Disusun oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara umum Sebenarnya agak sulit merumuskan secara tepat apa yang dimaksud
dengan normal dan abnormal tentang perilaku. Penyebabnya antara lain : pertama sulit
menemukan model manusia yang ideal atau sempurna. Kedua dalam banyak kasus tak ada
batas tegas antara perilaku normal dan abnormal. Dalam arti orang yang secara umum
dipandang normal-sehat pun suatu saat dapat melakukan perbuatan yang tergolong
abnormal, mungkin diluar kesadarannya. Sebaliknya, tidak jarang orang yang secara
umum jelas-jelas abnormal melakukan perrbuatan atau mengucapkan kata-kata yang
sungguh-sungguh normal-waras. Diperlukan sejumlah patokan atau ukuran untuk
membedakan antara normal dan abnormal. Selain itu kami menjelaskan tentang perilaku
abnormal dalam pandangan psikoanalisa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perilaku Normal
Dalam perilaku, normal adalah istilah yang dikenal untuk setiap makhluk hidup
bahwa tidak ada perbedaan signifikan dengan kelompoknya, meskipun dalam derajat yang
bervariasi, setiap hidup yang memiliki perbedaan apa pun biasanya tidak diperhitungkan,
dimana penggunaan Kata yang normal hanya bisa subjektif. Namun istilah ini seringkali
bukan yang paling tepat untuk mendefinisikan apa-apa, karena semuanya berbeda satu
sama lain dan tidak ada titik acuan untuk berbicara sebagai "normal".
3. Menurut Kartono dalam Darwis mengemukakan bahwa ada dua jenis perilaku
manusia, yakni perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal adalah
perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan parilaku
abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada
umumnya, dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku
abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau perilaku bermasalah.
4. Menurut WHO, normal adalah keadaan dimana seseorang yang sempurna fisik,
mental dan sosialnya, tidak mengidap penyakit dan kelemahan-kelemahan tertentu.
6. Menurut Wb Boehm, normal adalah kondisi dan taraf pemfungsian social yang
oleh lingkungan social dapat diterima dan secara individu dirasa menyenangkan.
Psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi dalam bidang klinis dimana ia
mempelajari pola perilaku abnormal dan menggunakan cara tertentu untuk membantu
orang yang mengalami abnormalitas.
Perilaku abnormal adalah kondisi emosional seperti kecemasan dan depresi yang tidak
sesuai dengan situasinya.
Perilaku abnormal terdiri dari dua kata yaitu, perilaku dan abnormal. Perilaku adalah
tingkah laku seorang manusia. Sedangkan abnormal adalah hal yang jarang terjadi atau
menyimpang dari kondisi rata-rata. Jadi perilaku abnormal adalah suatu tingkah laku
manusia yang menyimpang dari kondisi rata-rata.
Ada beberapa perilaku yang dianggap abnormal, yang bisa kita golongkan sebagai berikut:
1 Psikopat
Secara harfiah, psikopat artinya sakit jiwa. Seseorang yang menderita kelainan ini sangat
pandai berpura-pura dan membuat kamuflase yang rumit demi keuntungan dirinya sendiri.
2 Penyimpangan Seksual
Pada kriteria ini, yang menjadi objek pemuasan seksual adalah lawan jenis
namun dengan cara yang tidak lazim.
Juga dikenal dengan nama neurosis, ini adalah suatu kondisi gangguan mental
yang hanya mempengaruhi sebagian kepribadian sehingga penderitanya masih
dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Biasanya diekspresikan secara tidak sadar
dalam bentuk mekanisme pertahanan diri atau self defense mechanism. Bentuk
neurosis seperti :
1. Fugue
Asal katanya dari bahasa Latin Fugere yang berarti melarikan diri. Individu
yang mengalami fugue bisa saja secara mendadak meninggalkan rumah dan
semua yang dikenalnya lalu mengambil identitas baru. Hal ini biasanya
terjadi karena seseorang berusaha lari dari kenyataan setelah mengalami
tekanan berat. Fugue berbeda dengan amnesia, dan bukan merupakan
gangguan kepribadian ganda karena identitas baru tersebut tidak selengkap
identitas dalam kepribadian ganda.
2. Somnabulisme
Berasal dari kata somnus yang berarti tidur dan ambulare yang berarti
berjalan, definisi dari somnabulisme adalah tidur berjalan. Seperti dalam
keadaan trance, penderita tidur sambil berjalan dan melakukan sesuatu hal.
Walaupun sekilas hal ini tidak terlihat serius, nyatanya berjalan dalam tidur
kerap mendatangkan bahaya bagi penderitanya.
3. Multiple Personality
Sekarang disebut gangguan identitas disosiatif , merupakan kasus psikologi
yang lebih rumit dimana penderitanya bisa memiliki dua atau lebih
kepribadian di dalam dirinya. Gangguan ini biasanya muncul jika di masa
kecil telah mengalami suatu trauma atau tekanan hebat.
4. Fobia
Rasa takut yang berlebihan terhadap objek atau terhadap sesuatu tanpa bisa
dijelaskan, dan tidak jarang menyebabkan stres atau depresi, cemas dan
panik yang ekstrem.
5. Obsesi
Yang dimaksud obsesi adalah ketika seseorang mengalami kecemasan
berlebihan terhadap sesuatu dan menunjukkan usaha berlebihan untuk
menghilangkan kecemasan tersebut.
6. Histeria
Suatu bentuk gangguan mental yang timbul dari kecemasan yang intens.
Histeria ditandai dengankejadian dimana ada kurangnya kontrol atas
kesadaran dan emosi seseorang, lalu tiba – tiba mengalami ledakan
emosional.
7. Hipokondria
Hipokondria adalah gangguan psikologi dimana penderitanya merasa
mengalami penyakit tertentu walaupun secara medis tidak ada gejala
penyakit sama sekali. Penderita hipokondria selalu merasa takut akan
terkena penyakit tertentu.
4 Psikosis
Psikosis disebut dengan kelainan kepribadian besar karena mempengaruhi seluruh
kepribadian seseorang sehingga tidak lagi bisa menjalani kehidupan sehari – hari
dengan normal, mengarah kepada keadaan mental yang terganggu oleh delusi atau
mengalami halusinasi. Delusi yaitu kesalah pahaman terhadap suatu hal,
sedangkan halusinasi adalah melihat atau mendengar suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak ada.
Jenis – jenis psikosis berdasarkan faktor penyebab yaitu:
3. Usahakan untuk selalu bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
6. Mencoba mengatasi setiap kesulitan yang dihadapi dengan usaha yang konkrit dan
rasional
Dalam pandangan Psikologi, ada beberapa karakteristik yang dapat menunjukan apakah
individu menunjukan perilaku abnormal.
Perspektif ini melihat dari data statistik. Dimana semua variabel yang dilihat
didistribusikan ke dalam suatu kurva normal atau kurva dengan bentuk lonceng.
Kebanyakan (rata-rata) orang berada pada bagian tengah kurva, sebaliknya abnormalitas
ditunjukkan pada distribusi di kedua ujung kurva (kurang/sangat baik).
Mengganggu individu (Personal Distress) Perilaku dianggap abnormal jika hal itu
menimbulkan penderitaan atau distres dan gangguan bagi individu yang mengalami.
Contoh, apabila seseorang memiliki keunikan tersendiri tidak seperti rata-rata orang, misal
sangat suka mencuci tangan lebih dari oranglain, tetapi yang bersangkutan tidak
terganggu, maka perilakunya masih bisa dikatakan normal.
Superego ini berisi tentang nilai-nilai yang diterima atau tidak oleh lingkungan.
A. Penyimpangan kepribadian
1. Tahap Oral (0 sampai 1 atau 2 tahun). Sumber kenikmatan yang terletak di mulut
seperti aktivitas oral berupa menghisap, menelan dan menggigit. Konflik selama
tahap oral berpusat pada masalah tentang apakah bayi menerima kepuasan oral
yang cukup atau tidak. Terlalu banyak kepuasan dapat menyebabkan bayi berharap
bahwa segala sesuatu dalam hidup dapat diberi dengan sedikit atau tanpa usaha
dari diri mereka. Tetapi jika terlelu dini penyepihan / tidak terpenuhi akan
berakibat pada dua hal yaitu: Oral Passive personality merupakan bentuk
kepribadian yang kurang terbuka, tidak asertif; Oral Aggressive personality
merupakan kepribadian yang suka mendebat, sarkatis, mencaci maki. Bentuk dari
gangguan kepribadian berupa misalnya, berkata jorok, bohong, merokok,
penyalahgunaan alkohol, makan secara berlebihan, dan menggigit kuku (fiksasi
dari masa oral). Orang dewasa yang terfiksasi secara oral mungkin juga menjadi
tergantung dan tidak mandiri dalam hubungan interpersonal mereka.
2. Tahap Anal (2 sampai 3 atau 4 tahun). Sumber kenikmatan ada di anus, melalu
aktivitas pengeluaran kotoran tubuh (BAK dan BAB) karena dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan menimbulkan rasa lega. Penekanan pada aktivitas toilet
training. Fiksasi anal berhubungan dengan dua jenis perangai yaitu: Anal Retentif
merupakan akibat dari toilet training yang terlalu ketat yang diantaranya adalah
kebutuhan self control yang terlalu berlebihan seperti perfeksionisme, dan
kebutuhan yang ekstrem akan keteraturan, kebersihan, dan kerapian; Anal
Ekspulsif diakibatkan kelonggaran yang berlebihan selama masa anal, yang
mencakup kecerobohan dan ketidakteraturan.
3. Tahap Phalik. Sumber kenikmatan terdapat pada alat kelamin. Pusat dinamika
perasaan seksual dan agresif berkaitan dengan berfungsinya alat genital. Anak
mengembangkan harapan inses yang tidak disadari terhadap orang tua yang
berjenis kelamin sama sebagai lawan. Oedipus Complex ialah konflik dimana anak
laki-laki memiliki hasrat terhadap ibu dan mempersepsikan ayah sebagai lawan.
Electra Complex ialah konflik dimana anak perempuan menginginkan ayahnya dan
mempersepsikan ibunya sebagai lawan. Dapat menyebabkan gangguan seperti
withdrawl (menarik diri dari hubungan heteroseksual), sangat feminim dan
cenderung tidak tertarik pada lawan jenis.
4. Tahap Latensi (latency), (6 samapai 12 atau 13 tahun). Lebih menekankan pada
apa yang menjadi dorongan yang sesungguhnya, anak lebih memfokuskan pada
diri sendiri. Dimana perilaku / dorongan seks dapat ditekan atau bisa disebut masa
tenang. Minat menjadi lebih diarahkan pada sekolah dan aktivitas bermain.
5. Tahap Genital (13 tahun ke atas). Sudah masuk ke masa remaja dimana terjadi
kematangan alat genital sehingga dorongan ketertarikan pada lawan jenis sudah
mulai diamati (dorongan seksual timbul secara nyata). Individu mulai mencintai
lawan jenis, baik dari daya tarik seksual, sosialisasi, kegiatan, perencanaan karir,
menentukan pasangan dan persiapan untuk menikah. Penyesuaian yang berhasil
selama tahap genital melibatkan pencapaian kepuasan seksual melalui hubungan
seksual dengan seseorang yang berbeda jenis kelamin, kemungkinan dalam
konteks pernikahan. Bentuk-bentuk lain dari ekspresi seksual, seperti stimulasi oral
atau anal, mastrubasi, dan aktivitas homoseksual, dianggap sebagai fiksasi
pragenital, atau bentuk yang tidak matang dari perilaku seksual.
C. Mekanisme Pertahanan Diri
Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar
untuk melindungi ego dari kecemasan.
Ada dua ciri umum yaitu :
a. Mereka menyangkal memalsukan dan mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak
mengetahui yang terjadi.
10.Macamnya :
REPRESI: menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang
tidak diterima ego kealam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan
suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Secara tidak sadar melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan
untuk dingat.
PROYEKSI: menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap
dirinya yang sebenarnya mepresentasikan dari perasaan sesungguhnya
yang dia miliki terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan
“saya membenci dia” diubah menjadi “dia membenci saya”
REAKSI FORMASI: menganggap memiliki perasaan terhadap orang
lain yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang
tersebut.misalnya untuk mengatakan “saya suka dia” merubah menjadi
“saya benci dia”
RASIONALISASI: mencoba mengungkapkan alasaan rasional yang
dapat diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi
yang bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah
hal yang memang diinginkan. Misalnya karena tidak berhasil
mendapatkan tiket nonton sepakbola, lalu mengatakan bahwa
sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam perilaku, normal adalah istilah yang dikenal untuk setiap makhluk
hidup bahwa tidak ada perbedaan signifikan dengan kelompoknya, meskipun
dalam derajat yang bervariasi, setiap hidup yang memiliki perbedaan apa pun
biasanya tidak diperhitungkan, dimana penggunaan Kata yang normal hanya bisa
subjektif. Namun istilah ini seringkali bukan yang paling tepat untuk
mendefinisikan apa-apa, karena semuanya berbeda satu sama lain dan tidak ada
titik acuan untuk berbicara sebagai "normal". Normalitas sebagai keadaan sehat,
yang secara umum ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni
menjalankan tuntunan hidup sehari-hari sehingga menimbulkan perasaan puas dan
bahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Duran, V. M., & Barlow, D. H. (2006). Psikologi Abnormal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Green, E. B. (2005). Psikologi Abnormal (Terjemahan).
Jakarta : Erlangga.
Nevid, Jeffry S, dkk. 2003. Psikologi Abnormal/Edisi Kellima/Jilid I. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Reber, Arthur S& Emily S Reber. 2010. Kamus Psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan : Model-model Kepribadian Sehat. Alih
bahasa: Yustinus. Yogya : Kanisius
Suryabrata, S. (2005). Psikologi Kepribadian. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
https://psikologiprogresif.wordpress.com/2017/10/01/kesehatan-dan-abnormalitas-mental-
perspektif-psikodinamika/
30
dikatakan bahwa sikap yang sehat terhadap realitas dan kontak yang
disisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri
31
atau ketakutan
lingkungan.
dirinya.
32
orang lain dan segala sesuatu diluar dirinya sehingga tidak pernah
merasa tersisih dan kesepian.
Proses Penyesuaian Diri Proses penyesuaian diri menurut Scheneider (dalam Ali, 2006)
setidaknya melibatkan tiga unsur yaitu: Motivasi Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai
kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi sama halnya dengan
kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan
ketegangan dan ketidakseimbangan dalan organisme. Respon penyesuaian diri, baik
atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk
mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara keseimbangan yang lebih
wajar. Kualitas respons, apakah itu sehat, efisien, merusak atau patologis ditentukan
terutama oleh kualitas motivasi selain juga hubungan individu dengan lingkungan. Sikap
Terhadap Realitas Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara
individu bereaksi terhadap manusia sekitarnya, benda-benda, dan hubungan-hubungan
yang membentuk realitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sikap yang sehat
terhadap realitas itu sangat diperlukan bagi proses penyesuaian diri yang sehat.
Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap
bermusuhan, kenakalan dan semaunya sendiri, semuanya itu sangat mengganggu
hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas. Berbagai tuntutan realitas, adanya
pembatasan, aturan, norma-norma menuntut individu untuk terus belajar menghadapi
dan mengatur suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal
yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap dengan tuntutan eksternal dan realitas. Jika
individu tidak tahan terhadap tuntutan-tuntutan itu, akan muncul situasi konflik, tekanan,
dan frustasi. Dalam situasi seperti ini, organisme didorong untuk mencari perbedaan
perilaku yang memungkinkan untuk membebaskan diri dari ketegangan. Pola Dasar
Penyesuaian Diri. Pola dasar penyesuaian diri ini berhubungan dengan bagaimana cara
individu untuk mengatasi berbagai ketegangan ataupun frustasi yang dialaminya karena
adanya suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi. Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip
penyesuaian diri yang diajukan kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya
maka proses penyesuaian diri menurut Sunarto (dalam Ali, 2006), sebagai berikut: 1.
Mula-mula individu, di satu sisi, memiliki dorongan keinginan untuk memperoleh makna
dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dai
luar dirinya sendiri. 2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar
dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan
perasaan. 3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi kemampuan yang ada pada
dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya. 4. Kemampuan bertindak secara dinamis,
luwes, dan tidak kaku sehingga menimbulkan rasa aman, tidak dihantui oleh kecemasan
atau ketakutan. 5. Dapat bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif yang layak
dikembangkan sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan, tidak disingkirkan oleh
lingkungan maupun menentang dinamika lingkungan. 6. Rasa hormat pada sesama
manusia dan mampu bertindak toleran, selalu menunjukkan perilaku hormat sesuai
dengan harkat dan martabat manusia, serta dapat mengerti dan menerima keadaan
orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya. 7. Kesanggupan
merespon frustasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan manfaat tanpa harus
menerima kesedihan yang mendalam. 8. Kesanggupan bertindak secara terbuka dan
sanggup menerima kritik dan tindakannya dapat bersifat murni sehingga sanggup
memperbaiki tindakan-tindakan yang sudah tidak sesuai lagi. 9. Dapat bertindak sesuai
dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan
kewajibannya. 10. Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sediri, orang
lain, dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan
kesepian
2.2 Proses Penyesuaian Diri Menurut Sariyanta, Made (2012) diunduh pada tanggal 15 November
2013 (online). (http://www.sariyanta.com/kuliah/proses-penyesuaian-diri/) Penyesuaian diri
adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri untuk memenuhi kebutuhan
sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui penyesuaian diri yang sempurna tidak akan pernah
tercapai. Penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses psikologis sepanjang hayat (live long
procces) dan manusia terus menerus akan berupaya menemukan dan mengatasi tekanan dan
tantangan hidup, guna mencapai pribadi yang sehat. Orang akan dikatakan sukses dalam
melakukan penyesuaian diri jika ia akan mamenuhi kebutuhanya dengan cara-cara yang wajar
atau dapat diterima 13 oleh lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu orang lain.
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih oleh seorang tidak akan dicapai, kecuali
kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, goncangan dan ketegangan jiwa.
Proses penyesuaian diri menurut Schneiders (Ali & Asrori, 2012: 181) setidaknya melibatkan tiga
unsur yaitu : a. Motivasi. Motifasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses
penyesuaian diri. Motivasi sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan
kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidak seimbangan dalam organisme. b.
Sikap terhadap realitas. Aspek penyesuaian diri di tentukan oleh sikap dan cara individu bereaksi
terhadap manusia di sekitarnya, benda-benda dan hubungan-hubungan yang membentuk
realitas. c. Pola dasar penyesuaian diri. Dalam penyesuaian diri sehari-hari terdapat suatu pola
dasar tersendiri yaitu akan mengalami ketegangan dan frustasi karena terhambatnya keinginan
memperoleh kasih sayang, meraih prestasi untuk itu individu akan berusaha mencari kegiatan
yang dapat mengurangi ketegangan yang ditimbulkan sebagai akibat tidak terpenuhi
kebutuhannya. Tiga unsur diatas akan mewarnai kualitas proses penyesuaian diri individu.