Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apa yang dimaksud perilaku seksual normal? Seperti kita ketahui, jawabannya
adalah : tergantung. Bila pertanyaannya lebih spesifik: kapan perilaku seksual yang
berbeda dari norma yang berlaku dianggap sebagai gangguan? Jawabannya, sekali lagi,
adalah : tergantung. Pandangan yang berlaku saat ini cndrung cukup toleran terhadap
beragam ekspresi seksual, pun bila ekspresi tersebut tidak lumrah, kecuali jika perilaku
itu berhubungan dengan hendaya yang cukup subtansial dalam fungsi (Durand dan
Barlow, 2006).

Dalam lingkup perilaku seksual, konsep yang kita miliki tentang apa yang normal
dan apa yang tidak sangat dipengaruhi oleh faktor sosiokultural. Berbagai pola perilaku
seksual yang dianggap abnormal di Inis Beag seperti masturbasi, hubungan seks
premarital, dan seks oral-genital dikatakan normal pada masyarakat Amerika. Perilaku
seksual dapat dianggap abnormal jika hal tersebut bersifat self-defeating, menyimpang
dari norma sosial, menyakiti orang lain, menyebabkan distress personal, atau
memengaruhi kemampuan seseorang untuk berfungsi secara normal. Gangguan yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah gangguan identitas gender, paraphilia, dan
disfungsi seksual yang mempunyai satu atau lebih kriteria abnormalitas. Dalam
mengeksplorasi gangguan-gangguan ini, kita menyentuh pertanyaan yang menggali batas
antara normal dan abnormal (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan gangguan seksual?
2. Apa saja jenis-jenis gangguan seksual?
3. Apakah penyebab terjadinya gangguan seksual?

4. Bagaimana penanganan terhadap gangguan seksual?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian gangguan seksual.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis gangguan seksual.
3. Dapat mengetahui penyebab terjadinya gangguan seksual.

1
4. Bisa mengerti penanganan yang dilakukan untuk mengobati gangguan seksual.

BAB II
PEMBAHASAN

Masalah-masalah yang muncul dalam konteks interaksi seksual dapat terjadi baik
didalam hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Ketidak mampuan untuk menjadi
terangsang atau mencapai orgasme terjadi sama seringnya dalam hubungan homoseksual
maupun heteroseksual. Tiga tahap utama siklus respon seksual yakni: (1) Fase Nafsu
adalah dorongan seksual muncul sebagai respon terhadap stimulus atau fantasi seksual.
(2) Fase Terangsang adalah kenikmatan seksual subjek dan tanda-tanda fisiologis
keterangsangan seksual: pada laki-laki, penis yang membesar (peningkatan aliran darah
yang memasuki penis); pada perempuan, vasocongestion (darah mengumpul di daerah
pelvis) yang mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting susu
yang menegak). (3) Fase Orgasme: pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi
yang tak terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi di
dinding sepertiga bagian bawah vagina (Durand dan Barlow, 2006).
2.1 Pengertian gangguan seksual
Disfungsi seksual adalah gangguan seksual dimana klien mengalami kesulitan untuk
berfungsi secara adekuat ketika melakukan hubungan seksual (Durand dan Barlow,
2006).
Gangguan-gangguan dalam bidang seks biasanya tidak melemahkan atau
melumpuhkan seperti yang terjadi pada kecemasan, depresi, dan skizofernia. Karena itu,
gangguan ini sering dilihat sebagai gangguan-gangguan yang kurang berat. Dalam
beberapa bentuk gangguan itu terlihat bahwa kepuasan seksual diperoleh dengan cara-
cara dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dari persetubuhan yang wajar merupakan
satu-satunya bentuk kegiatan seks yang lebih disukai. Gangguan-gangguan ini dapat
sangat mengganggu karena pengaruh yang ditimbulkannya terhadap orang lain. Hal ini
terjadi, misalnya, bila gangguan-gangguan ini melibatkan tindakan-tindakan, seperti
pemerkosaan, sadism seksual, atau pelecehan seksual terhadap anak-anak (Semiun,
2006).

Individu-individu dikategorikan sebagai orang-orang yang mengalami gangguan-


gangguan seksual kalau gangguan-gangguan tersebut bukanlah simtom dari sindrom-
sindrom yang lebih puas, misalnya skizofernia dan reaksi-reaksi obsesif. Pola-pola

2
gangguan-gangguan seksual hampir selalu merupakan akibat sejarah kesulitan yang
panjang dalam perkembangan psikoseksual yang disebabkan karena faktor-faktor
lingkungan dan jarang sekali sebagai akibat dari cacat-cacat konstitusional saja. Karena
gangguan-gangguan seksual ini banyak terjadi dalam masyarakat kita dan karena
beberapa dari gangguan-gangguan itu sangat berbahaya, maka penting dalam bagian ini
akan dijelaskan jenis-jenis gangguan-gangguan tersebut (Semiun, 2006).

2.2 Jenis-jenis gangguan seksual


Jenis disfungsi seksual berdasarkan DSM IV yakni (Durand dan Barlow, 2006):
A. Gangguan Nafsu seksual
Terdapat dua gangguan yang merefleksikan masalah-masalah yang terkait dengan
fase nafsu dari siklus respon seksual. Masing-masing gangguan ditandai oleh
sedikitnya atau tidak adanya minat terhadap seks yang menimbulkan masalah dalam
suatu hubungan.
1. Gangguan nafsu seksual hipoaktif yaitu minat terhadap kegiatan atau fantasi
seksual yang sangat kurang yang mestinya tidak diharapkan bila dilihat dari
umur dan situasi kehidupan orang yang bersangkutan.
2. Gangguan aversi seksual yaitu perasaan tidak suka yang persisten dan ekstrim
terhadap kontak seksual atau kegiatan serupa itu.
B. Gangguan rangsangan seksual
Gangguan-gangguan rangsangan seksual disebut male erectile disorder
(gangguan ereksi pada laki-laki) dan female sexual arousal disorder (gangguan
rangsangan seksual pada perempuan).
1. Gangguan ereksi pada laki-laki yaitu ketidakmampuan sebagian laki-laki
untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis sampai aktifitas seksual
selesai dan keadaan ini terjadi berulang kali.
2. Gangguan rangsangan seksual pada perempuan yaitu ketidakmampuan
sebagian perempuan untuk mencapai atau mempertahankan lubrikasi vagina
dan respon keterangsangan seksual yang membuat vagina membesar sampai
aktifitas seksual selesai dan keadaan ini terjadi berulang kali.
C. Gangguan orgasme
Fase orgasme dalam siklus respon seksual dapat terdisrupsi dengan cara tertentu.
Orgasme dapat terjadi pada waktu yang tidak tepat atau tidak terjadi sama sekali.

3
1. Inhibited orgasm (orgasme yang terhambat) yaitu ketidakmampuan untuk
mencapai orgasme meskipun nafsu dan keterangsangan seksualnya cukup
adekuat pada umumnya dialami oleh perempuan dan jarang terjadi pada laki-
laki (Stock, 1993; Wincze dan Barlow, 1997).
2. Female Orgasmic disorder ( gangguan orgasme pada perempuan). Orgasme
yang terhambat atau tidak terjadi sama sekali, yang terjadi berulang kali pada
sebagian perempuan, menyusul fase perangsangan seksual yang normal;
berhubungan dengan pengalaman mereka sebelumnya dan stimulus saat itu.
3. Male orgasmic disorder (gangguan orgasme pada laki-laki). Orgasme yang
terhambat atau tidak terjadi sama sekali yang terjadi berulang kali pada
sebagian laki-laki menyusul fase perangsangan seksual yang normal;
berhubungan dengan umur mereka dan stimulus saat itu.
4. Premature ajaculation (ejakulasi dini). Yaitu ejakulasi sebelum orang
menginginkannya, dengan stimulus minimal dan keadaan ini terjadi berulang
kali.
D. Gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder) adalah nyeri genital berulang kali
terjadi, yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan sebelum, selama, atau setelah
hubungan seksual.
1. Dyspareunia adalah rasa nyeri/sakit atau perasaan tidak nyaman selama
melakukan hubungan seksual.

2. Vaginismus. Spasme (kejang urat) pada otot-otot di pertiga luar vagina, yang
terjadi diluar kehendak, yang menggangu hubungan seksual, dan keadaan ini
berulang kali terjadi.

Jenis-jenis gangguan seksual:


Parafilia
Kata parafilia (praphilia) diambil dari akar bahasa Yunani para, yang artinya “pada
sisi lain”, dan philos artinya “mencintai”. Pada parafilia (paraphilias), orang menunjukan
keterangsangan seksual (mencintai) sebagai respons terhadap stimulus yang tidak biasa
(“pada sisi lain” dari stimulus normal) (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Parafilia adalah gangguan dan penyimpangan seksual di mana rangsangan seksual
muncul nyaris secara eksklusif dalam konteks objek-objek atau individu-individu yang
tidak semestinya (Durand dan Barlow, 2006). Jenis-jenis parafilia:
1. Fetishism

4
Yaitu dorongan, fantasi dan perilaku yang merangsang secara seksual yang
melibatkan penggunaan benda-benda tak-hidup dan tak-lazim, yang
mengakibatkan distress atau hendaya dalam fungsi kehidupan, dan keadaan ini
berlangsung lama dan berulang kali terjadi (Durand dan Barlow, 2006).
Normal bagi pria untuk menyukai tampilan, rasa, dan aroma baju dalam milik
kekasih mereka. Namun, pria dengan fetishism lebih memilih objeknya daripada
orang yang memilikinya dan tidak dapat terangsang tanpa objek tersebut (Nevid,
Rathus dan Greene, 2003).
o Transvestic fetishism
Adalah dorongan yang kuat dan berulang serta fantasi yang berhubungan
yang melibatkan memakai pakaian lawan jenis (cross-dressing) dengan
tujuan untuk mendapatkan rangsangan seksual. Transvestik fethisme
dilaporkan hanya terjadi pada pria heteroseksual. Biasanya, pria yang
memakai pakaian lawan jenis melakukannya secara tertutup/pribadi dan
membayangkan diri mereka menjadi wanita yang dicumbunya sambil
bermasturbasi (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
2. Pedofil
Pedofil berasal dari kata “paidos” (bahasa yunani untuk “anak”). Ciri utama dari
pedofilia adalah dorongan seksual yang kuat dan berulang serta adanya fantasi
terkait yang melibatkan aktifitas dengan anak-anak yang belum puber (biasanya
13 tahun atau lebih muda) (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
3. Inses
Ketertarikan seksual yang menyimpang yang diarahkan pada anggota
keluarganya sendiri; sering kali berupa ketertarikan ayah terhadap putrinya yang
mulai matang secara fisik (Durand dan Barlow, 2006).
4. Voyeurism
Adalah Parafilia di mana rangsangan seksualnya berasal dari melihat individu
yang tidak menaruh curiga yang sedang membuka pakaian atau telanjang
(Durand dan Barlow, 2006).
5. Eksibisionisme
Adalah Kepuasan seksual diperoleh dengan mempertontonkan alat kelamin
kepada orang-orang asing yang tidak menaruh curiga (Durand dan Barlow, 2006).

5
Orang dengan gangguan seksual ini mendapatkan kepuasan seksual dengan
mempertunjukan alat genitalnya di depan umum (Nevid, Rathus dan Greene,
2003).

6. Frotteurism
Adalah suatu bentuk parafilia yang memiliki karakteristik adanya dorongan
seksual berulang yang melibatkan tindakan menabrakan diri atau menggesek-
gesekan diri ke orang lain tanpa izin untuk mendapatkan kepuasan seksual. Cirri
utamanya adalah dorongan seksual yang kuat secara persisten dan fantasi terkait
yang melibatkan menggosok atau menyentuh tubuh orang tanpa izin. Froterisme
atau “meremas” biasanya terjadi pada tempat-tempat ramai, seperti kereta api
bawah tanah, bus, atau lift (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
7. Sadisme seksual
Sadism seksual maupun masokisme seksual berhubungan dengan menyakiti atau
menghina (sadisme) atau kesakitan/terhina (masokhisme). Sadisme seksual
merupakan parafilia dimana rangsangan seksualnya berhubungan dengan
menyakiti atau menghina (Durand dan Barlow, 2006).
8. Masokisme seksual

Suatu bentuk parafilia yang memiliki karakteristik adanya dorongan seksual yang
kuat serta fantasi yang melibatkan menerima rasa direndahkan atau rasa sakit
(Nevid, Rathus dan Greene, 2003).

2.3 Penyebab terjadinya gangguan seksual


Penyebab disfungsi seksual jarang muncul sendirian, biasanya pasien yang dirujuk
ke klinik seksualitas mengeluhkan campuran bermacam-macam masalah seksual,
meskipun salah satunya mungkin paling menjadi keprihatinannya diantaranya (Durand
dan Barlow, 2006):
1. Kontribusi biologis
Sejumlah kondisi fisik dan medis memberikan kontribusi terhadap disfungsi
seksual (Kin dan Lipshultz, 1997; Wiegel, dan kawan-kawan, 2000; Wincze dan
Carey, 2001). Penyakit-penyakit neurologis dan kondisi-kondisi lain yang
mempengaruhi sistem saraf, seperti diabetes dan penyakit ginjal, dapat secara
langsung mempengaruhi fungsi seksual dengan mengurangi sensitifitas di daerah

6
genital, dan mereka merupakan penyebab lazim bagi disfungsi ereksi pada laki-laki
(Schover dan Jensen, 1988; Wincze dan Barlow, 1997).
Sakit kronis secara langsung juga dapat mempengaruhi fungsi seksual. Sebagai
contoh, tidak jarang orang-orang yang pernah mengalami serangan jantung yang
takut sampai ke titik terpreokupasi untuk melakukan kegiatan fisik yang terlibat
dalam hubungan seksual. Mereka sering tidak mampu mencapai titik terangsang
meskipun diyakini oeh dokternya bahwa kegiatan seksual aman bagi mereka
(Cooper, 1988).
Penyebab utama disfungsi seksual adalah obat resep. Penanganan obat untuk
tekanan darah tinggi, yang disebut obat anti hipertensi, yang termasuk golongan
yang dikenal sebagai beta-blockers termasuk propanolol, dapat memberikan
kontribusi pada disfungsi seksual. Obat anti depresan trisiklik serta obat-obat anti
depresan dan anti kecemasan lain juga dapat menggangu hasrat dan kerangsangan
seksual pada laki-laki maupun perempuan (Segraves dan Altof, 1999).
2. Kontribusi psikologis
Ketika dihadapkan pada kemungkinan untuk melakukan hubungan seksual,
individu yang disfungsional cenderung membuat perkiraan yang terburuk dan
menganggap situasinya relative negative dan kurang menyenangkan (Weisberg, dkk,
2001). Mereka menghindari sejauh mungkin agar dirinya tidak menyadari adanya
stimulus seksual (dan oleh karenanya tidak sadar seberapa jauh mereka terangsang
secara fisik, sehingga mereka membuat laporan yang terlalu rendah ketika dimintai
informasi tentang keterangsangannya).
Orang-orang yang fungsi seksualnya normal bereaksi terhadap situasi seksual
secara positif. Mereka memfokuskan perhatiannya pada stimulus-stimulus erotis dan
tidak menjadi terdistraksi. Ketika mereka menjadi terangsang, mereka semakin
memfokuskan diri pada stimulus-stimulus seksual dan erotis tersebut dan
membiarkan dirinya menjadi semakin terangsang secara seksual.
3. Kontribusi sosial dan cultural
Bagi sebagian individu, stimulus seksual menjadi terasosiasi dengan afek
negative sejak masa kanak-kanak. Kelly, Strassberg, dan Kircher (1990) menemukan
bahwa selain menunjukan sikap yang lebih negative terhadap masturbasi, memiliki
rasa bersalah terhadap seks yang lebih besar, dan lebih mempercayai mitos-mitos
seks.
4. Interaksi antara faktor psikologis dan fisik

7
Sikap-sikap yang ditularkan secara sosial tentang seks dapat berinteraksi dengan
masalah hubungan interpersonal dan predisposisi untuk mengembangkan
performance anxiety, yang mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual.
Disfungsi seksual dapat berasal dari faktor biologis (seperti penyakit atau efek alcohol,
dan obat-obatan lain), faktor psikologis (kecemasan akan performa, konflik yang tidak
terpecahkan, atau kurangnya kompetensi seksual), dan faktor sosiokultural (seperti
pembelajaran budaya yang membatasi secara seksual) (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Penyebab gangguan seksual (penyebab parafilia):
Parafilia dapat disebabkan oleh interaksi dari faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Usaha untuk menangani parafilia harus dikompromikan dengan fakta bahwa sebagian
besar orang dengan gangguan ini tidak ingin berubah. Berbagai hal dapat menjadi
penyebabnya diantaranya (Nevid, Rathus dan Greene, 2003):
1. Perspektif teori belajar
o Stimulus yang tidak biasa menjadi stimulus terkondisi untuk rangsangan seksual
akibat pemasangannya dengan aktifitas seksual di masa lalu.
o Stimulus yang tidak biasa dapat menjadi erotis dengan cara melihatkannya dalam
fantasi erotis dan masturbasi.
2. Perspektif psikodinamika
Kecemasan kastrasi yang tidak terselesaikan dari masa kanak-kanak yang
menyebabkan rangsangan seksual dipindahkan pada objek atau aktifitas yang lebih
aman.
3. Perspektif multifaktor
Penganiayaan seksual atau fisik pada masa kanak-kanak dapat merusak pola
rangsangan seksual yang normal.
Model perkembangan parafilia (Durand dan Barlow, 2006) :
1. Asosiasi atau pengalaman seksual yang tidak semestinya pada masa anak-anak
(sebagian secara tidak disengaja dan sebagian melihat pengalaman orang lain)
2. Kemungkinan terjadinya perkembangan yang tidak adekuat pada pola rangsangan
orang dewasa atas dasar suka sama suka.
3. Kemungkinan terjadinya perkembangan keterampilan sosial yang adekuat untuk
berhubungan dengan orang dewasa
4. Fantasi seksual tak pantas yang timbul berulang kali, yang berhubungan dengan
kegiatan masturbasi dn memperoleh penguatan

8
5. Usaha yang berulang kali dilakukan untuk menghambat rangsangan dan perilaku
yang tidak diinginkan yang (secara paradoksal) justru meningkatkan pikiran, fantasi
dan perilaku prafilia.

2.4 Penanganan gangguan seksual


Penanganan disfungsi seksual
o Penanganan psikologis
Penanganan yang dilakukan dengan terapi seks. Dimana terapi seks dilakukan
untuk membantu orang agar dapat mengatasi disfungsi seksual dengan
meningkatkan harapan sels-efficacy, mengajarkan kompetensi seksual,
memperbaiki komunikasi seksual, dan mengurangi kecemasan akan performa
(Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
o Penanganan medis
Berbagai teknik farmakologis dan operasi untuk menangani disfungsi seksual
telah dikembangkan. Empat macam prosedur yang paling popular yaitu: obat
oral, suntikan substansi vasoaktif, operasi, dan vacuum device therapy (terapi
dengan vakum) (Durand dan Barlow, 2006).
Penanganan parafilia
Orang dengan parafilia biasanya tidak mencari penanganan atas keinginan sendiri.
Mereka biasanya menerima penanganan di penjara setelah mereka divonis melakukan
penyerangan seksua. Atau mereka dirujuk ke sebuah penyedia penanganan oleh
pengadilan. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan bahwa pelaku penyerangan seksual
seringkali melawan atau menolak penanganan. Terapis menyadari penanganan dapat
menjadi sia-sia jika klien kurang termotivasi untuk mengubah perilaku mereka. Namun
demikian, bukti menunjukan bahwa sejumlah bentuk penanganan, terutama terapi
perilaku dan terapi kognitif-behavioral (CBT), dapat membantu pelaku penyerangan
seksual yang ingin mengubah perilaku mereka. Salah satu teknik behavioral yang
digunakan untuk menangani parafilia adalah aversive conditioning. Tujuan dari
penanganan ini adalah membangkitkan respon emosional negative pada stimulus atau
fantasi yang tidak tepat (Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
o Penanganan psikologis (Durand dan Barlow, 2006).:

9
Covert desensitization (desentisasi tertutup) yakni intervensi kognitif behavioral
untuk mengurangi perilaku yang tidak dikehendaki dengan meminta klien
membayangkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat aversif dari perilakunya dan
membangun asosiasi negative dan bukan asosiasi positif dengan konsekuensii-
konsekuensi tersebut.
Orgasmic reconditioning yaitu prosedur belajar untuk membantu klien memperkuat
pola-pola rangsangan seksual yang semestinya dengan cara memasangkan stimuli yang
tepat dengan sensasi yang menyenangkan dari masturbasi.
Relapse prevention yaitu memperpanjang kemajuan terapeutik dengan mengajari
klien tentang cara mengatasi situasi sulit di masa yang akan datang.
o Penanganan obat (Durand dan Barlow, 2006).:
Obat paling popular yang digunakan untuk menangani parafilia (Bradford, 1997)
adalah antiandrogen yang disebut cyproterone acetate. Obat ini mengeliminasi nafsu dan
fantasi seksual dengan mengurangi tingkat testosterone secara dramatis. Tetapi, fantasi
dan rangsangan itu segera kembali bila obat dihentikan.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kita dapat menamai perilaku seksual sebagai abnormal ketika hal tersebut
bertentangan dari norma sosial, dan bersifat self defeating, merusak/menggangu orang
lain, menyebabkan distress personal, atau mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berfungsi secara optimal. Namun kita harus menyadari bahwa perilaku seksual yang
dianggap normal pada suatu budaya belum tentu dapat dianggap normal pada budaya lain
(Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Disfungsi seksual meliputi sejumlah gangguan dimana orang merasa kesulitan untuk
berfungsi secara adekuat selama berhubungan seksual. Disfungsi seksual dapat berasal
dari faktor biologis, psikologis, dan faktor sosiokultual. Disfungsi seksual berhubungan
dengan sikap-sikap negative tentang yang ditularkan secara sosial, yang berinteraksi
dengan kesulitan interaksi saat ini, dan kecemasan yang difokuskan pada aktifitas
seksual.
Parafilia merupakan penyimpangan seksual yang melibatkan timbulnya rangsangan
terhadap stimulus tertentu seperti objek non manusia (misalnya, sepatu atau pakaian),
penghinaan atau pemberian rasa sakit pada diri sendiri atau pasangan, atau anak-anak
(Nevid, Rathus dan Greene, 2003).
Perkembangan parafilia berhubungan dengan defisiensi dalam rangsangan seksual
orang dewasa berdasarkan suka sama suka, defisiensi dalam keterampilan sosial orang
dewasa berdasarkan suka sama suka, fantasi seksual yang menyimpang yang mungkin
berkembang sebelum atau selama masa pubertas, dan usaha yang dilakukan individu yang
bersangkutan untuk menekan pikiran yang berhubungan dengan pola-pola rangsangan
tersebut. Penanganan psikososial parafilia, termasuk covert sensitization, orgasmic
conditioning, dan relapse prevention.

11
DAFTAR PUSTAKA

Durand, V. M dan Barlow, D. H. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi Keempat),


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nevid, J.F, Rathus, S. A dan Greene B. 2003. Psikologi Abnormal (Edisi Kelima),
Jakarta: Erlangga

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2, Yogyakarta: Kanisius


https://m.cnnindonesia.com/internasional/20200107110441-134-463039/kronologi-aksi-
predator-seks-reynhard-sinaga-terungkap

12

Anda mungkin juga menyukai