SHARING JURNAL
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1
D. Manfaat ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Identitas jurnal .............................................................................. 3
B. Latar belakang jurnal ..................................................................... 3
C. Studi kasus .................................................................................... 4
D. Pembahasan ................................................................................. 6
E. Manajemen PPH ........................................................................... 7
F. Aplikasi di Indonesia ...................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 12
B. Saran .. .......................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa nifas dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Asuhan masa nifas
diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun
bayinya. Diperkirakan 60 kematian ibu akibat kehamilan terjadi saat
persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama
(Saifuddin, 2009).
Kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat dan pasca
kehamilan. 75% diantaranya akibat perdarahan, infeksi tekanan darah tinggi
saat kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi tidak aman (WHO, 2014)
Indonesia merupakan negara berkembang yang masih memiliki
angka kematian ibu dan janin cukup tinggi. Target SDGs (Sustainable
Development Goals) pada tahun 2030 mengurangi angka kematian ibu
hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan data pusat kesehatan dan informasi Kemenkes,
penyebab utama kematian ibu di Indonesia tahun2010-2013 adalah
perdarahan (30,3% pada tahun 2013) dan hipertensi (27,1% pada tahun
2013) (Depkes RI, 2018).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka kelompok melakukan analisis jurnal
dengan judul “Management Of Post-Partum Haemorrhage”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis jurnal tentang manajemen perdarahan post partumm
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui manajemen perdarahan post partum berdasarkan jurnal
b. Menganalisa bagaimana penerapan hasil penelitian tentang
manajemen perdarahan post partum di Indonesia
1
D. Manfaat
1. Secara Teoritis
Dari hasil analisa jurnal tersebut dapat memberikan informasi dan
menambah wawasan tentang manajemen perdarahan post partum
kepada tenaga kesehatan.
2. Secara Aplikatif
Dari hasil analisa jurnal tersebut dapat diketahui bagaimana jika di
aplikasikan di Indonesia dan kendala-kendalanya.
2
BAB II
PEMBAHASAN JURNAL
A. Identitas Jurnal
B. Telaah Jurnal
1. Latar belakang
Mother and Babies; Reducing Risk through Audits and Confidential
Enquiries (MBRRACE-UK) meneliti tahun 2011 sampai dengan 2014 di
United Kingdom mencatat kematian maternal terjadi pada < 9 per
100.000 orang. American College of Obstetrians and Gynecologist
mengistemasikan bahwa ada 140.000 kematian maternal setiap tahun
atau ada 1 wanita setiap 4 menit. Confidential Enquiry into Maternal and
Child Heath (CEMACH) melaporkan tahun 2011 sampai dengan 2013
didapatkan perdarahan menjadi penyebab utama kematian maternal.
World Health Organinization (WHO) melaporkan 25% kematian maternal
akibat perdarahan postpartum dan diperhitungkan ada 100.000 kematian
maternal setiap tahunnya. Laporan MBRRACE yang diterbitkan pada
bulan Desember 2016, mengkonfirmasi Hemoragik Postpartum (PPH)
menempati urutan ketujuh secara keseluruhan pada penyebab kematian
maternal. PPH primer adalah bentuk perdarahan obstetrik mayor yang
paling umum.
3
Pedoman RCOG Greentop terbaru tentang “Pencegahan dan
Manajemen PPH” (2016) mendefinisikan PPH adalah kondisi kehilangan
500 ml atau lebih darah dari saluran genital dalam 24 jam setelah
kelahiran bayi. Faktor-faktor risiko yang memungkinkan terjadinya
perdarahan postpartum yaitu kehamilan ganda, riwayat perdarahan
sebelumnya, makrosomia janis, kala dua lama, retensio plasenta, distosia
bahu dan lain-lain. faktor risiko ini diharapkan bisa diantisipasi lebih awal
sehingga memungkinkan penolong mengambil langkah-langkah yang
tepat untuk memaksimalkan manajemen waktu dan pencegahan
perdarahan lanjut. Tindakan yang tepat diawal dapat membantu
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada ibu, oleh karena itu
keterampilan dokter yang terlibat dalam perawatan antepartum dan
intrapartum sangat diperlukan dimana hal tersebut ditunjang dengan
pelatihan yang memadai dalam pengaktifan prosedur gawat darurat.
2. Studi kasus
Seorang wanita berusia 29 tahun primigravida MRS dengan BMI
18kg/m2 dan berat badan 48kg. Pasien dirujuk ke konsultan klinik
karenaBMI rendah dan pemeriksaan antenatal ditemukan berat janin
rendah (tidak sesuai dengna usia kehamilan). Induksi persalinan
direncanakan pada usia 38 minggu untuk alasan yang sama. Pasien tidak
anemis pada saat MRS, dan HBnya 118 g/L pada UK 36 minggu.
Persalinan dilakukan setelah induksi dengn 10mg controlled-release
prostaglandin. Mengingat kecurigaan berat janin rendah, selama
intrapartum janin terus dimonitor secara elektronik, pemasangan akses IV
dan tim resusitasi yang tepat pada awal persalinan.
Pasien membuat kemajuan pada persalinan dan ketuban pecah saat
pembukaan serviks 4cm. Pasien melahirkan seorang bayi berat 2,4kg
dengan apgar score normal dan gas darah normal dalam waktu 22 menit
dari pemeriksaan terakhir.
4
tim multidisiplin segera datang. Melihat perdarahan yang terus menerus,
masase uterus mulai dilakukan, 5 unit syntocinon diberikan IM dan infus
syntocinon (40 unit dalam 500ml cairan Hartmann’s/Compound Sodium
Lactate dengan kecepatan 125ml/jam). Pemasangan akses kedua
dengan kanul IV yang besar dan diberikan secepatnya resusitasi cairan
intravena dengan kristaloid. Sampel darah dikirim untuk pemeriksaan
darah lengkap, serum elektrolit dan faktor pembekuan darah.
Pemasangan kateter urin dan dosis pertama hemabate (prostaglandin
F2α) 250mcg diberikan intramuskular. Plasenta yang lahir diperiksa
lengkap, tidak ada tanda robekan/tertinggalnya jaringan atau membran
plasenta. Perkiraan darah yang hilang meningkat mencapai 1.5 liter
dalam 5 menit setelah plasenta lahir. Nadi pasien 120x/m dan TD
90/50mmHg. Protokol perdarahan obstetrik mayor "code red" telah aktif
dan perencanaan transfer pasien untuk tatalaksana operasi telah dibuat.
Konsultan obstetrik dan anestesi telah diinformasikan. Dari segala
potensial penyebab perdarahan post-partum, disimpulkan bahwa atonia
uteri merupakan penyebab perdarahan pasien saat ini. Uterus kosong
dan tidak ada tanda/ bukti dari trauma genital apapun.
Dosis kedua Hemabate 250mcg diberikan IM dan pasien
dipasang tamponade intrauterin menggunakan panduan USG dengan
450 ml cairan steril. Posisi balon diperiksa dengan USG setelah mengisi
balon dengan 100ml air. Tekanan internal dari balon uterin dimaksudkan
untuk menahan perdarahan yang menetap.4 unit RBC dan 1g asam
traneksamat diberikan IV. Nadi pasien turun menjadi 100x/mdan TD naik
100/60mmHg. Total perkiraan darah yang hilang adalah 2liter.
b. Manajemen Lanjutan
Pasien di pindahkan ke ruang pemulihan, akan tetapi setelah 40 menit,
terjadi perdarahan berat dari vagina lebih dari 900mldan hasil
pengkajian dicurigai kemungkinan posisi balon berubah. TD pasien
turun 76/48 mmHg dan pasien mengalami takikardi kembali. Pasien
segera dipindahkan ke ruang operasi dan code red kembali di aktifkan.
Balon uterin di tempatkan ulang dan observasi yang cermat sementara
pasien diberikan 4 unit FFP, 2 unit Cryoprecipitate dan 1 unit platelet.
5
Pemeriksaan darah yang dilakukan saat itu kemudian menunjukan bukti
adanya DIC. Kondisi pasien mengalami perbaikan dan tidak mengalami
perdarahan lebih parah lagi. Akan tetapi pasien dipindahkan ke ICU
dewasa untuk observasi dan manajemen lebih lanjut. Balon intrauterine
pasien dikempiskan dan dilepas setelah 12 jam. Pasien tidak mengalami
perdarahan lagi dan sepenuhnya pulih. Secara total, pasien
mendapatkan 6 unit darah, 8 unit FFP, 2 unit Cryoprecipitate dan 1 unit
platelet.
Table 4 “4T penyebab perdarahan post-partum”
4T Penyebab Insiden (%)
Tone Atonia uteri 70
Trauma Laserasi, hematoma, 20
inversi, ruptur
Tissue Jaringan yang tertinggal 10
Thrombin koagulopati Jarang
3. Pembahasan kasus
Identifikasi faktor resiko antenatal penting, namun yang harus disadari bahwa
sebagian besar PPH mayor terjadi pada wanita dengan resiko rendah tanpa
faktor resiko. Sebuah strategi komperhensif yang melibatkan formulasi antenatal
dan rencana perawatan intrapartum, deteksi dini faktor resiko intrapartum,
6
penggunaan alat bantu seperti OSI (Obstetric Shock Index), rule of 30, dan
algoritma “HAEMOSTASIS” diharapkan semuanya bisa membantu untuk
mencapai hasil yang baik dan mengurangi histerektomi peripartum. Unit
pelayanan persalinan St George’s setelah mengimplementasikan manajemen
“HAEMOSTASIS” jumlah histerektomi peripartum pada perdarahan obstetrik
masif berkurang menjadi 1 dalam setahun selama 6 tahun terahir, dan tidak ada
histerektomi peripartum yang dilakukan untuk PPH atonic atau PPH traumatic.
Gambaran ini menunjukan pentingnya sistem dan manajemen nyata yang mudah
digunakan untuk mengurangi morbidiras dan untuk meningkatkan pencapaian
hasil dari penatalaksanaan PPH. Pendekatan multidisiplin dan keterlibatan
petugas kesehatan yang berpengalaman sangat penting untuk mencapai hasil
yang optimal. Semua petugas yang berkomitmen dalam memberikan perawatan
pada ibu hamil harus mendapatkan pelatihan yang adekuat dan regular melalui
pelatihan keterampilan penatalaksanaan kegawatdaruratan obstetrik.
7
dimana darah dikeluarkan selam operasi, dicampur dan dicuci untuk
menghasilkan sel darah merah dan diberikan kepada pasien untuk
ditransfusi. Penyelamatan sel tampaknya tidak memberikan dampak
kerugian pada hasil klinis. Beberapa badan institute Nasional, seperti NICE,
CMACE dan asosiasi ahli anastesi sangat mendukung penyelamatan sel
(Cell salvage) dalam praktik kebidananan. Penyelamatan sel atau Cell
salvage adalah cara mengumpulkan darah pasien pasien yang hilang
selama dan setelah operasi.
Manajemen Farmakologis dan Medis dari PPH
Hal ini menjadi penting untuk mengidentifikasi penyebab perdarahan dengan
pendekatan 4P diantaranya: pertimbangkan bentuk tonus, tissue
(jaringan),trauma dan thrombin. Rahim harus diperiksa untuk menilai apakah
miometirum dalam kondisi baik dan untuk memastikan apakah terdapat
jaringan atau tidak. Secara keseluruhan pemeriksaan melalui vagina yang
melipuit pemeriksaan mulut Rahim, didnding vagina dan perineum dengan
tujuan untuk mengidentifikasi cairan, laserasi, hematoma atau sumber lain
adanya perdarahan (trauma). Riwayat gangguan pada pembekuan darah
akan membantu dalam mengidentifikasi adanya koagulopati (thrombin).
Yang perlu diingat adalah nilai ambang batas terendah pada pengujian
koagulopati pada wanita dengan BMI rendah atau dengan riwayat anemia
sebelumnya. Penyebab utama dari PPH primer adalah atonia uteri. Setelah
atonia diatsi, pendekatan secara sistematis harus dilakukan untuk
memastikan adanya kontarksi uterus. Pedoman RCOG meyatakan bahwa
tidak ada manfaat pijat Rahim dalam profilaksis PPH, namun pada langkah-
langkah awal pada penanganan sebelumnya dilakukan massage fundus
untuk merangsang kontraksi. Foley cateter dimasukkan untuk
mengososngkan kandung kemih, pemberisn oksitoksin 5IU harus diberikan
melalui suntikan intrvena secara pelan dan pemberian infus oksitoksin (40 IU
dalam 500 ml Kristaloid isotonic dengan 125 ml/jam). Pembrian uterotonics
lain seperti ergometrin 0,5 mg diberikan secara pelan melalui IV/ IM dengan
kontarindikasi pada wanita dengan Hipertensi dan pemberian
carboprost/Hemabate (dengan dosis 0,25 mg IM, digunakan dengan hati-hati
pada wanita dengan riwayat asma), Pemberian misoprostol 800 mikrogram
juga dapat diberikan sublinguslly atau melalui dubur. Jika metode
8
farmakologis gagal, mka strategi manajemen beralih ke intervensi secara
bedah.
Manajemen Bedah
Kegagalan dalam mengontrol perdarahan denga tindakan medis, membuat
pasien harus dipindahkan ke ruangan operasi untuk dilakukan penanganan
secra bedah. Temponde balon intrauterine merupakan lini pertama yang
efektif dalam penanganan kasus atonia uteri kecuali setelah proses
konsepsi.
Penggunaan ultrasound pada balon dapat dilakukan untuk memastikan
posisi yang benar, diikuti oleh cairan 200atau 600 ml air hangat atau saline
(garam) tergantung pada ukuran ronng Rahim. Dengan tingkat keberhasilan
anatar 70-100%. Tidak ada komplikasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang, pemasangan balon daapat dilepas setelah 12 jam atau lebih awal
jika koagulopati telah diperbaiki..Uterine tamponade juga dapat digunakan
untuk mengontrol perdarahan selama operasi Caesar berlangsung.
Jika penyebab utam perdarahan adalah karena trauma, cairan
serviks, dan vagina dan laserasi harus diperbaiki. Temponade juga dapat
digunakan pada beberapa kasus laserasi pada vagina yang tidak cocok
dalam pembedahan (Rpuhnya mukosa vagina) dengan menempatkan balon
pada vagina. Temponade juga digunakan untuk mengurangi perdarahan
pada kasus hematoma pra-vaginal. Jika upaya ini gagal untuk mengurangi
perdarahan maka langkah yang tepat selanjutnya adalah laparotomy melalu
sayatan Pfannenstiel. Jika penyebab perdarahan adalah atonia uteru, maka
kompresi jahitan pada Rahim seperti B-Lynch jahitan atau yang telah
dimodifikasi. 2-4 jahitan vertical sederhana untuk menekan plasenta dalam
keadaan darurat. Komplikasi dari jahitan iniadanya nekrosis Rahim,
pyometra dan adhesi Rahim.
Tehnik bedah lainnya termasuk devaskularisasi pelvis yang
sistematis dengan ligase uterus, cabang tuba ovarium atau arteri iliac
internal. Ligasi arteri uterine ini bisa dibilang tindakan yang paling sederhana
untuk dilakukan dan berguna jika perdarahan dari dalam Rahim, tidaj
digunakan jika sumber perdarahan dari segemen yang rendah, serviks atau
vagina.
Ligasi arteri iliaka internal adalah salah satu prosedur yang paling
kompleks yang lebih memerlukan keterampilan yang lebih dalam tindakan
9
bedah. Prosedur ini membantu mengurangi perdarahan yang berasal dari
segmen bawah, ligamentum yang lebih luas atau vagina.dengan tingkat
keberhasilan 40 dan 100%. JIka rupture uterus dicurigai secra klinis,
laparotomy harus segera dilakukan sambul memastikan stabilitas
hemodinamik pasien.
Kesimpulan
10
Pendekatan denagn keterlibatan Multi-disiplin dokter senior sejak awal dan
menghindari “terlalu sedikit yang dilakukan terlambat”dapat memabntu
mengoptimalkan hasil.
Pelathan untuk meningkatkan keterampilan dan latihan rutin wajib dilakukan
pada semua staf yang bekerja di klinik antenatal dan bangsal persalinan.
Alogortma “HAEMOSTASIS” dapat membnatu mnyediakan strategi
manajemn yang sistematis.
Algoritma HAEMOSTASIS
H ASK for Help And hands On uterus (meminta bantuan dan
melatih memasage uterus
A Assess and Resucitate(Mengkaji/menilai ABC dan intravena
cairan
E Establish etiology, ensure availability of bllod and ecbolics (
Mncari penyebab, memastikan ketersediaan darah dan ecbolics
M Massage uterus
O Oxytoxcin (infus atau prostaglandin IV/IM
S Shift to theatre (Mempertimbangkan tekanan aorta/ kompresi
bimanual yang sesuai
T Temponade Ballon
A Apply compression Sutures-B e Lynch/modified ( komprsei
jahitan –B e Lynch
S Systematic Pelvic devascularisation-uterine
I Interventional Radiology
S Subtotal/total abdominal hysterectomy
sumber: (Ghosh & Chandraharan, 2017)
C. Pengaplikasiaan di Indonesia
Regulasi dalam penanganan kasus perdarahan dan komplikasi persalinan
lainnya di Indonesia telah di atur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 97 Tahun 2014. Termasuk di dalamnya tentang pelayanan
sebelum sampai dengan setelah persalinan (Kemenkes RI, 2014).
Kendala dalam manajemen perdarahan post partum di Indonesia, sebagian
besar karena keterlambatan dalam penanganan dan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang tingkatnya lebih tinggi. Pada jurnal ini alogaritma
HEMOESTASIS dapat diterapkan untuk membantu strategi manajemen
perdarahan pot-partum yang sistematis.
11
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13