Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

HEPATITIS (VIRUS)

ANGGOTA KELOMPOK :
I Putu Nugraha (162200008)
Ketut Amyati Puji Lestari (162200009)
Lailia Rochmah (162200011)
Ngakan Gede Sunuarta (162200012)
Ni Ketut Ayu Priska Saraswati (162200013)
Ni Komang Ayu Dewi Patni (162200014)
Ni Komang Herni Sandiari (162200015)

KELOMPOK 2 / KELAS B1A

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2018
HEPATITIS (VIRUS)

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi hepatitis
2. Mengetahui patofisiologi hepatitis
3. Mengetahui tatalaksana hepatitis (farmakologi & non farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait hepatitis secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP.

II. DASAR TEORI


1. Definisi
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,
yang disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk
obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih, dan autoimun.
(Kemenkes RI, 2014).
Menurut Dipiro 2007, definisi hepatitis virus mengacu pada virus
hepatotropik yang secara klinis bertanggung jawab terhadap hepatitis A
(HAV), hepatitis B (HBV), hepatitis delta, hepatitis C (HCV), dan hepatitis
E.

2. Klasifikasi
Menurut Muchid et al, 2007, virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis :
hepatitis A, B, C, D, E, F dan G. Hepatitis A, B dan C adalah yang paling
banyak ditemukan. Manifestasi penyakit hepatitis akibat virus bisa akut
(hepatitis A), kronik (hepatitis B dan C) ataupun kemudian menjadi kanker
hati (Hepatitis B dan C).
Tabel 1. Perbandingan Virus Hepatitis
2.1 Hepatitis A
Termasuk klasifikasi virus dengan transmisi secara enterik. Tidak
memiliki selubung dan tahan terhadap cairan empedu. Virus ini ditemukan
di dalam tinja. Berbentuk kubus simetrik dengan diameter 27-28 nm, untai
tunggal (single stranded), molekul RNA linier : 7,5 kb; termasuk
picornavirus, sub klasifikasi hepatovirus. Menginfeksi dan berreplikasi
pada primata non-manusia dan galur sel manusia.
Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah,
demam, diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan.
Gejala hilang sama sekali setelah 6-12 minggu. Penderita hepatitis A akan
menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan hepatitis B dan
C, infeksi hepatitis A tidak akan berlanjut menjadi kronik.
Masa inkubasi 15–50 hari, (rata-rata 30 hari). Tersebar di seluruh dunia
dengan endemisitas yang tinggi terdapat di negara-negara berkembang.
Penularan terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
tinja penderita hepatitis A, misalnya makan buah-buahan atau sayur yang
tidak dikelola / dimasak sempurna, makan kerang setengah matang,
minum es batu yang prosesnya terkontaminasi. Faktor resiko lain, meliputi
: tempat-tempat penitipan/perawatan bayi atau batita, institusi
untukdevelopmentally disadvantage, bepergian ke negara berkembang,
perilaku seks oral anak, pemakaian jarum bersama pada IDU (Injecting
Drug User)
Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A yang memberikan kekebalan selama
4 minggu setelah suntikan pertama. Untuk kekebalan yang lebih panjang
diperlukan suntikan vaksin beberapa kali.
2.2 Hepatitis B
Manifestasi infeksi hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati.
Virus hepatitis B termasuk yang paling sering ditemui. Distribusinya
tersebar di seluruh dunia, dengan prevalensi karier di USA < 1%,
sedangkan di Asia 5 - 15%. Masa inkubasi berkisar 15-180 hari, (rata-rata
60-90 hari). Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan
setelah infeksi akut.
Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai
kekebalan seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan.
Sebanyak 1–5% penderita dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan
berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. Orang
tersebut akan terus-menerus membawa virus hepatitis B dan bisa menjadi
sumber penularan. Penularannya melalui darah atau transmisi seksual.
Dapat terjadi lewat jarum suntik, pisau, tato, tindik, akupunktur atau
penggunaan sikat gigi bersama yang terkontaminasi, transfusi darah,
penderita hemodialisis dan gigitan manusia. Hepatitis B sangat berisiko
bagi pecandu narkotika dan orang yang mempunyai banyak pasangan
seksual.
Gejala hepatitis B adalah lemas, lesu, sakit otot, mual dan muntah.
Kadang-kadang timbul gejala flu, faringitis, batuk, fotofobia, kurang nafsu
makan, mata dan kulit kuning yang didahului dengan urin berwarna gelap.
Gatal-gatal di kulit, biasanya ringan dan sementara. Jarang ditemukan
demam. Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi
hepatitis B terhadap bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan
dengan orang yang terinfeksi, hindari penyalahgunaan obat dan pemakaian
bersama jarum suntik. Menghindari pemakaian bersama sikat gigi atau alat
cukur, dan memastikan alat suci hama bila ingin bertato melubangi telinga
atau tusuk jarum.
2.3 Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit infeksi yang bisa tak terdeteksi pada
seseorang selama puluhan tahun dan perlahan-lahan tapi pasti merusak
organ hati. Penyakit ini sekarang muncul sebagai salah satu masalah
pemeliharaan kesehatan utama di Amerika Serikat, baik dalam segi
mortalitas, maupun segi finansial.
Biasanya orang-orang yang menderita penyakit hepatitis C tidak
menyadari bahwa dirinya mengidap penyakit ini, karena memang tidak
ada gejala-gejala khusus. Beberapa orang berfikir bahwa mereka hanya
terserang flu. Gejala yang biasa dirasakan antara lain demam, rasa lelah,
muntah, sakit kepala, sakit perut atau hilangnya selera makan.
2.4 Hepatitis D
Virus Hepatitis D (HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik,
yakni virus RNA yang tidak lengkap, memerlukan keberadaan virus
hepatitis B untuk ekspresi dan patogenisitasnya, tetapi tidak untuk
replikasinya. Penularan melalui hubungan seksual, jarum suntik dan
transfusi darah. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul
sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau sangat progresif.
2.5 Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam, pegal linu, lelah, hilang nafsu makan
dan sakit perut. Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limited), kecuali
bila terjadi pada kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan.
Penularan hepatitis E melalui air yang terkontaminasi feces.
2.6 Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum
sepakat hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
2.7 Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan
hepatitis B dan/atau C. Tidak menyebabkan hepatitis fulminan atau
hepatitis kronik. Penularan melalui transfusi darah dan jarum suntik.

3. Epidemiologi
Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita
yang tercatat atau yang dating ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah
penderita yang sesungguhnya. Mengingat penyakit ini adalah penyakit kronis
menahun, dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi, kondisi masih
sehat dan belum menunjukkan gejala dan tanda khas, tetapi penularan terus
berjalan.
Menurut hasil Rikerdas tahun 2013 bahwa jumlah orang yang didiagnosa
Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala-gejala yang ada,
menunjukkan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dari data tahun
2007 dan 2013, hal ini dapat memberikan petunjuk awal kepada kita tentang
upaya pengendalian di masa lalu, peningkatan akses, potensial masalah di
masa yang akan dating apabila tidak segera dilakukan upaya-upaya yang
serius (Kemenkes 2014).

Gambar 1. Prevalensi Hepatitis Menurut Provinsi Tahun 2007 dan 2013


4. Etiologi
4.1 Hepatitis A
Hepatitis A adalah virus RNA milik genus Hepatovirus dari keluarga
Picornaviridae. Manusia adalah satu-satunya reservoir yang diketahui
untuk virus ini. Penularan terjadi terutama melalui rute fecal-oral. Virus ini
stabil di lingkungan selama paling sedikit satu bulan dan untuk
membebaskan kontaminasi terhadap makanan, membutuhkan suhu
pemanasan hingga minimum 85°C (185°F) selama 1 menit atau
disinfektan dengan pengenceran 1: 100 natrium hipoklorit (pemutih)
dalam air keran untuk inaktivasi.
Terdapat beberapa genotipe virus dan meskipun implikasi klinis
infeksi oleh jenis tertentu tidak diketahui, tipe I dan III adalah yang paling
sering diidentifikasi yang menyerang manusia (Dipiro, 2008).

4.2 Hepatitis B
HBV adalah virus DNA dari keluarga Hepadnaviridae. Virus ini
memiliki DNA beruntai ganda (double-stranded) dengan 3.200 pasangan
basa yang biasanya menginfeksi sel hati, meskipun pada beberapa kasus
virus ini ditemukan di ginjal, pankreas, dan sel mononuklear. Terdapat
tujuh genotipe HBV (A sampai H) dengan distribusi geografis yang
berbeda (Tabel 2). Ada kemungkinan bahwa prevalensi genotipe mungkin
tergantung pada cara penularan karena tipe B dan C ditemukan di daerah
di mana transmisi vertikal adalah model utama infeksi (Dipiro, 2008).

Gambar 2. Distribusi global dari Genotipe Virus Hepatitis B


4.3 Hepatitis C
HCV adalah virus RNA rantai tunggal (single stranded) dari keluarga
Flaviviridae yang terkenal karena tidak memiliki proofreading polymerase
dan memungkinkan seringnya mutasi virus. HCV dibedakan menjadi
enam genotipe utama, berjumlah 1 hingga 6 dan bervariasi dalam urutan
nukleotida sebesar 30% hingga 50%. Genotipe diklasifikasikan lebih
lanjut menjadi subtipe (a, b, c, dll.), yang berbeda 10% hingga 30% dalam
urutan nukleotida. Genotipe yang paling banyak terdistribusi adalah 1 dan
2 dengan genotipe 1 yang paling umum (Dipiro, 2008).

Gambar 2. Distribusi Genotipe Virus Hepatitis C di Seluruh Dunia

5. Patofisiogi
5.1 Hepatitis A
Infeksi HAV biasanya akut, self-limiting, dan memberi kekebalan seumur
hidup. Siklus hidup HAV di host manusia secara klasik dimulai dengan
tertelannya virus. Absorpsi di lambung atau usus kecil memungkinkan
virus masuk ke sirkulasi darah dan kemudian di-uptake oleh hati.
Replikasi virus terjadi dalam sel-sel hepatosit dan sel epitel
gastrointestinal. Partikel virus baru kemudian dilepaskan ke dalam darah
dan disekresikan ke empedu oleh hati. Virus ini kemudian diserap kembali
untuk melanjutkan siklusnya atau diekskresikan dalam tinja. Siklus
enterohepatik akan berlanjut sampai terganggu oleh netralisasi antibodi.
Mekanisme replikasi dan sekresi yang tepat tidak diketahui secara pasti,
namun ekspansi virus awal tampaknya tidak terkait dengan cedera hati
sebagaimana ekskresi tinja viral mendahului tanda-tanda klinis dan gejala
infeksi (Dipiro, 2008).
5.2 Hepatitis B
Setelah infeksi, replikasi virus dimulai dengan pemasangan virion ke
reseptor permukaan sel hepatosit. Partikel-partikel diangkut ke inti di
mana DNA diubah menjadi DNA melingkar tertutup yang berfungsi
sebagai template untuk RNA pregenomic. Viral RNA kemudian
ditranskripsikan dan diangkut kembali ke sitoplasma di mana secara
bergantian berfungsi sebagai reservoir untuk templat virus di masa
mendatang atau kuncup ke dalam selaput intraseluler dengan protein
amplop virus dan menginfeksi sel lain. Genom virus memiliki empat
frame pembacaan kode untuk berbagai protein dan enzim yang diperlukan
untuk replikasi dan penyebaran virus. Beberapa protein ini digunakan
untuk diagnostik. HBsAg ditemukan paling banyak dibandingkan tiga
antigen permukaan dan dapat dideteksi pada permulaan gejala klinis.
Persisten selama 6 bulan setelah deteksi awal sesuai dengan infeksi kronis
dan menimbulkan peningkatan risiko untuk sirosis, dekompensasi hati, dan
HCC (Dipiro, 2008).

Gambar 3. Interpretasi Tes Serologis pada Virus Hepatitis B

5.3 Hepatitis C
Dalam sebagian besar kasus, infeksi HCV akut menyebabkan infeksi
kronis. Respon imun terhadap infeksi HCV akut sebagian besar tidak
cukup untuk membasmi virus. Selama fase awal infeksi, sel NK (natural
killer) diaktifkan ketika tingkat RNA HCV meningkat dengan cepat.
Upaya gabungan dari CD4 spesifik HCV dan limfosit T CD8 dan
koekspresi interferon menurunkan replikasi virus. Eradikasi HCV oleh
limfosit T sitotoksik dapat terjadi, baik sebagai akibat dari induksi
apoptosis oleh hepatosit yang terinfeksi atau oleh pelepasan interferon
untuk menghambat replikasi virus. Tingkat apoptosis hepatosit dapat
berkorelasi dengan perjalanan penyakit. Kerusakan hati dan HCC
berhubungan dengan tingginya tingkat apoptosis hepatosit. Tingkat
apoptosis yang rendah dikaitkan dengan persistensi virus. Selain itu, sel
CD4 T-helper tidak mungkin untuk memediasi cedera hati, tetapi lebih
mungkin mencetuskan lingkungan yang kondusif untuk respon imun
lainnya yang merusak hati. Meskipun HCV menginfeksi kurang dari 10%
hepatosit, hingga 20% sel diaktifkan untuk apoptosis.
HCV merupakan tantangan yang menakutkan bagi pengendalian
kekebalan karena cepatnya diversifikasi virus. Mutasi genom HCV
terdeteksi dalam 1 tahun infeksi. Kasus-kasus yang terselesaikan dari HCV
ditentukan oleh respon T-cell yang kuat dengan tanggapan CD4 yang
sangat aktif dan respons CD4 yang persisten. Dihipotesiskan bahwa
aktivitas CD8 memediasi kekebalan protektif tetapi membutuhkan bantuan
sel CD4 untuk mempertahankan respon selama mutasi virus (Dipiro,
2008).

6. Presentasi Klinis
6.1 Hepatitis A
Gambar 4. Presentasi Klinis Hepatitis A Akut
(Dipiro, 2008).

6.2 Hepatitis B
Gambar 5. Presentasi Klinis Hepatitis Ba Kronik
(Dipiro, 2008).

6.3 Hepatitis C
Pasien dengan HCV akut sering kali asimtomatik dan tidak terdiagnosis.
Sepertiga orang dewasa akan mengalami beberapa gejala ringan dan
nonspesifik, termasuk kelelahan, anoreksia, kelemahan, sakit kuning, sakit
perut, atau urin gelap (Dipiro, 2008).

7. Tatalaksana Terapi
7.1 Hepatitis A
Menurut Matheny et al 2012, hanya pengobatan suportif yang tersedia
untuk kasus hepatitis A. Istirahat biasanya disarankan dan pasien tidak
boleh kembali bekerja atau sekolah sampai demam dan penyakit kuning
mereda. Perawatan sesuai usia untuk mual dan diare harus disediakan.
Pasien harus menghindari alkohol, tetapi bisa makan secara normal.
Hepatitis A fulminan kadang-kadang memerlukan transplantasi hati
darurat. Wanita hamil yang menderita hepatitis A memiliki peningkatan
insidensi komplikasi kehamilan dan persalinan prematur yang harus
diobati dengan tepat.
Terdapat tindakan pencegahan berupa imunisasi. Terdapat 2 jenis
imunisasi yaitu aktif dan pasif imunisasi :

Tabel 2. Jadwal Imunisasi Aktif untuk Hepatitis A

Tabel 3. Dosis yang Dianjurkan Imunoglobulin dan Vaksin Hepatitis A


untuk Preexposure dan Postexposure Prophylaxis (Pasif)
7.2 Hepatitis B

Gambar 6. Algoritma Terapi untuk Infeksi HBV Kronik

Gambar 7. Algoritma Terapi untuk Infeksi HBV Kronik Disertai Sirosis


a. Interferon
IFN-α 2b adalah terapi pertama yang disetujui untuk pengobatan HBV
dan meningkatkan hasil jangka panjang serta kelangsungan hidup.
Bertindak sebagai sitokin inang dengan efek antivirus, antiproliferatif,
dan imunomodulator pada HBV kronis.
b. Adefovir
Adefovir dipivoxil adalah analog nukleosida asiklik dari adenosine
monophosphate. Obat ini bekerja dengan menghambat polimer DNA
HBV. Dosis diberikan 10 mg setiap hari selama 1 tahun, meskipun
durasi terapi yang optimal tidak diketahui.
c. Entecavir
Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang bekerja dengan
menghambat polimerase HBV. Merupakan agen oral yang lebih manjur
dibandingkan dengan lamivudine dalam menekan tingkat DNA HBV
serum dan efektif dalam HBV yang tahan lamivudine. Dosis 0,5 mg
setiap hari pada infeksi non-lamivudine-resistant dan 1 mg setiap hari
pada pasien dengan lamivudine-refractory.
d. Telbivudine
Obat yang paling baru disetujui untuk pengobatan HBV adalah
telbivudine, analog nukleosida spesifik-HBV. Telbivudine bertindak
sebagai inhibitor kompetitif dari reverse transcriptase virus dan
polimerase DNA. Obat ini menghambat sintesis DNA HBV tanpa
aktivitas melawan virus lain atau polimerase manusia (Dipiro, 2008).
7.3 Hepatitis C

Gambar 8. Algoritma Terapi untuk Infeksi HBC Kronik

Gambar 9. Dosis Terapi yang Disarankan untuk HCV


a. Interferon
Penambahan bagian pegilasi untuk IFN meningkatkan profil
farmakokinetik obat untuk mengurangi frekuensi injeksi dari tiga kali
menjadi seminggu sekali dan tingkat SVR dua kali lipat. Bahkan di
antara pasien sirosis, PEG-IFN aman dan efektif. Tersedia dua PEG-
IFN yaitu PEG-IFN- α 2a (Pegasys) dan PEG-IFN- α 2b (PEG-Intron).
b. Ribavirin
Ribavirin, analog guanosin sintetis, tidak efektif sebagai monoterapi
untuk HCV dan mekanisme kerjanya yang tepat tidak diketahui. Ketika
ditambahkan ke IFN, ribavirin secara signifikan meningkatkan tingkat
SVR (Sustained virologic response : pasien tanpa viral load terdeteksi
pada akhir terapi dan 6 bulan kemudian), terutama di antara genotipe 2
dan 3. Ribavirin diberikan berdasarkan berat badan untuk respon
optimal (Dipiro, 2008).
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Form SOAP
b. Form Medication Record
c. Catatan Minum Obat
d. Kalkulator Scientific
e. Laptop dan Koneksi Internet
2. Bahan
a. Text Book
b. Data nilai normal laboratorium
c. Evidence terkait (jurnal, sistematik review, meta analisis)

IV. KASUS
Penderita laki-laki umur 76 tahun dengan diagnosis DM+HT+post
CVA+Hepatitis C, BB 78 Kg. HCV RNA kuantitatif 1.8 x 10 7. Pasien
mendapatkan terapi pegylated interferon + ribavirin sekali seminggu. Selain itu
menggunakan lantus dan exforge. Pegylated interferon mulai dosis 80 mcg SC.
Setelah pemberian 3 kali penderita berdebar-debar, dicek lab Hb 7. 0SI 97 TIBC
545, hapusan darah tepi anemia hipokrom mikrositer. Tekanan darah dan suhu
normal. Oleh dokter yang merawat pegintron dikurangi 50 mcg sekali
seminggu, ribavirin stop, diberikan sulfas ferrosus dan erythropoietin, diberikan
selang seling.
V. HASIL PRAKTIKUM
1. FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Tn.

Jenis Kelamin : laki-laki Tgl. MRS :-


Usia :76 thn Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 78 kg

Presenting Complaint
Setelah 3 kali pemberian PEG-IFN pasien mengeluh berupa dada berdebar-
debar

Diagnosa kerja : Hepatitis C, DM , HT, Post CVA

Diagnosa banding :

Relevant Past Medical History: Tidak ada

Drug Allergies:
Tidak Ada alergi obat
Data Laboratorium

Hasil pemeriksaan fisik

Berat badan 78 kg
Tinggi badan 165 cm
TD 127/80 mmHg
HR 88 kali/menit
BMI 24, 07 kg/m2
RR 20 kali/menit
Suhu 36,0 C

Hasil Laboratorium

HCV RNA 1,8x107


Hb 7,0
SI 97
TIBC 545
Hapusan darah Anemia hipokrom mikrositer

No Further Information Jawaban Alasan


Required
1. Siapa nama pasien dan TB Normal Untuk melengkapi profil
pasien pasien

2. Berapa dosis obat yang Exforge 1x1 Untuk menentukan dosis


digunakan? Lantus 10 unit/hari sesuai keadaan pasien
SF 300 mg/ hari
EPO 15.600 unit 3x
seminggu

3. Apakah ada hasil lab Tidak ada Untuk menentukan terapi


lainnya?( EVR, ALT, gula yang tepat
darah)
4. Apakah ada riwayat liver Tidak ada Untukmenentukan faktor
disease lain? resiko

5 Genotype virus? Tipe 2 Untuk ketepatan terapi


karena tiap genotipe
berbeda dan durasinya
berbeda

Problem List(Actual Problem)

Medical Pharmaceutical

Hepatitis C 1 Masalah:
P1.3: indikasi yang tidak diterapi

DM 1 Masalah:
C3.2: Dosis terlalu tinggi

HT Tidak ada DRP

Post CVA Tidak ada DRP


SUBJEKTIF
Setelah 3 kali pemberian PEG-IFN pasien mengeluh berupa dada berdebar-
debar.

OBJEKTIF
Hasil pemeriksaan fisik

Berat badan 78 kg
Tinggi badan 165 cm
TD 127/80 mmHg
HR 88 kali/menit
BMI 24, 07 kg/m2
RR 20 kali/menit
Suhu 36,0 C

Hasil Laboratorium

HCV RNA 1,8x107


Hb 7,0
SI 97
TIBC 545
Hapusan darah Anemia hipokrom mikrositer

ASSESMENT
Penyakit hepatitis virus hepatitis (HCV) etiologi jarang didiagnosis atas
dasar gambaran klinis, karena perjalanan mereka biasanya asimptomatik atau
hanya gejala ringan selama bertahun-tahun. Penelitian secara konsisten
mengkonfirmasi keberadaan HCV-RNA dalam darah, yang diakui sebagai
indikator infeksi aktif, pada 0,6% populasi. Sekitar 20-40% dari infeksi akut
cenderung sembuh secara spontan. Infeksi HCV kronis bermanifestasi sendiri
setelah bertahun-tahun, dan satu dari lima pasien mengalami perubahan patologis
lanjut pada hati termasuk sirosis atau karsinoma hepatoseluler (HCC). Infeksi
HCV juga menginduksi sejumlah sindrom ekstrahepatik, yang paling sering
dicampur cryoglobulinaemia, yang menimbulkan manifestasi klinis pada 5-25%
kasus, dan limfoma non-Hodgkin B-sel (B-NHL). Kriteria dasar untuk
mendiagnosis penyakit kronis etiologi HCV adalah adanya HCV-RNA (dalam
serum darah, jaringan hati atau mononuklear darah perifer) yang bertahan
setidaknya selama enam bulan pada pasien dengan penanda penyakit hati atau
manifestasi ekstrahepatik dari infeksi. . Infeksi HCV di hati dapat menyebabkan
perubahan yang digambarkan sebagai hepatitis C kronis dan sirosis atau
karsinoma hepatoselular. Pasien terinfeksi HCV yang didiagnosis dengan sirosis
tidak perlu menunggu enam bulan untuk memulai terapi (Waldemar dkk., 2017).

Regimen SOF / VEL selama 12 minggu adalah terapi pilihan terlepas dari
tahap fibrosis baik pada pasien yang belum pernah menggunakan pengobatan dan
untuk retherapy. Ribavirin ditambahkan ke terapi dalam kasus sirosis
dekompensasi. Rejimen terapeutik alternatif adalah 12 minggu pengobatan SOF +
RBV yang berhasil pada sebagian besar pasien yang belum pernah menggunakan
pengobatan. Perawatan ini diperpanjang hingga 24 minggu pada pasien setelah
transplantasi hati dan dengan HCV viraemia tinggi atau sebelumnya diobati
dengan PegIFNa + RBV .Jika SOF + RBV tidak efektif, rejimen SOF / VEL 12
minggu atau SOF 24-minggu + Regimen DCV + RBV direkomendasikan. Pada
anak-anak durasi pengobatan yang direkomendasikan adalah 24 minggu:
PegIFNa-2b + RBV digunakan pada anak-anak di atas usia 3 tahun, dan
PegIFNa-2a + RBV - anak-anak berusia lebih dari 5 tahun (Waldemar dkk.,
2017).
Gambar 1. Rekomendasi Terapi Hepatitis C Sesuai Genotipe

Pengobatan yang direkomendasikan untuk pasien yang pernah gagal dengan


terapi HCV sebelumnya.

Gambar 2. Rekomendasi Terapi Hepatiti C Sesuai Genotipe

PEG Interferon alfa dengan ribavirin adalah pengobatan yang efektif


untuk HCV genotipe 2 dengan tingkat SVR mendekati 90%, tetapi memiliki
profil efek samping yang tidak dapat diterima sehingga tidak memenuhi syarat
untuk dimasukkan (National Service Scotland, 2018)

Gambar 3. Rekomendasi Terapi Hepatiti C Sesuai Genotipe


Non-1 HCV 25enotype adalah yang paling umum di negara-negara berpenduduk
padat di Asia Selatan, Asia Timur, Afrika, dan Timur Tengah. Sebelum era
interferon pegilasi (PEG-IFN), monoterapi IFN konvensional atau terapi
kombinasi interferon / ribavirin konvensional (IFN / RBV) adalah andalan
pengobatan HCV di sebagian besar dunia. Setelah 2002, PEG-IFN / RBV
menjadi tersedia. Uji klinis penting pada terapi PEG-IFN / RBV menunjukkan
SVR 40-45% pada pasien dengan 25enotype 1, hingga 80% pada mereka dengan
25enotype 2, dan hanya 50% pada mereka dengan 25enotype 3a. Semua
perawatan ini menyisakan sekitar 50-60% pasien hepatitis C kronis baik sebagai
nonresponders atau relaps. Selain itu, terapi ini membutuhkan 24-48 minggu
suntikan dengan interferon dan ribavirin, dengan toksisitas yang signifikan, dan
terlalu banyak pasien tidak memenuhi syarat untuk IFN atau enggan menerima
pengobatan karena efek samping. Oleh karena itu diperlukan rejimen yang ideal
yang akan melibatkan semua obat oral, satu dosis harian, durasi terapi yang
singkat, dan efek samping minimal dan akan menjadi pan-genotipe dan memiliki
nilai SVR yang tinggi (> 95%), terlepas dari stadiumnya. Fibrosis hati,
sebelumnya tidak menanggapi pengobatan IFN / RBV, jenis kelamin, ras, dan
usia (Umar M, 2017).

Gambar 4. Grafik Peningkatan SVR Pasien Per Obat


Setelah 2011, ini mengarah ke era antivirus yang bertindak langsung (DAA),
yang merupakan standar perawatan saat ini (Umar M, 2017).

Gambar 5. Rekomendasi Terapi Hepatiti C Sesuai Genotipe


PLANNING
FARMAKOLOGI

Nama Obat Indikasi Dosis

Sofosbuvir 1000 mg perhari untuk BB >75 kg


Hepatitis C
Ribavirin 1200 mg perhari untuk BB >75 kg

7 unit perhari dihitung berdasarkan


Lantus Diabetes Miletus
berat badan

Exforge Hipertensi 1x sehari 1 tablet

Eritropoetin Anemia 15.600unit 3x seminggu selang sehari

Sulfas Ferosus Anemia 1x sehari 300mg selang sehari

1. Problem medis hepatitis c:


Menurut panduan AASLD (American Academy for the Study of Liver
Disease) sebelumnya yaitu tahun 2011, tujuan utama pengobatan hepatitis C
adalah untuk mencapai Sustained Viral Response (HCV RNA tidak terdeteksi 24
minggu setelah pengobatan selesai). Untuk mencapai tujuan ini, maka
rekomendasi AASLD tahun 2014 adalah menggunakan kombinasi antara
pegylated interferon + ribavirin. Akan tetapi, kombinasi ini masih ada beberapa
kekurangan karena hanya menghasilkan SVR24 sebanyak 46% untuk genotip 1
dan 86% untuk genotip 2 atau 3. Kombinasi baru pegylated interferon + ribavirin
+ protease inhibitor (boceprevir dan telaprevir) dapat mencapai SVR24 75% dan
92% masing-masing. Selain itu, pengobatan menggunakan pegylated interferon
berkaitan dengan beberapa efek samping dan membutuhkan pemberian secara
intravena sehingga mengurangi tolerabilitas.
Pada bulan Februari 2014 AASLD bersama IDSA mengeluarkan update
panduan baru cara pengobatan hepatitis C. Ada beberapa perubahan dalam
panduan ini. Salah satu perubahannya adalah masuknya sofosbuvir dalam
rekomendasi pengobatan genotip 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Sofosbuvir adalah obat oral
yang mekanisme kerjanya dengan menghambat NS5B (NS5B Inhibitor). Selain
itu perubahan lain yang cukup bermakna adalah telaprevir dan boceprevir tidak
lagi direkomendasikan untuk pengobatan hepatitis C genotip 1, 2, 3,4, 5 dan 6.
Pengobatan hepatitis c genotype 2 untuk semua pasien baru,
direkomendasikan menggunakan kombinasi sofosbuvir 400 mg per hari ditambah
ribavirin (1000 mg per hari untuk berat badan kurang dari 75 kg dan 1200 mg per
hari untuk berat badan lebih dari 75 kg) selama 12 minggu. Untuk pasien baru,
tidak direkomendasikan menggunakan kombinasi pegylatedinterferon ditambah
ribavirin selama 24 Minggu. Untuk pasien baru, tidak direkomendasikan
menggunakan monoterapi pegylatedinterferon atau monoterapi ribavirin atau
monoterapi direct acting antiviral (telaprevir, boceprevir, simeprevir atau
sofosbuvir). Untuk pasien baru, tidak direkomendasikan menggunakan kombinasi
telaprevir, boceprevir atau simeprevir.

Evidence: Menurut Nguyen et al, 2018Real-world effectiveness of


sofosbuvir plus ribavirin for chronic hepatitis C genotype 2 in Asia: a systematic
review and meta-analysis, dimana MetodeSebuah sistempencarian sistematic di
PubMed dan Embasedilakukan melalui 30 Juni 2017. Kami mengidentifikasi
penuhartikel dan prosiding konferensiminimal 10 orang dewasapasien dengan
CHC GT2 diobati dengan SOF + RBV selama 12minggu di bawah pengaturan
dunia nyata di Asia. HasilSebanyak 2208 patients dari 13 studi adalahtermasuk.
Tanggapan virologi bertahan yang dikumpulkan12minggu setelah akhir treatment
(SVR12) adalah95,8% (95% CI 94,6% menjadi 96,9%) dengan tidak
signifikanheterogenitas (I2= 34,4%). Anemia (27,9%) adalah yang paling
banyakefek samping umum (AE), dengan AE serius di 2,0% danhanya 0,7%
terapi yang dihentikan sebelum waktunya. Dalam subkelompokanalisis, pasien
dengan sirosis memiliki 8,7% lebih rendah SVR12dari pasien non-sirosis
(P<0.0001), dan pengobatan-pasien yang berpengalaman memiliki 7,2% lebih
rendah dari SVR12pasien yang belum pernah menggunakan pengobatan
(P=0.0002). Pengobatan Cirrhotic- pasien yang berpengalaman memiliki SVR12
terendah di 84,5%.Tidak ada perbedaan signifikan dalam pengumpulan SVR12di
antara subkelompok pasien: pengurangan dosis RBV versus tidak pengurangan
dosis (P= 0,30); karsinoma hepatoseluler (HCC)versus tanpa HCC (P= 0,10);
GT2a versus 2b (P= 0,86); dan<65vs ≥65 tahun(P= 0,20).KesimpulanSOF +
RBV selama 12 minggu aman danefektif untuk patients dengan CHC GT2 di
Asia, meskipun mereka dengan sirosis dan kegagalan pengobatan sebelumnya
memiliki lebih rendah tingkat SVR.
Evidence: Menurut Fried et al, 2016, Karena kemanjuran yang tinggi
dalam uji klinis, sofosbuvir (SOF) dan ribavirin (RBV) selama 12 atau 16
minggudirekomendasikan untukpengobatan pasien dengan HCVgenotipe (GT) 2
infeksi. Kami menyelidiki keamanan danefektivitas rejimen ini untuk GT2 di
HCV-TARGETpeserta. Dimana hasilnya: Antara Desember 2013 dan April
2015, 321pasien menyelesaikan 12 minggu (n = 283) atau 16 minggu (n = 38)
pengobatan dengan SOF dan RBV. Pengobatan sebelumnyapengalaman dan
sirosis lebih sering terjadipasien dalam rejimen 16 minggu dibandingkan
dengan12 minggu (52,6% vs27,6% dan 63,2% vs 21,9%,masing-masing). Secara
keseluruhan, SVR12 adalah 88,2%. SVR12 dalampasien tanpa sirosis adalah
91,0% dan 92,9% untuk 12atau 16 minggu terapi, masing-masing. Pada pasien
denganSirosis diobati selama 12 atau 16 minggu, SVR12 adalah 79,0%
dan 83%. Dalam analisis multivariat, sirosis hati,albumin serum yang lebih
rendah dan dosis RBV pada awal adalahsecara signifikan terkait dengan SVR12.
Merugikan umum Peristiwa (AE) termasuk kelelahan, anemia, mual,sakit kepala,
insomnia, ruam dan gejala mirip flu.Penghentian karena AE terjadi pada
2,8%.KesimpulanDalam pengaturan praktek klinis ini,SOF danRBV aman dan
efektif untuk pengobatan pasiendengan infeksi HCV GT2.
Evidence: Menurut Hayashi et al, 2016 pada penelitian Efektivitas dan
keamanan sofosbuvir plus ribavirin untuk HCV genotipe 2 pasien 65 tahun ke
atas dengan atau tanpa sirosis, dimana menyatakan bahwa Pasien yang lebih tua
dengan infeksi HCV kronis secara historis dianggap sulit diobati. Kami
mengevaluasi efikasi dan keamanan sofosbuvir (nukleotida NS5B polimerase
inhibitor) plus ribavirin untuk pasien dengan infeksi HCV genotipe 2 dalam
pengaturan klinis dunia nyata, dengan fokus pada pasien usia lanjut ≥ 65. Studi
multisenter besar ini terdiri dari 446 Jepang HCV genotipe 2 pasien (303 naif
pengobatan dan 143 yang berpengalaman dengan pengobatan), termasuk 190
(42,6%) berusia ≥ 65 dan 90 (20,2%) dengan sirosis kompensasi. Efikasi dinilai
oleh tanggapan virologi bertahan 12 minggu pasca perawatan (SVR12). Tingkat
SVR12 secara keseluruhan adalah 95,7% (427/446), dan tingkat SVR12 pasien
berusia ≥ 65 adalah 95,3% (181/190). Untuk pasien yang belum pernah
menggunakan pengobatan, hampir semuanya dengan sirosis kompensasi (95,6%,
43/45) mencapai SVR12, tanpa memandang usia. Untuk pasien yang
berpengalaman dengan pengobatan, sirosis merusak hasil pengobatan, baik untuk
kelompok usia ≥65 (SVR12: 80,0%, 20/25) dan <65 (85,0%, 17/20) bila
dibandingkan dengan pasien non-sirosis (≥ 65: 95,7%, 45/47 dan <65: 96,2%,
50/52). Efek samping yang paling umum adalah anemia (hemoglobin <10 g / dL),
terutama untuk pasien berusia ≥ 65 dengan genotipe inhosphine triphosphate
pyrophosphatase CC di rs1127354 (26,2%, 33/126). Khususnya, pengurangan
ribavirin tidak terkait dengan kegagalan pengobatan. Hanya tiga (0,7%) pasien,
semua berusia ≥ 65, menghentikan pengobatan, tetapi semua mencapai SVR12.
Sofosbuvir plus ribavirin untuk HCV genotipe 2 efektif untuk pasien berusia ≥65,
terutama mereka yang belum pernah menggunakan pengobatan atau yang
berpengalaman dengan pengobatan atau non-sirosis.
Menurut evidence Colina yim, 2006 Pertimbangan klinis dalam
memutuskan pengobatan rHuEpoPada semua pasien, keputusan untuk memulai
pengobatan rHuEpo membutuhkan pertimbangan risiko kegagalan pengobatan
denganpengurangan dosis RBV,. Pasien dengankemungkinan respon yang tinggi,
seperti mereka yang terinfeksi HCVgenotipe 2 atau 3, dapat mentolerir
pengurangan dosis RBV tanpa banyakpenurunan kemungkinan mencapai SVR.
Sebaliknya, dosisreduksi harus dihindari, jika mungkin, pada pasien dengan
siapatingkat respons lebih rendah dan membutuhkan upaya maksimaluntuk
meningkatkan peluang respon individu. Kelompok initermasuk pasien yang
positif HIV dan mereka yang memilikimenerima transplantasi hati. Demikian
pula, pengurangan dosis juga harusdihindari pada pasien untuk mencapai
tanggapan lebihmendesak, seperti individu dengan sirosis atau usia
lanjutdikombinasikan dengan fibrosis tahap 3, karena pasien ini mungkin
tidakmemiliki kesempatan kedua untuk berobat dengan agen baru.Pengurangan
dosis RBV tampaknya lebih penting untuktingkat respons berkelanjutan jika
terjadi dalam 12 minggu pertamaterapi. Akibatnya, perawatan tingkat Hb selama
yang pertamaTerapi 12 minggu lebih penting daripada pada tahap
selanjutnyaselama perawatan. Namun, pengurangan dosis RBV setelah12 minggu
juga dapat mengurangi tingkat respons keseluruhan.
Semua pasien yang menerima RBV harus memiliki baselinepenilaian
untuk risiko klinis yang terkait dengan anemia, sepertiToleransi exertional yang
buruk, yang dapat mengindikasikan yang mendasarinyapenyakit kardiovaskular
atau paru-paru. Parameter klinis dangejala yang berkaitan dengan anemia, seperti
kelelahan dan meningkat denyut jantung, harus didokumentasikan sebelum
perawatan. Selamapengobatan, pasien harus secara rutin dinilai
untukperkembangan gejala terkait anemia baru.Rekomendasi 3: Indikasi untuk
perawatan dengan epoetinalfaAda dua bentuk eritropoietin yang tersedia di
Kanada, epoetin alpha dan darbepoetin, yang merupakan bentuk modifikasi
darieritropoietin manusia.Dengan tidak adanya data yang mendukungpenggunaan
darbepoetin alfa, rekomendasi ini hanya berlakupenggunaan epoetin alfa. Berikut
ini direkomendasikanindikasi untuk pengobatan dengan alpha epoetin:
a. penurunan Hb dari baseline lebih dari 40 g / L.
b. Konsentrasi Hb 100 g / L atau kurang; atauanemia simtomatik, yang dapat
terjadi pada Hb apa sajakonsentrasi setelah penurunan konsentrasi Hb
yang cepat.
c. Rekomendasi 4: Rejimen alfa EpoetinBerikut ini direkomendasikan
kemungkinan alfa epoetin awalrejimen:dosis 40.000 IU subkutan per
minggu; atauinisiasi pengobatan pada 20.000 IU subkutan perminggu
dengan peningkatan dosis berdasarkan respon.
Dosis alpha epoetin dapat ditingkatkan hingga maksimum60.000 IU
subkutan per minggu jika respon tidak memadaiterlihat setelah empat
minggu pengobatan dengan 40.000 IUsubkutan setiap minggu.
d. Rekomendasi 5: Durasi perawatan epoetin alfaPengobatan alpha epoetin
dosis penuh harus dipertahankan sampaisalah satu dari yang
berikut:resolusi gejala terkait anemia ataupemulihan konsentrasi Hb ke
yang lebih rendah dari 120 g / L atau10 g / L di bawah nilai
pretreatment.Tidak perlu mengobati sampai Hb kembali ke tingkat
awal.Hb biasanya menurun lagi jika epoetin alpha dihentikanselama
pengobatan antiviral gabungan. Karena itu, pertimbanganharus diberikan
untuk terapi pemeliharaan epoetin alfa.
e. Rekomendasi 6: Perawatan pemeliharaan alfa epoetinSetelah Hb pulih
atau gejala anemia terjaditeratasi, dianjurkan agar dosis epoetin alpha
menjadidikurangi atau interval perawatan diperpanjang untuk
mempertahankan Hbpemulihan selamapengobatan antivirus lanjutan.
f. Rekomendasi 7: Penarikan kembali antivirus sebelumnyakegagalan
pengobatanPasien yang mengembangkan anemia gejala dengan
sebelumnyapengobatan antivirus harus dimulai pada epoetinalpha saat
perawatan dengan IFN dan RBV dimulai.Persetujuanuntuk penggantian
harus dicari sebelum memulaipengobatan.
Studi klinis sekarang menunjukkan bahwa pengobatan denganrHuEpo dapat
mempertahankan kadar Hb pada pasien yang diobatikombinasi terapi antiviral
untuk HCV. Di masa lalu, Hb rendahmendiskualifikasi pasien dari menerima
terapi antiviral untuk HCVkarena potensi memburuknya anemia. Hari ini,
bagaimanapun,pasien dengan anemia yang sudah ada dan mereka yang
berkembanganemia akibat pengobatan dapat diobati dengan rHuEpo.
Ini dapat meniadakan kebutuhan pengurangan dosis RBV,
memperbaikikepatuhan pengobatan dan meningkatkan kemungkinan
SVR.Dieterich et almelakukan open-label, parallelgroup belajar di tujuh pusat
untuk menentukan kemanjuranrHuEpo dalam mengobati anemia dan
meminimalkan dosis RBVpengurangan pada pasien dengan HCV yang menerima
IFN-α / RBVterapi kombinasi. Studi ini mendaftarkan 64 pasien dengankadar Hb
maksimum 120 g / L selama 24 minggu pertamaterapi antiviral dan secara acak
ditugaskan untuk menerimarHuEpo 40.000 IU perawatan atau perawatan
subkutan setiap minggu(SOC) untuk manajemen anemia.
Selain studi di atas, itu tidak dievaluasiefek rHuEpo pada SVR, sekarang ada
data awal yang menunjukkan bahwa penggunaan rHuEpo untuk mengobati RBV-
diinduksianemia meningkatkan tingkat SVR serta mempertahankan Hb
danTingkat dosis RBV (29). Selain itu, setidaknya satu keefektifan biayaanalisis
telah menunjukkan bahwa ini adalah biaya efektif bentuk perawatan.
Evidence: Menurut Dominiz et al, 2007, Infeksi virus Hepatitis C (HCV)
diperkirakan mempengaruhibeberapa juta orang Amerika dan lebih dari 170 juta
orang di seluruh dunia. Pengobatan standar untuk HCV kronis melibatkan
persiapan berbasis interferon dan ribavirin selama 24 hingga 48 tahunminggu.
Tanggapan virologi berkelanjutan (sustained virologic response / SVR),
didefinisikan sebagai memiliki virus tidak terdeteksi pada 6 bulan pengobatan
pos, terjadi pada 54% hingga 56% dari keseluruhan pasien yang diobati.dengan
peginterferon alfa dan ribavirin. Anemia adalah efek samping yang umum dari
terapi antiviral hepatitis C (terjadi pada sekitar 10% -30%), dengan interferon
yang menyebabkan supresi sumsum tulang dan ribavirin menyebabkan hemolisis
sel darah merah,biasanya menghasilkan penurunan hemoglobin (Hgb) 2 hingga 3
g / dL. Namun, pengurangan dosis ribavirin untuk mengelolaanemia terkait
perawatan dapat mengurangi SVR, meskipunberdampak pada SVR pengurangan
dosis 20% tidak jelas. Oleh karena itu, mempertahankan dosis target>80% dari
dosis ribavirin asli adalah wajar. Jelas, penghentian dini ribavirin menghasilkan
penurunan SVR yang signifikan. Data awal menunjukkan itufaktor pertumbuhan
erythropoietic rekombinan dapat mengatasi anemia terkait
pengobatan,mempertahankan dosis ribavirin yang lebih tinggi dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.
a. Sebelum mempertimbangkan penggunaan erythropoiesis stimulating
agents (ESA), pasien harus terlebih dahulu menjalanievaluasi untuk
penyebab anemia lainnya (misalnya perdarahan, defisiensi nutrisi,
keturunan) dan seharusnyadiperlakukan dengan tepat.
 Dapatkan CBC dan yang berikut sebagai indikasi: apus perifer,
jumlah retikulosit, B12, folat.Menilai untuk persediaan besi yang
memadai.
 Jika bukti defisiensi zat besi ditemukan (ferritin <50 ng / mL
atausaturasi transferin <20%), mengisi kembali besi sebelum terapi
dan menyelidiki penyebab zat kekurangan besi.
 Dapatkan tes fungsi tiroid karena disfungsi tiroid dapat berdampak
pada eritropoietin.Kaji kelainan tiroid dan perlakukan dengan
tepat.
 Pengukuran kadar eritropoietin endogen tidak secara rutin
diindikasikan.
b. DANPasien telah gagal untuk merespon (mis. Anemia berat berlanjut)
dalam 2 minggu setelah mengurangi dosis ribavirindengan 200 mg / hari
dari dosis awal mereka.
c. DANHgb <10 g / dL atau bergejala dan memiliki Hgb <11 g / dL.
d. DANTidak memiliki hipertensi yang tidak terkontrol, hipersensitivitas
yang dikenal untuk produk yang berasal dari sel mamalia ataudikenal
hipersensitivitas terhadap albumin atau polisorbat 80 (dengan darbepoetin
alfa).
Meskipun bukti untuk menentukan indikasi terbaik untuk erythropoietin tidak
tersedia, penggunaan eritropoietin mungkindipertimbangkan sebelum
pengurangan dosis dalam situasi berikut:
a. Sebuah. Bukti didokumentasikan dari sirosis
b. Transplantasi pasca-hati
c. Koinfeksi HIV
Pasien dengan Hgb <12 g / dL dengan penyakit kardiovaskular iskemik
komorbid atau penyakit paru hipoksemia mungkindipertimbangkan untuk
erythropoietin berdasarkan kasus per kasus.
Goal Terapi:
a. Resolusi anemia berat dengan target Hgb 12 g / dL
b. Pertahankan target ribavirin dosis (> 80% dari dosis asli).
c. Mengurangi kebutuhan transfusi dan / atau rawat inap
d. Meningkatkan energi, aktivitas, kualitas hidup secara keseluruhan
e. Tingkatkan kepatuhan pengobatan
Evidence: Menurut Dixit dan Krishan, 2011, Standar perawatan terkini
untuk infeksi virus hepatitis C (HCV) - terapi kombinasi dengan interferon
pegilasi danribavirin - memunculkan tanggapan berkelanjutan hanya pada 50%
pasien yang diobati. Tidak ada alternatif untuk pasien yang tidakmenanggapi
terapi kombinasi. Penambahan ribavirin secara substansial meningkatkan tingkat
respons terhadap interferon dan menurunkantingkat kekambuhan setelah
penghentian terapi, menunjukkan bahwa peningkatan paparan ribavirin dapat
lebih meningkatkan tanggapan pengobatan. Keterbatasan utama, bagaimanapun,
adalah efek samping beracun ribavirin, anemia hemolitik, yang
seringmengharuskan pengurangan dosis ribavirin dan mengkompromikan
tanggapan pengobatan. Memaksimalkan respons perawatan dengan demikian
membutuhkan keseimbangan antara aktivitas antiviral dan hemolitik ribavirin.
Model kinetika viral saat inimenggambarkan peningkatan respon pengobatan
karena ribavirin. Anemia yang diinduksi ribavirin, bagaimanapun, tetap
burukmemahami dan menghalangi optimalisasi rasional terapi kombinasi. Di sini,
kami mengembangkan model matematika barudinamika populasi eritrosit yang
secara kuantitatif menggambarkan anemia yang diinduksi ribavirin pada pasien
HCV. BerdasarkanAsumsi bahwa akumulasi ribavirin mengurangi umur eritrosit
dengan cara yang tergantung dosis, prediksi modelmenangkap beberapa
pengamatan eksperimental independen dari akumulasi ribavirin dalam eritrosit
dan hasilnyapenurunan hemoglobin pada pasien HCV yang menjalani terapi
kombinasi, memperkirakan berkurangnya masa hidup eritrosit selamaterapi, dan
menggambarkan variasi antar pasien dalam beratnya anemia yang disebabkan
oleh ribavirin. Lebih lanjut, prediksi modelmemperkirakan ambang batas
ribavirin eksposur di mana anemia menjadi tak tertahankan dan menyarankan
pedoman untuk penggunaan hormon pertumbuhan, seperti erythropoietin, yang
merangsang produksi eritrosit dan mencegah pengurangan ribavirindosis, dengan
demikian meningkatkan tanggapan pengobatan. Dengandemikian, model kami
memfasilitasi, bersama dengan model kinetika viral,identifikasi rasional dari
protokol pengobatan yang memaksimalkan respon pengobatan sementara
membatasi efek samping. Dimana pada kasus diatas kadar besi tetap tinggi maka
pemberian sulfat ferrosus tablet dilanjutkan untuk meminimalizir kekurangan besi
nantinya setelah pemberian erytropoetin.
Evidence: Menurut Bayraktar, 2010, Dalam gejala asimtomatik dan ringan
pasien dengan IDA, terapi penggantian zat besi oralmenjadi terapi andalan.
Berbagai garam besi telahdigunakan, sulfat besi menjadi yang paling umum.
Penggunaanbesi oral terutama dibatasi oleh efek samping GI-nyadimediasi oleh
besi yang tidak diserap. Meskipun lebih baru persiapan diklaim memiliki lebih
sedikit efek samping, ferro-sulfat murni masih merupakan zat besi oral yang
paling sering digunakanpersiapan. Dengan demikian, tidak ada perbedaan dalam
efikasi danProfil efek samping ditemukan antara sulfat besi,glukonat besi, dan
fumarat besisecara acak,studi buta ganda. Namun, besi yang dilepaskan
terkontrolpersiapan dan kompleks polisakarida-besiditemukan memiliki lebih
sedikit efek samping GIdaripada sulfat besidalam beberapa uji coba secara
acak.Ferrous sulfate adalah besi unsur 20% sehingga 325 mgtablet mengandung
65 mg zat besi. Meskipun pemberiankonvensional zat besi 200 mg setiap hari
untukkoreksi IDA, tidak ada alasan untuk menggunakan seperti itudosis tinggi
besi oral. Penyerapan zat besi dari saluran pencernaan adalahsangat efisien tetapi
mudah sekali. Dengan demikian, Rimonet almenunjukkan bahwa persiapan zat
besi oral pada dosis serendah 15 mg dapat digunakan untuk memperbaiki
defisiensi zat besi.Untuk menghindari efek samping GI dan akibatnya tidak
terjadi komplikasi, zat besi oral harus dimulai dengan dosis rendah sekali
seharisetelah makan maka dosisnya dapat ditingkatkan di dokterkebijaksanaan.
Jika ditoleransi dengan baik, pasien harus berusahaambil preparat besi saat perut
kosong untuk meningkatpenyerapan besi. Dalam 7-14 hari terapi, terjadi
peningkatanjumlah retikulosit akan diharapkan dan dalam waktu 2 bulanHb level
harus kembali normal. Penggantian zat besi oralharus dilanjutkan untuk mengisi
kembali kadar besi, biasanya untuktambahan 4 hingga 6 bulan setelah normalisasi
Hb.
Untuk problem medis diabetes mellitus terapi insulin (lantus)
dilanjutkan dimana Evidence: Glulovic et al, 2016 Sebuah meta-analisis
dilakukan di database medis utama hingga April 2014, dengan fokus pada
wilayah Adriatik. Kami mencari penelitian observasional dengan durasi minimal
6 bulan, mengevaluasi efektivitas dan keamanan insulin glargine (IGlar), dalam
kombinasi dengan OAD atau bolus insulin pada pasien dengan T2 gagal terapi
insulin premixed. Hasil termasuk nilai HbA1c, glukosa darah puasa dan dua jam
setelah konsentrasi glukosa prandial serta perubahan indeks massa tubuh setelah
setidaknya 6 bulan durasi studi. hasil:Tiga percobaan prospektif, observasi,
multisentris (total 698 pasien) dimasukkan. Regimen bolus basal dengan glargine
secara signifikan mengurangi HbA1c (Mean Difference, MD = 2.27, CI [1.76,
2.78]), glukosa puasa (MD = 5.15, CI [4.86, 5.44]) dan 2 jam konsentrasi glukosa
postprandial (MD = 6.94 , CI [6.53, 7.34]). Tidak ada perubahan signifikan yang
ditemukan padaBMI setelah beralih dari premiks ke pengobatan berbasis
IGlar.kesimpulan:Insulin glargine berdasarkan terapi setelah kegagalan premix
adalah pilihan yang manjur dan aman dari diabetes tipe 2 intensifikasi
pengobatan.Selain itu evidence Wadha, 2017, Dalam studi label terbuka yang
prospektif ini,Pasien DMT2 di atas 40 tahun, setelah tidak memadai
kontrol glikemik [Glycosylated Hemoglobin (HbA1c) di atas8% dan atau kadar
glukosa puasa140 mg / dl dan di atas dengan satu atau dua OAA selama tiga
bulan berturut-turut termasuk. Dosis glargine insulin disesuaikan per PuasaBlood
Glucose (FBG) dan Post Prandial Blood Glucose (PPBG)tingkat. Pasien diikuti
selama 12 minggu dan data itudianalisis dengan membandingkan 12temuan
minggu ke nilai awal.Hasil:Dalam 40 kasus termasuk dalam analisis akhir, usia
rata-rata adalah56,35 ± 6,77 tahun, 52,5% adalah perempuan dan massa tubuh
rata-rataindeks adalah 26,96 ± 4,59 kg / m2 Dibandingkan dengan baseline,
signifikan pengurangan glukosa darah HbA1c, FBG dan PPBG (semua p
<0,05)terlihat. Tujuan HbA1c <7% dicapai dalam 37,5% kasus.Tekanan darah
sistolik (p> 0,05) dan diastolik (p <0,05) berkurangpada 12 minggu dibandingkan
dengan baseline. Kenaikan berat badan adalah sedang dengan peningkatan rata-
rata 1,06 kg (p> 0,05). Secara keseluruhan, 14 kejadian hipoglikemia bergejala
diamati dengan tidak adamenjadi parah.Kesimpulan:Pemberian insulin jangka
pendek glargine adalahefektif dalam mengurangi glikemia dan aman dengan
tingkat yang lebih rendahhipoglikemia berat. Ini dapat dipertimbangkan pada
pasien denganT2DM yang tidak terkontrol pada perawatan mono atau dua-OAA.
Evidence menurut Nasser dan Ferdinand, 2013 pengobatandengan
kombinasi amlodipine plusvalsartan adalah pilihan yang masuk akal untuk terapi
awal atau di pasien yang gagal menanggapi monoterapi. Obat inikelas memiliki
mekanisme tindakan yang saling melengkapi dan,bila digunakan bersamaan,
besarnya tekanan darahmenurunkan populasi non-kulit putih ini
umumnyasebanding dengan yang terlihat pada pasien kulit putih non-Hispanik.
NON FARMAKOLOGI
1. Diet kalori
Kalori yang berlebih dapat menyebabkan penimbunan lemak di hati
sehingga menambah kerja hati dan akhirnya menyebabkan disfungsi hati
(Depkes RI, 2007).
2. Bedrest untuk meningkatkan stamina karena pasien merasa lemas
Selain itu, bedrest dapat meningkatkan pengeluaran natrium dalam tubuh
sebab posisi tegak dapat meningkatkan kadar aldosteron yang
berhubungan dengan proses retensi natrium (Yeung et all, 2002).
3. Pembatasan sodium untuk meningkatkan mobilisasi asites
Retensi natrium merupakan inti dari pembentukan ascites, maka diet
rendah natrium sangat dianjurkan bagi semua penderita ascites (Yeung et
al, 2002).
4. Menghindari minuman beralkohol.
Alkohol dapat menyebabkan kematian alkohol yang signifikan (> 40 g
alkohol dan pada wanita dan> 60 g alkohol / hari pada pria untuk> 5
tahun) pada pasien yang terinfeksi HCV menghasilkan dua hingga tiga
kali lipat risiko yang lebih besar dari hati. Dan pengurangan alkohol
membantu meningkatkan efektivitas pengobatan ascites karena dapat
menurunkan hipertensi portal (Yeung et al, 2002).
5. Mengurangi konsumsi garam untuk mengurangi resiko hipertensi.
6. Mengurangi asupan karbohidrat atau glukosa untuk mrngontrol kadar gula
dalam darah

MONITORING
EFEKTIFITAS
1. Pegylated interferon alfa kombinasi ribavirin : rutin cek laboratorium
terhadap nilai SVR serta monitoring parameter-parameter virus dalam
tubuh seperti HbeAg, HCV, anti HCV dan lain-lain.
2. Lantus: monitoring kadar glukosa dalam darah serta monitoring agar tidak
terjadi resiko hipoglikemia, goal terapinya adalah <180/Dl.
3. Exforge : monitoring tekanan darah pasien agar selalu dalam rentang
normal, goal terapi pasien hipertensi dengan diaebetes mellitus adalah
130/80 mmHg.
4. Fero sulfat: monitoring kadar besi dalam darah agar senantiasa pada
keadaan normal, tidak kekurangan dan tidak berlebihan.
5. Eritropoetin: monitoring kadar hemoglobin dalam darah utuk mengurangi
gejala lemas dan anemia.

EFEKSAMPING
1. Sofosbuvir : kelelahan, sakit kepala, mual muntah
2. Ribavirirn :sakit kepala, kelelahan, anemia hemolysis.
3. Lantus : hipoglikemia, sakit kepala, diare.
4. Exforge : sakit kepala, peningkatan kadar BUN.
5. Eritropoetin : mual, muntah, sakit kepala, kemerahan.
6. Fero sulfast: konstipasi, diare, gangguan gastrointestinal.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2007, Asuhan Kefarmasian untuk Penyakit Hati, Depkes RI, Jakarta.

Dipiro JT, Talbert RI and Yee GC. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic


Approach. 7th Ed.Syamford: Appleton & Lange, 2008.

Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook. 7th edition, Mc Graw Hill, New


York.
Kementrian kesehatan RI. 2014. Situasi dan analisis hepatitis. Kementrian
kesehatan RI pusat data dan informasi. Jakarta.
Muchid et al. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

National Service Scotland. 2018. National Clinical Guidelines for the treatment of
HCV in adults. Healthcare Improvement Scotland.

Samuel C. Matheny, Md, Mph, And Joe E. Kingery, Do. 2012. Hepatitis A.
University of Kentucky College of Medicine, Lexington, Kentucky.

Waldemar Halota, Robert Flisiak, Jacek Juszczyk, Piotr Małkowski, Małgorzata


Pawłowska, Krzysztof Simon, Krzysztof Tomasiewicz. 2017.
Recommendations For The TreatmentOf Hepatitis C In 2017. Clinical
Expert Hepatology 2017; 3, 2: 47–55.

Yeung, E, dkk, 2002, The Management of Cirrhotic Ascites, Medscape General


Med, (4):8

Umar Muhamad, Abass Z, Arora S, Foster G, Esmat G, Elewaut A.


2017.Diagnosis, Management, and Prevention of Hepatitis C. WGO
Global Guidelines.

European Association for the Study of the Liver (EASL), 2016. EASL
Recommendations on Treatment of Hepatitis C. J Hepatol. 57:167–185

Anda mungkin juga menyukai