Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI IV

PENYAKIT DIABETES MELLITUS

OLEH :
KELOMPOK III/B1A
NI KOMANG SRI ASTRI SUARDEWI 162200016
NI LUH GEDE WIDYASTUTI 162200017
NI NYOMAN SUARDANI 162200018
NI PUTU DEWI WAHYUNI 162200019
NI PUTU ERNA WIDIASMINI 162200020
NI PUTU OZZY CINTYA DEWI 162200021
PUTU AYU WIDYA GALIH MEGA PUTRI 6220022

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
2018
PENYAKIT DIABETES MELLITUS

I. Tujuan Praktikum
a. Mengetahui definisi diabetes mellitus.
b. Mengetahui patofisiologi diabetes mellitus.
c. Mengetahui tatalaksana diabetes mellitus.
d. Dapat menyelesaikan kasus terkait diabetes mellitus secara mandiri
dengan menggunakan metode SOAP.

II. Dasar Teori


2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
kekurangan yang diturunkan dan/atau diperoleh dalam produksi insulin oleh
pankreas, atau akibat ketidakefektifan insulin yang dihasilkan. Kekurangan
seperti ini menghasilkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah, yang
akhirnya dapat merusak banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan
saraf (WHO, 2018).
Diabetes adalah kondisi kronis yang disebabkan oleh kurangnya insulin
absolut atau kurangnya relatif insulin sebagai akibat gangguan sekresi dan
aksi insulin. Ciri khas klinisnya adalah intoleransi glukosa simptomatik yang
mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan dalam metabolisme lipid dan
protein. Kelainan metabolik ini dalam jangka panjang berkontribusi pada
pengembangan komplikasi seperti penyakit kardiovaskular (CVD), retinopati,
nefropati, dan neuropati dan risiko kanker yang lebih tinggi (Kroon, L.A &
Williams, C., 2013).

2.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi diabetes mellitus menurut American Diabetes Association (2018),
terbagi atas 4 (empat) yaitu :
a. Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel β-sel autoimun, biasanya
menyebabkan defisiensi insulin absolut).
Diabetes dimediasi oleh imun, bentuk diabetes ini menyumbang hanya
5-10% dari kasus diabetes. Diabetes tipe 1 merupakan hasil dari destruksi
autoimun seluler dari sel-β pankreas. Penanda kerusakan kekebalan sel β
termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin,
autoantibodi ke GAD (GAD65), dan autoantibodi ke tirosin fosfatase IA-
2 dan IA-2β. Satu dan biasanya lebih dari autoantibodi ini hadir di 85-
90% dari individu ketika hiperglikemia puasa pada awalnya
terdeteksi. Juga, penyakit ini memiliki asosiasi HLA yang kuat, dengan
keterkaitan dengan gen DQA dan DQB, dan itu dipengaruhi oleh gen
DRB. Alel HLA-DR / DQ ini dapat menjadi predisposisi atau pelindung.
Pasien-pasien yang rentan terhadap gangguan autoimun lain seperti
penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Addison, vitiligo, celiac
sprue, hepatitis autoimun, myasthenia gravis, dan anemia pernisiosa
(American Diabetes Association, 2010).
Diabetes idiopatik, beberapa bentuk diabetes tipe 1 tidak memiliki
etiologi yang diketahui. Beberapa dari pasien ini memiliki insulinopenia
permanen dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak memiliki bukti
autoimunitas. Meskipun hanya sebagian kecil pasien dengan diabetes tipe
1 jatuh ke dalam kategori ini, dari mereka yang melakukan, sebagian
besar adalah keturunan Afrika atau Asia. Individu dengan bentuk
diabetes ini menderita ketoasidosis episodik dan menunjukkan berbagai
tingkat kekurangan insulin di antara episode. Bentuk diabetes ini sangat
diwariskan, tidak memiliki bukti imunologi untuk autoimunitas β-sel, dan
tidak terkait dengan HLA (American Diabetes Association, 2010).

b. Diabetes tipe 2 (karena kehilangan progresif sekresi insulin β-sel


sering pada latar belakang resistensi insulin).
Bentuk diabetes ini menyumbang ∼90-95% dari kasus diabetes,
sebelumnya disebut sebagai diabetes tergantung non-insulin, meliputi
individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya memiliki relatif
(daripada absolut) kekurangan insulin. Setidaknya pada awalnya, dan
seringkali sepanjang hidup mereka, individu-individu ini tidak
memerlukan perawatan insulin untuk bertahan hidup. Mungkin ada
banyak penyebab berbeda dari bentuk diabetes ini. Meskipun etiologi
spesifik tidak diketahui, destruksi β-sel autoimun tidak terjadi, dan pasien
tidak memiliki salah satu penyebab lain diabetes yang tercantum di atas
atau di bawah. Sebagian besar pasien dengan diabetes jenis ini
mengalami obesitas, sehingga menyebabkan beberapa derajat resistensi
insulin. Bentuk diabetes ini sering tidak terdiagnosis selama bertahun-
tahun karena hiperglikemia berkembang secara bertahap dan pada tahap
awal sering tidak cukup parah bagi pasien untuk melihat salah satu gejala
klasik diabetes. Namun demikian, pasien tersebut memiliki peningkatan
risiko mengembangkan komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Sekresi insulin rusak dan tidak cukup untuk mengimbangi resistensi
insulin. Resistensi insulin dapat meningkat dengan penurunan berat
badan dan/atau terapi farmakologi hiperglikemia tetapi jarang
dikembalikan ke normal. Risiko mengembangkan bentuk diabetes ini
meningkat seiring bertambahnya usia, kegemukan, dan kurangnya
aktivitas fisik (American Diabetes Association, 2010).

c. Gestational diabetes mellitus (GDM) (diabetes didiagnosis pada


trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas diabetes
sebelum kehamilan).
1. Cacat genetik dari sel β, abnormalitas pada enam lokus genetik
pada kromosom yang berbeda telah diidentifikasi hingga saat ini.
Bentuk yang paling umum dikaitkan dengan mutasi pada
kromosom 12 dalam faktor transkripsi hati disebut sebagai faktor
nuklir hepatosit (HNF)-1α. Bentuk kedua dikaitkan dengan
mutasi pada gen glucokinase pada kromosom 7p dan
menghasilkan molekul glukokinase yang rusak. Glukokinase
mengubah glukosa menjadi glukosa-6-fosfat, metabolisme yang,
pada gilirannya, merangsang sekresi insulin oleh β-sel.
Glukokinase berfungsi sebagai "sensor glukosa" untuk β-sel,
karena cacat pada gen glucokinase, peningkatan kadar glukosa
plasma diperlukan untuk mendapatkan tingkat normal sekresi
insulin. Bentuk yang kurang umum dihasilkan dari mutasi pada
faktor transkripsi lainnya, termasuk HNF-4α, HNF-1β, faktor
promotor insulin (IPF) -1, dan NeuroD1 (American Diabetes
Association, 2010).
2. Penyakit pankreas eksokrin, proses yang didapat termasuk
pankreatitis, trauma, infeksi, pancreatectomy, dan karsinoma
pankreas. Dengan pengecualian yang disebabkan oleh kanker,
kerusakan pankreas harus luas untuk diabetes terjadi;
adrenocarcinomas yang melibatkan hanya sebagian kecil dari
pankreas telah dikaitkan dengan diabetes. Suatu mekanisme selain
pengurangan sederhana dalam massa sel-β. Jika cukup luas, cystic
fibrosis dan hemochromatosis juga akan merusak sel-sel β dan
merusak sekresi insulin (American Diabetes Association, 2010).
3. Endokrinopati, beberapa hormon (misalnya, hormon pertumbuhan,
kortisol, glukagon, epinefrin) bertentangan dengan aksi insulin.
Jumlah berlebihan dari hormon-hormon ini (misalnya,
akromegali, sindrom Cushing, glucagonoma, pheochromocytoma,
masing-masing) dapat menyebabkan diabetes. Umumnya terjadi
pada individu dengan defek yang sudah ada dalam sekresi insulin,
dan hiperglikemia biasanya hilang ketika kelebihan hormon
diselesaikan. Somatostatinoma dan aldosteronoma-diinduksi
hipokalemia dapat menyebabkan diabetes, setidaknya sebagian,
dengan menghambat sekresi insulin (American Diabetes
Association, 2010).
4. Diabetes yang diinduksi obat atau kimia, racun tertentu seperti
Vacor (racun tikus) dan pentamidin intravena dapat secara
permanen menghancurkan sel β pankreas. Reaksi obat seperti itu
untungnya jarang. Ada juga banyak obat dan hormon yang dapat
merusak kerja insulin. Contohnya termasuk asam nikotinat dan
glukokortikoid. Pasien yang menerima α-interferon telah
dilaporkan mengembangkan diabetes yang terkait dengan antibodi
sel islet dan defisiensi insulin berat (American Diabetes
Association, 2010).

d. Jenis diabetes khusus karena penyebab lain, misalnya sindrom


diabetes monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes onset usia
lanjut pada wanita muda [MODY]), penyakit pankreas eksokrin
(seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), dan obat-obatan- atau
diabetes yang diinduksi kimia (seperti dengan penggunaan
glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah
transplantasi organ).

Gambar 1. Perbedaan insulin tipe 1 dan 2

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Diabetes Mellitus


DM ditandai oleh kurangnya insulin, seorang kerabat kekurangan insulin,
atau resistensi insulin serta gangguan lainnya hormon. Cacat ini
menyebabkan ketidakmampuan menggunakan glukosa untuk energi.
Meningkatnya prevalensi DM sebagian disebabkan oleh tiga pengaruh: gaya
hidup, etnis, dan usia (Burn et al, 2016)
a. Gaya hidup
Gaya hidup yang tidak aktif ditambah dengan konsumsi makanan
tinggi lemak, tinggi karbohidrat, dan ukuran porsi yang lebih besar
telah mengakibatkan meningkatnya tingkat orang yang mengalami
obesitas. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa 34,9% dari populasi
AS mengalami obesitas ketika obesitas didefinisikan sebagai indeks
massa tubuh (BMI) lebih besar dari 30 kg / m2.2 Dalam survei 2008,
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menemukan
bahwa 25,4% orang dewasa Amerika menghabiskan tidak ada waktu
luang mereka secara fisik aktif.
b. Etnis
Selain tren gaya hidup saat ini dan peningkatan berat badan, kelompok
etnis tertentu berada pada risiko tinggi yang tidak proporsional untuk
mengembangkan DM. Risiko diabetes adalah 18% lebih tinggi di
antara orang Amerika Asia, 68% lebih tinggi di antara orang Hispanik,
dan 74% lebih tinggi di antara orang kulit hitam non-Hispanik
dibandingkan dengan orang dewasa kulit putih non-Hispanik. 1 Kasus
baru DM didiagnosis pada tingkat yang lebih tinggi di antara
minoritas Amerika Serikat. populasi dari pada kulit putih non-
Hispanik.
c. Usia
Faktor ketiga yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi DM
tipe 2 (T2DM) adalah usia. Pada tahun 2012, 11,2 juta orang di
Amerika Serikat yang berusia 65 tahun atau lebih tua menderita
diabetes dibandingkan dengan hanya 208.000 lebih muda dari usia 20
tahun.1 Seiring bertambahnya usia penduduk, insiden T2DM
diperkirakan akan meningkat. Beberapa faktor risiko diabetes melitus
tipe 2 antara lain berusia ≥ 40 tahun, memiliki riwayat prediabetes (
A1C 6,0 % - 6,4 % ), memiliki riwayat diabetes melitus gestasional,
memiliki riwayat penyakit vaskuler, timbulnya kerusakan organ
karena adanya komplikasi, penggunaan obat seperti glukokortikoid,
dan dipicu oleh penyakit seperti HIV serta populasi yang berisiko
tinggi terkena diabetes melitus seperti penduduk Aborigin, Afrika, dan
Asia (Ekoe et al., 2013).
ADA menyarankan bahwa orang dewasa tanpa faktor risiko harus
dipantau mulai usia 45. Pngecekan berkala harus dilakukan setiap 3
tahun. Seseorang juga dapat terkena penyakit diabetes mellitus
jika:kelebihan berat badan (indeks massa tubuh [BMI] ≥25 kg/m2) dan
memiliki satu atau lebih faktor risiko yang tercantum dalam Tabel 1.
Pada anak asimtomatik yang berusia 10 tahun atau yang mengalami
permulaan pubertas sebelum usia 10 tahun harus diskrining setiap 2
tahun untuk diabetes tipe 2 jika mereka kelebihan berat badan dan
memiliki dua atau lebih faktor risiko pada gambar 2 (Kroon, L.A &
Williams, C., 2013)

Gambar 2. Faktor resiko diabetes mellitus tipe 2

2.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus


a. Diabetes mellitus tipe 1
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena
kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi
autoimun. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM
Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet
cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid
decarboxylase). ICCA merupakan otoantibodi utama yang ditemukan
pada penderita DM Tipe 1. Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau
Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi
insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Defisiensi insulin
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai
akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak
bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-
jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan
perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh
(Muchid, A., et al. 2005).
Diabetes tipe 1 ditandai oleh destruksi autoimun sel-sel yang
memproduksi insulin di pankreas oleh CD4 + dan sel T CD8 + dan
makrofag yang menginfiltrasi pulau. Beberapa ciri diabetes mellitus tipe
1 sebagai penyakit autoimun (Baynest, H.W., 2015):
1. Kehadiran sel-sel imunokompetitif dan aksesori di pulau pancreas
yang diinfiltrasi;
2. Asosiasi kerentanan terhadap penyakit dengan gen kelas II (respons
imun) dari kompleks histocompatibility utama (MHC; manusia
leukosit antigen HLA);
3. Adanya autoantibodi khusus sel islet;
4. Perubahan imunoregulasi diperantarai sel T, khususnya dalam
kompartemen sel T CD4+;
5. Keterlibatan monokines dan sel TH1 menghasilkan interleukin
dalam proses penyakit;
6. Respon terhadap imunoterapi dan;
7. Sering terjadi penyakit auto-imun spesifik organ lain pada individu
yang terkena atau di anggota keluarga mereka.
Sekitar 85% dari pasien memiliki sirkulasi antibodi sel islet, dan
mayoritas juga memiliki antibodi anti-insulin yang dapat dideteksi
sebelum menerima terapi insulin. Sebagian besar antibodi sel islet
diarahkan terhadap asam glaramat dekarboksilase dalam sel B pankreas.
Kerusakan autoimun sel β pankreas, menyebabkan kekurangan sekresi
insulin yang menghasilkan gangguan metabolik yang terkait dengan
T1DM. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel α pankreas juga
abnormal dan ada sekresi glukagon yang berlebihan pada pasien T1DM.
Biasanya, hiperglikemia menyebabkan sekresi glukagon berkurang,
namun, pada pasien dengan T1DM, sekresi glucagons tidak ditekan oleh
hiperglikemia. Hasil kadar glukagon yang tidak tepat meningkat
memperburuk cacat metabolik karena defisiensi insulin. Meskipun
defisiensi insulin merupakan defek utama pada T1DM, ada juga defek
dalam pemberian insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis
yang tidak terkontrol dan peningkatan kadar asam lemak bebas dalam
plasma, yang menekan metabolisme glukosa dalam jaringan perifer
seperti otot rangka. Pemanfaatan glukosa terganggu dan kekurangan
insulin juga menurunkan ekspresi sejumlah gen yang diperlukan untuk
jaringan target untuk merespon secara normal terhadap insulin seperti
glukokinase dalam hati dan kelas GLUT 4 transporter glukosa dalam
jaringan adiposa menjelaskan bahwa gangguan metabolik utama yang
dihasilkan dari kekurangan insulin di T1DM terganggu glukosa, lipid dan
metabolisme protein (Baynest, H.W., 2015).

b. Diabetes mellitus tipe 2


Pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin
dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Defisiensi fungsi insulin
pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Sel-sel β
kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan
sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal
perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif,
yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Penelitian mutakhir menunjukkan
bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Muchid, A., et al.
2005).
Pada diabetes tipe 2 mekanisme ini memecah, dengan konsekuensi
bahwa dua defek patologis utama pada diabetes tipe 2 adalah gangguan
sekresi insulin melalui disfungsi sel β pankreas dan gangguan kerja
insulin melalui resistensi insulin. Resistensi terhadap insulin
mendominasi, massa sel-β mengalami transformasi yang mampu
meningkatkan suplai insulin dan mengkompensasi permintaan yang
berlebihan dan anomali. Secara absolut, konsentrasi insulin plasma (baik
puasa dan makanan dirangsang) biasanya meningkat, meskipun "relatif"
terhadap tingkat keparahan resistensi insulin, konsentrasi insulin plasma
tidak cukup untuk mempertahankan homeostasis glukosa normal.
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akhirnya menyebabkan gangguan
toleransi glukosa, kecuali untuk diabetes onset usia dewasa muda
(MODY), modus pewarisan diabetes mellitus tipe 2, diwariskan sebagai
sifat dominan autosomal dapat dihasilkan dari mutasi pada gen
glucokinase pada kromosom 7p. MODY didefinisikan sebagai
hiperglikemia didiagnosis sebelum usia dua puluh lima tahun dan dapat
diobati selama lebih dari lima tahun tanpa insulin dalam kasus di mana
antibodi sel islet (ICA) negatif (Baynest, H.W., 2015).
Peristiwa utama diyakini menjadi defisit awal dalam sekresi insulin
dan pada banyak pasien defisiensi insulin relatif dalam hubungan dengan
resistensi insulin perifer. Resistensi terhadap kerja insulin akan
menyebabkan gangguan penyerapan insulin mediated glukosa di perifer
(oleh otot dan lemak), penekanan output glukosa hepatik yang tidak
sempurna dan gangguan penyerapan trigliserida oleh lemak. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2. Mekanisme mengatasi resistensi
insulin, sel islet akan meningkatkan jumlah insulin yang disekresi.
Produksi glukosa endogen dipercepat pada pasien dengan diabetes tipe 2
atau glukosa puasa terganggu (Baynest, H.W., 2015; Soelistijo, S.A., et
al. 2015).
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM Tipe 2 dapat
dibagi menjadi 4 kelompok:
1. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
2. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut
juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
3. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar
glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)
4. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar
glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).

c. Gestasional Diabetes mellitus


Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat
pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat
buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi
antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika
lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita
yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita
lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat
mengurangi risiko-risiko tersebut. Dalam patofisiologi GDM harus
mempertimbangkan dua poin utama yaitu peran unit feto-placental dan
jaringan adiposa di GDM (Muchid, A., et al. 2005; Al-Naoemi, M.C &
Shalayel, M.H.F., 2011).
1. Peran unit feto-placental dalam pengembangan GDM. Dalam abad
terakhir resistensi insulin dan penurunan sensitivitas insulin selama
kehamilan terutama dikaitkan dengan peningkatan kadar hormon
yang berhubungan dengan kehamilan sebagai estrogen, progesteron,
kortisol, dan laktogen plasenta dalam sirkulasi ibu. Biasanya
resistensi insulin dari seluruh tubuh meningkat menjadi sekitar tiga
kali yang terlihat pada keadaan tidak hamil. Peningkatan resistensi
disebabkan oleh peristiwa reseptor pasca-insulin dan efek seluler
dari peningkatan kadar satu atau semua hormon di atas. Ketika
kehamilan berlanjut dan plasenta tumbuh lebih besar, produksi
hormon juga meningkat dan demikian juga tingkat resistensi insulin.
Proses ini biasanya dimulai antara 20 dan 24 minggu kehamilan.
Saat lahir, ketika plasenta dilahirkan, produksi hormon berhenti dan
begitu juga kondisi, sangat menyarankan bahwa hormon-hormon ini
menyebabkan GDM (Al-Naoemi, M.C & Shalayel, M.H.F., 2011).
2. Peran jaringan adiposa dalam pengembangan GDM. Secara historis,
hormon plasenta dianggap sebagai mediator utama resistensi insulin
selama kehamilan. Selama dekade terakhir, jaringan adiposa telah
terbukti menghasilkan banyak faktor (adipocytokines), sebagian
besar berfungsi sebagai hormon. Hormon-hormon adiposit ini telah
terlibat dalam regulasi metabolisme ibu dan resistensi insulin
kehamilan. Adipocytokines, termasuk leptin, adiponektin, tumor
necrosis faktor alpha, interleukin-6, serta resistin yang baru
ditemukan, visfatin, dan apelin, juga diketahui diproduksi dalam
lingkungan intrauterine. Meskipun laktogen plasenta manusia sering
dikutip sebagai penyebab penurunan sensitivitas insulin pada
kehamilan, karena produksi dari plasenta dan peningkatan
konsentrasi dengan kehamilan lanjutan. Peran adipocytokines dan
peningkatan konsentrasi lipid dalam kehamilan berkorelasi dengan
perubahan longitudinal dalam sensitivitas insulin pada wanita yang
tidak hamil serta pada wanita hamil. Bukti menunjukkan bahwa satu
atau lebih dari adipokin ini (seperti TNF-αdan leptin) dapat merusak
pensinyalan insulin dan menyebabkan resistensi insulin (Al-Naoemi,
M.C & Shalayel, M.H.F., 2011).
2.5 Diagnosa Diabetes Mellitus
Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma, baik
glukosa plasma puasa (FPG) atau glukosa plasma 2 jam (2-h PG) nilai selama
tes toleransi glukosa oral 75-g (OGTT), atau kriteria A1C. Umumnya, FPG,
2-h PG selama 75-g OGTT, dan A1C sama-sama sesuai untuk pengujian
diagnostik. Perlu dicatat bahwa tes tidak selalu mendeteksi diabetes pada
individu yang sama. Kemanjuran intervensi untuk pencegahan primer
diabetes tipe 2 terutama telah dibuktikan di antara individu yang memiliki
gangguan toleransi glukosa (IGT) dengan atau tanpa glukosa puasa tinggi,
bukan untuk orang dengan glukosa puasa terganggu yang terisolasi (IFG) atau
untuk mereka dengan prediabetes yang didefinisikan oleh kriteria A1C. Tes
yang sama dapat digunakan untuk menyaring dan mendiagnosis diabetes dan
untuk mendeteksi individu dengan pra-diabetes. Diabetes dapat diidentifikasi
di mana saja sepanjang spektrum klinis: pada individu yang tampaknya
berisiko rendah yang kebetulan memiliki tes glukosa, pada individu yang
diuji berdasarkan penilaian risiko diabetes, dan pada pasien bergejala
(American Diabetes Association. 2017).

Gambar 3. Kriteria untuk diagnosis diabetes


Glukosa plasma puasa dan 2 jam, FPG dan 2-h PG dapat digunakan untuk
mendiagnosis diabetes. Konkordansi antara FPG dan tes PG 2-jam tidak
sempurna, seperti konkordansi antara A1C dan tes berbasis
glukosa. Sejumlah penelitian telah mengkonfirmasi bahwa dibandingkan
dengan poin pemotongan FPG dan A1C, nilai PG 2-jam mendiagnosis lebih
banyak orang dengan diabetes. Data National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa titik potong A1C
≥6.5% mengidentifikasi prevalensi diabetes yang tidak terdiagnosis yaitu
sepertiga dari yang menggunakan kriteria glukosa. Ketika menggunakan A1C
untuk mendiagnosis diabetes, penting untuk mengenali bahwa A1C adalah
ukuran tidak langsung dari kadar glukosa darah rata-rata dan untuk
mempertimbangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi glycation
hemoglobin secara independen dari glikemia termasuk usia, ras/etnis, dan
anemia/hemoglobinopathies (American Diabetes Association. 2017).

Gambar 4. Kategori Status Glukosa


Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan
sebagai patokan diagnosis DM. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
1. Kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih
lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah
sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa
darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi
glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL
(Muchid, A., et al. 2005).
Tabel 1. Diagnosa kadar glukosa pada diabetes mellitus (Muchid. A., et al.
2005; Soelistijo, S.A., et al. 2015)
HbA1C Glukosa plasma Glukosa plasma 2
puasa jam setelah
makan
Normal < 5,7 < 100 mg/dL < 140 mg/dL
Pra-diabetes 5,7-6,4 100-125 mg/dL -
IFG atau IGT - 140-199 mg/dL
Diabetes >6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL

2.6 Gejala Diabetes Mellitus


Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala
tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering
buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak
makan/mudah lapar), penurunan berat badan - meskipun Anda makan lebih
banyak (tipe 1) dan kesemutan, nyeri, atau mati rasa di tangan/kaki (tipe 2)
(Muchid, A., et al.. 2005; American Diabetes Association, 2018).
a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah
(fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit).
b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.
DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru
dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang
dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih
mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan
makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

2.7 Tatalaksana Diabetes Mellitus


2.7.1 Tujuan tatalaksana terapi diabetes mellitus
Tujuan keseluruhan dari manajemen diabetes adalah untuk
mencegah komplikasi akut dan kronis. Penilaian periodik dari A1C
dikombinasikan dengan pengukuran kadar glukosa puasa, preprandial,
dan postprandial rutin harus digunakan untuk menilai terapi. Usahakan
agar pasien bebas dari gejala yang berhubungan dengan hiperglikemia
(poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, kelelahan, infeksi berulang,
ketoasidosis) atau hipoglikemia (rasa lapar, kecemasan, palpitasi,
keringat). Meminimalkan faktor risiko kardiovaskular (obesitas,
hipertensi, penggunaan tembakau, hiperlipidemia) (Kroon, L.A &
Williams, C., 2013).
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas diabetes mellitus, yang secara
spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Muchid, A., et
al. 2005):
a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya
komplikasi diabetes.

Gambar 5. Target ADA untuk dewasa dengan diabetes melitus


2.7.2 Tatalaksana non-farmakologi
Manajemen gaya hidup adalah aspek mendasar dari perawatan
diabetes dan termasuk edukasi dan dukungan manajemen diabetes
(DSMES), terapi nutrisi medis (MNT), aktivitas fisik, konseling
penghentian merokok, dan perawatan psikososial. Layanan DSMES
memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
diperlukan untuk perawatan diri diabetes yang optimal dan
menggabungkan kebutuhan, tujuan, dan pengalaman hidup dari
penderita diabetes. Tujuan keseluruhan dari DSMES adalah untuk
mendukung pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri,
pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim perawatan
kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan
kualitas hidup dengan cara yang hemat biaya (American Diabetes
Assocition, 2018).
a. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi memiliki peran integral dalam manajemen diabetes
secara keseluruhan, dan setiap orang dengan diabetes harus secara aktif
terlibat dalam pendidikan, manajemen diri, dan perencanaan perawatan
dengan tim perawatan kesehatannya, termasuk pengembangan
kolaboratif dari rencana makan individual. Semua individu dengan
diabetes harus ditawarkan rujukan untuk MNT individual, sebaiknya
disediakan oleh ahli diet terdaftar yang berpengetahuan luas dan
terampil dalam menyediakan MNT spesifik diabetes. MNT
disampaikan oleh seorang ahli diet terdaftar dikaitkan dengan A1C
penurunan dari 1,0-1,9% untuk orang dengan diabetes tipe 1 dan 0,3-
2% untuk orang dengan diabetes tipe 2. Metode piring diabetes
umumnya digunakan untuk menyediakan panduan perencanaan
makanan dasar karena menyediakan panduan visual yang menunjukkan
cara mengontrol kalori (dengan menampilkan piring yang lebih kecil)
dan karbohidrat (dengan membatasi mereka untuk apa yang cocok
dalam seperempat dari piring) dan memberi penekanan pada sayuran
rendah karbohidrat (American Diabetes Assocition, 2018).

b. Manajemen Berat Badan


Manajemen dan pengurangan berat badan penting untuk orang yang
kelebihan berat badan dan obesitas dengan diabetes tipe 1 dan tipe
2. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan program gaya hidup
yang mencapai defisit energi 500–750 kcal/hari atau memberikan
∼1.200–1.500 kkal/hari untuk wanita dan 1.500–1.800 kkal/hari untuk
pria, disesuaikan dengan berat badan awal individu (American Diabetes
Assocition, 2018).

c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah istilah umum yang mencakup semua gerakan
yang meningkatkan penggunaan energi dan merupakan bagian penting
dari rencana manajemen diabetes. Latihan adalah bentuk aktivitas fisik
yang lebih spesifik yang terstruktur dan dirancang untuk meningkatkan
kebugaran fisik. Baik aktivitas fisik maupun olahraga penting. Olahraga
telah ditunjukkan untuk meningkatkan kendali glukosa darah,
mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi terhadap
penurunan berat badan, dan meningkatkan kesejahteraan. Aktivitas fisik
sama pentingnya bagi mereka yang menderita diabetes tipe 1 seperti
halnya untuk populasi umum, tetapi peran spesifiknya dalam
pencegahan komplikasi diabetes dan manajemen glukosa darah tidak
sejelas seperti untuk mereka dengan diabetes tipe 2 (American Diabetes
Assocition, 2018).

2.7.3 Tatalaksana Farmakologi


a. Diabetes mellitus tipe 1
Insulin adalah terapi utama diabetes tipe 1. Insulin mempunyai peran
yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin
yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke
dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah
sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah ke dalam
sel. Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam
sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap
metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan
lipogenesis, menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam
amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam
modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel (Muchid, A., et al.
2005).
Dosis awal insulin didasarkan pada berat badan, dengan dosis mulai
dari 0,4 hingga 1,0 unit/kg/hari dari total insulin dengan jumlah yang
lebih tinggi yang diperlukan selama masa pubertas. American Diabetes
Association/JDRF Diabetes Tipe 1 Sourcebook 0,5 unit/kg/hari sebagai
dosis awal yang khas pada pasien dengan diabetes tipe 1 yang
metabolik stabil, dengan tinggi dosis berdasarkan berat badan
diperlukan presentasi segera setelah dengan ketoasidosis, dan
memberikan informasi rinci tentang intensifikasi terapi untuk
memenuhi kebutuhan individual (American Diabetes Association,
2018). Ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama
berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4 kelompok,
yaitu (Muchid, A., et al. 2005):
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga
insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)

Tabel 2. Penggolongan sediaan insulin berdasarkan mula dan masa


kerja (Muchid, A., et al. 2005)
Jenis sediaan insulin Mulai Puncak Massa
kerja (jam) (jam) kerja (jam)
Masa kerja Singkat 0,5 1-4 6-8
(Shortacting/
Insulin), disebut juga
insulin reguler
Masa kerja Sedang 1-2 6-12 18-24
Masa kerja Sedang, 0,5 4-15 18-24
mulai kerja cepat
Masa kerja panjang 4-6 14-20 24-36
Pramlintide
Pramlintide (analog amylin) adalah agen yang menunda
pengosongan lambung, menumpulkan sekresi pankreas glukagon.
Analog amylin ini disetujui FDA untuk digunakan pada orang dewasa
dengan diabetes tipe 1. Telah terbukti menyebabkan penurunan berat
badan dan menurunkan dosis insulin. Pengurangan dosis insulin
prandial bersamaan diperlukan untuk mengurangi risiko hipoglikemia
berat.

b. Diabetes mellitus tipe 2

Gambar 6. Terapi antihiperglikemik pada dewasa dengan diabetes tipe 2


Gambar 7. Penatalaksanaan diabetes tipe 2 di Indonesia
Gambar 8. Terapi kombinasi injeksi pada diabetes tipe 2
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan (Soelistijo, S.A., et al. 2015).
Terapi awal : Monoterapi metformin harus dimulai pada diagnosis diabetes
tipe 2 kecuali ada kontraindikasi. Metformin efektif dan aman, tidak mahal,
dan dapat mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan
kematian, dibandingkan dengan sulfonilurea, metformin sebagai terapi lini
pertama memiliki efek menguntungkan pada A1C, berat badan, dan
mortalitas kardiovaskular. Metformin dapat digunakan dengan aman pada
pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) serendah 30
mL/menit/1,73 m2, dan FDA baru-baru ini merevisi label untuk metformin
untuk mencerminkan keamanannya pada pasien dengan eGFR ≥30
mL/min/1,73 m2. Pada pasien dengan kontraindikasi metformin atau
intoleransi, pertimbangkan obat awal dari kelas lain. Ketika A1C adalah
≥9% (75 mmol/mol), pertimbangkan untuk memulai terapi kombinasi ganda
untuk lebih cepat mencapai tingkat A1C target. Pertimbangkan untuk
memulai terapi kombinasi insulin suntik ketika glukosa darah ≥300 mg/dL
(16,7 mmol/L) atau A1C adalah ≥10% (86 mmol/mol) atau jika pasien
memiliki gejala hiperglikemia (yaitu poliuria atau polidipsia) (American
Diabetes Association, 2018).
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan (Soelistijo, S.A., et al. 2015):
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea, Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping
utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati
menggunakan sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi
hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal) (Soelistijo,
S.A., et al. 2015).
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia (Soelistijo, S.A., et al. 2015).

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin


Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar
kasus DMT2. Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (GFR 30-60 ml/menit/1,73 m2). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sperti: GFR<30
mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC
III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran
pencernaan seperti halnya gejala dispepsia (Soelistijo, S.A., et al.
2015).
Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma, suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi
cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi
cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah Pioglitazone (Soelistijo, S.A., et al. 2015).
c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Alfa Glukosidase. Obat ini bekerja dengan
memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Guna mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan dosis
kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose (Soelistijo, S.A., et
al. 2015).
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV).
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-
IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi
yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan
sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah
Sitagliptin dan Linagliptin (Soelistijo, S.A., et al. 2015).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli
distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin,
Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (Soelistijo, S.A., et al.
2015).

Terapi Kombinasi : banyak uji coba membandingkan terapi ganda


dengan metformin monoterapi, beberapa langsung membandingkan obat
sebagai terapi tambahan. Sebuah meta-analisis efektivitas komparatif
menunjukkan bahwa setiap kelas baru agen non-insulin ditambahkan ke
terapi awal umumnya menurunkan A1C sekitar 0,7-1,0%. Jika target
A1C tidak tercapai setelah sekitar 3 bulan dan pasien tidak memiliki
penyakit kardiovaskular aterosklerotik (ASCVD), pertimbangkan
kombinasi metformin dan salah satu dari enam opsi pengobatan yang
dapat digunakan: sulfonylurea, tiazolidinedione, inhibitor DPP-4,
inhibitor SGLT2, Agonis reseptor GLP-1, atau insulin basal; pilihan agen
yang ditambahkan didasarkan pada efek spesifik obat dan faktor pasien.
Jika target A1C belum tercapai setelah ∼3 bulan terapi ganda, lanjutkan
ke kombinasi tiga obat. Apabila target A1C tidak tercapai setelah ∼3
bulan terapi tiga obat, lanjutkan ke terapi kombinasi suntik. Pilihan obat
didasarkan pada preferensi pasien, serta berbagai pasien, penyakit, dan
karakteristik obat, dengan tujuan mengurangi kadar glukosa darah sambil
meminimalkan efek samping, terutama hipoglikemia (American Diabetes
Association, 2018).

2. Terapi Insulin : pasien dengan diabetes tipe 2 akhirnya membutuhkan


dan mendapat manfaat dari terapi insulin. Sifat progresif diabetes tipe 2
harus secara teratur dan obyektif dijelaskan kepada pasien. Pasien dengan
algoritma untuk self-titration dosis insulin berdasarkan pemantauan diri
glukosa darah meningkatkan kontrol glikemik pada pasien dengan
diabetes tipe 2 memulai insulin. Pendidikan komprehensif mengenai
pemantauan diri glukosa darah, diet, dan penghindaran serta pengobatan
hipoglikemia yang tepat sangat penting dalam setiap pasien yang
menggunakan insulin (American Diabetes Association, 2018).
a. Basal Insulin adalah rejimen insulin awal mulai dari 10 unit/hari atau
0,1-0,2 unit/kg/hari, tergantung pada tingkat hiperglikemia. Insulin
basal biasanya diresepkan dalam hubungannya dengan
metformin. Ketika insulin basal ditambahkan ke agen
antihiperglikemik pada pasien dengan diabetes tipe 2, analog basal
long-acting (U-100 glargine atau detemir) dapat digunakan sebagai
pengganti NPH untuk mengurangi risiko hipoglikemia simptomatik
dan nokturnal. Analog basal kerja panjang (U-300 glargine atau
degludec) juga dapat memberikan risiko hipoglikemia yang lebih
rendah dibandingkan dengan glargin U-100 bila digunakan dalam
kombinasi dengan agen antihiperglikemik oral (American Diabetes
Association, 2018).
b. Bolus Insulin : Pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin memerlukan
dosis insulin bolus makan waktu selain insulin basal. Analog-akting
cepat lebih disukai karena onset aksi mereka yang cepat setelah
pemberian dosis. FDA menyetujui formulasi insulin aspart yang
bertindak lebih cepat. Dosis awal insulin makan yang dianjurkan
adalah 4 unit, 0,1 unit/kg atau 10% dari dosis basal. Jika A1C <8%
(64 mmol/mol) ketika memulai insulin bolus makan waktu,
pertimbangan harus diberikan untuk menurunkan dosis insulin basal
(American Diabetes Association, 2018).

Terapi Kombinasi Suntik : jika insulin basal telah dititrasi ke tingkat


glukosa darah puasa yang dapat diterima (atau jika dosisnya> 0,5 unit
/ kg / hari) dan A1C tetap di atas target, pertimbangkan untuk terapi
kombinasi suntik. Ketika memulai terapi kombinasi suntikan, terapi
metformin harus dipelihara sementara agen oral lainnya dapat
dihentikan secara individual untuk menghindari rejimen yang tidak
perlu rumit atau mahal (yaitu, menambahkan agen antihiperglikemik
keempat). Secara umum, agonis reseptor GLP-1 tidak boleh
dihentikan dengan inisiasi insulin basal. Sulfonylureas, DPP-4
inhibitor, dan agonis reseptor GLP-1 biasanya berhenti setelah rejimen
insulin yang lebih kompleks di luar basal digunakan. Pada pasien
dengan kontrol glukosa darah suboptimal, terutama yang
membutuhkan dosis insulin besar, penggunaan ajuvan dari
tiazolidinedione atau inhibitor SGLT2 dapat membantu meningkatkan
kontrol dan mengurangi jumlah insulin yang diperlukan, meskipun
efek samping yang potensial harus dipertimbangkan (American
Diabetes Association, 2018).

2.8 Komorbiditas dan Kondisi Khusus Diabetes Mellitus


a. Hipertensi
Hipertensi, didefinisikan sebagai tekanan darah berkelanjutan ≥140/90
mmHg, adalah umum di antara pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe
2. Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk aterosklerosis
kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskuler. Selain itu, banyak penelitian
telah menunjukkan bahwa terapi antihipertensi mengurangi kejadian
aterosklerosis kardiovaskular, gagal jantung, dan komplikasi
mikrovaskuler. Silakan merujuk ke pernyataan posisi “Diabetes and
Hypertension” dari American Diabetes Association (ADA) untuk tinjauan
rinci tentang epidemiologi, diagnosis, dan pengobatan hipertensi. Uji klinis
acak telah menunjukkan dengan tegas bahwa pengobatan hipertensi terhadap
tekanan darah <140/90 mmHg mengurangi kejadian kardiovaskular serta
komplikasi mikrovaskuler. Pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang
memiliki hipertensi minimal dirawat dengan target tekanan darah <140/90
mmHg. Intensifikasi terapi antihipertensi untuk menargetkan tekanan darah
lebih rendah dari <140/90 mmHg (misalnya, <130/80 atau <120/80 mmHg)
mungkin bermanfaat untuk pasien yang dipilih dengan diabetes seperti
mereka dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular (American Diabetes
Assocition, 2018).
Hipertensi merupakan faktor risiko yang kuat untuk pengembangan dan
perkembangan penyakit ginjal diabetes. Terapi antihipertensi mengurangi
risiko albuminuria, dan di antara pasien dengan diabetes tipe 1 atau 2 dengan
penyakit ginjal diabetes (eGFR <60 mL/menit/1,73 m2 dan UACR ≥300 mg/g
Cr), ACE inhibitor atau terapi ARB mengurangi risiko pengembangan
menjadi ESRD. Pada individu dengan albuminuria, yang berada pada
peningkatan risiko CVD dan perkembangan CKD, target tekanan darah yang
lebih rendah (misalnya, <130/80 mmHg) dapat dipertimbangkan. ACE
inhibitor atau ARB adalah agen lini pertama yang lebih disukai untuk
pengobatan tekanan darah di antara pasien dengan diabetes, hipertensi, eGFR
<60 mL/min/1,73 m2, dan UACR ≥300 mg/g Cr karena manfaatnya yang
telah terbukti untuk pencegahan CKD perkembangan dan kejadian CVD
utama. Dalam pengaturan tingkat albuminuria yang lebih rendah (30–299
mg/g Cr), ACE inhibitor atau terapi ARB telah ditunjukkan untuk
mengurangi perkembangan ke albuminuria yang lebih lanjut (≥300 mg/g Cr)
dan kejadian kardiovaskular tetapi tidak berkembang menjadi ESRD.
Sementara ACE inhibitor atau ARB diresepkan untuk albuminuria tanpa
hipertensi. Diuretik, calcium channel blockers, dan β-blocker dapat
digunakan sebagai terapi tambahan untuk mencapai gol tekanan darah pada
pasien yang diobati dengan dosis maksimum ACE inhibitor atau ARB atau
sebagai terapi alternatif pada individu yang jarang dapat mentolerir inhibitor
ACE-I dan ARB (Aerican Diabetes Association, 2017).
Gambar 9. Tatalaksana terapi pasien hipertensi dengan diabetes

b. Diabetes dengan Nefropatik Diabetes


Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal
Stadium Akhir. Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami
nefropati diabetik. Albuminuria persisten didapatkannya pada kisaran 30-
299 mg/24 jam merupakan tanda dini nefropati diabetik pada DM tipe 2
Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30-299 mg/24
jam dan berubah menjadi albuminuria persisten pada kadar ≥300 mg/24 jam
sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir.
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin
>30 mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3- 6 bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya. Klasifikasi nefropati
diabetik tidak lagi menggunakan istilah ‘mikroalbuminuria’ dan
‘makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja. Nefropati diabetik dibagi atas
albuminuria persisten pada level 30-299mg/24 jam dan albuminuria
persisten pada level ≥300mg/24 jam. Pemeriksaan lainnya adalah rasio
albumin kreatinin. Nilai diagnosis adalah:
a. Normal : <30mg/g
b. Rasio albumin kreatinin 30-299 mg/g
c. Rasio albumin kreatinin ≥300 mg/g
Penatalaksanaan dengan optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi
resiko ataupun menurunkan progresi nefropati. Optimalisasi kontrol
hipertensi untuk mengurangi resiko ataupun menurunkan progresi nefropati.
Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal
kronik tidak direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik,
resiko kejadian kardiovaskuler, atau penurunan GFR. Terapi dengan
penghambat ACE atau obat penyekat reseptor angiotensin II tidak
diperlukan untuk pencegahan primer. Terapi Penghambat ACE atau
Penyekat Reseptor Angiotensin II diberikan pada pasien tanpa kehamilan
dengan albuminuria sedang (30-299 mg/24 jam) dan albuminuria berat
(>300 mg/24 jam) (Soelistijo, S.A., et al. 2015).

2.9 Evidence terkait kasus


Angiotensin-converting enzyme inhibitor dapat menurunkan proteinuria
dan mempertahankan laju filtrasi glomerulus pada pasien diabetes. Efek ini
terjadi tidak tergantung pada perubahan tekanan darah sistemik. Penurunan
proteinuria dari agen antihipertensi lainnya dapat sepenuhnya dijelaskan oleh
perubahan tekanan darah. Penurunan tekanan darah itu sendiri dikaitkan
dengan peningkatan relatif dalam laju filtrasi glomerulus (koefisien regresi [±
SE], 3,70 ± 0,92 mL / menit untuk setiap penurunan 10 mm Hg tekanan arteri
rata-rata; P= 0,0002); Namun, dibandingkan dengan agen lain, inhibitor ACE
memiliki efek menguntungkan tambahan pada laju filtrasi glomerulus yang
tidak bergantung pada perubahan tekanan darah (3,41 ± 1,71 mL / menit; P =
0,05) (Kasiske, B.L., et al. 1993).
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat
a. Form SOAP
b. Form Medication Record.
c. Catatan Minum Obat.
d. Kalkulator Scientific.
e. Laptop dan koneksi internet.
3.2 Bahan
a. Text Book
b. Data nilai normal laboraturium.
c. Evidence terkait (Journal, Systematic Review, Meta Analysis).

IV. Kasus
Tabel 1. Data Pasien
Nama pasien Ny. H
Umur 70 tahun
MRS 29 Desember 2014 jam 18.40
Diagnosis MRS CKD stage 4, DM nefropati, HT,
Febris
Ruangan Bangsal XX
Berat badan/Tinggi badan 98 kg/163 cm
Riwayat penyakit DM = 10 tahun (terkontrol); HT =
20 tahun (terkontrol)
Riwayat penyakit NA
keluarga
Riwayat alergi obat Tidak ada riwat alergi obat
Riwayat sosial NA
Pasien MRS tanggal 29/12/14 dengan keluhan panas sejak 2 hari lalu,
membaik kemudian kumat lagi (diatasi dengan minum paracetamol, pasien
mual tapi tidak muntah. Pasien diketahui minum alkohol (-), merokok (-),
minum jamu-jamuan saat tidak fit.
Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit terdahulu berupa DM dan
hipertensi. Di Rumah Sakit pasien mendapatkan terapi seperti yang
ditampilkan pada tabel 1. Berdasarkan kasus di atas, akan dibahas lebih lanut
terapi khusus dalam aspek kajian farmasi klinis menggunakan pendekatan
analisis SOAP.
Tabel 2. Terapi yang Diberikan saat dirawat di Rumah Sakit
Des 14 Jan 15
Nama Obat
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lasix inj 1-0-0   - - - - - - - - - -
Lasix inj 2-0-0 - -     - - - - - -
Lasix inj 1-0-0 - - - - - -      
Ranitidin tab 2x1   - - - - - - - - - -
Ondansentron inj 2x1 - -          
Omeprazol inj 2x1 - - - - - - -     
Fucoidan tab 3x1 - - - - - - -     
Captopril 25 mg tab 3x1 -        - - - -
Candesartan TI 80 mg tab 1-0-0 - - - - - - -     
Amoxicillin inj    - - - - - - - - -
Ciprofloxacin tab 2x1 - - -     - - - - -
Cefoperazon inj - - - - - - -     -
Cinam inj 3x1 - - - - - - - - - - - 
Transfusi PRC - - - - - - -     -
Asam folat -           
Paracetamol tab 3x1 Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp Kp
NS atau RL            
Kidmin : futrolit (1:1) -     - - - - - - -
Comafusin ivelip - - - - - - -    - -
Lactulosa syr 3xCI - - - - - - - - - -  -
Tabel 3. Tanda-tanda vital pasien
Des 14 Jan 15
TTV
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
BP (mmHg) 128/70 130/60 130/80 140/60 150/90 120/90 120/70 130/60 160/90 150/70 130/70 160/90
N (x/menit) 88 86 72 88 80 82 80 84 80 80 88 80
Suhu (0C) 36,9 36,5 37 37 36,3 37 37,5 37,6 36,6 38,5 38,7 36,6
R (x/menit) 20 26 20 20 20 20 20 20 20 22 22 20

Tabel 4. Kondisi klinis pasien


Des 14 Jan 15
Kondisi klinis
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Panas +++ +++ +++ ++ ++ - + + + + + -
Mual +++ ++ ++ + + + + + + + + +
Muntah - - - - - - - - - - - -
Sesak +++ +++ ++ ++ ++ + + + + + + +
Pusing - - +++ ++ + - - - - - - -
Nyeri perut +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ ++
Batuk ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + + + +
Nyeri kencing - - - - - - ++ ++ - - - -
Udema perut +++ +++ +++ ++ ++ + + + + + + +
Susah BAB - - - - - - - - - + + -
Tabel 5. Tanda-tanda laboratorium
Parameter Des 14 Jan 15
Nilai Normal
Lab 28 29 30 31 1 2 3 4 5 6 7
DARAH
WBC 4-10x103 U/μL 13 26,6 24,9 16,7 16,7
Trombosit 150 U/μL 233
Hct 37-54 26,2 25,6 25,4 24,6 24,6
Hb 11-16 8,7 8,5 8,3 7,8 7,8
Ureum 13-42 103
Cr 0,7-1,3 5,67 5,7 7
Glukosa 70-110 153 146
Na 135-145 138,7 113,7 131
K 3,5-5 4,65 4,67 4,66
Cl 95-108 114,8 112,3 105,6
Bun 10-24 57 81
Kolesterol <200 102
TG <150 142
Albumin 3,5-5,5 3
SGPT 0-35 13
SGOT 0-37 18
UA <7 7,7
URIN
Leukosit 0-1 lbp 10-13
Eritrosit - 1-3
Protein - +
V. HASIL PRAKTIKUM
FORM SOAP
PHARMACEUTICAL CARE

PATIENT PROFILE

Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan Tgl. MRS: 29 Desember 2014
Usia : 70 Tahun Tgl. KRS :-
Tinggi badan : 163 cm
Berat badan : 98 Kg

Presenting Complaint
Panas 2 hari lalu, sesak 2 hari lalu, mual dan sesak

Diagnosa kerja : CKD Stage 4, DM Nefropati, Hipertensi, Febris


Diagnosa banding :

 Relevant Past Medical History:


Riwayat Penyakit: Diabetes Melitus dan Hipertensi
Riwayat Pengobatan: -

Drug Allergies:
Tidak Ada

Des 14 Jan 15
TTV
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
BP 128 130 130 140 150 120 120 130 160 150 130 160
(mmH /70 /60 /80 /60 /90 /90 /70 /60 /90 /70 /70 /90
g)
Nadi 88 86 72 88 80 82 80 84 80 80 88 80
(x/men
it)
Suhu 36, 36, 37 37 36, 37 37, 37, 36, 38, 38, 36,
(0C) 9 5 3 5 6 6 5 7 6
RR(x/ 20 26 20 20 20 20 20 20 20 22 22 20
menit)
Medication
No Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis terapi (literatur)
. digunakan
1. Lasix Inj Diuretic 1-0-0(tgl 29 20 – 40 mg iv/im
dan 30)
2-0-0 (tgl 30
– 3)
1-0-0 (tgl 4-
9)
2 Ranitidine tab Asam lambung 2 x 150 mg 50 mg/iv tiap 6-8 jam
3 Ondansentron Mual dan 2 x 2 mg/ml 0,15 mg/kg
inj muntah
4 Omeprazole Asam lambung 2 x 2 mg/ml 40 mg/hari
inj
5 Fucoidan tab Suplemen 3 x 1 tab 1 kapsul tiap 1-2 kali
lambung
6 Captopril 25 Hipertensi 3 x 25 mg Initial: 25 mg tiap 8 – 12 jam
mg Maintenance 25 mg – 150 mg
7 Candesartan 8 Hipertensi 1-0-0 (8 mg) 16 mg/hari, dititrasi 8-32
mg mg/hari
8 Amoxicillin inj Antibiotic 500 mg IM tiap 8 jam
ditingkatkan 1 gram tiap 6 jam
pada infeksi berat
9 Ciprofloxacin Antibiotic 2 x 500 mg 500mg tiap 12 jam 7-14 jam
tab
10 Cefoperazone Antibiotic 2 – 4 gram/hari dibagi per 12
inj jam
11 Cinam inj Antibiotic 3 x 1 tab 1,5 g – 3 gram IV/IM tiap 6 jam
tidak lebih 12 gram/hari
12 Transfuse PRC
13 Asam Folat Vitamin Perempuan: 400 – 800 mcg/hari
14 Paracetamol Demam 3 x 500 mg 325 – 625 mg tiap 4 jam bila
tab perlu
15 NS atau RL Elektrolit
16 Kidmin:futrolit Nutrisi GGK 1: 1 1800 ml IV selama 24 jam
17 Comafusin: Nutrisi 1800 ml IV selama 24 jam
ivelip hepatoprotektor
18 Lactulosa sirup Pencahar 3 x 15 ml 15- 30 ml (10-20 g) 1 x sehari
No Further Information Alasan Jawaban
Required
1. Riwayat pengobatan pasien Adalat oros : 1 x 30 mg
untuk penyakit HT dan DM, Menentukan ketepatan Irbesatan : 1 x 150 mg
menggunakan obat apa saja terapi Glibenclamid : 1 x 5mg
serta dosis dn aturan
pemakaianya bagaimana ?
2. Infeksi apa yang dialami pasien Menentukan ketepatan ISK (belum dikultur)
? terapi

3 Pasien mengalami CKD stage Menentukan ketepatan Dialisis


4, apakah pasien perlu dialisis ? terapi

4 Berapa serum ferritin pasien ? Untuk menentukan Sudah jenuh


penggunaan EPO
Problem List (Actual Problem)
Medical Pharmaceutical
1 Diabetes nefropati 1 P1.3 : Gejala atau indikasi yang tidak
diobati
C1.6 : Tidak ada pengobatan meskipun
ada indikasi
2 Hipertensi 2 P2.1 : Kejadian obat yang merugikan
(mungkin) terjadi
3 Infeksi ISK (belum dikultur) 3 P1.2 Efek terapi obat tidak optimal
C1.1 : Obat yang tidak sesuai menurut
pedoman/formularium
C7.4 : Pasien menggunakan obat yang
tidak perlu
4 Hiperurisemia 4 P1.3 : Gejala atau indikasi yang tidak
diobati
C1.6 : Tidak ada pengobatan meskipun
ada indikasi
5 Stress Ulcer (mual dan problem gastro) 5 P1.2 : efek terapi obat tidak optimal
C1.7 : Terlalu banyak obat yang
diresepkan untuk indikasi
P2.1 : Kejadian obat yang merugikan
(mungkin) terjadi

6 Hipoalbumin 6 P1.3 : Gejala atau indikasi yang tidak


diobati
C1.6 : Tidak ada pengobatan meskipun
ada indikasi
7 Elektrolit 7 P2.1 : Kejadian obat yang merugikan
(mungkin) terjadi
8 8
PHARMACEUTICAL PROBLEM

Subjective(symptom)
Panas 2 hari lalu, sesak 2 hari lalu, mual dan sesak

Objective(signs)
Assesment (with evidence)
Problem Obat/Interven DRP EBM
Medik si
CKD stage 4 Dialisis Tidak ada DRP -
Diabetes - P1.3 : Gejala atau -
nefropati indikasi yang tidak
diobati
C1.6 : Tidak ada
pengobatan meskipun
ada indikasi
Hipertensi Captopril 25 Tidak ada DRP Candesartan, captopril. Dapat
mg tab meningkatkan toksisitas yang
Candesartan TI P2.1 : Kejadian obat lain oleh sinergisme
80 mg (pagi) yang merugikan farmakodinamik. Hindari atau
(mungkin) terjadi Gunakan Obat Alternatif.
Blokade ganda sistem renin-
angiotensin meningkatkan risiko
hipotensi, hiperkalemia, dan
gangguan ginjal. (Medscpae,
2018)
Udema Lasix inj Tidak ada DRP -
Anemia Tranfusi PRC Tidak ada DRP -
Asam Folat Tidak ada DRP
Amoxicillin inj Tidak ada DRP -
Ciprofloxacin Tidak ada DRP -
tab
Cefoperazone P1.2 Efek terapi obatISK secara bermakna dikaitkan
inj tidak optimal dengan usia, durasi diabetes, dan
C1.1 : Obat yang tidak
kontrol glikemik yang buruk
sesuai menurut pada kedua jenis
pedoman/formularium kelamin. Sekitar 533 patogen
basil gram positif dan gram
negatif diisolasi dari 495 subjek
dalam penelitian ini.Escherichea
Infeksi ISK
coli (E. coli) adalah organisme
(belum
yang paling umum ditemukan.
dikultur)
Tidak banyak perbedaan dalam
sensitivitas yang diamati antara
gram positif cocci (35%) dan
basil gram negatif (33%) pada
penggunaan cefoperazone.
Namun ditemukan sangat
sensitif terhadap ciprofloxacin
(62%) pada basil gram negative
(Janifer, 2009)
Cinam inj C7.4 Penggunaan obat ini jika pasien
Pasien menggunakan telah melakukan kultur bakteri.
obat yang tidak perlu
ampicillin / Sulbactam adalah
kombinasi antibiotik yang terdiri
dari ampisilin, betalaktam dan
Sulbactam, sebuah
betalactamase Inhibitor.
Ampisilin / Sulbactam memiliki
berbagai aktivitas antibakteri
yang mencakup aerobik Gram-
positif dan Gram-negatifdan
bakteri anaerob. Namun, obat ini
tidak aktif terhadap
Pseudomonas aeruginosa dan
patogen yang menghasilkan
spektrum luasβ-laktamase.
Kombinasi ini dapat dianggap
sangat aktif terhadap infeksi
Acinetobacter baumannii karena
intrinsiknyaaktivitas Sulbactam.
Dalam uji klinis, sultamicillin
telah terbukti efektif secara
klinis dan bakteriologis terhadap
bakteri yang parahinfeksi,
termasuk infeksi saluran
pernapasan atas dan bawah
ringan, meningitis, intra-
abdominal, kaki dan kulit
diabetes dan lembut infeksi
jaringan, dll (Guardado, 2010).
Febris Paracetamol Tidak ada DRP -
Hiperurisemi - P1.3 : Gejala atau -
a indikasi yang tidak
diobati
C1.6 : Tidak ada
pengobatan meskipun
ada indikasi
Ondansentron Tidak ada DRP -
inj
Ranitidin tab P1.2 : efek terapi obat Pengobatan PPI harus secara
tidak optimal teratur dipantau dan ditentukan
C1.7 : Terlalu banyak hanya bila diindikasikan.
Stress Ulcer
obat yang diresepkan penggunaan PPI dan risiko
(mual dan
untuk indikasi kematian pada pasien
problem
Omeprazol inj P2.1 : Kejadian obat hemodialisis di seluruh
gastro)
yang merugikan retrospective multicenter
(mungkin) terjadi propensity score-matched study.
1.776 pasien hemodialisis pada
terapi PPI dibandingkan dengan
466 pasien yang tidak menerima
PPI. Paparan PPI dalam kohort
pasien diidentifikasi penuh
sebagai prediktor independen
untuk semua penyebab kematian
di kedua univariat (HR = 3,16,
95% CI = 1,69-5,90,P<0,01) dan
multivariat (HR = 2,70, 95% CI
= 1,38-5,27, P <0,01) model
regresi Cox.Selain itu
penggunaan PPI diidentifikasi
sebagai prediktor mortalitas CV
(HR = 1,51, 95% CI =
1,05−2,20,P= 0,03) Dari 820
pasien yang cocok di seluruh
analisis skor kecenderungan,
rasio hazard untuk semua
penyebab kematian (HR =
1,412, 95% CI = 1,04-1,93, P =
0,03) dan mortalitas CV (HR =
1,67, 95% CI = 1,03−2,71,P =
0,04) lebih tinggi di antara
pasien dengan PPI dibandingkan
yang tidak menggunakan PPI
(Francisco, A.L.M., et al. 2018).
Fucoidan tab Tidak ada DRP -
Konstipasi Lactulosa Sy Tidak ada DRP -
Hiponatremia NS atau RL Tidak ada DRP -
Hipoalbumin - P1.3 : Gejala atau -
indikasi yang tidak
diobati
C1.6 : Tidak ada
pengobatan meskipun
ada indikasi
Comafusin : P2.1 : Kejadian obat COMAFUSIN HEPAR tidak
ivelip yang merugikan dapat diberikan pada:
(mungkin) terjadi - Pasien dengan gangguan ginjal
berat
- Peningkatan residu nitrogen
dalam darah yang cepat
- Kelainan metabolisme asam
amino yang terkandung di dalam
COMAFUSIN HEPAR
http://www.kalbemed.com/Prod
ucts/Drugs/BrandedPatient/tabid
/1105/articleType/ArticleView/a
rticleId/21877/Comafusin-
Hepar.aspx
Kidmin : P2.1 : Kejadian obat BCAA mempertahankan
futrolit (1:1) yang merugikan homeostasis glukosa dengan
(mungkin) terjadi merangsang sekresi insulin.
Namun, penelitian menunjukkan
bahwa peningkatan tingkat
sirkulasi BCAA dikaitkan
dengan obesitas dan sensitivitas
insulin. Wang dkk. (2011)
menunjukkan bahwa
peningkatan BCAA yang
bersirkulasi merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk
diabetes dan resistensi insulin.
Berdasarkan nilai HbA1c,
peserta dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok HbA1c
tinggi (> 5,6%) memiliki
tekanan darah Ambulatory (BP),
ketebalan intima-media karotis
(cIMT), dan BCAA (semua).
Pada kedua kelompok, ada
hubungan positif yang signifikan
antara tekanan darah rawat jalan
dan cIMT dengan BCAA
(semua). Dengan demikian, para
penulis menunjukkan bahwa
BCAA secara independen terkait
dengan BP rawat jalan dan cIMT
pada individu dengan tingkat
HbA1c tinggi (Tamanna &
Mahmood., 2014).
Futrolit: Gagal ginjal, intoleransi
fruktosa & sorbitol, defisiensi
fruktosa 1,6- difosfatase,
keracunan metil alkohol. Terapi
syok (MIMS Online)

Plan (including primary care implications)


TERAPI FARMAKOLOGI
Problem Obat Dosis EBM
medik
Diabetes Insulin glargine + Pada kondisi tidak Kombinasi insulin glargine 100
nefropati insulin lispro kritis insulin glargine U/mL plus insulin lispro
(MRS) diberikan 10 unit/24 memberikan keampuhan dan
jam (American keamanan, dan harus
Diabetes dipertimbangkan sebagai
Association, 2018). pilihan lini pertama pada pasien
yang dipertimbangkan terapi
Insulin lispro = 0,8 basal bolus. Studi crossover
unit/kg/hari x 98 kg acak (n= 56), insulin glargine
= 78,4 unit/hari plus insulin lispro memberikan
(dalam dosis terbagi kontrol glikemik yang lebih
tiap 6 jam = 19,6 unit baik daripada NPH insulin plus
atau 20 unit). RHI, seperti yang ditunjukkan
oleh HbA1c yang jauh lebih
rendah setelah 16 minggu
pengobatan [7,5% vs 8,0% (59
vs 64) mmol/mol); p<0,001],
bersama dengan 8% lebih
rendah glukosa darah 24 jam
AUC (p = 0,037). Selain itu,
tingkat gejala hipoglikemia
nokturnal 44% lebih rendah
dengan insulin glargine plus
insulin lispro dibandingkan
dengan rejimen komparator
(0,66 vs 1,18
episode/bulan;p <0,001)
(Candido, R., et al. 2018). Basal
insulin atau basal plus bolus
koreksi rejimen insulin adalah
pengobatan yang lebih disukai
untuk pasien yang sakit tidak
kritis dengan asupan oral yang
buruk atau mereka yang tidak
mengonsumsi melalui mulut.

Note : infus insulin intravena


terus menerus telah terbukti
menjadi metode terbaik untuk
mencapai target glikemik. Infus
insulin intravena harus diberikan
berdasarkan protokol tertulis
atau terkomputerisasi yang
divalidasi yang memungkinkan
penyesuaian yang telah
ditetapkan dalam laju infus,
akuntansi untuk fluktuasi
glikemik dan dosis insulin
(American Diabetes Association,
2018).
Vildagliptin (saat Dosis awal pada Vildagliptin ditambahkan ke
KRS) pasien gangguan terapi antidiabetik saat ini pada
ginjal dan menjalani 515 pasien DMT2 dengan
dialisis : 25 mg/hari moderat (294 pasien dengan
(Nakao, T., et al eGFR antara 50 dan 30 mL / min
2015). / 1,73 m 2 ) atau berat (221
pasien dengan eGFR <30 mL /
min / 1,73 m 2 ) gangguan
ginjal. Sebagian besar pasien
diobati dengan insulin. Setelah
24 minggu pengobatan,
vildagliptin menurunkan A1c
secara signifikan sebesar −0,5%
± 0,1% ( P <0,0001)
dibandingkan dengan plasebo
pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal sedang (baseline
A1c 7,9%) dan sebesar − 0,6% ±
0,1% ( P <0,0001) pada mereka
dengan gangguan fungsi ginjal
berat (baseline A1c 7,7%)
(Lukashevich V., 2011).
Dalam prospektif 24-minggu,
open-label, kelompok paralel,
penelitian terkontrol 51 pasien
dengan pasien DMT2 yang
menjalani hemodialisis
ditugaskan untuk vildagliptin (n
= 30) atau plasebo (n = 21) [39].
Vildagliptin diberikan pada 50
mg / hari selama 8 minggu
pertama. Dosis kemudian
dititrasi hingga maksimum 100
mg / hari jika kadar target
albumin hemoglobin A1c atau
terglik belum tercapai. Dosis
akhir rata-rata vildagliptin
adalah 80 ± 5 mg / hari. Setelah
24 minggu, vildagliptin
menurunkan tingkat HbA1c rata-
rata dari 6,7% pada awal
menjadi 6,1%, dan kadar
glukosa plasma postprandial
rata-rata dari 186 mg / dL pada
awal menjadi 140 mg / dL
(semua P <0,0001). Tidak ada
hipoglikemia atau gangguan hati
yang diamati pada setiap pasien
(Ito M., et al. 2011).
Hipertensi Captopril tab Loading dose Dibuktikan dari penelitian
sebelum dialysis:25 (Lewis EJ 1993 dalam Patney
mg 2015), melalui uji coba secara
Maintenance dose acak, terkontrol membandingkan
sebelum dialysis: kaptopril dengan plasebo pada
12.5 mg pasien dengan diabetes mellitus
Dosis saat dialysis: tergantung insulin di antaranya
12.5 mg ekskresi protein urin adalah ≥
500 mg per hari dan konsentrasi
kreatinin serum ≤ 2,5 mg per
desiliter (221 μmol per liter).
Dosis captopril yang digunakan
adalah 25 mg 3 x sehari. Hasil:
Penurunan terkait risiko
penggandaan konsentrasi
kreatinin serum adalah 48 persen
pada kelompok kaptopril secara
keseluruhan, 76 persen dalam
subkelompok dengan
konsentrasi kreatinin serum lini
dasar 2,0 mg per desiliter (177
μmol per liter), 55 persen dalam
subkelompok dengan
konsentrasi 1,5 mg per desiliter
(133 μmol per liter), dan 17
persen dalam subkelompok
dengan konsentrasi 1,0 mg per
desiliter (88,4 μmol per liter).
Kesimpulan: Captopril
melindungi terhadap kerusakan
fungsi ginjal pada nefropati
diabetik tergantung insulin dan
secara signifikan lebih efektif
daripada tekanan darah kontrol
saja.
Candesartan TI Penggunaan -
80 mg dihentikan
Udema Lasix inj Loading dose Diuretik loop adalah diuretik
sebelum dialysis: yang direkomendasikan untuk
65.66 mg (7 ampul pasien yang memiliki perkiraan
10 mg/ml) laju filtrasi glomerulus (eGFR)
Maintenance dose <30 mL / min / 1.73m 2 karena
sebelum dialysis: 110 diuretik lainnya, termasuk tiazid,
mg ( 11 ampul 10 kurang efektif pada CKD.
mg/ml) Respon natriuretik terhadap
Dosis saat dialysis: furosemide juga berkurang pada
143 mg (14 ampul 10 pasien dengan CKD. Ini karena
mg/ml) terjadi peningkatan reabsorpsi
Na+, dan furosemide yang
masuk ke ginjal berkurang
sesuai dengan penurunan GFR.
Dibandingkan dengan populasi
umum, hanya sekitar 15-20%
dari dosis furosemide yang
masuk ke dalam cairan tubular
pada pasien CKD stage 5. Oleh
karena itu, untuk mencapai efek
yang diinginkan, dosis yang
lebih tinggi atau peningkatan
frekuensi perawatan furosemide
diperlukan untuk meningkatkan
sekresi tubular.
Pasien dengan sindrom nefrotik
juga mengalami penurunan
aktivitas furosemid. Sekresi
tubular furosemide berkurang
pada pasien dengan
hipoalbuminemia, karena
penyerapan furosemide
tergantung pada tingkat albumin
plasma. Furosemid dapat
mengikat albumin dalam lumen
tubular, yang mengurangi
tingkat obat aktif dan tidak
terikat yang mampu mengikat
reseptor tubular . Akibatnya,
dosis furosemide dua hingga
tiga kali lebih besar dari dosis
biasa diperlukan untuk
mempertahankan konsentrasi
efektif obat bebas di tempat aksi
(Oh dan Han, 2015)
Anemia Tranfusi PRC Kebutuhan untuk transfusi RBC
tetap untuk pasien yang
membutuhkan segera
peningkatan massa RBC mereka
karena anemia gejala dan
kemungkinan akan meningkat
karena perubahan dalam
manajemen anemia pada pasien
dialisis yang dihasilkan dari data
uji klinis, perubahan peraturan,
dan kebijakan penggantian baru.
untuk EPO (Tanhehco, Y. &
Berns, J., 2012).
EPO 50 unit/kg x 98 kg = Terapi ESA pada pasien dialisis
4900 unit IV 3 kali harus dimulai ketika kadar Hb
seminggu (awal). <10 g / dl, bahkan tanpa adanya
Asam folat 400 mcg gejala yang secara langsung
disebabkan anemia. Ini akan
membantu mengurangi
kebutuhan transfusi(Bajaj, S.,
2016).
Pengobatan dengan eritropoietin
manusia rekombinan (rHU-EPO)
telah menghasilkan hasil dan
harapan yang lebih baik. Selain
menyebabkan peningkatan Hb,
kualitas hidup juga meningkat.
Studi kami adalah untuk
menentukan seberapa efektif
asam folat mengelola anemia
pada pasien hemodialisis.
Rancangan penelitian ini adalah
Studi Prospektif Longitudinal
yang dirancang untuk
melaksanakan penelitian ini.
Sebanyak 54 pasien dengan 27
laki-laki dan 27 perempuan dan
dibagi menjadi dua kelompok
(22 pasien menerima asam folat
dan 32 pasien menerima
kombinasi asam folat dan Rhu-
EPO) dimasukkan dari bangsal
hemodialisis Rumah Sakit Islam
Cempaka Putih Jakarta. Pasien
selanjutnya dikategorikan ke
dalam dua kategori tingkat
hemoglobin (Hb); <9,4 untuk
asam folat, dan ≥ 9,4 mg / dl
untuk kombinasi asam folat dan
RhuEPO. Hasil penelitian
menunjukkan, usia pasien
hemodialisis yang banyak
menggunakan obat anemia,
terjadi antara 60 - 69 tahun.
Jumlah yang sama ditunjukkan
oleh asam folat dalam dua
kategori tingkat Hb (50%),
sedangkan kombinasi asam folat
dan RhuEPO adalah 40,6%
untuk kategori pertama (<9,4 mg
/ dl) dan 59,4% untuk kategori
kedua ( ≥ 9,4 mg / dl).
Hubungan signifikan
ditunjukkan oleh pasien
hemodialisis yang menggunakan
asam folat tunggal atau
kombinasi asam folat dan Rhu-
EPO (0,000, P-value <0,05).
Tidak ada korelasi yang
signifikan yang diamati antara
jenis kelamin dan obat anemia
(asam folat dan kombinasi asam
folat dan Rhu-EPO), sedangkan
nilai P untuk kedua jenis obat
adalah 0,133 dan 0,984 masing-
masing (nilai P <0,05). Asam
folat efektif untuk mengubah
tingkat hemoglobin pasien
hemodialisis dengan anemia
walaupun tidak seefektif Rhu-
EPO (Ramatillah, D.L., 2017).
Amoxicillin inj Stop -
Ciprofloxacin tab Loading dose Agen ini memiliki aktivitas
sebelum dialysis: 500 spektrum luas terhadap bakteri
mg gram negatif dan bakteri gram
Maintenance dose positif. (Dipiro et al, 2008).
sebelum dialysis: 100 Sebuah studi multisenter,
mg (1/4 tablet) double-blind, acak,
Dosis saat dialysis: noninferiority mendaftarkan
250mg subjek dengan infeksi saluran
kemih yang rumit (cUTI) atau
pielonefritis akut (AP).Subyek
menerima levofloxacin 750 mg
intravena atau oral sekali sehari
selama 5 hari atau ciprofloxacin
400 mg intravena dan / atau
Infeksi UTI ciprofloxacin 500 mg per oral
dua kali sehari selama 10 hari
dan dievaluasi pada akhir terapi,

Hasil
Pada akhir terapi, tingkat
eradikasi pada populasi yang
dimodifikasi untuk diobati
adalah 79,8% untuk levofloxacin
dan 77,5% untuk subyek yang
diobati ciprofloxacin (95% CI,
−8,8% hingga 4,1%). Pada
populasi yang dapat dievaluasi
secara mikrobiologis, tingkat
pemberantasan adalah 88,3%
untuk levofloxacin dan 86,7%
untuk subyek yang diobati
ciprofloxacin (95% CI, −7,4%
hingga 4,2%). Hasil sebanding
untuk 2 perawatan di
posttherapy dan poststudy.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua rejimen obat aman
dan efektif dan bahwa terapi 5
hari dengan levofloxacin,
diberikan dengan dosis 750 mg
sekali sehari, tidak lebih buruk
daripada terapi 10 hari dengan
ciprofloxacin untuk pengobatan
AP dan cUTI (Peterson, et al,
2008)
Cefoperazone Stop -
Cinam inj Stop -
Febris Paracetamol Loading dose Penelitian acak, double-blind,
sebelum dialysis:250 double-dummy, dosis tunggal ini
mg (setengah tab) dilakukan di satu pusat di
Maintenance dose Amerika Serikat pada pria
sebelum dialysis: 69 dewasa relawan yang sehat
mg (seperempat tab ) dengan demam yang diinduksi
Dosis saat dialysis: endotoksin untuk menilai efikasi
100 mg (seperempat antipiretik dan keamanan IV
tab) acetaminophen 1 g versus PO
acetaminophen 1 g lebih dari 6
jam. Hasil yang signifikan
secara statistik yang mendukung
IV acetaminophen diamati untuk
titik akhir primer (perbedaan
jumlah suhu yang ditimbang
selama 120 menit, p = 0,0039)
dan juga pada setiap titik waktu
dari T30 hingga T90 menit,
meskipun perbedaan rata-rata
maksimum yang diamati hanya
0,3 ° C . Obat yang diteliti
ditoleransi dengan
baik. Frekuensi AE sebanding
antara kelompok IV dan PO.
Satu dosis acetaminophen IV
sama aman dan efektif dalam
mengurangi endotoxin-diinduksi
demam sebagai PO
acetaminophen. IV
acetaminophen mungkin
berguna di mana pasien tidak
dapat mentolerir asupan PO atau
ketika onset dini tindakan
diinginkan (Peacock, WF., et al.
2011).
Hiperurisemi Manajemen gaya - Pengobatan farmakologis untuk
a hidup hiperurisemia asimtomatik
adalah, pasien-pasien ini dapat
disarankan tentang perubahan
gaya hidup seperti perubahan
diet, pengurangan asupan
alkohol, dan olahraga, yang
dapat menurunkan kadar asam
urat (Lohr, 2017).
Rantidin Stop -
Ondansentron Jika Perlu Pasien dengan mual berat atau
Loading dose muntah keras yang diangkut oleh
sebelum dialysis:35 ambulans paramedis-staf di
mg (17 ampul 2 delapan kabupaten California
mg/ml) diobati dengan intravena (IV),
Maintenance dose intramuskular (IM), atau tablet
sebelum dialysis: 5,5 pelarutan oral (ODT)
mg (3 ampul 2 ondansetron. Data dikumpulkan
mg/ml) untuk 2072 pasien, tetapi satu
Dosis saat dialysis: 7 pasien tidak menerima
mg (4 ampul 2 obat. Oleh karena itu,
mg/ml) Ondansetron diberikan kepada
2.071 pasien (3,7% pasien yang
diangkut). Kebanyakan pasien
dewasa, dengan hanya 66 pasien
Stress ulcer kurang dari 18 tahun. Dari 2.071
pasien, 1.320 (64%) menerima
administrasi IV, 77 (4%)
menerima administrasi IM, dan
674 (33%) menerima
administrasi ODT
ondansetron. Pemberian
intravena menghasilkan
perbaikan terbesar dalam skor
mual (rata-rata 4,4; interval
kepercayaan 95% [CI] 4,2, 4,5),
diikuti oleh IM (rata-rata 3,6;
95% CI 3,0, 4,3) dan ODT (rata-
rata 3,3; 95% CI 3,1) ,
3.5). Secara keseluruhan,
penurunan rata-rata skor mual
adalah 4,0 (95% CI 3,9, 4,1; p
<0,001) pada skala 10 poin
(Salvucci AA, dkk. 2011).

Sebuah studi crossover double-


blind dilakukan pada 10 pasien
uremik. Semua pasien
mengalami uremik dan
menderita mual dan
muntah. Obat-obatan secara acak
diberikan secara intravena (baik
metoclopramide 10 mg atau
ondansetron 8 mg) 2 jam setelah
menggambar darah untuk tes
laboratorium baik pada tanggal 1
atau pada hari studi 3 pada
waktu yang sama. Hasilnya
dinilai setelah 24 jam follow-up
oleh (1) salah satu dari kami
(DP; 1-3 poin: 1 = tidak ada
efek; 2 = efek sedang -
penurunan frekuensi muntah,
dan 3 = efek baik - tidak ada
muntah) , dan (2) oleh pasien (1-
5 poin). Ondansetron lebih
efektif dalam mengontrol mual
dan muntah dari
metoclopramide, baik obyektif
(2,80 +/- 0,422 vs 1,40 +/-
0,699, p <0,005) atau subyektif
(4.10 +/- 0.738 vs 2.10 + / -
0,994, p <0,005). Pada tingkat
dosis yang diteliti ondansetron
sekitar dua kali lebih efektif
daripada metoclopramide dalam
mengurangi gejala mual dan
muntah yang disebabkan oleh
uremia(Ljutić D., 2002).
Omeprazol 2 x 2 mg/ml Gastroprotektan khususnya PPI,
mengurangi risiko penyakit
ulkus peptikum dan
komplikasinya dan
mempromosikan penyembuhan
tukak lambung dalam berbagai
keadaan klinis. Obat
gastroprotektan efektif dalam
mencegah perdarahan terlepas
dari penggunaan obat anti-
inflamasi non-steroid (phet= 0
56). Dalam uji coba
penyembuhan, gastroprotektan
meningkatkan penyembuhan
ulkus endoskopi (3·49, 95% CI
3·28–3·72; p <0·0001), dengan
PPI lebih efektif (5·22, 99% CI
4·00–6·80) daripada analog
prostaglandin (2·27, 1·91–2·70)
dan H2RAs (3·80, 3·44–4·20;
p het<0·0001). Dalam uji coba di
antara pasien dengan perdarahan
akut, gastroprotektan
mengurangi perdarahan lebih
lanjut (OR 0 · 68, 95% CI 0·60–
0·78; p <0, 0001), transfusi
darah (0·75, 0·65–0·88 ; p =
0·0003), intervensi endoskopi
lebih lanjut (0·56, 0·45–0·70; p
<0·0001), dan pembedahan
(0·72, 0 · 61–0·84; p <0·0001),
tetapi tidak secara signifikan
mengurangi mortalitas (OR
0·90, 0·72–1·11; p = 0·31). PPI
memiliki efek perlindungan
yang lebih besar daripada
H2RAs untuk perdarahan lebih
lanjut (p het = 0·0107) dan
transfusi darah (p het = 0·0130)
(Scally, B., et al. 2018).
Fucoidan 1 x 1 tab Efek fucoidan terhadap nefropati
diabetes terkait dengan diabetes
spontan diselidiki secara in vitro
dan in vivo. Goto-Kakizaki
(GK) tikus diizinkan akses gratis
ke makanan tikus standar dengan
atau tanpa fucoidan selama 13
minggu, dan tikus Wistar
digunakan sebagai kontrol.Kadar
glukosa darah puasa diukur
menggunakan meter glukosa
darah, BUN dan kreatinin serum
diukur menggunakan kit
ELISA.Glukosa darah puasa,
BUN, serum Cr, protein urin,
kadar kolagen dan ekspresi
TGF-β1 dan FN, serta
translokasi nuklir NF-κB p65
semuanya meningkat secara
signifikan pada tikus GK
dibandingkan dengan tikus
kontrol Wistar.Peningkatan
glukosa darah puasa, BUN,
serum Cr,protein urin dan
kolagen Ⅳ tingkat di korteks
ginjal terbalik pada tikus GK
yang diberikan secara oral
fucoidan.Pemberian fucoidan
oral juga menurunkan ekspresi
TGF-β1 dan FN di korteks ginjal
dan GMC, serta translokasi
nuklir NF-κB p65 di
GMC.Peningkatan glukosa
darah puasa, BUN, serum Cr dan
kadar protein urin secara
signifikan menurun pada tikus
GK yang diberikan secara oral
fucoidan (50 mg / kg berat
badan, P <0,05; 75 mg / kg berat
badan; P <0,01). Secara
bersama-sama, data dari
eksperimen in vitro dan in vivo
kami menunjukkan bahwa
fucoidan melemahkan
hiperglikemia dan mencegah
atau menghambat perkembangan
DN yang terkait dengan diabetes
spontan dengan mengurangi
aktivasi jalur pensinyalan NF-κB
(Wang, Y., et al. 2015).
Konstipasi Lactulosa Sy 3 x sehari 15 mL Percobaan double-blind
membandingkan laktulosa (60
mL/hari) dengan plasebo,
laktulosa menghasilkan
peningkatan feses yang
signifikan per minggu (4,5 vs
1,6 tinja/minggu; p <0,05) serta
tinja konsistensi yang lebih
lunak. Demikian pula, dalam uji
coba terkontrol secara acak,
double-blind, plasebo, laktulose
(30 mL larutan 50%) lebih
unggul daripada plasebo dalam
meningkatkan frekuensi gerakan
usus rata-rata per minggu dan
mengurangi keparahan gejala
seperti kram, kembung dan perut
kembung. Laktulose telah
menunjukkan superioritas
terhadap ispaghula dalam hal
frekuensi gerakan usus rata-rata
per minggu, dan kecenderungan
menyebabkan nyeri perut yang
lebih sedikit diamati. Connolly
dkk. melaporkan bahwa, setelah
pengobatan 1 minggu dengan
laktulosa (15 mL dua kali
sehari), secara konsisten lebih
banyak pasien yang terus
memproduksi tinja normal
dibandingkan ketika mereka
menerima obat pencahar
stimulan. Laktulosa dapat
dianggap sebagai pencahar
osmotik yang efektif dalam
mengobati sembelit, dengan
kemungkinan efek positif pada
kontrol glikemik pada pasien
diabetes (Prasad, V.G &
Abraham, P. 2016).
Hiponatremia NS Sesuai kebutuhan Percobaan terkontrol acak pada
pasien pasien dewasa yang menjalani
transplantasi ginjal. Seleksi
percobaan independen, penilaian
kualitas dan ekstraksi data
dilakukan. Empat percobaan
dengan total 237 pasien
dilibatkan. Pada akhir operasi,
perbedaan potasium tidak
signifikan (perbedaan berarti
(MD: -0,26 mEq / L; CI 95%: -
0,58-0,05 p = 0,10; I 2 = 75%);
pH lebih rendah pada Kelompok
NSS (MD: 0,06; CI 95%: 0,05-
0,08; p <0,001; I2=
17%) .Tidak ada perbedaan
dalam Kreatinin yang
diidentifikasi pada hari ketiga
pasca operasi (MD: -0,05; CI
95%: -0,59 sampai 0,48; p =
0,85; Saya 2 = 0%).Penggunaan
RL vs NSS selama periode
perioperatif transplantasi ginjal
menghasilkan kadar kalium dan
klorida yang lebih rendah dan
pH yang lebih tinggi, tanpa
perubahan kreatinin yang
signifikan (Trujilo-Zea., et al.
2014).
Hipoalbumin Tidak diterapi - Terapi albumin pada pasien
penyakit gagal ginjal kronik
diberikan ketika pasien
mengalami hipoalbuminea
dengan kadar albumin <2.5 g/dL
( Kepmenkes, 2014 ).
Comafusin:ivelip stop -
Kidmin:futrolit stop -
(1:1)

TERAPI NON FARMAKOLOGI


1. edukasi pasien
2. penurunan BB karena pasienn obesitas
3. Meningkatkan konsumsi gandum, makanan berserat, sayur dan buah.
4. Mengurangi asupan gula
5. olahraga
6. diet pada pasien CKD progresif untuk asupan kalium, fosfat, protein, kalori dan garam.
(Sasaki, S., 2009)

Monitoring
Problem medik Obat Monitoring dan Efek Samping Obat
Diabetes Insulin glargine + Monitoring :
nefropati insulin lispro (MRS) Kisaran glukosa target 140-180 mg/dL (7,8-10,0
Vildagliptin (saat mmol/L) direkomendasikan untuk pasien kritis
KRS) dan tidak kritis.
HbA1C  7%

Efek samping obat :


Insulin glargine :
 Sakit kepala
 Gejala mirip influenza
 Dispepsia
 Diare

Insulin lispro :
 Hipoglikemia berat, setelah 52 minggu
(13,5%)
 Nasopharyngitis, dalam kombinasi dengan
insulin glargine (13,1%)

Vildagliptin
sakit kepala, nasopharyngitis, batuk, sembelit,
pusing.

Hipertensi Captopril tab Monitoring tekanan darah < 130/80 mmHg.

Efek samping obat : batuk, hiperkalemia, ruam


kulit.
Candesartan TI 80
mg
Udema Lasix inj Monitoring :
Kondisi klinis udema negatif

Efek samping obat : hiperurisemia dan


hipokalemia
Anemia Tranfusi PRC Monitoring :
EPO Kadar hemoglobin (Hb) antara 10 dan 12 g/dL
Asam folat pada semua orang dewasa dengan DKD.Tingkat
Hb yang lebih tinggi dapat dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas. Target Hb harus
individual untuk setiap pasien mempertimbangkan
variabel seperti usia, aktivitas fisik, dan
komorbiditas.Pasien CKD pada terapi ESA juga
membutuhkan pemantauan kadar ferritin. Tingkat
Feritin> 200 mcg/l, saturasi transferin> 20% dan
sel darah merah hipokromik (sel darah merah)
<6% (Bajaj, S., 2016).

Efek samping obat :


EPO :

Asam folat : Rasa tidak enak, Pruritus, Ruam.

Amoxicillin inj
Ciprofloxacin tab Monitoring :
Nilai WBC sehingga mencapai range normal (4-
10 x 103 U/μL).
Infeksi UTI
Efek samping obat : mual, diare, peningkatan nilai
aminotransferase.
Cefoperazone
Cinam inj
Febris Paracetamol Monitoring :
Suhu tubuh pasien

Efek samping obat : ruam, urtikaria, perdarahan


GI.
Hiperurisemia Manajemen gaya Monitoring :
hidup Kadar UA mencapai rentang normal < 7.
Rantidin
Ondansentron Monitoring :
kondisi klinis mual pasien dan pantau efek yang
timbul jika terdapat interaksi obat.
Efek samping obat :
sakit kepala, malaise, sembelit.
Stress ulcer
Omeprazol Monitoring :
Kondisi klinis nyeri perut pasien

Efek samping obat :


Sakit kepala, mual, perut kembung.
Fucoidan Efek samping obat : jarang ditemukan
Konstipasi Lactulosa Sy Efek samping obat :
Mual, muntah, kram perut.
Hiponatremia NS
Hipoalbumin Tidak diterapi
Comafusin:ivelip
Kidmin:futrolit (1:1)
Form Medication Record

Nama Tanggal Waktu Nama Obat Dosis Alergi Tanda


Pasien Diberikan Pemberian Obat Obat Tangan
Obat Obat dan Apoteker
Reaksi
Alergi
Ny. H 29 Desember 1 x sehari Lasix Inj 1-0-0 Tidak ada
2014 pagi
30 Januari 1 x sehari Lasix Inj 2-0-0 Tidak ada
2015 pagi
4 Januari 1 x sehari Lasix Inj 1-0-0 Tidak ada
2015 pagi
29 Desember 2 x sehari Ranitidine tab 2 x 150 Tidak ada
2014 mg
31 Desember 2 x sehari Ondansentron 2x4 Tidak ada
2014 inj mg
5 Januari 2 kali sehari Omeprazole 2 x 40 Tidak ada
2015 inj mg
5 Januari 3 x sehari Fucoidan tab 3x1 Tidak ada
2015 tab
30 Desember 3 x sehari Captopril 25 3 x 25 Tidak ada
2015 mg mg
5 Januari 1 x sehari Candesartan 8 1-0-0 Tidak ada
2015 mg (8 mg)
29 Desember Amoxicillin Tidak ada
2014 inj
1 Januari 2 x sehari Ciprofloxacin 2 x 500 Tidak ada
2015 tab mg
5 Januari Cefoperazone Tidak ada
2015 inj
9 Januari 2 x sehari Cinam inj 3x1 Tidak ada
2015
5 Januari Transfuse PRC Tidak ada
2015
30 Desember Asam Folat Tidak ada
2014
29 Desember 3 x sehari Paracetamol 3 x 500 Tidak ada
2014 tab mg
29 Desember NS atau RL Tidak ada
2014
30 Desember Kidmin:futrolit 1: 1 Tidak ada
2014
5 Januari Comafusin: Tidak ada
2014 ivelip
8 Januari 3 x sehari Lactulosa 3 x 15 Tidak ada
2015 sirup ml
Form Medication Reminder

Nama Pasien : Ny. H Dokter Pemeriksa : Dr


Umur :70 Tahun Apoteker : S.Farm.,Apt

Tanggal Pemberian Obat


Nama Obat Waktu
29 30 31 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Insulin glargine + Pagi           
insulin lispro Siang
(MRS) Sore
Malam
Vildagliptin (saat Pagi 
KRS) Siang
Sore
Malam
Captopril tab Pagi           
Siang           
Sore           
Malam
Lasix inj Pagi            
Siang
Sore
Malam
Tranfusi PRC Pagi            
Siang            
Sore            
Malam            
EPO (perminggu 3 Pagi  
x sehari) Siang  
Sore  
Malam
Asam folat Pagi            
Siang
Sore
Malam
Ciprofloxacin tab Pagi     
(sampai bakteri Siang
dikultur) Sore
Malam     
Paracetamol (Jika Pagi
perlu) Siang pr pr pr pr pr pr pr pr pr pr pr pr
Sore n n n n n n n n n n n n
Malam
Ondansentron Pagi          
Siang
Sore
Malam          
Omeprazol Pagi      
Siang
Sore
Malam      
Fucoidan Pagi     
Siang     
Sore     
Malam
Lactulosa Sy Pagi 
Siang 
Sore 
Malam
NS Pagi            
Siang            
Sore            
Malam            

VI. PEMBAHASAN
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kekurangan
yang diturunkan dan/atau diperoleh dalam produksi insulin oleh pankreas, atau
akibat ketidakefektifan insulin yang dihasilkan. Kekurangan seperti ini
menghasilkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah, yang akhirnya dapat
merusak banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO,
2018).
Analisis dalam kasus ini menggunakan metode SOAP. Analisis tersebut
antara lain:
Data subjektif dalam kasus ini adalah Pasien mengalami panas sejak 2 hari
lalu, membaik kemudian kumat lagi (diatasi dengan minum paracetamol, pasien
mual tapi tidak muntah dan sesak.
Data objektif pasien adalah seperti yang tercantu dalam data SOAP.
Assement yang dapat dilakukan dalam kasus ini adalah adanya indikasi yang
tidak diterapi yaitu pada problem medis: diabetes nefropati hal ini dapat dilihat
pada kadar gula pasien yang masih belum normal, hiperurisemia hal ini dilihat
dari data asam urat pasien yaitu 7,7 mg/dl, hipoalbumin yang ditunjukan dari data
laboratorium yaitu 3 mg/dl, stress ulser adanya kejadian merugikan antara lain
pada problem medis: hipertensi yaitu pemberian captopril bersamaan dengan
candesartan, stress ulser yaitu pada penggunaan omeprazole dimana diidentifikasi
sebagai prediktor mortalitas CV (HR = 1,51, 95% CI = 1,05−2,20,P= 0,03) Dari
820 pasien yang cocok di seluruh analisis skor kecenderungan, rasio hazard untuk
semua penyebab kematian , dan pada suplemen-suplemen tambahan (Francisco,
A.L.M., et al. 2018), pemberian suplemen seperti Comafusin : ivelip dan Kidmin :
futrolit (1:1) dimana comafusin hepar tidak dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan ginjal berat dan peningkatan residu nitrogen dalam darah yang cepat.
peningkatan BCAA yang bersirkulasi merupakan faktor risiko yang signifikan
untuk diabetes dan resistensi insulin. Berdasarkan nilai HbA1c, peserta dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok HbA1c tinggi (> 5,6%) memiliki tekanan
darah Ambulatory (BP), ketebalan intima-media karotis (cIMT), dan BCAA
(semua). Pada kedua kelompok, ada hubungan positif yang signifikan antara
tekanan darah rawat jalan dan cIMT dengan BCAA (semua). Dengan demikian,
para penulis menunjukkan bahwa BCAA secara independen terkait dengan BP
rawat jalan dan cIMT pada individu dengan tingkat HbA1c tinggi (Tamanna &
Mahmood., 2014).
Dari assesement tersebut planning yang dapat dilakukan adalah dengan
pemberian Insulin glargine + insulin lispro (MRS) Pada kondisi tidak kritis insulin
glargine diberikan 10 unit/24 jam (American Diabetes Association, 2018). Insulin
lispro = 0,8 unit/kg/hari x 98 kg = 78,4 unit/hari (dalam dosis terbagi tiap 6 jam =
19,6 unit atau 20 unit) dan Vildagliptin (saat KRS) dengan dosis awal pada pasien
gangguan ginjal dan menjalani dialisis : 25 mg/hari (Nakao, T., et al 2015). Stop
pemberian candesartan, penggunaan EPO dengan dosis 50 unit/kg x 98 kg = 4900
unit IV 3 kali seminggu (awal) dan asam folat 400 mcg, Terapi ESA pada pasien
dialisis harus dimulai ketika kadar Hb <10 g / dl, bahkan tanpa adanya gejala yang
secara langsung disebabkan anemia. Ini akan membantu mengurangi kebutuhan
transfusi(Bajaj, S., 2016). Penggunaan ciprofloxacin pada infeksi UTI adalah
dikarenakan pasien belum melakukan pengkulturan dan penggunaan ciprofloxacin
sama efektifnya dengan penggunaan levofloxacin tab (Peterson, et al, 2008).
Untuk hiperurisemia pasien, diterapi dengan managemen gaya hidup dimana
dibuktikan pengobatan farmakologis untuk hiperurisemia asimtomatik adalah,
pasien-pasien ini dapat disarankan tentang perubahan gaya hidup seperti
perubahan diet, pengurangan asupan alkohol, dan olahraga, yang dapat
menurunkan kadar asam urat (Lohr, 2017) serta dilakukan monitoring baik
efektivitas dan efek samping dari masing-masing problem medis pasien.

VII.KESIMPULAN
Kasus penyakit diabetes melitus yang dibahas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
kekurangan yang diturunkan dan/atau diperoleh dalam produksi insulin
oleh pankreas, atau akibat ketidakefektifan insulin yang
dihasilkan. Kekurangan seperti ini menghasilkan peningkatan konsentrasi
glukosa dalam darah, yang akhirnya dapat merusak banyak sistem tubuh,
khususnya pembuluh darah dan saraf (WHO, 2018).
b. Patofisiologi dari diabetes mellitus tipe 1 adalah adanya gangguan
produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-
sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Sedangkan
diabetes mellitus tipe 2 adalah pada penderita DM Tipe 2 dapat juga
timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi
insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah
stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit
sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin
c. Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas diabetes mellitus, yang secara spesifik ditujukan
untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Muchid, A., et al. 2005) nadalah
menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan
mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes. Manajemen gaya hidup adalah aspek mendasar dari perawatan
diabetes dan termasuk edukasi dan dukungan manajemen diabetes
(DSMES), terapi nutrisi medis (MNT), aktivitas fisik, konseling
penghentian merokok, dan perawatan psikososial
d. Pennyelesaian kasus anxietas Ny.A menggunakan metode SOAP sebagai
berikut :
1) Subjektif : Pasien mengalami panas sejak 2 hari lalu, membaik
kemudian kumat lagi (diatasi dengan minum paracetamol, pasien mual
tapi tidak muntah dan sesak
2) Objektif : Tanda-tanda vital dan hasil laboratorium dapat dilihat pada
form SOAP
3) Assement yang dapat dilakukan dalam kasus ini adalah adanya indikasi
yang tidak diterapi yaitu pada problem medis: diabetes nefropati hal ini
dapat dilihat pada kadar gula pasien yang masih belum normal,
hiperurisemia hal ini dilihat dari data asam urat pasien yaitu 7,7 mg/dl,
hipoalbumin yang ditunjukan dari data laboratorium yaitu 3 mg/dl,
stress ulser adanya kejadian merugikan antara lain pada problem medis:
hipertensi yaitu pemberian captopril bersamaan dengan candesartan,
stress ulser yaitu pada penggunaan omeprazole dan pada suplemen-
suplemen tambahan
4) Planning: dengan pemberian Insulin glargine + insulin lispro (MRS)
Pada kondisi tidak kritis insulin glargine diberikan 10 unit/24 jam
(American Diabetes Association, 2018). Insulin lispro = 0,8 unit/kg/hari
x 98 kg = 78,4 unit/hari (dalam dosis terbagi tiap 6 jam = 19,6 unit atau
20 unit) dan Vildagliptin (saat KRS) dengan dosis awal pada pasien
gangguan ginjal dan menjalani dialisis : 25 mg/hari (Nakao, T., et al
2015). Stop pemberian candesartan, penggunaan EPO dengan dosis 50
unit/kg x 98 kg = 4900 unit IV 3 kali seminggu (awal) dan asam folat
400 mcg.. Penggunaan ciprofloxacin pada infeksi UTI adalah
dikarenakan pasien belum melakukan pengkulturan dan penggunaan
ciprofloxacin sama efektifnya dengan penggunaan levofloxacin tab
(Peterson, et al, 2008). Untuk hiperurisemia pasien, diterapi dengan
managemen gaya hidup serta dilakukan monitoring baik efektivitas dan
efek samping dari masing-masing problem medis pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Naoemi, M.C & Shalayel, M.H.F., 2011. Pathophysiology of Gestational


Diabetes Mellitus: The Past, the Present and the Future. Sudan. Avaiable at :
https://www.intechopen.com/books/gestational-diabetes/pathophysiology-of-
gestational-diabetes-mellitus-the-past-the-present-and-the-future “diakses 19
Mei 2018”

American Diabetes Association. 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care. 2010 Jan; 33(Suppl 1): S62–S69. Avaiable at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2797383/ “diakses 19 Mei
2018”

American Diabetes Association. 2017. Classification and Diagnosis of Diabetes:


Standards of Medical Care in Diabetes—2018. American Diabetes Association
Diabetes Care 2018 Jan; 41(Supplement 1): S13-S27. Avaiable at :
http://care.diabetesjournals.org/content/41/Supplement_1/S13 “diakses 19
Mei 2018”

American Diabetes Association. 2017. Microvascular Complications and Foot Care.


Diabetes Care 2017 Jan; 40(Supplement 1): S88-S98. Avaiable at :
http://care.diabetesjournals.org/content/40/Supplement_1/S88.full-text.pdf
“diakses 19 Mei 2018”

American Diabetes Association. 2018. Diabetes Symptoms. Avaiable at :


http://www.diabetes.org/diabetes-basics/symptoms/ “diakses 19 Mei 2018”

American Diabetes Association. 2018. Lifestyle Management: Standards of Medical


Care in Diabetes—2018. Diabetes Care 2018 Jan; 41(Supplement 1): S38-S50.
Avaiable at : http://care.diabetesjournals.org/content/41/Supplement_1/S38
“diakses 20 Mei 2018”

American Diabetes Associtaion, 2018. Pharmacologic Approaches to Glycemic


Treatment: Standards of Medical Care in Diabetes—2018. Diabetes Care 2018
Jan; 41(Supplement 1): S73-S85. Avaiable at :
http://care.diabetesjournals.org/content/41/Supplement_1/S73 “diakses 20
Mei 2018”

Bajaj, S., 2016. Management of anemia in patients with diabetic kidney disease: A
consensus statement.Indian J Endocrinol Metab. 2016 Mar-Apr; 20(2): 268–
281. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4792030/ “diakses 30
Mei 2018”

Baynest, H.W., 2015. Classification, Pathophysiology, Diagnosis and


Management of Diabetes Mellitus. J Diabetes Metab 6:541. Ethopia :
University of Gondar. Avaiable at: https://www.omicsonline.org/open-
access/classification-pathophysiology-diagnosis-and-management-of-
diabetesmellitus-2155-6156-1000541.php?aid=53137 “diakses 19 Mei 2018”

Candido, R., et al. 2018. A Review of Basal-Bolus Therapy Using Insulin Glargine
and Insulin Lispro in the Management of Diabetes Mellitus. Diabetes
Therapy pp 1–23. Italy : Universitaria Integrata di Trieste

Cao, Y., et al. 2017. Efficacy and safety of coadministration of sitagliptin with
insulin glargine in type 2 diabetes. J Diabetes. 2017 May;9(5):502-509.
China : Southern Medical University

Cianciolo G. 2017. Folic Acid and Homocysteine in Chronic Kidney Disease and
Cardiovascular Disease Progression: Which Comes First. Cardiorenal Med
2017;7:255-266.

Francisco, A.L.M., et al. 2018. Proton Pump Inhibitor Usage and the Risk of
Mortality in Hemodialysis Patients. Kidney Int Rep. 2018 Mar; 3(2): 374–
384. Spain : Valdecilla Universitary Hospital

Ito M, et al. 2011. The dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) inhibitor vildagliptin


improves glycemic control in type 2 diabetic patients undergoing
hemodialysis. Endocr J. 2011;58(11):979–987. Japan : Nihon University
School of Medicine

Kasiske, B.L., et al. 1993. Effect of Antihypertensive Therapy on the Kidney in


Patients with Diabetes: A Meta-Regression Analysis. Ann Intern
Med. 1993;118(2):129-138. Avaiable at : http://annals.org/aim/article-
abstract/706039/effect-antihypertensive-therapy-kidney-patients-diabetes-
meta-regression-analysis “diakses 21 Mei 2018”

Kroon, L.A & Williams, C., 2013. Applied Therapheutic The Clinical Use of
Drugs Tenth Edition : Chapter 53 Diabetes Mellitus. USA : Lippincott
Williams &Wilkins.

Lohr, 2017. Hyperuricemia Treatment & Management. University of Buffalo


State University of New York School of Medicine and Biomedical Sciences

Ljutić D., 2002. Comparison of ondansetron with metoclopramide in the


symptomatic relief of uremia-induced nausea and vomiting. Kidney Blood
Press Res. 2002;25(1):61-4. Croatia.

Lukashevich V., 2011. Safety and efficacy of vildagliptin versus placebo in


patients with type 2 diabetes and moderate or severe renal impairment: a
prospective 24-week randomized placebo-controlled trial. Diabetes Obes
Metab. 2011;13(10):947–954. USA : Novartis Pharmaceuticals Corporation
Muchid, A., et al.. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI

Nakao, T., et al 2015. Guide : Best Practice for Diabetic Patients on


Hemodialysis 2012. Therapeutic Apheresis and Dialysis2015; 19(Supplement
1):40–66.Japan : Japanese Society for Dialysis Therapy

Peacock, WF., et al. 2011. A randomized study of the efficacy and safety of
intravenous acetaminophen compared to oral acetaminophen for the
treatment of fever. Acad Emerg Med. 2011 Apr;18(4):360-6. USA : The
Cleveland Clinic

Prasad, V.G & Abraham, P. 2016. Management of chronic constipation in


patients with diabetes mellitus. Indian J Gastroenterol. India. Avaiable at :
http://spreadhealth.in/libraryadmin/controller/jour/Indian%20Society%20of%
20Gastroenterology%202016.pdf “25 Mei 2018”

Ramatillah, D.L., 2017. Efficacy of Folic Acid in Anemia Treatment Among


Hemodialysis Patients in Jakarta, Indonesia. Int. J. Pharm. Sci. Rev. Res.,
43(1), March - April 2017; Article No. 26, Pages: 127-132. Avaiable at :
http://globalresearchonline.net/journalcontents/v43-1/26.pdf “diakses 28 Mei
2018”

Salvucci AA, dkk. 2011. Ondansetron is safe and effective for prehospital
treatment of nausea and vomiting by paramedics. Prehosp Emerg Care. 2011
Jan-Mar. 15(1):34-8. USA Santa Barbara County EMS

Scally, B., et al. 2018. Effects of gastroprotectant drugs for the prevention and
treatment of peptic ulcer disease and its complications: a meta-analysis of
randomised trials. Lancet Gastroenterol Hepatol 2018; 3: 231–41. Elsevier
Ltd.

Soelistijo, S.A., et al. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia. Avaiable at :
http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf “diakses 19 Mei 2018

Tamanna & Mahmood., 2014. Emerging Roles of Branched-Chain Amino Acid


Supplementation in Human Diseases. International Scholarly Research
Notices, Volume 2014, Article ID 235619, 8 pages

Tanhehco, Y. & Berns, J., 2012. Red Blood Cell Transfusion Risks in Patients
with End-Stage Renal Disease. Semin Dial. Author manuscript; available in
PMC 2013 Jun 9. Pennsylvania : University of Pennsylvania, Philadelphia.
Trujilo-Zea., et al. 2015. Lactated Ringer’s vs. normal saline solution for renal
transplantation: Systematic review and meta-analysis. rev colomb anestesiol.
2015;43(3):194–203. Colombia : Universidad Pontificia Bolivariana

Wang, Y., et al. 2015. Fucoidan exerts protective effects against diabetic
nephropathy related to spontaneous diabetes through the NF-κB signaling
pathway in vivo and in vitro. Int J Mol Med. 2015 Apr; 35 (4): 1067-
73. China : Heilongjiang Provincial Hospital

WHO. 2018. Diabetes Mellitus. WHO : WHO media centre. Avaiable at :


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/ “diakses 19 Mei 2018”

Anda mungkin juga menyukai