Anda di halaman 1dari 13

KEYAKINAN TERKAIT PENYAKIT DAN PERAN SAKIT

A. Pengertian Sakit

Sakit adalah pandangan atau persepsi seseorang bila merasa kesehatannya terganggu. Sakit
adalah hal yang tidak mengenakan atau nyeri yang pasti dirasakan seseorang. Penyakit adalah
proses fisik dan patofisiologis yang sedang berlangsung dan dapat menyebabkan
keadaan tubuh atau pikiran menjadi abnormal.

B. Perilaku sakit (illness behavior)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit,
pengobatan penyakit, dan sebagainya.

C. Perilaku peran sakit (the sick role behavior)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hak -
hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). Hak dan
kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain
(terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the
sick role). Perilaku ini meliputi:

1) Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

2) Mengenal/ mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/ penyembuhan


penyakit yang layak

3) Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh


pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang saki t
(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada dokter/ petugas
kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)


terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan
kesehatan, makanan, serta lingkungan.

Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau
perangsangan.

Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan
sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan
stimulus atau rangsangan di sini terdiri 4 unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit,
system pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih
terinci perilaku kesehatan itu mencakup:

Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia


berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit
dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif (tindakan)
yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku
terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat -tingkat
pencegahan penyakit, yakni:

C. Regulasi Diri

1. Pengertian Regulasi diri

Definisi regulasi diri (self regulation ) juga dikemukakan oleh Maes &
Gebhardt (dalam Boeree, 2005) yaitu suatu urutan tindakan atau suatu proses
yang mengatur tindakan dengan niat untuk mencapai suatu tujuan pribadi.
Regulasi diri merupakan kemampuan mengontrol perilaku sendiri adalah salah
dari sekian penggerak utama kepribadian manusia (Bandura dalam Boeree,
2005).

Regulasi diri (self regulation) juga didefinisikan oleh Kanfer, 1990:


Karoly, 1993 Zimmerman, 2001 (dalam Porath & Bateman, 2006) sebagai suatu
proses yang memungkinkan seseorang untuk memandu aktivitasnya dengan
waktu yang lebih lama agar tercapai tujuan yang diinginkannya dan
memungkinkan juga untuk mengubah keadaannya menjadi kebalikannya,
termasuk dalam pengaturan atau pengaruh pikiran dan perilaku.

2. Proses Regulasi Diri (Self Regulation)

Proses self regulation dilakukan agar seseorang atau individu dapat


mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang
diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, social,
pengendalian emosi yang baik sehimgga membawa seseorang kepada self
regulation yang baik. Miller & Brown (dalam Neal & Carey, 2005)
memformulasikan self regulation sebanyak tujuh tahap yaitu:

a. Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah aw al


individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan informasi -
informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari
suatu masalah. Seperti kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.

b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan informasi,


langkhan berikutnya adalah menyadari seberapa besar masalah tersebut. Dalam
proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi dengan membandingkan
suatu masalah yang terdeteksi di luar diri (eksternal) denga n pendapat pribadi
(internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat
itu didasari oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu
sepanjang hidupnya yang termasuk dalam proses pembelajaran.
c. Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari suatu
proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya, timbul perasaan positif atau
negative. Individu menghindari sikap -sikap atau pemikiran-pemikiran yang tidak
sesuai dengan informasiyng didapat dengan norma-norma yang ada. Semua
reaksi yang ada pada tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan kea rah
perubahan.

d. Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses evaluasi


menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada akhir proses evaluasi
tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap individu dalam memahami
masalah. pertentangan tersebut membuat individu akhirnya menyadari beberapa
jenis tindakan atau aksi untuk mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan
untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari
permasalahan yang dihadapi.

e. Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan aspek -aspek


pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti soal waktu, aktivitas untuk
pengembangan, tempat-tempat dan aspek lainnya yang mampu mendukung
efesien dan efektif.

f. Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua perencanaan


telah teralisasi, baerikutnya adalah secepatnya megarah pada aksi -aksi atau
melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang mengarah ke tujuan dan
memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan dalam proses.

g. Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.


Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir. Pengukuran terse but dapat membantu
dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang tidak direalisasikan
itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat
sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwasannya


proses regulasi diri (self regulation) terdiri dari receiving atau
menerima, evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat suatu
perubahan, searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu
rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau mengukur
efektivitas dari rencana yang telah dibuat.

3. Aspek-aspek regulasi diri (self regulation)


Self-regulation merupakan fundamen dalam proses sosialisasi dan melibatkan
perkembangan fisik, kognitif, dam emosi (Papalia, 2001 : 223). Siswa
dengan self-regulationpada tingkat yang tinggi akan memiliki control yang baik
dalam mencapai tujuan akademisnya.

Menurut Schunk dan Zimmerman (dalam Ropp, 1999) menyatakan bahwa


self regulation mencakup tiga aspek :

a. Metakognisi

Metakognisi menurut Schunk & Zimmerman (dalam Ropp, 1999) adalah


kemampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasikan atau mengatur,
menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas
belajar.

b. Motivasi

Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) mengatakan bahwa motivasi


merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup
persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas
belajar. motivasi merupakan fu ngsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan
berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku menurut Zimmerman dan Schunk (dalam Ropp, 1999) merupakan upaya
individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan mema nfaatkan lingkungan
maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

. Pengertian Perilaku Sakit Secara ilmiah penyakit (desease) diartikan sebagai gangguan fungsi
fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit
itu bersifat objektif. Sebaliknya, sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman
menderita suatu penyakit. Menurut Von Mering, studi yang benar mengenai makhluk manusia yang
sakit berpendapat bahwa setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit,
dalam aspek-aspek fisik, mental, medikal dan sosialnya. Dalam usahanya untuk meringankan
penyakitnya, si sakit terlibat dalam serangkaian proses pemecahan masalah yang bersifat internal
maupun eksternal baik spesifik maupun non spesifik (Anderson, 2009). Tingkah laku sakit, yakni
istilah yang paling umum, didefinisikan sebagai “cara-cara dimana gejala-gejala ditanggapi,
dievaluasi, dan diperankan oleh seorang individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-
tanda lain dari fungsi tubuh yang kurang baik” (Anderson, 2009). Tingkah laku sakit dapat terjadi
tanpa adanya peranan sakit. Misalnya seorang dewasa yang bangun dari tidurnya dengan leher sakit
menjalankan peranan sakit, ia harus memutuskan, apakah ia akan minum aspirin dan mengharapkan
kesembuhan, atau memanggil dokter. Namun hal ini bukanlah tingkah laku sakit, hanya apabila
penyakit itu telah digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 17 didefenisikan secara cukup serius
sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya,
yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan tambahan atas tingkah laku peranan orang-
orang di sekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan peranan sakit.
Sebagaimana dikatakan Jaco, ketika tingkah laku yang berhubungan dengan penyakit disusun dalam
suatu peranan sosial, maka peranan sakit menjadi suatu cara yang berarti untuk bereaksi dan untuk
mengatasi eksistensi dan bahaya-bahaya potensial penyakit oleh suatu masyarakat (Anderson,
2009). Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Dalam hal ini bila seseorang sakit maka ia akan
mengalami beberapa tahapan yang dimulai dari timbulnya gejala-gejala yang menunjukkan suatu
kondisi sakit hingga si sakit mencari pengobatan. Sedangkan perilaku sehat adalah segala tindakan
yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya termasuk pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi.
Perilaku sehat ini dipertunjukkan oleh individu- individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara
medis belum tentu mereka betul-betul sehat (Sarwono, 2005). Menurut Mechanic yang dijabarkan
oleh Sarwono (2005), menjelaskan bahwa terjadi proses dalam diri individu sebelum dia
menentukan untuk mencari upaya pengobatan. Banyak faktor yang menyebabkan orang bereaksi
terhadap penyakit, antara lain : a. Dikenalinya atau dirasakannnya gejala-gejala atau tanda-tanda
yang menyimpang dari keadaan biasa b. Banyaknya gejala yang dianggap serius dan diperkirakan
menimbulkan bahaya. c. Dampak gejala itu terhadap hubungan dengan keluarga, hubungan kerja,
dan dalam kegiatan sosial lainnya. d. Frekuensi dari gejala dan tanda-tanda yang tampak dan
persistensinya. e. Nilai ambang dari mereka yang terkena gejala itu atau kemungkinan individu untuk
diserang penyakit itu. f. Informasi, pengetahuan, dan asumsi budaya tentang penyakit itu. g.
Perbedaan interperetasi terhadap gejala yang dikenalnya. h. Adanya kebutuhan untuk
bertindak/berperilaku untuk mengatasi gejala sakit tersebut. i. Tersedianya sarana kesehatan,
kemudahan mencapai Sarana tersebut, tersedianya biaya dan kemampuan untuk mengatasi stigma
dan jarak sosial (rasa malu, takut, dan sebagainya). B. Pengertian Model Regulasi Diri pada Kognisi
dan Perilaku saat Sakit Berfikir terakhir kalinya ketika terbangun di pagi hari tiba-tiba kepala kita
merasa pusing, tenggorokan kita sakit, leher kita terasa sedikit kaku dan kita tidak bersemangat
seperti biasanya. Dengan segara kita biasanya mencari tau mengapa kita menjadi seperti ini, apa
yang salah dengan tubuh kita? Mungkin kita berfikir jika kita terkena penyakit flu atau mungkin kita
harusnya tidak menghabiskan segelas wine semalam. Dampak dari situasi-situasi seperti ini
membuat kita untuk mencoba mencari tau bagaimana mengatasinya dan cara mengatasi penyakit ini
muncul berdasarkan keyakinan yang kita punya tentang bagaimana penyebab dan gejala penyakit
tersebut. Keyakinan-keyakinan ini juga dapat menentukan apa yang akan kita lakukan dan apa yang
akan kita respon atas gejala penyakit tersebut, seperti; minum obat, hanya tidur di kasur, meminum
banyak cairan, dan hal ini akan membentuk secara keseluruhan pengalaman individu saat sakit.
Keyakinan sakit kita simpan di dalam long-term memory sebagai skema-skema atau gambaran-
gambaran. Skema-skema atau gambarangambaran atas keyakinan ini dapat digagas sebagai mental
model atas penyakit yang disebut illness representations. Gambaran-gambaran ini berisi informasi
tentang potensi-potensi dari sebuah penyakit itu, gejalagejala yang diasosiasikan dengan penyakit
tersebut, dan apa yang akan kita lakukan saat mengalami penyakit tersebut (Petrie dan Weinman,
2007; Cameron dan Leventhal, 2003; Cameron dan Moss-Morris, 2004). Ada banyak berbedaan
individu didalam menggambarkan penyakitnya, contohnya ada orang yang percaya bahwa suntikan
dapat merusak tubuh dan ada yang meyakini bahwa suntikan dapat mencegah suatu penyakit.
Bagaimanapun juga ini telah menjadi perdebatan bahwa illness representations dapat menjadi
sebuah petunjuk bagaimana kita menafsirkan dan merespon saat menerima gejala-gejala dari
penyakit tersebut, seperti; gambaran-gambaran penyakit ini digunakan untuk menguraikan
bagaimana seseorang dapat mengambil keputusan dengan mematuhi saran-saran medis dari dokter
(Jessop dan Rutter, 2003; Fortune dkk, 2004). Menurut Carver, Scheier, Vohs dan Baumeister (dalam
Ogden, 2007) istilah regulasi diri sering digunakan untuk mengacu pada upaya manusia mengubah
pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam mencapai tujuan mereka. Leventhal (dalam Ogden,
2007) menjabarkan model regulasi diri ke dalam tiga tahap yaitu interpretasi, koping, dan penilaian.
Tahap pertama yaitu interpretasi, individu menginterpretasikan gejala suatu penyakit yang timbul
melalui dua jalur, yaitu persepsi gejala (symptom perception) dan pesan sosial (social messages).
Persepsi gejala (symptom perception) dimana individu memahami dan menilai sebuah gejala
berdasarkan pengalaman mereka, selain itu informasi tentang sebuah penyakit diperoleh oleh
individu dari lingkungan sosial (keluarga, teman, tetangga, media). Persepsi terhadap gejala penyakit
memengaruhi bagaimana seorang individu menafsirkan sebuah penyakit. Persepsi dipengaruhi oleh
mood dan kognisi. Interpretasi individu terhadap gejala penyakit atau masalah membentuk sebuah
representasi terhadap ancaman bagi kesehatan meliputi, identitas mencakup pemberian label pada
penyakit, penyebab dari penyakit, konsekuensi atau akibat yang ditumbulkan, rentang waktu, dan
pengobatan, selain hal tersebut, interpretasi individu terhadap sebuah penyakit memunculkan atau
menimbulkan respon emosional terhadap ancaman kesehatan berupa rasa takut, cemas, dan
depresi. Sekali individu menerima informasi tentang kemungkinan dari suatu penyakit melalui jalur
yang telah disebutkan pada paragraf di atas, menurut teori pemecahan masalah (problem solving)
maka orang tersebut akan termotivasi untuk kembali pada keadaan normal. Pada tahap selanjutnya
individu mulai mempertimbangkan dan mengembangkan strategi koping. Koping terdiri dari dua
kategori besar yaitu, pendekatan koping (mis. pergi ke dokter, beristirahat, berbicara dengan
kerabat terkait dengan emosi atau perasaan), penghindaran koping (mis. Penolakan atau
menyangkal, harapan kosong). Saat menghadapi penyakit, seseorang akan mengembangkan strategi
koping untuk kembali pada keadaan yang sehat dan normal. Taylor dan rekannya (dalam Ogden,
2007) menguraikan tiga proses yang dilakukan seseorang untuk menyesuaikan diri dalam kondisi
yang mengancam atau berbahaya (termasuk penyakit) meliputi mencari arti atau makna, mencari
keahlian, dan proses peningkatan atau perbaikan diri–saya lebih baik dari banyak orang. Ketiga
proses tersebut adalah inti untuk mengembangkan dan mempertahankan khayalan, bahwa khayalan
merupakan proses adaptasi kognitif. Pada tahap yang terakhir orang akan digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id 22 mengevaluasi strategi koping yang mereka gunakan apakah efektif atau
sebaliknya. Jika dinilai efektif, maka strategi tersebut tetap digunakan dan diteruskan, begitupun
dengan sebaliknya jika strategi tersebut dinilai tidak efektif maka orang akan termotivasi untuk
mencari alternatif lainnya. Bagaimana gambaran-gambaran persepsi atas penyakit digagas oleh
Leventhal beserta kolega-koleganya, disebut dengan self-regulation of illness cognition and behavior
atau SRM (Leventhal dkk 1984, 1997, 2003). Konsep utama dari model ini adalah suatu gagasan
bahwa individu pada dasarnya memerlukan pemeliharaan terhadap keseimbangan hidupnya seperti,
ketika mereka menghadapi suatu masalah yang mana masalah tersebut mengancam baik secara
psikis maupun fisik membuat mereka termotivasi untuk menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan
untuk mengembalikan status quo-nya. Sakit dilihat sebagai keadaan yang tidak stabil yang
berlawanan dengan keadaan normal (sehat) dan orangorang akan berusaha untuk membuat
menjadi normal kembali. Model ini bertujuan untuk memahami arti dari pengalaman saat sakit yang
dibarengi dengan problem solving. Pentingnya latihan problem solving menyajikan fungsi
selfregulatory seperti bagaimana mengenali suatu masalah untuk diinterpretasikan, direspon dan
respon tersebut dinilai yang berguna untuk mengembalikan kondisi baik fisik maupun psikis seperti
semula. Selfregulation model adalah suatu model kognitif-afektif yang menekankan hubungan
antara satu sama lain, yaitu secara kognitif representasi sakit digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 23
dengan hal-hal yang lain, dan gambaran-gambaran pengaruh sakit terhadap emosi pada individu
tersebut (lihat gambar 1). Leventhal dan kolega-koleganya berpendapat bahwa pada dasarnya
individu dapat menghadirkan suatu pesan sakit (mungkin bisa dari pengalaman sakitnya terdahulu)
melalui penerimaan gejala atau menjadi waspada atas informasi-informasi dari sumber-sumber lain
seperti diagnosa dokter. Suatu informasi seperti ini diterima oleh individu dan masuk menjadi status
yang disequilibrium yang mana hal ini membuat individu untuk berusaha kembali ke status-quo nya.
Tahap pertama dari model ini adalah untuk menentukan arti dari suatu masalah penyakit tersebut
dengan mengakses, memanggil, dan menggunakan illness representations (gambaran penyakit).
Illness representations dibangun berdasarkan pengalaman atas sakit termasuk pengalaman pribadi,
mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang lain seperti media atau mengetahui pengalaman-
pengalaman atas sakit yang mirip dari orang lain. SRM bertujuan untuk menggambarkan suatu
penyakit melalui lima komponen keyakinan: identity, timeline, control/cure, consequences, dan
cause. a. Identity merujuk pada the illness label dan simton-simtom yang sesuai dengan label
penyakitnya. b. Timeline adalah keyakinan tetang berapa lama penyakit itu akan berakhir, mungkin
penyakit ini adalah penyakit akut, kronis atau penyakit musiman saja yang akan hilang dengan
sendirinya. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 24 c. Consequences adalah komponen yang
merefleksikan harapan individu tentang dampak dari penyakit itu sendiri baik dari fungsi fisik
maupun psikis. Terakhir adalah d. Cause, merujuk pada keyakinan tentang apa yang mungkin
menyebabkan terjadinya penyakit tersebut melalui pengalaman sakit individu lain atau mungkin
memang dari pengalaman individu itu sendiri, tergantung pada penyakit apa yang pernah diderita
beserta simtom-simtom yang terkait. e. Control/Cure merujuk pada keyakinan tentang seberapa
jauh penyakit ini dapat dikontrol (bisa dari internal individu itu sendiri atau dari tenaga medis
professional) melalui obat-obatan atau mengubah perilaku menjadi lebih sehat. Beberapa stimulus
panyakit yang muncul, illness representations aktif didalam long-term memory dan gambaran sakit
ini dibentuk berdasarkan dengan membandingkan antara keadaan sakit yang dahulu dengan
keyakinan yang tersimpan sekarang. Gambaran penyakit ini dapat menjadi prediktor terhadap
bentuk-bentuk coping apa yang tepat dan efektif untuk mengatasi kondisi sakitnya dan untuk
mengembalikan status nya menjadi sehat. Jika keadaan sakit masih berkelanjutan, individu akan
memodifikasi representasi atas penyakitnya (dengan mengubah keyakinannya yang dihubungkan
dengan bagaimana control terhadap penyakitnya, apa penyebab sakit yang dirasa, dll) yang mana
akan menghasilkan suatu bentuk respon coping yang baru dan proses penilaian yang baru terhadap
penyakitnya. Simton-simtom dan stimulus yang dirasa/diterima juga akan membangkitkan reaksi
emosi, contohnya seperti emosi ketakutan yang dihubungkan dengan melihat bahwa ada perubahan
ukuran dan bentuk tahi lalat pada kulit, ini merupakan sebuah gambaran emosi atas penyakit.
Gambaran emosi atas penyakit menjadi petunjuk atas respon coping, dan bertujuan untuk
mengurangi perasaan negatif yang dihubungkan dengan simtom-simtom yang dinilai mempengaruhi
regulasi diri individu atas penyakitnya. Gambaran emosi (emotional representations) atas penyakit
ini aktif secara bersamaan dengan gambaran atas penyakit itu sendiri (illness representations).
Gambar 1. Model regulasi diri dari Leventhal (dalam Ogden, 2007) Mayoritas studi yang menerapkan
dan mengeksplore SRM ini lebih memberikan perhatian kepada pengujian bagaimana bentuk illness
representations pada penyakit kronis dan akut (seperti chronic fatigue syndrome oleh Moss-Morris
dkk pada tahun 1996, rheumatoid arthritis oleh Charlisle dkk pada tahun 2005), untuk memprediksi
perilaku sehat (seperti adherence to cardiac rehabilitation programmes oleh Whitmarsh dkk pada
tahun 2003), dan respon atas diagnosis (oleh Hagger dan Orbell – 2006). Kesungguhan atas studi-
studi ini menjadi langkah untuk mengembangkan The Illness Perceptions Questionnaire (IPQ) untuk
mengukur kelima komponen atas illness representations (Weinmann dkk, 1996), IPQ juga melalui
revisi dengan memasukkan komponen emotional representations of illness (Moss-Morris dkk, 2002;
Hagger dan Orbell, 2005). Studi tentang Illness Representations pada penyakit kanker payudara, 249
wanita yang terdiagnosis bebas dari tumor jinak atau yang sudah terdiagnosis memiliki kanker
payudara dan telah menyelesaikan IPQ (Anagnostopoulos dan Spanea, 2005). Hasil menunjukkan
bahwa wanita yang tidak memiliki penyakit yang “membahayakan” cenderung membesar-besarkan
konsekuensi yang negative, yang secara lingkungan (eksternal) terlihat lebih merasakan penyebab-
penyebab penyakitnya, dan memiliki keyakinan yang lemah untuk mengontrol dan menyembuhkan
kondisi sakitnya daripada wanita yang memiliki penyakit yang “membahayakan”. Studi lain juga
menguji tentang bagaimana peran gambaran penyakit terhadap perilaku sehat. Sebagai contoh,
Lawson, dkk pada tahun 2004 melaporkan studi cross-sectional comparative tentang orang yang
memiliki penyakit diabetes dan sangat peduli dengan penyakitnya dengan orang yang memiliki
penyakit diabetes tetapi tidak berobat ke klinik selama kurang lebih 18 bulan. Orang yang memiliki
penyakit diabetes dan tidak ke klinik melaporkan bahwa memiliki sudut pandang negatif yang tinggi
dan mengontrol kondisi nya secara berlebihan, lebih pesimis tentang berapa lama penyakit tersebut
dapat sembuh dan memiliki keyakinan bahwa konsekuensi atas penyakitnya lebih berat. Studi lain
oleh Whitmarsh dkk pada tahun 2004 tentang apakah ada perbedaan antara pasien yang
mengunjungi tempat rehabilitasi terkait masalah jantung dengan pasien yang tidak mengunjungi
tempat rehabilitasi. Orang-orang dengan masalah jantung yang mengunjungi tempat rehabilitasi
memiliki persepsi yang lebih baik atas simtom penyakitnya dan lebih menanggapi serius atas
konsekuensi penyakitnya. Orang-orang yang mengunjungi tempat rehabilitasi lebih menunjukkan
menggunakan strategi coping problem–focused dan emotion-focused dimana orang yang tidak
mengunjungi tempat rehabilitasi lebih menggunakan strategi coping yang maladaptif. Studi terakhir
juga menggunakan illness representations subjek tentang penyakitnya dengan desain intervensi
yang bertujuan untuk mendorong ke perilaku sehat yang protektif. Studi randomized experiment di
salah satu rumah sakit oleh Petri dkk pada tahun 2002 menguji bagaimana teknik intervensi
terhadap individu yang memperlihatkan perubahan yang tidak akurat atas kondisinya dan yang
mengalami persepsi negative atas penyakit serangan jantungnya, akan mempengaruhi bagaimana
perilaku individu tersebut menunjukkan peningkatan proteksi kesehatan atas penyakitnya. Hasil
menunjukkan bahwa teknik intervensi group menghasilkan keyakinan positif yang lebih terhadap
kondisi penyakitnya, daripada pasien yang meninggalkan rumah sakit dan tidak mendapatkan
intervensi menunjukkan memiliki simtom fewer angina dalam kondisi yang lama. Mekanisme-
mekanisme intervensi atas illness representations terhadap penyakit spesifik yang maladaptif
berguna untuk membuat perbaikan adaptasi pengalaman terhadap penyakit secara berkelanjutan
dan untuk memperbaiki fungsi-fungsi terkait didalam illness representations-nya. Model regulasi diri
(kognisi dan perilaku) atas penyakit sangat mempengaruhi cara kerja bagaimana individu
mengidentifikasikan dan merespon ancaman dan onset atas penyakitnya dengan menekankan
interaksi yang dinamis antara representasi kognitif (gambaran atas sakit) dengan representasi emosi
yang dialami atau simtom-simtom penyakit yang pernah dialami individu, Model regulasi diri ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana strategi coping individu terhadap suatu masalah,
bagaimana pentingnya menilai respon terhadap penyakitnya secara efektif. Perspektif model
regulasi diri ini memberikan reaksi yang berbeda diantara individu satu sama lain saat didapat
kondisi yang mengancam kesehatannya, seperti memberikan penjelasan yang potensial terhadap
perilaku yang maladaptif ketika sakit, dengan tidak patuh untuk minum obat atau tidak memenuhi
saran dokter, dan model regulasi diri ini dapat menjadi desain intervensi yang efektif untuk
memotivasi perilaku sehat yang protektif.

REPRESENTASI REAKSI EMOSI

1. Rasa takut

Ketakutan adalah emosi kuat yang memerankan peran penting bagi Anda untuk bertahan
hidup. Saat Anda merasakan emosi ini, otot menjadi tegang, jantung berdetak lebih cepat,
dan pikiran jadi lebih waspada.

Misalnya, ketika dalam keadaan bahaya, rasa takut akan muncul dan menimbulkan respon
untuk mempertahankan diri, seperti lari atau meminta bantuan orang lain. Maka itu, setiap
orang dibekali jenis emosi ini supaya dapat merespon ketika berada dalam bahaya.

Ketakutan dapat meliputi berbagai ekspresi, seperti:

 Ekspresi wajah yang takut; melebarkan mata dan menundukkan kepala


 Berusaha untuk sembunyi, menghindar, atau berani menghadapi ancaman
 Tubuh berkeringat, detak jantung dan napas jadi cepat

Ketakutan biasanya muncul ketika ancaman terjadi secara langsung. Emosi ini akan
menumbuhkan dan memupuk rasa berani, sehingga akan membuat Anda lebih tangguh
ketika mengalami kondisi yang sama.

2. stres

Stres adalah gangguan mental yang dihadapi seseorang akibat adanya tekanan. Tekanan ini
muncul dari kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhan atau keinginannya. Tekanan ini bisa
berasal dari dalam diri, atau dari luar.
Stres tidak selalu buruk, walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, karena stres
memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi hasil.[1] Sebagai contoh,
banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang
mepet sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka dan kepuasan yang
mereka dapatkan dari pekerjaan mereka.[1].
Stres bisa positif dan bisa negatif.[1] Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres
yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi sangat berbeda dari stres hambatan,
atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan.[2] Meskipun riset mengenai stres
tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres
tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan.[2]
Beberapa ahli mendefinisikan stres sebagai:

 Respon non spesifik dari tubuh di setiap tuntutan[3].

 Suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai sesuatu
kesempatan di mana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau
penghalang[4].
 Adanya ketidakseimbangan antara tuntutan (fisik dan psikis) dan kemampuan
memenuhinya. Gagal dalam memenuhi kebutuhan tersebut akan berdampak krusial[5].

 Stres merupakan tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun secara mental terhadap
suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya
terancam[6].

3. rasa cemas

Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia.
Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu
perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan
diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005:66). Kecemasan adalah
sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan
merupakan reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan
bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi (Savitri
Ramaiah, 2003:10).

4. suasana hati yg negatif

Theory of Planned Behavior (TPB) seringkali digunakan dalam berbagai penelitian


(research) tentang perilaku. Biasanya TPB digunakan sebagai variabel intervening untuk
menjelaskan intention (niat) seseorang yang kemudian menjelaskan perilaku orang
tersebut.

Apa yang dimaksud dengan Teori Perilaku Terencana atau Theory of planned behavior?

Teori ini yang awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA), dikembangkan di
tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas oleh Icek Ajzen dan
Martin Fishbein.
Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan
untuk mengembangkan intervensi-intervensi yang lebih mengena. Pada tahun 1988, hal
lain ditambahkan pada model reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian
dinamai Theory of Planned Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurang dekatan yang
ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein melalui penelitian-penelitian mereka dengan
menggunakan TRA (Achmat,2010).

Teori perilaku terencana memiliki 3 variabel independen.

 Pertama adalah sikap terhadap perilaku dimana seseorang melakukan penilaian atas
sesuatu yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
 Kedua adalah faktor sosial disebut norma subyektif, hal tersebut mengacu pada
tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
 Ketiga anteseden niat adalah tingkat persepsi pengendalian perilaku yang, seperti yang
kita lihat sebelumnya, mengacu pada persepsi kemudahan atau kesulitan melakukan
perilaku, dan diasumsikan untuk mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai
antisipasi hambatan dan rintangan (Ajzen, 1991).

blob.jpg1844×969 174 KB

Teori perilaku terencana membedakan antara tiga jenis kepercayaan (belief)


yaitu behavioral belief, normative belief, dan control belief, dimana hal tersebut
terkait dengan konstruksi sikap (attitude), norma subyektif (subjective norm), dan kontrol
perilaku yang dirasakan (perceived behavior control).
Perlunya perbedaan ini, terutama perbedaan antara attitude dan normative beliefs (dan
antara attitude dan subjective norm) kadang-kadang dipertanyakan (misalnya, Miniard &
Cohen, 1981).

Hal tersebut cukup bisa dikatakan bahwa semua keyakinan mengasosiasikan perilaku
menarik dengan atribut dari beberapa jenis, baik itu suatu hasil, harapan normatif, atau
sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku.

Dengan demikian mungkin untuk mengintegrasikan semua keyakinan tentang perilaku


yang diberikan untuk mendapatkan ukuran keseluruhan perilaku disposisi. Keberatan
utama untuk pendekatan seperti itu adalah bahwa hal itu mengaburkan perbedaan yang
menarik, baik dari teori dan dari sudut pandang praktis.

Secara teoritis, evaluasi pribadi dari perilaku (attitude), perilaku sosial yang diharapkan
(norma subyektif), dan self-efficacy dengan perilaku (perceived behavioral control)
adalah konsep yang sangat berbeda masing-masing memiliki tempat yang penting
dalam penelitian sosial dan perilaku.

Selain itu, sebagian besar penelitian tentang Theory of Reasoned Action (TRA) dan
pada Theory of Planned Behavior (TPB) telah jelas menetapkan utilitas dari
perbedaan dengan menunjukkan bahwa konstruksi yang berbeda adalah hubungan
antara niat dan behavior (Ajzen,1991).

Berikut bagan hubungan antar variabel yang ada pada Theory of Planned Behavior.

Gambar Theory of Planned Behavior (Sumber Ajzen, 2005; hlm 118)

Hubungan antara ketiga dimensi penentu niat dan perilaku dapat dilihat di Gambar 1,
dengan penjelasan singkat dari masing-masing komponen sebagai berikut:

1. Attitude towards the behavior, di dalam tulisan ini disebut Sikap


Ajzen (2005) mengemukakan bahwa sikap terhadap perilaku ini ditentukan oleh
keyakinan mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau secara singkat disebut
keyakinan-keyakinan perilaku (behavioral beliefs). Keyakinan berkaitan dengan
penilaian subjektif individu terhadap dunia sekitarnya, pemahaman individu mengenai
diri dan lingkungannya, dilakukan dengan cara menghubungkan antara perilaku tertentu
dengan berbagai manfaat atau kerugian yang mungkin diperoleh apabila individu
melakukan atau tidak melakukannya.

Keyakinan ini dapat memperkuat sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan
evaluasi yang dilakukan individu, diperoleh data bahwa perilaku itu dapat memberikan
keuntungan baginya (Gambar Keyakinan sebagai sumber informasi dari intensi dan
perilaku ). Ilustrasi berikut dapat memperjelas keterkaitan keyakinan dan evaluasi dalam
membentuk sikap terhadap perilaku tertentu.

Misalnya, sikap terhadap penggunaan email untuk mengkomunikasikan hal-hal yang


berkaitan dengan pekerjaan (A). Salah satu manfaat yang dipersepsi individu dari
menggunakan email adalah dapat mengkomunikasikan dengan cepat.

Pernyataan bahwa penggunaan email dapat membantu individu mengkomunikasikan


hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan cepat adalah sesuatu yang netral dan
bersifat objektif. Pemahaman ini dapat diperoleh individu berdasarkan pengalaman
langsung atau dapat juga dari cerita dan pengalaman orang lain.

Seberapa kuat keyakinan individu mengenai penggunaan email (b) dalam mempercepat
(i) komunikasi yang berkaitan dengan pekerjaannya sehari-hari bersifat subjektif.
Berdasarkan evaluasi (e) yang dilakukan individu selama ini bahwa mengkomunikasikan
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dengan cepat (i) membuatnya merasa lebih
puas dan senang.

Perasaan senang dan puas merupakan perasaan subjektif individu yang sangat spesifik,
dapat berbeda dengan yang dirasakan orang lain karena sudah ada pengaruh harapan,
dalam hal ini pekerjaan yang berkualitas maupun cepat dan nilai-nilai yang dianut
individu.

Apabila karena sesuatu hal seorang individu tidak mengharapkan dapat


mengkomunikasikan halhal yang berkaitan dengan pekerjaannya dengan cepat maka
evaluasi yang diberikan mungkin rendah. Interaksi antara kekuatan keyakinan individu
mengenai meningkatnya kecepatan komunikasi melalui email dengan rasa puas karena
komunikasi yang dilakukan menjadi lebih cepat inilah yang menentukan sikap individu
berupa suka atau tidak suka menggunakan email dalam bekerja.

Contoh manfaat penggunaan email yang lain misalnya adalah mudah didokumentasi
(b1), dapat dilakukan di mana saja (b2), mudah digunakan (b3) dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai