BAB II : PEMBAHasa
A. Defenisi Kebijakan
B. Perumusan Masalah Kebijakan
C. Visi Dan Misi Pembangunan Kesehatan
D. Kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
E. Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan
F. Strategi Pembangunan Kesehatan
G. Kebijakan Prioritas
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFENISI KEBIJAKAN
Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan.
Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilhan pemerintah untuk melakkan atau
tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Friedrich
mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan
kebija kan adalah adanya tujuan ( goal ),
),
sasaran (objective) atau kehendak ( purpose) ( Abidin,2002 ).
Defenisi kebijakan public dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa :
a. Kebijakan public tersebut dibuat oleh badan pemerintah.
b. Kebijakan public menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh
badan pemerintah (abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan public terdiri
ter diri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut
:
a. Penyusunan agenda ( agenda seting ), yakni suatu proses agar suatu masalah bias
mendapat perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan ( policy formulation ), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan
atau alternative pemecahan masalah oleh pemerintah.
c. Penentuan kebijakan ( policy adoption ), yakni suatu proses dimana pemerintah
menetapka alternative kebijakan apakah sesuai dengan criteria yang harus dipenuhi,
menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi
pelaksanaan kebijakan tersebut.
d. Implementasi kebijakan ( policy implementation ) , yaitu suatu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan
sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.
e. Evluasi kebijakan ( policy evaluation) , yakni suatu roses untuk memonitor dan menilai
hasil atau kinerja kebijakan ( Subarsono, 2005 )
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah
ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum
dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan
pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin
memperoleh hasil yang diinginkan.
Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atas dasar kebijakan yang bersifat luas.
Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan
sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku
yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu
yang menyangkut kepentingan umum.Sesuai dengan system administrasi Negara Republik Indonesia,
kebijakan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Kebijakan Internal (Manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam
organisasi pemerintah sendiri
2. Kebijakan eksternal (Publik), yaitu suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum, sehingga dengan
kebijakan demikian kebijakan harus tertulis.
Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika
dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KepMen) dan
lain lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh pemerintah daerah akan melahirkan
Surat keputusan (SK), peraturan daerah (PerDa) dan lain lain.
Dalam penyusunan kebijaksanaa/kebijakan mengacu pada hal hal berikut:
1. Berpedoman pada kebijaksanaan yang lebih tinggi.
2. Konsisten dengan kebijaksanaan yang lain yang berlaku.
3. Berorientasi ke masa depan.
4. Berpedoman kepada kepentingan umum
5. Jelas dan tepat serta transparan
6. Dirumuskan secara tertulis.
Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
1. Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan
nasional/Negara sesuai dengan amanat UUD 1945 GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan
adalah MPR, dan presiden bersama-sama dengan DPR.Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:
a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-undang
d. Peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perpu) dibuat oleh presiden dalan hal kepentingan
memaksa setelah mendapat persetujuan DPR.
2. Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa
penggarisan ketentuan ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, ketetapan MPR maupun undang
undang guna mencapai tujuan nasional.
Penetapan kebijaksanaan umum merupakan sepenuhnya kewenangan presiden, sedangkan bentuk
kebijaksanaan umum tersebut adalah tertulis berupa peraturan perundang-undangan seperti hal nya
peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres) serta Instruksi Presiden (Inpres).
Sedangkan kebijaksanaan pelaksanaan dari kebijakan umum tersebut merupakan penjabaran dari
kebijakan umum serta strategi pelaksanaan dalam suatu bidang tugas umum pemerintahan dan
pembangunan dibidang tertentu. Penetapan kebijaksanaan pelaksanaan terletak pada para pembantu
presiden yaitu para menteri atau pejabat lain setingkat dengan menteri dan pimpinan sesuai dengan
kebijaksanaan pada tinkat atasnya serta perundang-undangan berupa peraturan, keputusan atau instruksi
pejabat tersebut (menteri/pejabat)
G. KEBIJAKAN PRIORITAS
1. HIV/AIDS
a. Kebijakan Program Nasional
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang
merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan
pengendalian HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dannorma-
norma masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan
penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu
pengendalian harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
b. Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko,
semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2) Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup
sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta
dukungan terhadap ODHA.
3) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan
prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya
pengendalian HIV dan AIDS.
4) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi
harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan
pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
c. Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS
dan pelayanan bagi ODHA.
2) Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota
sebagai titik berat manajemen program.
3) Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang
meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan,
kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan. Sesuai dengan
kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.
4) Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AI DS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan
mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan
sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan di beritahukan kepada yang bersangkutan tetapi
wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5) Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA dan
menerapkan prinsip:
a) Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
b) Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif (NAPZA) suntik
melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan
juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.
c) Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan
akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi ODHA.
d) Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan konsep layanan
perawatan yang berkesinambungan.
d. Strategi
Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:
1) Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan
program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan.
2) Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, mela lui peningkatan kapasitas
program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan
Evaluasi (ME) program dan promosi program.
3) Meningkatkan dan menguatkan sistem informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans
generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan
program pengendalian HIV dan AIDS.
4) Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan
dan upaya kegiatan program lainnya.
2. KORUPSI
Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun
terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
(SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu
sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang
dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs Polri,” terang Zainal Arifin
Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat
beberapa catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun
terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain, Inpres
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk
meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efek tif
dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder
kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi,
khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan
RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang
MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertan yakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan
usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang
disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki.
Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan
sesuai dengan prosedur.
Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga mengembangkan program lainnya. Salah satu yang
dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalu i pelayanan konseling yang baik
dan benar. Melihat dari rekam jejak tersebut, tak aneh jika Indonesia pada kurun waktu antara
1980-2000 terbilang sukses untuk program KIA.
Kebijakan-kebijakan terkait kesehatan ibu dan anak sebenarnya sudah diatur dalam
beragam regulasi yang ada, seperti kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran
kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Ini tentu dimaksudkan agar
memberikan pelayanan maksimal untuk kesehatan, utamanya ibu dan anak. Namun fakta di
lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya
hanya sebesar Rp248 milyar atau hanya sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang
kesehatan. Potret seperti ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk
kembali dapat memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya untuk
kembali memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang merosot drastis akhir-
akhir ini.