Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengetahuan kita tentang dan harapan kita atas orang-orang lain pertama kali
ditemukan oleh kesan yang kita bentuk dari mereka. Pandangan sepintas pada
potret seseorang yang lewat di jalan akan memberikan gambaran tentang manusia
yang bagaimana orang itu; bahkan mendengar sebuah nama cenderung membuat
kita terbayang akan pemilik nama tersebut. Jika dua orang bertemu , meski hanya
sekejap, mereka saling membentuk kesan satu sama lain. Dalam hubungan
selanjutnya mereka membentuk kesan lebih mendalam yang menentukan perilaku
mereka satu sama lain, apakah mereka akan sering bekerja sama, dan sebagainya.
Orang menggunakan informasi apa saja yang dapat diperoleh guna membentuk
kesan terhadap orang lain, untuk menilai kepribadian serta hipotesis mereka
tentang macam orang yang bagaimana mereka itu.
Orang cenderung membuat kesan panjang lebar atas orang lain berdasarkan
informasi terbatas. Hanya dengan melihat seseorang atau sebuah potret selama
beberapa menit saja, orang sudah cenderung menilai sebagian besar karakteristik
orang tersebut. Meski biasanya individu tidak terlalu percaya pada pendapat yang
dibentuk dengan cara demikian, namun mereka umumnya bersedia menilai
inteligensia, usia, latar belakang, ras, agama, tingkat pendidikan, kejujuran,
kehangatan orang lain, dan sebagainya. Mereka juga menceritakan seberapa besar
rasa suka mereka terhadap seseorang jika mereka telah mengenalnya lebih jauh,
dan berapa besar rasa suka mereka terhadap orang itu sekarang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara membuat kesan pertama pada orang lain ?
2. Prasangka apa yang mempengaruhi kesan ?
3. Jenis informasi apa yang dipakai untuk sampai pada kesan tersebut ?
4. Bagaimana akuratnya kesan tersebut ?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana cara membuat kesan pertama pada orang lain.
2. Untuk mendeskripsikan prasangka apa yang mempengaruhi.
3. Untuk mengetahui jenis informasi yang dipakai untuk sampai pada kesan.
4. Untuk memahami akuratnya suatu kesan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kesan Pertama


Aspek kesan pertama yang paling penting dan kuat adalah evaluasi. Kesan kita
saat itu dapat tersusun atas berbagai dimensi lain: dia mungkin kelihatan
bersahabat, senang ngobrol, dan ringan tangan. Akan tetapi semua ciri khusus ini
secara fundamental terikat pada pernyataan apakah kita menyukainya atau tidak.
Secara lebih formal, dimensi evaluatif merupakan dimensi yang paling penting di
antara sejumlah dimensi dasar yang mengorganisasi kesan gabungan tentang
orang. Hal ini diperlihatkan dalam karya Osgood, Suci, dan Tannembaum (1957)
tentang apa yang dinamakan deferensial sematik. Dalam telaah mereka, para
subjek diberi daftar pasangan unsur dan diminta menunjukkan unsur mana yang
paling dekat dengan orang dan objek. Daftar itu terdiri dari pasangan unsur,
seperti bahagia-sedih, baik-buruk, kuat-lemah, dan panas-dingin, serta daftar yang
harus di tempatkan subjek mulai dari Ibu sampai batu besar. Contohnya, subjek
harus menilai apakah “ibu” paling dekat dengan “bahagia” atau “sedih” dan
selanjutnya. Osgood dan sejawatnya kemudian menganalisa respon yang
diberikan guna melihat apakah muncul kelompok yang dapat dipandang sebagai
dimensi dimensi dasar yang menguraikan semuanya. Tiga dimensi dasar
menjelaskan sebagian besar pembagian kelas, yakni: evaluasi (baik-buruk),
potensi (kuat-lemah), dan aktivitas (aktif-pasif).
Para ahli riset menyimpulkan bahwa evaluasi merupakan dimensi utama yang
mendasari persepsi semacam itu, disamping potensi dan aktivitas yang juga
memainkan peranan lebih kecil.
Kebanyakan riset lain menunjang hipotesis bahwa evaluasi merupakan dimensi
dasar paling penting dari persepsi seseorang. Rosenberg, Nelson, dan
Vivekananthan (1968), misalnya menemukan bahwa orang mengevaluasi orang
lain sesuai dengan kualitas intelektual atau yang berhubungan dengan tugas
terpisah mereka, dan kualitas sosial atau interpersonal mereka, paling tidak untuk
beberapa waktu, walaupun demikian, perbedaan ini tidak merubah ciri dasarnya,

3
yakni: Manusia pertama-tama berpikir sesuai dengan rasa suka dan tidak suka
jika melihat orang lain.

Kesan Menyeluruh
Para psikolog mempunyai dua pandagan pokok mengenai kesan menyeluruh ini,
yaitu yang satu memberikan tekanan kepada segi belajar dan yang lain pada faktor
kognitif. Sebagaimana diterapkan pada pembentukan kesan, pendekatan belajar
telah berkembang menjadi prinsip penyamarataan (Anderson, 1965). Cara
kerjanya sebagai berikut: misalnya Dewi baru bertemu dengan teman kencan yang
baru dikenalnya lewat teman dekatnya Amir. Dengan cepat Dewi memperlihatkan
bahwa Amir seorang humoris, bijaksana dan sopan, namun bertubuh pendek dan
berbusana buruk. Dewi memproses informasi ini berdasarkan penilaian positif dan
negatifnya ciri-ciri tersebut menurut perkiraannya.
Variasi lain dari model penyamarataan ialah model menambahkan (additive
model). Model ini menyebutkan bahwa orang mempersatukan potongan-potongan
informasi yang terpisah-pisah dengan jalan menambahkan nilai ukuran dan bukan
membuat rata-ratanya. Perbedaan besar terjadi jika orang tersebut
dikonfrontasikan dengan dua potong informasi di sisi nol yang sama, dimana yang
satu lebih ekstrim dari yang lainnya.
Dalam serangkaian eksperimen yang teliti dan cermat, Norman Anderson (1959,
1965) telah mengahsilkan bukti kuat guna menduga model rata-rata. Dia
menemukan jika ada sepotong informasi yang cukup menguntungkan
dikombinasikan dengan kesan sangat menguntungkan sebelum itu, maka evaluasi
menyeluruh tidak meningkat, malahan menurun. Sejalan dengan itu, dua ciri
sangat negatif dibandingkan dua ciri sangat negatif ditambah dua ciri cukup
negatif.
Sebagai hasil riset lebih lanjut, Anderson menyarankan untuk mengembangkan
lebih lanjut pembentukan kesan secara lebih akurat yakni model rata-rata yang
berpengaruh (1968). Menurut model ini, orang membentuk kesan menyeluruh
dengan memukulratakan semua ciri, tetapi memberikan perhatian lebih besar
kepada apa yang mereka anggap penting.

4
Konsistensi
Evaluasi juga memperkenalkan pemutarbalikkan dan ketidak akuratan dengan
berbagai cara berbeda. Yang pertama ialah bahwa orang cenderung membentuk
karakteristik konsisten secara evaluatif akan orang lain, meskipun mereka hanya
memiliki sedikit informasi. Kita cenderung memandang orang lain secara
konsisten dari kedalamannya. Karena evaluasi merupakan dimensi paling penting
didalam persepsi manusia, tidak mengherankan jika kita cenderung
mengkategorikan manusia sebagai baik dan buruk, dan bukan keduanya. Orang
lain tidak akan melihat sekaligus jujur dan tidak jujur, hangat dan mengerikan,
bijaksan dan sadis.
Berdasarkan evaluasi dasar ini, kita akan tetap melihat ciri lain yang konsisten
dengannya. Jika seseorang bersifat menyenangkan, dia juga harus menarik,
cerdas, murah hati, dan seterusnya. Jika dia buruk, dia harus licik, berwajah jelek,
dan aneh. Kecendrungan terhadap konsistensi ini disebut pengaruh halo. Orang
yang membuat rangsangan itu dipandang sebagai orang yang disukai atau tidak
disukai, dan semua kualitas lain dipandang konsisten dengan keputusan ini. Ia
dinamakan pengaruh halo karena orang yang telah di cap baik selalu dikelilingi
suasana positif, dan semua kualitas baik ditujukan kepadanya. Kebaikannya (apa
yang dianamakan “halo negatif” atau pengaruh “ekor bercabang”) ialah bahwa
orang yang dicap buruk selalu dipandang memiliki kualitas buruk.
Dalam kenyataan, pengaruh halo atas daya tarik fisik kelihatannya dipukulratakan
menjadi sejumlah wilayah yang tidak relevan sama sekali dengan kecantikan fisik.
Telaah lain menemukan bahwa orang yang menarik diperlakukan secara lebih
lembut jika mereka berbuat salah. Dion (1972) menemukan bahwa pelanggaran
yang dilakukan anak berdaya tarik dianggap lebih ringan daripada
pelanggaranyang dilakukan anak yang tidak menarik.
Akan tetapi, seperti halnya dengan segala sesuatu, pengaruh daya tarik
berdasarkan halo mempunyai keterbatasan juga. Sigall dan Ostrove (1975)
membuat hipotesis bahwa dewan hakim sebenarnya harus lebih menghukum
tertuduh yang cantik atau cakap jika pelanggarannya secara langsung agak
berhubungan dengan kecantikannya.

5
Dalam beberapa kasus, pengaruh halo dapat berdasarkan kebutuhan tidak masuk
akal untuk memiliki kesan konsisten, seperti hukuman lebih berat yang diberikan
kepada anak yang tidak menarik atas kesalahan kecil dibandingkan hukuman yang
diberikan bagi anak yang cantik. Tetapi adakalanya hal semacam itu memakai dar
lebih realistis.
Terdapat kecendrungan untuk salah melihat semua karakteristik orang itu sebagai
menguntungkan untuk membuatnya konsisten dengan kesan menyeluruh.
Disamping itu, terdapat kecendrungan, tidak menguntungkan untuk melihat orang
yang memiliki kekurangan juga negatif di bidang-bidang lainnya.

2.2 Prasangka yang Mempengaruhi Kesan


a. Prasangka Positivisme
Dalam kenyataan evaluasi positif terhadap orang lain lebih umum dari pada
evaluasi negatif. Sebagai contoh dalam telaah dimana para mahasiswa yang
memberi nilai positif kepada profesornya ada 97 persen (yang dalam neraca
timbangan berada diatas rata-rata) meskipun para mahasiswa telah mengalami
berbagai pengalaman semasa kuliahnya (Sears, 1983). Kecendrungan menilai
orang lain secara positif ini sehingga mengalahkan evaluasi negatif
dinamakan pengaruh kelunakan (Bruner & Tagiuri, 1954) atau prasangka
positivitas (Sears, 1983).
Terdapat beberapa hipotesis yang masuk akal tentang apa sebab manusia
dinilai lunak. Salah satu berasal dari apa yang dinamakan Matlin dan Stang
(1978) sebagai prinsip Pollyanna. Menurut mereka orang akan merasa lebih
senang jika dikelilingi hal-hal yang baik, pengalaman menyenangkan,
masyarakat yang ramah, cuaca cerah, dan sebagainya. Bahkan ketika rumah
mereka runtuh, mereka sakit, tetangganya bersifat jahat kepada mereka, dan
cuaca muram, mereka akan mengevaluasi situasinya secara baik.
Sebaliknya, Sears (1983), membantah bahwa terdapat prasangka positivitas
khusus dalam evaluasi kita tentang orang lain yang diuraikannya sebagai
prasangka positivitas manusia. Manusia memiliki perasaan sama dengan
orang yang dievaluasi dan karena itu, memberikan evaluasi yang lebih lunak
kepada mereka ketimbang kepada objek yang lebih umum. Menurut

6
pandangan ini, prasangka positivitas manusia hanya berlaku atas evaluasi
terhadap manusia individual, dan tidak boleh memperlihatkan kekuatan yang
sama dengan evaluasi yang diberikan atas objek-objek umum.

b. Pendekatan Kognitif
Setiap informasi dipandang sebagai aspek perpaduan menyeluruh, dan bukan
sebagai unsur lain yang terisolasi yang harus dipukul rata menjadi kesan
menyeluruh. Implikasi pokok dari pembentukan kesan adalah bahwa
pemrosesannya tidak mekanis, melainkan melibatkan usaha untuk melihat
arti yang melekat pada objek pemberi stimulus.
Bagi Asch (1946), yang lebih banyak bekerja berdasarkan pendekatan
kognitif, keseluruhan itu lebih dari suatu bagian mekanis rata-rata. Menurut
Asch, ciri baru akan mengalami pergeseran arti jika ditempatkan dalam
konteks baru. “Kecerdasan” diharapkan akan menunjang empati, kecakapan
memahami persoalan, dan kemampuan memberi kepada orang lain.
Di pihak lain, Anderson (1966), konsisten dengan pendekatan
penyamarataannya, menyatakan bahwa pengaruh konteks atas nilai ciri baru
tersebut dapat diramalkan hanya dengan memukulratakan nilainya bersama-
sama dengan informasi baru itu.
Hamilton & Zanna (1974; Zanna & Hamilton, 1977) menemukan bahwa
konotasi sebuah ciri tertentu jadi berubah jika ditempatkan dalam konteks
yang berbeda. Sebagai contoh, kata “angkuh” dalam konteks positif
mempunyai konotasi “percaya diri sendiri”. Dalam konteks negative, ia
mengkonotasikan “kesombongan”. Bersamaan dengan itu, Wyer (1974)
menemukan bahwa penilaian atas konotasi-konotasi tersebut juga
mencerminkan konteks. Untuk menggunakan contoh ini, konotasi
(“kesombongan”) ciri asli (“angkuh”) yang diimplikasikan konteks negatif itu
sendiri mempunyai penilaian negatif. Telaah semacam itu menunjukkan
bahwa pengaruh kontekstual sebagian ditentukan fenomena pergeseran arti.

7
2.3 Jenis Informasi yang Dipakai agar Sampai Pada Kesan
a. Ciri Pusat
Perbedaan potensial kedua ialah mengenai berarti atau tidaknya ciri tertentu
pada seseorang lebih banyak ketimbang pada orang lain. Pendekatan
penyamarataan hanya mengasumsi bahwa semua ciri dimasukkan kedalam
proses meskipun nilainya tidak ada. Pendekatan kognitif-perseptual
mengasumsi bahwa beberapa ciri yang melekat itu lebih berarti dari ciri
lainnya
Contoh : pasangan ciri “hangat-dingin” nampaknya diasosiasikan dengan
sejumlah karakteristik lain, sedangkan pasangan “sopan-kurang sopan” pada
umumnya diasosiasikan dengan lebih sedikit karakteristik. Ciri-ciri yang
banyak diasosiasikan dengan berbagai macam karakteristik dinamakan ciri
pusat.
b. Pengaruh Negativitas
Pengecualian lain bagi prinsip penyamarataan adalah bahwa orang
menimbang informasi negatif lebih berat daripada informasi positif untuk
mencapai kesan menyeluruh. Artinya ciri negatif lebih berpengaruh atas
kesan dibanding ciri positifnya, meski keadaan lainnya sama (Fiske, 1980).
Hal ini dinamakan Pengaruh Negativitas. Menurut teori tersebut, kesan
positif lebih mudah berubah daripada kesan negatif (Hodges, 1974). Orang
lebih mempercayai evaluasi yang berdasar ciri negatif daripada yang berdasar
ciri positif (Hamilton & Zanna, 1972). Menurut evaluasi negative, prinsip
menyamaratakan tidak mendukung ciri negatif sekuat dukungannya terhadap
cirri positif.
Perbedaan ini terutama terlihat pada ciri negatif yang lebih ekstrim. Mereka
kelihatannya memperoleh pengaruh “blackball” (mendapat perlawanan dari
belakang): Satu pengaruh negatif paling ekstrim menghasilkan kesan paling
negatif, tanpa memperdulikan ciri lain orang tersebut (Anderson, 1965).

8
2.4 Keakuratan Penilaian (Accurary of Judgements)
Salah satu implikasi dari berbagai prasangka kognitif dan evaluatif ini ialah bahwa
persepsi manusia tidak dapat sangat akurat. Sebaliknya, orang harus akurat secara
wajar agar masyarakat dapat berfungsi secara lancar. Setidak-tidaknya, kita
berinteraksi dengan orang lain beratus kali setiap harinya, dan interaksi ini
biasanya membutuhkan penilaian yang cukup akurat dari orang lain. Karena
berbagai interaksi pada umumnya berjalan tanpa kesulitan atau kesalahan yang
berarti, maka persepsi manusia harus cukup akurat.
Persepsi manusia menjadi makin sulit jika kita mencoba menyimpulkan keadaan
intern yaitu perasaan, emosi, dan kepribadian. Penilaian atas keadaan intern
(kedalaman dirinya) seperti perasaan emosi, cirri pribadi, dan sikap, seringkali
sangat sukar. Keadaan intern orang tersebut tidak dapat diamati secara langsung,
ia harus disimpulkan dari petunjuk apa saja yang bisa diperoleh. Oleh karenanya,
masalah keakuratan khususnya difokuskan pada penilaian perorangan atas
keadaan intern, dan dari petunjuk yang dipakai untuk membuat penilaian tersebut.
a. Pengenalan Emosi
Banyak karya mengenai keakuratan persepsi manusia difokuskan kepada
pengenalan emosi, yaitu apakah seseorang merasa senang atau takut, ngeri,
atau jijik.
Woodworth (1938) menyatakan bahwa emosi dapat diatur berdasarkan
“continuum” enam segi, dengan kemudahan membedakan setiap dua emosi
yang dihubungkan kepada jarak antarmereka pada continuum ini. Ini
menghasilkan sejumlah telaah semacam itu. Biasanya telaah itu setuju dalam
menemukan orang yang mengekspresikan tujuh kategori emosi. Yaitu :
1. Kebahagiaan, kegembiraan
2. Terkejut, heran
3. Takut
4. Kesedihan
5. Kemarahan
6. Muak, penghinaan
7. Perhatian, atensi

9
Banyak riset dilakukan dengan menilai unsur kepribadian yang lebih mapan,
seperti mendominasi-mengalah atau butuh berafiliasi. Kerja seperti ini lebih
mematahkan semangat karena berbagai alasan.
1) Berbagai prasangka dapat mempengaruhi para pengamat.
2) Sangat sukar mengukur unsur kepribadian, jadi terdapat masalah dalam
mengidentifikasi kriteria yang pantas.
3) Menurut beberapa psikolog (seperti Mischel, 1979), setiap unsur
kepribadian yang diungkapkan hanya mempengaruhi perilaku secara
konsisten dalam serangkaian situasi terbatas.
Yang dimaksud ialah bahwa kita mungkin mempunyai pembawaan yang
unik dan khusus, yang membuat kita bereaksi secara teratur menurut cara
khusus kita sendiri dalam situasi apapun yang diberikan, tetapi rangkaian
situasi yang satu mungkin tidak konstan dengan situasi lainnya.
Oleh karena itu akan lebih bermanfaat untuk menganggap unsur
kepribadian mempergunakan berbagai rangkaian situasi terbatas daripada
menganggap unsurlah yang banyak mempergunakan segala situasi.
Contohnya para psikolog biasanya akan membicarakan tentang unsur
umum kejujuran atau ketidakjujuran, dan arena itu menggambarkan
seseorang sebagai “jujur” dan “tidak jujur”.
Masalah yang ditimbulkannya dalam keakuratan persepsi manusia ialah
bahwa seandainya unsur kepribadian dibatasi sampai susunan situasi
tertentu, akan jadi semakin sukar bagi para pengamat untuk membuat
penilaian yang akurat. Para pengamat harus melihat kecendrungan orang
tersebut maupun situasinya secara akurat.

b. Pengungkapan Emosi Secara Universal


Di tahun 1872, berdasarteori evolusinya, Charles Darwin menyatakan bahwa
ekspresi wajah secara universal menyampaikan keadaan emosi yang serupa.
Pertanda universal semacam itu akan mempunyai nilai kelangsungan hidup
yang lama bagi Homo Sapiens. Argumentasi yang diajukan Darwin ialah
bahwa ekspresi universal telah berevolusi karena hal itu memungkinkan kita
mengkomunikasikan emosi kita dan dengan demikian mengendalikan

10
perilaku orang lain. Contohnya, jika seekor binatang menunjukkan wajah
marah atau mengancam, yang lain akan berperilaku lebih tidak melawan,
sehingga memungkinkan binatang pertama menenangkan pertemuan tanpa
resiko melakukan perkelahian yang sebenarnya.
Dalam kenyataan, pada hakikatnya semua jenis kera dari Dunia Bahoak
ternyata menggunakan gerakan wajah untuk menunjukkan dominasi atau
sikap menyerah. Letak alis mata yang berbeda kelihatannya penting:
khususnya; alis mata akan diturunkan pada individu yang dominan atau
mengancam dan akan dinaikkan pada individu yang menyerah atau pasrah
(Keating et al., 1981). Argumentasi evolusionernya ialah bahwa mungkin
terdapat hubungan antara ekspresi wajah yang dipergunakan primate setengah
manusia untuk berkomunikasi serta mengendalikan anggota jenisnya, dan
yang dipergunakan manusia untuk tujuan yang serupa. Jika benar, mungkin
mata-rantai serupa antara emosi dan ekspresi wajah terdapat di antara
manusia di segala (hampir semua) kebudayaan.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Orang cenderung membentuk kesan sangat konsisten tentang orang lain,
meskipun hanya sedikit informasi yang diterima.
2) Dimensi evaluatif merupakan prinsip organisasi paling penting di belakang
kesan pertama. Nampaknya orang memutuskan lebih dulu berapa besar
kesukaan atau ketidaksukaannya pada orang lain, kemudian memberikan
karakteristik kepada mereka untuk mencocokkan gambaran menyenangkan
atau tidak menyenangkan ini.
3) Ada dua segi yang bertentangan mengenai pandangan tentang bagaimana
orang memproses informasi tentang orang lain yakni : pendekatan belajar
yang menyamaratakan informasi secara mekanis; dan pendekatan Gestalt,
yang membuat orang membentuk kesan yang lebih melekat dan berarti.
4) Berbagai prasangka perceptual yang dapat diidentifikasi
memutarbalikkanpenilaian kita atas orang lain. Seperti pengaruh halo (kita
cenderung berpikir bahwa seseorang yang kita sukai adalah baik dalam segala
dimensi), dan prasangka positivitas (kita cenderung menyukai semua orang,
bahkan mereka yang tidak begitu disukai orang).
5) Penilaian kita atas orang lain tidak selalu cukup akurat. Terutama kita
mengalami kesulitan dalam menilai emosi manusia berdasarkan ekspresi
wajah mereka.

3.2 Saran
Sebaiknya dalam proses mengenali dan mengerti orang lain kita jangan hanya
menilai dan mengambil kesimpulan dari penampilan, ciri fisik, dan ekspresi
wajahnya saja. Tapi ambillah kesimpulan atau kesan terhadap orang lain tersebut
dengan cara lebih mendalami dan mencari terlebih dahulu tentang orang tersebut.
Karena jika mengambil kesimpulan tentang seseorang hanya memalui atau dengan
melihat penampilan, ciri fisik dan ekspresi wajah pasti belum akurat.

12

Anda mungkin juga menyukai