Anda di halaman 1dari 13

Disfungsi Seksual (Sexual Disfunction)

Istilah disfungsi seksual menunjukkan adanya gangguan pada salah


satu atau lebih aspek fungsi seksual (Pangkahila, 2006). Bila didefinisikan
secara luas, disfungsi seksual adalah ketidakmampuan untuk menikmati
secara penuh hubungan seks. Secara khusus, disfungsi seksual adalah
gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus
respons seksual yang normal (Elvira, 2006). Disfungsi seksual adalah
gangguan di mana klien mengalami kesulitan untuk berfungsi secara
adequate ketika melakukan hubungan seksual. Sehingga disfungsi seksual
dapat terjadi apabila ada gangguan dari salah satu saja siklus respon
seksual.
Siklus respon seksual
Menurut (Kolodny, Master, Johnson, 1979)
1. Fase Perangsangan (Excitement Phase)
Perangsangan terjadi sebagai hasil dari pacuan yang dapat
berbentuk fisik atau psikis. Kadang fase perangsangan ini berlangsung
singkat, segera masuk ke fase plateau. pada saat yang lain terjadi
lambat dan berlangsung bertahap memerlukan waktu yang lebih lama.
Pemacu dapat berasal dari rangsangan erotik maupun non erotik,
seperti pandangan, suara, bau, lamunan, pikiran, dan mimpi.
Kenikmatan
seksual
subjektif
dan
tanda-tanda
fisiologis
keterangsangan seksul: pada laki-laki, penis yang membesar
(peningkatan aliran darah yang memasuki penis); pada perempuan,
vasocongestion (darah mengumpul di daerah pelvis) yang
mengakibatkan lubrikasi vagina dan pembesaran payudara (putting
susu yang menegak).
2. Fase Plateau
Pada fase ini, bangkitan seksual mencapai derajat tertinggi yaitu
sebelum mencapai ambang batas yang diperlukan untuk terjadinya
orgasme (periode singkat sebelum orgasme).
3. Fase Orgasme

Orgasme adalah perasaan kepuasan seks yang bersifat fisik dan


psikologik
dalam
aktivitas
seks
sebagai
akibat
pelepasan
memuncaknya ketegangan seksual (sexual tension) setelah terjadi fase
rangsangan yang memuncak pada fase plateau.
Pada laki-laki, perasaan akan mengalami ejakulasi yang tak
terhindarkan yang diikuti dengan ejakulasi; pada perempuan, kontraksi
di dinding sepertiga bagian bawah vagina.
4. Fase Resolusi
Pada fase ini perubahan anatomik dan faal alat kelamin dan luar alat
kelamin yang telah terjadi akan kembali ke keadaan asal. Menurunnya
keterangsangan pasca-orgasme (terutama pada laki-laki)
Sehingga adanya hambatan atau gangguan pada salah satu siklus
respon seksual diatas dapat menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.
Disfungsi seksual bias bersifat lifelong (seumur hidup) atau acquired
(didapat). Lifelong mengacu pada kondisi kronis yang muncul diseluruh
kehidupan seksual seseorang, sedangkan acquired mengacu pada
gangguan yang dumulai setelah aktivitas seksual seseorang relative
normal. Selain itu gangguan ini dapat bersifat generalized (menyeluruh),
yang terjadi setiap kali melakukan hubungan seksual, atau situational,
yang terjadi hanya dengan mitra-mitra atau pada waktu-waktu tertentu
tetapi tidak dengan mitra-mitra lain atau pada waktu-waktu lainnya.

Kategori Disfungsi Seksual


Ikhtisasi terhadap kategori-kategori DSM-IV untuk disfungsi seksual
seperti terlihat pada table dibawah ini.
No
1.
2.
3.
4.

Tipe Gangguan

Laki Laki
Gangguan
nafsu
seksual
hipoaktif
Nafsu / Hasrat
(nafsu kecil atau sama
seksual
sekali tidak ada untuk
melakukan hubungan
Rangsangan
seksaul)
Gangguan
aversi
Orgasme
seksual (aversi dan
penghindaran
Rasa nyeri/sakit
terhadap seks).
Gangguan ereksi pada
laki-laki
(kesulitan

Perempuan
Gangguan nafsu seksual
hipoaktif (nafsukecil
atau tidak ada nafsu
seksual)
Gangguan aversi seksual
(aversi
dan
penghindaran
terhadap seks).
Gangguan rangasangan
seksual
pada
perempuan (kesulitan
untuk mencapai atau

untuk mencapai atau


mempertahankan
mempertahankan
lubrikasi atau respons
ereksi penis).
pembesaran vagina).
Hambatan
orgasme Hambatan orgasme pada
pada laki-laki
perempuan.
Ejakulasi dini.
Dispareunia (nyeri yang
Dispareunia
(nyeri
berhubungan dengan
yang
berhubungan
aktivitas seksual)
dengan
aktivitas Vaginismus
(spasme
seksual)
otot vagina yang
mengganggu
penetrasi penis).
Pada kedua jenis kelamin, gangguan-gangguan seksual dengan
versi-versinya hampir sama. Hanya ada beberapa gangguan yang spesifik,
seperti ejakulasi dini pada laki-laki dan vaginismus hanya terjadi pada
perempuan.
A. Ganggun Nafsu/Hasrat Seksual
Dua gangguan merefleksikan maalah-masalah yang terkait dengan
nafsu darisiklus respon seksual. Masing-masing gangguan ditandai oleh
sedikitnya atau tidak adanya minat terhadap seks yang menimbulkan
masalah dalam suatu hubungan.
Dorongan seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu hormon
testosteron, kesehatan tubuh, faktor psikis dan pengalaman seksual
sebelumnya. Jika di antara faktor tersebut ada yang menghambat atau
faktor tersebut terganggu, maka akan terjadi ganggaun dorongan
seksual (GDS) (Pangkahila, 2007), berupa:
1. Gangguan Nafsu seksual hipoaktif
The Diagnostic and Statistical Manual-IV memberi definisi
dorongan seksual hipoaktif ialah berkurangnya atau hilangnya
fantasi seksual dan dorongan secara persisten atau berulang yang
menyebabkan gangguan yang nyata atau kesulitan interpersonal.
Minat terhadap kegiatan atau fantasi seksual yang sangat kurang
yang mestinya tidak diharapkan bila dilihat dari umur dan situasi
kehidupan orang yang bersangkutan.
2. Gangguan Aversi seksual
Perasaan tidak suka yang konsisten dan ekstrim terhadap kontak seksual
atau kegiatan serupa itu.
Diduga lebih dari 15 persen pria dewasa mengalami dorongan
seksual hipoaktif. Pada usia 40-60 tahun, dorongan seksual hipoaktif
merupakan keluhan terbanyak. Pada dasarnya GDS disebabkan oleh

faktor fisik dan psikis, antara lain adalah kejemuan, perasaan bersalah,
stres yang berkepanjangan, dan pengalaman seksual yang tidak
menyenangkan (Pangkahila, 2006).
B. Gangguan Rangsangan Seksual
Gangguan ereksi pada laki-laki: ketidakmampuan sebagian lakilaki untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis sampai
aktivitas seksual selesai dan keadaan ini terjadi berulang kali.
Gangguan
rangsangan
seksual
pada
perempuan:
ketidakmampuan sebagian perempuan untuk mencapai atau
mempertahankan lubrikasi vagina dan respons keterangsangan seksual
yang membuat vagina membesar sampai aktivitas seksual selesai dan
keadaaan ini terjadi berulang kali.
Disfungsi ereksi (DE) berarti ketidakmampuan mencapai atau
mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk melakukan hubungan
seksual dengan baik (Pangkahila, 2007).
Disfungsi ereksi disebut primer bila sejak semula ereksi yang cukup
untuk melakukan hubungan seksual tidak pernah tercapai. Sedang
disfungsi ereksi sekunder berarti sebelumnya pernah berhasil
melakukan hubungan seksual, tetapi kemudian gagal karena sesuatu
sebab yang mengganggu ereksinya (Pangkahila, 2006).
Pada dasarnya DE dapat disebabkan oleh faktor fisik dan
faktor psikis. Penyebab fisik dapat dikelompokkan menjadi faktor
hormonal, faktor vaskulogenik, faktor neurogenik, dan faktor iatrogenik
(Pangkahila, 2007). Faktor psikis meliputi semua faktor yang
menghambat reaksi seksual terhadap rangsangan seksual yang
diterima. Walaupun penyebab dasarnya adalah faktor fisik, faktor psikis
hampir selalu muncul dan menyertainya (Pangkahila, 2007).
C. Gangguan Orgasme
Disfungsi orgasme adalah terhambatnya atau tidak tercapainya
orgasme yang bersifat persisten atau berulang setelah memasuki fase
rangsangan (excitement phase) selama melakukan aktivitas seksual.
Hambatan orgasme dapat disebabkan oleh penyebab fisik yaitu
penyakit SSP seperti multiple sklerosis, parkinson, dan lumbal
sympathectomy. Penyebab psikis yaitu kecemasan, perasaan takut
menghamili, dan kejemuan terhadap pasangan. Pria yang mengalami
hambatan orgasme tetap dapat ereksi dan ejakulasi, tapi sensasi
erotiknya tidak dirasakan.
1. Fitur-fitur gangguan orgasme meliputi:

a. Keterlambatan atau tidak terjadinya orgasme yang persisten atau


berulang kali terjadi menyusul fase perangsangan seksual
normal.
b. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena
ketidakmampuan ini.
c. Ketidakmampuan ini bukan lebih menjadi bagian menjadi penentu
bagi gangguan lain (misalnya: gangguan suasan perasaan,
kecemasan, kognitif) dan bukan disebabkan karena efek-efek
fisiologis obat atau pengalahgunan obat.
2. Gangguan ejakulasi
1. Ejakulasi dini (premature ejaculation)
Ada beberapa pengertian mengenai ejakulsi dini (ED). ED
merupakan ketidakmampuan mengontrol ejakulasi sampai
pasangannnya mencapai orgasme, paling sedikit 50 persen dari
kesempatan melakukan hubungan seksual. Berdasarkan waktu,
ada yang mengatakan penis yang mengalami ED bila ejakulasi
terjadi dalam waktu kurang dari 1-10 menit.
Untuk menentukan seorang pria mengalami ED harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut: ejakulasi terjadi dalam
waktu cepat, tidak dapat dikontrol, tidak dikehendaki oleh yang
bersangkutan, serta mengganggu yang bersangkutan dan atau
pasangannya (Pangkahila, 2007).
ED merupakan disfungsi seksual terbanyak yang dijumpai di
klinik, melampaui DE. Survei epidemiologi di AS menunjukkan
sekitar 30 persen pria mengalami ED.
Ada beberapa teori penyebab ED, yang dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu penyebab psikis dan penyebab fisik. Penyebab
fisik berkaitan dengan serotonin. Pria dengan 5-HT rendah
mempunyai ejaculatory threshold yang rendah sehingga cepat
mengalami ejakulasi. Penyebab psikis ialah kebiasaan ingin
mencapai orgasme dan ejakulasi secara tergesa-gesa sehingga
terjadinya ED (Pangkahila, 2006).
2. Ejakulasi terhambat
Berlawanan dengan ED, maka pria yang mengalami ejakulasi
terhambat (ET) justru tidak dapat mengalami ejakulasi di dalam
vagina. Tetapi pada umumnya pria dengan ET dapat mengalami
ejakulasi dengan cara lain, misalnya masturbasi dan oral seks,
tetapi sebagian tetap tidak dapat mencapai ejakulasi dengan
cara apapun.
Dalam 10 tahun terakhir ini hanya 4 pasien datang dengan
keluhan ET. Sebagian besar ET disebabkan oleh faktor psikis,

misalnya fanatisme agama sejak masa kecil yang menganggap


kelamin wanita adalah sesuatu yang kotor, takut terjadi
kehamilan, dan trauma psikoseksual yang pernah dialami.
D. Gangguan nyeri Seksual
Sexual pain disorder adalah nyeri genital yang berulang kali
terjadi, baik yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan sebelum,
selama, atau setelah hubungan seksual.
Dyspareunia adalah rasa nyeri/sakit atau perasaan tidak nyaman
selama melakukan hubungan seksual. Salah satu penyebab
dispareunia ini adalah infeksi pada kelamin. Ini berarti terjadi
penularan infeksi melalui hubungan seksual yang terasa sakit itu. Pada
pria, dispareunia hampir pasti disebabkan oleh penyakit atau
gangguan fisik berupa peradangan atau infeksi pada penis, buah pelir,
saluran kencing, atau kelenjar prostat dan kelenjar kelamin lainnya.
Vaginismus adalah spasme (kejang urat) pada otot-otot di pertiga
luar vagina, yang terjadi diluar kehendak, yang mengganggu hubungan
seksual, dan keadaan ini berulang kali terjadi.
Fitur-fitur dyspareunia meliputi:
1. Nyeri genital yang terkait dengan hubungan seksual baik pada
laki-laki maupun perempuan, yang persisten atau berulangkali
terjadi.
2. Distress yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena
ketidakmampuan ini.
3. Nyeri tidak disebabkan secara eksklusif oleh vaginismus atau
kekurangan lubrikasi dan bukan bagian yang lebih menjadi
penentu bagi gangguan lain (misalnya: gangguan suasana
perasaan, kecemasan, kognitif), dan bukan disebabkan oleh efekefek fisiologis obat atau penyalahgunaan obat.
Fitur-fitur vaginismus meliputi:
1. Spasme (kejang urat) pada otot-otot di sepertiga luar vagina,
yang terjadi di luar kehendak, yang mengganggu hubungan
seksual, dan keadaan ini bersifat persisten atau berulang kali
terjadi.
2. Distres yang signifikan atau kesulitan interpersonal karena
spasme ini.

3. Spasme itu tidak disebabkan oleh gangguan lain (misalnya:


gangguan somatisasi), dan bukan disebabkan secara eksklusif
oleh efek-efek kondisi medis secara umum.

Etiologi Disfungsi Seksual


Pada dasarnya disfungsi seksual dapat terjadi baik pada pria
ataupun wanita, etiologi disfungsi seksual dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu:
a) Faktor fisik
Gangguan organik atau fisik dapat terjadi pada organ, bagianbagian badan tertentu atau fisik secara umum. Bagian tubuh yang
sedang terganggu dapat menyebabkan disfungsi seksual dalam
berbagai tingkat (Tobing, 2006).
Faktor fisik yang sering mengganggu seks pada usia tua sebagian
karena penyakit-penyakit kronis yang tidak jelas terasa atau tidak
diketahui gejalanya dari luar. Makin tua usia makin banyak orang yang
gagal melakukan koitus atau senggama (Tobing, 2006). Kadang-kadang
penderita merasakannya sebagai gangguan ringan yang tidak perlu
diperiksakan dan sering tidak disadari (Raymond Rosen., et al, 1998).
Dalam Product Monograph Levitra (2003) menyebutkan berbagai
faktor resiko untuk menderita disfungsi seksual sebagai berikut:
1) Gangguan vaskuler pembuluh darah, misalnya gangguan arteri koronaria.
2) Penyakit sistemik, antara lain diabetes melitus, hipertensi (HTN),
hiperlipidemia (kelebihan lemak darah).
3) Gangguan neurologis seperti pada penyakit stroke, multiple sklerosis.
4) Faktor neurogen yakni kerusakan sumsum belakang dan kerusakan saraf.
5)

Gangguan
hormonal,
menurunnya
(hipogonadisme) dan hiperprolaktinemia.

testosteron

dalam

darah

6) Gangguan anatomi penis seperti penyakit peyronie (penis bengkok).


7) Faktor lain seperti prostatektomi, merokok, alkohol, dan obesitas.
Beberapa obat-obatan anti depresan dan psikotropika menurut
penelitian juaga dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi seksual,

antara lain: barbiturat, benzodiazepin, selective serotonin seuptake


inhibitors (SSRI), lithium, tricyclic antidepressant (Tobing, 2006).
b) Faktor psikis
Faktor psikoseksual ialah semua faktor kejiwaan yang terganggu
dalam diri penderita. Gangguan ini mencakup gangguan jiwa misalnya
depresi, anxietas (kecemasan) yang menyebabkan disfungsi seksual.
Pada orang yang masih muda, sebagian besar disfungsi seksual
disebabkan faktor psikoseksual. Kondisi fisik terutama organ-organnya
masih kuat dan normal sehingga jarang sekali menyebabkan terjadinya
disfungsi seksual (Tobing, 2006).
Tetapi apapun etiologinya, penderita akan mengalami problema
psikis, yang selanjutnya akan memperburuk fungsi seksualnya.
Disfungsi seksual pria yang dapat menimbulkan disfungsi seksual pada
wanita juga ( Abdelmassih, 1992, Basson, R, et al., 2000).
Masalah psikis meliputi perasaan bersalah, trauma hubungan
seksual, kurangnya pengetahuan tentang seks, dan keluarga tidak
harmonis (Susilo, 1994, Pangkahila, 2001, 2006, Richard, 1992).

Penyebab dan Penanganan Disfungsi Seksual


Disfungsi seksual baik yang terjadi pada pria ataupun wanita dapat
dapat mengganggu keharmonisan kehidupan seksual dan kualitas hidup,
oleh karena itu perlu penatalaksanaan yang baik dan ilmiah.
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita
adalah sebagai berikut (Susilo, 1994; Pangkahila, 2001; Richardson,
1991):
a. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
b. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
c. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
d. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari
pengobatan bedah dan pengobatan non bedah (konseling seksual dan
sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks, serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah
disfungsi seksual. Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak
dapat mengutarakan masalahnya semua kepada dokter, serta perbedaan
persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang diceritakan pasien.

Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual


dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli (Philips, 2000).
Oleh karena masalah disfungsi seksual melibatkan kedua belah
pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada pria
dapat menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu
juga sebaliknya, maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu
dilakukan sendiri oleh seorang dokter ataupun dua orang dokter dengan
wawancara keluhan terpisah (Barry, Hodges, 1987).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terapi atau penanganan
disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah dilakukan, sehingga
diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat etiologi
dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan yang tepat pula.
Sumber:
Durank, Mark
Pustaka Pelajar

dkk.2006.Psikologi

Abnormal.Buku

kedua.Yogyakarta:

Pangkahila. 2007

Penyimpangan Seksual

Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk


mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan
oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya
kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari
lingkungan pergaulan, dan faktor genetik.

Penyimpangan seksual Umumnya dikaitkan dengan konteks sosial dan standar moral
setempat. Namun ada yang secara konsisten, secara sosiologis dan psikologis, dianggap
menyimpang.

Bentuk Bentuk Penyimpangan Seksual


Bentuk bentuk penyimpangan seksual sangat beragam. Berikut ini beberapa macam bentuk
gangguan seksual.

1. Sadisme Seksual an Masokhisme Seksual


Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual diperoleh
bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa
pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual.
Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh
kepuasan seksual.

2. Ekshibisionisme
Penderita

ekshibisionisme

akan

memperoleh

kepuasan

seksualnya

dengan

memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya.
Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi begini
sering diderita pria, dengan memperlihatkan penisnya yang dilanjutkan dengan masturbasi
hingga ejakulasi.

3. Voyeurisme
Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis yakni
vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual
dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan
berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan
tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak
lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau
melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan
rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual. Yang jelas, para
penderita perilaku seksual menyimpang sering membutuhkan bimbingan atau konseling

kejiwaan, disamping dukungan orang-orang terdekatnya agar dapat membantu mengatasi


keadaan mereka.

4. Fetishisme
Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas
seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos
kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Sehingga, orang
tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang
meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan
hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut.

5. Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil


Adalah orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik yang
merangsang dengan anak di bawah umur.

6. Bestially
Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang
seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain sebagainya.

7. Incest
Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri seperti
antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-lakinya.

8. Necrophilia/Necrofil
Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi
mayat / orang mati.

9. Zoophilia
Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan
hubungan seks dengan hewan.

10. Sodomi

Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik
pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan.

11. Frotteurisme/Frotteuris
Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seseorang laki-laki mendapatkan
kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek / menggosok-gosok alat kelaminnya ke tubuh
perempuan di tempat publik / umum seperti di kereta, pesawat, bis, dll.

12. Gerontopilia
Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan
mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakekkakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu diagnosis gangguan seksual, dari sekian
banyak gangguan seksual seperti voyurisme, exhibisionisme, sadisme, masochisme,
pedopilia, brestilia, homoseksual, fetisisme, frotteurisme, dan lain sebagainya. Keluhan
awalnya adalah merasa impoten bila menghadapi istri/suami sebagai pasangan hidupnya,
karena merasa tidak tertarik lagi. Semakin ia didesak oleh pasangannya maka ia semakin
tidak berkutik, bahkan menjadi cemas. Gairah seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya
justru bisa bangkit lagi jika ia telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).

13. Homoseksual
Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya.
Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Dalam DSM
IV-TR, Homoseksual tidak termasuk gangguan seksual lagi, tetapi hanya pada kelainan arah
pemuasan seksual. Hal yang memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara
homoseksual dengan peningkatan risiko AIDS. Pernyataan ini dipertegas dalam jurnal
kedokteran Amerika (JAMA tahun 2000), kaum homoseksual yang "mencari" pasangannya
melalui internet, terpapar risiko penyakit menular seksual (termasuk AIDS) lebih tinggi
dibandingkan mereka yang tidak.
Manusia itu diciptakan Tuhan sebagai makhkluk sempurna, sehingga mampu
mencintai dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis (heteroseksual) namun juga
yang sejenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh cinta makhluk lain ataupun benda, sehingga
kemungkinan terjadi perilaku menyimpang dalam perilaku seksual amat banyak. Manusia
walaupun diciptakanNya sempurna namun ada keterbatasan, misalnya manusia itu satu-

satunya makhluk yang mulut dan hidungnya tidak mampu menyentuh genetalianya;
seandainya dapat dilakukan mungkin manusia sangat mencintai dirinya secara menyimpang
pula. Hal itu sangat berbeda dengan hewan, hampir semua hewan mampu mencium dan
menjilat genetalianya, kecuali Barnobus (sejenis Gorilla) yang sulit mencium genetalianya.
Barnobus satu-satunya jenis apes (monyet) yang bila bercinta menatap muka pasangannya,
sama dengan manusia. Hewanpun juga banyak yang memiliki penyimpangan perilaku
seksual seperti pada manusia, hanya saja mungkin variasinya lebih sedikit, misalnya ada
hewan yang homoseksual, sadisme, dan sebagainya.
Kasus Gerontopilia mungkin jarang terdapat dalam masyarakat karena umumnya si
pelaku malu untuk berkonsultasi ke ahli, dan tidak jarang mereka adalah anggota masyarakat
biasa yang juga memiliki keluarga (anak & istri/suami) serta dapat menjalankan tugas-tugas
hidupnya secara normal bahkan kadang-kadang mereka dikenal sebagai orang-orang yang
berhasil/sukses dalam karirnya. Meski jarang ditemukan, tidaklah berarti bahwa kasus
tersebut tidak ada dalam masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai