Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PSIKOLOGI AGAMA
“Kepercayaan Manusia Terhadap Agama di Masa Kanak-kanak”
Dosen Pengampu: Dr. Hasneli, M. Ag

DISUSUN OLEH:

AISYAH ARFYAN (2115040050)


AZELLA IKRAM AULIA (2115040042)

PRODI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1444H/2023M
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahamat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Kepercayaan Manusia Terhadap Agama di Masa Kanak-kanak” ini. Dengan hadirnya makalah
ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca, khususnya mahasiswa program studi
Psikologi Islam. Salawat dan salam tetap tercurahkan dan dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Oleh karena itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan segala kekurangan dalam
makalah ini kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang Ijtihad ini dapat memberikan
manfaat, maupun inspirasi kepada para pembaca.

Padang, 1 April 2023

___________________
Penulis

PSIKOLOGI AGAMA | ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................................ i


Kata Pengantar ........................................................................................................................... ii
Daftar Isi ...................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................................................. 4


B. Tujuan ............................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengenalan tentang Tuhan kepada Kanak-kanak ............................................................. 5


B. Pengenalan tentang Hidup dan Mati kepada Kanak-kanak .............................................. 14

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ................................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 17

PSIKOLOGI AGAMA | iii


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan jiwa manusia merupakan peziarahan sangat dramatis di mana minat,


kemampuan, dan pandangan atau filsafat hidup berubah terus-menerus. Perubahan biologis
sosiologis, dan psikologis mempengaruhi perubahan jiwa keagamaan. Pemikiran, pemahaman,
pengalaman, dan perasaan yang terkait dengan agama atau kepercayaan agama yakni ajaran
tentang pencipta manusia yakni Tuhan, makhluk eskatologis dalam kurung gaib dari panca indra
manusia berupa malaikat, setan, dan hari kiamat atau hari akhir tutup kurung kematian dan
kelahiran selalu berkembang atau berubah titik dalam memahami merasakan dan berperilaku
terhadap hal-hal tersebut manusia sepanjang rentang hidupnya dapat dikelompokkan pada tiga
penggalan yakni masa kanak-kanak dan usia sekolah masa remaja serta masa dewasa dan tua.

B. Tujuan

1. Mengetahui Bagaimana Pengenalan tentang Tuhan kepada Kanak-kanak


2. Mengetahui Bagaimana Pengenalan tentang Hidup dan Mati kepada Kanak-kanak

PSIKOLOGI AGAMA | 4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengenalan tentang Tuhan kepada Kanak-kanak

Perkembangan Jiwa Agama pada Kanak-kanak dan Usia Sekolah. Tumbuh dan
berkembangnya jiwa agama pada anak Dalam kepercayaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosial. Dalam Islam bahwa Rasul Muhammad s. a. w dalam suatu Hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim menginformasikan

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (membawa potensi beragama), orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan musyrik Sebagaimana seekor ternak yang melahirkan
anaknya (dengan sempurna kejadian dan anggotanya), adakah kamu menganggap hidung,
telinga dan lain-lain anggotanya terpotong?.”

Informasi Rasul tersebut ternyata kemudian terbukti dengan hasil penelitian. Diantaranya
kajian Thouless yang menyatakan bahwa faktor sosial berpengaruh terhadap tumbuhnya jiwa
keagamaan dalam diri seseorang. Faktor sosial tersebut lebih terlihat dalam sugesti, di mana
lingkungan sosial memberikan sugesti baik dengan penciptaan suasana yang kondusif dalam
beragama maupun mengajak dan memberikan arahan untuk beragama (Muchnun Husein, 2000).
Kanak-kanak mengenal Tuhan melalui bahasa yang diucapkan orang-orang di lingkungannya,
yang pada mulanya dia terima dengan rasa acuh. (Nizar, 2003)

Selanjutnya ia melihat orang-orang dewasa menampakkan rasa kagum atau takut ketika
mengucapkan nama Tuhan atau mendengar nama itu dari lingkungannya. Kata "Tuhan" tersebut
berulang-ulang didengarnya dari orang tua atau lingkungannya dan lama kelamaan, perhatiannya
terhadap kata itu mulai tumbuh dan masuk ke dalam kesadaran pikirannya (Zakiah Darajat, 1986:
40-41).

Ernest Harms yang dikutip oleh Jalaluddin (2002: 66- 67) mengemukakan bahwa
perkembangan jiwa agama pada kanak-kanak melalui tiga tingkatan yakni:

a. Tingkat dongeng ketika kanak-kanak berusia antara 3 dan 6 tahun dimana


pemahaman mereka tentang Tuhan lebih dipengaruhi oleh fantasi dan emosi:
Pengertiannya tentang Tuhan sejalan dengan perkembangan intelektualnya yang
masih berpikir secara konkrit dengan mengkhayalkan Tuhan sebagai sesuatu yang

PSIKOLOGI AGAMA | 5
besar atau agung dan dapat diamati secara inderawi. Pemikirannya tentang Tuhan
lebih bersifat fantastis dan banyak dipengaruhi oleh dongeng-dongeng yang tidak
masuk akal. Sifat-sifat Tuhan dalam pikirannya sangat dipengaruhi oleh emosi,
mereka merasakan Tuhan maha penyayang ketika dia atau lingkungan mendapat
nikmat yang dirasakannya secara inderawi. Tetapi, ketika dia tidak memperoleh
nikmat atau nikmat itu hilang dan dirinya, maka dia merasakan Tuhan bersifat kejam
atau zalim.

b. Tingkat realistis atau kenyataan yang biasanya dialami oleh anak dalam usia sekolah.
Pengertiannya tentang agama muncul dari lembaga-lembaga keagamaan dan
pengajaran agama dari orang dewasa di lingkungannya. Pada masa in anak-anak
tertarik dan merasa senang terhadap lembaga lembaga keagamaan yang dikelola oleh
orang dewasa Pemahaman mereka terhadap sifat-sifat Tuhan juga terkait dengan
emosi mereka.

c. Tingkat individu dimana agama menjadi pemahaman individu anak dengan tiga
bentuk yaitu pemahaman yang konvensional dan konservatif yang terpengaruh oleh
sebahagian kecil fantasi serta faktor luar, pemahaman yang murni tanpa disertai
fantasi dan tidak ada pengaruh dari luar; dan pemahaman yang bersifat humanistik
dimana kemanusiaan diikutsertakan dalam memahami Tuhan. Perubahan
pemahaman ini biasanya karena pengaruh dari dalam diri sendiri dan dari luar. Dari
dalam maksudnya terdapat pengalaman tertentu dalam diri anak yang berkaitan
dengan Tuhan dan dari luar yakni dari lingkungan, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam.

1. Pertumbuhan dan Perkembangan Jiwa Agama Pada Masa Anak-anak

Masa anak-anak adalah masa sebelum anak berusia 12 tahun. Menurut Kohnstamm, tahap
perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1. Umur 0-3 tahun, periode vital atau menyusui
2. Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain
3. Umur 6-12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4. Umur 12-21 tahun periode sosial atau masa pemuda
5. Umur 21 tahun ke atas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis
seseorang.

Sedangkan menurut Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia


secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa prenatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir
2. Masa neonates, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua
3. Masa bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua
4. Masa kanak-kanak awal, umur 2-6 tahun
5. Masa kanak-kanak akhir, umur 6-10 tahun atau 11 tahun
6. Masa remaja awal, umur 13-17 tahun, masa remaja akhir, umur 17-21 tahun
7. Masa dewasa awal, umur 21-40 tahun
8. Masa setengah baya, umur 40-60 tahun

PSIKOLOGI AGAMA | 6
9. Masa tua, umur 60 tahun ke atas.

Menurut Zakiyah (Darajat, 1986), masa pertumbuhan pertama (masa anak-anak) terjadi
pada usia 0-12 tahun, bahkan lebih dari itu, menurutnya bahwa ketika bayi masih dalam kandungan
pun, kondisi dan sikap orang tua telah mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa
keagamaan anaknya. Oleh karena itu seyogyanya sejak masa kandungan pun orang tua sudah harus
mampu memasukkan nilai-nilai keagamaan pada jiwa anak dengan selalu melakukan kebiasaan-
kebiasaan yang baik, seperti sering membaca Al-Qur'an, berbicara yang baik-baik, selalu berdzikir
pada Tuhan dan lain sebagainya. Sebab, melalui orangtua dan lingkungan keluarganya lah, si anak
mulai bisa mengenal Tuhan. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan keagamaan pada anak.

Meskipun anak masih belum bisa berbicara, si anak sudah dapat melihat dan mendengar
kata-kata. Walaupun secara verbal belum mengetahui maknanya, dia dapat memahaminya dari
ekspresi orang tua ketika mengucapkannya, karena anak sudah memiliki rasa atau perasaan yang
cukup peka.. Ketidakmampuan untuk menyimak secara verbal ini dapat dipahami pada usia
pertumbuhan pertama, sebab pada masa itu, manusia berada dalam kondisi lemah, baik fisik
maupun psikis.

Namun demikian, si anak telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat "laten"/tetap,
atau dalam istilah Islam disebut dengan fitrah keagamaan yang hanif (Q.S 3:67), dan fitrah
keagamaan tersebut tidak akan berubah sebagaimana Firman Allah dalam surah Ar-rum ayat 30

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui pendidikan, bimbingan dan pemeliharaan
yang mantap sejak dini untuk bisa diaktualisasikan.

2. Munculnya Jiwa Agama Pada Masa Anak-Anak

Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak yang tumbuh dewasa, menurut
Jalaludin(Rakhmat, 2002) , memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu
sebagai berikut:

a. Prinsip Biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkas berada dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak
dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya.

PSIKOLOGI AGAMA | 7
Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif.
Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.

b. Prinsip Tanpa Daya


Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya, ia sama
sekali tak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. Oleh karena itu anak pada masa ini selalu
memiliki sifat ketergantungan.

c. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir,
baik jasmani maupun rohani, memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi
mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta
bimbingan dapat diarahkan pada pengeksplorasian perkembangannya. Semua itu tidak dapat
dipenuhi sekaligus, melainkan secara bertahap. Demikian pula masalah perkembangan jiwa agama
pada masa anak, untuk mencapai pengenalan kepada Tuhan akan melalui beberapa tahapan-
tahapan.

Jika menurut beberapa ahli bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan,
dan fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah anak
berada pada tahap perkembangan. Maka menurut pendapat ini, tanda- tanda keagamaan pada diri
anak tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Jika
demikian, apakah faktor yang dominan dalam perkembangan ini? Berkenaan dengan masalah
tersebut, berikut ini Jalaludin (2004) mengemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan agama
pada anak itu antara lain:

a. Rasa Ketergantungan (Sense Of Dependent)


Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes-nya, sebagaimana
yang telah penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Bahwa menurut Thomas,
manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki 4 macamkeinginanyaitu; keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience),
keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk di kenal
(recognation). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka ketika bayi dilahirkan selalu
dalam kondisi ketergantungan, yang kemudian berdasarkan pengalaman-
pengalaman pendidikan yang dialaminya maka akan terbentuklah jiwa keagamaan
pada dirinya.

b. Insting Keagamaan Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki


beberapa insting, diantaranya insting keagamaan. Belum tampaknya tindak
keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya insting tersebut belum sempurna. Sebagai contoh insting
sosial, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk
berkomunikasi. Demikian pula insting agama, baru akan berfungsi ketika anak
sudah dididik dan dilatih untuk menjalankan ajaran-ajaran agama walaupun dalam

PSIKOLOGI AGAMA | 8
taraf yang sangat sederhana, dan hal ini akan terus berkembang mencapai
kematangan yang lebih sempurna.

Berdasarkan teori di atas, pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan,
pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya dulu. Seorang yang pada
waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, maka pada masa dewasanya nanti, ia
tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang di waktu
kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama karena hasil dari didikan agama yang
intensif baik dari orang tua maupun lingkungannya, maka kelak anak tersebut akan mempunyai
kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, karena telah merasakan betapa
nikmatnya hidup beragama.

Sekarang masalahnya bagaimana si anak mengenal Tuhan untuk yang pertama kali?
Menurut Zakiyah Daradjat (1970) bahwa anak mulai mengenal Tuhan melalui bahasa. Dari kata-
kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada permulaan diterimanya secara acuh tak acuh
saja. Tuhan bagi anak pada permulaan, merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang tidak
dikenalnya dan diragukan kebaikan niatnya, anak tidak mempunyai perhatian terhadap Tuhan pada
permulaan, adalah karena ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana.

Tuhan bagi anak merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya, maka dari itu ia takut
dan selalu gelisah. Itulah sebabnya barangkali, anak-anak itu sering menanyakan tentang zat,
tempat dan perbuatan Tuhan dan pertanyaan lain yang bertujuan untuk mengurangi kegelisahan.
Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan reaksi yang disertai dengan emosi
dan perasaan tertentu yakni rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, maka mulailah ia merasa sedikit
gelisah dan ragu tentang sesuatu yang gaib yang tidak dapat dilihatnya itu, dan mulailah
perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Mungkin ia ikut membaca dan mengulang kata-kata
yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat laun tanpa disadarinya, akan masuklah pemikiran
tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi objek pemikiran agamis.

Seorang anak mulai usia 3 dan 4 tahun sering mengemukakan pertanyaan yang ada
hubungannya dengan agama, misalnya: "Siapa Tuhan, dimana surga? bagaimana cara pergi ke
surga?" dan lain-lain. Dan cara memandang alam ini seperti memandang dirinya, belum ada
pengertian yang metafisik. Mereka merasa bahwa bersembunyinya Tuhan (karena tidak dapat
dilihat) adalah sikapnya negatif, dan tentu ada niat jahat. Maka pada usia ini (kurang dari 7 tahun)
perasaan anak pada Tuhan negatif, takut, menentang dan ragu. Dia berusaha untuk menerima
pemikiran tentang Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan sesuai dengan emosinya.

Anak-anak akan menerima segala jawaban apapun yang diberikan oleh orang dewasa atas
pertanyaan-pertanyaannya dan buat sementara telah dapat memuaskannya, tapi terkadang
jawaban- jawaban yang kurang serasi dapat membawa kepada keragu-raguan dan pandangan
skeptis di masa remaja nanti. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan bukanlah karena
rasa ingin tahunya tapi lebih cenderung didorong oleh rasa takut dan ingin merasa aman.

Selanjutnya pada usia 7 tahun ke atas perasaan anak terhadap Tuhan sudah lebih positif,
tidak tampaknya Tuhan tidak membuat dirinya gelisah. Dapatnya si anak menerima pemikiran
tentang Tuhan pada periode ini adalah untuk menenangkan jiwanya dari pertanyaan- pertanyaan

PSIKOLOGI AGAMA | 9
dan tantangan-tantangan yang terkadang tidak dijawab oleh orang dewasa, maka disusunnya lah
jawaban yang diciptakannya sendiri dalam pikirannya, yang sebagain dari jawaban itu, telah
didapatnya dari pendidikan agama yang diterimanya.

Apa yang dipercayai oleh anak, tergantung kepada apa yang diajarkan kepadanya oleh
orang tua di rumah ataupun gurunya di sekolah, karena ia masih belum mampu berpikir secara
logis, kepercayaan anak itu bisa saja bersifat kontradiksi, misalnya ia percaya bahwa Tuhan itu
baik, tetapi di lain pihak juga dapat menghukum manusia. Untuk memudahkan si anak menerima
pemikiran tentang Tuhan, perlulah dikemukakan kepadanya sifat-sifat Tuhan yang baik, pengasih,
penyayang dan lain-lain, yang bisa memotivasi si anak untuk merasa aman. Dan hendaklah ia
dijauhkan dari perasaan yang akan mendorongnya kepada prasangka buruk kepada Tuhan seperti
sifat jahat, keras, kejam dan sebagainya dengan demikian perasaan-perasaan yang positif dapat
menguasai sifat-sifat yang menentang Tuhan.

Cerita-cerita dalam kitab suci dapat menarik perhatian anak-anak, seperti mereka tertarik
akan cerita-cerita hantu dan sebagainya. Perhatian anak-anak akan lebih tertuju kepada orang-
orang, pemuka-pemuka agama dari pada isi ajarannya, dan cerita itu akan lebih menarik jika
berhubungan dengan masa anak-anak dari tokoh-tokoh agama itu. Karena seorang anak bukanlah
orang dewasa dalam bentuk kecil, maka agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok
bagi anak-anak. Kalau kita ingin supaya agama mempunyai arti bagi anak-anak, hendaklah
disajikan dengan cara yang lebih kongkrit, dengan bahasa yang mudah dipahaminya dan kurang
bersifat dogmatik.

Anak ingin supaya kebutuhannya untuk tahu (curiousity) dapat terpenuhi. Menyimpang
atau salahnya pengertian anak-anak tentang konsep- konsep agama, sebagiannya disebabkan oleh
kesalahan pengertiannya terhadap kata-kata yang digunakan dalam menerangkan konsep-konsep
tersebut. Latihan- latihan keagamaan hendaklah dilakukan sedemikian rupa secara intensif
sehingga bisa menumbuhkan nilai- nilai dan rasa aman, karena nilai-nilai tersebut sangat
diperlukan dalam pertumbuhan kepribadiannya hingga. anak menjadi dewasa.

3. Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Agama pada Masa Anak-Anak

Menurut penelitian Ernest Harms, yang dikemukakan oleh Ramayulis (Ramayulis, 2004),
bahwa perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase atau tingkatan, yang antara lain
adalah:

a. The Fairy Tale Stage (Tingkatan dongeng)


Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3- 6 tahun. Pada tingkatan ini, konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, hingga dalam
menanggapi agama pun, anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh
dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Pada tingkat perkembangan ini, anak
menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.

b. The Realistic Stage (Tingkatan kenyataan)


Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia)
adolesense, Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang

PSIKOLOGI AGAMA | 10
berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga
keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini, ide
keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan
konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, pada masa ini, anak-anak tertarik dan
senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam
lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari
dengan penuh minat.

c. The Individual Stage (Tingkat Individu)


Pada tingkat ini, anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usianya. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga
golongan, yaitu:
1) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil
fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2) Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat
personal (perseorangan).
3) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama.

Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan
faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa anak sejak dilahirkan sudah mempunyai potensi bawaan yang berupa fitrah untuk mengabdi
kepada Tuhannya, dan perkembangan jiwa agama selanjutnya akan lebih banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya, dalam hal ini adalah orang tuanya, para gurunya, teman sebaya dan masyarakat
yang berada di lingkungan anak, dimana anak tersebut hidup dan melakukan interaksi dalam
pergaulan sehari-hari.

Yang jelas jikalau kita ingin anak kita kelak menjadi anak yang berjiwa agama kokoh,
maka sejak kecil kita berikan pengalaman pendidikan agama yang kuat sehingga ketika anak
menginjak usia remaja pembinaan agama akan lebih mudah, begitu pula sebaliknya jika sejak kecil
anak tidak pernah diberi pengalaman pendidikan agama yang kokoh, maka ketika remaja bahkan
dewasa anak akan sangat sulit untuk menerima ajaran-ajaran agama, karena hal itu terasa asing
buat mereka.

4. Sifat-Sifat Agama pada Anak

Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat keagamaan pada anak-anak tumbuh
mengikuti pola ideas concept on outhority, yaitu ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya
autoritarius, yaitu maksudnya faktor keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar
diri mereka. Hal ini dapat dimengerti, karena anak sejak usia muda, telah melihat dan mempelajari
hal-hal yang ada di luar diri mereka.

Orang tua mereka telah memberikan pengalaman dan pendidikan yang berkaitan dengan
berbagai corak kehidupan terlebih di bidang agama, apalagi jika orang tua mereka adalah seorang
penganut agama yang taat. Dengan demikian ketaatan terhadap ajaran agama merupakan
kebiasaan yang telah menjadi milik mereka, yang mereka pelajari dari orang tua dan guru mereka.

PSIKOLOGI AGAMA | 11
Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka
sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. karena itu bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat
dibagi atas:
a. Unreflective (Tidak Mendalam)
Yaitu kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup
sekedarnya saja, dan mereka cukup puas dengan keterangan yang terkadang kurang
masuk akal. Mereka tidak berani untuk mengkritik sesuatu yang mereka terima
terutama jika yang mengatakan adalah orang dewasa. Menurut penelitian pada usia
12 tahun pikiran kritis baru muncul sejalan dengan pertumbuhan moralnya. Namun
demikian pada beberapa orang anak ada yang sudah memiliki ketajaman pikiran
untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain, sehingga mereka
mempunyai keberanian untuk mengkritik.

b. Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri mulai tahun pertama sejak usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka
akan tumbuh rasa keraguan pada rasa egonya, semakin bertumbuh semakin
meningkat pula rasa egoisnya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah
keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep
keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Seorang anak yang
kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami tekanan akan bersifat
kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah. Hal yang
mengganggu pertumbuhan keagamaannya.

c. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan
bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek
kemanusiaan. Melalui konsep ini terbentuk dalam pikiran mereka menganggap
bahwa keberadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pada anak yang berusia 6
tahun menurut penelitian Praff, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai
berikut: "Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar,
Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun". Konsep ketuhanan yang demikian
itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-masing.

d. Verbalis dan Ritualis


Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian
besar tumbuh mula- mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal
kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka
.
e. Imitatif

PSIKOLOGI AGAMA | 12
Dalam hal menjalankan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak berdasarkan
dari hasil meniru, yang mereka peroleh dari hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif.

f. Rasa Heran dan Kagum


Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada
anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, maka rasa kagum
pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap
keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan
kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new
experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang
menimbulkan rasa takjub.

5. Pembinaan Pribadi pada Anak

Pembagian ini Secara rinci, pembinaan agama pada anak yang sesuai dengan sifat
keberagamaan anak dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain (Baharudin,
2008:115):
a. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman langsung seperti sholat
berjamaah, bersedekah, zakat, berkurban, meramaikan hari raya dengan bersama-
sama membaca takbir dan sebagainya. Pengalaman agama secara langsung tersebut
ditambah dengan penjelasan sekedarnya saja atau pesan-pesan yang disampaikan
melalui dongeng, cerita, main drama, nyanyian, permainan sehingga tidak
membebani mental maupun pikiran mereka.
b. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan anak-anak, mengingat sifat agama
anak masih egosentris. Sehingga model pembinaan agama bukan mengikuti
kemauan orang tua maupun guru saja, melainkan harus banyak variasi agar anak
tidak cepat bosan. Untuk itu orang tua maupun guru harus memiliki banyak ide dan
krativitas tentang strategi dan teknik pembinaan agama, sehingga setiap saat bisa
berganti-ganti pendekatan dan metode walaupun materi yang disampaikan boleh
jadi sama.
c. Pengalaman agama anak selain didapat dari orang tua, guru dan teman-teman
sebaya, baik mengenai ucapan maupun perilaku sehari-hari, mereka juga belajar
dari orang-orang disekitarnya yang tidak mengajarinya secara langsung. Untuk itu
pembinaan agama anak juga penting dilakukan melalui pembauran secara langsung
dengan masyarakat luas yang terkait dengan kegiatan agama seperti; pada waktu
sholat tarawih, sholat jum'at, sholat hari raya, berkurban maupun kegiatan yang
lainnya. Dengan cara seperti itu, maka paling tidak suatu saat anak akan semakin
termotivasi untuk menirukan perilaku- perilaku agama yang dilakukan oleh
masyarakat umum. Hal ini mengingat sifat agama anak masih imitatif. Oleh karena
itu orang tua, guru, maupun masyarakat secara luas hendaknya bisa menjadi contoh
dan suri tauladan yang baik supaya perilaku anak bisa cenderung menjadi baik.
d. Pembinaan agama pada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui
ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajari anak sholat,
maka lebih dahulu diajari tentang hafalan bacaan sholat secara berulang-ulang
hingga hafal di luar kepala sekaligus diiringi dengan melakukan praktik sholat

PSIKOLOGI AGAMA | 13
secara langsung, dan akan lebih menarik apabila dilakukan bersama dengan teman-
temannya. Setelah anak hafal bacaan dan gerakan sholat, maka seiring dengan
bertambahnya usia, pengalaman dan pengetahuannya baru dijelaskan tentang
syarat, rukun serta hikmah sholat. Demikian juga untuk materi-materi pembinaan
agama yang lain.
e. Perlunya melakukan kunjungan ke tempat-tempat atau pusat-pusat agama yang
lebih besar kapasitasnya. Misalnya anak-anak yang ada di pedesaan sekali waktu
diajak ke masjid jami' yang ada di kota yang kapasitas jumlah jama'ahnya jauh lebih
besar, atau melakukan studi banding ke pesantren-pesantren yang besar di
Indonesia seperti pondok gontor dan sebagainya maupun kampus-kampus Islam
atau pusat-pusat kebudayaan Islam seperti tempat-tempat ziarah para wali, agar
pertumbuhan jiwa agama mereka semakin baik dan bisa meningkat.
f. Mengingat salah satu sifat agama anak adalah rasa heran dan kagum, maka
penyajian ide-ide keagamaan perlu juga disajikan lewat cerita-cerita yang menarik
melalui tayangan dilayar kaca atau yang lainnya, baik tentang cerita-cerita para
Nabi, berbagai peristiwa yang menakjubkan di alam ini dan lain sebagainya.
Dengan demikian diharapkan pada akhirnya dalam jiwa anak akan terbersit rasa
semakin percaya pada kekuasaan Tuhan

B. Pengenalan tentang Hidup dan Mati kepada Anak-anak

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan
dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang
memperdaya.”

Selanjutnya sehubungan dengan dan perkembangan agama atau kepercayaan pada masa
anak-anak, terjadi pula proses perkembagan pengertian tentang masalah mati. Bagaimana masalah
kematian menurut anak? Ternyata pada masa anak-anak (usia kurang dari 7 tahun), anak belum
dapat mengerti bahwa peristiwa mati itu adalah hal yang wajar bagi setiap orang yang bernyawa,
termasuk manusia dan dirinya sendiri. Pada umumnya masalah mati itu memang hal yang tidak
menyenangkan, bahkan menimbulkan ketakutan, maka dari itu sebabnya maka banyak orang
dewasa berusaha menghindari anak- anak dari salah pengertian dan perasaan ketakutan akan mati
itu.

Menurut Zakiyah Daradjat , pada masa permulaan, mati bagi anak mengandung pengertian
antara lain:

PSIKOLOGI AGAMA | 14
a. Mati adalah hukuman; yakni orang yang jahat sajalah yang akan mati, karena ia
menyangka bahwa mati itu adalah sekedar perasaan sakit yang diderita orang.
b. Mati adalah penyakit; anak menyangka bahwa mati adalah terhalangnya sebagian
orang dari menjalankan tugasnya, maka mati selalu berhubungan dengan pemikiran
anak-anak tentang dokter, ambulance dan sebagainya.
c. Mati adalah peristiwa kecelakaan yang terjadi secara tiba-tiba, misalnya tabrakan,
tenggelam, kena pukul dan sebagainya. Maka mati bukanlah keadaan umum dan
bukanlah akhir dari setiap yang hidup.
d. Mati adalah sama dengan tidur.

Semakin bertambah pengertian si anak akan arti mati, maka semakin terdoronglah jiwanya
untuk menentang, menekan atau mengubah artinya, guna mengurangkan kegelisahannya.
Seseorang belum dapat dikatakan matang, kalau belum dapat menerima kenyataan mati yang
sebenarnya, hanya saja pengertian itu tidak akan didapatnya secara sekaligus, tapi dengan cara
berangsur- angsur.

Al-Malighiy (Al-malighiy et al., n.d.) dalam penelitiannya terhadap keberagamaan kanak-


kanak di Mesir menemukan bahwa pada masa awal yakni pada masa egosentrisme kanak- kanak
sedang menonjol, maka pemikirannya tentang Allah bersifat antrophocentris, artinya ia
membayangkan Allah seperti makhluk. Makhluk yang dimaksudkan adalah bapaknya dimana dia
memikirkan Allah sama dengan bapaknya yang sempurna dan dia kagumi. Dalam pikiran kanak-
kanak bahwa bapaknya Tidak berada di dalam waktu dan tempat tertentu, ia akan hidup selamanya
dan tidak akan mati titik lama-kelamaan dengan pertumbuhan kognitifnya dia mulai memahami
realita dan melihat ada kekurangan dan kelemahan pada bapaknya, maka dia mulai memisahkan
pemikirannya tentang Tuhan dari sosok bapaknya.

PSIKOLOGI AGAMA | 15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi
menjadi tiga bagian: The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng), The Realistic Stage (Tingkat
Kepercayaan), dan Individual Stage (Tingkat Individu).

PSIKOLOGI AGAMA | 16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Kariim

Al-malighiy, Mun’im, ’abdul, & ’azi, ’abdul. (n.d.). Tathawwur asy-syu’r ad-diiniy. Daar Al-
ma’arif.

Darajat, Z. (1986). Ilmu Jiwa Agama. Bulan Bintang.

Muchnun Husein. (2000). Pengantar Psikologi Agama. Raja Grafindo Persada.

Nizar, H. (2003). Psikologi Agama. IAIN IB Press.

Rakhmat, J. (2002). Psikologi Agama. PT Mizan Pustaka.

Ramayulis. (2004). Psikologi Agama. Kalam Mulia.

Rohmah, Noer. (2020).Psikologi Agama. CV Jakad Media Publishing

PSIKOLOGI AGAMA | 17

Anda mungkin juga menyukai