Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH SHARING JOURNAL

Accuracy Of Critical Care Pain Observation Tool and Behavioral Pain Scale to
Assess Pain in Critically ill conscious and unconscious patients: prospective,
observational study
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Keperawatan Kritis
yang dibimbing oleh Ns. Tina Handayani Nasution, M.Kep.

Disusun oleh :

1. Muhammad Irwan Aviludin 185070209111005


2. Margaretha Laura Cangkung 185070209111006
3. Stefilus Laki Leta 185070209111009
4. Ani Juwita 185070209111027
5. Rizki Taufikur Rahman 185070209111028
6. Christine Ivana Delphian 185070209111031

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERANN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat,
dan hidayat-Nya. Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “SHARING
JOURNAL”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Kritis yang diberikan oleh Ns. Tina Handayani Nasution, M.Kep.
Terselesainya makalah ini tidak terlepas dari tuntunan dan dorongan
semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Ns. Tina Handayani Nasution, M.Kep. selaku dosen matakuliah
Keperawatan Anak
2. Rekan-rekan mahasiswa/i yang telah memberikan bantuan serta dukungan
untuk menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.
Sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah
ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa/i perawat khususnya
perawat pada umumnya.

Malang, April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................... 2
1.3. Manfaat ................................................................................. 3
BAB II Pembahasan
2.1. Identifikasi ............................................................................. 4
2.2. Topik ..................................................................................... 4
2.3. Latar Belakang Jurnal .......................................................... 4
2.4. Metode ................................................................................. 7
2.5. Hasil ..................................................................................... 14
2.6. Pembahasan ........................................................................ 17
2.7. Apliksi di Indonesia .............................................................. 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................... 22
3.2 Saran .................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 2

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Nyeri merupakan bagian dari pengalaman sehari-hari, nyeri mempunyai sifat
yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang merasakannya.
Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu
pengalaman. Menurut The international Association for the study of pain (IASP),
nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut (Wardani,2014).

Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subyketif dan


multidimensi. Preawatan nyeri pada pasien kritis adalah akut dan memiliki banyak
sebab diantaranya yang dimulai dari proses penyakitnya, monitoring dan terapi
(perangkat ventilasi, intubasi endotrakeal), perawatan rutin seperti suction,
perawatan luka, mobilisasi, imobilitas berkepanjangan dan trauma.Nyeri sering
dilaporkan nyeri sedang-berat. Penilaian nyeri yang tepat merupakan bagian
penting dari perawatan yang berkualitas bagi pasien yang menderita sakit kritis
dan penggunaan ukuran atau skala nyeri dapat membantu dalam mengevaluasi
tehnik manajemen nyeri yang melibatkan multidisiplin untuk pasien dengan sakit
kritis nonverbal (Rosidawati,2010).

Manajemen nyeri yang tepat tergantung pada pengkajian nyeri yang


sitematis dan akurat (Priambodo,2017). Nyeri seharusnya dikaji secara rutin dan
terstruktur, tetapi hal ini seringkali tidak dilakukan. Kompleksnya pengkajian nyeri
pada area perawatan kritis memerlukan pengkajian nyeri yang komprehensif
sebagai eveluasi yang obyektif melalui pengamatan pada indicator rasa nyeri.

1.2 TUJUAN
1.2.1 TUJUAN UMUM
Melakukan telaah pada jurnal yang berjudul “Accuracy Of Critical Care
Pain Observation Tool and Behavioral Pain Scale to Assess Pain in Critically ill
conscious and unconscious patients: prospective, observational study”.

1
1.2.2 TUJUAN KHUSUS
1. Melakukan identifikasi jurnal yang dipilih
2. Menganalisis topik / masalah yang dipilih
3. Menganalisis metode yang digunakan dalam jurnal
4. Menganalisis hasil penelitian dalam jurnal yang dipilih
5. Memberikan pembahasan terhadap hasil dari penelitian
6. Memberikan pendapat tentang aplikasi hasil penelitian jurnal pada
setting pelayanan di Indonesia

1.3 MANFAAT
1. Manfaat Teoritik
Hasil analisis dari jurnal ini dapat memberikan informasi mengenai
alat yang paling efektif untuk mengukur tingkat nyeri pada pasien
kritis.
2. Manfaat Aplikatif
Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengukuran nyeri pada
praktik keperawatan kritis.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Identifikasi Jurnal


1. Judul
Accuracy Of Critical Care Pain Observation Tool and Behavioral Pain
Scale to Assess Pain in Critically ill conscious and unconscious patients:
prospective, observational study
2. Penulis Jurnal
Paolo Sevegnini, Elena Contino, Elisa Serafinelli, Raffaele Novario, and
Maurizio Chiaraanda
3. Nama Jurnal, Nama Penerbit dan Tahun Publikasi
Journal Of Intensive Care, tahun 2016
4. Topik Penelitian
Untuk mengetahui yang paling relevan dan membandingkan alat untuk
mengukur nyeri CPOT (Critical Pain Observation Tool) dan BPS
(Behavioral Pain Scale) pada pasien kritis baik sadar maupun tidak
sadar.
5. Tempat Penelitian
Dilakukan di ICU Rumah sakit “Ospedale Di Circolo Fondazione Macchi
Varese” Italia, dengan responden sebanyak 12 bed pasien.

2.2. Topik
Untuk mengetahui keefektifan/keakuratan/kerelevanan dan
membandingkan alat untuk mengukur nyeri CPOT (Critical Pain Observation
Tool) dengan BPS (Behavioral Pain Scale) pada pasien kritis baik sadar
maupun tidak sadar.

2.3. Latar Belakang Jurnal


Manajemen nyeri pada pasien dengan kondisi kritis adalah proses
yang kompleks dan sesuai dengan manajemen klinis. Nyeri atau rasa sakit
sering tidak dianggap, tetapi bagi pasien yang pernah di rawat di cu,rasa
sakit menjadi memori terburuk bahkan setelah 5 tahun keluar dari icu.
Persepsi nyeri pada pasien di icu berkaitan dengan terapi pernapasan,
pemakaian selang nasogastric, terpasang kateter vena dan arteri dan

3
kurangnya mobilisasi. Namun pada pasien, biasanya mereka tidak dapat
melaporkan rasa nyeri karena obat penenang dan intubasi,kemugkinan
mengarah pada estimasi atau perkiraan yang salah. Rasa nyeri yang disertai
dengan agitasi atau delirium telah dilaporkan karena berdampak negative
pada pasien denagn penggunaan ventilasi mekanik. Dengan demikian,
diperlukan suatu metode yang valid yang dapat digunakan untuk menilai
rasa nyeri pada pasien yang tidak sadar dengan tujuan untuk
memaksimalkan pengobatan. Pada dasarnya, di icu tidak memiliki suatu
prosedur atau pendekatan tertentu untuk mengevaluasi rasa nyeri, beberapa
alat yang digunakan di icu memiliki beberapa kelabihan dan kekurangan.
Untuk pasien sadar,cara menilainya dengan menggunakan visual
analog scale (VAS), pada pasien tidak sadar dua jenis skala yaitu behavior
pain scale (BPS) dan Critical Care pain Observation Tool (CPOT). Namun
penggunaan kedua scala ini pada pasien di icu masih kurang efektif.
Perbedaan antara CPOT dan BPS adalah cara mengevaluasi dari grekan
tubuh dan ketegangan otot. Hasil hipotesis daripenelitian ini bahwa ada
pasien kritis cala CPOT lebih bermanffat dan akurat dibandingkan BPS yang
secara khusus berfokus pada ketengan otot.

2.4. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah prospektif,
studi mono-centric yang terdaftar dalam crinicalTrials.gov. Penelitian ini
direvisi oleh komite etik local dan mendapat persetujuan yang diperoleh dari
dari kerabat atau pasien yang sudah sesuai dengan peraturan setempat.
Total responden dalam penelitian ini adalah 303 orang, dengan kriteria
inklusi pasien dengan kebuthan ventilasi mekanik invasive dan pasien yang
masuk ICU leih dari 24 jam, sedangkan untuk kriteria ekslusi pasien yang
berusia lebih dari 18 tahun, pasien yang mendapat agen penghambat
neuromuscular, pasien dengan kondisi teraplegi atau paraplegi dengan
tanda neurologis lateral berat dan pasien yang hamil. Pengamatan dilakukan
selama 3 hari berturut – turut sejak masuk ICU. Untuk Sampel daiambial dari
Staf yang terdiri dari 12 dokter dan 28 perawat icu dengan 12 tempat tidur
di unit perawatan intensif umum. Rasio pasien perawat 2:1 siang hari dan
3:1 malam hari. Dalam pelatihan ini juga libatkan staf medis juga dokter..
Sebagaian besar asuhan keperawatan dilakukan setiap pagi dan sre.

4
Perawat melakukan perawatan utnuk menjaga kebersihan, pemebrain terapi
dan memantau TTV.
Penilaian nyeri dilakukan dengan menggnakan skala CPOT dan BPS
pada pasien sadar dan tidak sadar senagkan VAS hanya pada pasien sadar
(GCS > 10 dan mampu menjawab dengan skala VAS). Skala CPOT
menyangkut 4 indkator perilaku yaitu ekspresi wajah, gerakan tubuh,
ketegangan otot dan kepatuhan terhadap ventilator. Sedangan untuk
penilaian dengan menggunakan skala BPS mencakup 3 indikator perilaku
yaitu ekspesi wajah, gersksn ekstermitas atas, dan kepatuhan dengan
ventilator. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala BPS dan
CPOT yang dieroleh pada 1 menit sebelum, selama dan 20 menit prosedur
perawatan pada pasien yang sadar dan tidak sadar
 Perawat yang dipilih adalah D3 dan menjalani spesialis dalam
perawatan intensif selama dua tahun
 Staf Medis adalah dokter bedah yanglulus dan mengambil spesialis
anastesi dan perawatan intensif selama 5 tahun dan pernah
mengikuti pelatihan . Selama penelitian doketr bertangguang jawab
untuk menilai nyeri melalui penilaian skala VAS atau perilaku.
 Untuk menilai rasa nyeri dokter menggunakan dua scala
 Untuk mendapatkan pengukuran yang stnadar sebelum, selama dan
sesudah tingkat maksimum rangsangan nyeri, peneliti menggunakan
skor skla BPS atau skor skala perilaku selama perawatan yang
dilakukan perawat di pagi hari.
 Pasien dievaluasi dengan GCS dan sedasi AGS. Para pasien sadar
diidentifikasi dengan GCS >10 dan SAS=4.

2.5. Hasil
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa BPS lebih spesifik (91,7%)
dibandingkan dengan CPOT (70,8%) sedangkan sensitifitas BPS 62,7% dan
CPOT 76,5%. Skor CPOT dan BPS secara signifikan berkorelasi dengan
VAS (p<0,0001). Sedangkan kombinasi antara BPS dan CPOT
menghasilkan 80,4%. 0001). Kombinasi BPS dan CPOT menghasilkan
sensitivitas yang lebih baik 80,4%. Ekspresi wajah adalah parameter utama
untuk menentukan perubahan skala nyeri efek ukuran = 1,4

5
Table 1 Behavioral Pain Scale, Critical Care Pain Observation Tool,
Behavioral Pain Scale and Critical Care Pain Observation Tool combination.

Kesimpulan:
Kesimpulan dari hasil penelitian (Severgnini et al., 2016) pada pasien
dengan ventilasi mekanis yang sakit kritis CPOT dan BPS dapat digunakan
untuk penilaian intensitas nyeri dengan sensitifitas dan spesifisitas yang
berbeda sedangkan kombinasi BPS dan CPOT dapat menghasilkan
peningkatan akurasi untuk mendeteksi rasa sakit di bandingkan dengan
skala saja.

Table 3 The table shows results of CPOT and BPS sensitivity and specificity

6
2.6. Pembahasan
Dalam penelitian ini, peneliti mengevaluasi dua skala rasa sakit yang
berbeda pada pasien dengan ventilasi mekanik tidak sadar dan sadar
selama perawatan. penulis menemukan bahwa:
1. CPOT (Critical Care Pain Observation) dan BPS (Behavioral Pain
Scale) secara terpisah meningkat selama asuhan keperawatan pada
pasien yang tidak sadar dan sadar memiliki korelasi yang signifikan
2. ekspresi wajah menunjukkan perubahan yang lebih besar untuk
penilaian nyeri
3. pada pasien sadar, selama perawatan, BPS menunjukkan
spesifisitas lebih tinggi, dan sensitivitas lebih rendah dibandingkan
dengan CPOT
4. kombinasi BPS dan CPOT menghasilkan akurasi yang lebih baik
untuk mendeteksi nyeri dibandingkan dengan skala nyeri individu.
Dengan demikian, hal tersebut bertentangan dengan harapan dari
peneliti, data yang di miliki oleh peneliti menunjukkan bahwa CPOT
sebenarnya setara dengan BPS dalam sensitivitas dan akurasi untuk
evaluasi nyeri karena tidak ada skala yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik satu sama lain (sensitivitas BPS 62,8% dan
spesifisitas 91,7%, sensitivitas CPOT 76,5%, dan spesifisitas 70,8%).
Dalam penelitian ini, peneliti mengevaluasi pasien yang membutuhkan
ventilasi mekanik dan dirawat di ICU umum. Beberapa penelitian
sebelumnya secara bersamaan mencatat BPS dan CPOT serta VAS.
Penelitian ini membandingkan baik BPS dan CPOT dengan VAS pada
pasien sadar selama perawatan, serta temuan yang didapatkan diterapkan
juga untuk pasien tidak sadar, menjadi penilaian nyeri dan tingkat analgesia
yang serupa pada kedua kelompok. Timbangan ini biasanya digunakan
untuk mengevaluasi rasa sakit pada pasien yang tidak sadar. Berdasarkan
data dari peneliti sendiri, menunjukkan bahwa BPS dan CPOT mungkin
memberikan informasi tentang rasa sakit pada pasien yang tidak sadar,
seperti yang ditunjukkan oleh korelasi antara VAS, BPS dan CPOT.
Pertama, penelitian ini menunjukkan korelasi antara VAS dan BPS dan
CPOT pada pasien sadar. Kedua, penelitian ini mengamati dan menemukan
temuan serupa pada pasien yang tidak sadar.

7
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan dalam
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa BPS dan CPOT meningkat
selama asuhan keperawatan dan kembali ke garis dasar dalam waktu
singkat. Kinerja diagnostik CPOT dan BPS memburuk setelah asuhan
keperawatan, menunjukkan bahwa skor ini mungkin dipengaruhi oleh
manuver klinis. Prosedur seperti mobilisasi pasif, misalnya Memutar dan
memposisikan ulang, dan pengisapan telah terbukti meningkatkan rasa
sakit. Sebaliknya, mobilisasi aktif, misalnya Rehabilitasi, mungkin dikaitkan
dengan lebih sedikit rasa sakit. Dalam penelitian ini, prosedur keperawatan
meliputi pembalikan dan reposisi, tetapi bukan penyedotan dan rehabilitasi
rutin. Rehabilitasi tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini, karena
mungkin tidak menyebabkan rasa sakit karena gerakan aktif, lebih baik
dikendalikan oleh pasien yang sadar saja. Baik BPS dan CPOT telah
dievaluasi pada pasien tidak sadar dan sadar. Penilaian nyeri serupa pada
pasien yang tidak sadar dan sadar, menunjukkan bahwa asuhan
keperawatan menyakitkan terlepas dari tingkat sedasi dan analgesia. Item
individual yang berbeda termasuk dalam BPS dan CPOT. Gerakan tonus
otot lengan dan kaki termasuk dalam CPOT tetapi tidak pada BPS. Ekspresi
wajah dan kepatuhan ventilator dicatat dalam kedua skala, meskipun
menggunakan skor individu yang berbeda. peneliti menemukan bahwa
ekspresi wajah adalah parameter paling penting yang terkait dengan
penilaian nyeri, sesuai dengan literatur sebelumnya. Penting untuk dicatat
bahwa ekspresi wajah juga lebih mudah dinilai di samping tempat tidur.
Selain itu, BPS dan CPOT menunjukkan kriteria yang baik dan validitas
diskriminan seperti yang dilaporkan sebelumnya, tetapi BPS menunjukkan
spesifisitas yang lebih tinggi tetapi sensitivitas lebih rendah dibandingkan
dengan CPOT sehingga kami tidak dapat menganggap CPOT lebih unggul
dari BPS, bertentangan dengan hipotesis kami.
Dengan demikian, kami berhipotesis bahwa dari BPS dan CPOT, skala
mungkin menghasilkan akurasi yang lebih baik untuk mendeteksi rasa sakit
dibandingkan dengan masing-masing skala saja. Akurasi dievaluasi dengan
menjumlahkan skor dari kedua skala untuk setiap pengamatan individu.
Kami menemukan bahwa selama perawatan, kombinasi BPS dan CPOT
menghasilkan sensitivitas yang lebih baik. Di sisi lain, spesifisitasnya lebih
tinggi dari CPOT tetapi lebih rendah dari BPS. Namun, itu tidak mungkin

8
untuk menilai jenis kombinasi terbaik antara kedua skala, karena prevalensi
yang lebih tinggi dari kasus positif sejati dan ukuran sampel yang terbatas.
Dalam penelitian kami, kami tidak menemukan pasien dengan delirium, dan
ini mungkin karena optimalisasi tingkat sedasi.

2.7. Aplikasi di Indonesia


BPS (Behavioral Pain Scale) mungkin cukup banyak digunakan ICU
masih belum banyak ICU yang menggunakan alat pengukuran ini, studi
pendahuluan penelitian yang dilakukan oleh PURWANA (2016) di ruang ICU
RS Moewardi Surakarta didapatkan bahwa sudah ruangan tersebut sudah
menggunakan CPOT tetapi untuk keefektifan penggunaannya masih belum
optimal dikarenakan masih baru memakainya dan banyak yang belum
mengerti.
Menurut kelompok CPOT dan BPS atau kombinasi antar keduanya
bisa dilakukan atau diaplikasikan di Indonesia, tentunya dengan pelatihan
terlebih dahulu sehingga perawat-perawat ICU dapat menggunakan skala
pengukuran tersebut dengan efektif dan dapat meningkatkan kualitas dari
asuhan keperawatan pasien dengan kondisi kritis.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Topik pada penelitian jurnal tersebut adalah Untuk mengetahui
keefektifan/keakuratan/kerelevanan dan membandingkan alat untuk
mengukur nyeri CPOT (Critical Pain Observation Tool) dengan BPS
(Behavioral Pain Scale) pada pasien kritis baik sadar maupun tidak sadar.
Metode yang digunakan pada penelitian ini prospektif, studi mono-centric
yang terdaftar dalam crinicalTrials.gov (observasional study), didapatkan
responden sebanyak 100 responden yang dilakukan penelitian selama 3
hari berturut-turut. Hasil dari penelitian ini adalah CPOT dan BPS
mempunyai hasil yang baik, BPS lebih baik dari segi sensitivitasnya, tetapi
CPOT lebih baik dari segi spesifitasnya, kombinasi antar kedua
pengukuran tersebut mendapat sensitivitas yang lebih baik dari CPOT
dengan spsifitas yang sama baiknya dengan CPOT. Aplikasi di Indonesia
sangat bisa dilakukan dengan pelatihan yang memadai.

3.2 Saran
Diperlukan pelatihan-pelatihan kepada perawat ICU untuk
mengaplikasikan alat pengukuran nyeri CPOT dan BPS atau kombinasinya
sehingga asuhan keperawatan dapat meningkat, serta diperlukannya
penelitian-penelitian lebih lanjut yang dilakukan di Indonesia sendiri.

10
DAFTAR PUSTAKA

Purwana, A. S. (2016). Evaluasi Penggunaan Alat Ukur Nyeri Critical Pain


Observational Tool ( Cpot ) Di Ruang Intensive Care Unit Rsud Dr.
Moewardi Surakarta. IOSR Journal of Economics and Finance. Retrieved
from ttp://repository.unjaya.ac.id/2463/2/Andika Singgih Purwana
%282212163%29nonfull.pdf

Severgnini, P., Pelosi, P., Contino, E., Serafinelli, E., Novario, R., & Chiaranda,
M. (2016). Accuracy of Critical Care Pain Observation Tool and Behavioral
Pain Scale to assess pain in critically ill conscious and unconscious patients:
Prospective, observational study. Journal of Intensive Care, 4(1), 1–9.
https://doi.org/10.1186/s40560-016-0192-x

Priambodo, A. P, dkk.(2016). Pengkajian Nyeri Pada Pasien kritis dengan


Menggunakan Critical Pain Observation TOOL (CPOT) di intensive care Unit.
Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran.Bandung

11

Anda mungkin juga menyukai