatan standar untuk obat yang menginduksi SCLE, untuk pasien ini
terutama penghentian obat yang bertanggung jawab. Namun, Dokter harus
meninjau riwayat pengobatan masa lalu sebelum meresepkan dan
identifikasi individu yang rentan untuk SCLE yang diinduksi obat dapat
difasilitasi di masa depan dengan penggunaan biomarker dan kemampuan
untuk memprediksi efek samping berdasarkan prinsip farmakogenomik
klinis. Namun demikian, genotipe HLA harus menjadi rutinitas masa
depan di klinik sebelum Terapi Obat untuk mencegah potensi efek
samping serius (SAE) dan reaksi obat yang merugikan (ADR) karena obat
yang diinduksi SCLE.
3.2 SARAN
1. Diharapkan kejadian ADR tidak terulang kebali, sehingga pengobatan
dapat berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Anna K. Farmakogenomik reaksi obat yang merugikan. Bioma sentral. 2013;115-


7.
Aslam, M., Tan, C.K., dan Prayitno, A., 2003, Farmasi Klinis Menuju
Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Avery A. J., C. Anderson, C. M. Bond., H. Fortnum, A. Gifford, P. C. Hannaford
et al, 2011. Evaluation of Patient Reporting of Adverse Drug Reactions to
The UK ‘Yellow Card Scheme’. Literature Review, Descriptive and
Qualitative Analyses, and Questionnaire Surveys, Health Technology
Assesment, 15 (20), iii
Babita Ravindra Alhat et al. 2011. PHARMACOVIGILANCE: AN OVERVIEW.
Vishal Junnar Seva Mandal's, Institute of Pharmacy, Ale, Tal.- Junnar,
Pune, Maharashtra, India.

BPOM.2020. Modul Farmakovigilans untuk Tenaga Profesional Kesehatan.


Jakarta : BPOM
Catharine K, Dirk M. Obat yang diinduksi lupus eritematosus. Tersedia dari:
http:// www.emedicine.medscape.com/article/1065086#.
Granas AG, Buajordet M, Stenberg-Nilson H, Harg P, Horn AM. 2007.
Pharmacist attitudes towards the reporting of suspected adverse drug
reaction in norway. Pharmacoepidemiol Drug Saf 16: 429-434.

Kumar V. 2013. Challenge and Future Consideration for Pharmacovigilance J


Pharmacovigil. 1: 102

Lee, A., 2001, Adverse Drug Reaction, Pharmaceutical Press, London.

Anda mungkin juga menyukai