Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH DIABETES MELITUS

Farmakoterapi dan Terminologi Medik

Disusunoleh :
1. Febriani Dwi O 1061822013
2. Hikmah Wijayanti 1061822017
3. Merydian Puspawati 1061821022
4. Suci Rachmawati 1061821031

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik


dimanapenderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang
cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga
terjadilah kelebihan gula di dalam darah dan baru dirasakan setelah terjadi
komplikasi lanjut pada organ tubuh (Misnadiarly, 2006).Pola makan yang tidak
teratur merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit DM (Suiraoka, 2012).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif
tidak menular yang menjadi masalah serius bagi kesehatan masyarakat di
Indonesia maupun di dunia (Krisnatuti & Yehrina, 2008).Menurut Riskesdas
(2013), Provinsi Jawa Timur dengan prevelensi penderita DM sebesar 2,1%
dengan menempati urutan ke-9. Data dari berbagai studi global
menyebutkanbahwa penyakit DM adalah masalah kesehatanyang besar. Hal ini
dikarenakan adanya peningkatan jumlah penderita diabetes dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2015 menyebutkan sekitar 415 juta orang dewasa memiliki diabetes,
kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an. Apabila tidak ada tindakan
pencegahan maka jumlah ini akan terus meningkat tanpa ada penurunan.
Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi 642 juta penderita (IDF,
2015).Insidensi DM terbukti meningkat dalam berbagaipenelitian. Penelitian di
Indonesia termasuk Jakarta dan kota lainnya menunjukkan adanya
peningkatan.Peningkatan insidensi DM akan memengaruhi peningkatan kejadian
komplikasi kronik. Komplikasi kronik dapat terjadi khususnya pada penderita DM
tipe 2 (Waspadji, 2009).Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM di
Indonesia 2011,penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkanpada 4 pilar
penatalaksanaan DM, yaitu:edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani
danintervensi farmakologis (Perkeni, 2015).
BAB II
ISI

2.1 Definisi Diabetes Melitus


Pengertian Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA) tahun 2018, diabetes merupakan suatu penyakit kompleks, penyakit kronis
yang membutuhkan perawatan medis secara terus-menerus dengan melakukan
strategi pengurangan risiko multifaktorial di luar kendali glikemik.Diabetes
Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Perkeni, 2015:6).
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronisyang terjadi ketika
pankreas tidak memproduksi insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat
secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang
mengatur gula darah (Putri, 2015).Diabetes melitus apabila tidak tertangani
secarabenar, maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi. Ada dua
komplikasi pada DM yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi
kronik terdiri dari komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler.
Penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer merupakan jenis komplikasi makrovaskular, retinopati, nefropati,
dan neuropati merupakan jenis komplikasi mikrovaskuler (Lathifah, 2017).

2.2 Faktor Risiko Diabetes Melitus


A. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi
 Ras dan etnik
 Riwayat keluarga dengan DM
 Umur: Risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan
DM.
 Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
 Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang
lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding
dengan bayi yang lahir dengan BB normal.
B. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi
 Berat badan lebih (IMT ≥23 kg/m2).
 Kurangnya aktivitas fisik
 Hipertensi (>140/90 mmHg)
 Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
 Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa dan rendah
serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/intoleransi glukosa
dan DMTipe 2.
C. Faktor Lain yang Terkait dengan Risiko Diabetes Melitus
 Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
 Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
sebelumnya.
 Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,
PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)

2.3 ETIOLOGI / PATOFISIOLOGI


1. Etiologi
A. Insulin Dependen Diabetes Mellitus(IDDM)
Diabetes type ini ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.
Kombinasi faktor genetik, imunologi, dan mungkin pula lingkungan
diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta, diabetes ini biasanya
terjadi pada usia 30 tahun.
1. Faktor Genetika
Penderita Diabetes Mellitus tidak mewarisi diabetes type 1 itu
sendiri. tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke
arah terjadinya diabetes type I. Kecenderungan genetik ini ditemukan
pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte
Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
Dalam buku patofisiologi Sylvia A. Price (2005), dijelaskan bahwa
bukti untuk determinan genetik diabetes tipe I adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompatibilitas (Human Leukocyte Antigen) spesifik.
Tipe gen ini berkaitan dengan DM tipe I yakni memberi kode kepada
protein- protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-limposit.
Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal
dari respon imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limposit T yang terganggu
akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau
langerhans. Selain itu juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi
terhadap sel-sel pulau langerhans yang ditujukan terhadap komponen
antigenik tertentu dari selbeta.
2. Faktor Imunologi
Pada Diabetes type I terdapat bukti adanya suatu proses autoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya saolah-olah sebagai jaringan asing. autoantibodi
terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen (interna) terdeteksi
pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya
tanda-tanda klinis diabetes typeI.
3. Faktor Lingkungan
Infeksi virus misalnya Coxsackie B4, gondongan (mumps), rubella,
sitomegalovirus dan toksin tertentu misalnya golongan nitrosamin yang
terdapat pada daging yang diawetkan dapat memicu proses autoimun
yang menimbulkan destruksi sel beta pankreas.
4. Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus(NIDDM)
Virus dan HLA tidak nampak berperan dalam proses terjadinya
NIDDM. Akan tetapi faktor herediter memainkan peran yang sangat besar.
Selain itu terdapat pula faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan
proses terjadinya DM Type II yaitu usia, obesitas, riwayat keluarga, dan
kelomok etnik tertentu.
5. Usia
Resistensi insulin cenderung terjadi pada usia diatas 65 tahun.
Meningkatnya usia merupakan faktor resiko yang
menyebabkanfungsipankreas menjadi menurun sehingga produksi insulin
oleh sel beta pankreas juga ikut terganggu.
6. Obesitas
Riset melaporkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor
determinan yang menyebabkan terjadinya NIDDM, sekitar 80% klien
NIDDM adalah individu dengan masalah kegemukan atau obesitas (20%
diatas BB ideal) karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin
sehingga akan timbul kegagalan toleransiglukosa.
Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme
tubuh. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup
menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor
insulin menurun atau mengalami kelainan dalam pengikatan dengan
insulin. Kondisi seperti ini apabia berlangsung dalamwaktu yang lama
maka akan menye-babkan terjadinya resistensiinsulin.
7. Riwayat Keluarga
Klien dengan riwayat keluarga menderita DM akan berisiko lebih
besar. Faktor keturunan atau genetik punya kontribusi yang tidak bisa
diremehkan untuk seseorang terserang penyakit diabetes. Menghilangkan
faktor genetik sangatlah sulit. Yang bisa dilakukan untuk seseorang bisa
terhindar dari penyakit diabetes melitus karena sebab genetik adalah
dengan memperbaiki pola hidup dan pola makan.
8. Kelompok Etnik
Misalnya penduduk di amerika serikat, dimana golongan Hispanik
serta penduduk asli amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih
besar untuk terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan
Afro-Afrika (Firdaus, 2014).
2. Patofisiologi
a. Insulin Dependen Diabetes Mellitus(IDDM)
Pada diabetes tipe ini terdapat ketidak mampuan pankreas untuk
memproduksi insulin karena sel-sel beta pankreas dihancurkan oleh proses
autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan
tersebut yang dianggapnya saolah-olah sebagai jaringan asing. Proses ini
mengakibatkan gangguan fungsi sel beta pakcreas dimana sel ini tidak
dapat menghasilkan insulin sebagai mana mestinya. Sehingga terjadi
gangguan transport glukosa ke seluruh jaringan tubuh yang berujung pada
kondisi hiperglikemia.
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar. Akibatnya,
glukosa tersebut muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan diekskresikan ke dalam urine, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan
diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan
pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsia).
b. Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus(NIDDM)
Pada diabetes tipe ini terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tesebut, maka terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Jika terjadi
resistensi insulin pada diabetes tipe ini dan disertai dengan penurunan
reaksi intra sel, maka insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa olehjaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, maka sekresi insulin harus meningkat. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan resistensi ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan agar kadar glukosa dapat dipertahankan pada
tingkat yang normal. Akan tetapi jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin tersebut, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadidiabetes (Firdaus, 2014).
3. Gejala klinis
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik.
a. Gejala akut diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak
makan)polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyakkencing/sering
kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan
turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
b. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas
atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan,
mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan
mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa
terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau
kematian janin dalam kandungan ataudengan bayi berat lahir lebih
dari4kg (Fatimah, 2015).

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi DM menurut American DiabetesAssociation (ADA) dan World
Health Organization (WHO) dikategorikan menjadi DM tipe 1, tipe 2,dan tipe
lain.
Klasifikasi DM menurutNugroho dkk, 2017 :
1. DM tipe I (childhood-onset diabetes, insulin-dependent diabetes
mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya
rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil
insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita
oleh anak-anak maupun orang dewasa. Diabetes tipe ini hanya dapat
diobati dengan menggunakan insulin.
2. Diabetes tipe 2 adalah kondisi dimana tubuh pasien tidak cukup
menerima insulin, sehingga menyebabkan kadar gula dalam darah
menjadi tinggi.
3. Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat
disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat
kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM.
4. Diabetes Mellitus Gestasional merupakan DM yang didiagnosis pada
saat hamil
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association
2018, dibagi dalam 4 jenisyaitu:
Tabel 1. Klasifikasi etiologis Diabetes Melitus
Klasifikasi etiologis Diabetes Melitus
I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut:
a. Autoimun
b. Idiopatik
II Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
III Tipe lain :
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
IV Diabetes melitus gestasional
Sumber: American Diabetes Association, (2018)
2.5 Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.Berbagai keluhan dapat
ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan
apabila terdapat keluhan seperti:
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut American Diabetes
Association 2018dapat dilihat pada gambar 1.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa


didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan
keluhan klasik.

atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasioleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP).

Gambar 1.Kriteria Diagnosis DM


(American Diabetes Association, 2018)
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard
NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi
umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai
sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau
kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi :
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
(GDPT). Kadar tes laboratorium dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar tes laboratorium diagnosis diabetes dan prediabetes.
HbA1C Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
(%) puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140
Sumber : Perkeni, (2015)

2.6 Algoritma Terapi


Algoritma terapi untuk Diabetes Melitus mengacu pada Dipiro, et al.,
2015 menyatakan bahwa pasien dengan kadar gula darah sewaktu ≥260 mg/dL
disarankan menggunakan insulin dalam terapinya, dapat juga menggunakan
kombinasi OHO untuk mencapai target terapi (Gula darah sewaktu <110-130
mg/dL). Pasien dengan kadar gula darah sewaktu ≥210 mg/dL disarankan
untuk mendapatkan kombinasi dua antidiabetik oral (metformin-sulfonilurea
atau plihan kombinasi OHO lainnya) untuk mencapai target terapinya.
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al, 2015)
2.7 Penatalaksanaan Diabetes Meliltus
Terapi antihiperglikemik diabetes melitus tipe 2 pada orang dewasa dapat
dilihat pada Gambar 2 dan kombinasi terapi injeksi dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 2. Algoritma Terapi Antihiperglikemik


(ADA, 2018)
Gambar 3 Kombinasi Terapi Injeksi
(ADA, 2018)

2.7.1 Terapi Non Farmakologi


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis
dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.Terapi
Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM tipe 2
secara komprehensif. Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan
sesuai dengan kebutuhan setiap pasien. Prinsip pengaturan makan pada pesien
DM, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori,
terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau terapi insulin itu sendiri.
Asupan kacang-kacangan, buah berry, yogurth, kopi, teh mengurangi
resiko DM, sebaliknya daging merah dan minuman yang mengandung gula
berlebih akan meningkatkan resiko DM tipe 2 (American Diabetes Association,
2018). Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol
glikemik serta dapat mengurangi faktor resiko kardiovaskuler, membantu
penurunan berat badan atau perawatan, dan memperbaiki kesejahteraan (Dipiro et
al., 2015).
2.7.2 Terapi Farmakologi
a. Antidiabetik Injeksi
1. Insulin
Insulin adalah terapi utama bagi pasien dengan diabetes tipe 1. Kebutuhan
insulin per hari adalah 0,5 sampai 0,6 unit/kg. Dosis tinggi (0,5-1 unit/kg)
diberikan jika akut atau ketosis. Pasien dengan diabetes tipe 2 yang tidak
mencapai tujuan glikemik, harus segera memulai terapi insulin. Dosis didasarkan
pada Self Monitoring Blood Glucose (SMBG) (American Diabetes Association,
2018). Diabetes Melitus tipe 2 kisaran dosis 0,7 sampai 2,5 unit/kg diberikan pada
pasien yang resistensi insulin. Hipoglikemia dan berat badan bertambah adalah
efek samping insulin yang paling umum (Dipiro et al., 2015). Berdasarkan lama
kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni insulin kerja cepat (rapid-acting
insulin); insulin kerja pendek (short-acting insulin); insulin kerja menengah
(intermediateactinginsulin); insulin kerja panjang (long-acting insulin); dan
insulin kerja ultra panjang (ultra longactinginsulin) (Perkeni, 2015).
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic
Pengobatan dengan agonis GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Salah satu obat golongan agonis GLP-
1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen berisi 18 mg
dalam 3 ml (Perkeni, 2015).
b. Antidiabetik Oral
A. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1. Sulfonilurea
Aksi hipoglikemik dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas.
Semua sulfonilurea sama-sama efektif dalam menurunkan glukosa darah saat
diberikan dalam dosis equipotent. Rata-rata A1C turun 1,5% sampai 2% dengan
Fasting Plasma Glucose (FPG) berkurang dari 60 hingga 70 mg/dL atau 3,3-3,9
mmol/L. Dosis awal harus dikurangi pada pasien lanjut usia yang mungkin
memiliki ginjal atau fungsi hati yang terganggu (Dipiro et al., 2015).
Pemberian sulfonilurea dalam jangka panjang pada penderita DM tipe 2
mengurangi kadar glukagon serum, yang dapat ikut berperan menimbulkan efek
hipoglikemik. Reaksi hipoglikemi berkepanjangan lebih sering pada pasien lansia.
Klorpropamid dikontaindikasikan untuk pasien lansia. Glipizid lebih cenderung
menimbulkan hipoglikemi berat daripada gliburid (Katzung, 2010).
1.1 Sulfonilurea Generasi Pertama
1. Tolbutamid
Tolbutamid memiliki waktu paruh yang pendek maka obat ini menjadi
sulfonilurea yang paling aman digunakan pada pasien diabetes lansia.
Hipoglikemi yang berkepanjangan jarang dilaporkan namun kebanyakan pada
penderita yang mendapat obat tertentu misalnya dikumarol, fenilbutazon,
beberapa sulfoamid yang menghambat metabolisme tolbutamid (Katzung, 2010).
2. Klorpropamid
Klorpropamid berinteraksi dengan obat yang bergantung pada katabolisme
oksidatif hati, serta kontraindikasi pada pasien insufisiensi ginjal atau hati. Dosis
yang lebih tinggi dari 500 mg perhari meningkatkan resiko terjadinya ikterus.
Dosis pemeliharaan rerata adalah 250 mg per hari yang diberikan sebagai dosis
tunggal pada pagi hari (Katzung, 2010).
3. Tolazamid
Tolazamid sebanding dengan klorpropamid dalam hal potensi, tetapi lama
kerjanya lebih pendek. Tolazamid dimetabolisme menjadi beberapa senyawa yang
tetap mempunyai efek hipoglikemi. Jika dosis lebih dari 500 mg maka harus
dibagi dan diberikan dua kali sehari (Katzung, 2010).
1.2 Sulfonilurea Generasi Kedua
1. Glipizid
Glipizid harus diberikan 30 menit sebelum serapan karena absorpsinya akan
terhambat bila obat diberikan bersama makanan. Dosis awal yang dianjurkan
adalah 5 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai 15 mg/hari yang diberikan sebagai
dosis tunggal. Dosis maksimum yang dianjurkan adalah 40mg/hari meskipun
beberapa penelitian mengindikasikan bahwa efek terapeutik maksimum dicapai
dengan dosis sebesar 15-20 mg (Katzung, 2010).
2. Glimepirid
Dosis per oral pada anak-anak usia 10-18 tahun yaitu 1 mgsehari sekali
dan dosis pemeliharaan 1-4 mg sekali sehari. Dosis dewasa yaitu 1-2 mg sekali
sehari dengan makan pagi (Lacy et al., 2012).
3. Gliklazid
Gliklazid mengalami absorpsi yang cepat, waktu paruh 10 jam dan waktu
mencapai puncak plasma yaitu 4-6 jam. Dosis immediate release tablet yaitu 80-
160 mg per hari. Dosis sustained release tablet 30-120 mg (Lacy et al., 2012).
4. Meglitinid
Meglinid mirip dengan sulfonilurea yang merangsang sekresi insulin
pankreas. Pengurangan A1C rata-rata 0,8% sampai 1%. Agen ini dapat digunakan
untuk memberikan peningkatan sekresi insulin saat makan bila diperlukan. Pasien
harus diberikan 30 menit sebelum makan (Dipiro et al., 2015). Golongan dari
meglitinid yaitu Repaglinid dan Nateglinid.Repaglinid beresiko hipoglikemi jika
pasien terlambat makan atau melewatkan makan atau terdapat sedikit karbohidrat
dalam makanan tersebut (Katzung, 2010).
B. Peningkat Sensitivitas Terhadap Insulin
1. Biguanid
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin di hati dan jaringan perifer atau
otot memungkinkan untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Mengurangi
tingkat A1C sebesar 1,5% sampai 2%, tingkat FPG 60 sampai 80 mg/dL atau 3,3-
4,4 mmol/L, dan mempertahankan kemampuan untuk mengurangi tingkat FPG
sangat tinggi yaitu >300 mg/dL atau >16,7 mmol/L. Metformin mengurangi
trigliserida plasma dan low-density lipoprotein (LDL) kolesterol sebesar 8%
menjadi 15% dan meningkatkan high-density lipoprotein (HDL) yaitu 2%.
Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia ketika digunakan sebagai
monoterapi. Metformin digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan
obesitas karena satu-satunya obat antihiperglikemik oral yang terbukti
mengurangi risiko kematian total.
Dosis awal metformin immediete-release 500 mg secara oral dua kali sehari
sampai mencapai tujuan glikemik atau 2500 mg/hari. Metformin 850 mg dapat
sekali sehari dan kemudian meningkat setiap 1 sampai 2 minggu maksimum 850
mg tiga kali sehari atau 2550 mg/hari. Dosis awal metformin extended-release
misalnya Glucophag XR yaitu 500 mg secara oral ketika makan malam, dosis
maksimum yaitu 2000 mg/hari (Dipiro et al., 2015). Blokade glukoneogenesis
oleh metformin menyebabkan obat ini mengganggu metabolisme asam laktat di
hati. Pasien dengan insufisiensi ginjal menyebabkan resiko terjadinya asidosis.
Efek samping metformin yaitu anoreksia, mual, muntah, rasa tidak nyaman di
abdomen, diare dan terjadi pada hingga 20% pasien (Katzung, 2010).
2. Tiazolidindion
Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot, hati, dan
lemak secara tidak langsung. Pioglitazon dan rosiglitazon mengurangi A1C rata-
rata 1,5% dan FPG 60 sampai 70 mg/dL atau 3,3-3,9 mmol/L. Pioglitazon
menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%, sedangkan rosiglitazon
cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazon tidak menyebabkan peningkatan yang
signifikan dalam kolesterol LDL, sedangkan kolesterol LDL dapat meningkat 5%
sampai 15% dengan rosiglitazone.
Dosis awal Pioglitazon 15 mg per oral sekali sehari, dosis maksimum 45
mg/hari. Rosiglitazone dosis awal 2 sampai 4 mg per oral sekali sehari, dosis
maksimum 8 mg/hari. Dosis 4 mg dua kali sehari dapat mengurangi A1C sebesar
0,2% hingga 0,3% lebih dari 8 mg diminum sekali sehari (Dipiro et al., 2015).
Efek samping yang umum adalah retensi cairan, yang bermanifestsi
sebagai anemia ringan dan edema perifer, terutama bila digunakan sebagai
kombinasi dengan insulin. Banyak pengguna yang bertambah berat badannya
bergantung pada dosis, rata-rata 1-3 kg yang mungkin terkait dengan retensi
cairan (Katzung, 2010).
C. Penghambat Absopsi Glukosa di Saluran Pencernaan
1. Penghambat α-Glukosidase
Golongan ini mencegah pemecahan karbohidrat sukrosa dan memperpanjang
penyerapan karbohidrat. Pengurangan A1C rata-rata 0,3% menjadi 1%. Efek
samping yang paling umum adalah perut kembung, perut tidak nyaman, dan diare.
Hipoglikemia terjadi bila digunakan dalam kombinasi dengan agen hipoglikemik
seperti sulfonilurea atau insulin(Katzung, 2010).Akarbose dan miglitol merupakan
terapi awal dengan dosis yang sangat rendah yaitu 25 mg per oral dengan satu kali
sehari meningkat secara bertahap, maksimal 50 mg tiga kali sehari untuk pasien
dengan berat badan 60 kg atau lebih atau 100 mg tiga kali sehari untuk berat
badan pasien di atas 60 kg (Dipiro et al., 2015).
2. Amylinomimetik
Pramlintid (Symlin) menekan sekresi glukagon postprandial yang tinggi,
menurun fluktuasi glukosa prandial, meningkatkan rasa kenyang, dan
memperlambat pengosongan lambung. Ini memiliki efek yang rendah pada
Fasting Plasma Glucose (FPG). Pengurangan A1C rata-rata adalah 0,6%. Efek
samping yang paling umum adalah mual, muntah, dan anoreksia. Hal tersebut
tidak menyebabkan hipoglikemia jika digunakan monoterapi.
Dosis awal 60 mcg sebelum makan secara subkutan (Dipiro et al., 2015).
Food and Drug Administration (FDA) menyetujui terapi ini pada pasien dewasa
diabetes melitus tipe 1 yang telah terbukti menginduksi penurunan berat badan
serta pengurangan dosis insulin prandial untuk mengurangi resiko hipoglikemia
berat (American Diabetes Association, 2018).Efek samping utama pramlintid
adalah hipoglikemi dan gejala saluran cerna, mencakup mual, muntah, dan
anoreksia (Katzung, 2010).
D. Penghambat Sodium-Glukosa Cotransporter 2 inhibitor
Sodium-glukosa cotransporter 2 (SGLT2) inhibitor menurunkan glukosa
dengan menghalangi reabsorpsi glukosa dalam tubulus proksimal ginjal dengan
menghambat SGLT2. Agen ini memberikan penurunan berat badan dan
penurunan tekanan darah. FDA baru-baru ini mengeluarkan peringatan tentang
resiko ketoasidosis dengan SGLT2 inhibitor pada pasien diabetes tipe 1 atau tipe
2. Gejala ketoasidosis termasuk mual muntah, sakit perut, kelelahan dan dyspnea
(American Diabetes Association, 2018).
E. Penghambat Dipeptidyl peptidase-4 Inhibitor (DPP-4)
DPP-4 inhibitor sebagian mengurangi glukagon postprandial dan merangsang
sekresi insulin glukosa. Pengurangan A1C 0,7% sampai 1% pada dosis
maksimum. DPP-4 inhibitorsaat ini tidak disetujui Food and Drug Administration
(FDA) untuk pasien dengan diabetes tipe 1 (American Diabetes Association,
2018).Dosis sitagliptin 100 mg per oral sekali sehari. Dosis saxagliptin 5 mg
secara oral setiap hari. Dosis linagliptin 5 mg sehari secara peroral. Dosis
alogliptin 25 mg sekali sehari (Dipiro et al., 2015).
BAB III
URAIAN KASUS

Seorang pasien bernama Ny. S datang ke apotek dengan membawa resep


dokter. Hasil wawancara apoteker terhadap pasien diketahui bahwa pasien berusia
55 tahun Pasien datang dengan keluhan kepala merasa pusing, tengkuk tegang,
badan terasa lemas, sering merasa haus dan lapar, serta sering buang air kecil.
Membawa resep sebagai berikut :

R/ Metformin 500 mg no LX
s.2 dd tab 1
R/ Glimepirid 2 mg no XXX
s.1 dd tab 1
R/ Amlodipine 10 mg no XXX
s.1 dd tab 1 (Malam)
R/ Irbesartan 150 mg no XXX
s 1 dd tab 1 (Pagi)

Analisis SOAP
1. Subyektif :
• Nama : Ny. S
• Umur : 55 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Keluhan menderita Diabetes Mellitus tipe II dan disertai dengan hipertensi.
2. Obyektif:
Tidak ada data vital dan data laboratorium yang mendukung.
3. Assessment:
Analisis Penggunaan Obat:
Nama Obat Analisis
Metformin Indikasi : Anti Diabetik Oral Golongan Biguanid
Dosis : 500-3000 mg/ hari (diberikan dalam 2-3
dosis terbagi)
Mekanisme : Menghambat glukogenesis dihati
dan meningkatkan penggunaan glukosa di
jaringan.
Kontra indikasi : gangguan fungsi ginjal ,
ketoasidosis.
Efek samping : diare, rasa lelah, nyeri otot,
sembelit, hipoglikemia.
Glimepiride Indikasi : Anti Diabetik oral golongan
sulfonilurea
Dosis : 1- 8 mg/ hari
Mekanisme : Meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta prankeas.
Kontra Indikasi : Gangguan gungsi hati, gagal
ginjal, porfiria, ketoasidosis, kehamilan dan
menyusui.
Efek samping : Hipoglikemia dan peningkatan
berat badan.
Amlodipine Indikasi : Anti Hipertensi Golongan CCB
Dosis : 1 x 5 mg (dosis awal), 1 x 10 mg (dosis
maximal).
Mekanisme : Amlodipin merupakan CCB yang
bersifat long acting yang memberikan efek
dengan memblokir masuknya transmembran ion
kalsium ke otot, jantung, pembuluh darah dan
otot halus.
Kontra indikasi : Hipersensitivitas terhadap CCB
terhadap dihidropiridin, syok kardiogenik, angina
pektoris tidak stabil.
Efek Samping : Gangguan tidur, Sakit kepala,
Hipotensi.
Irbersartan Indikasi : Anti Hipertensi Golongan ARB
Dosis : 1 x 150 mg/ hari, dosis maximal 300 mg/
hari
Mekanisme : Antagonis non peptida angiotensin
II yang secara selektif menghambat pengikatan
angiotensin II dengan reseptor AT1.
Kontra indiksi : Kehamilan kategori C D pada
trimester 2 dan 3, menyusui .
Efek Samping : Hipotensi, Gagal jantung.
A. Identifikasi DRP:
 DRP ada indikasi tidak ada obat : -
 DRP dosis terlalu tinggi : -
 DRP dosis terlalu rendah: -
 DRP obat tanpa indikasi : -
 DRP efek samping : Pengunaan metformin dan glimepirid
 DRP interaksi obat : Penggunaan amlodipin dan metformin dapat
mengurangi efek dari metformin.
4. Plan:
• Terapi tetap dilanjutkan namun pemberian amlodipin dengan metformin
dijeda 2 – 3 jam dan lakukan monitoring kadar gula darah pasien.
• Metformin diminum setiap 12 jam, pada suapan pertama saat makan.
• Efek samping dari metformin dan glimepirid yaitu mual, pusing, tremor,
jantung berdebar, dan palpitasi. Maka dari itu perlu dilakukan monitoring
pada pasien jika ada efek samping yang muncul dan segera konsultasikan
ke dokter.
• Glimepirid + metformin tidak perlu dilakukan penggantian obat hanya
perlu dilakukan monitoring terhadap kadar gula darah pasien.

KIE
a. Diinformasikan kepada pasien jika terjadi gejala hipoglikemik seperti
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan
menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat maka
segera makan atau mengkonsumsi snack. Hipoglikemia lebih sering pada
DM tipe 1, yang dapat di alami 1-2 kali penderita DM tipe 2 jarang terjadi
meskipun mendapatkan terapi insulin. Pemberian glukosa 15–20 g (2-3
sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan pada pasien
dengan hipoglikemia yang masih sadar. Jika pasien yang mengalami
hipoglikemi berat segera dibawa ke rumah sakit untuk menerima
penanganan medis.
b. Pasien dianjurkan melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri
(PGDM).
c. Diinformasikan kepada pasien untuk memperhatikan jadwal makan, jenis
dan jumlah kandungan kalori. Makan sesuai dengan anjuran ahli gizi,
jangan makan terlalu sedikit.
d. Disarankan pasien memakan kacang-kacangan, buah berry, yogurth, nasi
merah dan mengurangi konsumsi daging merah dan minuman yang
mengandung gula berlebih.
e. Disarankan pasien latihan aerobik yang ringan tidak berlebihan, karena
dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol glikemik serta dapat
mengurangi faktor resiko kardiovaskuler, membantu penurunan berat
badan.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2018. Standard of Medical Care in Diabetes


2018, The Journal of Clinical and Applied Research and Education
Diabetes Care, vol 40(1) : 1-150.

Dipiro., T. Joseph., Wells., Barbara G., Terry L.S., dan Cecily V. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. Ninth edition. New York: McGraw-Hill.

Fatimah, R. N., 2015, Diabetes Tipe 2, J MAJORITY, Volume 4 Nomor 5, Hal.


96, Fakultas Kesehatan, Universitas Lampung.

Firdaus, S., 2014, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diabetes


Melitus di RSUD Kabupaten Mamuju Tahun 2014, Skripsi, Program
Studi Keperawatan, STIKES Siti Fatimah Mamuju.

International Diabetes Federation. 2015. IDFDiabetes Atlas 7th Edition. Brussels:


InternationalDiabetes Federation. http://www. diabetes atlas.org/. [Sitasi: 9
Februari 2017]. [Sitasi pada 18November 2016].[Sitasi pada 10 Maret
2019].

Katzung, G Bertram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta :
EGC.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta;


Balitbang Kemenkes RI.

Krisnatuti & Yehrina. (2008). Diet Sehat untuk Penderita Diabetes Mellitus.
Jakarta: Penebar Swadaya.

Lathifah, Nur Lailatul. 2017. HUBUNGAN DURASI PENYAKIT DAN KADAR


GULA DARAH DENGANKELUHAN SUBYEKTIF PENDERITA
DIABETES MELITUS. Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 2,
hlm. 231-239.

Misdaniarly. (2006). Diabetes Melitus:Gangren, Ulcer, Infeksi, mengenal gejala,


dan menanggulangi komplikasi. Jakarta: Pustaka PopulerObor.

Nugroho, Rizky Adhi, Tarno, Prahutama Alan. 2017.KLASIFIKASI PASIEN


DIABETES MELLITUS MENGGUNAKAN METODE SMOOTH SUPPORT VECTOR
MACHINE (SSVM). JURNAL GAUSSIAN, Volume 6, Nomor 3,Halaman 439-
448.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta
: PB PERKENI

Price, S.A., dkk, 2005,Patofisiologi, Edisi Kedua, EGC., Jakarta.

Putri, Rahmadany Isya. 2015. FAKTOR DETERMINAN NEFROPATI DIABETIK


PADAPENDERITA DIABETES MELLITUS DI RSUD DR. M.
SOEWANDHIE SURABAYA.JurnalBerkala Epidemiologi, Vol. 3, 109-121.

Suiraoka. (2012). Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Nuhamedika.

Waspadji, S. 2007. Diabetes Melitus: Penyulit Kronik dan Pencegahannya.


Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai
PenerbitFakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

WHO. 2016. Global Report on Diabetes. France : World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai