Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pada laki-laki yang berbentuk
seperti kacang kenari, kelenjar prostat terletak di dasar kandung kemih dan
mengelilingi uretra posterior, salah satu gangguan pada prostat adalah
terjadinya pembesaran yang lazimnya terjadi pada pria di atas 50 tahun.
Pembesaran kelenjar prostat dapat mengganggu mekanisme normal buang air
kecil.
Salah satu tindakan dilakukan dalam penanganan Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) adalah dengan melakukan pembedahan terbuka atau bisa
disebut open prostatectomi, tindakan dilakukan dengan cara melakukan
sayatan pada perut bagian bawah sampai simpai prostat tanpa membuka
kandung kemih kemudian dilakukan pengangkatan prostat yang mengalami
pembesaran.
Di Indonesia BPH menjadi penyakit urutan ke dua setelah penyakit batu
saluran kemih, dan secara umum diperkirakan hampir 50% pria Indonesia
menderita BPH, jika dilihat dari 200 juta lebih rakyat Indonesia maka dapat
di perkirakan sekitar 2,5 juta pria yang berumur lebih dari 60 tahun menderita
BPH.
Data yang ditemukan penulis di RSUD Sukoharjo selama 3 bulan terakhir
ditemukan 25 pasien menderita BPH dan rata-rata berumur diatas 50
tahun.Angka kejadian Benigna Prostat Hiperplasia di Sukoharjo tergolong
tinggi, serta penyakit ini perlu diwaspadai karena bila tidak segera ditangani
dapat mengganggu sistem perkemihan, efek jangka panjang yang timbul
adalah retensi urine akut, refluks kandung kemih, hidroureter, dan urinari
tract infection. Di samping itu masih banyak orang yang belum mengetahui
mengenai seluk beluk BPH, penyebab BPH, tanda dan gejala BPH, dan cara
perawatan pada klien BPH. Oleh karena itu, penulis membuat makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan: Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).”

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah konsep penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH)?
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari makalah ini yaitu:
a. Mengetahui konsep penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH).
b. Memahami asuhan keperawatan, meliputi; pengkajian, diagnosa
keperawatan, dan menentukan intervensi keperawatan klien
dengan penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)?

2
BAB II
KONSEP PENYAKIT

A. Pengertian
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia priayang terletak di
inferior kandung kemih dan dipengaruhi neoplasma jinak serta ganas.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
sebesar ± 20 gram. Pertumbuhan kelenjar prostat dipengaruhi oleh hormon
testosteron yanmg di dalam sel-sel kelenjar prostat akan diubah menjadi
metabolit aktif dihidrotetoteron (DHT) dengan bantuan enzim 5a-reduktase.
Kemudian, dihidrotestosteron secara langsung merangsang m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk menyintesis proteingrowth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat. Hingga saat ini hiperplasia prostat benigna
masih dianggap gangguan tunggal dengan berbagai gejala yang diakibatkan
oleh penuaan (Yasmara, dkk, 2017).

Gambar. anatomi kelenjar prostat. Sumber: Gosling, J.A. et.al. 2008.


Human Anatomy Color Atlas and Textbook. USA: Mosby.
Nursalam dan Baticaca (2009) mendefinisikan hiperplasia prostat benigna
sebagai pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala
urinaria. Menurut Bilotta (2012), hiperplasia prostat benigna atau yang
disingkat BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang dapat menekan uretra, sehingga menyebabkan obstruksi
kemih berat. Muttaqin dan Sari (2012), menambahkan bahwa pembesaran
progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi

3
beberapa atau semua komponen prostat yang menyebabkan penyumbatan
uretra prostatik.

Gambar. ilustrasi hiperplasia prostat benigna. Sumber:


https://en.m.wikipedia.org/wiki/benign_prostatic_hyperplasia

B. Etiologi
Etiologi terjadinya hiperplasia prostat benigna masih belum diketahui
secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan penyakit ini erat kaitannya
dengan penuaan dan testosteron. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi
dihidrtotestosteron (DHT) dibawah pengaruh enzim 5a- reduktase. DHT adalah
bentuk aktif testosteron yang mendukung pertumbuhan sel kelenjar prostat.dht
yang terbentuk bekaitan dengan reseptor androgen (RA) dan membentuk
komplek DHT-RA pada inti sel. selanjutnya terjadi sintesis protein faktor
pertumbuhan sel-sel protat.
Pada hiperplasia prostat benigna, kadar DHT tidak jauh beda dengan
kadarnya pada prostat normal, tetapi aktivitas enzim 5a-reduktase dan jumlah
RA lebih banyak . hal tersebut menyebabkan sel-sel prostat lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak dibandingkan dengan prostat
normal.
Proses penuaan menyebabkan kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap. Estrogen di dalam prostat berperan terhadap proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan meningkatkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apotisis). Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron ini diduga
menyebabkan kelenjar di prostat mengalami hiperplasia jaringan (peningkatan
jumlah sel) yang mengakibatkan prostat mengalami hipermetrofi. Selain itu
bukti terbaru menunjukkan bahwa penuaan mengakibatkan gangguan

4
keseimbangan DHT dan enzim 5a-reduktase, yang mengandung terjadinya
hiperplasia prosta (Yasmara, dkk, 2017).
Pada laki-laki, kelenjar prostat tepat berda di bawah kanung kemih,
melindungi uretra (saluran kencing). Ketika pria bertambah umur, prostat
melebar, menimbulkan tekanan di sekeliling dan menyebabkan gejala-gejala
seperti sering kencing dan retensi urin. Pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih. Retensi
urin dapat berkembang ketika tubuh sulit mengosongkan kandung kemih.
Hydronephrosis dan dilatasi ruang ginjal dan ureter adalah komplikasi retensi
urin akibat pembesaran prostat (DiGiulio, et.al, 2014).

C. Patofisiologi
Yasmara, dkk (2017) menjelaskan bahwa pembesaran prostat
menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran
urine. Dua proses yang menyebabkan obstruksi ini adalah hiperplasia dan
hipertrofi. Hiperplasia berasal dari sel-sel glanduler (stromal) di dekat uretra-
zona transisi. Penyumbatan terjadi ketika hiperplasia menyempitkan lumen
segmen uretra yang melalui prostat. Obstruksi juga terjadi ketika prostat
melampaui bagian atas leher kandung kemih sehingga mengurangi
kemampuannya untuk mengeluarkan urine sebagai respons terhadap miksi dan
saat pertumbuhan dari lobus median prostat ke dalam uretra prostatika.
Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus mengakibatkan hipertrofi
otot detrusor,trabekulasi, terbentuknya selulo, sakula, dan divertikel buli-buli.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluks vesika-ureter. Jika kondisi ini terus berlangsung, akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat menimbulkan ggagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi

5
juga disebabkan olehh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otoot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh
serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Pada BPH, terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Pada prostat normal, rasio prostat dengan epitel adalah 2:1 pada BPH, rasionya
meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan tonus otot
polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini, massa prostat
menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang
merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostaat

Sumber: Nurarif, Amin Huda &


Kusuma, Hardhi. 2015.
Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC. Jakarta:
MediaAction.

6
D. Manifestasi Klinis
DiGiulio, et.al (2014), dalam bukunya yang berjudul “Keperawatan Medikal
Bedah” menyebutkan beberapa manifestasi klinis pada klien yang menderita
BPH diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Hesitansi perkemihan, kesulitan mengawali aliran urin karena tekanan pada
uretra dan leher kandung kemih
2. Frekuensi perkemihan, sering kencing karena tekanan pada kandung kemih
3. Urgensi perkemihan, perlu ke kamar mandi segera untuk kencing karena tekanan
pada kandung kemih
4. Nocturia, perlu bangun malam hari untuk kencing karena tekanan pada kandung
kemih
5. Turunnya kekuatan aliran air kemih
6. Hematuria.

E. Pemeriksaan Penujang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan BPH dijelaskan dalam tabel berikut
ini (Doenge, et.al. 2018).
Alasan dilakukan pemeriksaan Arti pemeriksaan
Pemeriksaan darah Pada pria tanpa kanker prostat, PSA serum
1. Antegen spesifik prostat merefleksikan jumlah epitel glandula yang
(prostate-spesific antingen, menggmabarkan ukuran prostat. Karena
ASP) : Zat yang diproduksi ukuran prosat meningkat sering dengan
sendiri oleh sel kelenjar pertamabahan usia, konsentrasi PSA juga
prostat. Peningkatan hasil meningkat; meningkat pada kecepatan yang
mengindikasikan abnormal lebih cepat pada pria lansia. Akibatnya,
kelenjar prostat, baik benina rentang referensi normal yang berada
atau maligna. mungkin tepat berdasarkan usia pria.
Kanker prostat hanya satu dari banyak
penyebab potensial peningkat PSA; segala
sesuatu yang mengirigasi prostat
(mencangkup BPH) akan menyebakan PSA
meningkat, minimal sementara.
Pemeriksaan urine
1. Urinalisis : Periksaan urine 1. Urine berwana kuning, coklat hitam,
di laboratorium untuk hitam atau merah terang (darah);
memeriksa sel darah merah tampilan urine dapat keruh, pH 7

7
dan sel darah sel putih atau atau lebih besar menunjukkan
adanya infeksi atau protein infeksi; dan bakteri, sel darah purih,
yang berlebihan dan sel darah merah dapat ada
secara mikroskopi.
2. Residu pasca berkemih 2. Menentukan keparahan retensi
(postovoid residual, PVR) : urine; dapat dilakukan dengan
Volume urine yang tetap ada kateterisasi atau dengan
di kandung kemih setelah ultrasonografi transabdomen.
berkemih.
Pemeriksaan diagnostik lainnya
1. Ultrasonografi prostat 1. Mengukur ukuran prostat dan
transrektal (transrectal jumlah urine residu, menentetukan
prostatic ultrasonsound, lokasi lesi yan tidak berkaitan
TRUS) : Periksaan dengan dengan PBH. Untuk klien yang
masukan probe seperti jari mengalami peningkatan kadar PSA,
kedalam rektum dan biopsi yang dipandu TRUS dapat
membuat gambaran diindikasikan.
ultrasografi prostat. 2. Ukuran dan kontur prostat dapat
2. Pemeriksaan rektal digital dikaji, nodul dievaluasi.dan area
(digital rectal exam, DRE) : yang dicurigai malignansi dideteksi;
Pemeriksaan yang dilkukan juga membantu menentukan tonus
dengan masukan jari tangan dan flukturasi dasar panggul, seperti
yang telah terpasang sarung pada abses prostat, dan nyeri serta
tangan ke dalam rektum sensitivetas kelenjar dapat dikaji.
untuk mendeteksi
abnormalitas prostat.
3. Urofllowmetri : Mengukur 3. Hasil pemeriksaaan ini akan
jumlah urine dan kecepatan abnormal jika otot kandung kemih
aliran urine melalui alat lemah atau aliran urine mengalami
pengumpul dan skala. obtruksi. Membantu membedakan
Peralatan menciptakan kontaksibilitas kandung kemih yang
gamabaran yang buruk (kirang aktivitas detrusor) dari
menunjukkan perubahan BOO yang disebabkan oleh
dalam kecepatan aliran tiap hiperplasia prostat.
detik, mengukur kecepatan
aliran puncak, dan waktu
yang diperlukan untuk
mencapai puncak.
4. Urografi : Rangkaian 4. Menunjukan adanya sumbatan
pemeriksaan sinar X pada disaluran kemih yang menyebabkan
ginjal, ureter, dan kandung pelambtan pengosongan kandung
kemih setelah penyuntikan. kemih, retensi urine, atau adanya

8
pembesaran prostat.
5. Sistouvetrografi : 5. Dapat digunakan daripada IVP
Memunkingkan visualisasi untuk memvisualisasi kandung
kandun kemih dan uretra kemih dan uretra karena
dengan sinar X, menggunakan media kontras
menggunakan bahan konras radiopaque terlokalisasi daripada
radiopaque yang disuntikan sistemik.
melalui uretra.
6. Sistouretroskopi : 6. Dapat dilakukan pada individu
Visualisasi langsung tertentu. Menunjukkan derajat
kandung kemih dan uretra pemebesaran prostat dan perubahan
dengan alat serat optik dinding kandung kemih yang
fleksibel. berkaitan dengan trabekulasi
kandung kemih.

F. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan
oleh penyakitnya. Tabel pilihan terapi pada BPH (Nurarif & Kusuma, 2015):
Observasi Medikamentosa Terapi intervensi
pembedahan Invasif minimal
Watchful Antagonis Prostaktomi TUMT
waiting adrenergik –a terbuka HIFU
Inhibitor redukta Endourologi: Stent uretra
e-5a TURP TUNA
Fitoterapi TUIP ILC
TULP
Elektrovaporisasi
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya 1. Jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam 2. Kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
cokelat) 3. Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin 4. Kurangi makanan pedas dan asin 5. Jangan menahan
kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk kontro dengan

9
ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, penilaian
IPPs, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun residual urine. Jika keluhan
miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu untuk memilih
terapi yang lain.
Tujuan terapi medikasentosa adalah untuk:
a. Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik
b. Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang
digunakan adalah: Antagonis adrenergik reseptor-a, Inhibitor 5 a reduktase
yaitu finasteride dan dutasteride, Fitofarmaka
Sedangkan, terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan yakni teknik ablasi
jaringan prostat atau pembedahan dan teknik intrumentasi alternatif. Termasuk
ablasi jaringan prostat: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP. Laser
prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial
laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon dan stent uretra.

G. Discharge Planning
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), discharge planning yang dianjurkan untuk
klien dengan BPH dalah sebagai berikut.
1. Berhenti merokok.
2. Biasakan hidup bersih.
3. Makan makanan yang baanyak mengandung vitamin dan hindari minuman
beralkohol.
4. Berolahraga secara teratur dan berusaha untuk mengendalikan stress.
5. Menilai dan mengajarkan pasien untuk melaporkan tanda-tanda hematuria
dan infeksi.
6. Jelaskan komplikasi yang mungkin BPH dan untuk melaporkan hal ini
sekaligus.
7. Anjurkan klien untuk menghindari obat-obatan yang mengganggu
berkemih seperti obat OTC yang mengandung simpatomimetik seperti
fenilpropanolamin dingin.
8. Mendorong selalu check up.

10
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a.Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
1). Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai,
pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien
adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak
dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
2).Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP
adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat
mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat atau
meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang dirasakan
(quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu serangan, lama,
kekerapan (time).
3). Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan
Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar
urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai
miksi, urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang
dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala
untuk pertama kali atau berulang.
4). Riwayat penyakit dahulu

11
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi,
PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah
dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pasca bedah ( Sunaryo, H,
1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing
dan pembedahan terdahulu.
5). Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti :
Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
6). Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta
hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
7). Pola – pola fungsi kesehatan
a). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring
selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme
buli – buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi
dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
b). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan
minum sebelum flatus .
c). Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi
urin dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas
(Sunaryo, H, 1999: 35)
d). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang
dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.
e). Pola tidur dan istirahat

12
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f). Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu
tidak mengalami gangguan pasca TURP.
g). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP.
h). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga
tempat kerja dan masyarakat.
i). Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi
retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36
j). Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada
klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
k). Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam
menjalankan ibadahnya .
8). Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali
bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam )
pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap
stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim
Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 20 ).
a. Pemeriksaan Fisik
a). Sistem pernafasan

13
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami
kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi
tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal (Oswari, 1989 : 40).
b). Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP.
Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan
observasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui
masukan dan haluaran.
c). Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot)
dan mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
d). Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah
(Oswari, 1989 : 40) . Kaji bising usus dan adanya massa pada
abdomen .
e). Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .
Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika
terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol,
terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing
(Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan dengan
cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam
(Doddy, 2001 : 6).
f). Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
(Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan untuk klien dengan BPH
antara lain adalah sebagai berikut (Doenge, et.al. 2018).
1. Retensi urin akut b.d adanya sumbatan
Kemungkinan dibuktikan oleh:

14
- Sensai penuh kangdung kemih :menetes
- Distensi kandung kemih; urin residu (50 ml atau lebih)
2. Nyeri [akut] b.d : iritasi mukosa,distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksiurinaria; terapi radiasi
Kemungkinan dibuktikan dengan:
1. Keluhan nyeri( kandung kemih/ spasme rectal)
2. Penyempitan focus, perubahan tonus otot, meringis, prilaku distraksi,
gelisah
3. Respons otonomik
3. Ansietas
Berhubungan dengan:
4. Perubahan pada status kesehatan
5. Ancaman terhadap konsep diri
6. Ancaman tehadap fungsi peran(misal: kekhawatiran mengenai
kemampuan seksual)
Kemungkinan dibuktikan dengan
7. Peningakatan ketegangan, ketakutan, kekhawatiran
8. Melaporkan kekhawatiran akibat perubahan dalam kejadian hidup
4. Defisiensi pengetahuan [kebutuhan pembelajaran] kondisi, prognosis,
terapi, perawatan diri, dan kebutuhan pemulangan
Berhubungan dengan:
- Kurang terpajan atau mengingat, salah menafsirkan informasi
- Tidak mengenal sumber informasi
Kemungkinan dibuktikan dengan:
- Melaporkan masalah
- Prilaku yang tidak tepat-apatis,menarik diri
- Ketidakakuratan mengikuti instruksi
5. Risiko kekurangan volume cairan
Faktor risiko dapat mencakup: kegagalan mekanisme pengaturan (mis.
diuresis pascaobstruksi).
Kemungkinan dibuktiian dengan: tidak ada tanda gejala yang menetapkan
diagnose aktual.

15
C. Intervensi
No. Dx Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
1. Setelah dilakukan tindakan Mandiri
keperawatan selama 1x24 1. Anjurkan klien berkemih setiap 2 hingga 1. Dapat meminimalkan retensi urun dan
jam, diharapkan klien 4 jam dan ketika dorongan dirasakan distensi berlebihan pada kandung kemih
berkemih dengan adekuat 2. Tanya klien tentang inkontesia stress 2. Tekanan uretra tinggi menghambat
dengan kriteria hasil: ketika bergerak, bersin, batuk tertaa atau pengosongan kandung kemih atau dapat
1. Berkemih dengan jumlah mengangkat beban. menghambat berkemih hingga tekanan
yang cukup tanpa adanya abdomen cukup meningkat sehingga
distensi kandung kemih urine dapat dikeluarkan.
2. Menunjukkan residu 3. Observasi aliran urine perhatikan ukuran 3. Berguna dalam mengevaluasi derajat
pasca berkemih ≤50ml dan kekuatan obtruksi pilihan intervensi
dengan tidak adanya 4. Minta klien mendokumentasikan aktu 4. Retensi urin dan yang dapat
tetesan atau aliran dan jumlah setiap berkemih, perhatikan menyebabkan insufesiensi ginjal. Semua
berlebih penurunan haluran urinr. Ukur berat jenis deficit aliram darah ke ginjal
spesifik, jika diindikasikan. mengganggu kemampunnya untuk
menyaring dan memekatkan zat.
5. Dorongan asupan cairan oral ,jika 5. Peningkatan cairan yang bersirkulasi
diindikasikan mempertahankan perfusi ginjal dan
membilas sedimen dan baktri pada ginjal,
kandung kemih, dan ureter.

16
6. Pantau tanda vital secara cermat. 6. Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan
Observasi hipertensi,edema, perifer atau penurunan eliminasi cairan dan
dependen, dan perubahan kondisi mental. akumulasi sampah toksik
Timbang berat badan setiap hari.
Pertahankan asupan dan haluran yang
akurat.
7. Berikan dan anjurkan peraatan kateter 7. Mengurangi resiko infeksi asendens
dan perineal yang menyeluruh.
8. Rekomendasikan sitz bath jika 8. Meningkatkan relaksasi otot, penurunan
diindikasikan edema, dan dapat meningkatkan usaha
berkemih.
Kolaborasi
9. Berikan medikasi, sesuai indikasi, 9. Medikasi langkah pertama untuk klien
misalnya; denga gangguan
 inhibitor 5-α reduktase (seperti  Untuk mencegah perkembangan BPH
finaserrida dan dutastrerida) yang lebih unggul menurut studi
 antagonis alfa adrenik (seperti,  Tindakan ini dapat mengurangi gejala
alfuzosin, doxazosin, dan tamsulosin) saluran kemih yang merugikan dan
meningkatkan aliran urine.
 antibiotic anti bakteri  Diberikan untuk melawan infeksi. Dan
digunakan secara prolaksis

17
10. lakukan kateresasi untuk mengeluarkan 10. Meredakan dan mencegah retensi urine
urine residu dan biarkan kateter menetap, serta menyingkirkan adanya struktur
jika diindikasikan uretra
11. pantau pemeriksaan laboratorium (seperti 11. Pembesaran protat akan menyebabkan
BUN, Kreatinin,dll) dilatasi saluran kemih atas,ginjal yang
berpotensi mengganggu fungsi ginjal dan
menyebabkan uremia.
12. siapkan dan bantu dalam melakukan 12. Dapat diindikasikan untuk
drainase urine (seperti, Sistomi darurat) mengosongkan kandung kemih
13. siapkan untuk terapi invasive minimal 13. Untuk meyebabkan destruksi jaringan
(seperti, terapi panas: laser) prostat dan hasil jangka panjangnya
beragam dalam hal mengatasi gejala
saluran kemih
2. Setelah dilakukan tindakan Mandiri
keperawatan selama 1x24 1. Kaji nyeri (PQRST) 1. Untuk membantu menetukan pilihan dan
jam, diharapkan nyeri dapt keefektifan intervensi
teratasi, dengan kriteria 2. Plester selang drainase ke paha dan 2. Mencegah penyebarab kateter secara
hasil: kateter ke abdomen jika diperlukan traksi tidak sengaja disertai trauma uretra
1. Melaporkan nyeri 3. Berikan tindakan kenyemanan (seperti , 3. Menigkatkan relaksasi
meredan dan terkendali Masage,Posisi nyaman,latihan napas
2. Tampak relaks dalam,dll)

18
3. Mampu tidur dan Kolaborasi
istirahat dengan baik 4. Pasang kateter dan fiksasi ke drainase 4. Mengosongkan kandung kemih
yang lurus sesuai indikasi mengurangi ketegangan kangkung kemih
dan iritabilitas
5. Berikan medikasi sesuai indikasi 5. Diberikan untuk meredakan nyeri hebat
misalnya  Memberikan relaksasi fisik dan
 Oploid seperti, meperidin mental
 Antibacterial seperti methenamin  Mengurangi adanya baktreri di
hidrat saluran kemih
 Antispasmodik dan sedative seperti,  Meredakan iritabilitas kandung
flavoxate kemih
3. Setelah dilakukan tindakan Mandiri
keperawatan selama 1x24 1. Sediakan waktu untuk klien. Bina 1. Menunjukan kepedulian dan keinginan
jam, diharapkan klien akan hubungan saling percaya dengan klien untuk membantu. Mendorong diskusi
mampu melakukan dan orang terdekat tentang subjek yang sensitive
pengendalian diri tehadap 2. Berikan informasi tentang prosedur dan 2. Membantu klien memahami tujuan apa
ansietas, dengan kriteria pemeriksaan spesifik serta apa yang yang dilakukan dan mengurangi
hasil: diharapkan setelahnya, seperti kateter, kekhawatiran yang berkaitan dengan hal
1. Tampak rileks urine berdarah, dan iritasi kandung yang tidak diketahui, temasuk ketakutan
2. Mengungkapkan kemih. Sadari seberapa banyak informasi akan penyakit kanker. Akan
pengetahuan yang akurat yang ingin klien ketahui. tetapi,informasi yang berlebihan tidak

19
tentang situasi membantu dan dapat meningkatkan
3. Menunjukan rentang ansietas
perasaan yang tepat dan 3. Pertahankan prilaku tidak emosional 3. Menunjukan penerimaan dan mengurangi
pengurangan rasa takut dalam melakukan prosedur dan rasa maslu klien.
4. Melaporkan ansietas berhadapan dengan klien.
berkurang hingga ke
tingkat yang dapat
ditangani
4. Setelah dilakukan tindakan Mandiri
keperawatan selama 1x24 1. Pelajari kembali proses penyakit dan 1. Memberi dasar pengetahuan sehingga
jam, diharapkan klien harapan klien klien dapat membuat pilihan terapi
mengetahui proses penyakit berdasarkan informasi yang sudah
dan regimen terapi, dengan diberikan.
kriteria hasil: 2. Dorong klien untuk mengungkapkan 2. Membantu klien mengatasi perasaan dapat
1. Mengungkapkan ketakutan, perasaan , dan kekhawatiran menjadi hal yang penting dalam
pemahaman tentang rehabilisasi
proses penyakit, 3. Beikan informasi bahwa kondisi ini tidak 3. Dapat menjadi ketakutan yang tidak
prognosis, dan potensi ditularkan secara seksual diutarakan
komplikasi 4. Kaji terapi obat, penggunaan produk 4. Beberapa klien lebih memilih untuk
2. Mengidentifikasi herbal, dan diet( seperti meningkatkan menangani BPH dengan terapi
hubungan tanda dan asupan buah dan kacang kedelai). komplementer karena penurunan kejadian

20
gejala dengan proses penyakit dan meringankan keparahan efek
penyakit samping,seperti impotensi. Catatan:
3. Memulai perubahan gaya nutrient yang diketahui dapat
hidup atau perilaku yang menghambat pembesaran prostat meliputi
diperlukan zinc, protein kedelai, asam lemak esensial,
4. Mengungkapkan flaxseed, dan likopen. Suplemen herbal
pemahaman kebutuhan yang dapat digunakan klien meliputi
terapeutik sawpalmeta, pygeum, stinging nettle, dan
5. Berpartisipasi dalam pumpkin seed oil.
regimen terapi 5. Kaji regimen medikasi yang biasa 5. Medikasi diketahuui berhubungan dengan
gejala obstruksi perkemihan (misal
antidepresan trisklik, antihistamin
generasi pertama, agens antikolinergik,
diuretic, narkotik, dan dekongestan) dapat
memerlukan penyesuaian dosis atau
penggantian obat
6. Anjurkan membaca tabel dan diskusikan 6. Banyak obat yang dijual bebas untuk
kekhawatiran mengenai obat yang dijual meredakan gejala pernapasan atasdapat
bebas meningkatkan retensi urin. Pasien BPH
harus menghindari medikasi ini
7. Anjurkan menghindari makanan pedas, 7. Dapat menyebabkan iritasi prostat yang

21
kopi, alkohol, mengendarai mobil dalam menyebabkan kongesti
waktu lama, dan asupan cairan yang cepat
8. Bahas masalah seksual-selama episode 8. Aktivitas seksual dapat meningkatkan
prostatitis akut, berhubungan intim harus nyeri selama episode akut, tetapi dapat
dihindari, tetapi dapat membantu dalam bertindak sebagai agen massase pada
terpai kondisi kronis. penyakit kronis. Catatan: medikasi seperti
finasterida (proscar) diketahui
mengganggu libido dan ereksi. Alternative
medikasi meliputi terazosin (Hytrin),
doxazosin mesylate (Cardura), dan
tamsulosin (Flomax) yang tidak
mempengaruhi kadar testosterone
9. Berikan informasi tentang antomi dan 9. Akan membantu klien memahami dampak
fungsi seksual karena berkaitan dengan terapi yang dijalani
pembesaran prostat. Dorong pertanyaan
dan tingkatkan dialog tentang masalah.
10. Tinjau tanda dan gejala yang 10. Intervensi segera dapat mencegah
memerlukan evaluasi medis- urine kerih komplikasi yang lebih serius
dan bau; penurunan haluaran urine,
ketidakmampuan untuk berkemih; dan
adanya demam atau menggigil

22
11. Diskusikan pentingnya memberitahu 11. Mengurangi risiko terapi yang tidak
penyedia layanan kesehatan lain tentang tepat, seperti penggunaan dekongestan,
diagnosis penyakit antikolinergik dan antidepresan yang
dapat meningkatkan retensi urin dan dapat
mencetuskan episode akut
5. Setelah dilakukan tindakan Mandiri
keperawatan selama 1x24 1. Pantau haluran secara cermat. Catat 1. Diuresis yang cepat dapat menyebabkan
jam, diharapkan klien akan haluran sebesar 00-200 mL/jam volume cairan total klien menjadi kurang
mampu mempertahankan 2. Anjurkan peningkatan asupan oral 2. Klien mungkin membatasi asupan oral
hidarsi adekuat dengan berdasarkan pada kebutuhan individu sebagaiusaha untuk mengendaliakann
kriteria hasil: gejala kemih
1. ttv stabil 3. Pantau ttv 3. Memungkinkan deteksi dini dan
2. pengisian kapiler yang intervensi hipovolemi sistemik
baik 4. Tingkatkan tirah baring 4. Menurunkan beban kerja jantung
3. membrane mukos sehingga memfasilitasi homeostatsi
lembap. Kolaborasi sirkulasi
5. Berikan cairan Inta vena (salin 5. Menggantikan kehilangan cairan dan
hipovolemik jika diperlukan) natrium
(Doenge, et.al. 2018).

23
4. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (Purwanto, 2016). Implementasi merupakan
tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan;
melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan. Pada tahap ini, artinya perawat
siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam
rencana perawatan pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan,
dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999).
Disamping itu perawat juga memberikan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan
yang telah ditetapkan belum tercapai sehingga proses keperawatan dapat dimodifikasi.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperplasia prostat benigna sebagai pembesaran prostat yang mengenai uretra,
menyebabkan gejala urinaria. Hiperplasia prostat benigna atau yang disingkat BPH
(Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pembesaran kelenjar prostat yang dapat
menekan uretra, sehingga menyebabkan obstruksi kemih berat. Pembesaran progresif
dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat yang menyebabkan penyumbatan uretra prostatik.
Pada laki-laki, kelenjar prostat tepat berda di bawah kanung kemih, melindungi
uretra (saluran kencing). Ketika pria bertambah umur, prostat melebar, menimbulkan
tekanan di sekeliling dan menyebabkan gejala-gejala seperti sering kencing dan
retensi urin. Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan saluran kencing dan
tekanan di bawah kandung kemih. Retensi urin dapat berkembang ketika tubuh sulit
mengosongkan kandung kemih. Hydronephrosis dan dilatasi ruang ginjal dan ureter
adalah komplikasi retensi urin akibat pembesaran prostat.

B. Saran
Keterampilan dalam membuat asuhan keperawatan merupakan sudah menjadi
keharusan bagi mahasiswa perawat. Untuk itu penulis menyarankan agar mahasiwa
lebih sering memahami konsep asuhan keperawatan agar ketika praktik dilapangan
tidak mengalami kesulitan membuat asuhan keperawatan. Terbiasa membuat asuhan
keperawatan, maka akan semakin terampil.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bilotta, Kimberly A. J. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan.


Jakarta: EGC.

Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Alih bahasa: Monica
Ester, Setiawan. Jakarta: EGC.
DiGiulio, Mary et.al. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta; Rapha Publishing.

Doenges, M. E, et.al. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman asuhan klien


anak−dewasa. Alih bahasa: Devi Yulianti, Miskiyah Tiflani Iskandar. Jakarta: EGC.
Gosling, J.A. et.al. 2008. Human Anatomy Color Atlas and Textbook. USA: Mosby.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/benign_prostatic_hyperplasia
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta: MediaAction.
Nursalam & Baticaca, F. R. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal-Bedah II. Jakarta: PPSDM Kesehatan.
Yasmara, D., dkk (ed.). 2017. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis
NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.

26
27
28

Anda mungkin juga menyukai