Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KULIAH PSIKOTERAPI

PROSES TERAPETIK GESTALT

Disusun oleh :
Jiemi Ardian, dr

Pembimbing :
Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp. KJ (K)

PPDS PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2016

I.

Pendahuluan
Gestalt berasal dari bahasa Jerman, yang tidak memiliki makna
terjemahan yang ekuivalen dalam bahasa Inggris sehingga tetap tertulis
sebagaimana kata aslinya. Gestalt mungkin dapat diterjemahkan sebagai
pola, bentuk atau konfigurasi. Walaupun sebenarnya maknanya lebih luas
dari ini. Dalam bahasa Jerman, gestalt berhubungan dengan penampilan
keseluruhan dari seorang individu, totalitas, sebagaimana individu ini
meletakkan energinya. Beberapa penulis mengartikan gestalt sebagai
utuh. Perl sendiri mengungkapkan bahwa gestalt adalah fenomena yang
tidak dapat direduksi. Gestalt adalah sebuah esensi, dan akan mengilang
jika keutuhannya dipecah menjadi beberapa bagian. Sehingga, keutuhan
respon harus dinilai secara menyeluruh (Brownwell, 2010).
Dalam terapi gestalt, keunikan individu mendapatkan tempat
khusus. Keunikan individu ini hanya mungkin kita dapatkan melalui
pengalaman kita dekat dengan orang lain, dan kita tidak akan dapat secara
sempurna memahami pengalaman orang lain. Untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik, kita perlu mengapresiasi bagaimana
seseorang meletakkan diri mereka dalam konteks lingkungan, bagaimana
mereka gambaran mereka berhubungan dengan dunia dan orang-orang
yang mereka temui, yaitu cara-cara bagaimana mereka membentuk
pengalamannya. Bagaimana seseorang membentuk dan membagikan
pengalamannya dari dirinya ke orang lain (Lobb, 2003).
Beberapa penulis memasukkan terapi gestalt dalam ranah teori
eksistensial, beberapa yang lain menganggap gestalt merupakan gabungan
fenomenologi eksistensial dan fenemenologi behavioris. Namun, secara
lebih luas terapi gestalt lebih tepat masuk dalam kategori pendekatan
humanistik. Perlu kita ingat, terapi gestalt berkembang karena adanya
kecenderungan dalam revolusi ilmu pengetahuan yang menuntun
perubahan paradigma dari positifisme menjadi postpositifisme, atau
beberapa

penulis

menyebutnya

sebagai

postmodernisme

atau

dekonstruksionisme. Sehingga, gestalt bukan sekedar terapi client-

centered yang diberi bumbu trik atau pengejawantahan ide Maslow


(Palmer, 2011).
Terapi gestalt mencakup konsep eksistesialis, dan merujuk pada
banyak poin filosofis yang dijadikan fondasi dalam pengembangan
teorinya, namun gestalt merupakan sistem teori dan klinis tersendiri.
Gestalt terlahir dari kombinasi unik dari filosifi kontinental dan ilmu
pengatahuan jerman dan tersusun dari revisi dari pendekatan psikoanalisis
Freud. Teori gestalt telah berkembanga secara luas semenjak Frederic dan
Laura Perls memulai institut pelatihan terapi gestalt, dan saat Fritz Perls
mendemonstrasikan terapi gestalt di institut Esalen di Big Sur, California
(Lobb, 2003).
Christian von Enhrenfels menyatakan, bahwa keseluruhan dunia
fisik sebenarnya dibentuk melalui persepsi. Enhrenfels menyimpulkan,
keutuhan itu berbeda dengan gabungan dari pecahan-pecahan kecilnya.
Oleh sebab itu, mustalhil untuk melakukan generalisasi dari satu aspek
individu dengan keseluruhan dirinya. Jika generalisasi ini memang
dilakukan, beberapa bagian penting akan hilang, bahkan akan cenderung
keliru (Lobb, 2003).
Konsep gestalt sendiri kemudian terus dikembangkan oleh
psikolog gestalt, yang menyimpulkan bahwa keutuhan mendahului
pecahannya. Melalui karyanya pada anak dengan kerusakan otak,
Goldstein memperluas psikologi gestalt dari pendekatan terhadap persepsi
menjadi pendekatan dengan kemanusiaan. Goldstein menyimpulkan
bahwa jika sebuah bagian tubuh terluka, maka luka ini akan memengaruhi
seluruh tubuh (Fiebert, 2012).
Perl pernah mengatakan, seorang manusia biasanya berhubungan
dengan keutuhan. Hal ini dapat dimaknai sebagai sebuah kecenderungan
alam untuk mmebentuk keutuhan yang secara esensi lebih besar daripada
gabungan dari pecahan-pecahannya. Keutuhan ini (atau gestalt) bukanlah
merupakan hal yang statis namun secara terut-menerus berubah. Perl
melanjutkan hasil akhir dari semua adalah bahwa semua ini adalah alam

semesta yang utuh, bahwa hal ini juga merupakan hasil dari keutuhan, atau
mungkin keutuhan yang lebih sempurna atau lebih baik, dan bahwa
evolusi dari alam semesta, inorganik dan organik, tidak lain dan tidak
bukan adalah rekaman dari aktivitas menciptakan keutuhan dan
perkembangan progresifnya. Sehingga setiap tahapan yang berhasil
adalah sebuah keutuhan yang baru, beroperasi sebagai keutuhan yang
didalamnya mengandung mode kehidupan (Henley, 1961).
Pada seorang yang sehat, tidak ada kebutuhan untuk mencari
gestalt. Seseorang yang sehat menyatu sebagai merupakan keseluruhan
bagian dari organisme yang mengidentifikasi dirinya secara sementara
dengan kemunculan gestalt. Dan oleh karenanya akan ad masalah jika
muncul ketidakseimbangan sehingga memunculkan gestalt yang tidak
lengkap. Walaupun dalam konteks psikologi humanistik, tidak ada lagi
batasan antara perilaku yang merupakan penyakit dan normal. Seluruh
perilaku merupakan hal yang normal, dan keseluruhannya mencakup pada
potensi dalam mendorong seorang individu.
Jika pengalaman-pengalaman dirasakan sebagai keseluruhan,
semua akan seimbang, namun jika bagian-bagian dihilangkan, manusia
akan berusaha menyusun keseimbangan sebagai Gestalt. Manusia
berusaha mencapai keseimbangan bilamana kehidupannya terganggu oleh
kebutuhan-kebutuhan dari dunia dalam dan tuntutan-tuntutan dari dunia
luar. Dalam keadaan sehat seseorang mampu menerima dan bereaksi
terhadap keadaan dunia dalam dan dunia luar. Tetapi kalau keadaan
menjadi tidak seimbang, timbul ketakutan dan menghindar untuk
mengetahui atau menyadari (awareness). Maka perlu membangkitkan
kesadaran agar keseimbangan tercapai. Fokus terapi Gestalt diarahkan
pada mendapatkan kesadaran (Lobb, 2003).
Kesadaran adalah denyut nadi terapi Gestalt. Ketidakstabilan
kesadaran equivalent dengan aliran figur/latar belakang. Kesadaran selalu
disengaja dan terjadi dalam medan lingkungan-organisme. Dengan
dicirikan oleh kontak, perasaan, kegembiraan, dan pembentukan Gestalt

yang merupakan pengalaman subjektif. Ia melebihi dari pemikiran


terhadap suatu masalah tetapi suatu yang integratif, menunjukkan
keseluruhan, merupakan respon yang sesuai terhadap situasi yang
berhubungan

dengan

kebutuhan

seseorang

dan

kemungkinan-

kemungkinan dari lingkungan. Kesadaran yang berbeda dapat menjadi


latar depan pada waktu yang berbeda. Yaitu kesadaran seseorang terhadap
kompleksitas dalam dirinya dan termasuk medan yang memanifestasikan
dirinya dalam regulasi diri organismik yang tidak terinterupsi (Sinay,
2008).
Keseimbangan/keseluruhan (Gestalt) tercapai di dalam kehidupan
seseorang ketika ia dapat mereintegrasikan suatu bagian yang disangkal
dari dirinya kembali ke dalam kesatuan identitas. Bagian yang disangkal
dari dirinya adalah sesuatu yang mungkin bertentangan dengan bagaimana
ia mempersepsikan dirinya. Masalah dimulai ketika seseorang mencoba
menjadi yang bukan dirinya. Hidup dengan topeng dan menjadi tidak
otentik. Gestalt adalah suatu proses memiliki kembali bagian dirinya yang
telah disangkal, penyatuan ini menyebabkan seseorang cukup kuat untuk
bertumbuh. Perubahan terjadi ketika seseorang lebih sadar tentang apa dan
siapa dia (Lobb, 2003).
Individu tidak self-sufficient, tetapi hanya bisa ada dalam sebuah
medan lingkungan. Manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya,
tetapi berhubungan satu dengan lainnya dan membentuk suatu hubungan
keseluruhan. Mengontak lingkungan mempresentasikan pembentukan
sebuah gestalt, sementara penarikan terhadap lingkungan menutup sebuah
gestalt. Keseimbangan atau regulasi diri organismik adalah proses di mana
organisme

memenuhi

kebutuhannya

(fisik

dan

psikis)

dengan

mengembalikan keseimbangan ketika dihadapkan dengan tuntutan atau


kebutuhan yang mengganggu keseimbangannya.
Seseorang menolak perubahan karena dalam perjalanan masa
kanak-kanak ia telah membuat penyesuaian kreatif pada lingkungan
keluarganya yang merupakan adaptasi terbaik terhadap situasi dalam

keluarga untuk mempertahankan kehidupan, namun pola-pola seperti itu


menghambat pengaturan diri organismik (kemampuan mengambil hal-hal
yang baik dari lingkungan dan menolak yang jahat). Problem dapat
berupa: 1) kesadaran psikis seseorang terhambat sehingga figur yang jelas
tidak muncul ke dalam kesadaran, sensasi fisik diabaikan, perasaan marah
disangkal. 2) persepsi seseorang tentang lingkungan diwarnai kepercayaan
dan sikap yang diambil dari orang lain dan dianggap begitu saja sebagai
kebenaran pengalaman. Dua proses tersebut bisa menjadi hambatan
kesadaran (Palmer, 2011).

II.

Tinjauan Pustaka
A.
Filsafat yang Mendasari Gestalt
Latar belakang terbentuknya gestalt dapat ditilik dari
pengaruh filsafat barat dan timur. Dari filsafat ketimuran, gestalt
mendapat pengaruh besar dari ajaran Budha; Zen dan Tao. Budha
adalah agama dan filosofi timur, didirikan di India oleh Siddartha
Gautama pada 500th sebelum masehi. Budha mengajarkan delapan
jalan Budha yang merupakan bagian dari empat kebenaran: hidup
adalah penderitaan, penderitaan adalah akibat dari keinginan,
penderitaan hanya akan hilang dalam nirwana (hilangnya
keinginan), dan nirwana hanya dapat dicapai melalui delapan jalan
Budha. Delapan jala Budha terdiri dari memahami, berpikir,
berbicara, beraksi, usaha, pekerjaan, mindfulness, dan konsentrasi
(O'Leary, 2013).
Salah satu penekanan penting ajaran Budha adalah
kesadaran penuh. Salah satu metode yang paling umum dalam
ajaran Budha untuk melatih kesadaran adalah menyadari nafas.
Dua teks klasik Budha menuliskan hal ini secara detil;
Sattipathana

Sutta

dan

Anapanasati

Sutta.

Keduanya

mengeksplorasi kesadaran melalui empat jalan: Kesadaran tubuh,


kesadaran perasaan, kesadaran pikiran, kesadaran lingkungan.

Dalam spiritualitas Zen, spiritualitas tidak dipandang


sebagai seseorang memikirkan hal-hal spiritual saat sedang
mengupas kentang, melainkan secara penuh menyelami kegiatan
mengupas kentang. Hal ini juga berlaku untuk aktivitas lain
keseharian, Zen mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan
dengan sadar dan hadir disaat itu, dimana seseorang memberikan
dirinya untuk apapun yang dilakukannya sepenuh hati, tanpa secara
sadar mengamati

bagaimana mereka melakukannya,

tanpa

memecah belah pikiran.


Taoisme merupakan filosofi yang didasarkan pada tulisan
Lao-tzu. Taoisme memiliki etos naturalistik yang mendorong
pendekatan proses untuk mengerti tentang hidup. Tao merupakan
jalan, yang memungkinkan paham ini menyatu dengan banyak
gerakan dan kepercayaan lokal, menghindari konflik dengan ajaran
kepercayaan tertentu, dengan menekankan sikap proses hidup
dengan konten ajaran tersebut.
Tao atau jalan, dimakuskan bicara tentang arah, gerakan
dan metode berpikir, ketika kita hidup didalam dan dengan alam.
Spontanitas dan naturalitas merupakan kebaikan utama, dan saat
digunakan

dalam

konteks

terapetik,

tugas

terapis

adalah

menyatukan klien dengan jalan yang mengijinkan alam untuk


menjadikannya sembuh dan tumbuh.
Pemikiran ketimuran yang memengaruhi gestalt tidak
secara langsung dipelajari oleh para penemu terapi gestalt, namun
sudah merupaka pengaruh yang ada pada eranya dan memengaruhi
bagaimana gestalt dibentuk. Filsafat ketimuran perduli dengan
bagaimana seseorang menjalani hidup. Berfokus pada metode dan
tindakan, dengan perhatian penuh terhadap aliran saat ini-kini dari
pengalaman dari kesadaran, dan dikarakteristikkan dengan
penerimaan terhadap apapun yang sedang terjadi, dan memercayai
bahwa alam semesta akan mengalir dan membawa keutuhan dan
kesembuhan (O'Leary, 2013).

Dibandingkan pengaruh filsafat ketimuran, pengaruh barat


pada terapi gestalt sangatlah besar. Dimulai dari Yunani kuno
seperti Socrates, Plato dan Aristoteles sampai perang dunia II di
Prancis dan Amerika Utara. Pada abad ke-18 Immanuel Kant
menulis sebuah isu yang berkaitan dengan terapi gestalt, yang oleh
Kant diberi istilah noumenon dan phenomenon. Kant menyebutan
noumenon yang berarti sebuah objek, merupakan hal yang berdiri
sendiri, benda tersebut ada sebagaimana adanya, terlepas dari
pengalaman seseorang yang dikaitkan dengan benda tersebut. Hal
ini memberi pembeda antara apa yang secara mandiri terlepas dari
pikiran dan apa yang bergantung dengan pikiran.
Dari filsafat barat juga gestalt mendapatkan pendekatan
fenomenologi. Husserl menuliskan teori tentang fenomenologi,
melalui tulisannya dia berasumsi bahwa jalan terbaik untuk
mendekati pengetahuan adalah dengan fokus pad tindakan yang
bermakna dari kesadaran dan jalan terbaik melakukannya adalah
dengan konsentrasi pada apa yang individu rasakan atau lakukan
pada pengalamannya. Sehingga hal ini memberikan pengaruh pada
gestalt untuk memulai terapi dengan keberadaan fenomena
kesadaran.
Latar belakang ilmu pengetahuan gestalt dimulai dari Kurt
Goldstein dan Kurt Lewin, yang merupakan representasi dari
psikolog gestalt jerman pada era perang dunia II. Mereka yang
pertama kali mencetuskan pendapat bahwa gestalt (keseluruhan) itu
berbeda dengan penjumlahan dari pecahan-pecahan kecilnya
(Sinay, 2008).
B.

Tujuan Terapetik
Tujuan terapi Gestalt berkisar di seputar perpindahan klien
dari dukungan lingkungan ke dukungan dari dirinya. Terapis
Gestalt membantu klien untuk mendukung dirinya bukan hanya
dalam mengatasi masalah-masalahnya saat ini tapi juga untuk

hidup dengan lebih otentik.

Agar mampu mendukung dirinya,

pasien

dengan

perlu

berhubungan

pusat-pusat

eksistensial

organismiknya. Orang-orang yang berhubungan dengan selves


organismiknya atau dengan inderanya adalah orang-orang yang
mengaktualisasikan diri atau mendukung dirinya (Brownwell,
2010).
Organisme berusaha

memelihara suatu keseimbangan

yang terus menerus diganggu oleh kebutuhan mereka dan diperoleh


kembali melalui gratifikasi dan eliminasi mereka. Jika berfungsi
dengan baik, maka terjadi integrasi masing-masing bagianbagiannya

menjadi suatu keseluruhan yang terdiri dari semua

bagian. Sebagai sistem organisasi diri, manusia mempunyai


kapasitas alami untuk secara terus-menerus mereorganisasi dirinya
ketika mereka beradaptasi terhadap perubahan keadaan sekitar,
mengasimilasi, mengakomodasi, dan atau menolak pengaruh orang
lain dengan siapa mereka berinteraksi. Suatu gangguan regulasi
diri organismik terjadi ketika kontak diinterupsi (Kirchner, 2000).
Tujuan terapi Gestalt bukanlah penyesuaian terhadap
masyarakat. Perls mengingatkan bahwa kepribadian dasar pada
jaman kita adalah neurotik, sebab kita hidup di masyarakat yang
tidak sehat. Kita bisa memilih menjadi bagian dari ketidaksehatan
kolektif atau menghadapi risiko menjadi sehat. Tujuan terapi
selanjutnya adalah membantu pasien untuk menemukan pusat
dirinya. Jika seseorang berpusat pada dirinya sendiri, maka ia tidak
harus disesuaikan lagi, maka apapun yang lewat dan diasimilasi
olehnya, ia bisa memahaminya dan ia berhubungan dengan apapun
yang terjadi (Corey, 2007).
Pandangan teori dan terapi Gestalt terhadap manusia, sama
halnya dengan pandangan eksistensialistik-humanistik, ialah
positif, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjadi
sesuatu dan manusia adalah makhluk yang mampu mengurus diri

sendiri. Dalam kaitan dengan dasar inilah Perls, mengatakan bahwa


tujuan terapi Gestalt adalah membantu orang agar ia mampu
mengembangkan dirinya sendiri, mencapai kematangan dan
melibatkan diri dalam kehidupan dan bertanggungjawab terhadap
dirinya

sendiri.

Humanisme

menekankan

pada

pentingnya

kapasitas bawaan sejak lahir yang dimiliki seseorang untuk


perkembangan dan perubahan; Eksistensialisme menekankan
tanggung jawab yang dimiliki seseorang bagi kehidupan mereka
dan pilihan-pilihan mereka, fokus primer eksistensialisme adalah
pada peningkatan kesadaran keberadaan kita di dunia ini. Perls
menyatakan bahwa sebagian besar dari kita hanya menggunakan
sebagian saja dari potensi yang kita miliki. Pandangan ini adalah
seperti konsep Maslow tentang psikopatologi dari rata-rata
orang: hidup kita adalah terpola dan berbentuk serupa; kita lagilagi memainkan peran yang sama dan mendapatkan sedikit saja
cara untuk menemukan lagi keberadaan kita dan sepenuhnya
memanfaatkan kemungkinan yang ada di masa sekarang. Perls
berpendapat bahwa apabila kita akhirnya mengetahui betapa kita
mencegah diri kita sendiri untuk bisa melihat kenyataan adanya
potensi manusia sepenuhnya yang sebenarnya kita miliki, kita bisa
belajar banyak hal untuk membuat hidup kita ini lebih kaya
(Henley, 1961).
Tujuan utama terapi Gestalt adalah untuk menolong pasien
memulihkan atau menemukan kemampuan alami dirinya, untuk
mengatur diri sebagai suatu organisme dan berhasil dengan sukses
melakukan kontak dengan lingkungannya (aspek eksternal) dan
juga dengan aspek-aspek yang tidak diakui/diingkari pada dirinya
(aspek internal), yang memungkinkan seseorang mampu mengatasi
secara kreatif kejadian-kejadian dalam hidupnya dan untuk
mengejar keinginan yang tampaknya baik dan diidamkan. Melalui
kesadaran

dan

eksperimen

dengan

sensasi

tubuh,

respon

emosional, hasrat/keinginan, dan asumsi kognitif, rentang pilihan


pasien tentang bagaimana mereka menjalani kehidupannya,
khususnya bagaimana mereka terlibat dengan orang lain dan
dengan diri mereka sendiri, yang akan ditingkatkan/diperkuat
(Mann, 2010).
Tujuan/bidikan langsung dari proses Gestalt diarahkan pada
mendapatkan kesadaran. Kesadaran yang meningkat dan kaya,
dengan sendirinya dan oleh kekuatannya sendiri, dilihat sebagai
memiliki daya penyembuhan. Tanpa kesadaran klien tidak
memiliki sarana untuk bisa mengubah kepribadian. Dengan
kesadaran mereka memiliki kapasitas untuk menghadapi dan
menerima bagian keberadaan mereka yang mereka ingkari dan
berhubungan dengan pengalaman dan dengan realitas. Mereka bisa
menjadi menyatu dan utuh. Mana kala pasien tetap berada dalam
keadaan sadarnya, hal-hal penting yang belum terselesaikan akan
selalu muncul sehingga bisa ditangani dengan terapis (Corey,
2007).
Peyadaran menjadi sasaran utama dalam terapi Gestalt, agar
selanjutnya

pasien

secara

berangsur-angsur

bisa

mencapai

keterpaduan (integrasi) yang diperlukan untuk memungkinkan


perkembangan dirinya berlangsung dengan baik. Penyadaran
dilakukan terhadap pasien meliputi penyadaran yang lebih terhadap
hal khusus. Dalam kaitan ini tujuan terapi adalah meningkatkan
kemampuan pada pasien agar bisa membiasakan diri dalam
melakukan penyadaran yang diperlukan. Penyadaran meliputi
pengetahuannya terhadap lingkungan, tanggung jawab terhadap
pilihan-pilihannya, pengetahuan terhadap diri sendiri, penerimaan
terhadap diri sendiri dan kemampuan untuk berhubungan dengan
lingkungan (Mann, 2010).
Pada dasarnya terapi Gestalt merupakan pertemuan
eksistensial antara individu (terapis dan klien), dan dari pertemuan

itu klien cenderung untuk bergerak ke arah tertentu. Arah tertentu


itu atau sasaran umum dari terapi gestalt, diuraikan Zinker,
1978,cit. Corey, 2007, sebagai berikut:
1) Maju ke arah peningkatan kesadaran akan diri
2) Secara bertahap mengasumsikan kepemilikan pengalaman
(sebagai lawan dari menjadikan orang lain bertanggung
jawab akan apa yang mereka pikirkan, rasakan dan
lakukan)
3) Mengembangkan kemampuan dan memiliki nilai yang akan
membuat mereka berpuas diri dengan kebutuhan mereka
sendiri tanpa harus melanggar hak orang lain
4) Menjadi sadar akan seluruh perasaannya
5) Belajar untuk bertanggungjawab terhadap apa yang mereka
lakukan, termasuk menerima konsekuensi atas semua
tingkah laku mereka
6) Beranjak dari dukungan dari luar menuju ke dukungan
internal yang makin meningkat
7) Dan juga, mampu meminta dan mendapatkan pertolongan
dari orang lain serta memberikan pertolongan kepada orang
lain.
C.

Fungsi dan Peranan Terapis


Terapis bertindak aktif membimbing penyadaran pada pasien.
Kehadirannya memungkinkan pasien bisa mengamati bagaimana
perasaan terapis dan apa yang diinginkan terapis sebagai pribadi.
Terapis juga harus tanggap terhadap bahasa tubuh dan perilaku
nyata yang diperlihatkan pasien, karena hal itu bisa memberi data
yang lebih banyak dan lengkap. Terapis kemudian bisa
memberikan umpan balik dari gerakan atau bahasa tubuhnya, agar
pasien menyadari, memahami apa yang dilakukan dengan anggota
tubuhnya,

termasuk

apa

yang

mungkin

ditutupi

atau

disembunyikan. Pasien belajar bagaimana ia dilihat dan bagaimana


proses penyadaran yang dimilikinya masih terbatas, terutama

bukan dari pembicaraan mengenai persoalannya, tetapi dari


bagaimana ia dengan terapis terlibat dan bekerja sama (Mann,
2010).
Pertumbuhan terjadi dari kontak murni atau ikhlas dari pasien
dan terapis, dan bukan dari interpretasi atau teknik terapi. Salah
satu dari peranan terapis adalah untuk membentuk eksperimen
yang didesain untuk meningkatkan kesadaran diri pasien tentang
apa

yang

sedang

mereka

lakukan

dan

bagaimana

cara

melakukannya. Macam eksperimen dalam terapi Gestalt antara


lain: 1) latihan dialog internal, 2) making the rounds, 3) playing the
projection, 3) latihan repetisi (rehearsal exercise), 4) aku
mengambil tanggungjawab untuk, 5) teknik pembalikan (reversal),
6) latihan melebih-lebihkan, 7) staying with feeling, 8) guided
fantasy, 9) kursi kosong, 10) dream work.

Kesadaran ini

memungkinkan mereka untuk melihat alternatif dari pengubahan


diri mereka sendiri. Pasien diharapkan untuk melakukan sendiri
kegiatan melihat, merasakan, menyadari dan menginterpretasikan,
sebagai lawan dari menunggu secara pasif sampai terapis
memberikan kepada mereka pemahaman dan jawaban (Fiebert,
2012).
Terapis dan pasien harus berfokus pada pengalaman perseptual
dan indera mereka. Yang langsung dipersepsikan dan dialami
dianggap paling signifikan dalam terapi dan kehidupan. Itulah
basis fenomenologis terapi Gestalt yang menekankan bahwa
pengalaman manusiawi yang subjektif lebih bisa diandalkan
daripada penjelasan dan interpretasi (Sinay, 2008).
Terapi Gestalt akan membawa pasien mengalaminya
sekarang (here and now). Kalau ia berbicara mengenai kemarahan,
maka pasien harus merasakan kemarahan itu sekarang dan bukan
membicarakan mengenai kemarahan yang berlarut-larut tanpa
hasil. Bagi terapis Gestalt hal yang sudah lewat cukup penting jika

ada kaitan dengan keadaannya sekarang dan terapis akan meminta


pasien memperlihatkan sekarang di hadapan terapis keadaan yang
dialami atau dirasakan dahulu, agar kemudian pasien bisa
melakukan

proses

penyadaran

terhadap

keadaannya

dan

selanjutnya berkembang pribadinya sebagai keseluruhan yang


terpadu (Sinay, 2008).
Terapis Gestalt memfokuskan pada perasaan pasien,
kesadaran pada saat sekarang, pesan-pesan tubuh, energi,
penghindaran,

serta

hambatan

terhadap

kesadaran.

Perls

berpendapat bahwa penderita neurotik tidak melihat apa yang jelas


ada. Mereka itu tidak sadar bahwa mereka mengepalkan telapak
tangan erat-erat, bahwa suara mereka tidak keluar dengan lepas,
atau pun tidak menanggapi saran terapis. Jadi tugas terapis adalah
menantang

pasien sehingga mereka mau memanfaatkan indera

mereka sepenuhnya dan berhubungan dengan pesan-pesan tubuh


mereka. Terapi Gestalt menggunakan mata dan telinga terapis
untuk tetap berada di alam sekarang. Terapis menghindari
intelektualisasi,

diagnosis,

penafsiran

yang

abstrak,

dan

penggunaan kata-kata yang berlebihan (Henley, 1961).


Peranan terapis sebagai pelaku perubahan yang kreatif,
seorang penemu, dan manusia yang berapi-api semangatnya, serta
bukan seseorang yang acuh tak acuh. Apabila terapis tidak
menggunakan kepribadiannya sebagai instrumen untuk perubahan
terapeutik, mereka lebih pantas disebut sebagai pemberi tanggapan,
katalis dan teknisi yang bermain terapeutik dengan pasien,
sehingga pasien terus saja hidup dalam alam tidak otentik. Apabila
menghendaki pasien menjadi otentik, diperlukan kontak dengan
terapis yang otentik juga. Polster dan Polster (Corey, 2007)
menyatakan seorang terapis lebih dari sekadar pemberi tanggapan
atau katalis, ia harus bisa menyesuaikan diri dengan pasien yang
dihadapinya dan juga harus bisa seiring sejalan dengan dirinya

sendiri. Jadi, terapi adalah suatu perjuangan berjalur dua arah


berdasarkan hubungan anda/saya yang murni. Yang berubah bukan
saja klien, tetapi juga terapisnya. Apabila seorang terapis tidak
secara sensitif bersesuaian dengan sikapnya yang lembut, tegas dan
terbuka atas kesulitan orang lain, dan tanggap terhadap pasiennya,
maka ia pun akan menjadi seorang teknisi yang mengurusi orang
lain dan tidak menghidupkan terapi dengan segala kegairahan yang
bisa didapatnya.
Terapis menawarkan sikap empati, hubungan dialogis dan
kerjasama dengan pasien. Terapis perlu memahami batasan antara
memberikan dukungan dan konfrontasi untuk pertumbuhan pasien
yang sehat di masa depan. Beberapa pasien secara umum sangat
kurang dalam dukungan dirinya, mereka mudah merasa terancam,
merasa tidak nyaman dengan situasi yang baru, dan menjadi
tertutup. Komentar dari terapis yang terkesan mengkritisi pasien,
kesalahpahaman dan kekurangan sikap empati dari terapis akan
mudah sekali membuat pasien malu, marah dan merasa
ditingglkan. Pasien-pasien seperti ini tidak akan dapat berkembang
dan berubah secara sehat jika dukungan diri mereka lemah. Terapis
dalam menghadapi klien seperti ini secara bertahap menciptakan
iklim terapeutik yang tidak mengancam, memberikan rasa aman,
menunjukkan

penerimaan

dan

sikap

empati,

serta

tidak

menggunakan konfrontasi secara berlebihan. Ketika hubungan


dialogis telah terbentuk kuat dan terciptanya saling percaya antara
terapis dan pasien maka secara sedikit demi sedikit pasien
didorong
potensinya

untuk

meningkatkan

untuk

kesadarannya,

pengalaman-pengalaman

menggunakan
baru

dan

mempraktikkan perilaku baru yang lebih sehat (Mann, 2010).


Tugas terapis adalah menolong klien bisa mengadakan
transisi dari dukungan eksternal menjadi dukungan internal, dan ini
dilakukan dengan jalan menemukan lokasi impas. Impas adalah
suatu situasi dimana dukungan eksternal tidak ada yang datang

dan pasien percaya bahwa ia tidak dapat mendukung dirinya


sendiri. Impas adalah titik di mana seorang individu menghindar
dari penghayatan perasaan yang mengancam, oleh karena ia merasa
kurang nyaman. Impas adalah resistensi untuk menghadapi
pribadinya sendiri dan untuk mengubah diri. Orang biasanya
mengungkapkan resistensinya dengan berucap: Saya merasa
frustrasi tidak ubahnya seperti saya sedang memutar roda ke tujuan
yang tidak jelas. Saya tidak tahu ke mana saya harus pergi dari sini.
Saya tidak bisa berbuat ini atau itu. Saya merasa terpaku.
Menurut Perls, orang merasa seperti terpaku oleh karena mereka
membayangkan

bahwa

akan

terjadi

sesuatu

yang

amat

menakutkan. Khayalan akan datangnya bencana mencegah mereka


untuk hidup sepenuhnya, dan oleh karena rasa takut mereka yang
tidak beralasan itu maka mereka tidak mau mengambil risiko yang
diperlukan agar mereka menjadi lebih matang. Umumnya
(pengharapan yang mengandung bencana) berupa pernyataanpernyataan: Apabila saya menyatakan perasaan tertentu, saya pun
akan tidak dicintai, atau diterima atau disetujui pendapat saya.
Saya akan menjadi dungu. Saya akan hancur. Saya akan
ditinggalkan (Sinay, 2008).
Pada saat terjadinya impas, pasien berusaha untuk
memperalat lingkungannya dengan jalan bermain peran sebagai
seorang yang lemah, tidak berdaya dan dungu. Tugas terapi adalah
menolong mereka bisa menembus impas sehingga pertumbuhan
bisa terjadi. Terapis membantu mereka dalam hal mengenali dan
berusaha menerobos impas dengan jalan menyediakan situasi yang
mendorong semangat mereka untuk menghayati sepenuhnya
kondisi mereka yang terpaku itu. Dengan sepenuhnya menghayati
hambatan itu mereka mampu mengadakan kontak dengan frustrasi
mereka (Corey, 2007).
Fungsi penting dari seorang terapis Gestalt adalah menaruh
perhatian pada bahasa tubuh si pasien. Petunjuk non verbal yang

diungkapkan oleh pasien memberikan terapis suatu informasi yang


banyak, oleh karena mereka sering menghianati perasaan yang oleh
pasien sendiri tidak disadari. Postur tubuh pasien, gerakannya,
isyarat tubuhnya, suara, keragu-raguannya, mengutarakan cerita
yang sesungguhnya. Perls memperingatkan bahwa komunikasi
verbal biasanya bohong dan bahwa apabila terapis berorientasi
pada apa yang dikatakan pasien, ia tidak mendapatkan esensi orang
itu. Komunikasi yang riil lebih dari apa yang diutarakan oleh katakata. Terapis Gestalt sering bertanya: Apa yang dikatakan oleh
mata anda?; apabila tangan anda bisa bicara pada saat ini, apa
yang dikatakannya?; dapatkah anda lakukan percakapan antara
tangan kiri dan tangan kanan anda?. Pasien mungkin mengatakan
bahwa mereka merasa kesakitan dan pada saat yang sama akan
tertawa. Pasien bisa diminta untuk menyadari bahwa mereka
gunakan gelak tawa sebagai topeng dari perasaan amarah dan
kepedihan.
Terapis Gestalt juga memberi perhatian pada hubungan
antara pola bahasa dan kepribadian. Pendekatan ini mengisyaratkan
bahwa pola bicara pasien sering kali merupakan ungkapan
perasaannya, pikirannya dan sikapnya. Pendekatan Gestalt
memfokuskan pada kebiasaan bicara yang terbuka sebagai sarana
untuk meningkatkan kesadaran pasien terhadap diri mereka sendiri,
terutama dengan meminta kepadanya untuk mencatat apakah katakata mereka kongruen dengan apa yang mereka alami atau malahan
menjauhkan mereka dari emosi mereka.
Fungsi dari terapis Gestalt

adalah

secara

halus

berkonfrontasi dengan pasien dengan cara intervensi-intervensi


yang menolong mereka untuk menjadi sadar akan akibat dari pola
bahasa mereka. Dengan memfokuskan pada bahasa, pasien bisa
meningkatkan kesadaran mereka akan apa yang mereka alami pada
saat sekarang dan akan cara mereka menghindari kontak dengan

pengalaman di sini dan sekarang. Berikut ini beberapa contoh


aspek bahasa yang menjadi fokus terapis Gestalt (Sinay, 2008):
1) Jika pasien menggunakan ungkapan kata itu, maka terapis
memintanya untuk mengganti dengan kata saya. Misal pasien
mengatakan: berteman itu susah, maka pasien diminta untuk
mengatakan: saya merasa kesulitan untuk berteman
2) Jika pasien menggunakan ungkapan kata anda, maka terapis
memintanya untuk mengganti dengan kata saya. Misal pasien
mengatakan: anda akan merasa tersinggung apabila orang tidak
menerima anda, maka pasien diminta untuk mengatakan: saya
merasa tersinggung kalau saya tidak diterima.
3) Pertanyaan. Terapis Gestalt sering meminta kepada pasien agar
mau merubah pertanyaan mereka dengan pernyataan. Misal pasien
mengatakan: apakah mengungkapkan kemarahan itu salah?,
maka

pasien

diminta

untuk

mengatakan:

saya

percaya

mengungkapkan kemarahan tidak salah. Beberapa pertanyaan


benar-benar murni untuk mendapatkan informasi, karena itu tidak
semua pertanyaan dilihat sebagai resistensi terhadap perubahan.
4) Bahasa yang mengingkari adanya kekuatan. Misal pasien berkata:
saya ingin mengakhiri perasaan menjadi korban, tetapi saya tidak
ada daya untuk berubah. Kata tetapi itu mengurangi kadar
pernyataan

sebelumnya.

Pasien

disarankan

untuk

tidak

menggunakan kata seperti: mungkin, barangkali, semacam, saya


kira, ada kemungkinan, dan menurut perkiraan saya, bisa
mengubah pesan yang ambivalen menjadi pernyataan yang jelas
dan langsung menuju sasaran. Demikian juga halnya, apabila
pasien

mengatakan

saya

tidak

bisa,

sebenarnya

yang

dikatakannya adalah saya tidak mau. Dengan meminta kepada


pasien untuk mengubah tidak bisa menjadi tidak mau akan
menolong mereka untuk memiliki dan mau menerima kekuatan
mereka sendiri dengan jalan mau bertanggung jawab atas
keputusan yang telah diambilnya. Kata-kata lain yang menyatakan

pengingkaran terhadap kekuatan adalah seharusnya dan


sebaiknya yang biasanya digunakan orang. Dengan mengubah
ungkapan

seharusnya

saya..

menjadi

saya

memilih

untuk. Atau saya ingin untuk. Pasien bisa mulai menapak


langkah yang aktif yang mengurangi perasaan bahwa ia digiring
oleh orang lain dan tidak bisa mengendalikan hidupnya sendiri.
Dalam mengadakan intervensi konselor harus waspada untuk tidak
membuat pasien merasa bahwa apapun yang dikatakannya bisa
diaamati. Daripada mendorong terjadinya sejenis introspeksi yang
mengejutkan, konselor berharap untuk bisa mendorong terjadinya
kesadaran klien tentang apa yang sebenarnya diungkapkan lewat
kata-kata.
5) Mendengarkan metafora pasien. Dengan mendengarkan metafora,

terapis bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk yang banyak tentang


perjuangan internal pasien. Contoh metafora yang bisa dipantau
dan diteropong adalah yang seperti berikut ini: Susah bagi saya
untuk menjadikan milik saya terbuang di sini. Ada kalanya saya
merasa bahwa saya tidak punya kaki untuk dipakai berdiri. Saya
harus bersiap-siap kalau-kalau seseorang meledakkan saya.
Rasanya baju yang saya pakai terobek-robek hingga tinggal
benang-benang setelah anda berkonfrontasi dengan saya minggu
yang lalu. Di dasar metafora ini mungkin tersembunyi suatu
dialog internal yang terkekang yang memiliki kerja belum selesai
yang amat kritis. Seni terapi terdiri dari menerjemahkan makna
metafora itu menjadi suatu isi manifes sehingga bisa ditangani
dalam terapi.
6) Mendengarkan bahasa yang akan mengungkap suatu cerita. Pasien
sering kali menggunakan bahasa yang licik dan berbelit-belit
namun mengandung petunjuk yang signifikan tentang perjuangan
hidupnya.

Pasien

cenderung

melompati

frasa-frasa

yang

bermakna,tetapi terapis yang jeli akan mengajukan pertanyaan yang

akan membuat pasien itu menceritakan alur cerita yang dijerat


oleh terapis itu.
D.

Pengalaman Pasien dalam Terapi


Orientasi umum dari terapi Gestalt adalah pada sikap
pasien yang makin bersedia untuk memikul tanggung jawab demi
pikirannya, perasaannya dan perilakunya. Terapis berkonfrontasi
dengan

mereka

dalam

hal

cara

mereka

menghindari

pertanggungjawaban personal dan meminta kepada mereka untuk


memutuskan apakah terapi perlu dilanjutkan atau tidak, apa yang
mereka inginkan dari terapi itu, dan cara bagaimana ia ingin
menggunakan waktu terapi mereka. Isu lain yang bisa menjadi
fokus terapi juga termasuk hubungan terapis/pasien dan kesamaan
cara pasien berhubungan dengan terapis dan dengan orang lain
dalam lingkungannya. Oleh karenanya, pasien dalam terapi Gestalt
adalah peserta aktif yang memberikan penafsiran serta makna
mereka sendiri. Para pasien itulah meningkatkan kesadaran dan
menentukan apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan dengan
makna personalnya itu. Miriam Polster, melukiskan urutan-urutan
integrasi tiga tahap yang menjadi ciri pertumbuhan pasien dalam
terapi. Bagian pertama dari urutan-urutan ini terdiri dari
penemuan, pasien ada kecenderungan untuk sampai pada realisasi
baru tentang diri mereka atau mencapai pandangan yang baru
tentang situasi yang lama, atau mereka mungkin melihat orang
signifikan dalam hidup mereka dengan pandangan baru (Corey,
2007).
Tahap kedua dari urutan-urutan integrasi adalah akomodasi,
yaitu saat pasien mengetahui bahwa ia bisa menentukan pilihan.
Mereka tidak secara ketat terikat oleh satu cara, melainkan ada
alternatif lain untuk berperilaku. Pasien mulai dengan mencoba
perilaku baru dalam lingkungan yang mendukung di kantor terapi,
kemudian kesadaran mereka meluas ke dunia. Membuat pilihan

baru seringkali dilakukan dengan cara yang kaku, namun dengan


suatu dukungan, pasien akan bisa mendapatkan keterampilan untuk
menangani

situasi

yang

sulit.

Tugas

terapeutik

adalah

memobilisasikan sistem dukungan pasien dan mendorong praktik


serta eksperimen akan alternatif cara-cara berperilaku.
Tahap ketiga dari urutan-urutan integrasi adalah asimilasi,
yang menyangkut bagaimana pasien belajar cara mempengaruhi
lingkungan mereka. Pada tahap ini pasien merasa ada kemampuan
untuk menangani kejutan-kejutan yang mereka jumpai pada
kehidupan sehari-hari. Sekarang mereka mulai tidak sekadar secara
pasif menerima lingkungannya. Pada tahap ini mungkin juga
mencakup perilaku mereka untuk menentukan sikap pada isu yang
kritis. Pada akhirnya pasien mengembangkan rasa percaya akan
kemampuan mereka untuk menjadi baik dan berimprovisasi.
Mereka mampu menentukan pilihan yang akan berakhir dengan
didapatkannya apa yang mereka inginkan. Terapis menunjukkan
bahwa suatu tujuan telah tercapai dan mengakui bahwa dalam diri
pasien sudah terjadi perubahan. Pada tahap ini pasien telah belajar
apa yang bisa dia perbuat untuk memaksimalkan peluang mereka
untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dari lingkungan.
E.

Hubungan Pasien dan Terapis


Hubungan terapeutik dalam terapi Gestalt terdiri dari tiga
elemen dasar yang saling terkait satu sama lain (Brownwell, 2010):
1) Adanya lingkungan yang aman bagi pasien. Mencakup fasilitas
fisik yang nyaman bagi pasien, ruangan yang memberikan rasa
aman bagi pasien, dan menawarkan diri terapis sebagai terapis
yang kompeten.
2) Terbangunnya hubungan sinergis antara terapis dan pasien
(working alliance). Dalam terapi Gestalt, hubungan terapeutik
merupakan inti dari proses yang akan membawa perubahan bagi
pasien, jika hubungan terapeutik ini berkembang dan menjadi iklim
positif selama proses terapi, maka perubahan semakin mudah

dicapai oleh pasien. Untuk mengetahui apakah terapis telah


memiliki hubungan sinergis (working alliance) yang kokoh dengan
pasien adalah dengan menjawab empat pertanyaan di bawah ini:
a) Apakah pasien mempunyai kepercayaan dasar kepada terapis
selama proses terapi, dimana terapis terus berusaha untuk
mampu menolong pasien?
b) Apakah terdapat kejelasan dan persetujuan tentang apa yang
sedang dilakukan bersama, tentang apa yang dituju oleh terapis
dan pasien, serta tentang adanya perbedaan tanggungjawab di
dalam proses terapi?
c) Apakah terdapat komitmen untuk tetap berada dalam
hubungan tersebut (proses terapi) baik terapis maupun pasien,
walaupun segala sesuatu menjadi sangat berat?
d) Kapan hubungan sinergi tersebut menjadi sangat kuat dan
kapan menjadi sangat rapuh? Apakah yang membuat keduanya
berbeda?
3) Memberikan dan menciptakan hubungan dialogis (dialogic
relationship). Konsep ini pada mulanya dikemukakan oleh Martin
Buber, yang menegaskan bahwa: Hubungan dialogis adalah sikap
kesungguhan, keikhlasan, dan kejujuran perasaan, pengalaman,
penghayatan orang lain sebagai pribadi, bukan objek, dan
keinginan untuk secara dalam memahami pengalaman pribadi
orang lain tanpa prasangka atau penilaian awal. Keinginan untuk
mendengar apa yang tidak terkatakan, dan melihat apa yang tidak
tampak. Hubungan dialogis ini terdiri dari empat komponen yaitu:
a) hadir secara penuh (presence); b) penerimaan (confirmation); c)
Inklusi (inclusion); d) keinginan untuk berkomunikasi secara
terbuka (willingness for open communication).
a) Hadir secara penuh: kehadiran secara menyeluruh untuk
pasien, baik secara fisik bertatap muka dengan pasien maupun
secara psikis yaitu perhatian penuh, mendengarkan pasien
secara aktif. Terapis hadir di sini dan kini bersama pasien
dengan kejujuran dan tanpa topeng (hadir secara otentik)

b) Konfirmasi dan penerimaan. Penerimaan penuh menghasilkan


perasaan aman dan nyaman bagi pasien, iklim kepercayaan
akan tercipta sehingga pasien dengan bebas membuka dirinya,
bahkan pengalaman pribadinya yang paling rahasia kepada
terapis. Konfirmasi, tidak berarti bahwa terapis menyetujui apa
saja yang dikemukakan pasien, ada saatnya terapis tidak setuju
dengan pandangan pasien. Ketidaksetujuan terapis hanya pada
tindakan, sikap, atau nilai-nilai pasien, bukan pribadinya.
c) Inklusi. Adalah usaha terapis untuk memasukkan, menyerap
atau menyatukan dirinya dengan pengalaman pasien, sehingga
terapis mampu mendapatkan pemahaman tentang kliennya
secara akurat. Inklusi merupakan perluasan dari bentuk empati.
d) Mewujudkan komunikasi terbuka. Iklim komunikasi yang
terbuka

akan

membuat

mengkomunikasikan

pasien

kepada

permasalahan pribadinya.
Sebagai cabang terapi

merasa
terapis

eksistensial,

bebas

untuk

pemasalahanpraktik

Gestalt

mencakup hubungan antar pribadi (antar terapis dan pasien).


Pengalaman terapis, kesadaran, dan persepsi memberikan latar
belakang pada proses terapi, sedangkan kesadaran serta reaksi
pasien merupakan latar depan. Bagi terapis adalah penting untuk
aktif berbagi persepsi dan pengalamannya sekarang pada saat
mereka menghadapi pasien pada masa sekarang di tempat ini.
Selanjutnya terapis memberikan umpan balik terutama tentang ulah
pasien dengan tubuhnya. Umpan balik ini menjadikan pasien
mengembangkan kesadaran akan apa yang sebenarnya mereka
lakukan. Terapis harus menghadapi pasien dengan kejujuran serta
reaksi yang langsung dan menantang manipulasi mereka tanpa
menolak mereka sebagai pribadi. Bersama pasien terapis perlu
mengeksplorasi rasa takut mereka, pengharapan yang mengandung
bencana, hambatan-hambatan, serta resistensi (Corey, 2007).

Para terapis bertanggungjawab akan kualitas kehadiran


mereka, untuk mengenal diri sendiri dan pasiennya, untuk tetap
terbuka terhadap pasiennya. Terapis juga bertanggungjawab untuk
tetap menjaga terciptanya iklim terapeutik yang akan menunjang
terciptanya semangat kerja di pihak pasien. Hubungan saya/anda
diberi nilai penting yang utama, yang berarti bahwa ada dialog dan
kontak antara terapis dan pasien. Dari interaksi inilah pasien
belajar tentang diri mereka dan bisa berubah. Masalahnya bukan
teknik yang digunakan oleh terapis, melainkah siapakah mereka itu
sebagai pribadi dan apa yang mereka kerjakan.
Sejumlah penulis telah menaruh nilai pentingnya hubungan
saya/anda dan kualitas kehadiran terapis sebagai lawan dari
keterampilan teknik. Mereka memperingatkan akan bahayanya
keterikatan pada teknik dan hilangnya wawasan tentang diri
mereka sendiri pada saat menangani pasien. Teknik bukanlah isu,
melainkan sikap dan perilaku terapis serta hubungan yang dijalin
itulah yang harus diperhitungkan (Lobb, 2003).
F.

Teknik yang Digunakan


Kesadaran (Awareness)
Kesadaran

(awareness)

dapat

didefiniskan

sebagai

menyadari secara sengaja tentang apa yang sedang terjadi, baik


berupa sensasi fisik, perasaan atau imajinasi pada diri sendiri dan
apa yang terjadi pada lingkungan dimana saya terintegrasi di
dalamnya. Kesadaran ini muncul dengan menjawab empat
pertanyaan inti: Apa yang sedang anda lakukan, apa yang anda
rasakan sekarang, apa yang anda coba hindari saat ini dan apa yang
anda inginkan/ harapkan dari saya.
Kesadaran membuat pasien mengonstruksikan sendiri
situasi terapetik, dan hal ini merupakan pemanasan untuk
mengijinkan situasi yang belum selesai (unfinished business) untuk

memunculkan

diri.

Kebalikannya,

terapis

sendiri

memberi

perhatian pada perubahan kesadaran dan emosinya. Hal ini dikenal


dalam gestalt sebagai continuum of conciousness (Brownwell,
2010).
Teknik

gestalt

terutama

bertujuan

untuk

mencapai

kesadaran. Hal ini dapat terjadi jika perhatian organismik (integral)


pasien difokuskan dengan zona kontak antara organisme dan
lingkungan, dimana terjadi interaksi kompleks terjadi yang
menunjukkan dimana pasien mengalami blokade. Dalam gestalt,
seseorang

dikatakan

mengalami

kesulitan

jika

dia

tidak

sepenuhnya sadar dengan kesulitan interaksinya.


Terapis gestalt tidak mengintervensi secara langsung untuk
membuat pasien sadar, namun dengan mengolaborasikan diri
dengan pasien untuk memulihkan kondisi pasien melalui sumber
daya pasien, sehingga pasien dapat mencapai kesadaran dan aliran
alami gestalt dapat kembali.
Mekanisme

dimana

seseorang

memblokir

kesadaran

mereka sendiri dalam gestalt dinamakan resistensi. Resistensi ini


menghambat seseorang dari kontak adekuat dan keseimbangan
antara

dirinya

dan

lingkungan.

Sehingga

seseorang

akan

kebingungan menentukan batas antara diri sendiri dan orang lain


(Sinay, 2008; Fiebert, 2012).
Kursi Kosong (Empty Chair)
Kursi kosong teknik favorit Perl dan salah satu teknik yang
menjadi trademarks gestalt. Dalam teknik ini, pasien meletakkan
seorang karakter tertentu yang dengannya pasien memiliki situasi
yang belum selesai (unfinished business). Lewat kursi kosong
pasien dibiarkan untuk memainkan peranan menjadi dirinya dan
menyampaikan urusannya yang belum terselesaikan, untuk
kemudian juga menjadi orang lain yang dengannya pasien
memiliki urusan yang belum selesai.

Jika digunakan disaat yang tepat, kursi kosong dapat


mengaktivasi perasaan dan mengijinkan pasien untuk bertemu
dengan karakter yang dengannya pasien memiliki urusan yang
belum selesai untuk melihat situasi saat ini-kini. Bagaimanapun,
penggunaan teknik ini dengan tidak tepat dan berlebihan pada
memengaruhi kontak langsung antara pasien dan terapis.
Tekni kursi kosong juga merupakan permainan konsep
klasik pendekatan gestalt: Top dog dan underdog. Top dog
merepresentasikan keinginan, kebutuhan dan potensi seseorang,
sedangkan underdog merupakan alasan, dalih dan hambatan yang
diletakkan orang tersebut dalam jalannya. Underdog bisa
merupakan personifikasi dari interjection (Brownwell, 2010)
Monodrama
Teknik monodrama dilakukan dengan meminta pasien
memainkan karakter yang berbeda-beda dari situasi yang belum
selesai

dalam

hidupnya,

sehingga

pasien

dapat

memiliki

pengalaman yang jernih dengan masing-masing mereka dan emosi


mereka. Teknik ini tidak hanya tentang merepresentasikan orangorang, namun juga dapat merepresentasikan emosi, organ atau
dorongan.
Dengan bekerja dengan representasi karakter, emosi,
abstraksi atau bagian dari diri sendiri, pasien dapat secara jelas
bereksplorasi dengan polaritasnya, menyadari dan menerima halhal ini ketimbang mereduksinya menjadi sebuah istilah. Pasien
juga menjadi mampu menyadari perbedaan dan persamaannya
dengan orang lain dalam hidupnya. Pasien mampu menyadari
bahwa kehidupan merupakan sebuah hal yang dinamis dan berubah
dalam keseimbangan (Sinay, 2008; Brownwell, 2010).
Amplification or Exaggeration
Terapis meminta pasien untuk melanjutkan percakapan
dengan beberapa gerakan atau gestur, kemudian secara bertahan

meningkatkan intensitas dan melebih-lebihkannya terus menerus.


Hal ini meningkatkan persepsi dari mekanisme tertentu yang
digunakan pasien dalam kontaknya dengan lingkungan dalam
menghambat sensasi atau perasaannya.
Dengan memperbesar gerakan dan gestur dan mengatakan
dengan lantang apa yang menjadi masalah baginya, pasien menjadi
mampu

mendengar

dirinya

sendiri,

melepaskan

diri

dari

kebingungan percakapan internal. Dan hal ini dapat menjadi


pengalaman

yang

mampu

menyadarkan

dan

modifikasi

pengalaman (Brownwell, 2010).


Talking to the other (Direct Interpellation)
Teknik ini penting dalam pendekatan gestalt, dalam teknik
ini terapis menglarifikasi frase-frase yang tidak ditujukan pada
objek yang spesifik untuk menghindari kontak emosional. Tidak
melakukan mind reading penting dan juga merupakan bagian
dari tindakan lain; misalnya tidak memproyeksikan perasaan,
harapan, ketaktan, fantasi dsb ke orang lain.
Direct interpellation diciptakan untuk meningkatkan kontak
langsung, tanpa justifikasi, penjelasan, argumen, alasan atau
keinginan untuk menghakimi. Dialog jenis ini memerlukan
kejujuran, kemampuan untuk mengatakan apa yang kita rasakan,
pikirkan, inginkan dan menerima apa yang kita dengar tanpa
menghakimi (Brownwell, 2010).
Gestalt and the Body
Dalam gestalt, gerakan manifestasi volunter maupun
involunter seperti gestur, gerakan, micro-gestures, nada suara,
postur, suhu dan kelembaban kulit, nafas, merupakan data yang
penting yang menunjukkan apa yang terjadi didalam diri pasien.
Bahasa tubuh berasal dari kondisi saat ini-kini. Jalan menuju
kesadaran yang berasal dari tubuh menuju kata kata dapat diikuti
secara progresif.

Terapi gestalt jauh lebih dalam daripada sekedar menyadari


bahasa verbal dari apa yang nampak, yang mana tidak
menunjukkan apa yang muncul secara emosional, dan lebih dari
sekedar katarsis emosional, yang tidak memerhatikan apa yang
nampak dalam bentuk badaniah sebagai proses refleksi. Gestalt
memasuki proses internal tubuh dan dengan jalan ini menjaga
konsistensi dengan pendekatannya untuk hubungan permanen latar
belakang-dan bentuk yang muncul (Brownwell, 2010).
G.

Resistensi
Interjection
Mekanisme

ini

mengakibatkan

seseorang

menginkorporasikan, tanpa mencerna, seluruh informasi dan


perintah yang datang kepadanya dari medium dan bertindak sesuai
perintah tersebut. Allien bodies yang tidak menyatu ini disebut
interject dan menghalangi perkembangan dan ekspresi dari diri.
Dengan menelan semua informasi dan perintah tanpa mencerna
terlebih dahulu, seseorang dapat menemukan pada akhirnya bahwa
akan ada hal-hal yang bertentangan atau tidak sesuai, dan usahausaha

untuk

menyatukan

hal-hal

ini

dapat

menyebabkan

disintegrasi kepribadian. Dalam interjection batasan antara diri


sendiri dan dunia di sekitarnya bergeser cukup jauh sehingga diri
invidu terkesan menghilang (Sinay, 2008).
Projection
Projection merupakan kebalikan dari interjection. Dalam
projection, seseorang memberikan keorang lain atribut-atribut yang
dia tolak tentang dirinya dan menunjukkan dirinya sangat kritis,
intoleran dan hipersensitif terhadap karakteristik ini. Seseorang ini
membuat lingkungan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi
didalam dirinya. Orang ini merasa bahwa semua orang
mengganggunya. Jika dia adalah seorang yang pendiam, maka dia

akan menuduh orang lainlah yang sebenarnya dingin, tidak


bersahabat dsb (Sinay, 2008).
Confluence
Dalam resistensi ini fungsi ego menghilang ketika
seseorang kehilangan batasan antara dirinya dan medium
disekitarnya. Batasan antara diri sendiri dan lingkungan menjadi
tidak ada. Hal ini adalah hal wajar pada bayi baru lahir, namun
tidak wajar pada orang dewasa. Orang confluent hidup dalam
kebingungan, tidak mengetahui apa yang dia inginkan, tidak
mengatahui apa yang dia rasakan, tidak dapat melihat perbedaan
antara dirinya dan orang lain diluar dirinya, dia kehilangan
perasaan tentang dirinya (sense of self). Pada confluence, siklus
habitual contact-retreat yang dalamnya seseorang menjaga
hubungan yang sehat dengan medium menjadi hilang. Orang yang
confluent tidak dapat bertahan dengan perbedaan atau konfrontasi.
Dalam confluence perbedaan tidak boleh terjadi. Segala
sesuatunya haruslah sama. Hal ini terjadi pada pemerintahan
diktator, fundamentalis dan sekte tertentu atau orangtua yang
menganggap anaknya hanyalah kelanjutan sederhana dari dirinya
(Sinay, 2008).
Retroflection
Mekanisme ini menjadikan dilakukan oleh seseorang yang
melakukan sesuatu kepada dirinya sendiri apa yang sebenarnya
ingin dia lakukan kepada orang lain atau objek lain. Energi yang
harusnya dialirkan ke objek lain berhenti dan dikonsentrasikan
kedalam keadaan internal seseorang. Retroflector menghancurkan
sendiri dunia internalnya. Pada taraf tertentu hal ini merupakan hal
yang baik karena bisa berupa tanda pengendalian diri. Namun jika
retroflection sudah merupakan perilaku kebiasaan, retroflection
dapat menjadi berlebihan dalam inhibisi impuls atau eksaserbasi
manifestasi narsisitik. Retroflector memberi batas tegas antara

dirinya dengan lingkungan. Namun dia memberi batas tersebut


didalam dirinya sendiri. Jika retroflection berjalan kronis, dapat
kemudian

muncul

somatisasi.

Emosi

dan

perasaan

yang

mendominasi kemudian diarahkan kedalam diri sendiri kemudian


dapat bermanifestasi sebagai migren, nyeri kepala, nyeri perut,
ulkus peptik dsb (Sinay, 2008).

III.

DAFTAR PUSTAKA

Brownwell, P., 2010. Gestalt Therapy: a Guide to Contemporary Practice. New York:
Springer.
Corey, G., 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. 1 penyunt. Bandung:
Refika Aditama.
Fiebert, M., 2012. Stages in a Gestalt Therapy Session and an Examination of Counselor
Intervention. International Review of Social Sciences and Humanities, 3(2), pp. 4961.
Henley, M., 1961. Documenst of Gestalt Psychology. Berkeley: University of California
Press.
Lobb, M. S., 2003. The Art of Gestalt Therapy. New York: Springer-Verlag Wien.
Mann, D., 2010. Gestalt Therapy: 100 Key Points and Technique. London: Routledge.
O'Leary, E., 2013. Gestalt Therapy Around the World. 1 penyunt. USA: Wiley-Blackwell.
Palmer, S., 2011. Konseling Psikoterapi. 1 penyunt. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sinay, S., 2008. Gestalt for Beginners. USA: Orient Longman.

Anda mungkin juga menyukai