Anda di halaman 1dari 5

Nama : Syafriansyah

NPM : 20701003
Psikologi Indigenous
Hubungan Antara Psikologi Indegenous dan Moralitas

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan moral dan perkembangan moral Menurut
Kohlberg?
Selama periode orientasi relativitis ditahun lima puluhan (Kohlberg, 1958) bahwa
moralitas (sebagai epitome/lambing relativisme kultural) adalah sebuah fenomenon universal
dan, selain itu, bahwa moralitas berkembang dengan sekuensi invariant secara lintas-budaya,
selalu mengikuti urutan yang tidak dapat dibalik (Kohlberg, misalnya, 1976, 1986). Di tingkat
empiric, ada banyak data yang mendukung klaim Kohlberg. Tren-tren perekembangan universal
ad ajika materinya diskor dengan menggunakan manual terbaru (Colby et al., 1987) dari sudut
pandang kuantitatif, tahap 2 sampai 5 tampaknya ada secara trans-kultural, dan invariasi trans-
kultural tahap-tahapnya didukung dalam batas-batas reliabilitas manualnya (untuk detail-detail
kritis, lihat Eckenberger, 1986), meskipun tahap 5 jarang ditemukan. Penting bahwa tren-tren
umum dalam perkembangan dalam tahapan ini tidak banyak mengungkap banyak bias Barat –
tahap-tahap yang lebih tinggi juga ditemukan di budaya-budaya non-Barat (seperti Taiwan dan
India), meskipun tahap-tahap yang lebih tinggi jarang, bahkan di Barat (untuk informasi lebih
terperinci tentang teori konsistensi tahapan, sub-subtahap A-/B, anteseden-anteseden
perkembangan, dna lain-lain, lihat Eckenberger & Zimba, 1997; Edwards, 1986; Snarey, 1985;
Vine, 1986). Tahapan Perkembangan Moral menurut Kohlberg sebagai berikut :

Level 1 - Moralitas prekonvensional

Moralitas prekonvensional adalah tahap pertama perkembangan moral, dan berlangsung sampai
kira-kira usia 9. Pada tingkat prekonvensional, anak-anak tidak memiliki kode moralitas pribadi,
dan sebaliknya keputusan moral dibentuk oleh standar orang dewasa dan konsekuensi dari
mengikuti atau melanggar aturan mereka. Misalnya, jika suatu tindakan mengarah pada hukuman
itu pasti buruk, dan jika itu mengarah pada pahala itu pasti baik. Otoritas berada di luar individu
dan anak-anak seringkali membuat keputusan moral berdasarkan konsekuensi fisik dari
tindakannya.

Tahap 1. Orientasi Kepatuhan dan Hukuman . Anak / individu itu baik agar tidak dihukum.
Jika seseorang dihukum, mereka pasti melakukan kesalahan.

Tahap 2. Individualisme dan Pertukaran . Pada tahap ini, anak-anak menyadari bahwa tidak
hanya ada satu pandangan benar yang diturunkan oleh pihak berwenang. Setiap individu
memiliki sudut pandang yang berbeda.

Level 2 - Moralitas konvensional

Moralitas konvensional adalah tahap kedua dari perkembangan moral, dan ditandai dengan
penerimaan aturan sosial tentang benar dan salah. Pada tingkat konvensional (kebanyakan remaja
dan orang dewasa), kita mulai menginternalisasi standar moral dari teladan orang dewasa yang
dihargai. Otoritas diinternalisasi tetapi tidak dipertanyakan, dan penalaran didasarkan pada
norma-norma kelompok di mana orang tersebut berada. Sistem sosial yang menekankan
Nama : Syafriansyah
NPM : 20701003
Psikologi Indigenous
tanggung jawab hubungan serta tatanan sosial dipandang diinginkan dan karena itu harus
memengaruhi pandangan kita tentang apa yang benar dan salah.

Tahap 3. Hubungan Interpersonal Yang Baik . Anak / individu itu baik agar dilihat sebagai
orang baik oleh orang lain. Oleh karena itu, jawaban berkaitan dengan persetujuan orang lain.

Tahap 4. Menjaga Tatanan Sosial . Anak / individu menjadi sadar akan aturan masyarakat
yang lebih luas, sehingga penilaian berkaitan dengan ketaatan pada aturan untuk menegakkan
hukum dan menghindari rasa bersalah.

Level 3 - Moralitas pascakonvensional

Moralitas pascakonvensional adalah tahap ketiga dari perkembangan moral, dan dicirikan oleh
pemahaman individu tentang prinsip-prinsip etika universal. Ini abstrak dan tidak jelas, tetapi
mungkin termasuk: pelestarian kehidupan dengan segala cara, dan pentingnya martabat manusia.

Penilaian individu didasarkan pada prinsip-prinsip yang dipilih sendiri, dan penalaran moral
didasarkan pada hak dan keadilan individu. Menurut Kohlberg, level penalaran moral ini sejauh
yang dipahami kebanyakan orang. Hanya 10-15% yang mampu melakukan pemikiran abstrak
yang diperlukan untuk tahap 5 atau 6 (moralitas pasca-konvensional). Artinya, kebanyakan orang
mengambil pandangan moral mereka dari orang-orang di sekitar mereka dan hanya sebagian
kecil yang memikirkan prinsip-prinsip etika untuk diri mereka sendiri.

Tahap 5. Kontrak Sosial dan Hak Individu . Anak / individu menjadi sadar bahwa sementara
aturan / hukum mungkin ada untuk kebaikan sebagian besar, ada kalanya mereka akan
bertentangan dengan kepentingan individu tertentu. 

Masalahnya tidak selalu jelas. Misalnya, dalam dilema Heinz, perlindungan kehidupan lebih
penting daripada melanggar hukum melawan pencurian.

Tahap 6. Prinsip Universal . Orang-orang pada tahap ini telah mengembangkan seperangkat
pedoman moral mereka sendiri yang mungkin sesuai atau tidak sesuai dengan hukum. Prinsip ini
berlaku untuk semua orang.

Misalnya hak asasi manusia, keadilan, dan persamaan. Orang tersebut akan siap untuk bertindak
untuk mempertahankan prinsip-prinsip ini meskipun itu berarti melawan masyarakat lainnya
dalam proses tersebut dan harus membayar konsekuensi dari ketidaksetujuan dan atau
pemenjaraan. Kohlberg ragu hanya sedikit orang yang mencapai tahap ini.

2. Jelaskan Bagaimana Proses Kemunculan Psikologi Indegenous dari sudut pandang


Moralitas?
Sudut pandang perkembangan moral membantu elaborasi soal ini, dan bahkan satu
langkah lebih maju dengan menganalisis folk theories yang dibangun IP(Indigenous Psikologi).
Nama : Syafriansyah
NPM : 20701003
Psikologi Indigenous
Dari perspektif ini, ternyata IP muncul dalam budaya-budaya yang tidak membedakan antara
agama dan etika (dalam filsafat), dan yang aturan perilaku berakar dalam Buddhisme,
Konfusianisme, Taoisme, Hinduisme, Islam, Shinntoisme,atau system-sistem keyakian religious
kesukuan. Artinya, ia berasal dari agama-agama non-Barat. Poin ini dikemukakan secara
eksplisit oleh Ho, Si-qing Peng, Lai, dan Chan (2001). Faktanya, kalua orang melihat penelitian
empiric diberbagai bidang (kebutuhan berprestasi, prestasi sekolah, emosi), di kebanyakan kasus
salah satu system religious uang dienumerasi dijadikan acuan. Tahap-tahap perkembangan di
India, misalnya, sering dirangkum dalam kaitanya dalam tahap-tahap yang dibedakan dalam
Wedha (Saraswathi & Ganapathy, 2002, Vasudev, 1984). Hal ini tampaknya juga berlaku untuk
Amerika Latin, psikologi “melekat erat dalam perkembangan bahasa, ilmu sihir, agama, dan
filsafat” (Diaz-Guerrero, 1994, hlm. 717, dikutip oleh Sinha, 1997, hlm. 144). Hal ini
tampaknya juga berlaku untuk Afrika. Nsamenang (1992), misalnya, membedakan tiga
komponan dasar selfhood (spiritual, ansentral, dan social), termasuk agama. Jadi, bagi banyak
pakar psikologi non-Barat, budaya mereka dapat dilihat dan sekaligus jelas karena ada hubungan
eksplisit antara keyakinan religious mereka dan budaya mereka. Jadi, dri sudut pandang
psikologis, agama tidak bisa sekedar dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Alih-alih, ia
merepresentasikan sebuah system-aturan yang diyakini orang dan oleh sebab itu juga mengatur
perilaku mereka sampai tingkat yang cukup jauh. Dalam hal ini, agama adalah objek esensial
psikologi sebagai ilmu budaya, ini berlaku untuk CP(Cultural Psychology) pada umumnya, dan
untuk IP pada khususnya. \
Manusia bukan hanya melakukan refleksi terhadap ekstensinya, merka juga melekatkan
makna pada kehidupannya maupun pada duia, dan juga memahami akhir ekstensi ini: Manusia
tahu pasti bahwa mereka akan mati, dan mereka melekatkan makna pada kematian. Inilah tempat
buaian bagi agama (Eckenberger, 1993) dan budaya (Morin, 1973). Agama-agama berakar pada
dimensi-dimensi eksistensial. Mereka tidak didasarkan pada pengetahuan, tetapi pada keimanan.
Selain itu, meskipun agama dan aturan kultural perilaku bisa diterima sebgai dua hal uang
identic, tetapi isi mereka (mentalitas-mentalitas dalam pegertian Shweder) cukup berbeda,
3. Ceritakan bagaimana Metode yang digunakan dalam penelitian moral pada
Psikologi Indegenous?
Strategi penelitian yang paling luas diterima pernah diusulkan oleh Berry (1969), yang
didapatkan dirangkum sebagai sekuensi emic, imposed etic dan deived etic, yang dalam
pengertian tertentu imperalistik karena penelitian itu dimulai dengan satu budaya (biasanya
Barat). Akan tetapi, dengan menggunakan perspektif CP, orang seharusnya mulai dengan
diskusi-bersama (top-down) tentang konsep-konsep yang ingin diteliti. Wacana ini bukan hanya
didasarkan pada sikap saling menghormatidi kalangan peneliti dan latarbelakang kultural
mereka, tetapi juga menyiratkan bahwa wacana itu dapat menghasilkan refleksi yang bermanfaat
terhadap konsep-konsep yang terlibat dan prasangka-prasangka kultural yang mungkin dimili
terhadap budaya asing maupun budayanya sendiri. Sebagai hasil strategi semacam itu, sebuah
consensual etic, bukan derived etic yang akan muncul (Eckenberger, 1994), yang juga
mereleksikan fakta bahwa validasi teori adalah sebuah proses social. Akan tetapi, masalah
pemahaman (di antara para peneliti) masih ada, baik karena Bahasa yang berbeda (bahkan jika
Nama : Syafriansyah
NPM : 20701003
Psikologi Indigenous
bahasa lisan yang digunakan adalah Bahasa Inggris, pada banyak kasus konotasinya bisa
berbeda) maupun latar belakang kultural yang berbeda. Masalah ini didiskusikan secara agak
produktif dalam filsafat analitik, Quine dan Davidson, misalnya menyentuh masalah
penerjemahan. Menariknya, masalah ini tidak diformulasikan secara teknis, namun dalam
batasan-batasan moral, dengan mengusulkan dua prakondisi : (a) penggunaan empati, dan (b)
prinsip charity, yang berarti mengatribusikan kebenaran maksimum pada kalimat-kalimat yang
diucakan dalam dialog (atau bahasa asing) (Quine, 1976).
Misra (2001, hlm. 16) mengambil posisi serupa dengan mengatakan”Kita perlu beralih
dari psikologi respons ke psikologi konstruksi. Konstruksi (makna) melalui dialog terus-menerus
antara peneliti dan fenomenon yang diteliti berlangsung berdasarkan indikator-indikator”.
Metode-metode dialogis ini sekali lagi menyiratkan sebuah dimensi moral, sebuah sikap
performatorik di sisi peneliti (Habermas, 1981). Menghormati orang yang diteliti seharusnya
menjadi prakondisi dari semua penelitian empiric. Akan tetapi, menarik bahwa ini sangat jarang
didiskusikan dengan mengacu pada metode-metode konkret. Keller (1997), misalnya adalah
salah satu di antara beberapa develop-mentalis yang melakukan refleksi atas masalah ini dengan
mengacu pada situasi asing dalam tradisi Ainsworth, yang diterapkan nyaris di seluruh dunia.
Benar bahwa bayi mengalami stress dalam situas asing yang bisa mengubah kelekatan mereka
pada pengaruhnya, hal ini bahkan lebih problematic jika pengalaman semacam iu (sendirian, dan
kemudian bertemu orang asing) agak tidak biasa di sebuah budaya, misalnya di Jepang.
4. Jelaskan bagaimana sebuah moral dapat berlaku secara universial dari sudut
pandang Psikologi Indegenous ?
Teori ini adalah keluarga dari action theories yang didasarkan pada tradisi Perancis Janet
(Schwartz, 1951) maupun filsafat Jerman (dari Dillthey, 1984 sampai Habermas, 1981) dan
teori aktivitas Rusia (lihat Eckenberger, 1995). Mereka menggunakan perspektif homo
interpretans, agen yang menciptakan-makna dan secara potensial self-reflective. Action theory
bukan hanya sebuah fondasi untuk menciptakan psikologi berbasis-budaya (Boesch, 1991;
Eckenberger, 1996); action theories juga sangat atraktif di konteks sekarang yang moralitasnya
menjadi objek peneorisasian dan penelitian karena konsep moralitas secara analitik
mengandaikan sebuah keputusan yang diambil oleh agen secara potensial self-reflective yang
mampu memutuskan. Tanpa asumsi agen yang dapat bertanggungjawab atas tindakan dan
hasilnya, definisi moralitas hampir mustahil dibuat—itulah sebabnya sifat nonmanusia dianggap
netral secara moral.
Kami seara spesifik menerapkan model ini pada moralitas dan perkembangannya dalam
konteks. Hasilnya berlipat ganda dan menjanjikan. Rekonstruksi action theory kami tentang
perkembangan moral menggunakan elemen-elemen tindakan sebgai kritetion struktur (goal
taking, bukan role taking)dan menghasilkan tahap-tahap yang menghasilkan penambahan pada
jenis dan jumlah elemen yang dipertimbangkan di sebuah keputusan moral. Analisis ini
menghasilkan lebih banyak tahap disbanding yang diusulkan Kohlberg (Eckenberger &
Reinshagen, 1980), dan dalam empat tingkat—bukan—moral judgement (Eckenberger, Dὅring
& Breit, 2001). Hal ini dihasilkan dua ruang lingkup interpretasi social, interpersonal sphere,
yang ditentukan oleh interaksi-interaksi konkret dengan orang konkret, dan transpersonal social
Nama : Syafriansyah
NPM : 20701003
Psikologi Indigenous
sphere, yang ditentukan oleh fungsi dan peran. Menurut data dan analisis teoretik kami,
perkembangan berangsung mulai dari heteronomy ke otonomi dalam kedua tingkat, yang
menyiratkan bahwa model ini sangat cocok untuk menentukan keadekuatan struktur moral dalam
face-to-face societies (permasalahan Edward), yang merupakan sebuah ruang interpersonal.
Konseptualisasi ini mengatasi masalah transisi dari tahap 3 ke tahap 4 dalam skema Kohlberg
dengan cara yang elegan, dan ia sangat cocok dengan konsep-konsep seperti konsep Indonesia
Kami dan Kita.

Daftar Pustaka
Uichol Kim dkk, 2010, “Indigenous and Cultural Psychology”, Seotjipto HP. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar
McLeod, S. A. (2013, October 24). “Kohlberg's stages of moral development”. Simply
Psychology. https://www.simplypsychology.org/kohlberg.html

Anda mungkin juga menyukai