Anda di halaman 1dari 11

BERBAGAI KEBIJAKAN PEMERINTAH DIBIDANG

KESEHATAN DAN SEKTOR LAIN YANG TERKAIT DENGAN


PRAKTIK KEPERAWATAN KOMUNITAS DAN KELOMPOK
KHUSUS

BAB II : PEMBAHasa
 A. Defenisi Kebijakan
B. Perumusan Masalah Kebijakan
C. Visi Dan Misi Pembangunan Kesehatan
D. Kebijakan nasional tentang upaya kesehatan masyarakat
E. Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan
F. Strategi Pembangunan Kesehatan
G. Kebijakan Prioritas
BAB III : PENUTUP
 A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI KEBIJAKAN
Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan.
Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilhan pemerintah untuk melakkan atau
tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Friedrich
mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan
kebija kan adalah adanya tujuan ( goal ),
),
sasaran (objective) atau kehendak ( purpose) ( Abidin,2002 ).
Defenisi kebijakan public dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa :
a. Kebijakan public tersebut dibuat oleh badan pemerintah.
b. Kebijakan public menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh
badan pemerintah (abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan public terdiri
ter diri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut
:
a. Penyusunan agenda ( agenda seting ), yakni suatu proses agar suatu masalah bias
mendapat perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan ( policy formulation ), yakni suatu proses perumusan pilihan-pilihan
atau alternative pemecahan masalah oleh pemerintah.
c. Penentuan kebijakan ( policy adoption ), yakni suatu proses dimana pemerintah
menetapka alternative kebijakan apakah sesuai dengan criteria yang harus dipenuhi,
menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi
pelaksanaan kebijakan tersebut.
d. Implementasi kebijakan ( policy implementation ) , yaitu suatu proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan
sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.
e. Evluasi kebijakan ( policy evaluation) , yakni suatu roses untuk memonitor dan menilai
hasil atau kinerja kebijakan ( Subarsono, 2005 )
Kebijakan adalah rangkaian  konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah
ini dapat diterapkan pada  pemerintahan, organisasi dan

kelompok sektor swasta, serta individu.  Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum.  Jika hukum
dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan
pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin
memperoleh hasil yang diinginkan.
Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atas dasar kebijakan yang bersifat luas.
Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan
sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku
yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu
yang menyangkut kepentingan umum.Sesuai dengan system administrasi Negara Republik Indonesia,
kebijakan dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Kebijakan Internal (Manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam
organisasi pemerintah sendiri
2. Kebijakan eksternal (Publik), yaitu suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum, sehingga dengan
kebijakan demikian kebijakan harus tertulis.
Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika
dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KepMen) dan
lain lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh pemerintah daerah akan melahirkan
Surat keputusan (SK), peraturan daerah (PerDa) dan lain lain.
Dalam penyusunan kebijaksanaa/kebijakan mengacu pada hal hal berikut:
1. Berpedoman pada kebijaksanaan yang lebih tinggi.
2. Konsisten dengan kebijaksanaan yang lain yang berlaku.
3. Berorientasi ke masa depan.
4. Berpedoman kepada kepentingan umum
5. Jelas dan tepat serta transparan
6. Dirumuskan secara tertulis.
Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
1. Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan
nasional/Negara sesuai dengan amanat UUD 1945 GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan
adalah MPR, dan presiden bersama-sama dengan DPR.Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:

a. UUD 1945
b. Ketetapan MPR
c. Undang-undang
d. Peraturan pemerintah pengganti undang undang (Perpu) dibuat oleh presiden dalan hal kepentingan
memaksa setelah mendapat persetujuan DPR.
2. Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa
penggarisan ketentuan ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, ketetapan MPR maupun undang
undang guna mencapai tujuan nasional.
Penetapan kebijaksanaan umum merupakan sepenuhnya kewenangan presiden, sedangkan bentuk
kebijaksanaan umum tersebut adalah tertulis berupa peraturan perundang-undangan seperti hal nya
peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Kepres) serta Instruksi Presiden (Inpres).
Sedangkan kebijaksanaan pelaksanaan dari kebijakan umum tersebut merupakan penjabaran dari
kebijakan umum serta strategi pelaksanaan dalam suatu bidang tugas umum pemerintahan dan
pembangunan dibidang tertentu. Penetapan kebijaksanaan pelaksanaan terletak pada para pembantu
presiden yaitu para menteri atau pejabat lain setingkat dengan menteri dan pimpinan sesuai dengan
kebijaksanaan pada tinkat atasnya serta perundang-undangan berupa peraturan, keputusan atau instruksi
pejabat tersebut (menteri/pejabat)

B. PERUMUSAN MASALAH KEBIJAKAN


Masalah kebijakan, adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, tetapi dapat
diindentifikasikan dan dicapai melalui tindakan publik. Tingkat kepelikan m asalah tergantung pada nilai dan
kebutuhan apa yang dipandang paling panting.Staf puskesmas yang kuat orientasi materialnya (gaji tidak
memenuhi kebutuhan), cenderung memandang aspek imbalan dari puskesmas sebagai masalah
mandasar dari pada orang yang punya komitmen pada kualitas pelayanan kesehatan.
Menurut Dunn (1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan, adalah:
1. Interdepensi (saling tergantung), yaitu kebijakan suatu bidang (energi) seringkali mempengaruhi masalah
kebijakan lainnya (pelayanan kesehatan). Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem
masalah ini membutuhkan pendekatan Holistik, satu m asalah dengan yang lain tidak dapat di piahkan dan
diukur sendirian.
2. Subjektif, yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi
secara selektif. Contoh: Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan
penafsiran yang beragam (a.l. gang-guan kesehatan, lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis,
bukan problem itu sendiri.
3.  Artifisial, yaitu pada saat diperl ukan perubahan situasi problematis, sehingga d apat menimbulkan m asalah
kebijakan.
4. Dinamis, yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus.
Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah
lanjutan.
5. Tidak terduga, yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah kebijakan.
C. VISI DAN MISI PEMBANGUNAN KESEHATAN
1. Visi Strategis Pembangunan Kesehatan
Dengan memperhatikan isu strategis pembangunan kesehatan tersebut dan juga dengan
mempertimbangkan perkembangan, masalah, serta b erbagai kecenderungan pembangunan kesehatan ke
depan maka ditetapkan visi pembangunan kesehatan oleh Departemen Kesehatan yaitu Masyarakat Yang
Mandiri Untuk Hidup Sehat.
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi di mana masyarakat Indonesia
menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan yang
dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit
termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung
untuk hidup sehat.
2. Misi Strategis Pembangunan Kesehatan
Visi pembangunan kesehatan tersebut kemudian diejawantahkan melalui misi pembangunan
kesehatan, yakni Membuat Rakyat Sehat. Misi kesehatan ini kemudian dijalankan dengan
mengembangkan nilai-nilai dasar dalam pelayanan kesehatan yaitu berpihak pada rakyat, bertindak cepat
dan tepat, kerjasama tim, integritas yang tinggi, transparansi dan akuntabilitas.

D. KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT


Kebijakan kesehatan merupakan tindakan yang mempunyai efek terhadap institusi,organisasi pela yanan
dan pendanaan dari system pelayanan kesehatan. Kebijakan palayanan kesehatan meliputi:
1. Public goods
Berupa barang atau jasa yang pedanaanya berasal dari pemerintah, yang bersumber dari pajak
dan kelompok masyarakat. Layanan public goods digunakan untuk kepentingan bersama dn dimiliki
bersama. Keberadaanya memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
2. Privat goods
Berupa barang atau jasa swasta yang pedanaanya berasal dari perseorangan. Digunakan untuk
kepentingan sendiri dan dimiliki perseorangan , tidak bisa dim iliki sembarangan orang, terdapat persaingan
dan eksternalitas rendah.
3. Merit goods
Karakteristik memerlukan biaya tambahan tidak dapat digunakan sembarangan orang ada
persaingan dan eksternalitas tinggi contohnya cuci darah, pelayanan kehamilan, pelayanan kespro dan
pengobatan PMS.
Indonesia termasuk negara berkembang sangat rentan terhadap berbagai macam penyakit. Hal ini
tersebab karena kondisi riil masyarakat Indonesia yang miskin dan memiliki standart hidup (gisi) rendah.
Kemiskinan ( gisi buruk) menjadi kandungan yang siap setiap saat melahirkan penyakit. Karena itu tidak
mengejutkan kalau penyakit  –penyakit menyerang masyarakat meningkat jumlahnya setiap tahun seiring
meningkatkan jumlah angka kemiskinan.

E. PERANAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN


Menurut Notoatmodjo (2007), peran serta atau partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh
anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Peran serta
dibidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah
kesehatan mereka sendiri. Hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, memecahkan,
melaksanakan dan mengevaluasikan program-program kesehatan. Institusi kesehatan hanya sekedar
memotivasi dan membimbingnya. Peran serta setiap anggota masyarakat dituntut suatu kontibusi atau
sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada dana dan finansial saja tetapi dapat ter bentuk
dalam tenaga (daya) dan pemikiran (ide). Dalam hal ini dapat diwujudkan dalam 4M yakni, manpower
(tenaga), money (uang), material (benda-benda) dan mind (ide atau gagasan).
1. Dasar-dasar filosofi peran serta masyarakat
Hubungannya dengan fasilitas dan tenaga kesehatan, peran serta masyarakat dapat diarahkan
untuk mencukupi kelangkaan tersebut. Dengan kata lain peran serta masyarakat dapat menciptakan
fasilitas dan tenaga kesehatan. Peran serta masyarakat didasarkan pada idealisme berikut :
a. Community fell need
b. Organisasi pelayanan masyarakat kesehatan yang berdasarkan peran serta masyarakat.
c. Pelayanan kesehatan tersebut akan dikerjakan oleh masyarakat sendiri
2. Metode peran serta masyarakat
a. Peran serta dengan paksaan
 Artinya memaksa masyarakat untuk kontribusi dalam suatu program, baik melalui perundang-
ungdangan, peraturan-perturan maupun dengan perintah lisa n saja. Cara ini akan lebih cepat hasilnya dan
mudah, tetapi masyarakat akan takut, merasa dipaksa dan kaget karena dasarnya bukan kesadaran tetapi
ketakutan. Akibatnya masyarakat tidak akan mempunyai rasa memiliki terhadap program yang ada.

b. Peran serta dengan persuasi dan edukasi


 Artinya suatu parisipasi yang didasari pada kesadaran. Sukar tetapi bila tercapai hasilnya akan
mempunyai rasa memiliki dan rasa memelihara. Partisipasi ini dim ulai dengan penerangan, pendidikan dan
sebagainya baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Elemen-elemen peran serta masyarakat
a. Motivasi
Persyaratan utama masyarakat berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa motivasi masyarakat sulit
berpartisipasi disegala program. Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri dan pihak luarnya
hanya meragsang saja. Untuk itu pendidikan kesehatan sangat diperlukan dalam rangka merangsang
tumbuhnya motivasi.
b. Komunikasi
Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan, ide dan informasi kepada
masyarakat. Media masa, seperti TV, radio, poster, film dan sebagainya. Semua itu sangat efektif untuk
manyampaikan pesan yang akirnya dapat menimbulkan partisipasi.
c. Kooperasi
Kerja sama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan instansi kesehatan sendiri
adalah mutlak diperlukan. Adanya team work antara m ereka ini akan membantu menumbuhkan partisipasi.
d. Mobilisasi
Hal ini berarti bahwa peran serta itu bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program.
Partipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari identifikasi masalah,
menentukan prioritas masalah, perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan
evaluasi program.
4. Strategi peran serta masyarakat
Strategi peran serta menurut Notoatmojo (2007) yang dapat dipakai adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan masyarakat, diperlukan untuk memperoleh simpati masyarakat. Pendekatan ini terutama
ditunjukan kepada pimpinan masyarakat, baik yang formal maupun informal.
b. Pengorganisasian masyarakat dan pembentukan tim
1) Dikoordinasikan oleh lurah atau kepala desa.
2) Tim kerja yang dibentuk tiap RT, anggota tim adalah pemuka masyrakat RT yang bersangkutan dan
pimpinan oleh ketua RT.
c. Survei diri
Tiap tim kerja di RT melakukan survei di masyrakatnya masing-masing dan diolah serta
dipresentasikan kepada warganya.
d. Perencanaan program
Perencanaan dilakukan oleh masyarakat sendiri setelah mendengarkan presentasi survei diri dari
tim kerja, serta telah menentukan bersama tentang prioritas masalah akan dipecahkan. Merencanakan
program ini perlu diarahkan terbentuknya dana sehat dan kader kesehatan. kedua hal ini merupakan
sangat penting dalam rangka pengembangan peran serta masyarakat. Dana sehat tersebut selain dari
bentuk peran serta masyarakat, juga merupakan motor penggerak program.
e. Training (Pelatihan)
Training para kader harus dipimpin oleh dokter puskesmas meliputi medis dan manajemen kecil-
kecilan dalam mengolah program-program kesehatan tingkat desa serta pencatatan, pelaporan, dan
rujukan.
f. Rencana evaluasi
Menyusun rencana evaluasi perlu ditetapkan kriteria keberhasilan suatu program, secara sederhana
dan mudah dilakukan oleh masyrakat atau kader itu sendiri (Notoatmojo, 2007).
5. Faktor Yang Mempengaruhi Peranserta Masyarakat
a. Manfaat kegiatan yang dilakukan.
Jika kegiatan yang dilakukan memberikan manfaat yang nyata dan jelas bagi masyarakat maka
kesediaan masyarakat untuk berperanserta menjadi lebih besar.
b.  Adanya kesempatan.
Kesediaan juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berperanserta dan
masyarakat melihat memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan yang akan dilakukan.
c. Memiliki ketrampilan.
Jika kegiatan yang dilaksanakan membutuhkan ketrampilan tertentu dan orang yang mempunyai
ketrampilan sesuai dengan ketrampilan tersebut maka orang tertarik untuk berperanserta.
d. Rasa Memiliki.
Rasa memiliki suatu akan tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikut sertakan, jika
rasa memiliki ini bisa ditumbuh kembangkan dengan baik maka peranserta akan dapat dilestarikan.
e. Faktor tokoh masyarakat.
Jika dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh - tokoh masyarakat atau
pemimpin kader yang disegani ikut serta maka mereka akan tertarik pula berperanserta.
6. Peran Kader Masyarakat sebagai Wujud Peran Serta
Kader Posyandu adalah warga masyarakat yang terlibat dalam dalam seksi 7 dan seksi 10 LKMD
(Tim penggerak PKK) yang tergabung dalam Pokja IV yang membidangi masalah kesehatan dan KB dan
aktif dalam kegiatan Posyandu. Kader gizi adalah anggota masyarakat yang bekerja secara sukarela dan
mampu melaksanakan upaya peningkatan gizi keluarga (UPGK) serta mampu menggerakkan masyarakat
untuk ikut serta dalam kegiatan UPGK.
7. Peranan Kader dalam penyelenggaraan Posyandu
a. Memberitahukan hari dan jam buka Posyandu kepada para ibu pengguna Posyandu (ibu hamil, ibu yang
mempunyai bayi dan anak balita serta ibu usia subur) sebelum hari buka Posyandu.
b. Menyiapkan peralatan untuk penyelenggaraan Posyandu sebelum Posyandu dimulai seperti timbangan,
buku catatan, KMS, alat peraga penyuluhan dll.
c. Melakukan pendaftaran bayi, balita, ibu hamil dan ibu usia subur yang hadir di Posyandu.
d. Melakukan penimbangan bayi dan balita.
e. Mencatat hasil penimbangan kedalam KMS
f. Melakukan penyuluhan perorangan kepada ibu-ibu di meja IV, dengan isi penyuluhan sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi ibu yang bersangkutan.
g. Melakukan penyuluhan kelompok kepada ibu-ibu sebelum meja I atau setelah meja V (kalau diperlukan).
h. Melakukan kunjungan rumah khususnya pada ibu hamil, ibu yang mempunyai bayi dan balita serta
pasangan usia subur, untuk menyuluh dan mengingatkan agar datang ke Posyandu.

F. STRATEGI PEMBANGUNAN KESEHATAN


Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional yang diupayakan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di
tengah beban dan permasalahan kesehatan yang semakin pelik, dibutuhkan strategi jitu untuk
menghadapinya. Dalam mengatasi masalah kesehatan, Departemen Kesehatan memilki lima
strategi utama. Hal tersebut mengemuka dalam pidato Menteri Kesehatan pada upacara bendera
pada tanggal 17 Januari 2006.
Menteri Kesehatan mengatakan bahwa kunci sukses dalam pembangunan kesehatan ke
depan, sangat ditentukan oleh adanya komitmen politis dari semua pihak, baik dari lingkungan
eksekutif, legislatif, maupun dari masyarakat termasuk swasta. Kunci sukses lainnya ditengah
keterbatasan sumber daya dalam hal pembiayaan dan tenaga adalah memprioritaskan bidang-
bidang pembangunan kesehatan, seperti Kesehatan Ibu dan Anak. Oleh karena itu, Depkes akan
menempuh 4 strategi utama, yaitu :
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat.
Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh masyarakat
berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga sadar gizi.
2. Meningkatkan akses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Sasaran utama strategi ini adalah ; Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan keseh atan yang
bermutu; setipa bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di
setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten; di setiap desa tersedia cukup obat esensial
dan alat kesehatan dasar; setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau
seluruh masyarakat di wilayah kerjanya; pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas
dan jaringannya memenuhi standar mutu.
3. Meningkatkan sistem surveillans, monitoring dan informasi kesehatan.
Sasaran utama dari strategi ini adalah : setiap kejadia n penyakit terlaporkan secara cepat kepada
desa/lurah untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat; setiap kejadian luar biasa
(KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan
dampak kesehatan masyarakat; semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan
kesehatan memenuhi syarat; terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar
kesehatan; dan berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di seluruh
Indonesia.
4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan.Sasaran utama dari strategi ini adalah : pembangunan
kesehatan memperoleh prioritas penganggaran pemerintah pusat dan daerah; anggaran
kesehatan pemerintah diutamakan untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan; dan
terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi rakyat miskin.
Pada kesempatan tersebut juga disampaikan mengenai Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. “ Berdasarkan Peraturan Presiden No.7 tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, telah
ditetapkan bahwa sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas.” kata Menteri Kesehatan. Pencapaian sasaran tersebut
tercermin dari indikator dampak pembangunan kesehatan, yaitu :
1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun.
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup.
4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak anak balita dari 25,8 % menjadi 20%.
Lebih lanjut disampaikan, bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan,
Departemen Kesehatan telah bertekad untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut :
1. Berpihak pada Rakyat.
Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Departemen Kesehatan akan selalu berpihak
pada rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah
salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan agama, dan status sosial
ekonomi.
2. Bertindak cepat dan tepat.
Dalam mengatasi masalah kesehatan, apalagi yang bersifat darurat harus dilakukan secara
cepat. Tindakan yang cepat juga harus diikuti dengan pertimbangan yang cermat, sehingga dapat
mengenai sasaran dengan intervensi yang tepat.
3. Kerjasama tim
Dalam mengemban tugas-tugas pembangunan kesehatan, harus dibina kerja tim yang utuh dan
kompak, dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme
4. Integritas tinggi.
Dalam melakasanakan tugas, semua anggota Departemen Kesehatan harus memiliki ketulusan
hati, kejujuran, berkepribadian yang teguh, dan bermroral tinggi.
5. Transparan dan akuntabilitas
Semua kegiatan pembangunan kesehatan yang diselenggarakaan oleh Departemen Kesehatan,
harus dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan
depertanggungugatkan kepada publik.

G. KEBIJAKAN PRIORITAS

1. HIV/AIDS
a. Kebijakan Program Nasional
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang
merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka program-program pencegahan dan
pengendalian HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dannorma-
norma masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan
penyebaran HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu
pengendalian harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
b. Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko,
semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2) Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup
sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta
dukungan terhadap ODHA.
3) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan
prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya
pengendalian HIV dan AIDS.
4) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi
harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan
pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.
c. Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS
dan pelayanan bagi ODHA.
2) Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota
sebagai titik berat manajemen program.
3) Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang
meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan,
kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan. Sesuai dengan
kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.
4) Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AI DS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan
mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan
sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan di beritahukan kepada yang bersangkutan tetapi
wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5) Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA dan
menerapkan prinsip:
a) Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).
b) Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif (NAPZA) suntik
melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan
 juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.
c) Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan
akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi ODHA.
d) Layanan bagi ODHA dilakukan secara holistik, komprehensif dan integratif sesuai dengan konsep layanan
perawatan yang berkesinambungan.
d. Strategi
Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:
1) Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan
program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan.
2) Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, mela lui peningkatan kapasitas
program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan
Evaluasi (ME) program dan promosi program.
3) Meningkatkan dan menguatkan sistem informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans
generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan
program pengendalian HIV dan AIDS.
4) Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan
dan upaya kegiatan program lainnya.

2. KORUPSI
Kinerja pemerintah dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun
terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
(SBY-JK) dalam memberantas korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
“Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu
sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai kewenangan KPK yang
dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta rivalitas KPK vs Polri,” terang Zainal Arifin
Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM, Senin (7/9).
Disebutkan Zainal, selain adanya upaya melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat
beberapa catatan atas kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun
terakhir. Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara lain, Inpres
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun 2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, lanjutnya, merupakan upaya untuk
meningkatkan kualitas pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efek tif
dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006 justru merupakan blunder
kebijakan yang ditempuh pemerintah. “Dengan keluarnya PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi,
khususnya bagi anggota DPRD, menjadi semakin besar,” tambahnya.
Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang anti korupsi. Dalam penyusunan
RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang
MA. Komitmen pemerintah dalam hal ini patut dipertan yakan sebab isu paling krusial tentang perpanjangan
usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir, penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua kasus yang
disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki.
Dalam konteks ini, Presiden terlihat mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan
sesuai dengan prosedur.

3. ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK


 Angka Kematian Ibu di Indonesia ternyata masih menempati urutan teratas di antara
negara-negara tetangga Asia Tenggara. Bahkan rilis yang dikeluarkan oleh Prakarsa
menunjukkan ada kenaikan yang signifikan atas AKI.
Hasil dari Survei Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa terdapat
359 AKI di antara 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini melambung ketika dibandingkan pada 2007,
dengan 228 kasus AKI di antara 100 ribu kelahiran hidup. Buruknya kondisi di atas tentu patut
disayangkan. Pada 1997, sebenarnya Indonesia pernah ditempatkan oleh WHO sebagai negara
yang berhasil dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Pada tahun itu, pemerintah mampu menurunkan angka 390 kasus AKI menjadi 334 di
antara 100 ribu kelahiran dalam kurun waktu tiga tahun. Keberhasilan yang dicapai Indonesia
pada tahun itu tidak terjadi secara instan. Dalam lembaran sejarah, satu dekade sebelumnya,
yaitu pada 1987 saat WHO meluncurkan Safe Motherhood Initiative, Indonesia langsung
menjawabnya dengan mengadakan program Making Pregancy Safer (MPS).

Tak hanya berhenti di situ, pemerintah juga mengembangkan program lainnya. Salah satu yang
dikembangkan adalah tentang hak reproduksi bagi remaja melalu i pelayanan konseling yang baik
dan benar. Melihat dari rekam jejak tersebut, tak aneh jika Indonesia pada kurun waktu antara
1980-2000 terbilang sukses untuk program KIA.
Kebijakan-kebijakan terkait kesehatan ibu dan anak sebenarnya sudah diatur dalam
beragam regulasi yang ada, seperti kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan anggaran
kesehatan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Ini tentu dimaksudkan agar
memberikan pelayanan maksimal untuk kesehatan, utamanya ibu dan anak. Namun fakta di
lapangan menunjukkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan RAPBN 2014 alokasinya
hanya sebesar Rp248 milyar atau hanya sekitar 0,54 persen dari total anggaran bidang
kesehatan. Potret seperti ini seharusnya bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk
kembali dapat memprioritaskan KIA dalam kebijkan-kebijakannya. Tidak lain tujuannya untuk
kembali memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang merosot drastis akhir-
akhir ini.

Anda mungkin juga menyukai