Oleh:
NOVRELIA NITYSSARI (185070209111004)
VINSENSIUS JOKO (185070209111008)
CHAIRUNNISA PERMATA SARI (185070209111012)
FERDIAN WAHONO EFENDI (185070209111016)
ENI YULISTIANINGSIH (185070209111020)
TUTUT ANDAYANI (185070209111024)
ANI JUWITA (185070209111027)
RIZKI TAUFIKUR RAHMAN (185070209111028)
SAGUNG MANIK DWI P D (185070209111033)
EMA DRAKEL (185070209111042)
AINUR ROHMAH (185070209111046)
2
TINJAUAN TEORI
1.2. Epidemiologi
Di negara maju, angka kejadian kehamilan ektopik adalah 1-2% dari seluruh
kehamilan. Angka kejadian di negara berkembang insidensnya dipercaya lebih tinggi
lagi, tetapi data yang spesifik belum diketahui. Di Amerika Utara, kehamilan ektopik
terjadi pada 19,7 kasus dari 1000 kehamilan, dan merupakan penyebab mortalitas
utama pada kehamilan trimester pertama.
Secara umum, di Indonesia, kejadian kehamilan ektopik berkisar 5-6 per seribu
kehamilan. Kehamilan pars insterstisialis tuba hanya 1% dari semua kehamilan tuba.
Kehamilan ektopik ganda angka kejadiannya 1 di antara 15.000-40.000 persalinan (di
Indonesia sudah ada beberapa kasus). Kehamilan ovarial primer dan servikal sangat
jarang terjadi.(Khairani, 2018)
1.3. Etiologi
Kehamilan ektopik terganggu dapat disebabkan oleh:
a. Faktor uterus
Tumor uterus yang menekan tuba
Uterus hipoplasia dengan Tuba sempit dan berlekuk – lekuk sering disertai
dengan gangguan fungsi silia endosalping
b. Faktor tuba
Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalping
Tuba sempit, panjang dan berlekuk – lekuk
Gangguan fungsi rambut getar (silia) tuba
Diventrikel tuba dan kelainan konginetal lainnya
Operasi plastic tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna (lumen tuba
3
menyempit)
c. Faktor ovum
Migrasi eksterna dari ovum Kemungkinan migrasi eksternal, sehingga hasil
konsepsi mencapai tuba dalam keadaan blastula
Perlekatan membrane granulose Terdapat perlengketan sekitar tuba
sehingga memperkecil lumen tuba
Migrasi interna ovum
d. Faktor lain
Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
Fertilisasi in vitro
Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)
Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Infertilitas
Mioma uteri
Hidrosalping
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Bekas radang pada tuba
Kelainan bawaan tuba
Gangguan fisiologik tuba karena pengaruh hormonal
Operasi plastik/riwayat pembedahan pada tuba
Abortus buatan
Riwayat kehamilan ektopik yang lalu
Infeksi pasca abortus
Apendisitis
Infeksi pelvis
Alat kontrasepsi dalam rahim (IUD)
(Maryunani & Yulianingsih, 2009)
4
a. Nyeri perut
Merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu, yang terjadi
pada kira-kira 90-100% penderita. Nyeri bisa terjadi unilateral atau bilateral dan
bisa terjadi baik pada perut bagian bawah maupun atas. Nyeri juga bisa
dirasakan sebagai nyeri tajam, nyeri tumpul, atau kram serta bisa terus menerus
atau hilang timbul. Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara
tiba-tiba dan intensitasnya sangat berat disebabkan oleh darah yang mengalir ke
dalam kavum peritonei. Biasanya pada abortus tuba, nyeri tidak seberapa hebat
dan tidak terus menerus. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi, tetapi
setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian
tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat
merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk
hematokel retrouterina dapat ,menyebabkan nyeri saat defekasi.
b. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik terganggu, kira-kira terjadi pada 60-80% penderita. Perdarahan biasanya
mulai 7-14 hari setelah periode menstruasi yang terlewatkan/tidak terjadi.
Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus biasanya
tidak ditemukan; namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah tidak
memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Hal ini menunjukkan
sudah terjadi kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya sedikit-sedikit, berwarna
coklat tua, dan dapat terputus-putus atau terus menerus. Perdarahan berarti
gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati,
desidua dapat dikeluarkan seluruhnya.
c. Amenore
Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena kematian janin
sebelum haid berikutnya. Sifat haid terakhir harus ditanyakan secara terinci
berkenaan dengan waktu mulainya, lamanya serta banyaknya haid dan
dianjurkan pula untuk menanyakan apakah pasien merasa bahwa haidnya
abnormal.
d. Tekanan darah dan denyut nadi
Sebelum terjadi ruptur, tanda vital umumnya normal. Respon awal terhadap
perdarahan bervariasi dari tanpa perubahan tanda vital sampai bradikardi dan
hipotensi. Tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan lemah
5
(> 110 kali/menit), pucat, berkeringat dingin, kulit lembab, nafas cepat (> 30
kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar bisa terjadi bila
perdarahan berlangsung terus dan terjadi hipovolemia yang signifikan.
e. Perubahan uterus
Pada kehamilan ektopik terganggu, uterus juga membesar karena pengaruh
hormon-hormon kehamilan, terutama selama 3 bulan pertama, dimana tetap
terjadi pertumbuhan uterus hingga mencapai ukuran yang hampir mendekati
ukuran uterus pada kehamilan intrauteri. Konsistensinya juga serupa selama
janin masih dalam keadaan hidup. Uterus pada kehamilan ektopik dapat
terdorong ke salah satu sisi oleh massa ektopik tersebut.
f. Tumor dalam rongga panggul (massa pelvis)
Massa ini memiliki ukuran, konsistensi, serta posisi yang bervariasi.
Biasanya massa berukuran antara 5-15 cm, teraba lunak dan elastis. Akan
tetapi, dengan terjadinya infiltrasi tuba yang luas oleh karena darah, massa dapat
teraba keras. Hampir selalu massa pelvic ditemukan di sebelah posterior atau
lateral uterus. Timbulnya massa pelvis disebabkan kumpulan darah di tuba dan
sekitarnya. Keluhan nyeri dan nyeri tekan kerapkali mendahului gejala massa
yang ditemukan dengan palpasi.
g. Gangguan kencing
Kadang-kadang terdapat gejala beser kencing karena perangsangan
peritoneum oleh darah di dalam rongga perut.
h. Suhu tubuh
Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh bisa tetap normal atau bahkan
0
menurun. Suhu yang sampai 38 C dan mungkin berhubungan dengan
hemoperitonium dapat terjadi; namun suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai
dalam keadaan tanpa adanya infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran
yang penting untuk membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptur
dengan salpingitis akut; pada salpingitis akut, suhu tubuh umumnya di atas 38
0
C.
i. Pada pemeriksaan dalam
Nyeri goyang porsio, menonjol dan nyeri pada perabaan dengan jari,
dijumpai pada lebih dari tiga perempat kasus kehamilan tuba yang sudah atau
sedang mengalami ruptur, tetapi kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur
terjadi.
6
j. Hematokel pelvis
Pada banyak kasus ruptur kehamilan tuba, terdapat kerusakan dinding tuba
yang terjadi bertahap, diikuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke
dalam lumen tuba, kavum peritoneum atau keduanya. Gejala perdarahan aktif
tidak terdapat dan bahkan keluhan yang ringan dapat mereda. Namun darah
yang terus merembes akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus
dengan adanya perlengketan, dan akhirnya membentuk hematokel pelvis.
(Pradiptha, 2012)
1.5. Patofisiologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner.
Pada nidasi yang kolumner, telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot
endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dipengaruhi oleh kurangnya
vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan dengan mudah dapat diresorbsi
total. Pada nidasi interkolumner, telur bernidasi antara dua jonjot endosalping.
Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan
jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan mudah villi korialis menembus
endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan
dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa
faktor seperti tempat implantasi dan tebalnya dinding tuba.
Karena tuba bukan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin
janin bertumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar kehamilan
terganggu pada umur kehamilan antara 6-10 minggu.
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya
pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstisialis terjadi pada
kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah
penembusan villi korialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritonem.
Ruptur dapat terjadi secara spontan namun dapat pula karena trauma ringan seperti
koitus dan pemeriksaan vaginal. Akibat dari ruptur ini akan terjadi perdarahan dalam
rongga perut, kadang-kadang sedikit namun dapat pula banyak sampai menimbulkan
syok dan kematian.
Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen
tuba. Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars
ampullaris. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan
7
dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba
abdominale. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,
perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah sehingga berubah
menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus menyebabkan tuba
membesar dan kebiru-biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke
rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglas dan
akan membentuk hematokel retrouterina.
(Pradiptha, 2012)
8
f. Abortus induksi yang dilakukan lebih dari satu kali akan memperbesar risiko
terjadinya kehamilan ektopik. Risiko ini tidak berubah setelah satu kali menjalani
abortus induksi, namun akan menjadi dua kali lipat setelah menjalani abortus
induksi sebanyak dua kali atau lebih, kenaikan risiko ini kemungkinan akibat
peningkatan insiden salpingitis.
g. Tumor yang mengubah bentuk tuba, seperti mioma uteri dan adanya benjolan
pada adneksa.
h. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang digalakkan akhir-akhir ini telah
meningkatkan insiden kehamilan ektopik. Tapi harus diingat bahwa penggunaan
IUD modern seperti Copper T tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik dan
malahan merupakan proteksi terhadap kehamilan. Studi yang lebih besar yang
dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa pengguna IUD memiliki risiko kurang
dari 50 % untuk mengalami kehamilan ektopik dibandingkan dengan yang tidak
menggunakan kontrasepsi. Tetapi apabila pemakai IUD menjadi hamil maka
kehamilannya kemungkinan besar merupakan kehamilan ektopik. Sekitar 3-4 %
kehamilan pada pemakai IUD adalah ektopik.
(Pradiptha, 2012)
9
cepat dengan USG transvaginal dibandingkan dengan USG transabdominal.
Pada USG transabdominal biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak berisi
kantong gestasi, gambaran cairan bebas serta massa abnormal di daerah pelvis.
Sedangkan pada USG transvaginal digunakan setelah satu minggu telat haid
yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar ß-hCG serum. USG Doppler
memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat. Meskipun
USG tradisional dapat menunjukkan massa adneksa, Doppler dapat
menunjukkan bahwa massa tersebut adalah massa ektopik dengan
menunjukkan adanya aktivitas vaskular abnormal pada massa tersebut dan juga
gambaran vaskular uterin yang tenang.
c. Kuldosintesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam
kavum Douglas ada darah atau cairan lain. Serviks ditarik ke arah simfisis
dengan tenakulum, kemudian sebuah jarum panjang ukuran 16 atau 18
dimasukkan lewat forniks posterior vagina ke dalam kavum Douglas dan
kemudian dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya.
d. Kadar progesterone serum dapat dipergunakan untuk skrining tes baik pada
kehamilan ektopik maupun pada kehamilan normal terutama apabila tidak
tersedia pemeriksaan hCG dan USG. Kadar progesterone serum yang kurang
dari 5 ng/mL mempunyai sensivitas yang tinggi adanya kehamilan yang
abnormal, tetapi tidak sampai 100%.
e. Kuretase uterus untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang menandakan
adanya kehamilan intrauterin yang non viabel.
f. Laparoskopi. Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis
penyakit pada organ pelvis, termasuk kehamilan ektopik. Meskipun demikian,
laparoskopi yang aman dan berhasil memerlukan peralatan yang sempurna,
operator yang berpengalaman, ruang operasi dan biasanya tindakan anestesi
seperti pada pembedahan.
g. Laparotomi. Di samping itu, diagnosis sering dipermudah dengan inspeksi
langsung dan palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi.
Laparotomi dikerjakan bila penderita secara hemodinamik tidak stabil, dan
membutuhkan terapi definitif secepatnya.
(Pradiptha, 2012)
10
1.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik terganggu ialah
Segera dibawa ke rumah sakit
Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan hipovolemia.
Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang
dikerjakan antara lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan tuba
dan oovorektomi atau salpingoovorektomi pada kehamilan di kornu. Pada
kehamilan di kornu jika pasien berumur >35 tahun sebaiknya dilakukan
histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan fundektomi. Pada kehamilan
abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat sebaiknya diangkat
saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak dilahirkan dan tali pusat
dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan dinding perut ditutup.
(Pradiptha, 2012)
11
II. ASUHAN KEPERAWATAN
2.1. Pengkajian
a. Anamnesis dan gejala klinis
Riwayat terlambat haid
Gejala dan tanda kehamilan muda
Dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginan
Terdapat aminore
Ada nyeri mendadak di sertai rasa nyeri bahu dan seluruh abdomen, terutama
abdomen bagian kanan / kiri bawah, nyeri bertambah saat bergerak, nyeri
sedikit cukup berkurang saat istirahat, skala nyeri 5-8
Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul
dalam peritoneum.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Mulut : bibir pucat
Payudara : hyperpigmentasi, hipervaskularisasi, simetris
Abdomen : terdapat pembesaran abdomen.
Genetalia : terdapat perdarahan pervaginam
Ekstremitas : dingin
Palpasi
Abdomen : uterus teraba lembek, TFU lebih kecil daripada UK, nyeri
tekan, perut teraba tegang, messa pada adnexa.
Genetalia : Nyeri goyang porsio, kavum douglas menonjol.
Auskultasi
Abdomen : bising usus (+), DJJ (-)
Perkusi
Ekstremitas : reflek patella + / +
c. Pemeriksaan fisik umum:
Pasien tampak anemis dan sakit
Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa.
Kesadaran bervariasi dari baik sampai koma tidak sadar.
Daerah ujung (ekstremitas) dingin
Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat, adanya tanda-
tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri
lepas dinding abdomen.
Pemeriksa nadi meningkat, tekanan darah menurun sampai syok
12
Pemeriksaan abdomen: perut kembung, terdapat cairan bebas darah, nyeri
saat perabaan.
d. Pemeriksaan khusus
Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks
Kavum douglas menonjol dan nyeri
Mungkin tersa tumor di samping uterus
13
peranan untuk menegakkan diagnosa kehamilan ektopik sudah diganti oleh
USG
Laparotomi
Harus dilakukan pada kasus kehamilan ektopik terganggu dengan gangguan
hemostasis (tindakan diagnostik dan definitif).
Kuldosintesis
Memasukkan jarum kedalam cavum Douglassi transvaginal untuk menentukan
ada atau tidak adanya darah dalam cavum Douclassi. Tindakan ini tak perlu
dikerjakan bila diagnosa adanya perdarahan intraabdominal sudah dapat
ditegakkan dengan cara pemeriksaan lain.
14
2.2. Analisis Data
Data Fokus Etiologi Masalah
Tekanan darah : 90/60 mmHg Kehilangan Defisien
Normal : 120/80 mmHg cairan melalui volume cairan
Nadi : 120 x/menit rute abnormal
Normal : 60-100 x/menit
Urin output lebih dari 30ml/jam
Mukosa kering
Kulit Kering
Perdarahan per vaginam
Pembesaran abdomen dan terasa tegang
Diagnosa : kehamilan ektopik terganggu
15
dilanjutkan
Akan dilaksanakan pengangkatan fetus dan
darah yang terdapat di tuba.
2.3. Diagnosis Keperawatan
1.2.1. Defisien volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute
abnormal. Domain 2 kelas 5 kode diagnosis 00027
1.2.2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis. Domain 12 kelas 1 kode
diagnosis 00132
1.2.3. Duka cita terganggu berhubungan dengan gangguan emosional. Domain 9 kelas
2 kode diagnosis 00135
16
2.4. Intervensi Keperawatan
2.3.1. Nyeri akut b/d agen cedera biologis
Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri
teratasi/teratasi sebagian
NOC NIC
2.3.2. Defisien volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implantasi
Kriteria hasil: ibu menunjukan kestabilan/ perbaikan keseimbangn cairan yang di
buktikan oleh tanda-tanda vital yang stabil, pengisian kapiler cepat, sensorium tepat,
serta frekuensi berat jenis urine adekuat.
NOC NIC
17
Penurunan Hb √
Keterangan penilaian :
1 = berat 4 = ringan
2 = cukup berat 5 = tidak ada
3 = sedang
2.3.3. Duka cita terganggu berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang bermakna
(domain 9, kelas 2, kode dx 00136)
NOC NIC
18
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Intervention Classification (NIC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (6th ed.). Oxford:
ELSEVIER.
Dewi, T. P., & Risilwa, M. (2017). Kehamilan ektopik terganggu: sebuah tinjauan kasus. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 17(1), 26–32.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (Eds.). (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020 (11th ed.). Jakarta: EGC.
Khairani, dr Y. (2018). Epidemiologi kehamilan ektopik. Retrieved from
https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/kehamilan-
ektopik/epidemiologi
Maryunani, A., & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan dalam kebidanan. Jakarta:
Trans Info Media.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (5th ed.). Oxford:
ELSEVIER.
Pradiptha, dr. I. N. T. (2012). Laporan kasus kehamilan ektopik terganggu. Denpasar.
19